Esotropia Makalah
Esotropia Makalah
EPIBLEFARON
Oleh:
Azora Khairani Kartika, S.Ked
04054821820119
Pembimbing:
dr. H. E. Iskandar, Sp.M(K), MARS
Oleh:
Azora Khairani Kartika, S.Ked
04054821820119
Telaah Ilmiah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 13 Agustus 2018 s.d. 16 September 2018.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan berkat-
Nya, Telaah ilmiah yang berjudul “Epiblefaron” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Telaah
ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik senior di
Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada dr. H. E. Iskandar, Sp.M(K),
MARS atas bimbingan dalam telaah ilmiah ini sehingga laporan yang dibuat menjadi lebih
baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan telaah ilmiah ini.
Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk penulisan
yang lebih baik di masa yang akan datang.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
DAFTAR GAMBAR
v
BAB I
PENDAHULUAN
Palpebra merupakan salah satu struktur eksternal mata yang terdiri dari susunan
kulit halus dan tipis pada bagian depan, sedangkan bagian belakang ditutupi selaput lendir
tarsus. Palpebra berfungsi untuk melindungi bola mata dari masuknya benda asing,
melindungi cahaya selama tidur, serta membantu pergerakan air mata untuk menjaga
kelembaban kornea dengan mengeluarkan sekresi kelenjar yang membentuk film air mata
di depan kornea (Ilyas dan Yulianti, 2015).
Walaupun palpebra memiliki fungsi sebagai pelindung bola mata, namun dapat
juga ditemukan gangguan pada palpebra, baik gangguan kongenital, infeksi, inflamasi,
neoplastik atau trauma. Salah satu gangguan kongenital pada palpebra adalah epiblefaron.
Epiblefaron ialah keadaan dimana m. orbicularis dan kulit palpebra inferior berada di atas
margo palpebra inferior dan membentuk lipatan horizontal, sehingga mendorong bulu mata
mengarah ke bola mata dengan posisi kelopak mata yang normal. Selain itu, epiblefaron
juga dapat diartikan sebagai suatu kelainan kongenital bilateral di mana m. lamela pada kulit
margo palpebra bagian anterior berada di atas margo palpebra yang menyebabkan bulu mata
mengarah ke dalam bola mata (Shin, et al., 2017)
Etiologi epiblefaron bervariasi, meliputi perkembangan yang buruk dari otot
retraktor palpebra, kegagalan adhesi otot retraktor ke kulit, serta penempelan yang lemah
antara otot orbikularis dan kulit ke tarsus. Hal-hal tersebut menyebabkan kulit dan otot
terlipat ke atas, sehingga bulu mata mengarah ke bola mata dan dapat menyentuh serta
mengiritasi kornea. Gejala yang muncul juga beragam, mulai dari asimptomatik, rasa
mengganjal, gatal, perih, mata merah, berair, hingga fotofobia. Keparahan gejala tergantung
dari jumlah dan ketebalan bulu mata. Apabila bulu mata pasien cenderung banyak dan tebal,
maka gejala yang ditimbulkan akan semakin parah (Kim, et al., 2014).
Epiblefaron sering ditemukan pada anak-anak di Asia Timur (Cina, Korea, dan
Jepang) yaitu sebanyak 12,6% pada rentang usia 7-14 tahun. Penelitian retrospektif di
Singapura menunjukkan rata-rata usia pasien epiblefaron adalah 9 tahun dan 51,9% dari
total 108 pasien adalah laki-laki. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa 90,7% pasien
memiliki epiblefaron bilateral dan 70,5% epiblefaron terjadi di palpebra inferior. Dari
seluruh pasien yang diteliti, 82,4% diantaranya memiliki keratopati (Sundar, et al., 2010).
