Anda di halaman 1dari 7

PERBANDINGAN PEMBUATAN TEPUNG LIDAH BUAYA DENGAN METODE

FREEZE DRYING DAN FOAM-MAT DRYING

Miryal Chulushi
1,3Universitas Pendidikan Indonesia
Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan
Miryalch7@student.upi.edu

ABSTRAK
Lidah buaya (Aloe vera L.) merupakan tanaman asli Afrika, tepatnya Ethiopia,
tanaman ini termasuk kedalam golongan Liliaceae. Metode yang dapat digunakan
untuk membuat tepung lidah buaya salah satunya adalah metode pengeringan beku
(freeze dry process) dan Foam-mat drying. Penggunaan metode yang digunakan
akan menghasilkan kualitas mutu yang berbeda pada tepung yang dihasilkan.
Tujuan penelitian adalah mntuk mengetahui perbandingan pembuatan tepung lidah
buaya dengan menggunakan metode freeze drying dan foam-mat drying. Pada metode
freeze drying dilakukan penambahan bahan pengisi berupa maltodextrin pada
konsentrasi 3%, dilanjutkan dengan campuran bahan pengisi dengan rasio
maltodextrin : cmc adalah 90:10 %, selanjutnya bahan dipreparasi dalam kulkas
dalam selama 1 malam dan selanjutnya dilakukan pengeringan freeze drying
selama 12-18 jam dengan suhu -45oC tergantung dengan banyaknya bahan yang
dikeringkan. Metode pembusaan dilakukan dengan penghancuran dan pengupasan
lidah buaya terlebih dahulu, selanjutnya dilakukan pembusaan dengan
mencampurkan maltodekstrin 15% dan tween 80 0,3% lalu dikocok sampai
terbentuk busa. Selanjutnya bahan dituangkan ke dalam loyang untuk selanjutnya
dilakukan pengeringan dalam cabinet dryer dengan suhu 65oC selama 5-6 jam
tergantung banyaknya bahan yang digunakan. Pada kedua metode, metode freeze
drying mempunyai kelebihan dapat mempertahankan mutu sedangkan pada
metode pembusaan mempunyai kelebihan metode yang sangat sederhana.

Kata kunci : lidah buaya, freeze drying, foam-mat drying.

PENDAHULUAN
Lidah buaya (Aloe vera L.) merupakan tanaman asli Afrika, tepatnya Ethiopia,
tanaman ini termasuk kedalam golongan Liliaceae (March, 2006). Menurut Hamman (2008)
ciri fisik dari tanaman ini adalah daunnya berdaging tebal, panjang, mengecil kebagian
ujungnya, berwarna hijau serta berlendir.
Kandungan gel dalam lidah buaya menurut Winarti dan Nurjanah (2005), memiliki
sifat yang mudah rusak karena adanya kandungan nutrisi dan enzim. Menurut Hamman
(2008), komponen nutrisi yang terkandung dalam lidah buaya terutama bagian gelnya
adalah asam amino, enzim-enzim, vitamin diantaranya vitamin C, mineral, karbohidrat dan
komponen spesifik senyawa antrakinon berupa aloin, barbaloin, asam aloetat, dan emodin
dalam kadar yang sangat kecil. Sehingga perlu dikembangkan menjadi bahan olahan untuk
menjaga nutrisi dari lidah buaya serta menambah nilai jual untuk penggunaan lidah buaya.
Upaya ini disamping untuk mempertahankan kandungan nutrisi dalam gel juga untuk
memberikan nilai tambah karena penggunaan lidah buaya saat ini sangat beragam dari
Miryal CHulushi dkk / EDUFORTECH 1 (1) (2019)

