Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

REGIONAL ANASTESI PADA TINDAKAN SECTIO CAESAREA


TRANSPERITONEAL PROFUNDA (SCTP)

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan


Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Anestesi
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :
dr. Damai Suri, Sp.An

Diajukan Oleh:
Rosyid Prasetyo
J510 170 015

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017

1
LEMBAR PENGESAHAN

CASE REPORT
REGIONAL ANASTESI PADA TINDAKAN SECTIO CAESAREA
TRANSPERITONEAL PROFUNDA (SCTP)

Diajukan Oleh :
Rosyid Prasetyo
J510 170 015

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari Nopember 2017

Pembimbing :
dr. Damai Suri, Sp.An (..................................)

Dipresentasikan di hadapan :
dr. Damai Suri, Sp.An (..................................)

2
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
No.RM : 30.XX.XX
Jenis Kelamin : Wanita
Masuk Tgl : 21 Nopember 2017
Umur : 21 tahun
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Alamat : Tebuireng, Genengan, Jumantono, Karanganyar
Dokter Anestesi : dr. Damai Suri, Sp.An
Dokter Operator : dr. Heryuristianto, Sp. OG
II. Anamnesa :
a. A (Alergy)
Tidak ada alergi terhadap obat-obatan, makanan dan asma.
b. M (Medication)
Tidak sedang menjalani pengobatan
c. P (Past Medical History)
Riwayat DM (-), hipertensi (-), sakit yang sama dan riwayat operasi (-)
d. L (Last Meal)
Pasien puasa 6 jam
e. E (Elicit History)
Seorang pasien wanita usia 21 tahun datang ke ruang bersalin RSUD
Karanganyar kiriman dari poli obsgyn dengan Hamil Posterm dengan
oligohidramnion.

III. Keluhan Utama : G1P0A0 Posterm PEB dengan oligohidramnion.

IV. Riwayat Penyakit Sekarang :

3
Seorang pasien wanita usia 21 tahun G1P0A0 datang ke ruang bersalin
RSUD Karanganyar kiriman dari poli obsgyn dengan Hamil Posterm PEB
dengan oligohidramnion. pasien rutin control ke poli sesuai jadwal.
Gerakan janin sudah dirasakan sejak usia kehamilan 20 minggu.
Gangguan kesadaran (-), mual (-), muntah (-), makan/minum baik, BAB/BAK
normal.
HPHT : 08 Februari 2017
HPL : 14 Nopember 2017
UK : 41 minggu
Anamnesis Sistemik
Neuro : Sensasi nyeri baik, gemetaran (-), sulit tidur (-)
Kardio : Nyeri dada (-), dada berdebar-debar (-)
Pulmo : Sesak napas (-), batuk lama (-)
Abdomen : Diare (-), konstipasi (-), nyeri perut kanan bawah (-)
Urologi : BAK (+) dan BAB(+), panas (-)
Muskolo : hangat +/+/+/+ kering, merah odem (+) nyeri (+)

V. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat penyakit yang sama : disangkal
b. Riwayat SC : disangkal
c. Riwayat Alergi : disangkal
d. Riwayat Asma : disangkal
e. Riwayat Mondok : disangkal
f. Riwayat Hipertensi : disangkal
g. Riwayat Diabetes : disangkal
h. Riwayat penyakit jantung : disangkal

VI. Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat penyakit serupa : disangkal
 Riwayat Asma : disangkal
 Riwayat Alergi : disangkal
 Riwayat Hipertensi : disangkal

4
 Riwayat Diabetes : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal

VII. Riwayat Operasi dan Anastesi


Disangkal

VIII. PEMERIKSAAN FISIK


A. Pemeriksaan Fisik
1) Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign : - Tekanan darah : 160/110 mmHg
- Frekuensi Nafas : 16 x/ menit
- Frekuensi Nadi : 88x/ menit
- Suhu : 37 o C
Kepala : Konjungtiva pucat (-), sklera ikterik (-),
dipsneu ( -), pernapasan cuping hidung (-)
Leher : Retraksi supra sterna (-), peningkatan JVP (-),
pembesaran kelenjar limfe (-)
Thorak
Paru : Inspeksi :pergerakan dinding dada simetris
Palpasi :fremitus dinding dada simetris,
krepitasi –
Perkusi : sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+),
Wheezing (-/-), Rhonki (-/-)
Jantung : Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : redup
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni reguler,
Murmur (-), Gallop (-)
Ekstremitas : hangat, kering ,merah odem (-), nyeri (-)

5
IX. Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium

Darah Rutin Nilai Nilai normal Satuan


Hb 13.0 12.00 – 16.00 g/dL
Ht 37.7 37 – 47 Vol%
Leukosit 12.05 5,0 – 10,0 10^3/uL
Trombosit 277 150 – 300 mm3
Eritrosit 4.18 4,50 – 5,50 10^6/uL
MCV 90.2 82 – 92 fL
MCH 31.0 27 – 31 Pg
MCHC 34.4 32-37 g/dL
Gran 77.4 50-70,0 %
Limfosit 14.6 25,0– 40,0 %
Monosit 5.0 3,0 – 9,0 %
Eosinofil 2.7 0 ,5–5,0 %
Basofil 0.3 0,0-1,0 %
GDS 83 70 – 150 mg/dL
Creatinin 0.75 0,5-0,9 mg/dL
Ureum 6 10-50 mg/dL
HbsAg NR NR

X. DIAGNOSIS
G1P0A0 hamil Posterm PEB dengan oligohidramnion.
XI. TERAPI
Pro Sectio Saesarea Trans Peritoneal

XII. KONSUL ANASTESI


Seorang wanita usia 21 tahun G1P0A0 dengan kehamilan posterm dan
oligohidramnion. Pasien direncanakan akan dilakukan tindakan SCTP

6
pada tanggal 22/11/2017 . Hasil laboratorium, USG dan Vital sign
terlampir.
Kegawatan Bedah : (-)
Derajat ASA : II E
Rencana tindakan anastesi : Regional anastesi

