Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM BIOLOGI

“PERAMBATAN BUNYI MELALUI TULANG TENGKORAK”

Dosen Pengampu: Dr. drh. Heru Nurcahyo, M.Kes

Disusun Oleh :
Nama: Sofyan Dwi Nugroho
NIM : 16708251021
Prodi : Pendidikana IPA

PRODI PENDIDIKAN SAINS


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2017
PERAMBATAN BUNYI MELALUI TULANG TENGKORAK

A. Landasan Teori :
Telinga merupakan alat penerima gelombang suara atau gelombang udara
kemudian gelombang mekanik ini diubah menjadi pulsa listrik dan diteruskan ke korteks
pendengaran melalui saraf pendengaran. Jadi, telinga berfungsi untuk mengubah
gelombang suara menjadi impuls yang kemudian akan dijalarkan ke pusat pendengaran
di otak. Walaupun mekanisme mendengar tidak dapat mencakup seluruh gelombang
bunyi, namun keterbatasan ini tidak merupakan hambatan bagi seseorang untuk dapat
menggapi berbagai macam bunyi yang berasal dari lingkungannya.
Campbell,dkk. (2004) menyatakan bahwa telinga dibagi dalam 3 bagian yaitu,
telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.

Gambar 5.1. telinga. Hubungan telinga tengah dengan pharinx melalui eustachii. Sumber: John.R Cameron dan James
G.Skofronick (dalam Gabriel, Fisika Kedokteran, 1996, hal 82)

Keterangan gambar:
A = daun telinga G = syaraf pendengaran
B = saluran telinga H = round window
C = membran tympani I = tuba eustachi
D = tulang telinga: maleulus, incus, stapes J = pharinx
E = canalis semilunaris K = ruang telinga tengah
F = oval window
Telinga luar : terdiri dari daun telinga dan kanal telinga; batas telinga luar yaitu dari daun
telinga sampai dengan membarn tympani
Telinga dalam : batas telinga tengah mulai dari membran tympani sampai dengan tuba
eustachii. Terdiri dari 3 tulang kecil yaitu os malleulus os incus os stapes.
Telinga dalam : berada di belakang tulang tengkorak kepala terdiri dari cochlea dan oval
window.

a) Telinga bagian luar


Berbagai binatang daun telinga berfungsi sebagai pengumpul energi bunyi dan
dikonsentrasikan pada membran tympani. Pada manusia hanya menangkap 6-8 dB,
sedangkan telinga gajah hanya berfungsi sebagai pelepas panas. Pada kanalis telinga
terdapat malam (wax) yang berfungsi sebagai peningkatan kepekaan terhadap frekuensi
suara 3000-4000 Hz, panjang kanalis 2,5 cm (λ/4 = 2,5 cm), λ = 10 cm. Membran
tympani tebalnya 0,1 mm, luasnya 65 mm2, mengalami vibrasi dan diteruskan ke telinga
bagian tengah yaitu tulang telinga (incus, malleulus dan stapes). Sarjana Van Bekesey
melakukan studi tentang vibrasi membran tympani pada telinga cadaver yang mati.
Kemudian melalui teknik fisika yang modern (mors bauer effect) diperoleh secara nyata
getaran dari membran tympani yaitu nilai ambang pendengaran pada 3000 Hz ≈ 10-9
cm. Nilai ambang pendengaran terendah yang dapat didengar ̴ 20 Hz dan pada 160 dB
membran tympani mengalami ruptur/pecah.

b) Telinga bagian tengah terdiri dari 3 buah tulang yaitu malleulus, incus, dan stapes.
Suara yang masuk itu 99,9% mengalami refleksi dan hanya 0,1% saja yang
ditransmisikan/diteruskan. Pada frekuensi kurang dari 400 Hz membran tympani
bersifat “per” sedangkan pada frekuensi 4000 Hz membran tympani akan menegang.
Telinga bagian tengah ini memegang peranan proteksi. Hal ini dimungkinkan oleh
karena adanya tuba eustachii yang mengatur tekanan di dalam telinga bagian tengahm,
di mana tuba eustachii mempunyai hubungan langsung dengan mulut. Pada beberapa
penyebab sehingga terjadi perbedaan tekanan antara telinga bagian tengah dan dunia
luar akan mengakibatkan penurunan sensitifitas tekanan (misalnya pada penderita
influensa); pada tekanan 60 mmHg yang mengalami membran tympani akan
mengakibatkan perasaan nyeri.

c) Telinga bagian dalam, bagian ini mengandung struktur spiral yang dikenal cochlea,
berisikan cairan. Ukuran cochlea sangat kecil berkisar 3 cm panjang, terdiri dari 3
ruangan yaitu: ruangan vestibular merupakan tempat berakhirnya oval window; ductus
cochlearis dan ruangan tympani berhubungan dengan atap spiral. Pada cochlea terdapat
8000 konduktor yang berhubungan dengan otak melalui syaraf pendengaran.

Gambar 5.2. Sumber: John.R Cameron dan James G.Skofronick (dalam Gabriel, Fisika Kedokteran, 1996, hal 84)

