Anda di halaman 1dari 44

BAGIAN KARDIOLOGI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN APRIL 2017


UNIVERSITAS HASANUDDIN

LAKI-LAKI 28 TAHUN DENGAN GAGAL JANTUNG


KONGESTIF DAN REGURGITASI MITRAL

OLEH :
Firman M. Saleh

C11112306

SUPERVISOR PEMBIMBING:

dr. Andi Alief Utama Armin, M. Kes, Sp.JP,

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:


Nama : Firman M. Saleh C11112306
Judul Laporan Kasus : Laki-laki 28 tahun dengan Gagal Jantung Kongestif dan
Mitral Regurgitasi

Telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada Bagian Kardiologi dan


Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 17 April 2017

Supervisor Pembimbing

dr. Andi Alief Utama Armin, M. Kes, Sp.JP,

2
LAPORAN KASUS
Laki-laki usia 28 tahun dengan Gagal Jantung Kongestif dan Regurgitasi Mitral

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. N
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 28 tahun
Alamat : Takalar
Pekerjaan : Wiraswasta
Status : Belum menikah
Tanggal Masuk RS : 5 April 2017
No. Rekam Medis : 680052
Perawatan : Lontara 1 Atas Belakang, 2/III/1
B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama : Sesak napas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Sesak napas dirasakan sejak 2 tahun yang lalu. Sesak hilang timbul,
muncul terutama saat beraktivitas, dan membaik dengan istirahat. Sesak
sering disertai dengan jantung berdebar-debar. Batuk ada, tidak berdahak.
Nyeri dada tidak ada. Demam tidak ada. Mual dan muntah tidak ada. BAB
biasa, warna kuning, BAK lancar kuning.
Pasien pertama kali merasakan sesak napas saat sedang bermain
sepakbola pada tahun 2015. Pasien kemudian dibawa ke Rumah Sakit di
Takalar kemudian dirujuk ke RS. Wahidin Sudirohusodo. Saat itu pasien
didiagnosis dengan Gagal jantung kongestif dan Regurgitasi mitral.
Pada bulan Juni 2016, pasien kembali dirawat di RS dengan keluhan
sesak napas dan bengkak seluruh badan. Pasien direncanakan untuk
menjalani operasi penggantian katup jantung namun belum dilakukan
sampai sekarang. Pasien sementara mengonsumsi Simarc, furosemide, dan
digoxin.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi dan Diabetes Mellitus tidak ada.
Riwayat penyakit jantung dan paru-paru sebelumnya disangkal.

3
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit jantung, hipertensi dan diabetes mellitus pada keluarga
disangkal. Ibu pasien dahulu sering menderita sesak napas.
5. Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok ada, kurang dari 1 bungkus per hari. Tidak sering.
Riwayat minum alkohol ada, tidak sering.
C. PEMERIKSAAN FISIS
1. Status generalis
Keadaan umum : Sakit berat/gizi cukup/Composmentis (GCS: E4M6V5)
Status Antropometri
Tinggi Badan : 165 cm
Berat Badan : 60 kg
IMT : 22.22 kg/m2
2. Tanda vital
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 60 kali per menit
Pernapasan : 20 kali per menit
Suhu : 36.5 0C
3. Pemeriksaan Kepala dan Leher
Mata : Anemis (-), ikterus (-)
Leher : JVP R+3 cmH2O, limfadenopati (-), Pembesaran
kelenjar getah bening (-)
4. Pemeriksaan Thoraks
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), vocal fremitus
simetris kesan normal
Perkusi : Sonor kiri = kanan
Batas paru-hepar : ICS V dekstra
Batas paru belakang kanan : CV Th. VIII dekstra
Batas paru belakang kiri : CV Th. IX sinistra
Auskultasi : Bunyi napas vesikuler, ronkhi di kedua basal paru,
wheezing tidak ada.