makanan, minuman, kosmetik dan obat-obatan, sehingga lidah buaya tidak hanya dijual
dalam bentuk pelepah segar yang relatif murah (Syahputra, 2008)
Kandungan air yang cukup tinggi membuat lidah buaya harus segera diproses
setelah panen. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan kandungan gizi, meskipun lidah
buaya utuh yang belum dikupas dapat bertahan lebih dari 3 minggu dalam ruang simpan
yang kering dalam suhu kamar (Wahjono, 2002). Salah satu bentuk dari pengolahan lidah
buaya adalah pengolahan menjadi tepung lidah buaya.
Metode yang dapat digunakan untuk membuat tepung lidah buaya salah satunya
adalah metode pengeringan beku (freeze dry process) dan Foam-mat drying. Penggunaan
metode yang digunakan akan menghasilkan kualitas mutu yang berbeda pada tepung yang
dihasilkan, maka pemilihan metode akan sangat berpengaruh terhadap tepung yang
dihasilkan.
Gonnissen et al. (2008) menyatakan bahwa pengolahan tepung memerlukan filler
sebagai pengisi dengan tujuan untuk mempercepat pengeringan, mencegah kerusakan
akibat panas, melapisi komponen flavour, meningkatkan total padatan, dan memperbesar
volume. Filler yang digunakan dalam pengolahan tepung dalam pembuatan tepung lidah
buaya ini adalah adalah maltodekstrin dan CMC. Menurut Sansone et al. (2011)
maltodekstrin merupakan gula tidak manis dan berbentuk tepung bewarna putih dengan
sifat larut dalam air, memiliki harga yang murah dan kemampuan melindungi kapsulat dari
oksidasi, meningkatkan rendemen, kemudahan larut kembali dan kekentalan yang relatif
rendah.

TUJUAN
 Untuk mengetahui perbandingan pembuatan tepung lidah buaya dengan
menggunakan metode freeze drying dan foam-mat drying.
 Untuk menambah umur simpan dari lidah buaya

METODOLOGI
 Pengeringan beku
Alat yang digunakan dalam pembuatan tepung lidah buaya adalah
tabung flask freeze drying, kulkas, spatula, alat pengukur, grinder, ayakan.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi pelepah lidah buaya segar,
CMC dan maltodekstrin (Sasanti T.D. dkk., 2007).
Pada pembuatan tepung lidah buaya dilakukan pembuatan tepung
lidah buaya dengan freeze dryer melalui penambahan bahan pengisi dan
dilanjutkan pada rasio bahan pengisi antara maltodextrin : cmc. Penambahan
bahan pengisi berupa maltodextrin pada konsentrasi 3%, dilanjutkan dengan
campuran bahan pengisi dengan rasio maltodextrin : cmc adalah 90:10 %,
selanjutnya bahan dipreparasi dalam kulkas dalam selama 1 malam dan
selanjutnya dilakukan pengeringan freeze drying selama 12-18 jam dengan
suhu -45oC tergantung dengan banyaknya bahan yang dikeringkan. lalu terakhir
tepung di grinding dan diayak dengan ayakan 70 mesh. Prosedur pembuatan
dilakukan menurut modul Pendidikan dan Pelatihan Teknik Fraksinasi
Komponen Aktif Bahan Alam dan Pengembangannya dalam sediaan kosmetik
yang sudah dimodifikasi (Sasanti T.D, dkk., 2007).
- Diagram proses

2
Perbandingan Pembuatan Tepung Lidah Buaya Menggunakan Metode Freeze Drying dan Foam-mat 3
Drying

 Pengeringan foam-mat drying


Alat yang digunakan dalam metode ini adalah pengering cabinet
dryer, alat pengukur, grinder dan ayakan 70 mesh. Bahan utama yang
dibutuhkan dalam pengolahan gel lidah buaya menjadi tepung dengan
metoda foam-mat adalah bahan pembusa (Kudra dan Ratti, 2008) dan
dalam penelitian ini bahan pembusa yang digunakan adalah tween 80.
Menurut Sankat dan Castaigne (2004) tween 80 selain sebagai bahan
pembusa juga dapat berfungsi sebagai kapsulat, emulsifier dan
mempercepat proses pengeringan dan bahan lain yang digunakan adalah
maltodekstrin yang berfungsi sebagai bahan pengisi (filler). Bahan yang
ditambahkan dalam pengolahan ini adalah maltodekstrin dengan
konsentrasi sebesar 15%, dan tween 80 dengan konsentrasi 0.3% dengan
suhu pengeringan oven yang digunakan 60oC.
Metode pembusaan dilakukan dengan penghancuran dan
pengupasan lidah buaya terlebih dahulu, selanjutnya dilakukan pembusaan
dengan mencampurkan maltodekstrin 15% dan tween 80 0,3% lalu dikocok
sampai terbentuk busa. Selanjutnya bahan dituangkan ke dalam loyang
untuk selanjutnya dilakukan pengeringan dalam cabinet dryer dengan suhu
65oC selama 5-6 jam tergantung banyaknya bahan yang digunakan.
Penggunaan suhu dan waktu pengeringan berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Wilson et al (2012). Selanjutnya dilakukan penghancuran
dengan grinder dan dilakukan pengayakan dengan ayakan 70 mesh.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengolahan lidah buaya menjadi tepung akan sangat bermanfaat, selain dapat
menambah umur simpan serta menjadi tepung yang mempunyai keunggulan tersendiri
diantaranya, Lidah buaya memiliki 72 zat yang dibutuhkan oleh tubuh, diantaranya 18
macam asam amino, karbohidrat, lemak, air, vitamin, mineral, enzim, hormon, dan zat
golongan obat.
 Maltodekstrin, CMC dan tween 80
Menurut Sadeghi et al. (2008), maltodekstrin umumnya dihasilkan dari hidrolisis
pati jagung dengan asam atau enzim. Menurut endang dan prasetyastuti (2010),
peningkatan rendemen dipengaruhi oleh banyaknya jumlah maltodesktrin yang
ditambahkan, karena semakin banyak maltodekstrin akan semakin besar total padatan
Miryal CHulushi dkk / EDUFORTECH 1 (1) (2019)

