Lapsus 2
Lapsus 2
Pembimbing :
dr. Damai Suri, Sp.An
Diajukan Oleh:
Rosyid Prasetyo
J510 170 015
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
1
LEMBAR PENGESAHAN
CASE REPORT
REGIONAL ANASTESI PADA TINDAKAN SECTIO CAESAREA
TRANSPERITONEAL PROFUNDA (SCTP)
Diajukan Oleh :
Rosyid Prasetyo
J510 170 015
Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari Nopember 2017
Pembimbing :
dr. Damai Suri, Sp.An (..................................)
Dipresentasikan di hadapan :
dr. Damai Suri, Sp.An (..................................)
2
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
No.RM : 30.XX.XX
Jenis Kelamin : Wanita
Masuk Tgl : 21 Nopember 2017
Umur : 21 tahun
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Alamat : Tebuireng, Genengan, Jumantono, Karanganyar
Dokter Anestesi : dr. Damai Suri, Sp.An
Dokter Operator : dr. Heryuristianto, Sp. OG
II. Anamnesa :
a. A (Alergy)
Tidak ada alergi terhadap obat-obatan, makanan dan asma.
b. M (Medication)
Tidak sedang menjalani pengobatan
c. P (Past Medical History)
Riwayat DM (-), hipertensi (-), sakit yang sama dan riwayat operasi (-)
d. L (Last Meal)
Pasien puasa 6 jam
e. E (Elicit History)
Seorang pasien wanita usia 21 tahun datang ke ruang bersalin RSUD
Karanganyar kiriman dari poli obsgyn dengan Hamil Posterm dengan
oligohidramnion.
3
Seorang pasien wanita usia 21 tahun G1P0A0 datang ke ruang bersalin
RSUD Karanganyar kiriman dari poli obsgyn dengan Hamil Posterm PEB
dengan oligohidramnion. pasien rutin control ke poli sesuai jadwal.
Gerakan janin sudah dirasakan sejak usia kehamilan 20 minggu.
Gangguan kesadaran (-), mual (-), muntah (-), makan/minum baik, BAB/BAK
normal.
HPHT : 08 Februari 2017
HPL : 14 Nopember 2017
UK : 41 minggu
Anamnesis Sistemik
Neuro : Sensasi nyeri baik, gemetaran (-), sulit tidur (-)
Kardio : Nyeri dada (-), dada berdebar-debar (-)
Pulmo : Sesak napas (-), batuk lama (-)
Abdomen : Diare (-), konstipasi (-), nyeri perut kanan bawah (-)
Urologi : BAK (+) dan BAB(+), panas (-)
Muskolo : hangat +/+/+/+ kering, merah odem (+) nyeri (+)
4
Riwayat Diabetes : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
5
IX. Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
X. DIAGNOSIS
G1P0A0 hamil Posterm PEB dengan oligohidramnion.
XI. TERAPI
Pro Sectio Saesarea Trans Peritoneal
6
pada tanggal 22/11/2017 . Hasil laboratorium, USG dan Vital sign
terlampir.
Kegawatan Bedah : (-)
Derajat ASA : II E
Rencana tindakan anastesi : Regional anastesi
7
f. Posisi terlentang
C. Teknik Anestesi
1. Menyiapkan pasien di atas meja operasi dengan posisi duduk miring
ke kanan dan membungkuk.
2. Menentukan tempat tusukan dari perpotongan garis yang
menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang punggung, yaitu
L4 atau L4-L5.
3. Mensterilkan tempat tusukan dengan povidon iodine dan alkohol .
4. Dilakukan penyuntikan jarum spinal 27G di tempat penusukan pada
bidang medial dengan sudut 10-30% terhadap bidang horizontal
kearah cranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum,
lapisan durameter, dan lapisan subarachnoid. Stilet kemudian
dicabut, sehingga cairan serebrospinal akan keluar. Obat anastetik
(Bupivacaine 20mg/4ml) yang telah disiapkan disuntikkan ke dalam
ruang subarachnoid.
5. Menempatkan kembali pasien dalam posisi supine (terlentang) dan
pasien ditanya apakah kedua tungkai mengalami parastesi dan sulit
untuk digerakkan dan ditanyakan apa ada keluhan mual-muntah,
nyeri kepala, dan sesak.
6. Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas
normal.
D. POST-OPERASI
Setelah operasi selesai di pindahkan ke ruang pemulihan atau
recovery room . Pasien masih sadar dan ada refleks setelah operasi. Pasien
diperbolehkan pindah ruang (keluar dari ruangan operasi) bila Bromage
score <2
8
Pasien dirawat di ruang pindah dalam posisi supine. Setelah
pemulihan pasca anestesi pasien di rawat di bangsal sesuai dengan bagian
operator. Setelah pasien sadar, pasien dipindahkan ke ruangan Teratai.
Kontrol vital sign jika TD < 100 mmHg, infus dipercepat, beri
efedrin.
Bila muntah diberikan ondansetron dan bila kesakitan diberikan
analgesik. Bila nyeri bertambah, konsultasi ke bagian anestesi.
Bila tidak ada mual, tidak ada muntah, bising usus (+), boleh diberi
makan dan minum secara bertahap.
Infus RL 20 tpm
Lain – lain
- Antibiotik
- Analgesik
- Puasa sampai dengan flatus
- Monitor vital sign
E. Bromage score
Pasien dapat keluar dari RR apabila sudah mencapai skor Aldrete
<2(kurang dari dua).
Obyek Kriteria Nilai
Kriteria 1. Gerakan penuh dari tungkai 0
2. Tak mampu ekstensi tungkai 1
3. Tak mampu fleksi lutut 2
4. Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3
pasien keluar RR total score <2
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
1. Sectio Caesaria
2. Pre Eklamsi
10
dan kelainan yang menyertai penyakit ini adalah Spasmus, Arteriola,
Retensi natrium dan air juga koagulasi intravaskuler.
Penyebab Pre Eklamsi sampai sekarang belum diketahui, telah
terdapat teori yang mencoba menerangkan sebab musabab penyakit
tersebut, akan tetapi tidak ada yang dapat memberi jawaban yang
memuaskan. Teori yang dapat diterima antara lain:
1. Sebab bertambahnya frekuensi pada primigraviditas, kehamilan ganda,
hidromnion, dan molahidatidosa
2. Sebab bertambahnya, frekuensi dan makin tuanya kehamilan
3. Sebab dapat terjadinya, perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin
dan uterus
4. Sebab timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang dan koma
Faktor predisposisi pre eklamsi yang harus diwaspadai menurut
antara lain Nuliparitas, riwayat keluarga dengan Eklamsi dan pre eklamsi,
kehamilan ganda, diabetes, hipertensi dan molahidatidosa.
C. Patofisiologi
11
Dilakukannya operasi caesaria akan berpengaruh pada dua kondisi
yaitu, Pertama, kondisi yang dikarenakan pengaruh anastesi, luka akibat
operasi dan masa nifas, anastesi akan berpengaruh pada peristaltik usus,
luka akibat operasi dan masa nifas, anastesi akan berpengaruh pada
peristaltik usus, otot pernafasan dan kons pengaturan muntah. Sedangkan
pada luka akibat operasi akan menyebabkan perdarahan, nyeri serta
proteksi tubuh kurang. Pada masa nifas akan berpengaruh pada kontraksi
uterus, lochea, dan laktasi. Kontraksi uterus yang berlebihan akan
menyebabkan nyeri hebat. Sedangkan pada lochea yang berlebihan akan
menimbulkan perdarahan. Pada masa laktasi progesteron dan esterogen
akan merangsang kelenjar susu untuk mengeluarkan ASI.
Kondisi kedua adalah kondisi fisiologis yang terdiri dari tiga fase
yaitu taking in, taking hold, dan letting go. Pada fase taking in terjadi saat
satu sampai dua hari post partum, sedangkan ibu sangat tergantung pada
orang lain. Fase yang kedua terjadi pada 3 hari post partum, ibu mulai
makan dan minum sendiri, merawat diri dan bayinya. Untuk fase yang
ketiga ibu dan keluarganya harus segera menyesuaikan diri terhadap
interaksi antar anggota keluarga.