XIII. LAPORAN ANASTESI


Nama : Ny. S
Jenis kelamin : Wanita
Umur : 21 tahun
No RM : 30.xx.xx
Diagnosa pra bedah : G1P0A0 dengan Posterm dan oligohidramnion.
A. Rencana Anestesi
1. Persiapan Operasi
a. Persetujuan operasi tertulis ( + )
b. Puasa ≥ 6 jam
2. Jenis Anestesi : Regional Anestesi (Subarachnoid Block)
3. Premedikasi : - Ondansetron 3mg iv
-Ranitidin 50 mg iv
4. Cairan : Kristaloid Tutofusin 500 ml
5. Monitoring : Tanda vital selama operasi tiap 5 menit,
kedalaman Anestesi, cairan, perdarahan, dan
produksi urin.
6. Perawatan pasca anestesi di ruang pulih sadar/ruang pindah
7. Transfusi sebelumnya : tidak pernah transfusi darah
B. Tindakan Anestesi
1. Di ruang persiapan
a. Cek persetujuan operasi dan identitas penderita
b. Pakaian pasien diganti pakaian operasi
c. Pemeriksaan tanda-tanda vital
d. Lama puasa ≥ 6 jam
e. Cek obat dan alat anestesi

7
f. Posisi terlentang
C. Teknik Anestesi
1. Menyiapkan pasien di atas meja operasi dengan posisi duduk miring
ke kanan dan membungkuk.
2. Menentukan tempat tusukan dari perpotongan garis yang
menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang punggung, yaitu
L4 atau L4-L5.
3. Mensterilkan tempat tusukan dengan povidon iodine dan alkohol .
4. Dilakukan penyuntikan jarum spinal 27G di tempat penusukan pada
bidang medial dengan sudut 10-30% terhadap bidang horizontal
kearah cranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum,
lapisan durameter, dan lapisan subarachnoid. Stilet kemudian
dicabut, sehingga cairan serebrospinal akan keluar. Obat anastetik
(Bupivacaine 20mg/4ml) yang telah disiapkan disuntikkan ke dalam
ruang subarachnoid.
5. Menempatkan kembali pasien dalam posisi supine (terlentang) dan
pasien ditanya apakah kedua tungkai mengalami parastesi dan sulit
untuk digerakkan dan ditanyakan apa ada keluhan mual-muntah,
nyeri kepala, dan sesak.
6. Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas
normal.

D. POST-OPERASI
Setelah operasi selesai di pindahkan ke ruang pemulihan atau
recovery room . Pasien masih sadar dan ada refleks setelah operasi. Pasien
diperbolehkan pindah ruang (keluar dari ruangan operasi) bila Bromage
score <2

Instruksi Pasca Anestesi

8
Pasien dirawat di ruang pindah dalam posisi supine. Setelah
pemulihan pasca anestesi pasien di rawat di bangsal sesuai dengan bagian
operator. Setelah pasien sadar, pasien dipindahkan ke ruangan Teratai.
 Kontrol vital sign jika TD < 100 mmHg, infus dipercepat, beri
efedrin.
 Bila muntah diberikan ondansetron dan bila kesakitan diberikan
analgesik. Bila nyeri bertambah, konsultasi ke bagian anestesi.
 Bila tidak ada mual, tidak ada muntah, bising usus (+), boleh diberi
makan dan minum secara bertahap.
 Infus RL 20 tpm
 Lain – lain
- Antibiotik
- Analgesik
- Puasa sampai dengan flatus
- Monitor vital sign
E. Bromage score
Pasien dapat keluar dari RR apabila sudah mencapai skor Aldrete
<2(kurang dari dua).
Obyek Kriteria Nilai
Kriteria 1. Gerakan penuh dari tungkai 0
2. Tak mampu ekstensi tungkai 1
3. Tak mampu fleksi lutut 2
4. Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3
pasien keluar RR total score <2

Sedangkan pada pasien , didapatkan skornya 1. Skor 1 didapatkan


dari
1. Tak mampu ekstensi tungkai (1)
Dengan skor 1 ini, pasien telah dapat dipindahkan dari ruang
recovery ke ruangan ruang Teratai yaitu bangsal di RSUD Karanganyar
sebelum dapat pulang ke rumah.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian

1. Sectio Caesaria

Sectio caesaria adalah suatu cara melahirkan janin dengan


membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau
vagina atau suatu histerektomia untuk janin dari dalam rahim.
Sectio caesaria adalah cara melahirkan janin dengan menggunakan
insisi pada perut dan uterus.
Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus.

2. Pre Eklamsi

Pre eklamsi ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema,


dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya
terjadi dalam triwulan ke-3 kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya,
misalnya pada molahidatidosa.
Preeklamsia berat adalah suatu keadaan pada kehamilan dimana
tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg atau diastolik lebih dari 110
mmHg pada dua kali pemeriksaan yang setidaknya berjarak 6 jam dengan
ibu posisi tirah baring.
Jadi Post Sectio Caesaria dengan indikasi Preeklamsia berat adalah
masa setelah proses pengeluaran janin yang dapat hidup di luar
kandungan dari dalam uterus ke dunia luar dengan menggunakan insisi
pada perut dan uterus karena adanya hipertensi,edema dan proteinuria.

B. Etiologi dan Predisposisi

Penyebab pre eklamsi sampai sekarang belum diketahui tetapi


dewasa ini banyak ditemukan sebab Pre eklamsi adalah iskemia placenta

10
dan kelainan yang menyertai penyakit ini adalah Spasmus, Arteriola,
Retensi natrium dan air juga koagulasi intravaskuler.
Penyebab Pre Eklamsi sampai sekarang belum diketahui, telah
terdapat teori yang mencoba menerangkan sebab musabab penyakit
tersebut, akan tetapi tidak ada yang dapat memberi jawaban yang
memuaskan. Teori yang dapat diterima antara lain:
1. Sebab bertambahnya frekuensi pada primigraviditas, kehamilan ganda,
hidromnion, dan molahidatidosa
2. Sebab bertambahnya, frekuensi dan makin tuanya kehamilan
3. Sebab dapat terjadinya, perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin
dan uterus
4. Sebab timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang dan koma
Faktor predisposisi pre eklamsi yang harus diwaspadai menurut
antara lain Nuliparitas, riwayat keluarga dengan Eklamsi dan pre eklamsi,
kehamilan ganda, diabetes, hipertensi dan molahidatidosa.

C. Patofisiologi

Patofisiologi Pre Eklamsi setidaknya berkaitan dengan fisiologis


kehamilan. Adaptasi fisiologis normal pada kehamilan meliputi
peningkatan volume plasma darah, vasodilatasi, penurunan resistensi
vaskuler sistemik, peningkatan curah jantung dan penurunan tekanan
osmotik koloid pada pre eklamsi. Volume plasma yang beredar menurun,
sehingga terjadi hemokonsentrasi dan peningkatan hematokrit maternal.
Perubahan ini membuat perfusi ke unit janin utero plasenta. Vasospasme
siklik lebih lanjut menurunkan perfusi organ dengan menghancurkan sel
– sel darah merah, sehingga kapasitas oksigen maternal menurun.
Ada beberapa indikasi dilakukan tindakan operasi sectio caesaria
antaranya karena Pre Eklamsia, sebelum dilakukan tindakan operasi
sectio caesaria perlu adanya persiapan, persiapan diantaranya yaitu
premedikasi, pemasangan kateter dan anastesi yang kemudian baru
dilakukan operasi.

