Anda di halaman 1dari 25

Telaah Ilmiah

EPIBLEFARON

Oleh:
Azora Khairani Kartika, S.Ked
04054821820119

Pembimbing:
dr. H. E. Iskandar, Sp.M(K), MARS

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Telaah Ilmiah


Epiblefaron

Oleh:
Azora Khairani Kartika, S.Ked
04054821820119

Telaah Ilmiah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 13 Agustus 2018 s.d. 16 September 2018.

Palembang, Agustus 2018

dr. H. E. Iskandar, Sp.M(K), MARS

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan berkat-
Nya, Telaah ilmiah yang berjudul “Epiblefaron” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Telaah
ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik senior di
Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada dr. H. E. Iskandar, Sp.M(K),
MARS atas bimbingan dalam telaah ilmiah ini sehingga laporan yang dibuat menjadi lebih
baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan telaah ilmiah ini.
Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk penulisan
yang lebih baik di masa yang akan datang.

Palembang, Agustus 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i


HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii
KATAPENGANTAR .............................................................................................. iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN .................................. ................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 3
2.1 Anatomi Palpebra ............................................................................ 3
2.1.1 Kulit .......................................................................................... 3
2.1.2 Otot Protaktor ............................................................................4
2.1.3 Septum Orbita ............................................................................5
2.1.4 Lemak Orbita .............................................................................5
2.1.5 Otot Retraktor ........................................................................... 5
2.1.6 Tarsus ....................................................................................... 6
2.1.7 Konjungtiva Palpebralis ............................................................7
2.1.8 Margo Palpebra .........................................................................7
2.1.9 Kelenjar Meibom ......................................................................8
2.1.10 Sistem Vaskularisasi dan Limfatik .........................................8
2.2 Epiblefaron ....................................................................................... 9
2.2.1 Definisi ..................................................................................... 9
2.2.2 Epidemiologi .............................................................................9
2.2.3 Patogenesis ................................................................................9
2.2.4 Manifestasi Klinis ....................................................................10
2.2.5 Diagnosis ..................................................................................11
2.2.6 Diagnosis Banding ...................................................................12
2.2.7 Tatalaksana .............................................................................. 15
2.2.8 Komplikasi .............................................................................. 18
2.2.9 Prognosis ................................................................................. 18
BAB III KESIMPULAN.........................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA…...........................................................................................20

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi palpebra superior dan inferior ................................................... 3


Gambar 2. M. orbicularis dan pembagiannya ........................................................... 4
Gambar 3. Struktur palpebra dan orbita anterior ....................................................... 6
Gambar 4. Struktur palpebra dari bagian dalam ........................................................ 7
Gambar 5. Anatomi margo palpebra ......................................................................... 8
Gambar 6. Gambaran anatomis epiblefaron .............................................................. 10
Gambar 7. Epiblefaron bilateral ................................................................................ 11
Gambar 8. Epiblefaron tampak depan dan samping .................................................. 12
Gambar 9. Entropion involusional ............................................................................ 12
Gambar 10. Distikiasis .............................................................................................. 13
Gambar 11. Trikiasis ................................................................................................. 14
Gambar 12. Perbandingan epiblefaron, entropion, distikiasis dan trikiasis .............. 15
Gambar 13. Prosedur operasi Hotz yan dimodifikasi ................................................ 17

v
BAB I
PENDAHULUAN

Palpebra merupakan salah satu struktur eksternal mata yang terdiri dari susunan
kulit halus dan tipis pada bagian depan, sedangkan bagian belakang ditutupi selaput lendir
tarsus. Palpebra berfungsi untuk melindungi bola mata dari masuknya benda asing,
melindungi cahaya selama tidur, serta membantu pergerakan air mata untuk menjaga
kelembaban kornea dengan mengeluarkan sekresi kelenjar yang membentuk film air mata
di depan kornea (Ilyas dan Yulianti, 2015).
Walaupun palpebra memiliki fungsi sebagai pelindung bola mata, namun dapat
juga ditemukan gangguan pada palpebra, baik gangguan kongenital, infeksi, inflamasi,
neoplastik atau trauma. Salah satu gangguan kongenital pada palpebra adalah epiblefaron.
Epiblefaron ialah keadaan dimana m. orbicularis dan kulit palpebra inferior berada di atas
margo palpebra inferior dan membentuk lipatan horizontal, sehingga mendorong bulu mata
mengarah ke bola mata dengan posisi kelopak mata yang normal. Selain itu, epiblefaron
juga dapat diartikan sebagai suatu kelainan kongenital bilateral di mana m. lamela pada kulit
margo palpebra bagian anterior berada di atas margo palpebra yang menyebabkan bulu mata
mengarah ke dalam bola mata (Shin, et al., 2017)
Etiologi epiblefaron bervariasi, meliputi perkembangan yang buruk dari otot
retraktor palpebra, kegagalan adhesi otot retraktor ke kulit, serta penempelan yang lemah
antara otot orbikularis dan kulit ke tarsus. Hal-hal tersebut menyebabkan kulit dan otot
terlipat ke atas, sehingga bulu mata mengarah ke bola mata dan dapat menyentuh serta
mengiritasi kornea. Gejala yang muncul juga beragam, mulai dari asimptomatik, rasa
mengganjal, gatal, perih, mata merah, berair, hingga fotofobia. Keparahan gejala tergantung
dari jumlah dan ketebalan bulu mata. Apabila bulu mata pasien cenderung banyak dan tebal,
maka gejala yang ditimbulkan akan semakin parah (Kim, et al., 2014).
Epiblefaron sering ditemukan pada anak-anak di Asia Timur (Cina, Korea, dan
Jepang) yaitu sebanyak 12,6% pada rentang usia 7-14 tahun. Penelitian retrospektif di
Singapura menunjukkan rata-rata usia pasien epiblefaron adalah 9 tahun dan 51,9% dari
total 108 pasien adalah laki-laki. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa 90,7% pasien
memiliki epiblefaron bilateral dan 70,5% epiblefaron terjadi di palpebra inferior. Dari
seluruh pasien yang diteliti, 82,4% diantaranya memiliki keratopati (Sundar, et al., 2010).