stapes
Tekanan suara oval window vertibular ruangan tympani
Gelombang bunyi yang masuk melalui oval window menghasilkan gelombang bunyi yang
beripple (bergerigi) mencapai membran basiler oada ductus cochlearis. Disini gelombang
tersebut diubah menjadi gelombang sinyal listrik dan diteruskan ke otak lewat syaraf
pendengaran. Apabila bunyi yang didengar 10.000 Hz, syaraf yang terdapat pada organ
corti tidak mengirim rangsangan 10.000 Hz ke otak melainkan mengirim rangsangan
secara seri ke otak yang berupa gelombang bunyi yang sinusoidal.
Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang diteruskan ke liang telinga dan
mengenai membrana timpani sehingga membrana timpani bergetar. Getaran ini diteruskan
ke tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain. Selanjutnya, stapes
menggerakkan foramen ovale yang juga menggerakkan perilimfe dalam skala vestibuli.
Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfe dan
membrana basalis ke arah bawah. Perilimfe dalam skala timpani akan bergerak sehingga
foramen rotundum terdorong ke arah luar. Pada waktu istirahat, ujung sel rambut Corti
berkelok dan dengan terdorongnya membrana basal, ujung sel rambut itu menjadi lurus.
Rangsangan fisik ini berubah menjadi rangsangan listrik akibat adanya perbedaan ion
Natrium dan Kalium yang diteruskan ke cabang-cabang nervus vestibulokoklearis.
Kemudian meneruskan rangsangan itu ke pusat sensorik pendengaran di otak melalui saraf
pusat yang ada di lobus temporalis (Tortora, 2009).
Gangguan Pendengaran
Ada 3 macam gangguan pendengaran yaitu gangguan pendengaran karena konduksi (tuli
konduksi), gangguan pendengaran sensorineural, gangguan pendengaran campuran.
a) Gangguan pendegaran konduksi, dimana vibrasi suara tidak dapat mencapai telinga
bagain tengah. Tuli semacam ini sifatnya hanya sementara oleh karena adanyaa
malam/wax/serumen atau adanya cairan di dalam telinga tengah. Apabila tuli konduksi
tidak pulih kembali dapat menggunakan Hearing aid (alat pembantu pendengaran).
Pada gangguan pendengaran jenis ini, transmisi gelombang suara tidak dapat mencapai
telinga dalam secara efektif. Ini disebabkan karena beberapa gangguan atau lesi pada
kanal telinga luar, rantai tulang pendengaran, ruang telinga tengah, fenestra ovalis,
fenestra rotunda, dan tuba auditiva. Pada bentuk yang murni (tanpa komplikasi)
biasanya tidak ada kerusakan pada telinga dalam, maupun jalur persyarafan
pendengaran nervus vestibulokoklearis (N.VIII) (Lalwani, 2008). Gejala yang ditemui
pada gangguan pendengaran jenis ini adalah seperti berikut:
1. Ada riwayat keluarnya carian dari telinga atau riwayat infeksi telinga
sebelumnya.
2. Perasaan seperti ada cairan dalam telinga dan seolah-olah bergerak dengan
perubahan posisi kepala.
3. Dapat disertai tinitus (biasanya suara nada rendah atau mendengung).
4. Bila kedua telinga terkena, biasanya penderita berbicara dengan suara lembut
(soft voice) khususnya pada penderita otosklerosis.
5. Kadang-kadang penderita mendengar lebih jelas pada suasana ramai.
Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi, dijumpai ada sekret dalam kanal telinga luar,
perforasi gendang telinga, ataupun keluarnya cairan dari telinga tengah. Kanal telinga
luar atau selaput gendang telinga tampak normal pada otosklerosis. Pada otosklerosis
terdapat gangguan pada rantai tulang pendengaran (Lalwani, 2008).
b) Gangguan Pendengaran Jenis Sensorineural
Gangguan pendengaran jenis ini umumnya irreversibel. Gejala yang ditemui pada
gangguan pendengaran jenis ini adalah seperti berikut:
1. Bila gangguan pendengaran bilateral dan sudah diderita lama, suara percakapan
penderita biasanya lebih keras dan memberi kesan seperti suasana yang tegang
dibanding orang normal. Perbedaan ini lebih jelas bila dibandingkan dengan suara
yang lembut dari penderita gangguan pendengaran jenis hantaran, khususnya
otosklerosis.
2. Penderita lebih sukar mengartikan atau mendengar suara atau percakapan dalam
suasana gaduh dibanding suasana sunyi.
3. Terdapat riwayat trauma kepala, trauma akustik, riwayat pemakaian obat-obat
ototoksik, ataupun penyakit sistemik sebelumnya (Soetirto, 2001).
Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi, kanal telinga luar maupun selaput gendang
telinga tampak normal. Pada tes fungsi pendengaran, yaitu tes bisik, dijumpai penderita
tidak dapat mendengar percakapan bisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar
kata-kata yang mengundang nada tinggi (huruf konsonan) (Soetirto, 2001). Pada tes
garputala Rinne positif, hantaran udara lebih baik dari pada hantaran tulang. Tes Weber
ada lateralisasi ke arah telinga sehat. Tes Schwabach ada pemendekan hantaran tulang
(Soetirto, 2001).
c) Gangguan Pendengaran Jenis Campuran
Gangguan jenis ini merupakan kombinasi dari gangguan pendengaran jenis konduktif
dan gangguan pendengaran jenis sensorineural. Mula-mula gangguan pendengaran
jenis ini adalah jenis hantaran (misalnya otosklerosis), kemudian berkembang lebih
lanjut menjadi gangguan sensorineural. Dapat pula sebaliknya, mula-mula gangguan
pendengaran jenis sensorineural, lalu kemudian disertai dengan gangguan hantaran
(misalnya presbikusis), kemudian terkena infeksi otitis media. Kedua gangguan
tersebut dapat terjadi bersama-sama. Misalnya trauma kepala yang berat sekaligus
mengenai telinga tengah dan telinga dalam (Liston, 1997).
Gejala yang timbul juga merupakan kombinasi dari kedua komponen gejala gangguan
pendengaran jenis hantaran dan sensorineural. Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi
tanda-tanda yang dijumpai sama seperti pada gangguan pendengaran jenis
sensorineural. Pada tes bisik dijumpai penderita tidak dapat mendengar suara bisik
pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata baik yang mengandung nada
rendah maupun nada tinggi. Tes garputala Rinne negatif. Weber lateralisasi ke arah
yang sehat Schwabach memendek (Bhargava, 2002).