11
Dilakukannya operasi caesaria akan berpengaruh pada dua kondisi
yaitu, Pertama, kondisi yang dikarenakan pengaruh anastesi, luka akibat
operasi dan masa nifas, anastesi akan berpengaruh pada peristaltik usus,
luka akibat operasi dan masa nifas, anastesi akan berpengaruh pada
peristaltik usus, otot pernafasan dan kons pengaturan muntah. Sedangkan
pada luka akibat operasi akan menyebabkan perdarahan, nyeri serta
proteksi tubuh kurang. Pada masa nifas akan berpengaruh pada kontraksi
uterus, lochea, dan laktasi. Kontraksi uterus yang berlebihan akan
menyebabkan nyeri hebat. Sedangkan pada lochea yang berlebihan akan
menimbulkan perdarahan. Pada masa laktasi progesteron dan esterogen
akan merangsang kelenjar susu untuk mengeluarkan ASI.
Kondisi kedua adalah kondisi fisiologis yang terdiri dari tiga fase
yaitu taking in, taking hold, dan letting go. Pada fase taking in terjadi saat
satu sampai dua hari post partum, sedangkan ibu sangat tergantung pada
orang lain. Fase yang kedua terjadi pada 3 hari post partum, ibu mulai
makan dan minum sendiri, merawat diri dan bayinya. Untuk fase yang
ketiga ibu dan keluarganya harus segera menyesuaikan diri terhadap
interaksi antar anggota keluarga.

D. Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik yang muncul pada penderita Pre Eklamsi Berat

1. Pre Eklamsi Ringan

Bila tekanan sistolik > 140 mmHg kenaikan 30 mmHg diatas


tekanan biasa, tekanan distolik 90 mmHg, kenaikann 40 mmHg diatas
tekanan biasa, tekanan darah yang meninggi ini sekurangnya diukur 2x
dengan jarak 6 jam
Proteinuria sebesar 300 mg/dl dalam 25 jam atau > 1 gr/dl secara
random dengan memakai contoh urin siang hari yang dikumpulkan pada
dua waktu dengan jarak 6 jam karena kehilangan protein adalah
bervariasi

12
Edema dependent, bengkak dimata, wajah, jari, bunyi pulmoner
tidak terdengar. Edema timbul dengan didahului penambahan berat badan
½ kg dalam seminggu atau lebih. Tambahan berat badan yang banyak ini
disebabkan oleh retensi air dalam jaringan dan kemudian baru edema
nampak, edema ini tidak hilang dengan istirahat

2. Pre Eklamsi Berat

Tekanan Darah sistolik > 160 mmHg dan diastolik > 110 mmHg
pada dua kali pemeriksaan yang setidaknya berjarak 6 jam dengan posisi
ibu tirah baring
Proteinuria > 5 gram dalam urin 24 jam atau lebih dari +3 pada
pemeriksaan diagnostik setidaknya pada 2x pemeriksaan acak
menggunakan contoh urin yang diperoleh cara bersih dan berjarak
setidaknya 4 jam Oliguria < 400 mml dalam 24 jam
a. Gangguan otak atau gangguan penglihatan
b. Nyeri ulu hati
c. Edema paru/ sianosis
3. Eklamsia
a. Kejang – kejang / koma
b. Nyeri pada daerah frontal
c. Nyeri epigastrium
d. Penglihatan semakin kabur
e. Mual, muntah

E. Teknik Sectio caesaria

Adapun teknik sectio caesaria yaitu

1. Teknik Seksio Sesarea Transperitonealis Profunda

Daver Catheter di pasang dan wanita berbaring dalam letak


tredelenburg ringan. Diadakan insisi pada dinding perut pada garis tengah
dari simfisis sampai beberapa cm di bawah pusat. Setelah peritorium
dibuka, dipasang spekulum perut dan lapangan operasi dipisahkan dari

13
rongga perut dengan satu kasa panjang atau lebih. Peritoneum pada
dinding uterus depan dan bawah dipegang dengan piset, plikovesitas.
Uterina dibuka dan insisi diteruskan melintang jauh ke lateral. Kemudian
kandung kencing depan uterus didorong ke bawah dengan jari. Pada
segmen bawah uterus yang sudah tidak ditutup lagi oleh peritoneum serta
kandung kencing yang biasanya sudah menipis, diadakan insisi melintang
selebar 10 cm dengan ujung kanan dan kiri agak melengkung ke atas
untuk menghindari terbukanya cabang-cabang arteria uterine. Karena
uterus dalam kehamilan tidak jarang memutar ke kanan, sebelum
membuat insisi, posisi uterus diperiksa dahulu dengan memperhatikan
ligamenta rocundo kanan dan kiri, di tengah-tengah insisi diteruskan
sampai dinding uterus terbuka dan ketuban tampak, kemudian luka yang
terakhir ini dilebarkan dengan gunting berujung tumpul mengikuti
sayatan yang telah dibuat terlebih dahulu. Sekarang ketuban dipecahkan
dan air ketuban yang keluar diisap. Kemudian spekulum perut diangkat
dan lengan dimasukkan ke dalam uterus di belakang kepala janin dan
dengan memegang kepala dari belakang dengan jari-jari tangan penolong.
Diusahakan lahirnya kepala melalui lubang insisi. Jika dialami kesulitan
untuk melahirkan kepala janin lubang insisi. Jika dialami ksulitan untuk
melahirkan kepala janin dengan tangan, dapat dipasang dengan cunan
boerma. Sesudah kepala janin badan terus dilahirkan muka dan mulut
terus dibersihkan. Tali pusat dipotong dan bayi diserahkan pada orang
lain untuk diurus. Diberikan suntikan 10 satuan oksitosin dalam dinding
uterus/ intravena, pinggir luka insisi dipegang dengan beberapa Cunam
ovum dan plasenta serta selaput ketuban dikeluarkan secara manual.
Tangan untuk sementara dimasukkan ke dalam rongga uterus untuk
mempermudah jahitan luka, tangan ini diangkat sebelum luka uterus
ditutp sama seklai. Jahitan otot uterus dilakukan dalam dua lapisan yaitu
lapisan pertama terdiri atas kahitan simpul dengan cagut dan dimulai dari
ujung yang satu ke ujung yang lain (jangan mengikutsertakan desidua),
lapisan kedua terdiri atas jahitan menerus sehingga luka pada miomtrium
tertutup rapi.