1
Adanya kecenderungan terjadinya epiblefaron pada penduduk Asia, terutama ras
Mongoloid mendorong penulis untuk menggali lebih dalam mengenai epiblefaron,
mengingat di Indonesia, terutama kota Palembang memiliki penduduk beragam termasuk
golongan ras Mongoloid. Penulisan telaah ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui dan
mempelajari lebih dalam mengenai epiblefaron, sehingga apabila didapatkan kasus tersebut
maka dokter umum mampu menegakkan diagnosis secara klinis dan melakukan rujukan agar
penderita dapat diberikan tatalaksana yang akurat.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Palpebra


Palpebra terdiri dari lapisan luar dan dalam. Lapisan luar terdiri dari kulit, kelenjar
Moll, kelenjar Zeiss, otot protaktor (m. orbicularis oculi), dan otot retraktor (m. levator
palpebra dan m. muller). Lapisan dalam terdiri dari lapisan tarsal, m. tarsalis, konjungtiva
palpebralis, dan kelenjar Meibom (Ilyas dan Yulianti, 2015).

Gambar 1. Anatomi Palpebra Superior dan Inferior


(Sumber: Atlas of Human Anatomy, 2014)

2.1.1. Kulit
Kulit pada palpebra lebih tipis, longgar dan elastis dibandingkan kulit pada bagian lain
dari tubuh, dengan sedikit folikel rambut namun tidak memiliki jaringan subkutan. Kulit pada
palpebra dapat menjadi longgar seiring bertambahnya usia akibat gerakan konstan
pada setiap kedipan mata. Pada kedua kelopak mata jaringan pretarsal melekat kuat ke
jaringan dibawahnya, dimana jaringan preseptal kurang kuat melekat, sehingga dapat
menjadi tempat akumulasi dari cairan. Kontur dari kulit kelopak mata dibatasi oleh
lipatan kelopak mata dan garisnya. Lipatan kelopak mata merupakan tempat
melekatnya aponeurosis dari otot levator ke jaringan pretarsal dan kulit (Jane, 2005).

3
2.1.2. Otot Protaktor
Otot orbikularis okuli merupakan otot protraktor utama dari kelopak mata.
Kontraksi otot ini diinervasi oleh nervus VII yang akan menyempitkan fisura palpebra.
Otot orbikularis dibagi menjadi pretarsal, preseptal dan orbital. Bagian pretarsal dan
preseptal berkaitan dengan pergerakan involunter dari kelopak mata (berkedip)
sedangkan bagian orbital dikaitkan dengan kedipan mata secara sadar atau paksa
(Jane, 2005)
Bagian pretarsal dari otot orbicularis palpebra superior dan inferior memiliki
origo profunda pada sistem lakrimal posterior dan origo superfisial pada tendon dari
kantus medial. Pada daerah dekat kanalikulus, bagian pangkal dari otot orbicularis
pars pretarsal bersatu membentuk anyaman serat yang disebut otot Horner, yang
berjalan dari belakang tendon pada kantus medial. Otot pretarsal superior dan inferior
kemudian bersatu pada sisi kantus lateral membentuk tendon kantus lateral (Jane,
2005)
Orbikularis preseptal terletak mulai dari sisi atas dan bawah dari tendon kantus
medial. Pada kelopak mata atas, otot preseptal memiliki ujung anterior dari tendon
utama dan ujung posterior baik dari tendon pada sisi superior dan posterior. Pada sisi
lateral, otot preseptal membentuk palpebra lateral raphe (American Academy of
Opthalmology, 2018).