4
5. Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : Batas jantung atas : ICS II Linea parasternalis
sinistra
Batas jantung kanan : ICS IV Linea midclavicula
dextra
Batas jantung kiri : ICS V Linea aksilaris anterior
sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung : S I/II regular, kesan menjauh. Bising
pansistolik punctum maksimum pada apex jantung.
6. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : datar, ikut gerak nafas
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), hepar dan limpa tidak
teraba
Perkusi : Timpani (+) Ascites (-)
7. Pemeriksaan Ekstremitas
Extremitas hangat, Edema pretibial -/-, Edema dorsum pedis -/-

5
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Elektrokardiografi (10/4/2017)

Interpretasi:
Ritme : Aritmia
Heart Rate : 60 bpm
Regularitas : Irreguler
Axis : Normoaxis
P wave : Atrial fibrillasi
QRS complex : Cornel score : R pada aVL + S pada V3 = 29 mV (LVH)
– Durasi QRS : 0.08 det
– ST segment : normal
– T wave : T tinggi pada lead V5
Kesan : Atrial fibrillasi, HR 60 bpm, normoaxis, Left Ventricular
Hypertrophy.

6
2. Laboratorium
Test Result Normal Value

WBC 7.15 [10^3/mm3] 4.0 - 10.0


RBC 5.23 [10^6/mm3] 4.50 - 6.50
HGB 13.4 g/dl 14.0 - 18.0
HCT 42.3 % 40.0 - 54.0
PLT 235 [10^3/mm3] 150 – 400
Ureum 27 mg/dl 10 – 50
Creatinine 1.02 mg/dl < 1.3
SGOT 34 U/L < 38
SGPT 23 U/L < 41
Total bilirubin 2.89 mg/dl < 1.1
Direct bilirubin 1.17 mg/dl < 0.30
Albumin 4.0 gr/dl 3.5 - 5
Na/K/Cl 142 / 3.6 / 103 mmol/l 136-145 / 3.5-5.1 / 97 - 111
HBsAg Non Reactive Non Reactive

Anti HCV Non Reactive Non Reactive

GDS 114 mg/dl 140

PT 16.5 detik 10-14

APTT 39.2 detik 22.0 – 30.0

3. Foto thoraks
Telah dilakukan foto toraks posisi PA dengan deskripsi sebagai berikut:
- Tampak perkabutan parahilar dan parakardial di kedua lapangan
paru
- Jantung membesar dengan CTI 0.7, prominent batas jantung kanan
(RAE), main bronchus terangkat, pinggang jantung menonjol
(LAE), apeks tertanam (LVE), dilatasi arteri pulmonal, aorta
normal.
- Kedua sinus dan diafragma baik.
- Tulang-tulang yang tervisualisasi intak

7
Kesan : kardiomegali dengan PNH, RAE, LAE disertai tanda-tanda
edema pulmonal.

4. Ekokardiografi
Kesimpulan :
- Fungsi sistolik ventrikel kiri baik, fraksi ejeksi 57%
- Dilatasi semua ruang jantung, LV D-shaped
- Hipertrofi ventrikel kiri eksentrik
- Mitral regurgitasi berat, regurgitasi aorta sedang, regurgitasi
trikuspid sedang, regurgitasi pulmonal trivial, hipertensi pulmonal
sedang
- Efusi perikard ringan