1
Adanya kecenderungan terjadinya epiblefaron pada penduduk Asia, terutama ras
Mongoloid mendorong penulis untuk menggali lebih dalam mengenai epiblefaron,
mengingat di Indonesia, terutama kota Palembang memiliki penduduk beragam termasuk
golongan ras Mongoloid. Penulisan telaah ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui dan
mempelajari lebih dalam mengenai epiblefaron, sehingga apabila didapatkan kasus tersebut
maka dokter umum mampu menegakkan diagnosis secara klinis dan melakukan rujukan agar
penderita dapat diberikan tatalaksana yang akurat.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Kulit
Kulit pada palpebra lebih tipis, longgar dan elastis dibandingkan kulit pada bagian lain
dari tubuh, dengan sedikit folikel rambut namun tidak memiliki jaringan subkutan. Kulit pada
palpebra dapat menjadi longgar seiring bertambahnya usia akibat gerakan konstan
pada setiap kedipan mata. Pada kedua kelopak mata jaringan pretarsal melekat kuat ke
jaringan dibawahnya, dimana jaringan preseptal kurang kuat melekat, sehingga dapat
menjadi tempat akumulasi dari cairan. Kontur dari kulit kelopak mata dibatasi oleh
lipatan kelopak mata dan garisnya. Lipatan kelopak mata merupakan tempat
melekatnya aponeurosis dari otot levator ke jaringan pretarsal dan kulit (Jane, 2005).
3
2.1.2. Otot Protaktor
Otot orbikularis okuli merupakan otot protraktor utama dari kelopak mata.
Kontraksi otot ini diinervasi oleh nervus VII yang akan menyempitkan fisura palpebra.
Otot orbikularis dibagi menjadi pretarsal, preseptal dan orbital. Bagian pretarsal dan
preseptal berkaitan dengan pergerakan involunter dari kelopak mata (berkedip)
sedangkan bagian orbital dikaitkan dengan kedipan mata secara sadar atau paksa
(Jane, 2005)
Bagian pretarsal dari otot orbicularis palpebra superior dan inferior memiliki
origo profunda pada sistem lakrimal posterior dan origo superfisial pada tendon dari
kantus medial. Pada daerah dekat kanalikulus, bagian pangkal dari otot orbicularis
pars pretarsal bersatu membentuk anyaman serat yang disebut otot Horner, yang
berjalan dari belakang tendon pada kantus medial. Otot pretarsal superior dan inferior
kemudian bersatu pada sisi kantus lateral membentuk tendon kantus lateral (Jane,
2005)
Orbikularis preseptal terletak mulai dari sisi atas dan bawah dari tendon kantus
medial. Pada kelopak mata atas, otot preseptal memiliki ujung anterior dari tendon
utama dan ujung posterior baik dari tendon pada sisi superior dan posterior. Pada sisi
lateral, otot preseptal membentuk palpebra lateral raphe (American Academy of
Opthalmology, 2018).
4
2.1.3. Septum Orbita
Septum orbita adalah jaringan fibrosa tipis dan berlapis-lapis yang berasal dari
periosteum di atas pinggiran kavum orbita superior dan inferior pada arcus marginalis.
Pada palpebra superior, septum oribita bersatu dengan aponeurosis levator 2-5 mm
diatas tepi tarsus superior. Pada palpebral inferior, septum orbita bersatu dengan fascia
capsulopalpebra atau tepat dibawah tepi tarsus inferior. Septum orbita yang bersatu
dengan capsulopalpebra dan otot tarsus inferior menutupi permukaan tarsus posterior
dan anterior. Seiring dengan bertambahnya usia, septum kedua palpebra menipis.
Penipisan septum dan kelenturan otot orbikularis dapat menyebabkan herniasi lemak
orbita anterior pada usia lanjut (American Academy of Opthalmology, 2018).
5
oleh percabagan superior dari nervus III, yang juga mempersarafi otot rektus superior
(American Academy of Opthalmology, 2018).
Musculus muller berorigo di bawah aponeurosis levator, kira-kira setinggi
ligamentum whitnall, 12-44 mm di atas tepi tarsus superior. Otot ini secara simpatis
menginervasi otot halus yang berada di sepanjang tarsus superior palpebral di daerah
inferior. Otot ini menyebabkan elevasi 2 mm dari palpebral superior, yang apabila
terganggu maka dapat menyebabkan ptosis ringan (sindrom Horner). Musculus muller
menempel kuat dengan konjungtiva posterior, tepatnya diatas tarsus superior (Jane,
2005)
Fascia capsulopalpebral di palpebra inferior analog dengan aponeurosis levator
pada palpebra superior. Fascia beriorigo di pangkal capsulopalpebra dari perlengketan
serat otot terminal di daerah inferior otot rectus. Fascia capsulopalpebra membentang
dari daerah anterior sampai konjungtiva forniks inferior. Otot tarsus inferior di
palpebral inferior analog dengan m. muller (Jane, 2005).