Tes Pendengaran
Untuk mengetahui tuli konduksi atau tuli syaraf dapat dilakukan tes pendengaran dengan
mempergunakan:
a) Tes suara berbisik, telinga dapat mendengar suara berbisik dengan tone/nada rendah.
Misalnya suara konsonan, dan paralel: b, p, t, m, n pada jarak 5-10 m. Suara berbisik
dengan nada tinggi mislanya suara desis/sibiland s, z, ch, sh, shel pada jarak 20 m.
b) Tes garputala, untuk mengetahui secara pasti apakah penderita tuli konduksi atau
persepsi, dapat mempergunakan garputala. Frekuensi garputala yang dipakai C128,
C1024, C2048. Ada tiga macam tes yang mempergunakan garputala yakni: tes Weber, tes
Rinne, dan tes Schwabach.
Tes Webber
Garputala C128, digetarkan kemudian diletakkan pada vertex dahi/puncak dahi verteks.

Pada penderita tuli konduktif (disebabkan wax atau


otitis media) akan terdengar terang/baik pada telinga
yang sakit. Misalnya telinga kanan yang terdengar
baik/terang disebut Weber lateralisasi ke kanan.

Gambar 5.3. Sumber: A.G. Likhachov,M.D. (dalam Gabriel, Fisika Kedokteran,


1996, hal 86)

Tes Rinne
tes ini membandingkan antara konduksi melalui
tulang tengkorak dan udara. Garputala digetarkan
(C128) kemudian diletakkan pada prosesus
mastoideus (di belakang telinga), setelah tidak
mendengar getaran lagi garputala dipindahkan di
depan liang telinga; tanyakan apakah masih
mendengarnya.

Gambar 5.4. Sumber: A.G. Likhachov,M.D. (dalam Gabriel, Fisika Kedokteran, 1996, hal 86)

Normal :
Konduksi melalui udara 85-90 detik. Konduksi melalui tulang 45 detik.
Tes Rinne positif (Rinne +) :
Pendengaran penderita baik juga pada penderita tuli persepsi (saraf)
Tes Rinne negatif (Rinne -)
Pada penderita tuli konduksi dimana jarak waktu konduksi tulang mungkin sama atau
bahkaan lebih panjang
Tes Schwabach
Tes ini membandingkan jangka waktu konduksi tulang melalui verteks atau prosesus
mastuideus penderita dengan konduksi tulang si pemeriksa. Cara melakukan tes
Schwabach adalah garputala digetarkan, tangkai garputala diletakkan pada prosesus
mastoideus sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai garputala segera dipindahkan
pada prosesus mastoideus telinga pemeriksa yang pendengarannya normal. Bila pemeriksa
masih dapat mendengar disebut Schwabach memendek, bila pemeriksa tidak dapat
mendengar, pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya, yaitu garputala diletakkan pada
prosesus mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila penderita masih dapat mendengar bunyi
disebut Schwabach memanjang dan bila pasien dan pemeriksa kira-kira sama-sama
mendengarnya disebut Schwabach sama dengan pemeriksa (Liston, 1997). Pada tuli
konduksi, konduksi tulang penderita lebih panjang daripada sipemeriksa. Pada tuli
saraf/persepsi konduksi tulang sangat pendek.

B. Tujuan Praktikum
B.1 Tujuan kegiatan :
a) Memahami perambatan bunyi melalui tulang tengkorak dengan menggunakan
garpu tala.
b) Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi perambatan bunyi melalui tulang
tengkorak dengan menggunakan garpu tala.
B.2 Kompetensi khusus :
a) Mahasiswa dapat menerangkan mekanisme perambatan bunyi melalui tulang
tengkorak dengan menggunakan garpu tala.
b) Mahasiswa dapat menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi perambatan
bunyi melalui tulang tengkorak dengan menggunakan garpu tala.

C. Metode Praktikum
C.1 Jenis kegiatan : Observasi
C.2 Objek pengamatan : -
C.3 Bahan dan Alat :
Untuk melakukan kegiatan ini, praktikan menggunakan alat berupa
a) Garpu tala 426 Hz
b) Arloji/jam tangan

c) Mistar

d) Stopwatch

D. Prosedur Percobaan :
a) Salah satu praktikan 1 menutup telingahn kanan dengan kapas dan kedua mata
dipejamkan.
b) Penguji (praktikan 2) memasang jam tangan di dekat telingan kiri praktikan 1.
Perlahan-lahan jam tangan dijauhkan sampai praktikan 1 tidak mendengar lagi suara
arloji. Mengukur dan mencatat jarak antara arloji dengan telinga kiri praktikan 1.
Kemudian perlahan-lahan arloji di dekatkan lagi sampai praktikan 1 mendengar lagi
suaranya. Mengukur dan mencatat jarak antara arloji dengan telinga kiri praktikan 1.
Mengulangi percobaan di atas sampai 5 kali.
c) Melakukan cara yang sama pada pada praktikan yang sama tetapi yang ditutup telinga
kanan (telinga kiri disumbat dengan kapas), mencatat hasil yang diperoleh pada lembar
kerja.
Pecobaan Rinne
Ketajaman pendengaran dengan garpu tala
a) Menggetarkan garpu tala dan meletakkan di puncak kepala. Mula-mula praktikan 1
mendengar suara garpu tala tersebut keras dan makin lama suara garpu tala tersebut
terdengar semakin lemah dan akhirnya tidak terdengar. Mencatat waktu antara
mendengar sampai tidak mendengar suara lagi.
b) Pada saat praktikan 1 tidak mendengar suara tersebut, dengan segera praktikan 2
memindahkan garpu tala ke dekat atau lubang telinga kanan. Dengan pemindahan
letak itu, maka praktikan 1 mendengar suara garputala lagi. Mencatat waktu antara
praktikan 1 mendengar sampai tidak mendengar lagi di dekat atau di depan lubang
telingan kanan.
c) Mengulangi percobaan tersebut sampai lima kali dan mencatat hasilnya pada lembar
kerja.
d) Melakukan percobaan tersebut untuk telingan kiri dan juga mengulangi
percobaanya sebanyak lima kali. Mencatat frekuensi garpu tala yang dipakai dan
hasil percobaan pada lembar kerja.
e) Membandingkan hasil yang diperoleh antara telingan kanan dan kiri.
Percobaan Weber
a) Praktikan 2 meletakkan pangkal garpu tala yang sudah pangkal garpu tala yang sudah
digetarkan di puncak kepala praktikan 1.
b) Praktikan 1 menutup salah satu lubang telinga luarnya.
c) Praktikan 2 menanyakan kepada praktikan 1 pada telinga mana suara garpu tala
tersebut terdengar lebih keras. Jika ternyata pada telinga yang ditutup suara garpu tala
terdengar lebih keras daripada telinga yangg terbuka maka dikatakan ada lateralisasi.
d) Melakukan percobaan sejenis pada telinga lainnya.
e) Membandingkan hasil yang diperoleh untuk kedua telinga
f) Mengambil kesimpulan dari hasil percobaan tersebut, apakah seseorang tersebut tuli
atau tidak.
E. Hasil Percobaan :