Gambar 2. M. orbicularis dan pembagiannya


A.Muskulus Frontalis; B. Muskulus Korugator supersilia; C. Muskulus Procerus; D. Muskulus
Orbikularis (bagian orbital); E. Muskulus Orbikularis (bagian preseptal); F. Muskulus Orbikularis
(bagian pretarsal); G. Tendon kantus medial; H. tendon kantus lateral. (Sumber: American Academy of
Opthalmology, 2018)

4
2.1.3. Septum Orbita
Septum orbita adalah jaringan fibrosa tipis dan berlapis-lapis yang berasal dari
periosteum di atas pinggiran kavum orbita superior dan inferior pada arcus marginalis.
Pada palpebra superior, septum oribita bersatu dengan aponeurosis levator 2-5 mm
diatas tepi tarsus superior. Pada palpebral inferior, septum orbita bersatu dengan fascia
capsulopalpebra atau tepat dibawah tepi tarsus inferior. Septum orbita yang bersatu
dengan capsulopalpebra dan otot tarsus inferior menutupi permukaan tarsus posterior
dan anterior. Seiring dengan bertambahnya usia, septum kedua palpebra menipis.
Penipisan septum dan kelenturan otot orbikularis dapat menyebabkan herniasi lemak
orbita anterior pada usia lanjut (American Academy of Opthalmology, 2018).

2.1.4. Lemak Orbita


Lemak orbita terletak di posterior dari septum orbita dan anterior dari
aponeurosis levator pada palpebral superior atau fascia capsulopalpebra pada
palpebra inferior. Pada palpebra inferior, terdapat 3 kantung lemak yang terdiri dari
nasal, sentral, dan temporal. Kantung ini dikelilingi oleh membran fibrosa yang
meneruskan sistem orbitoseptal anterior. Kantung lemak orbital sentral penting
sebagai penanda pada pembedahan palpebra dan perbaikan dari laserasi palpebra,
karena struktur ini terletak dibawah septum orbita dan di didepan aponeurosis levator
(American Academy of Opthalmology, 2018).

2.1.5. Otot Retraktor


Otot retraktor dari palpebral superior adalah otot levator beserta aponeurosisnya
dan otot tarsus superior (m. muller). Pada palpebra inferior, otot retraktornya adalah
fascia capsulopalpebral dan otot tarsus inferior (American Academy of Opthalmology,
2018).
Otot levator memiliki origo di apex orbita, berasal dari periorbita dari sphenoid,
tepat diatas annulus zinn. Otot levator memiliki panjang kira-kira 40 mm;
aponeurosisnya 14-20 mm. Terdapat pula suatu ligamen transversus superior
(ligamentum whitnall) yang merupakan serat elastis di sekitar otot levator di daerah
transisional dari otot levator ke aponeurosis levator. Ligamen ini berfungsi sebagai
penahan kelopak mata atas dan jaringan orbital superior. Ligamentum whitnall ini
analog dengan ligamentum lockwood di kelopak mata inferior. Otot levator dipersarafi

5
oleh percabagan superior dari nervus III, yang juga mempersarafi otot rektus superior
(American Academy of Opthalmology, 2018).
Musculus muller berorigo di bawah aponeurosis levator, kira-kira setinggi
ligamentum whitnall, 12-44 mm di atas tepi tarsus superior. Otot ini secara simpatis
menginervasi otot halus yang berada di sepanjang tarsus superior palpebral di daerah
inferior. Otot ini menyebabkan elevasi 2 mm dari palpebral superior, yang apabila
terganggu maka dapat menyebabkan ptosis ringan (sindrom Horner). Musculus muller
menempel kuat dengan konjungtiva posterior, tepatnya diatas tarsus superior (Jane,
2005)
Fascia capsulopalpebral di palpebra inferior analog dengan aponeurosis levator
pada palpebra superior. Fascia beriorigo di pangkal capsulopalpebra dari perlengketan
serat otot terminal di daerah inferior otot rectus. Fascia capsulopalpebra membentang
dari daerah anterior sampai konjungtiva forniks inferior. Otot tarsus inferior di
palpebral inferior analog dengan m. muller (Jane, 2005).

Gambar 3. Struktur palpebra dan orbita anterior


A. Kelenjar lakrimal; B. Ligamen transversal superior (Ligamen Whitnall); C. Tendon oblik superior;
D. Aponeurosis Levator; E. Lateral horn; F. Medial horn; G. Tendon kantus lateral; H. Tendon kantus
medial; I. Kantung lakrimal; J. retraktor palpebra inferior; K. otot obliqus inferior. (Sumber: American
Academy of Ophtalmology, 2018).

2.1.6. Tarsus
Tarsus merupakan jaringan ikat padat dan kuat yang berfungsi sebagai
penunjang palpebra. Panjang tarsus palpebra superior sekitar 10-12 mm secara vertikal
dari tengah palpebra. Panjang maksimum tarsus palpebra inferior sekitar 4 mm. Tarsus
memiliki perlekatan kuat dengan periosteum melalui tendon kantus, baik medial
maupun lateral. Tarsus ini dapat bergeser secara horizontal seiring bertambahnya usia

6
dengan peregangan dari tendon lateral dan medial. Tarsus memiliki ketebalan sekitar
1 mm dan makin menipis pada sisi medial dan lateral sampai mencapai tendon cantus.
Dalam tarsus terdapat kelenjar meibom yaitu kelenjar sebasea holokrin (American
Academy of Ophtalmology, 2018).