D. Manifestasi Klinik
12
Edema dependent, bengkak dimata, wajah, jari, bunyi pulmoner
tidak terdengar. Edema timbul dengan didahului penambahan berat badan
½ kg dalam seminggu atau lebih. Tambahan berat badan yang banyak ini
disebabkan oleh retensi air dalam jaringan dan kemudian baru edema
nampak, edema ini tidak hilang dengan istirahat
Tekanan Darah sistolik > 160 mmHg dan diastolik > 110 mmHg
pada dua kali pemeriksaan yang setidaknya berjarak 6 jam dengan posisi
ibu tirah baring
Proteinuria > 5 gram dalam urin 24 jam atau lebih dari +3 pada
pemeriksaan diagnostik setidaknya pada 2x pemeriksaan acak
menggunakan contoh urin yang diperoleh cara bersih dan berjarak
setidaknya 4 jam Oliguria < 400 mml dalam 24 jam
a. Gangguan otak atau gangguan penglihatan
b. Nyeri ulu hati
c. Edema paru/ sianosis
3. Eklamsia
a. Kejang – kejang / koma
b. Nyeri pada daerah frontal
c. Nyeri epigastrium
d. Penglihatan semakin kabur
e. Mual, muntah
13
rongga perut dengan satu kasa panjang atau lebih. Peritoneum pada
dinding uterus depan dan bawah dipegang dengan piset, plikovesitas.
Uterina dibuka dan insisi diteruskan melintang jauh ke lateral. Kemudian
kandung kencing depan uterus didorong ke bawah dengan jari. Pada
segmen bawah uterus yang sudah tidak ditutup lagi oleh peritoneum serta
kandung kencing yang biasanya sudah menipis, diadakan insisi melintang
selebar 10 cm dengan ujung kanan dan kiri agak melengkung ke atas
untuk menghindari terbukanya cabang-cabang arteria uterine. Karena
uterus dalam kehamilan tidak jarang memutar ke kanan, sebelum
membuat insisi, posisi uterus diperiksa dahulu dengan memperhatikan
ligamenta rocundo kanan dan kiri, di tengah-tengah insisi diteruskan
sampai dinding uterus terbuka dan ketuban tampak, kemudian luka yang
terakhir ini dilebarkan dengan gunting berujung tumpul mengikuti
sayatan yang telah dibuat terlebih dahulu. Sekarang ketuban dipecahkan
dan air ketuban yang keluar diisap. Kemudian spekulum perut diangkat
dan lengan dimasukkan ke dalam uterus di belakang kepala janin dan
dengan memegang kepala dari belakang dengan jari-jari tangan penolong.
Diusahakan lahirnya kepala melalui lubang insisi. Jika dialami kesulitan
untuk melahirkan kepala janin lubang insisi. Jika dialami ksulitan untuk
melahirkan kepala janin dengan tangan, dapat dipasang dengan cunan
boerma. Sesudah kepala janin badan terus dilahirkan muka dan mulut
terus dibersihkan. Tali pusat dipotong dan bayi diserahkan pada orang
lain untuk diurus. Diberikan suntikan 10 satuan oksitosin dalam dinding
uterus/ intravena, pinggir luka insisi dipegang dengan beberapa Cunam
ovum dan plasenta serta selaput ketuban dikeluarkan secara manual.
Tangan untuk sementara dimasukkan ke dalam rongga uterus untuk
mempermudah jahitan luka, tangan ini diangkat sebelum luka uterus
ditutp sama seklai. Jahitan otot uterus dilakukan dalam dua lapisan yaitu
lapisan pertama terdiri atas kahitan simpul dengan cagut dan dimulai dari
ujung yang satu ke ujung yang lain (jangan mengikutsertakan desidua),
lapisan kedua terdiri atas jahitan menerus sehingga luka pada miomtrium
tertutup rapi.
14
Keuntungan pembedahan ini:
a. Perdarahan luka insisi tidak seberapa banyak
b. Bahaya peritonitis tidak besar
Parut pada uterus umumnya kuat, sehingga bahaya ruptura uteri
dikemudian hari tidak besar, karena dalam masa nifas segmen bawah
uterus tidak seberapa banyak mengalami konraksi seperti korpus uteri
sehingga luka dapat sembuh lebih sempurna.