8
9
E. RESUME

Sesak napas dirasakan sejak 2 tahun yang lalu. Sesak hilang timbul, muncul
terutama saat beraktivitas, dan membaik dengan istirahat. Sesak sering disertai
dengan jantung berdebar-debar. Batuk ada, tidak berdahak. Nyeri dada tidak ada.
Demam tidak ada. Mual dan muntah tidak ada. BAB biasa, warna kuning, BAK
lancar kuning.
Pasien pertama kali merasakan sesak napas saat sedang bermain sepakbola
pada tahun 2015. Pasien kemudian dibawa ke Rumah Sakit di Takalar kemudian
dirujuk ke RS. Wahidin Sudirohusodo. Saat itu pasien didiagnosis dengan Gagal
jantung kongestif dan Regurgitasi mitral. Pada bulan Juni 2016, pasien kembali
dirawat di RS dengan keluhan sesak napas dan bengkak seluruh badan. Pasien
direncanakan untuk menjalani operasi penggantian katup jantung namun belum
dilakukan sampai sekarang. Ibu pasien dahulu sering menderita sesak napas.
Riwayat merokok ada, kurang dari 1 bungkus per hari. Tidak sering. Riwayat
minum alkohol ada.
Dari pemeriksaan fisis, pasien sakit berat, gizi cukup, composmentis
(E4M6V5). Tanda vital didapatkan tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 60 kali per
menit, suhu 36.5 derajat C dan pernapasan 20 kali per menit. Status antropometri
didapatkan gizi cukup. Jugular venous pressure: R+3 cm H2O pada posisi 45º. Pada
pemeriksaan thoraks bunyi pernapasan vesikuler, ronkhi ada di kedua basal paru,
S1-S2 irregular, bising pansistolik punctum maksimum pada apeks jantung. Dari
pemeriksaan EKG didapatkan Atrial fibrillasi normoventrikular respons. Dari
pemeriksaan ekokardiografi didapatkan regurgitasi mitral berat, regurgitasi aorta
sedang, hipertensi pulmonal sedang dan efusi perikardium ringan. Pada
pemeriksaan foto thoraks didapatkan kardiomegali dan tanda-tanda edema paru.
F. DIAGNOSIS
1. Gagal jantung kongestif NYHA II
2. Regurgitasi mitral berat
3. Regurgitasi aorta sedang
4. Hipertensi pulmonal sedang
5. Atrial fibrilasi dengan respons ventrikel normal

10
G. TERAPI
1. Bed rest
2. Oxygen 2 LPM via Nasal Kanule
3. Furosemide 40 mg/24 jam/intravena
4. Digoxin 0.25 mg/24 jam/oral
5. Captopril 6,25 mg/8 jam/oral
6. Direncanakan untuk operasi ganti katup mitral.

11
DISKUSI
CONGESTIVE HEART FAILURE
A. Definisi
Congestive Heart Failure adalah ketidakmampuan jantung untuk
mempertahankan curah jantung (cardiac output/CO) dalam memenuhi
kebutuhan metabolisme tubuh. Penurunan CO mengakibatkan volume darah
yang efektif berkurang. Untuk mempertahankan fungsi sirkulasi yang adekuat,
maka di dalam tubuh terjadi suatu refleks hemostasis atau mekanisme
kompensasi melalui perubahan-perubahan neurohormonal, dilatasi ventrikel,
dan mekanisme Frank-Starling. Dengan demikian, manifestasi klinis gagal
jantung terdiri dari berbagai respon hemodinamik, renal, neural, dan hormonal
yang tidak normal. (Kabo 2010)
Gagal jantung juga didefinisikan sebagai kumpulan gejala yang kompleks
di mana seorang pasien harus memiliki tampilan berupa: gejala gagal jantung
(nafas pendek yang tipikal saat istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai /
tidak kelelahan); tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan
kaki); adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat
istirahat. (PERKI 2015)
B. Etiologi
Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh:
a. Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung,
disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari
penyebab kelainan fungsi otot mencakup penyakit jantung koroner,
miokarditis, penyakit infiltratif, dan iatrogenik. (Kabo 2010)
b. Penyakit arteri koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran
darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis. Infark miokardium
biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit
miokardium degeneratif, berhubungan dengan gagal jantung karena
kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan
kontraktilitas menurun. (Liwang & Wijaya 2014)