yang diperoleh. Menurut Finotelli dan Rocha-leão, (2010) proses pengolahan dengan
metoda mikroenkapsulasi yang menggunakan maltodekstrin sebagai kapsulat dapat
melindungi terjadinya pelepasan komponen nutrisi, melindungi senyawa-senyawa penting
seperti komponen antioksidan akibat suhu ekstrim, karena maltodekstrin memiliki
kemampuan membentuk body dan memiliki daya ikat yang kuat terhadap senyawa yang
tersalut. Dinding kapsulat seperti maltodekstrin dapat berfungsi melindungi komponen yang
sensitif seperti komponen antioksidan, rasa, vitamin, warna dan komponen nutrisi lainnya.
Menurut Sankat dan Castaigne (2004) tween 80 sebagai bahan pembusa juga
dapat berfungsi sebagai kapsulat, emulsifier dan mempercepat proses pengeringan.
CMC (Carboxy Methyl Cellulosa) adalah derivat selulosa yang direaksikan dengan
alkalin chloroacetic acid. Struktur Carboxy Methyl Cellulosa dasar adalah β–1,4-
Glukopiranosa yang merupakan polimer selulosa. Carboxy Methyl Cellulosa memiliki
panjang molekul yang lebih pendek dibanding dengan selulosa murni. Carboxy Methyl
Cellulosa merupakan merupakan eter polimer selulosa linear dan berupa senyawa anion,
yang bersifat biodegradable, tidak berwarna, tidak berbau, tidak beracun, butiran atau
bubuk yang larut dalam air namun tidak larut dalam larutan organik, memiliki rentang pH
sebesar 6.5 sampai 8.0, stabil pada rentang pH 2 – 10, bereaksi dengan garam logam berat
membentuk film yang tidak larut dalam air, transparan, serta tidak bereaksi dengan
senyawa organik. Carboxy Methyl Cellulosa berasal dari selulosa kayu dan kapas yang
diperoleh dari reaksi antara selulosa dengan asam monokloroasetat, dengan katalis berupa
senyawa alkali. Carboxy Methyl Cellulosa juga merupakan senyawa serbaguna yang
memiliki sifat penting seperti kelarutan, reologi, dan adsorpsi di permukaan. Selain sifat-
sifat itu, viskositas dan derajat substitusi merupakan dua faktor terpenting dari Carboxy
Methyl Cellulosa.
Fungsi CMC yaitu sebagai pengental, stabilisator, pembentuk gel, sebagai
pengemulsi dan dalam beberapa hal dapat meratakan penyebaran antibiotik yang terdapat
pada bahan (Winarno, 1984).