Gambar 4. Struktur palpebra dari bagian dalam


(Sumber: American Academy of Ophtalmology, 2018)

2.1.7. Konjungtiva palpebralis


Konjungtiva terdiri dari epitel skuamosa non keratinisasi yang membentuk
lapisan posterior dari palpebra, yang mengandung sel goblet yang menghasilkan
mucin serta kelenjar lakrimal aksesorius Wolfring dan Krause. Kelenjar lakrimal
aksesorius ini terutama terdapat di subkonjungtiva palpebral superior dan inferior.
Kelenjar Wolfring banyak ditemukan di pinggir tarsus sedangkan kelenjar Krause
ditemukan terutama pada forniks (Jane, 2005).

2.1.8. Margo palpebra


Margo palpebra merupakan gabungan dari lapisan mukosa konjungtiva, ujung
otot orbikularis, dan epitel kutaneus. Selain itu juga terdapat bulu mata dan kelenjar
yang berfungsi melindungi permukaan bola mata. Mucocutaneous junction dari
pinggir palpebra sering disebut sebagai gray line. Gray line ini merupakan bagian yang
terisolasi dari otot orbikularis yang terletak anterior dari tarsus. Mucocutaneous
junction terletak di posterior dari muara kelenjar meibom. Panjang fisura palpebralis
sekitar 30 mm. Bagian utama dari margo palpebra disebut sebagai cilliary margin yang
memiliki batas tegas antara sisi anterior dan posterior (Jane, 2005).

7
Gambar 5. Anatomi margo palpebra
(Sumber: Ophtalmology at a Glance: External Eye and Anterior Segment, 2005)

2.1.9. Kelenjar Meibom


Kelenjar Meibom berorigo di tarsus, dengan jumlah sebanyak 25 di palpebra
superior dan 20 di palpebra inferior. Selama usia 2 bulan kehamilan, bulu mata dan
kelenjar meibom berdiferensiasi dari pilosebasea. Hal ini menjelaskan mengapa ketika
terjadi trauma atau iritasi kronik, folikel bulu mata dapat berkembang dari kelenjar
meibom yang menyebabkan distikiasis (Jane, 2005).

2.1.10. Sistem Vaskularisasi dan Limfatik


Suplai arteri palpebra berasal dari dua cabang arteri utama, yaitu arteri karotis
interna melalui arteri oftalmika dan percabangannya (lakrimal dan supraorbita) dan
arteri karotis eksterna melalui percabangan dari wajah (angularis dan temporalis).
Terdapat sirkulasi kolateral dari kedua sistem ini, yang beranastomosis di palpebra
superior dan inferior yang membentuk cabang marginal dan perifer (Jane, 2005)
Drainase vena palpebra dibagi menjadi dua yakni pretarsal dan posttarsal.
Jaringan drainase pretarsal berjalan menuju vena angularis pada sisi medial dan juga
vena temporal superfisial pada sisi lateral. Drainase posttarsal berjalan menuju ke vena
orbitalis dan percabangan dari vena fasialis anterior serta pleksus pteriogoid.
Pembuluh limfe pada sisi medial menuju ke nodulus limfatikus submandibular. Pada
sisi lateral, drainase menuju ke nodus preaurikuler superfisial dan kemudian menuju
ke nodus servikal (Jane, 2005).

8
2.2 Epiblefaron
2.2.1 Definisi
Epiblefaron ialah keadaan dimana m. orbicularis dan kulit palpebra inferior
berada di atas margo palpebra inferior dan membentuk lipatan horizontal,
sehingga mendorong bulu mata mengarah ke bola mata dengan posisi kelopak
mata yang normal. Selain itu, epiblefaron juga dapat diartikan sebagai suatu
kelainan kongenital bilateral di mana m. lamela pada kulit margo palpebra bagian
anterior berada di atas margo palpebra yang menyebabkan bulu mata mengarah
ke dalam bola mata (Shin, et al., 2017).

2.2.2 Epidemiologi
Epiblefaron sering ditemukan pada anak-anak di Asia Timur (Cina, Korea,
dan Jepang) yaitu sebanyak 12,6% pada rentang usia 7-14 tahun. Penelitian
retrospektif di Singapura menunjukkan rata-rata usia pasien epiblefaron adalah 9
tahun dan 51,9% dari total 108 pasien adalah laki-laki. Penelitian tersebut juga
menunjukkan bahwa 90,7% pasien memiliki epiblefaron bilateral dan 70,5%
epiblefaron terjadi di palpebra inferior. Dari seluruh pasien yang diteliti, 82,4%
diantaranya memiliki keratopati (Sundar, et al., 2010).