15
b. Pada dinding perut dibuat insisi mediana mulai dari atas simfisis
sepanjang 12 cm sampai di bawah umbilikus lapis demi lapis sehingga
kavum peritonial terbuka.
c. Dalam rongga perut di sekitar rahim dilingkari dengan kasa
d. Dibuat insisi secara tajam dengan pisau pada segmen atasa rahim (SAR)
kemudian diperlebar secara sagital dengan gunting.
e. Setelah kavum uteri terbuka, selaput ketuban dipecahkan. Janin
dilahirkan dengan meluksir kepala dan mendorong fundus uteri. Setelah
janin lahir eluruhnya, tali pusat dijepit dan dipotong diantara kedua
penjepit.
f. Plasenta dilahirkan secara manual. Disuntikkan 10 U oksitosin ke dalam
rahim secara intra mural.
Luka insisi SAR dijahit kembali
1) Lapisan I : Endometrium berama miometrium dijahit
kronik
16
b. Untuk memudahkan histerektomi, rahim boleh dikeluarkan dari
rongga pelvis
17
kocher luurs. Kemudian jaringan diantaranya digunting dengan
18
j. Setelah rongga perut dibersihkan dari sisa darah, luka perut
19
REGIONAL ANESTESIA
1. Definisi
Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh
sementara pada impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian
tubuh diblokir untuk sementara (reversibel). Fungsi motorik dapat
terpengaruh sebagian atau seluruhnya. Tetapi pasien tetap sadar.
2. Persiapan Regional Anestesi
Persiapan anestesi regional sama dengan persiapan anestesi umum karena
untuk mengantisipasi terjadinya reaksi toksik sistemik yg bisa berakibat fatal,
perlu persiapan resusitasi. Misalnya: obat anestesi spinal/epidural masuk ke
pembuluh darah → kolaps kardiovaskular sampai cardiac arrest. Juga untuk
mengantisipasi terjadinya kegagalan, sehingga operasi bisa dilanjutkan dg
anestesi umum.
3. Anestesi Spinal
Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal
yang menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang
intratekal atau ruang subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4,
L4-5 untuk menghasilkan onset anestesi yang cepat dengan derajat
keberhasilan yang tinggi. Walaupun teknik ini sederhana, dengan adanya
pengetahuan anatomi, efek fisiologi dari anestesi spinal dan faktor-faktor
yang mempengaruhi distribusi anestesi lokal diruang intratekal serta
komplikasi anestesi spinal akan mengoptimalkan keberhasilan terjadinya blok
20
anestesi spinal.
21
subarakhnoid sehingga cepat terjadi penyebaran obat anestesi lokal ke
kranial. Perlu pengurangan dosis pada keadaan seperti ini.
e. Anatomi kolumna vertebralis :Anatomi kolumna vertebralis akan
mempengaruhi lekukan-lekukan saluran serebrospinal, yang akhirnya akan
mempengaruhi tinggi anestesi spinal pada penggunaan anestesi lokal jenis
hiperbarik.
f. Tempat penyuntikan : Makin tinggi tempat penyuntikan, maka analgesia yang
dihasilkan makin tinggi. Penyuntikan pada daerah L2-3 lebih memudahkan
penyebaran obat ke kranial dari pada penyuntikan pada L4- 5.
g. Manuver valsava : Setelah obat disuntikkan penyebaran obat akan lebih besar
jika tekanan dalam cairan serebrospinal meningkat yaitu dengan cara
mengedan.
h. Volume obat : Efek volume larutan bupivakain hiperbarik pada suatu
percobaan yang dilakukan oleh Anellson (1984), dikatakan bahwa
penyebaran maksimal obat kearah sefalad dibutuhkan waktu kurang lebih 20
menit pada semua jenis volume obat (1,5 cc, 2 cc, 3 cc dan 4 cc). Mula kerja
untuk tercapainya blok motorik akan bertambah pendek waktunya dengan
bertambahnya volume. Makin besar volume obat makin tinggi level blok
sensoriknya.
i. Konsentrasi obat : Dengan volume obat yang sama ternyata bupivakain
0,75% hiperbarik akan menghasilkan penyebaran obat kearah sefalad lebih
tinggi beberapa segmen dibandingkan dengan bupivakain 0,5% hiperbarik.