Tabel 1 Hasil Pengamatan Prosedur Kerja C.4

Uswatun Hasanah
No
Telinga Kanan (ditutup) Telinga Kiri (ditutup)
Tidak terdengar Terdengar Tidak Terdengar Terdengar
1. 46 cm 46 cm 60 cm 60 cm
2. 46 cm 45 cm 62 cm 62 cm
3. 47 cm 46 cm 63 cm 61 cm
4. 48 cm 43 cm 66 cm 62 cm
5. 45 cm 43 cm 65 cm 63 cm
Rata-
rata
46,8 cm 44,6 cm 63,2 cm 61,6 cm

Gustin W
No
Telinga Kanan (ditutup) Telinga Kiri (ditutup)
Tidak terdengar Terdengar Tidak Terdengar Terdengar
1. 50 cm 45 cm 65 cm 60 cm
2. 51 cm 46 cm 66 cm 60 cm
3. 52 cm 47 cm 65 cm 61 cm
4. 50 cm 45 cm 63 cm 60 cm
5. 51 cm 46 cm 65 cm 62 cm
Rata-
rata
50,8 cm 45,8 cm 63,2 cm 60,6 cm

Sofyan Dwi N
No
Telinga Kanan (ditutup) Telinga Kiri (ditutup)
Tidak terdengar Terdengar Tidak Terdengar Terdengar
1. 65 cm 65 cm 80 cm 78 cm
2. 62 cm 62 cm 83 cm 78 cm
3. 63 cm 62 cm 80 cm 77 cm
4. 66 cm 65 cm 82 cm 76 cm
5. 65 cm 63 cm 83 cm 77 cm
Rata-
rata
64,2 cm 63 cm 81,6 cm 77,2 cm

Jumriani
No
Telinga Kanan (ditutup) Telinga Kiri (ditutup)
Tidak terdengar Terdengar Tidak Terdengar Terdengar
1. 81 cm 100 cm 95 cm 101 cm
2. 86 cm 105 cm 90 cm 100 cm
3. 89 cm 109 cm 98 cm 107 cm
4. 85 cm 101 cm 96 cm 103 cm
5. 84 cm 104 cm 102 cm 104 cm
Rata-
rata
85 cm 103,9 cm cm cm

Lady Wahyu
No
Telinga Kanan (ditutup) Telinga Kiri (ditutup)
Tidak terdengar Terdengar Tidak Terdengar Terdengar
1. 38 cm 34 cm 36 cm 33 cm
2. 40 cm 33 cm 38 cm 34 cm
3. 38 cm 34 cm 38 cm 33 cm
4. 36 cm 32 cm 35 cm 32 cm
5. 34 cm 30 cm 33 cm 31 cm
Rata-
rata
37,2 cm 32,6 cm 36 cm 32,6 cm

Wulan Ambar
No
Telinga Kanan (ditutup) Telinga Kiri (ditutup)
Tidak terdengar Terdengar Tidak Terdengar Terdengar
1. 36 cm 30 cm 34 cm 34 cm
2. 32 cm 30 cm 33 cm 33 cm
3. 32 cm 33 cm 34 cm 32 cm
4. 36 cm 32 cm 31 cm 31 cm
5. 34 cm 31 cm 31 cm 31 cm
Rata-
rata
34 cm 31,2 cm 32,6 cm 32,2 cm
Anis Setyawati
No
Telinga Kanan (ditutup) Telinga Kiri (ditutup)
Tidak terdengar Terdengar Tidak Terdengar Terdengar
1. 37 cm 33 cm 35 cm 32 cm
2. 36 cm 34 cm 33 cm 31 cm
3. 35 cm 32 cm 36 cm 33 cm
4. 38 cm 31 cm 37 cm 31 cm
5. 37 cm 32 cm 36 cm 32 cm
Rata-
rata
36,6 cm 32,4 cm 35,4 cm 31,8 cm

Yustina Novi
No
Telinga Kanan (ditutup) Telinga Kiri (ditutup)
Tidak terdengar Terdengar Tidak Terdengar Terdengar
1. 34 cm 30 cm 34 cm 33 cm
2. 33 cm 32 cm 33 cm 32 cm
3. 34 cm 33 cm 33 cm 31 cm
4. 32 cm 30 cm 31 cm 30 cm
5. 32 cm 30 cm 31 cm 29 cm
Rata-
rata
33 cm 31 cm 32,4 cm 31 cm

Clara Sri Wahyuni


No
Telinga Kanan (ditutup) Telinga Kiri (ditutup)
Tidak terdengar Terdengar Tidak Terdengar Terdengar
1. 31 cm 30 cm 34 cm 32 cm
2. 30 cm 26 cm 36 cm 34 cm
3. 33 cm 32 cm 34 cm 32 cm
4. 32 cm 30 cm 34 cm 31 cm
5. 33 cm 31 cm 35 cm 32 cm
Rata-
rata
31,8 cm 30 cm 34,6 cm 32,2 cm