2.2.3 Patogenesis
Etiologi epiblefaron belum diketahui secara pasti. Walaupun demikian,
epiblefaron dianggap sebagai suatu kelainan kongenital, dimana terdapat defek
anatomis yang diyakini sebagai akibat kegagalan adhesi otot retraktor pada
palpebra inferior dengan lamela anterior yang menyebabkan kulit dan otot terlipat
ke atas (Shin, et al., 2017).
Otot retraktor kelopak mata bawah adalah struktur belapis ganda. Lapisan
anterior berasal dari ligament lockwood menyatu dengan septum orbita dan
jaringan submuskular fibrosa dan melekat pada permukaan anterior lempeng
tarsal inferior dan lapisan subkutaneus melalui otot orbikularis okuli. Lapisan
posterior adalah lapisan traksi utama pada retraktor kelopak mata bawah,
termasuk serat otot halus dan masuk ke permukaan anterior, inferior, dan posterior
lempeng tarsal inferior. Karena lempeng tarsal tidak menggulung ke dalam,
namun tetap pada posisi normal, sehingga pada epiblefaron, lapisan posterior

9
tidak terlalu memegang peranan yang signifikan dalam proses terjadinya
epiblefaron, dan diyakini bahwa faktor utama terjadinya epiblefaron adalah
lapisan anterior otot retraktor palpebra inferior (Kim, et al., 2014).
Faktor lain yang diduga sebagai penyebab epiblefaron adalah lemahnya
perlekatan antara otot orbikularis okuli pars tarsalis dan tarsus yang berada di
bawah kulit, sehingga menyebabkan terbentuknya lipatan kulit dekat margo
palpebra dan mendorong bulu mata ke arah kornea. Hal-hal tersebut
menyebabkan kulit dan otot terlipat ke atas, sehingga bulu mata mengarah ke bola
mata dan dapat menyentuh serta mengiritasi kornea (Sundar, et al., 2010).

Gambar 6. Gambaran anatomis epiblefaron


Keterangan: AL-LER (anterior layer of lower eyelid retractor); IOM (inferior oblique muscle),
IRM (inferior rectus muscle), LL (Lockwood’s ligament); OS (orbital septum); OOM (orbicularis
oculi muscle); PL-LER (posterior layer of lower eyelid retractors); RS (redundant skin); SMFT
(submuscular fibrous tissue). (Sumber: Diagnostic Atlas of Common Eyelid Disease, 2007).

2.2.4 Manifestasi Klinis


Epiblefaron biasanya terjadi secara bilateral pada palpebra inferior. Pada
epiblefaron, dimana bulu mata mengarah ke bola mata dan dapat menyentuh serta
mengiritasi kornea, gejala yang ditemukan dapat bervariasi. Gejala dimulai dari
asimptomatik, rasa mengganjal, gatal, perih, mata merah, berair-air dan fotofobia.
Keparahan gejala tergantung dari jumlah dan ketebalan bulu mata. Apabila bulu
mata pasien cenderung banyak dan tebal, maka gejala yang ditimbulkan akan
semakin parah. Penurunan ketajaman penglihatan juga bisa terjadi akibat astigmat
yang disebabkan oleh epiblefaron (Kim, et al., 2014).

10
Gambar 7. Epiblefaron bilateral
(Sumber: Hindawi Journal of Ophthalmology, 2014)

2.2.5 Diagnosis
Penegakan diagnosis epiblefaron dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan
fisik pada kelopak mata.
2.2.5.1 Anamnesis
Pada epiblefaron yang disebabkan kelainan kongenital, dalam
anamnesis dapat digali informasi mengenai perkembangan penyakit
tersebut. Keluhan utama yang membawa pasien datang berobat yaitu
adanya rasa mengganjal (seperti adanya benda asing). Keluhan lainnya
dapat berupa adanya kotoran mata, fotofobia, hiperlakrimasi, penurunan
tajam penglihatan, kebiasaan sering mengucek mata, gatal dan sering
berkedip (Kim, 2014).
2.2.5.2 Pemeriksaan Fisik
Epiblefaron adalah abnormalitas perkembangan palpebra yang
ditandai dengan adanya lipatan kulit tambahan dan adanya peregangan
otot orbikularis okuli pada pars tarsalis yang melewati dan saling
tumpang tindih dengan margo palpebra. Maka melalui inspeksi, dapat
dilihat ketika silia yang normal mengarah ke depan, karena adanya
epiblefaron, maka silia akan mengarah ke kornea. Selain itu, karena
epiblefaron mendorong silia ke arah kornea dan/atau konjungtiva, pada
pemeriksaan fisik biasanya dapat ditemukan gejala-gejala berupa iritasi
konjungtiva atau kornea, mata merah, dan epifora (Kim, 2014).