2.1.6. Tarsus
Tarsus merupakan jaringan ikat padat dan kuat yang berfungsi sebagai
penunjang palpebra. Panjang tarsus palpebra superior sekitar 10-12 mm secara vertikal
dari tengah palpebra. Panjang maksimum tarsus palpebra inferior sekitar 4 mm. Tarsus
memiliki perlekatan kuat dengan periosteum melalui tendon kantus, baik medial
maupun lateral. Tarsus ini dapat bergeser secara horizontal seiring bertambahnya usia
6
dengan peregangan dari tendon lateral dan medial. Tarsus memiliki ketebalan sekitar
1 mm dan makin menipis pada sisi medial dan lateral sampai mencapai tendon cantus.
Dalam tarsus terdapat kelenjar meibom yaitu kelenjar sebasea holokrin (American
Academy of Ophtalmology, 2018).
7
Gambar 5. Anatomi margo palpebra
(Sumber: Ophtalmology at a Glance: External Eye and Anterior Segment, 2005)
8
2.2 Epiblefaron
2.2.1 Definisi
Epiblefaron ialah keadaan dimana m. orbicularis dan kulit palpebra inferior
berada di atas margo palpebra inferior dan membentuk lipatan horizontal,
sehingga mendorong bulu mata mengarah ke bola mata dengan posisi kelopak
mata yang normal. Selain itu, epiblefaron juga dapat diartikan sebagai suatu
kelainan kongenital bilateral di mana m. lamela pada kulit margo palpebra bagian
anterior berada di atas margo palpebra yang menyebabkan bulu mata mengarah
ke dalam bola mata (Shin, et al., 2017).
2.2.2 Epidemiologi
Epiblefaron sering ditemukan pada anak-anak di Asia Timur (Cina, Korea,
dan Jepang) yaitu sebanyak 12,6% pada rentang usia 7-14 tahun. Penelitian
retrospektif di Singapura menunjukkan rata-rata usia pasien epiblefaron adalah 9
tahun dan 51,9% dari total 108 pasien adalah laki-laki. Penelitian tersebut juga
menunjukkan bahwa 90,7% pasien memiliki epiblefaron bilateral dan 70,5%
epiblefaron terjadi di palpebra inferior. Dari seluruh pasien yang diteliti, 82,4%
diantaranya memiliki keratopati (Sundar, et al., 2010).
2.2.3 Patogenesis
Etiologi epiblefaron belum diketahui secara pasti. Walaupun demikian,
epiblefaron dianggap sebagai suatu kelainan kongenital, dimana terdapat defek
anatomis yang diyakini sebagai akibat kegagalan adhesi otot retraktor pada
palpebra inferior dengan lamela anterior yang menyebabkan kulit dan otot terlipat
ke atas (Shin, et al., 2017).
Otot retraktor kelopak mata bawah adalah struktur belapis ganda. Lapisan
anterior berasal dari ligament lockwood menyatu dengan septum orbita dan
jaringan submuskular fibrosa dan melekat pada permukaan anterior lempeng
tarsal inferior dan lapisan subkutaneus melalui otot orbikularis okuli. Lapisan
posterior adalah lapisan traksi utama pada retraktor kelopak mata bawah,
termasuk serat otot halus dan masuk ke permukaan anterior, inferior, dan posterior
lempeng tarsal inferior. Karena lempeng tarsal tidak menggulung ke dalam,
namun tetap pada posisi normal, sehingga pada epiblefaron, lapisan posterior
9
tidak terlalu memegang peranan yang signifikan dalam proses terjadinya
epiblefaron, dan diyakini bahwa faktor utama terjadinya epiblefaron adalah
lapisan anterior otot retraktor palpebra inferior (Kim, et al., 2014).