Erwin Fertina
No
Telinga Kanan (ditutup) Telinga Kiri (ditutup)
Tidak terdengar Terdengar Tidak Terdengar Terdengar
1. 91 cm 89 cm 130 cm 108 cm
2. 96 cm 92 cm 135 cm 111 cm
3. 92 cm 90 cm 132 cm 109 cm
4. 89 cm 87 cm 128 cm 103 cm
5. 93 cm 95 cm 137 cm 115 cm
Rata-
rata
92,2 cm 90,6 cm 132,4 cm 109 cm

Eka Adyanto
No
Telinga Kanan (ditutup) Telinga Kiri (ditutup)
Tidak terdengar Terdengar Tidak Terdengar Terdengar
1. 117 cm 101 cm 84 cm 81 cm
2. 115 cm 98 cm 87 cm 83 cm
3. 119 cm 104 cm 81 cm 70 cm
4. 121 cm 107 cm 82 cm 81 cm
5. 118 cm 102 cm 88 cm 85 cm
Rata-
rata
118 cm 102,4 cm 83,8 cm 80 cm

Eko Budi Lestari


No
Telinga Kanan (ditutup) Telinga Kiri (ditutup)
Tidak terdengar Terdengar Tidak Terdengar Terdengar
1. 24 cm 10 cm 14 cm 10 cm
2. 41 cm 22 cm 17 cm 15 cm
3. 30 cm 22 cm 22 cm 13 cm
4. 42 cm 21 cm 18 cm 12 cm
5. 24 cm 15 cm 18 cm 11,5 cm
Rata-
rata
cm cm cm cm

No Eka Rachma
Telinga Kanan (ditutup) Telinga Kiri (ditutup)
Tidak terdengar Terdengar Tidak Terdengar Terdengar
1. 18 cm 15 cm 17,1cm 17 cm
2. 16 cm 14 cm 16,1 cm 16,1 cm
3. 16 cm 15 cm 16,1 cm 16,1 cm
4. 17 cm 16 cm 15,1 cm 15,1 cm
5. 17 cm 17 cm 17,1 cm 17,1 cm
Rata-
rata
16,8 cm 15,4 cm 16,3 cm 16,3 cm

Prima Siti Nur


No
Telinga Kanan (ditutup) Telinga Kiri (ditutup)
Tidak terdengar Terdengar Tidak Terdengar Terdengar
1. 13 cm 7 cm 6,5 cm 3,5 cm
2. 7 cm 6 cm 6 cm 1 cm
3. 7,5 cm 6 cm 4 cm 2,5 cm
4. 8 cm 10 cm 4 cm 1 cm
5. 11,3 cm 9,3 cm 6 cm 1 cm
Rata-
rata
cm cm cm cm

Cicilia Agustin
No
Telinga Kanan (ditutup) Telinga Kiri (ditutup)
Tidak terdengar Terdengar Tidak Terdengar Terdengar
1. 4,5 cm 2 cm 6 cm 3 cm
2. 5 cm 5 cm 6 cm 2,5 cm
3. 5 cm 1 cm 6 cm 3 cm
4. 4,5 cm 4 cm 6,5 cm 4 cm
5. 3 cm 2 cm 7 cm 3 cm
Rata-
rata
cm cm cm cm
Luh Mitha Priyanka
No
Telinga Kanan (ditutup) Telinga Kiri (ditutup)
Tidak terdengar Terdengar Tidak Terdengar Terdengar
1. 18 cm 17 cm 16,5 cm 16,5 cm
2. 16 cm 16 cm 16,5 cm 16,5 cm
3. 16 cm 16 cm 15,8 cm 15,8 cm
4. 17 cm 17 cm 15,8 cm 15,8 cm
5. 17 cm 17 cm 15,3 cm 15,8 cm
Rata-
rata
16,8 cm 16,6 cm 16 cm 16,1 cm

Tabel 2 Hasil Percobaan dengan metode Rinne

Uswatun
No Garpu Tala (426 Hz)
Kepala Telinga Kanan Kepala Telinga Kiri
1. 2,5 sekon 6,80 sekon 2,5 sekon 6,90 sekon
2. 2,4 sekon 6,93 sekon 2,4 sekon 7,00 sekon
3. 2,3 sekon 6,35 sekon 2,4 sekon 7,00 sekon
4. 2,2 sekon 6,91 sekon 2,4 sekon 7,10 sekon
5. 2,3 sekon 6,80 sekon 2,3 sekon 6,90 sekon
Rata-rata 2,3 sekon 6,78 sekon 2,4 sekon 7,00 sekon
Kesimpulan Rinne : + Rinne : +

Gustin W
No Garpu Tala (426 Hz)
Kepala Telinga Kanan Kepala Telinga Kiri
1. 3,0 sekon 6,90 sekon 3,0 sekon 6,98 sekon
2. 2,2 sekon 6,83 sekon 3,3 sekon 7,10 sekon
3. 2,6 sekon 6,36 sekon 2,8 sekon 6,50 sekon
4. 2,3 sekon 6,71 sekon 2,7 sekon 6,80 sekon
5. 2,5 sekon 6,80 sekon 3,1 sekon 6,90 sekon
Rerata 2,5 sekon 6,75 sekon 3,0 sekon 6,85 sekon
Kesimpulan Rinne : + Rinne : +