12
c. Hipertensi sistemik atau pulmonal
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya
mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung. Hipertensi menyebabkan
gagal jantung kongestif melalui mekanisme disfungsi sistolik dan diastolik
dari ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri menjadi predisposisi terjadinya
infark miokard, aritmia atrium dan ventrikel yang nantinya akan berujung
pada gagal jantung kongestif. (Kabo 2010)
d. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif (aging)
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung
merusak serabut jantung menyebabkan kontraktilitas menurun. (Liwang &
Wijaya 2014)
e. Kelainan Katup
Dari beberapa kasus kelainan katup jantung, yang paling sering
menyebabkan gagal jantung kongestif ialah regurgitasi mitral. Regurgitasi
mitral meningkatkan preload sehingga terjadi peningkatan volume di
jantung. Peningkatan volume jantung memaksa jantung untuk
berkontraksi lebih kuat agar darah tersebut dapat didistribusi ke seluruh
tubuh. Kondisi ini jika berlangsung lama menyebabkan gagal jantung
kongestif. (ESC 2012)
f. Aritmia
Atrial fibrilasi secara independen menjadi pencetus gagal jantung
tanpa perlu adanya faktor concomitant lainnya seperti PJK atau hipertensi.
31% dari pasien gagal jantung ditemukan gejala awal berupa atrial fibrilasi
dan ditemukan 60% pasien gagal jantung memiliki gejala atrial fibrilasi
setelah dilakukan pemeriksaan ekokardiografi. Aritmia tidak hanya
sebagai penyebab gagal jantung tetapi juga memperparah prognosis
dengan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. (AHA 2008)
g. Kardiomiopati
Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit-penyakit pada otot
jantung yang tidak disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi,
kongenital, kelainan katup, atau penyakit perikardium. Sebagai penyakit
primer otot jantung, kardiomiopati merupakan penyebab gagal jantung

13
yang tidak umum, tetapi harus tetap diperhatikan dalam menegakkan
diagnosis. (Liwang & Wijaya 2014)
 Kardiomiopati dilatasi merupakan penyakit otot jantung di mana
abnormalitas utamanya adalah dilatasi ventrikel kiri, dengan atau
tanpa dilatasi ventrikel kanan. Sel-sel miokardium juga mengalami
hipertrofi, dengan variasi ukuran dan fibrosis ekstraselular yang
meningkat. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa lebih dari
seperempat kasus-kasus kardiomiopati dilatasi diturunkan dalam
keluarga. Miokarditis viral merupakan penyebab yang
dipertimbangkan. Penyakit jaringan ikat seperti systemic lupus
erythematosus (SLE), sindrom Churg-Strauss, dan poliartritis nodosa
merupakan penyebab yang lebih jarang. Angiografi koroner dapat
mengeksklusi penyakit koroner, dan biopsi endomiokardium harus
dilakukan untuk mengeksklusi miokarditis atau penyakit infiltratif
lain. Dilatasi juga dapat disebabkan oleh aritmia atrial dan ventrikular,
dan dilatasi ventrikel dapat menyebabkan regurgitasi mitral dan
trikuspid “fungsional”. (Liwang & Wijaya 2014)
 Kardiomiopati hipertrofik dapat diturunkan dalam keluarga
(dominan autosomal), walaupun kasus sporadik dapat terjadi.
Penyakit ini ditandai dengan abnormalitas serat-serat miokardium, dan
bentuk klasiknya termasuk hipertrofi septal asimetris, berhubungan
dengan obstruksi aliran keluar dari aorta (kardiomiopati hipertrofik
obstruktif). (Liwang & Wijaya 2014)
 Kardiomiopati restriktif dan obliteratif
Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan dan komplians
yang tidak baik dari ventrikel, yang secara substansial tidak
membesar, dan hal ini berhubungan dengan abnormalitas fungsi
diastolik (relaksasi) yang membatasi pengisisan ventrikel.
Amiloidosis dan penyakit infiltratif lain, termasuk sarkoidosis dan
haemokromatosis, dapat menyebabkan sindrom restriktif. Fibrosis
endomiokardium juga merupakan penyebab kardiomiopati restriktif,
walaupun penyakit tersebut merupakan penyebab gagal jantung yang