14
Keuntungan pembedahan ini:
a. Perdarahan luka insisi tidak seberapa banyak
b. Bahaya peritonitis tidak besar
Parut pada uterus umumnya kuat, sehingga bahaya ruptura uteri
dikemudian hari tidak besar, karena dalam masa nifas segmen bawah
uterus tidak seberapa banyak mengalami konraksi seperti korpus uteri
sehingga luka dapat sembuh lebih sempurna.

2. Teknik Seksio Sesarea Korporal

Setelah dinding perut dan peritoneum pariatale terbuka pada gari


lengan dipasang beberapa kain kasa panjang antara dinding perut dan
dinding uterus untuk mencegah masuknya air ketuban dan darah ke
rongga perut. Diadakan insisi pada bagian tengah korpus uteri sepanjang
10-12 cm dengan ujung bawah di atas batas plika vegika uterine.
Diadakan lubang kecil pada batang kantong ketuban untuk menghisap air
ketuban sebanyak mungkin, lubang ini kemudian dilebarkan dan janin
dilahirkan dengan tarikan pada kakinya. Setelah anak lahir korpus uteri
dapat dilahirkan dari rongga perut untuk memudahkan tindakan-tindakan
selanjutnya. Sekarang diberikan suntikan 10 satuan oksitosin dalam
dinding uterus intravena dan plasenta serta selaput ketuban dikeluarkan
secara manual kemudian dinding uterus ditutup dengan jahitan catgut
yang kuat dalam dua lapisan, lapisan pertama terdiri atas jahitan simpul
dan kedua jahitan menerus. Selanjutnya diadakan jahitan menerus dengan
catgut lebih tipis yang mengikutsertakan peritoneum serta bagian luar
miomtrium dan yang menutupi jahitan yang terlebih dahulu dengan rapi.
Akhirnya dinding perut ditutup secara biasa.

3. Teknik seksio sesarea klasik

a. Mula-mula dilakukan desinfeksi pada dinding perut dan lapangan operasi


dipersempit dengan kain.

15
b. Pada dinding perut dibuat insisi mediana mulai dari atas simfisis
sepanjang 12 cm sampai di bawah umbilikus lapis demi lapis sehingga
kavum peritonial terbuka.
c. Dalam rongga perut di sekitar rahim dilingkari dengan kasa
d. Dibuat insisi secara tajam dengan pisau pada segmen atasa rahim (SAR)
kemudian diperlebar secara sagital dengan gunting.
e. Setelah kavum uteri terbuka, selaput ketuban dipecahkan. Janin
dilahirkan dengan meluksir kepala dan mendorong fundus uteri. Setelah
janin lahir eluruhnya, tali pusat dijepit dan dipotong diantara kedua
penjepit.
f. Plasenta dilahirkan secara manual. Disuntikkan 10 U oksitosin ke dalam
rahim secara intra mural.
Luka insisi SAR dijahit kembali
1) Lapisan I : Endometrium berama miometrium dijahit

ecara jelujur dengan benang catgut kronik

2) Lapisan II : Hanya miometrium aja dijahit ecara

simopul (berhubung otot SAR angat tebal) dengan catgut

kronik

3) Lapian III : Peritoneum aja, dijahit secara simpul

dengan benang catgut biasa.

b. Setelah dinding selesai dijahit, kedua adneksa dieksplorasi

c. Rongga perut dibersihkan dari sisa-sisa darah dan akhirnya

luka dinding perut dijahit.

4. Teknik seksio histerektomi

a. Stetelah janin dan plasenta dilahirkan dari rongga rahim,

dilakukan hemostasis pada insisi dinding rahim, cukup dengan

jahitan jelujur atau simpul.

16
b. Untuk memudahkan histerektomi, rahim boleh dikeluarkan dari

rongga pelvis

c. Mula-mula ligamentum rotundum dijepit dengan cunam kocher

dan cunam oschner kemudian dipotong sedekat mungkin

dengan rahim, dan jaringan yang sudah dipotong diligasi

dengan benang catgut kronik no.0 bladder flap yang telah

dibuat pada waktu seksio sesarea transperitoneal profunda

dibebaskan lebih jauh ke bawah dan lateral. Pada ligamentum

latum belakang lubang dngan jari telunjuk tangan kiri di bawah

adneksa dari arah belakang. Dengan cara ini ureter akan

terhindar dari kemungkinan terpotong.

d. Melalui lubang pada ligamentum ini, tuba faloppi, ligamnetum

utero ovarika, dan pembuluh darah dalam jaringan terebut

dijepit dengan 2 cunam oscher lengkung dan di sisi rahim

dengan cunam kocher. Jaringan diantaranya kemudian

digunting dengan gunting Mayo. Jaringan yang terpotong diikat

dengan jahitan transfiks untuk hemotasis dengan catgut no. 0

e. Jaringan ligamentum latum yang sebagian besar adalah

avaskuler dipotong secara tajam ke arah serviks. Setelah

pemotongan ligamentum latum sampai di daerah serviks,

kandung kencing disisihkan jauh ke bawah dan samping

f. Pada ligamentum kardinale dan jaringan paraservikal dilakukan

panjepitan dengan cunam oscher lengkung secara ganda, dan

pada tempat yang ama di sisi rahim dijepit dengan cunam

17
kocher luurs. Kemudian jaringan diantaranya digunting dengan

gunting Mayo. Tindakan ini dilakukan dalam beberapa tahap

sehingga ligamentum kardinale terpotong seluruhnya. Puntung

ligamentum kardinale dijahit transfiks secara ganda dengan

benang catgut khronik no. 0

g. Demikian juga ligamentum sakro-uterine kiri dan kanan

dipotong dengan cara yang sama, dan iligasi secara transfiks

dengan benang catgut khronik no.0

h. Setelah mencapai di atas dinding vagina serviks, pada sisi

depan serviks dibuat irisan sagital dengan pisau, kemudian

melalui insisi tersebut dinding vagina dijepit engan cunam

oscher melingkari serviks dan dinding vagina dipotong tahap

demi tahap. Pemotongan dinding vagina dapat dilakukan

dengan gunting atau pisau. Rahim akhirnya dapat diangkat.

i. Puntung vagina dijepit dengan beberapa cunm kocher untuk

hemostasis. Mula-mula puntung kedua ligamentum kardinale

dijahitkan pada ujung kiri dan kanan puntung vagina, sehingga

terjadi hemostasis pada kedua ujung puntung vagina. Puntung

vagina dijahit secara jelujur untuk hemostasis dengancatgut

khromik. Puntung adneksa yang telah dipotong dapat dijahitkan

digantungkan pada puntung vagina, asalkan tidak terlalu

kencang. Akhirnya puntung vagina ditutup dengan retro-

peritonealisasi dengan menutupkan bladder flap pada sisi

belakang puntung vagina.