Lama kerja obat akan lebih panjang secara bermakna pada penambahan
volume obat bupivakain 0,75%. Demikian pula perubahan kardiovaskuler
akan berbeda bermakna pada bupivakain 0,75% hiperbarik.
j. Posisi tubuh : Dalam suatu percobaan oleh J.A.W. Wildsmith dikatakan tidak
ada pengaruh penyebaran obat jenis obat larutan isobarik pada tubuh,
sedangkan pada jenis larutan hiperbarik akan dipengaruhi posisi tubuh. Pada
larutan hiperbarik posisi terlentang bisa mencapai level blok T4 pada posisi
duduk hanya mencapai T8.
k. Lateralisasi : Lateralisasi pada larutan dengan posisi berbaring miring (lateral
dekubitus). Pada percobaan oleh J.A.W. Wildsmith disimpulkan bahwa 5
22
menit setelah penyuntikan obat, penyebaran obat pada sisi bawah mencapai
T6,sedangkan pada sisi atas mencapai T7.
Indikasi:
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetrik-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya
dikombinasikan dengan anestesi umum ringan
23
2. Lidokaine (xylocain,lignokain) 5% dalam dextrose 7.5%: berat
jenis 1.033, sifat hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)
3. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat
isobarik, dosis 5-20mg (1-4ml)
4. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis
1.027, sifat hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml).
24
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar
22G, 23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang
kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu
jarum suntik biasa semprit 10 cc. Tusukkan introduser sedalam
kira-kira 2cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum
spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika
menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel)
harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
bevel mengarah ke atas atau ke bawah, untuk menghindari
kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala
pasca spinal. Setelah resistensi menghilang, mandarin jarum spinal
dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat
dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit,
hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau yakin
ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar,
putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal
kontinyu dapat dimasukan kateter.
25
Komplikasi pasca tindakan
1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
4. Retensio urine
5. Meningitis
Obat Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi
anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun
dari anestesi diantaranya:
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anestesi
Mengontrol nyeri post operasi
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestesi
Mengurangi mual muntah pasca operasi
Menciptakan amnesia
Mengurangi resiko aspirasi isi lambung
a. Ranitidin
Merupakan obat golongan AH2 blocker yang bekerja dengan
menghambat histamine untuk dapat terikat pada reseptor H2
sehingga terjadi penurunan produksi asam lambung dan
peningkatan pH di gaster. Ranitinin terikat pada protein plasma
hanya sebesar 15%. Waktu paruhnya berkisar antara 2-3 jam.
Eliminasi lewat ginjal sebesar 70% tanpa mengalami
perubahan.Onset ranitidin 10-15 menit (i.v) ,durasi 8-12 , dosis
dewasa 50 mg ampul iv.
b. Granisetrone
Merupakan suatu antiemetik selektif serotonin 5-HT3
reseptor yang sangat efektif yang dapat menekan mual dan muntah
karena sitostatika misalnya cisplatin dan radiasi. Granisetron
mempercepat pengosongan lambung, bila kecepatan pengosongan
26
basal rendah. Tetapi waktu transit saluran cerna memanjang
sehingga dapat terjadi konstipasi. Granisetron dieliminasi dengan
cepat dari tubuh. Metabolisme obat ini terutama secara hidroksilasi
dan konjugasi dengan glukonida atau sulfat dalam hati. Dosis yang
biasanya diberikan untuk premedikasi dosis tunggal 3mg dan
maksimal pemberian 9 mg/hari. Dalam suatu penelitian kombinasi
antara Granisetron dosis kecil yang diberikan sesaat sebelum
ekstubasi trakhea ditambah Dexamethasone yang diberikan saat
induksi anestesi merupakan suatu alternatif dalam mencegah
muntah selama 0-2 jam setelah ekstubasi trakhea daripada
ondansetron dan dexamethasone.
Menggigil
27
c. Efek langsung dari obat anestesi pada pusat pengaturan suhu di
hipotalamus, yaitu menurunkan produksi panas.
d. Kompensasi tubuh tidak terjadi karena penderita tidak sadar dan
terkadang lumpuh karena obat pelumpuh otot.