11
Gambar 8. Epiblefaron tampak depan dan samping
(Sumber: Hindawi Journal of Ophthalmology, 2014)

2.2.6 Diagnosis Banding


2.2.6.1 Entropion
Entropion adalah suatu kondisi di mana margo palpebra terputar ke
arah dalam sehingga silia menyentuh bola mata dan jarang terjadi pada
anak-anak. Entropion dapat diklasifikasikan menjadi kongenital, spastik,
involusional (senile), atau sikatrikal. Pada entropion, margo palpebra
terputar ke dalam, baik oleh karena scar pada lamela posterior,
involusional retraktor, atau karena kelemahan kelopak mata horizontal
(Jeffrey, et al., 2008).
Involusional entropion adalah penyebab entropion terbanyak pada
usia lanjut, lebih sering mengenai palpebra inferior karena palpebra
superior memiliki lempeng tarsal yang lebih lebar dan lebih stabil. Tanda
dan gejalanya antara lain iritasi okular, rasa mengganjal pada mata,
hiperlakrimasi, injeksi konjungtiva, palpebra inferior terlipat ke dalam
dengan bulu mata yang tersembunyi, bisa intermitten ataupun terus-
menerus yang terjadi pada saat mata ditutup paksa atau berkedip dalam
posisi supinasi (Jeffrey, et al., 2008).

Gambar 9. Entropion involusional


(Sumber: Rapid Diagnosis in Ophtalmology, Elsevier, 2008)

12
2.2.6.2 Distikiasis
Distikiasis berasal dari kata “di” yang berarti dua dan “stichos” yang
berarti baris. Distikiasis merupakan suatu kelainan di mana terdapat sebaris
bulu mata tambahan yang berasal dari orifisium glandula Meibom. Hal ini
disebabkan oleh adanya pembentukan bulu mata abnormal pada apparatus
pilosebasea Meibom. Kelainan ini dapat bersifat acquired (didapat) maupun
kongenital (autosomal dominan) dan jarang ditemukan. Glandula Meibom
dapat tidak berkembang sempurna, atrofi, maupun normal. Silia pada
distikiasis umumnya lebih halus, lebih pendek, dan memiliki pigmen yang
kurang (Jeffrey, 2008).

Gambar 10. Distikiasis


(Sumber: Rapid Diagnosis in Ophtalmology, Elsevier, 2008)

Distikiasis yang didapat terjadi ketika glandula Meibom (sebasea) yang


normal pada lempeng tarsal ditransformasikan menjado folikel rambut (unit
pilosebasea) oleh stimulis mekanik ataupun kimiawi. Stimulus ini dapat
berupa kronik inflamasi seperti blefaritis dan meibomitis, kondisi sikatrik
pada mukosa seperti sindrom Steven-Johnson, luka bakar kimia yang berat,
dan trauma pada glandula Meibom (Jeffrey, 2008).
Pertumbuhan bulu mata yang abnormal pada glandula Meibom dapat
diliat dengan lebih baik pada pemeriksaan slit lamp, di mana bulu mata yang
abnormal dapat terlihat baik pada satu atau lebih kelopak mata, dan barisan
bulu mata yang lengkap jarang ditemukan. Pertumbuhan bulu mata yang
abnormal ini dapat menyebabkan iritasi pada kornea (Jeffrey, 2008).

13
2.2.6.3 Trikiasis
Trikiasis adalah suatu kondisi yang didapat (acquired) di mana bulu
mata terputar ke arah bola mata. Pada trikiasis, bulu mata tumbuh secara
abnormal, ditandai dengan adanya satu atau lebih silia palpebra superior
atau inferior yang terbalik ke dalam. Bulu mata ini dapat sangat halus, tipis,
dam tidak berpigmen (rambut lanugo), dan hanya dapat dilihat secara
mikroskopis. Pada beberapa ras, trikiasis pada pada palpebra inferior
umumnya tumbuh dekat pungtum. Pada kebanyakan kasus, trikiasis terjadi
sebagai akibat proses penuaan pada kelopak mata, dan tidak terdapat
penyakit yang mendasari (Jeffrey, 2008).

Gambar 11. Trikiasis


(Sumber: Rapid Diagnosis in Ophtalmology, Elsevier, 2008)

Pada trikiasis, bulu mata berada pada arah yang salah setelah tumbuh
melalui folikel, baik melalui glandula meibom maupun melalui area pada
kelopak mata atau konjungtiva yang normalnya bebas dari pertumbuhan
bulu mata. Pada trikiasis, margo palpebra dan barisan bulu mata berada pada
posisi yang normal (hanya bulu mata yang terputar ke dalam mengenai
kornea), sedangkan pada entropion, palpebra terbalik ke arah dalam
sehingga bulu mata menggesek bola mata. Pasien biasa mengeluhkan
adanya sensasi benda asing dalam mata dan iritasi permukaan okular kronik.
Abrasi kornea, injeksi konjungtiva, secret mukoid, dan epifora biasa
ditemukan pada trikiasis. Pada kasus yang berat, ulkus kornea yang nyata
dapat terlihat (Jeffrey, 2008).