18
j. Setelah rongga perut dibersihkan dari sisa darah, luka perut

ditutup kembali lapis demi lapisan.

F. Indikasi Sectio Caesaria

1. Indikasi untuk seksio sesaria


a. Indikasi untuk ibu
Plasenta previa, Distocia serviks, Ruptur uteri mengancam,
Disproporsi cepalo pelviks, Pre eklamsi dan eklamsi, Tumor, Partus lama
b. Indikasi untuk janin
Mal presentasi janin, letak lintang, bila ada kesempitan panggul
sectio caesarea adalah cara terbaik dalam segala letak lintang dengan
janin hidup. Semua primigravida dengan letak lintang harus ditolong
dengan sectio caesarea. Multipara letak lintang dapat lebih dulu dengan
cara yang lain. letak bokong dianjurkan seksio sesaria bila ada Panggul
sempit, Primigravida, Janin besar, Presentasi dahi dan muka bila
reposisi dan cara lain tidak berhasil, Presentasi rangkap, bila reposisi
tidak berhasil, atau Gemeli
Gawat Janin
Segera lakukan operasi agar tidak terjadi keracunan atau kematian
janin, sesuai dengan indikasi sectio caesarea.
Kontra indikasi
Janin mati atau berada dalam keadaan kritis, kemungkinan janin
hidup kecil. Dalam hal ini tidak ada alasan untuk melakukan operasi.
Janin lahir ibu mengalami infeksi yang luas dan fasilitas untuk sectio
caesarea ekstra peritoneal tidak ada. Kurangnya pengalaman dokter bedah
dan tenaga medis yang kurang memadai.

19
REGIONAL ANESTESIA
1. Definisi
Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh
sementara pada impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian
tubuh diblokir untuk sementara (reversibel). Fungsi motorik dapat
terpengaruh sebagian atau seluruhnya. Tetapi pasien tetap sadar.
2. Persiapan Regional Anestesi
Persiapan anestesi regional sama dengan persiapan anestesi umum karena
untuk mengantisipasi terjadinya reaksi toksik sistemik yg bisa berakibat fatal,
perlu persiapan resusitasi. Misalnya: obat anestesi spinal/epidural masuk ke
pembuluh darah → kolaps kardiovaskular sampai cardiac arrest. Juga untuk
mengantisipasi terjadinya kegagalan, sehingga operasi bisa dilanjutkan dg
anestesi umum.
3. Anestesi Spinal
Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal
yang menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang
intratekal atau ruang subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4,
L4-5 untuk menghasilkan onset anestesi yang cepat dengan derajat
keberhasilan yang tinggi. Walaupun teknik ini sederhana, dengan adanya
pengetahuan anatomi, efek fisiologi dari anestesi spinal dan faktor-faktor
yang mempengaruhi distribusi anestesi lokal diruang intratekal serta
komplikasi anestesi spinal akan mengoptimalkan keberhasilan terjadinya blok

20
anestesi spinal.

Gambar 2.1. Anatomi Spinal Anestesi (Friedrich, 2012)

Kontraindikasi absolut anastesi spinal meliputi pasien menolak, infeksi di


daerah penusukan, koagulopati, hipovolemi berat, peningkatan tekanan
intrakranial, stenosis aorta berat dan stenosis mitral berat. Sedangkan
kontraindikasi relatif meliputi pasien tidak kooperatif, sepsis, kelainan
neuropati seperti penyakit demielinisasi sistem syaraf pusat, lesi pada katup
jantung serta kelainan bentuk anatomi spinal yang berat. Ada juga
menyebutkan kontraindikasi kontroversi yang meliputi operasi tulang
belakang pada tempat penusukan, ketidakmampuan komunikasi dengan
pasien serta komplikasi operasi yang meliputi operasi lama dan kehilangan
darah yang banyak.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran larutan bupivakain
hiperbarik pada Anestesi spinal:
a. Gravitasi: Cairan serebrospinal pada suhu 37°C mempunyai BJ 1,003- 1,008.
Jika larutan hiperbarik yang diberikan kedalam cairan serebrospinal akan
bergerak oleh gaya gravitasi ke tempat yang lebih rendah, sedangkan
b. larutan hipobarik akan bergerak berlawanan arah dengan gravitasi seperti
menggantung dan jika larutan isobarik akan tetap dan sesuai dengan tempat
injeksi.
c. Postur tubuh : Makin tinggi tubuh seseorang, makin panjang medula
spinalisnya dan volume dari cairan serebrospinal di bawah L2 makin banyak
sehingga penderita yang lebih tinggi memerlukan dosis yang lebih banyak
dari pada yang pendek.
d. Tekanan intra abdomen: Peningkatan tekanan intra abdomen menyebabkan
bendungan saluran pembuluh darah vena abdomen dan juga pelebaran
saluran-saluran vena di ruang epidural bawah, sehingga ruang epidural akan
menyempit dan akhirnya akan menyebabkan penekanan ke ruang