Mekanisme Menggigil
Integrasi informasi dan modulasi informasi termal antara komponen-
komponen ini memberikan sistem yang efisien yang memelihara suhu inti
tubuh, menjadi 36,5 - 37,5 oC, dengan memanfaatkan perilaku dan respon
otonom untuk mempertahankan fluktuasi suhu inti untuk memastikan fungsi
tubuh yang optimal. Aferen Neural Pathway
Termoreceptor yang terdiri dari reseptor sensorik dingin dan hangat menjadi
pusat maupun perifer. (Poulus, 1981) Perjalanan sinyal dingin melalui serat
delta dan perjalanan sinyal hangat melalui serat C unmyelinated. Sinyal-
sinyal termal mendapatkan terintegrasi pada tingkat sumsum tulang belakang,
termosensitif, indra dan memodulasi masukan yang diterima yang akhirnya
mencapai hipotalamus melalui traktus spinotalamikus lateral.
Hal penting adalah magnus inti raphe (menghambat menggigil) dan
subcoerulus lokus (merangsang menggigil), terletak di medula dan pons, yang
menyampaikan informasi termal dari kulit ke hipotalamus. Suhu sumsum
tulang belakang juga dikenal untuk mempengaruhi tanggapan efektor. Dari
catatan, hipotalamus itu sendiri bagian lain dari otak, sumsum tulang
belakang, thoraks dan jaringan perut dan kulit, masing-masing merupakan
20% dari masukan aferen termal pada sistem peraturan pusat. Menurut studi
terbaru, kulit dan akar dorsal ganglia telah ditemukan memiliki termoreceptor
khusus yaitu: Reseptor Transient Potensial (TRP) vanilloid (V) dan mentol
(M) reseptor.
Regulasi central (termoregulasi)
Regio preoptik dari hipotalamus anterior adalah pusat pengatur yang paling
penting dari suhu meskipun sumsum tulang belakang dan batang otak juga
berperan dalam fungsi ini. Neuron hangat di regio ini dari hipotalamus
(memicu suhu inti) dengan informasi lokal termal dan non termal tiba melalui
jalur aferen. Mereka merasakan dan mengintegrasikan informasi. Tanggapan
28
otonom yang dikendalikan oleh hipotalamus anterior terutama ditentukan oleh
informasi yang diterima dari struktur pusat, respon perilaku dan mekanisme
efektor yang dikendalikan oleh hipotalamus posterior sebagian ntuk
pemberian darah dan larutan kristaloid/koloid hangat atau fraksi darah.besar
ditentukan oleh informasi dari permukaan kulit. Konsensus saat ini adalah
bahwa input termal diterima dari berbagai struktur, tanggapan efektor tidak
bersamaan dan terjadi pada temperatur yang berbeda, dan terdapat suhu
interthreshold (kisaran suhu inti di mana tidak ada respon yang ditimbulkan)
potensi hambat diduga mengatur ambang batas dihipotalamus yang
dipengaruhi oleh noradrenalin, dopamin, serotonin, asetilkolin, prostaglandin
E1 dan neuropeptida. Suhu ambang batas yang diubah dengan irama sirkadian
dan mentruation (masing – masing 0,5-1oC; 0,5oC) bersama-sama dengan
status gizi, olahraga, infeksi dan obat-obatan (obat penenang, alkohol dan
nikotin) Kisaran interthreshold yang dibatasi oleh berkeringat di ujung atas
dan vasokonstriksi di ujung bawah, adalah antara 0,2 - 0.4oC. Ambang
berkeringat dan vasokonstriksi lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria 0,3
- 0.5oC. Respon menggigil diatur buruk pada orang tua. (Sessler, 2008)
Pencegahan Menggigil
Cara-cara untuk mengurangi menggigil pascaanestesi yaitu sebagai berikut:
a. Suhu kamar operasi yang nyaman bagi pasien yaitu pada suhu 72oF (22oC)
b. Ruang pemulihan yang hangat dengan suhu ruangan 75oF (24oC)
c. Penggunaan sistem low-flow atau sistem tertutup pada pasien kritis atau
pasien resiko tinggi
d. Petidin adalah obat paling efektif untuk mengurangi menggigil
e. Penggunaan cairan kristaloid intravena yang dihangatkan :
f. Kristaloid untuk keseimbangan cairan intravena
g. Larutan untuk irigasi luka pembedahan
h. Larutan yang digunakan untuk prosedur sistoskopi urologi
i. Menghindari genangan air/larutan di meja operasi
29
BAB III
PEMBAHASAN
30
betadin atau alkohol. Anestetik local dengan lidokain 1-2% diberikan pada tempat
tusukan.