14
jarang di negara barat. Fibrosis endokardium traktus yang menuju
salah satu atau kedua ventrikel, termasuk regio subvalvar,
menyebabkan restriksi pengisian diastolik dan obliterasi kavitas.
(Liwang & Wijaya 2014)
C. Patofisiologi
Berbagai faktor bisa berperan menimbulkan gagal jantung. Faktor-faktor
ini kemudian merangsang timbulnya mekanisme kompensasi, yang apabila
berlebihan dapat menimbulkan gejala-gejala gagal jantung. Gagal jantung
paling sering mencerminkan adanya kelainan fungsi kontraktilitas ventrikel
(suatu bentuk gagal sistolik) atau gangguan relaksasi ventrikel (suatu bentuk
gagal diastolik). (Sugeng & Sitompul 2003)
a. Disfungsi sistolik
Pada disfungsi sistolik, kontraktilitas miokard mengalami gangguan.
Dibandingkan dengan keadaan normal, isi sekuncup berkurang dan
volume akhir sistolik meningkat. Akibat dari peningkatan volume akhir
sistolik, sewaktu darah dari vena pulmonalis kembali ke jantung yang
sedang payah, volume ruangan jantung pada diastol meningkat lebih besar
dibandingkan pada jantung normal. Ini menyebabkan tekanan dan volume
akhir sistolik lebih tinggi dari normal. (Sugeng & Sitompul 2003)
Keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan disfungsi sistolik
ventrikel kiri, antara lain infark miokard, regurgitasi mitral/aorta, stenosis
aorta, kardiomiopati dilatasi, dan hipertensi yang tidak terkendali.
Disfungsi kontraktilitas dapat disebabkan oleh kerusakan miosit pada
infark miokard. Pada kardiomiopati dilatasi atau keadaan dengan
kelebihan beban volume yang kronik, terdapat gangguan kontraktilitas
yang progresif tanpa kehilangan viabilitas miosit yang jelas. Sebagai
akibat dari gangguan kontraktilitas, isi sekuncup ventrikel berkurang dan
timbullah gejala penurunan curah jantung. Pengosongan ventrikel yang
tidak sempurna selanjutnya menyebabkan peningkatan volume diastolik,
akibatnya, juga terjadi peningkatan tekanan. (Sugeng & Sitompul 2003)

15
Pada gagal jantung kiri, kenaikan tekanan diastolik diteruskan secara
retrograd ke atrium kiri kemudian ke vena dan kapiler paru. Kenaikan
tekanan hidrostatik kapiler paru bila cukup tinggi (melebihi 20 mmHg)
bisa menyebabkan transudasi cairan ke dalam interstitial paru dan
menyebabkan keluhan-keluhan kongesti paru. Bila ventrikel kanan gagal,
kenaikan tekanan diastolik diteruskan ke atrium kanan, selanjutnya timbul
bendungan pada vena sistemik dan tanda-tanda gagal jantung kanan.
Peningkatan berlebihan beban akhir (afterload) pada ventrikel kanan
paling sering diakibatkan oleh gagal jantung kiri, karena adanya
peningkatan tekanan vena dan arteri pulmonalis yang menyertai disfungsi
ventrikel kiri. (Sugeng & Sitompul 2003)
Gagal jantung kanan murni (isolated) di mana fungsi ventrikel kiri
normal lebih jarang ditemukan. Ini sering mencerminkan peningkatan
beban akhir ventrikel kanan akibat penyakit parenkim paru atau pembuluh
paru. Gagal jantung yang berhubungan dengan keadaan-keadaan ini
disebut kor pulmonal. (Sugeng & Sitompul 2003)
b. Disfungsi diastolik
Kira-kira 40% dari penderita gagal jantung mempunyai fungsi
kontraktilitas (sistolik) ventrikel yang normal. Banyak dari penderita ini
yang menunjukkan kelainan fungsi diastolik, berupa gangguan relaksasi
diastolik dini (yaitu suatu proses yang aktif dan bergantung pada energi),
peningkatan kekakuan dinding ventrikel (sifat yang pasif), atau kedua-
duanya. Iskemia miokard yang akut adalah contoh suatu keadaan yang
menghambat sementara hantaran energi yang dapat menghambat relaksasi
diastolik. Hipertrofi ventrikel kiri atau kardiomiopati restriktif
menyebabkan dinding ventrikel menjadi kaku secara kronik. (Sugeng &
Sitompul 2003)
Penderita dengan disfungsi diastolik sering memperlihatkan tanda-
tanda bendungan akibat peninggian tekanan diastolik yang diteruskan ke
vena pulmonalis dan sistemik. Namun demikian, penderita-penderita
seperti ini dengan fungsi sistolik yang normal, gejala penurunan curah
jantungnya lebih jarang. (Sugeng & Sitompul 2003)