21
subarakhnoid sehingga cepat terjadi penyebaran obat anestesi lokal ke
kranial. Perlu pengurangan dosis pada keadaan seperti ini.
e. Anatomi kolumna vertebralis :Anatomi kolumna vertebralis akan
mempengaruhi lekukan-lekukan saluran serebrospinal, yang akhirnya akan
mempengaruhi tinggi anestesi spinal pada penggunaan anestesi lokal jenis
hiperbarik.
f. Tempat penyuntikan : Makin tinggi tempat penyuntikan, maka analgesia yang
dihasilkan makin tinggi. Penyuntikan pada daerah L2-3 lebih memudahkan
penyebaran obat ke kranial dari pada penyuntikan pada L4- 5.
g. Manuver valsava : Setelah obat disuntikkan penyebaran obat akan lebih besar
jika tekanan dalam cairan serebrospinal meningkat yaitu dengan cara
mengedan.
h. Volume obat : Efek volume larutan bupivakain hiperbarik pada suatu
percobaan yang dilakukan oleh Anellson (1984), dikatakan bahwa
penyebaran maksimal obat kearah sefalad dibutuhkan waktu kurang lebih 20
menit pada semua jenis volume obat (1,5 cc, 2 cc, 3 cc dan 4 cc). Mula kerja
untuk tercapainya blok motorik akan bertambah pendek waktunya dengan
bertambahnya volume. Makin besar volume obat makin tinggi level blok
sensoriknya.
i. Konsentrasi obat : Dengan volume obat yang sama ternyata bupivakain
0,75% hiperbarik akan menghasilkan penyebaran obat kearah sefalad lebih
tinggi beberapa segmen dibandingkan dengan bupivakain 0,5% hiperbarik.
Lama kerja obat akan lebih panjang secara bermakna pada penambahan
volume obat bupivakain 0,75%. Demikian pula perubahan kardiovaskuler
akan berbeda bermakna pada bupivakain 0,75% hiperbarik.
j. Posisi tubuh : Dalam suatu percobaan oleh J.A.W. Wildsmith dikatakan tidak
ada pengaruh penyebaran obat jenis obat larutan isobarik pada tubuh,
sedangkan pada jenis larutan hiperbarik akan dipengaruhi posisi tubuh. Pada
larutan hiperbarik posisi terlentang bisa mencapai level blok T4 pada posisi
duduk hanya mencapai T8.
k. Lateralisasi : Lateralisasi pada larutan dengan posisi berbaring miring (lateral
dekubitus). Pada percobaan oleh J.A.W. Wildsmith disimpulkan bahwa 5

22
menit setelah penyuntikan obat, penyebaran obat pada sisi bawah mencapai
T6,sedangkan pada sisi atas mencapai T7.
 Indikasi:
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetrik-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya
dikombinasikan dengan anestesi umum ringan

 Kontra indikasi absolut:


1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
5. Tekanan intrakranial meningkat
6. Fasilitas resusitasi minim
7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.

 Kontra indikasi relatif:


1. Infeksi sistemik
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronik
Anestetik lokal yang paling sering digunakan:
1. Lidokaine (xylocain, lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat
isobarik, dosis 20-100mg (2-5ml)

23
2. Lidokaine (xylocain,lignokain) 5% dalam dextrose 7.5%: berat
jenis 1.033, sifat hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)
3. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat
isobarik, dosis 5-20mg (1-4ml)
4. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis
1.027, sifat hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml).

 Teknik analgesia spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan
pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya
dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya
diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan
dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral
dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya
tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar
processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista


iliaka, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di
atasnya berisiko trauma terhadap medula spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain
1-2% 2-3ml

24
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar
22G, 23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang
kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu
jarum suntik biasa semprit 10 cc. Tusukkan introduser sedalam
kira-kira 2cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum
spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika
menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel)
harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
bevel mengarah ke atas atau ke bawah, untuk menghindari
kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala
pasca spinal. Setelah resistensi menghilang, mandarin jarum spinal
dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat
dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit,
hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau yakin
ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar,
putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal
kontinyu dapat dimasukan kateter.

6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya


bedah hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-
ligamentum flavum dewasa ± 6cm.

25
 Komplikasi pasca tindakan
1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
4. Retensio urine
5. Meningitis
 Obat Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi
anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun
dari anestesi diantaranya:
 Meredakan kecemasan dan ketakutan
 Memperlancar induksi anestesi
 Mengontrol nyeri post operasi
 Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
 Meminimalkan jumlah obat anestesi
 Mengurangi mual muntah pasca operasi
 Menciptakan amnesia
 Mengurangi resiko aspirasi isi lambung
a. Ranitidin
Merupakan obat golongan AH2 blocker yang bekerja dengan
menghambat histamine untuk dapat terikat pada reseptor H2
sehingga terjadi penurunan produksi asam lambung dan
peningkatan pH di gaster. Ranitinin terikat pada protein plasma
hanya sebesar 15%. Waktu paruhnya berkisar antara 2-3 jam.
Eliminasi lewat ginjal sebesar 70% tanpa mengalami
perubahan.Onset ranitidin 10-15 menit (i.v) ,durasi 8-12 , dosis
dewasa 50 mg ampul iv.
b. Granisetrone
Merupakan suatu antiemetik selektif serotonin 5-HT3
reseptor yang sangat efektif yang dapat menekan mual dan muntah
karena sitostatika misalnya cisplatin dan radiasi. Granisetron
mempercepat pengosongan lambung, bila kecepatan pengosongan

26
basal rendah. Tetapi waktu transit saluran cerna memanjang
sehingga dapat terjadi konstipasi. Granisetron dieliminasi dengan
cepat dari tubuh. Metabolisme obat ini terutama secara hidroksilasi
dan konjugasi dengan glukonida atau sulfat dalam hati. Dosis yang
biasanya diberikan untuk premedikasi dosis tunggal 3mg dan
maksimal pemberian 9 mg/hari. Dalam suatu penelitian kombinasi
antara Granisetron dosis kecil yang diberikan sesaat sebelum
ekstubasi trakhea ditambah Dexamethasone yang diberikan saat
induksi anestesi merupakan suatu alternatif dalam mencegah
muntah selama 0-2 jam setelah ekstubasi trakhea daripada
ondansetron dan dexamethasone.
Menggigil

Menggigil merupakan suatu mekanisme tubuh yang terjadi untuk


meningkatkan pembentukan panas. Ketika tubuh terlalu dingin, sistem
pengaturan temperatur tubuh mengadakan prosedur untuk meningkatkan suhu
tubuh yaitu dengan cara :
a. Vasokonstriksi kulit di seluruh tubuh yang merupakan rangsangan pusat
simpatis hipotalamus posterior. Piloereksi yaitu berdirinya rambut pada
akarnya. Hal ini tidak terlalu penting pada manusia.
b. Peningkatan pembentukan panas oleh sistem metabolisme dengan cara
menggigil, rangsangan simpatis pembetukan panas dan sekresi tiroksin.
c. Sampai saat ini, mekanisme menggigil masih belum diketahui secara
pasti.

Menggigil pascaanestesi diduga disebabkan oleh empat hal yaitu :


a. Hipotermi dan penurunan suhu inti selama anestesi yang disebabkan oleh
karena kehilangan panas yang bermakna selama tindakan pembedahan
dan suhu ruang operasi yang rendah. Panas yang hilang dapat melalui
permukaan kulit dan melalui ventilasi.
b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pelepasan pirogen, tipe atau
jenis pembedahan, kerusakan jaringan yang terjadi dan absorbsi dari
produk- produk tersebut.