Teknik anestesi regional pada pasien ini dengan menggunakan jarum 27 G
dan dibantu dengan introducer (penuntun jarum). Setelah introduser disuntikkan
sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian jarum spinal berikut
mandrinnya dimasukkan ke lubang jarum tersebut. Setelah resistensi menghilang,
mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor. Setelah terjadi barbotage, yaitu
keluarnya cairan serebrospinal tanpa disertai keluarnya darah, maka pasang
semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Pada pasien ini diberikan obat anestesi bupivacain dikarenakan toksisitas
bupivacain lebih rendah dibandingkan lidocain. Walaupun onset kerja bupivacain
lebih lama (10-15 menit) dibandingkan lidocain (5-10 menit) tetapi durasi
kerjanya lebih lama yaitu sekitar (1,5-8 jam) dibandingkan lidocain (1-2 jam).
Selain itu diberikan morphine 0,1 mg dengan tujuan untuk memperpanjang waktu
kerja obat anestesi dan sebagai analgetik. Meskipun demikian, perlu diwaspadai
efek samping hipotensi akibat pemakaian obat ini.
Pada pasien ini setelah bayi berhasil di keluarkan diberikan injeksi
Oxytocin 10 U (dosis 10-40 U) dan Metilergometrin 0,2 mg bisa diberikan 3-4
kali/ hari, obat ini merupakan obat yang bekerja pada uterus yang berfungsi untuk
mengurangi perdarahan dari uterus dengan cara kontraksi pada uterus sehingga
pembuluh darah yang ada diuterus terjepit.
Selama operasi berlangsung, dilakukan monitoring perioperasi untuk
membantu ahli anestesi mendapatkan informasi fungsi organ vital selama
perioperasi, supaya dapat bekerja dengan aman. Monitoring secara elektronik
membantu ahli anestesi mengadakan observasi pasien lebih efisien secara terus
menerus. Selama operasi berlangsung juga tetap diberikan cairan intravena
FIMAHES.
Pasien dipindah ke ruang pemulihan dan dilakukan observasi sesuai skor
Aldrete. Bila pasien tenang dan Aldrete Score ≥ 8 dan tanpa nilai 0, pasien dapat
dipindahkan ke bangsal. Pada kasus ini Aldrete Score-nya yaitu aktivitas motorik
1 (dua ekstremitas dapat digerakkan), pernapasan 2 (bernapas tanpa hambatan),
31
kesadaran 2(sadar penuh), sirkulasi 2 (tekanan darah dalam kisaran <20% sebelum
operasi), dan warna kulit 2 (merah muda). Jadi Aldrete Score pada pasien ini
adalah 9 sehingga layak untuk pindah ke bangsal.
32
BAB IV
KESIMPULAN
33
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Westrom KD.
2006. Kehamilan Multi Janin. Dalam: Hatono A, Suyono YJ. Pendit BU.
Obstetri Williams.Volume 1 edisi 21. Jakarta: Penerbit buku kedokteran
EGC.
http://www.philippelefevre.com/downloads/basic_sciences_articles/iv-
anaesthetic-agents/intravenous-anaesthetic-agents.pdf
Kliegman RM. 2000. Kehamilan multiple. Dalam: Wahab AS, editor bahasa
Indonesia. Ilmu kesehatan anak. Volume 1 edisi 15. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC.
Latief, SA, Suryadi, KA, Dachlan, R.2007. Petunjuk Praktis Anestesiologi edisi
ketiga. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta.
Liewellyn-Jones D. 2002. Kelainan presentasi janin. Dalam: Hadyanto, editor
edisi bahasa Indonesia. Dasar-dasar Obstetri dan Ginekologi. Edisi 6.
Hipokrates, Jakarta.
Mangku G,dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Anasthesia dan Reanimasi. Cetakan
34
Muhiman, Roesli Thaib, Sunatrio, Dahlan. 1998. ANESTESIOLOGI , Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta.
Omoigui, S. 1997. Obat-obatan Anastesia. EGC : Jakarta.
35