Sofyan Dwi N
No Garpu Tala (426 Hz)
Kepala Telinga Kanan Kepala Telinga Kiri
1. 3,0 sekon 7,10 sekon 3,1 sekon 10,00 sekon
2. 2,3 sekon 7,15 sekon 3,08 sekon 9,10 sekon
3. 2,4 sekon 7,20 sekon 3,10 sekon 9,48 sekon
4. 2,6 sekon 7,30 sekon 2,6 sekon 9,51 sekon
5. 2,5 sekon 7,40 sekon 3,1 sekon 9,60 sekon
Rerata 2,5 sekon 7,23 sekon 3,0 sekon 9,50 sekon
Kesimpulan Rinne : + Rinne : +
Jumriani
No Garpu Tala (512 Hz)
Kepala Telinga Kanan Kepala Telinga Kiri
1. 6,42 sekon 4,19 sekon 4,44 sekon 5,42 sekon
2. 6,79 sekon 4,36 sekon 4,32 sekon 5,02 sekon
3. 6,96 sekon 4,81 sekon 4,98 sekon 5,63 sekon
4. 6,53 sekon 5,02 sekon 4,11 sekon 5,34 sekon
5. 6,21 sekon 4,21 sekon 4,53 sekon 5,76 sekon
Rerata 6,54 sekon 4,55 sekon 4,45 sekon 5,30 sekon
Kesimpulan Rinne : - Rinne : +

Lady Wahyu
No Garpu Tala (426 Hz)
Kepala Telinga Kanan Kepala Telinga Kiri
1. 2,5 sekon 4,8 sekon 2,7 sekon 4,7 sekon
2. 2,7 sekon 4,9 sekon 2,9 sekon 4,8 sekon
3. 2,7 sekon 4,6 sekon 2,6 sekon 4,6 sekon
4. 2,8 sekon 4,8 sekon 2,8 sekon 4,5 sekon
5. 2,7 sekon 4,7 sekon 2,7 sekon 4,7 sekon
Rerata 2,7 sekon 4,72 sekon 2,75 sekon 4,65 sekon
Kesimpulan Rinne : + Rinne : +

Wulan Ambar
No Garpu Tala (426 Hz)
Kepala Telinga Kanan Kepala Telinga Kiri
1. 2,7 sekon 5 sekon 2,8 sekon 4,4 sekon
2. 3 sekon 4,9 sekon 2,9 sekon 4,6 sekon
3. 2,8 sekon 4,8 sekon 3 sekon 4,8 sekon
4. 2,9 sekon 4,7 sekon 2,7 sekon 4,6 sekon
5. 2,7 sekon 4,9 sekon 2,8 sekon 4,5 sekon
Rerata 2,7 sekon 4,87 sekon 2,85 sekon 4,60 sekon
Kesimpulan Rinne : + Rinne : +

Anis Setyawati
No Garpu Tala (426 Hz)
Kepala Telinga Kanan Kepala Telinga Kiri
1. 2,8 sekon 4,8 sekon 2,7 sekon 4,8 sekon
2. 2,9 sekon 4,6 sekon 2,8 sekon 4,6 sekon
3. 2,7 sekon 4,9 sekon 2,7 sekon 4,7 sekon
4. 2,7 sekon 4,7 sekon 2,8 sekon 4,5 sekon
5. 2,8 sekon 4,8 sekon 2,9 sekon 4,6 sekon
Rerata 2,8 sekon 4,7 sekon 2,8 sekon 4,7 sekon
Kesimpulan Rinne : + Rinne : +
Yustina Novi K
No Garpu Tala (426 Hz)
Kepala Telinga Kanan Kepala Telinga Kiri
1. 2,6 sekon 4,8 sekon 2,9 sekon 4,6 sekon
2. 2,9 sekon 4,9 sekon 2,8 sekon 4,6 sekon
3. 2,9 sekon 4,8 sekon 2,8 sekon 4,6 sekon
4. 2,6 sekon 4,6 sekon 2,6 sekon 4,4 sekon
5. 2,8 sekon 4,6 sekon 2,6 sekon 4,2 sekon
Rerata 2,75 sekon 4,7 sekon 2,75 sekon 4,45 sekon
Kesimpulan Rinne : + Rinne : +

Clara Sri Wahyuni


No Garpu Tala (426 Hz)
Kepala Telinga Kanan Kepala Telinga Kiri
1. 2,6 sekon 4,9 sekon 2,6 sekon 4,8 sekon
2. 2,7 sekon 5 sekon 2,5 sekon 4,6 sekon
3. 2,7 sekon 4,8 sekon 2,7 sekon 4,8 sekon
4. 2,8 sekon 4,9 sekon 2,6 sekon 4,9 sekon
5. 2,7 sekon 5 sekon 2,7 sekon 4,9 sekon
Rerata 2,7 sekon 4,9 sekon 2,6 sekon 4,70 sekon
Kesimpulan Rinne : + Rinne : +

Erwin Fertina
No Garpu Tala (512 Hz)
Kepala Telinga Kanan Kepala Telinga Kiri
1. 7,05 sekon 9,03 sekon 7,88 sekon 3,50 sekon
2. 7,12 sekon 9,12 sekon 7,91 sekon 4,02 sekon
3. 7,29 sekon 9,23 sekon 7,90 sekon 3,72 sekon
4. 7,02 sekon 9,01 sekon 7,82 sekon 3,64 sekon
5. 7,18 sekon 8,73 sekon 7,93 sekon 4,05 sekon
Rerata 7,15 sekon 9,13 sekon 7,90 sekon 3,90 sekon
Kesimpulan Rinne : + Rinne : -

Eka Adyanto
No Garpu Tala (512 Hz)
Kepala Telinga Kanan Kepala Telinga Kiri
1. 6,74 sekon 7,12 sekon 7,45 sekon 8,25 sekon
2. 6,52 sekon 7,03 sekon 7,82 sekon 8,46 sekon
3. 6,89 sekon 7,35 sekon 7,61 sekon 8,37 sekon
4. 6,91 sekon 7,06 sekon 7,65 sekon 8,51 sekon
5. 7,12 sekon 7,74 sekon 7,90 sekon 8,49 sekon
Rerata 6,85 sekon 7,23 sekon 7,70 sekon 8,50 sekon
Kesimpulan Rinne : + Rinne : +
Eko Budi L
No Garpu Tala (266 Hz)
Kepala Telinga Kanan Kepala Telinga Kiri
1. 10 sekon 10 sekon 8 sekon 7 sekon
2. 9 sekon 8 sekon 8 sekon 5 sekon
3. 7 sekon 7 sekon 9 sekon 8 sekon
4. 6 sekon 5 sekon 7 sekon 7 sekon
5. 5 sekon 5 sekon 7 sekon 6 sekon
Rerata 7,4 sekon 7 sekon 7,8 sekon 6,6 sekon
Kesimpulan Rinne : - Rinne : -