27
c. Efek langsung dari obat anestesi pada pusat pengaturan suhu di
hipotalamus, yaitu menurunkan produksi panas.
d. Kompensasi tubuh tidak terjadi karena penderita tidak sadar dan
terkadang lumpuh karena obat pelumpuh otot.
Mekanisme Menggigil
Integrasi informasi dan modulasi informasi termal antara komponen-
komponen ini memberikan sistem yang efisien yang memelihara suhu inti
tubuh, menjadi 36,5 - 37,5 oC, dengan memanfaatkan perilaku dan respon
otonom untuk mempertahankan fluktuasi suhu inti untuk memastikan fungsi
tubuh yang optimal. Aferen Neural Pathway
Termoreceptor yang terdiri dari reseptor sensorik dingin dan hangat menjadi
pusat maupun perifer. (Poulus, 1981) Perjalanan sinyal dingin melalui serat
delta dan perjalanan sinyal hangat melalui serat C unmyelinated. Sinyal-
sinyal termal mendapatkan terintegrasi pada tingkat sumsum tulang belakang,
termosensitif, indra dan memodulasi masukan yang diterima yang akhirnya
mencapai hipotalamus melalui traktus spinotalamikus lateral.
Hal penting adalah magnus inti raphe (menghambat menggigil) dan
subcoerulus lokus (merangsang menggigil), terletak di medula dan pons, yang
menyampaikan informasi termal dari kulit ke hipotalamus. Suhu sumsum
tulang belakang juga dikenal untuk mempengaruhi tanggapan efektor. Dari
catatan, hipotalamus itu sendiri bagian lain dari otak, sumsum tulang
belakang, thoraks dan jaringan perut dan kulit, masing-masing merupakan
20% dari masukan aferen termal pada sistem peraturan pusat. Menurut studi
terbaru, kulit dan akar dorsal ganglia telah ditemukan memiliki termoreceptor
khusus yaitu: Reseptor Transient Potensial (TRP) vanilloid (V) dan mentol
(M) reseptor.
Regulasi central (termoregulasi)
Regio preoptik dari hipotalamus anterior adalah pusat pengatur yang paling
penting dari suhu meskipun sumsum tulang belakang dan batang otak juga
berperan dalam fungsi ini. Neuron hangat di regio ini dari hipotalamus
(memicu suhu inti) dengan informasi lokal termal dan non termal tiba melalui
jalur aferen. Mereka merasakan dan mengintegrasikan informasi. Tanggapan

28
otonom yang dikendalikan oleh hipotalamus anterior terutama ditentukan oleh
informasi yang diterima dari struktur pusat, respon perilaku dan mekanisme
efektor yang dikendalikan oleh hipotalamus posterior sebagian ntuk
pemberian darah dan larutan kristaloid/koloid hangat atau fraksi darah.besar
ditentukan oleh informasi dari permukaan kulit. Konsensus saat ini adalah
bahwa input termal diterima dari berbagai struktur, tanggapan efektor tidak
bersamaan dan terjadi pada temperatur yang berbeda, dan terdapat suhu
interthreshold (kisaran suhu inti di mana tidak ada respon yang ditimbulkan)
potensi hambat diduga mengatur ambang batas dihipotalamus yang
dipengaruhi oleh noradrenalin, dopamin, serotonin, asetilkolin, prostaglandin
E1 dan neuropeptida. Suhu ambang batas yang diubah dengan irama sirkadian
dan mentruation (masing – masing 0,5-1oC; 0,5oC) bersama-sama dengan
status gizi, olahraga, infeksi dan obat-obatan (obat penenang, alkohol dan
nikotin) Kisaran interthreshold yang dibatasi oleh berkeringat di ujung atas
dan vasokonstriksi di ujung bawah, adalah antara 0,2 - 0.4oC. Ambang
berkeringat dan vasokonstriksi lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria 0,3
- 0.5oC. Respon menggigil diatur buruk pada orang tua. (Sessler, 2008)
Pencegahan Menggigil
Cara-cara untuk mengurangi menggigil pascaanestesi yaitu sebagai berikut:
a. Suhu kamar operasi yang nyaman bagi pasien yaitu pada suhu 72oF (22oC)
b. Ruang pemulihan yang hangat dengan suhu ruangan 75oF (24oC)
c. Penggunaan sistem low-flow atau sistem tertutup pada pasien kritis atau
pasien resiko tinggi
d. Petidin adalah obat paling efektif untuk mengurangi menggigil
e. Penggunaan cairan kristaloid intravena yang dihangatkan :
f. Kristaloid untuk keseimbangan cairan intravena
g. Larutan untuk irigasi luka pembedahan
h. Larutan yang digunakan untuk prosedur sistoskopi urologi
i. Menghindari genangan air/larutan di meja operasi

29
BAB III
PEMBAHASAN

Diagnosis Pre op Sectio Saesarea didapatkan dari anamnesis dan hasil


pemeriksaan penunjang untuk mengetahui keadaan umum pasien dan memastikan
apakah operasi dapat dilakukan.
Status fisik pada pasien ini dimasukkan ke dalam ASA II (pasien dengan
kelainan sistemik ringan sampai dengan sedang akibat kelainan bedah atau proses
patofisiologus, angka mortalitas 16%). Pada pasien ini dilakukan regional
anestesi. Pemilihan anestesi regional sebagai teknik anestesi pada pasien ini
berdasarkan pertimbangan bahwa pasien akan menjalani operasi Sectio Caesarea
sehingga pasien memerlukan blockade pada regio abdomen bawah untuk
mempermudah operator dalam melakukan operasi. Teknik ini umumnya
sederhana, cukup efektif, dan mudah digunakan.
Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa inj. Ondansetron, inj.
Ranitidine . Ondansetron dan ranitidine diberikan untuk profilaksis dari PONV
(post operatif nausea vomiting). Ondansetron digunakan sebagai anti emetik dan
untuk mengurangi sekresi kelenjar. Pemilihan ondansetron dikarenakan obat ini
mempunyai efek menstimulasi asetilkolin pada otot polos saluran cerna,
meningkatkan tonus sfingter esofagus bagian bawah, mempercepat pengosongan
lambung dan menurunkan volume cairan lambung sehingga efek-efek ini akan
meminimalisir terjadinya pnemonia aspirasi. Ondansetron juga mempunyai efek
analgesik pada kondisi-kondisi yang berhubungan dengan spasme otot polos
(seperti kolik bilier atau ureter, kram uterus, dll). Selain itu Ondansetron juga
berefek memblok receptor Dopamine pada chemoreceptor triggerzone pada sistem
saraf pusat sehingga sangat berguna untuk pencegahan muntah pasca operasi.
Pemilihan ranitidin dikarenakan obat ini mempunyai fungsi sebagai anti reseptor
H2 sehingga dapat mengurangi produksi asam lambung yang nantinya dapat
mengurangi risiko pnemonia aspirasi.
Setelah itu, pasien diposisikan miring ke kanan untuk mengekspose area
lumbal yang akan dilakukan anestesi. Setelah memberi tanda pada L5 atau S1,
kemudian tempat tusukan ditentukan. Setelah itu, area tersebut disterilkan dengan