 Metode freeze drying


Pengeringan beku (freeze dryer) adalah salah satu metode pengeringan yang
mempunyai keunggulan dalam mempertahankan mutu hasil pengeringan, khususnya untuk
produk-produk yang sensitif terhadap panas. Keunggulan pengeringan beku dibandingkan
metode lainnya adalah; dapat mempertahankan stabilitas produk (menghindari perubahan
aroma, warna, dan unsur organoleptik lain) dan dapat mempertahankan stabilitas struktur
bahan (pengkerutan dan perubahan bentuk setelah pengeringan sangat kecil).
Pengeringan menggunakan alat freeze dryer/pengering beku lebih aman terhadap
resiko terjadinya degradasi senyawa dalam ekstrak. Hal ini kemungkinan karena suhu yang
digunakan untuk mengeringkan ekstrak cukup rendah. (Muchtadi,1992).
Pengeringan biasa terjadi melalui mekanisme penguapan pada suhu pemanas,
sehingga bagian pangan yang kering akan terjadi perubahan kimia (gelatinisasi pati,
karamelisasi gula, dan atau denaturasi protein) yang menyebabkan terbentuknya kerak di
permukaan yang akan memberikan hambatan bagi difusi uap dari lingkungan. Akibatnya
proses pengeringan akan terhambat dan berhenti, menghasilkan produk yang bagian luar
sudah kering bahkan terlalu kering dan menjadi kerak, tetapi bagian tengahnya masih
basah (Hariyadi, 2013).
Pada proses pengeringan beku terjadi melalui mekanisme sublimasi yang terjadi
pada suhu rendah. Penyusutan pada bahan diakibatkan karena uap air yang terkandung
dalam bahan terserap oleh vakum dan dikondensasikan sehingga tidak membasahi produk

4
Perbandingan Pembuatan Tepung Lidah Buaya Menggunakan Metode Freeze Drying dan Foam-mat 5
Drying

yang dikeringkan. Karena itu proses gelatinisasi, karameliasi dan denaturasi tidak terjadi
sehingga pada bagian pangan yang kering tidak terjadi pembentukan kerak. Dengan
demikian, uap air bisa berdifusi dengan baik dari bagian basah ke udara lingkungan,
sehingga bisa dihasilkan produk yang kering dengan baik. Pada waktu pengeringan selama
0-18 jam membuat kandungan air yang terdapat dalam bahan cukup sedikit. Hal ini
disebabkan oleh air yang mula-mula berada dalam sampel tersublimasi seiring dengan
waktu. Kondisi proses dalam pengeringan ini dipertahankan tetap dibawah titik triple. Jika
kondisi ini dipertahankan, maka air (es) dalam bahan pangan secara kontinyu akan
berkurang (Hariyadi, 2013).
Pada proses sublimasi, es yang menguap tidak mengalami perubahan fase menjadi
cair, sehingga proses pengeringan akan berjalan lebih optimal. Air (es) akan teruapkan
secara langsung tanpa melalui pori pori yang terdapat dalam permukaan bahan.

 Metode foam-mat drying


Metode foam-mat drying merupakan metode yang sangat mudah untuk dilakukan,
karena metode yang digunakan sangat sederhana dan alat yang digunakan cukup
terjangkau jika dibandingkan dengan metode freeze drying atau spray drying. Pada metode
pengeringan ini yang berpengaruh adalah suhu pengeringan, jumlah bahan pengisi serta
jumlah agent of foam (banyaknya bahan pembusa).
Labuza (1982) menyatakan bahwa suhu mempunyai pengaruh yang lebih besar
terhadap pencoklatan non enzimatis daripada proses kemunduran mutu lain, dimana setiap
kenaikan suhu sebesar 10°C kecepatan proses pencoklatan meningkat antara 4 – 8 kali.
Menurut Desrosier (1988) menyatakan bahwa suhu tinggi menyebabkan reaksi
pencoklatan dari gula dan asam-asam amino (reaksi sun drying).
Pengeringan buatan mempunyai banyak keuntungan karena suhu dan aliran udara
dapat diatur, sehingga waktu pengeringan dapat ditentukan dan kebersihan mudah diawasi
(Winarno, 1993). Waktu pengeringan biasanya dipengaruhi oleh udara pengering dan sifat
yang dikeringkan, semakin tinggi suhu maka semakin cepat waktu pengeringan. Untuk
menekan produksi sering digunakan suhu tinggi dengan waktu yang cepat dan singkat
(Paiman dan Murhananto, 1991).
Metoda ini memungkinkan penggunaan suhu yang lebih rendah, kualitas rasa,
warna dan kandungan produk nutrisi produk akhir yang lebih baik karena waktu
pengeringan yang relatif lebih singkat (Ratti dan Kudra, 2006). Selain itu peralatan yang
digunakan lebih sederhana dibandingkan freeze dryer dan spray dryer, dengan demikian
dapat menghemat waktu dan biaya operasional, pengeringan dengan metode ini memiliki
biaya investasi yang jauh lebih rendah.