Eka Rachma
No Garpu Tala (426 Hz)
Kepala Telinga Kanan Kepala Telinga Kiri
1. 3 sekon 5,67 sekon 2,5 sekon 5,56 sekon
2. 2,5 sekon 6,49 sekon 2 sekon 3,56 sekon
3. 2 sekon 4,90 sekon 2,5 sekon 3,32 sekon
4. 3 sekon 4,49 sekon 3,5 sekon 2,67 sekon
5. 2 sekon 5,03 sekon 3,5 sekon 3,07 sekon
Rerata 2,5 sekon 7,23 sekon 3,0 sekon 9,50 sekon
Kesimpulan Rinne : + Rinne : +

Prima Siti
No Garpu Tala (264 Hz)
Kepala Telinga Kanan Kepala Telinga Kiri
1. 5 sekon 4 sekon 5 sekon 3 sekon
2. 5 sekon 4 sekon 6 sekon 5 sekon
3. 5 sekon 5 sekon 6 sekon 3 sekon
4. 7 sekon 3 sekon 5 sekon 3 sekon
5. 5 sekon 4 sekon 5 sekon 5 sekon
Rerata 5,4 sekon 4 sekon 5,4 sekon 3,8 sekon
Kesimpulan Rinne : - Rinne : -

Cicilia Agustin
No Garpu Tala (288 Hz)
Kepala Telinga Kanan Kepala Telinga Kiri
1. 10 sekon 10 sekon 8 sekon 7 sekon
2. 9 sekon 8 sekon 8 sekon 5 sekon
3. 7 sekon 7 sekon 9 sekon 8 sekon
4. 6 sekon 5 sekon 7 sekon 7 sekon
5. 5 sekon 5 sekon 7 sekon 6 sekon
Rerata 7,4 sekon 7 sekon 7,4 sekon 6,6 sekon
Kesimpulan Rinne : - Rinne : -
Luh Mitha P
No Garpu Tala (426 Hz)
Kepala Telinga Kanan Kepala Telinga Kiri
1. 3 sekon 5,11sekon 2,5 sekon 5,59 sekon
2. 2 sekon 5,93sekon 4 sekon 5,74 sekon
3. 2,5 sekon 5,36 sekon 3 sekon 5,87 sekon
4. 2,5 sekon 5,07 sekon 2,5 sekon 5,53 sekon
5. 2,5 sekon 5,59 sekon 3 sekon 5,05 sekon
Rerata 2,5 sekon 5,60 sekon 3,0 sekon 5,53 sekon
Kesimpulan Rinne : + Rinne : +

Tabel 3 Hasil Percobaan dengan metode Weber


Nama Probandus Hasil Percobaan
Uswatun H Suara terdengar lebih keras pada telinga yang ditutup
Gustin W Suara terdengar lebih keras pada telinga yang ditutup
Sofyan Dwi N Suara terdengar lebih keras pada telinga yang ditutup
Jumriani Suara terdengar lebih keras pada telinga yang ditutup
Lady Wahyu Suara terdengar lebih keras daripada telinga yang ditutup
Wulan Ambar Suara terdengar lebih keras daripada telinga yang ditutup
Anis Setyawati Suara terdengar lebih keras daripada telinga yang ditutup
Yustina Novi Suara terdengar lebih keras pada telinga yang ditutup
Clara Sri Wahyuni Suara terdengar lebih keras pada telinga yang ditutup
Erwin Fertina Suara terdengar lebih keras pada telinga yang ditutup
Eka Adyanto Suara terdengar lebih keras pada telinga yang ditutup
Eko Budi Lestari Suara terdengar lebih keras pada telinga yang ditutup
Eka Rachma Suara terdengar lebih keras pada telinga yang tidak ditutup,
namun suara terdengar lebih lama pada telinga yang ditutup
Prima Siti Nur Suara terdengar lebih keras pada telinga yang ditutup
Cicilia Agustin Suara terdengar lebih keras pada telinga yang ditutup
Luh Mitha P Suara terdengar lebih keras pada telinga yang tidak ditutup,
namun suara terdengar lebih lama pada telinga yang ditutup