Faktor lain yang diduga sebagai penyebab epiblefaron adalah lemahnya
perlekatan antara otot orbikularis okuli pars tarsalis dan tarsus yang berada di
bawah kulit, sehingga menyebabkan terbentuknya lipatan kulit dekat margo
palpebra dan mendorong bulu mata ke arah kornea. Hal-hal tersebut
menyebabkan kulit dan otot terlipat ke atas, sehingga bulu mata mengarah ke bola
mata dan dapat menyentuh serta mengiritasi kornea (Sundar, et al., 2010).
10
Gambar 7. Epiblefaron bilateral
(Sumber: Hindawi Journal of Ophthalmology, 2014)
2.2.5 Diagnosis
Penegakan diagnosis epiblefaron dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan
fisik pada kelopak mata.
2.2.5.1 Anamnesis
Pada epiblefaron yang disebabkan kelainan kongenital, dalam
anamnesis dapat digali informasi mengenai perkembangan penyakit
tersebut. Keluhan utama yang membawa pasien datang berobat yaitu
adanya rasa mengganjal (seperti adanya benda asing). Keluhan lainnya
dapat berupa adanya kotoran mata, fotofobia, hiperlakrimasi, penurunan
tajam penglihatan, kebiasaan sering mengucek mata, gatal dan sering
berkedip (Kim, 2014).
2.2.5.2 Pemeriksaan Fisik
Epiblefaron adalah abnormalitas perkembangan palpebra yang
ditandai dengan adanya lipatan kulit tambahan dan adanya peregangan
otot orbikularis okuli pada pars tarsalis yang melewati dan saling
tumpang tindih dengan margo palpebra. Maka melalui inspeksi, dapat
dilihat ketika silia yang normal mengarah ke depan, karena adanya
epiblefaron, maka silia akan mengarah ke kornea. Selain itu, karena
epiblefaron mendorong silia ke arah kornea dan/atau konjungtiva, pada
pemeriksaan fisik biasanya dapat ditemukan gejala-gejala berupa iritasi
konjungtiva atau kornea, mata merah, dan epifora (Kim, 2014).
11
Gambar 8. Epiblefaron tampak depan dan samping
(Sumber: Hindawi Journal of Ophthalmology, 2014)
12
2.2.6.2 Distikiasis
Distikiasis berasal dari kata “di” yang berarti dua dan “stichos” yang
berarti baris. Distikiasis merupakan suatu kelainan di mana terdapat sebaris
bulu mata tambahan yang berasal dari orifisium glandula Meibom. Hal ini
disebabkan oleh adanya pembentukan bulu mata abnormal pada apparatus
pilosebasea Meibom. Kelainan ini dapat bersifat acquired (didapat) maupun
kongenital (autosomal dominan) dan jarang ditemukan. Glandula Meibom
dapat tidak berkembang sempurna, atrofi, maupun normal. Silia pada
distikiasis umumnya lebih halus, lebih pendek, dan memiliki pigmen yang
kurang (Jeffrey, 2008).
13
2.2.6.3 Trikiasis
Trikiasis adalah suatu kondisi yang didapat (acquired) di mana bulu
mata terputar ke arah bola mata. Pada trikiasis, bulu mata tumbuh secara
abnormal, ditandai dengan adanya satu atau lebih silia palpebra superior
atau inferior yang terbalik ke dalam. Bulu mata ini dapat sangat halus, tipis,
dam tidak berpigmen (rambut lanugo), dan hanya dapat dilihat secara
mikroskopis. Pada beberapa ras, trikiasis pada pada palpebra inferior
umumnya tumbuh dekat pungtum. Pada kebanyakan kasus, trikiasis terjadi
sebagai akibat proses penuaan pada kelopak mata, dan tidak terdapat
penyakit yang mendasari (Jeffrey, 2008).
Pada trikiasis, bulu mata berada pada arah yang salah setelah tumbuh
melalui folikel, baik melalui glandula meibom maupun melalui area pada
kelopak mata atau konjungtiva yang normalnya bebas dari pertumbuhan
bulu mata. Pada trikiasis, margo palpebra dan barisan bulu mata berada pada
posisi yang normal (hanya bulu mata yang terputar ke dalam mengenai
kornea), sedangkan pada entropion, palpebra terbalik ke arah dalam
sehingga bulu mata menggesek bola mata. Pasien biasa mengeluhkan
adanya sensasi benda asing dalam mata dan iritasi permukaan okular kronik.