14
Gambar 12. Perbandingan epiblefaron, entropion, distikiasis dan trikiasis
(Sumber: Rapid Diagnosis in Ophtalmology, Elsevier, 2008)

2.2.7 Tatalaksana
Pada banyak kasus, epiblefaron akan sembuh dengan spontan seiring
bertambahnya usia, umumnya pada usia enam atau tujuh tahun ketika tulang
wajah mengalami perkembangan. Tatalaksana dilakukan apabila ditemukan
gejala iritasi, yaitu dengan pemberian lubrikasi topikal yang dapat mengurangi
gejala. Akan tetapi, lubrikasi topikal tidak melembutkan bulu mata, hanya
mengurangi gejala iritasi karena gesekan bulu mata (Hwang, 2008).

15
Indikasi intervensi operasi meliputi konjungtivitis kronik, keratopati disertai
lakrimasi dan fotofobia, kebiasaan mengucek mata akibat gatal yang
mengganggu, sering berkedip, serta apabila gejala masih menetap hingga usia di
atas sembilan tahun. Adapun tujuan operasi ialah untuk menciptakan perlekatan
atau adhesi antara lamela anterior dengan retraktor palpebra inferior yang dapat
mendesak silia palpebra inferior sehingga membalikkan kembali arahnya agar
tidak mengarah ke dalam (Hwang, 2008).
Prosedur operasi secara kosmetik meliputi insisi kulit di bawah bulu mata
(insisi subsiliar), eksisi sejumlah kecil kulit dan otot orbikularis okuli pars tarsalis,
dan kemudian fiksasi kulit yang berbantal silia ke bawah tarsus dengan eversi
(prosedur Hotz yang dimodifikasi). Tingkat kesuksesan teknik ini adalah sebesar
90%. Prosedur ini biasanya membutuhkan waktu 30 menit untuk setiap palpebra
dan dilakukan dibawah anestesi umum untuk anak-anak. Namun, terdapat angka
rekurensi sebesar 4,9% hingga 23% dengan teknik ini. Untuk mengurangi
rekurensi, dilakukan penambahan teknik, yaitu membagi margo palpebra (lid
margin splitting technique) pada operasi koreksi epiblefaron. Prosedur ini
meliputi eksisi kulit dan otot dan teknik penjahitan kulit silia (a cilia everting
suture technique) (Hwang, 2008)
Teknik operasi Hotz yang dimodifikasi dapat dilakukan dengan membuat
sebuah garis insisi kulit subsiliaris digambar secara horizontal dari temporal
hingga pungtum inferior sesuai sepanjang lebar kelopak mata, 1mm di bawah
garis silia. Infiltrasi local lidokain 2% dicampur epinefin dengan rasio 1:100.000
diberikan secara subkutan sepanjang garis yang digambar. Setelah persiapan tadi,
palpebra superior di tarik ke atas dengan menggunakan penjahitan traksi dengan
benang silk 4-0 untuk menghindari kekaburan margo palpebra inferior oleh silia
superior. Pembelahan margo palpebra dilakukan pertama kali. Insisi sedalam 1
mm dibuat sepanjang grey line dengan pisau skalpel nomor 15 setelah menahan
palpebra inferior dengan forsep kalazion. Pemebedahan dilakukan mulai dari
lateral pungtum ke sepertiga atau setengah medial palpebra inferior sesuai dengan
batas garis horizontal epiblefaron. (Hwang, 2008).

16
Gambar 13. Prosedur operasi Hotz yan dimodifikasi
(Sumber: Lid Margin Split in the Surgical Correction in Epiblepharon. Acta Ophtalmol. 2008)

Kulit subsiliaris diinsisi dengan skalpel nomor 15 sepanjang garis yang telah
ditentukan sebelumnya sementara kelopak mata ditahan dengan forsep kalazion.
Kemudian, forsep kalazion diangkat dan diseksi dilakukan secara inferior antara
otot orbikularis dan tarsus menggunakan kauter monopolar hingga margin tarsus
tampak. Otot orbikularis okuli pars tarsalis yang tetap berada di bawah tepi atas
insisi kulit dipotong menggunakan gunting Westcott hingga lempeng tarsal lebih
tampak. Jaringan subkutan pada tepi atas kulit subsiliaris yang diinsisi disatukan
dengan margin tarsus inferior secara interuptus sebanyak lima hingga tujuh
jahitan menggunakan nilon 8-0, memastikan eversi silia ke arah luar. Tepi bawah
kulit yang diinsisi diangkat untuk menutupi tepi kulit atas (yang saat ini dijahit
ke tarsus). Sebuah garis dibuat pada kulit bagian bawah yang tumpang tindih
untuk menyesuaikan dengan tepi luka kulit bagian atas yang berada di bawahnya,
dan kemudian kulit yang berlebih ini dipotong dengan menggunakan gunting
Steven. Kulit lalu ditutup dengan benang 6-0 yang cepat terserap. Setelah itu,
diberikan antibiotic pada luka operasi dan kemudian diberikan kompresi dingin
pada 12 jam pertama postoperasi (Hwang, 2008).