F. Pembahasan
Praktikum ini dilakukan dengan tujuan untuk memahami perambatan bunyi
melalui tulang tengkorak dengan menggunakan garpu tala, serta mengetahui faktor-
faktor yang mempengaruhi perambatan bunyi melalui tulang tengkorak. Pengujian
dilakukan dengan 2 macam tes; yaitu tes Rinne dan tes Weber. Sebelum dilakukan tes
tersebut probandus diuji kepekaan telinganya dengan diberikan tes bisik menggunakan
suara detak jam tangan atau arloji. Pengujian dilakukan dengan mencatat jarak ketika
arloji tidak terdengar saat dijauhkan perlahan dari telinga, dan jarak ketika suara arloji
terdengar kembali ketikda didekatkan ke telinga. Pengujian tersebut dilakukan
bergantian pada telinga kanan maupun kiri. Semakin jauh jarak yang tercatat
menunjukkan tingkat kepekaan telinga. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa
tingkat kepekaan yang paling tinggi dan paling rendah pada telinga kanan berturut-turut
adalah probandus Eka A dan Cicilia A. Sedangkan tingkat kepekaan yang paling tinggi
pada telinga kiri adalah probandus Eka A dan tingkat kepekaan paling rendah pada
telinga kiri pada probandus Prima Siti.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil tingkat kepekaan telinga tersebut antara
lain human error dari praktikan, kondisi lingkungan yang kurang hening sehingga
meng-intervensi suara arloji yang didengar, atau juga dimungkinkan karena memang
adanya gangguan pendengaran. Ada dua macam gangguan hilang pendengaran yaitu
karena tuli konduksi atau karena tuli syaraf/sensoriurneal. Untuk mengetahui tuli
konduksi atau tuli syaraf dilakukan tes pendengaran Rinne dan Weber.
Cara melakukan tes Rinne adalah penala digetarkan, tangkainya diletakkan di
prosesus mastoideus. Setelah tidak terdengar penala dipegang di depan teling kira-kira
2 ½ cm. Bila masih terdengar disebut Rinne positif. Bila tidak terdengar disebut Rinne
negatif (Guyton, 2007). Berdasarkan tabel 2 Tes Rinne diketahui bahwa dari 16
probandus, 12 individu Rinne (+) dan 4 individu Rinne (-) pada telinga kanan.
Sedangkan pada telinga kiri terdapat 12 individu Rinne (+) dan 4 individu Rinne (-).
Pada penderita Rinne (-) ditandai dengan adanya tuli konduksi dimana jarak waktu
konduksi tulang mungkin sama atau lebih panjang. Sedangkan penderita Rinne (+)
pendengaran penderita baik juga pada penderita tuli persepsi (syaraf).
Sedangkan cara melakukan tes Weber adalah penala digetarkan dan tangkai
garputala diletakkan di garis tengah kepala (di vertex, dahi, pangkal hidung, dan di
dagu). Apabila bunyi garputala terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut
Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat dibedakan ke arah teling mana
bunyi terdengar lebih keras disebut Weber tidak ada lateralisasi (Liston, 1997).
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa dari 16 probandus semua
individu mengalami lateralisasi yang ditandai dengan suara garputala terdengar lebih
keras pada telinga yang di tutup daripada telinga yang terbuka berdasarkan tes Weber.
Untuk percobaan Rinne, semua mahasiswa waktu mendengar bunyi garputala lewat
konduksi udara lebih lama dibandingkan dengan konduksi lewat tulang. Serta untuk
percobaan Weber semua mahasiswa menyatakan bahwa untuk telinga yang ditutup
suara yang didengar jauh lebih keras dibandingkan dengan telinga yang terbuka. Hal
ini dikarenakan tidak semua gelombang suara yang masuk ke dalam telinga akan
ditransmisikan, sebagian di pantulkan kembali, sehingga ketika telinga ditutup maka
suara yang dipantulkan akan kembali masuk ke dalam telinga mengakibatkan suara
yang didengan lebih keras.
Berdasarkan hasil praktikum, diketahui bahwa kemampuan mendengar setiap
individu berbeda. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh faktor internal maupun faktor
eksternal. Faktor internal dapat berupa kerusakan pada organ pendengaran pada telinga
ataupun faktor usia dan faktor eksternal dapat berupa banyaknya sumber bunyi yang
masuk ke telinga sehingga sumber suara yang ingin kita dengar tidak maksimal dapat
didengar. Pada percobaan ini kesulitan yang dirasakan adalah praktikan sulit
mengambil data secara akurat karena data pada kegiatan ini akan lebih akurat apabila
dilakukan pada ruangan yang kedap suara, sedangkan ruangan tempat yang dipakai oleh
praktikan sangat banya faktor eksternal (ribut/banyak suara lain) yang mepengaruhi
percobaan.

G. Kesimpulan :
a) Kemampuan individu mendengar suatu sumber bunyi yang menjauh akan kebih lama
didengar (jarak bunyi yang dapat didengar lebih jauh) dibandingkan dengan sumber
bunyi yang mendekat (jarak yang dapat didengar lebih pendek).
b) Percobaan Rinne dikatakan positif apabila suatu sumber bunyi dekat didengar dengan
telinga dan hal tersebut akan menyebabkan suara terdengar jelas dan dapat didengar
dalam waktu yang lama. Sebaliknya dikatakan negatif apabila sumber suaranya jauh
dan hanya sebentar saja dapat didengar oleh telinga.
c) Banyaknya suara yang masuk secara bersamaan pada telinga menyebabkan interpretasi
terhadap bunyi tidak jelas. Sehingga bunyi akan lebih dapat didengar apabila telinga
ditutup. Hal ini disebabkan suara tersebut merambat langsung melalui tulang
tengkorak.
H. Daftar Pustaka

Campbell, Neil A., Reece, J.B., & Mitchell, L.G. 2000. Biologi, Edisi Kelima-Jilid 3.
(Terjemahan Wasmen Manalu). Jakarta: Erlangga.

Djukri dan Heru N. 2015. Petunjuk Praktikum Biologi Lanjut. Yogyakarta: PPs UNY.

Gabriel. (1996). Fisika Kedokteran. Jakarta: Buku Kedokteran EGC


Guyton, A.C., dan Hall, J.E., 2007. The Sense of Hearing Dalam: Textbook of Medical
Physiology. 11th ed. India: Saunders Elsevier: 651-662.

Guyton,A.C & Hall, J.E., 1997. Human Phsygology and Mechanism od Diases.
Philadelphia: Elsevier Sauders.

Lalwani, A.K., 2008. Disoreders of Smell, Taste and Hearing Dalam: Harrison’s
Principle of Internal Medicine. 17th ed. US: Mc Graw Hill: 199-204.

Liston, S.L., dan Duvall, A.J., Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Telinga. Dalam: Adams,
G.L., Boie, Jr., dan Highler, P.A., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta:
EGC Penerbit Buku Kedokteran.

Syaifuddin. 2009. Fisiologi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta:


Salemba Medika.

Tortora, G.J., dan Derrickson, B.H., 2009. Principles of Anatomy and Physiology. 12th ed.
Asia: John Wiley and Sons, Inc: 620-628.

Anda mungkin juga menyukai