Abrasi kornea, injeksi konjungtiva, secret mukoid, dan epifora biasa
ditemukan pada trikiasis. Pada kasus yang berat, ulkus kornea yang nyata
dapat terlihat (Jeffrey, 2008).
14
Gambar 12. Perbandingan epiblefaron, entropion, distikiasis dan trikiasis
(Sumber: Rapid Diagnosis in Ophtalmology, Elsevier, 2008)
2.2.7 Tatalaksana
Pada banyak kasus, epiblefaron akan sembuh dengan spontan seiring
bertambahnya usia, umumnya pada usia enam atau tujuh tahun ketika tulang
wajah mengalami perkembangan. Tatalaksana dilakukan apabila ditemukan
gejala iritasi, yaitu dengan pemberian lubrikasi topikal yang dapat mengurangi
gejala. Akan tetapi, lubrikasi topikal tidak melembutkan bulu mata, hanya
mengurangi gejala iritasi karena gesekan bulu mata (Hwang, 2008).
15
Indikasi intervensi operasi meliputi konjungtivitis kronik, keratopati disertai
lakrimasi dan fotofobia, kebiasaan mengucek mata akibat gatal yang
mengganggu, sering berkedip, serta apabila gejala masih menetap hingga usia di
atas sembilan tahun. Adapun tujuan operasi ialah untuk menciptakan perlekatan
atau adhesi antara lamela anterior dengan retraktor palpebra inferior yang dapat
mendesak silia palpebra inferior sehingga membalikkan kembali arahnya agar
tidak mengarah ke dalam (Hwang, 2008).
Prosedur operasi secara kosmetik meliputi insisi kulit di bawah bulu mata
(insisi subsiliar), eksisi sejumlah kecil kulit dan otot orbikularis okuli pars tarsalis,
dan kemudian fiksasi kulit yang berbantal silia ke bawah tarsus dengan eversi
(prosedur Hotz yang dimodifikasi). Tingkat kesuksesan teknik ini adalah sebesar
90%. Prosedur ini biasanya membutuhkan waktu 30 menit untuk setiap palpebra
dan dilakukan dibawah anestesi umum untuk anak-anak. Namun, terdapat angka
rekurensi sebesar 4,9% hingga 23% dengan teknik ini. Untuk mengurangi
rekurensi, dilakukan penambahan teknik, yaitu membagi margo palpebra (lid
margin splitting technique) pada operasi koreksi epiblefaron. Prosedur ini
meliputi eksisi kulit dan otot dan teknik penjahitan kulit silia (a cilia everting
suture technique) (Hwang, 2008)
Teknik operasi Hotz yang dimodifikasi dapat dilakukan dengan membuat
sebuah garis insisi kulit subsiliaris digambar secara horizontal dari temporal
hingga pungtum inferior sesuai sepanjang lebar kelopak mata, 1mm di bawah
garis silia. Infiltrasi local lidokain 2% dicampur epinefin dengan rasio 1:100.000
diberikan secara subkutan sepanjang garis yang digambar. Setelah persiapan tadi,
palpebra superior di tarik ke atas dengan menggunakan penjahitan traksi dengan
benang silk 4-0 untuk menghindari kekaburan margo palpebra inferior oleh silia
superior. Pembelahan margo palpebra dilakukan pertama kali. Insisi sedalam 1
mm dibuat sepanjang grey line dengan pisau skalpel nomor 15 setelah menahan
palpebra inferior dengan forsep kalazion. Pemebedahan dilakukan mulai dari
lateral pungtum ke sepertiga atau setengah medial palpebra inferior sesuai dengan
batas garis horizontal epiblefaron. (Hwang, 2008).
16
Gambar 13. Prosedur operasi Hotz yan dimodifikasi
(Sumber: Lid Margin Split in the Surgical Correction in Epiblepharon. Acta Ophtalmol. 2008)
Kulit subsiliaris diinsisi dengan skalpel nomor 15 sepanjang garis yang telah
ditentukan sebelumnya sementara kelopak mata ditahan dengan forsep kalazion.