30
betadin atau alkohol. Anestetik local dengan lidokain 1-2% diberikan pada tempat
tusukan.
Teknik anestesi regional pada pasien ini dengan menggunakan jarum 27 G
dan dibantu dengan introducer (penuntun jarum). Setelah introduser disuntikkan
sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian jarum spinal berikut
mandrinnya dimasukkan ke lubang jarum tersebut. Setelah resistensi menghilang,
mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor. Setelah terjadi barbotage, yaitu
keluarnya cairan serebrospinal tanpa disertai keluarnya darah, maka pasang
semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Pada pasien ini diberikan obat anestesi bupivacain dikarenakan toksisitas
bupivacain lebih rendah dibandingkan lidocain. Walaupun onset kerja bupivacain
lebih lama (10-15 menit) dibandingkan lidocain (5-10 menit) tetapi durasi
kerjanya lebih lama yaitu sekitar (1,5-8 jam) dibandingkan lidocain (1-2 jam).
Selain itu diberikan morphine 0,1 mg dengan tujuan untuk memperpanjang waktu
kerja obat anestesi dan sebagai analgetik. Meskipun demikian, perlu diwaspadai
efek samping hipotensi akibat pemakaian obat ini.
Pada pasien ini setelah bayi berhasil di keluarkan diberikan injeksi
Oxytocin 10 U (dosis 10-40 U) dan Metilergometrin 0,2 mg bisa diberikan 3-4
kali/ hari, obat ini merupakan obat yang bekerja pada uterus yang berfungsi untuk
mengurangi perdarahan dari uterus dengan cara kontraksi pada uterus sehingga
pembuluh darah yang ada diuterus terjepit.
Selama operasi berlangsung, dilakukan monitoring perioperasi untuk
membantu ahli anestesi mendapatkan informasi fungsi organ vital selama
perioperasi, supaya dapat bekerja dengan aman. Monitoring secara elektronik
membantu ahli anestesi mengadakan observasi pasien lebih efisien secara terus
menerus. Selama operasi berlangsung juga tetap diberikan cairan intravena
FIMAHES.
Pasien dipindah ke ruang pemulihan dan dilakukan observasi sesuai skor
Aldrete. Bila pasien tenang dan Aldrete Score ≥ 8 dan tanpa nilai 0, pasien dapat
dipindahkan ke bangsal. Pada kasus ini Aldrete Score-nya yaitu aktivitas motorik
1 (dua ekstremitas dapat digerakkan), pernapasan 2 (bernapas tanpa hambatan),

31
kesadaran 2(sadar penuh), sirkulasi 2 (tekanan darah dalam kisaran <20% sebelum
operasi), dan warna kulit 2 (merah muda). Jadi Aldrete Score pada pasien ini
adalah 9 sehingga layak untuk pindah ke bangsal.

32
BAB IV
KESIMPULAN

Seorang Wanita usia 21 tahun G1P0A0 dengan posterm KPD dan


oligohidramnion yang dilakukan operasi Sectio Caesarea Transperitoneal pada
tanggal 22 Nopember 2017. Tindakan anestesi yang dilakukan adalah anestesi
regional dengan blok subarachnoid. Hal ini dipilih karena keadaan pasien sesuai
dengan indikasi anestesi regional.
Evaluasi pre operasi pada pasien dalam batas normal. Tidak ditemukan
kelainan lain yang menjadi kontraindikasi dilakukannya anestesi regional.
Berdasarkan klasifikasi status fisik pasien pra-anestesi menurut American
Society of Anesthesiologist, pasien digolongkan dalam ASA II .Di ruang
pemulihan (recovery room) vital sign pasien dalam batas normal dan nilai aldrette
score mencapai 9 sehingga pasien bisa dipindahkan ke bangsal.

33
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Westrom KD.
2006. Kehamilan Multi Janin. Dalam: Hatono A, Suyono YJ. Pendit BU.
Obstetri Williams.Volume 1 edisi 21. Jakarta: Penerbit buku kedokteran
EGC.

Fletcher GE. Multiple births. 2009. Available at URL


http://emedicine.medscape.com

Himendra, A. 2004. Teori Anestesiologi:Yayasan Pustaka Wina:Bandung.


Jaideep J Pandit. Intravenous Anaesthetic Drug. 2007. Anaesthesia And Intensive

Care Medicine 9:4. Diunduh dari:

http://www.philippelefevre.com/downloads/basic_sciences_articles/iv-

anaesthetic-agents/intravenous-anaesthetic-agents.pdf

Kliegman RM. 2000. Kehamilan multiple. Dalam: Wahab AS, editor bahasa

Indonesia. Ilmu kesehatan anak. Volume 1 edisi 15. Jakarta: Penerbit buku

kedokteran EGC.

Latief, SA, Suryadi, KA, Dachlan, R.2007. Petunjuk Praktis Anestesiologi edisi
ketiga. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta.
Liewellyn-Jones D. 2002. Kelainan presentasi janin. Dalam: Hadyanto, editor
edisi bahasa Indonesia. Dasar-dasar Obstetri dan Ginekologi. Edisi 6.
Hipokrates, Jakarta.
Mangku G,dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Anasthesia dan Reanimasi. Cetakan

pertama. Jakarta : Universitas Udayana Indeks.

Mansjoer A, Triyanti K, Wardhani WI. Et all (editor). 2007. Kapita Selekta

Kedokteran. Cetakan keenam : Media Aesculapius – FK UI.

34
Muhiman, Roesli Thaib, Sunatrio, Dahlan. 1998. ANESTESIOLOGI , Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta.
Omoigui, S. 1997. Obat-obatan Anastesia. EGC : Jakarta.

35

Anda mungkin juga menyukai