17
2.2.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul akibat epiblefaron adalah akibat adanya
gesekan antara bulu mata dan permukaan bola mata, sehingga dapat menimbulkan
konjungtivitis, keratopati, keratititis, maupun ulkus kornea. Selain itu, komplikasi
yang dapat timbul adalah adanya gangguan refraksi dalam hal ini adalah astigmat
(Kim, 2014). Modifikasi Hotz adalah teknik yang banyak digunakan saat ini,
tetapi terdapat banyak reseksi kulit sehingga dapat menyebabkan ektropion dan
retraksi kelopak mata (Hwang, 2008).

2.2.9 Prognosis
Prognosis epiblepharon adalah baik karena kebanyakan epiblefaron akan
sembuh dengan spontan seiring bertambahnya usia, umumnya pada usia enam
atau tujuh tahun ketika tulang wajah mengalami perkembangan. Jika sudah
dilakukan operasi, operasi kembali jarang dilakukan karena sekali koreksi,
epiblepharon tidak mengalami rekurensi (Hwang, 2008).

18
BAB III
KESIMPULAN

Epiblefaron merupakan kelainan kongenital pada kelopak mata di mana terdapat


lipatan kulit yang horizontal dan muskulus orbikularis di bawahnya yang mendorong bulu
mata mengarah ke bola mata dengan posisi kelopak mata yang normal. Epiblefaron memiliki
manifestasi klinis yang mirip dengan entropion, distikiasis dan trikiasis, namun etiologinya
cukup berbeda.
Etiologi epiblefaron belum diketahui secara pasti. Terdapat beberapa hal yang diduga
sebagai penyebab epiblefaron, yaitu meliputi perkembangan yang buruk dari otot retraktor
palpebra, kegagalan adhesi otot retraktor ke kulit, serta penempelan yang lemah antara otot
orbikularis dan kulit ke tarsus. Hal-hal tersebut menyebabkan kulit dan otot terlipat ke atas,
sehingga bulu mata mengarah ke bola mata dan dapat menyentuh serta mengiritasi kornea.
Diagnosis epiblefaron dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Dari anamnesis, keluhan utama yang membawa pasien datang berobat biasanya akibat
sensasi mengganjal (seperti adanya benda asing). Melalui inspeksi, dapat dilihat silia
mengarah ke kornea. Selain itu dapat ditemukan gejala-gejala berupa iritasi konjungtiva,
mata merah, dan epifora.
Epiblefaron dapat sembuh secara spontan seiring bertambahnya usia, umumnya pada
usia enam atau tujuh tahun ketika tulang wajah mengalami perkembangan. Indikasi
intervensi operasi meliputi konjungtivitis kronik, keratopati disertai lakrimasi dan fotofobia,
kebiasaan menggosok mata akibat gatal yang mengganggu, serta apabila gejala masih
menetap hingga usia di atas sembilan tahun. Teknik operasi Hotz yang dimodifikasi
merupakan yang paling banyak digunakan saat ini.

19
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Opthalmology. Orbit, Eyelids, and Lacrimal System. Basic and
Clinical Science Course 2017-2018, hal 3-18.
Hwang SW., J.H. Kim, N.J. Kim, H.K. Choung. Lid Margin Split in the Surgical Correction
in Epiblepharon. Acta Ophtalmol. 2008;86:87-90.
Ilyas, Sidarta dan S.R. Yulianti. 2015. Ilmu Penyakit Mata, edisi ke-5. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta, hal 1-2.
Jane, Olver LC. External Eye and Anterior Segment. Ophtalmology at a glance.
Massachusetts: Blackwell Science; 2005:25-26.
Jeffrey A., Nered KDC, Mark A. Alford. Rapid Diagnosis in Ophtalmology : Oculoplastic
and Reconstructive Surgery. Jay S D, Marian S. Macsai, editor. England: Mosby
Elsevier; 2008:267.
Jonathan J. Dutton GSG, Alan D. Proia. Diagnostic Atlas of Common Eyelid Disease. New
York: Informa Healthcare; 2007. 265:140-148
Kim J.S., S.W. Jin, M.C. Hur, Y.H. Kwon, W.Y. Ryu, W.J. Jeong, dan H.B. Ahn. The
Clinical Characteristics and Surgical Outcomes of Epiblepharon in Korean
Children: A 9-Year Experience. Hindawi Journal of Ophthalmology, 2014; 105:1-
5.
Netter, Frank H. 2014. Atlas of Human Anatomy, edisi ke-6. Elsevier. San Francisco, hal
128-140.
Shin D.H., Woo K.I., Kim Y.D. Relationship between Lower Eyelid Epiblepharon and
Epicanthus in Korean Children. PLoS ONE 2017; (11):1-9.
Sundar, Gangadhara, S.M. Young, S. Tara, A.M. Tan, S. Amrith. Epiblepharon in East
Asian Patients: The Singapore Experience. American Academy of Ophthalmology.
Elsevier Inc. 2010; 117:184-189.

20

Anda mungkin juga menyukai