Kemudian, forsep kalazion diangkat dan diseksi dilakukan secara inferior antara
otot orbikularis dan tarsus menggunakan kauter monopolar hingga margin tarsus
tampak. Otot orbikularis okuli pars tarsalis yang tetap berada di bawah tepi atas
insisi kulit dipotong menggunakan gunting Westcott hingga lempeng tarsal lebih
tampak. Jaringan subkutan pada tepi atas kulit subsiliaris yang diinsisi disatukan
dengan margin tarsus inferior secara interuptus sebanyak lima hingga tujuh
jahitan menggunakan nilon 8-0, memastikan eversi silia ke arah luar. Tepi bawah
kulit yang diinsisi diangkat untuk menutupi tepi kulit atas (yang saat ini dijahit
ke tarsus). Sebuah garis dibuat pada kulit bagian bawah yang tumpang tindih
untuk menyesuaikan dengan tepi luka kulit bagian atas yang berada di bawahnya,
dan kemudian kulit yang berlebih ini dipotong dengan menggunakan gunting
Steven. Kulit lalu ditutup dengan benang 6-0 yang cepat terserap. Setelah itu,
diberikan antibiotic pada luka operasi dan kemudian diberikan kompresi dingin
pada 12 jam pertama postoperasi (Hwang, 2008).
17
2.2.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul akibat epiblefaron adalah akibat adanya
gesekan antara bulu mata dan permukaan bola mata, sehingga dapat menimbulkan
konjungtivitis, keratopati, keratititis, maupun ulkus kornea. Selain itu, komplikasi
yang dapat timbul adalah adanya gangguan refraksi dalam hal ini adalah astigmat
(Kim, 2014). Modifikasi Hotz adalah teknik yang banyak digunakan saat ini,
tetapi terdapat banyak reseksi kulit sehingga dapat menyebabkan ektropion dan
retraksi kelopak mata (Hwang, 2008).
2.2.9 Prognosis
Prognosis epiblepharon adalah baik karena kebanyakan epiblefaron akan
sembuh dengan spontan seiring bertambahnya usia, umumnya pada usia enam
atau tujuh tahun ketika tulang wajah mengalami perkembangan. Jika sudah
dilakukan operasi, operasi kembali jarang dilakukan karena sekali koreksi,
epiblepharon tidak mengalami rekurensi (Hwang, 2008).
18
BAB III
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Opthalmology. Orbit, Eyelids, and Lacrimal System. Basic and
Clinical Science Course 2017-2018, hal 3-18.
Hwang SW., J.H. Kim, N.J. Kim, H.K. Choung. Lid Margin Split in the Surgical Correction
in Epiblepharon. Acta Ophtalmol. 2008;86:87-90.
Ilyas, Sidarta dan S.R. Yulianti. 2015. Ilmu Penyakit Mata, edisi ke-5. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta, hal 1-2.
Jane, Olver LC. External Eye and Anterior Segment. Ophtalmology at a glance.
Massachusetts: Blackwell Science; 2005:25-26.
Jeffrey A., Nered KDC, Mark A. Alford. Rapid Diagnosis in Ophtalmology : Oculoplastic
and Reconstructive Surgery. Jay S D, Marian S. Macsai, editor. England: Mosby
Elsevier; 2008:267.
Jonathan J. Dutton GSG, Alan D. Proia. Diagnostic Atlas of Common Eyelid Disease. New
York: Informa Healthcare; 2007. 265:140-148
Kim J.S., S.W. Jin, M.C. Hur, Y.H. Kwon, W.Y. Ryu, W.J. Jeong, dan H.B. Ahn. The
Clinical Characteristics and Surgical Outcomes of Epiblepharon in Korean
Children: A 9-Year Experience. Hindawi Journal of Ophthalmology, 2014; 105:1-
5.
Netter, Frank H. 2014. Atlas of Human Anatomy, edisi ke-6. Elsevier. San Francisco, hal
128-140.
Shin D.H., Woo K.I., Kim Y.D. Relationship between Lower Eyelid Epiblepharon and
Epicanthus in Korean Children. PLoS ONE 2017; (11):1-9.
Sundar, Gangadhara, S.M. Young, S. Tara, A.M. Tan, S. Amrith. Epiblepharon in East
Asian Patients: The Singapore Experience. American Academy of Ophthalmology.
Elsevier Inc. 2010; 117:184-189.
20