SIMPULAN
1. Pengolahan lidah buaya menjadi tepung merupakan salah satu alternatif untuk
menambah umur simpan dari lidah buaya. Perbedaan metode yang dihasilkan dari
metode freeze drying dan foam-mat drying ada pada kualitas mutu yang
dihasilkan, dimana metode freeze drying mempunyai kelebihan dapat
mempertahankan mutu tepung yang dihasilkan sedangkan kekurangannya adalah
pada penggunaan alat yang cukup mahal. Pada metode foam-mat drying memiliki
kelebihan metode yang sederhana dan tidak memerlukan alat yang mahal seperti
pada metode freeze drying.
Miryal CHulushi dkk / EDUFORTECH 1 (1) (2019)

DAFTAR PUSTAKA
Desrosier, N. W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Edisi III. Penerjemah Muchji
Mulyohardjo. Jakarta: Universitas Indonesia.
Endang SS dan Prasetyastuti. 2010. Pengaruh Pemberian Juice Lidah Buaya (Aloe vera
L.) terhadap Kadar Lipid Peroksida (MDA) pada Tikus Putih Jantan Hiperlipidemia.
Jurnal Farmasi Kedokteran 3(1):353-362
Finotelli PV and Rocha-Leão MHM . 2010. Microencapsulation of Ascorbic Acid in
Maltodextrin and Capsul Using Spray-Drying. Proceedings 2nd Mercosur
Congress on Chemical Engineering 4th Mercosur Congress on Process Systems
Engineering
Gonnissen Y, Remon JP and Vervaet C. 2008. Effect of maltodextrin and superdisintegrant
in directly compressible powder mixtures prepared via co-spray drying. European
Journal of Pharmaceutics and Biopharmaceutics 68:277–282
Hamman JH. 2008. Compotition and Application of Aloevera Leaf Gel. Molecules 13:1599-
1616
Hariyadi, P. 2013. Pengeringan Beku dan Aplikasinya di Industri Pangan. IPB Bogor.
Kudra T and Ratti C. 2008. Process and Energy Optimization in Drying Foamed Material.
Вестник ТГТУ Том 14. № 4. Transactions TSTU: 812-819
Labuza, T.P. 1982. Shelf Life Dating of Foods. Food and Nutrition Press. Westport,
Connecticut.
March. 2006. Aloe the Health and Healing. Translate by Ed Madyakurt, 4th Edition. APB
Paris Francis
Muchtadi TR. Sugiono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan, PAU Pangan dan Gizi IPB,
Bogor.
Paimin F. B. dan Murhananto. 1991. Budidaya Pengolahan Perdagangan Jahe. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Ratti, C. dan Kudra, T. 2006. Drying of foamed biological materials: opportunities and
challenges. Journal Drying Technology 24(9): 1101-1108
Sadeghi A, Shahidi F, Mortazavi SA and Mahalati MN. 2008. Evaluation of Different
Parameters Effect on Maltodextrin Production by “-amylase Termamyl 2-x. World
Applied Sciences Journal l3(1):34-39.
Sansone F, Mencherini T, Picerno P, d’Amore M. Aquino RP and Lauro MR. 2011.
Maltodextrin/pectin microparticles by spray drying as carrier for nutraceutical
extracts. Journal of Food Engineering 105 : 468–476
Sankat C and Castaigne F. 2004. Foaming and drying behaviour of ripe bananas. LWT-
Food Science and Technology 37: 517–525
Sasanti T.D, dkk., 2007., “Praktek Pengembangan dan Evaluasi Sediaan Kosmetik I & II”,
Modul Pendidikan dan Pelatihan Teknik Fraksinasi Komponen Aktif Aloe vera dan
Pengembangannya dalam Sediaan Kosmetik, Sekolah Farmasi ITB, Bandung.
Syahputra. 2008. Pembuatan Tepung Lidah Buaya. Fakultas Teknologi Pertanian.
Universitas Sumatera Utara. Medan
Wahjono, E. and Kusnandar. 2002. Mengebunkan Lidah Buaya Secara Intensif. Agromedia
Pustaka. Jakarta.
Wilson RA, Kadam DM, Chadha S, Sharma S. 2012. Foam mat drying characteristics of
manggo pulp. International Journal of Food Science and Nutrition Engineering.
2(4): 63-69.
Winarno. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta

6
Perbandingan Pembuatan Tepung Lidah Buaya Menggunakan Metode Freeze Drying dan Foam-mat 7
Drying

Winarno, F. G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Winarti C dan Nurjanah N. 2005. Peluang tanaman rempah dan obat sebagai sumber
pangan fungsional. Jurnal Litbang Pertanian 24(2):47-55

Anda mungkin juga menyukai