16
Gagal jantung kiri dalam jangka panjang dapat diikuti dengan gagal
jantung kanan; demikian pula gagal jantung kanan dalam jangka panjang
dapat diikuti dengan gagal jantung kiri. Jika kedua gagal jantung tersebut
terjadi pada saat yang bersamaan maka keadaan ini disebut sebagai gagal
jantung kongestif. (Sugeng & Sitompul 2003)

Gambar 1. Patomekanisme gagal jantung

17
D. Klasifikasi
New York Heart Association (NYHA) membagi klasifikasi Gagal Jantung
Kongestif berdasarkan tingkat keparahan dan keterbatasan aktivitas fisik:
Tabel 1. Klasifikasi Gagal Jantung Kongestif
NYHA - Tidak ada keterbatasan dalam aktivitas fisik.
I - Aktivitas fisik tidak menyebabkan sesak nafas, fatigue, atau
palpitasi.
NYHA - Sedikit mengalami keterbatasan dalam aktivitas fisik.
II - Merasa nyaman saat beristirahat tetapi saat melakukan aktivitas
fisik mulai merasakan sedikit sesak, fatigue, dan palpitasi.
NYHA - Mengalami keterbatasan dalam aktivitas fisik.
III - Merasa nyaman saat istirahat namun ketika melakukan
aktivitas fisik yang sedikit saja sudah merasa sesak, fatigue,
dan palpitasi.
NYHA - Tidak bisa melakukan aktivitas fisik.
IV - Saat istirahat gejala bisa muncul dan jika melakukan aktivitas
fisik maka gejala akan meningkat.

E. Kriteria Diagnosis
Berdasarkan studi dari Framingham Heart Study (1993), diagnosis gagal
jantung kongestif ditegakkan apabila diperoleh minimal 2 kriteria Mayor
ATAU 1 kriteria Mayor dan 2 kriteria minor.
Tabel 2. Kriteria Framingham untuk gagal jantung kongestif
Kriteria Mayor Kriteria minor
Paroxysmal nocturnal dyspnea Dyspnea on effort (DOE)
Distensi vena di leher Edema pretibial
Ronkhi Batuk malam hari
Acute pulmonary oedema Hepatomegali
Hepatojugular reflux Takikardi (>120 kali/menit)
Gallop S3 Efusi pleura
Radiographic cardiomegaly Penurunan kapasitas vital (VC) paru
Peningkatan CVP >16 cmH2O >1/3 dari nilai normal

18
Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan berdasarkan:
a. Tanda dan Gejala
Gejala tipikal: sesak nafas, ortopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea,
toleransi beraktivitas yang berkurang, waktu yang diperlukan untuk pulih
setelah beraktivitas semakin memanjang, kelelahan, dan bengkak pada
pergelangan kaki. (PERKI 2015)
Gejala tidak khas: batuk tengah malam, wheezing, berat badan
meningkat (>2 kg/minggu), berat badan menurun (pada gagal jantung
berat), perasaan kembung, hilang nafsu makan, palpitasi, kebingungan
(khususnya pada orang tua), depresi, dan sinkop. (PERKI 2015)
Tanda spesifik: JVP meningkat, refluks hepatojugular, suara jantung
ke-3 (ritme gallop), impuls apikal ke lateral, murmur. (PERKI 2015)
Tanda tidak spesifik: edema perifer, krepitasi pulmonal, inspirasi
udara berkurang dan pekak basal paru pada perkusi (efusi pleura),
takikardi, nadi irregular, takipnoe, hepatomegali, ascites, kaheksia
(wasting jaringan). (PERKI 2015)
Gejala gagal jantung kiri
Gejala-gejala gagal jantung sebenarnya berasal dari gejala
menurunnya curah jantung disertai mekanisme kompensasi jantung dan
gejala karena terjadinya bendungan paru. (Sugeng & Sitompul 2003)
1. Dyspnea on Effort: sesak nafas pada aktivitas fisik. (Sugeng &
Sitompul 2003)
2. Orthopnea: sesak nafas yang terjadi pada saat berbaring dan dapat
berkurang dengan sikap duduk atau berdiri. Hal ini disebabkan
pada saat berdiri terjadi penimbunan cairan di kaki dan perut.
Pada waktu berbaring, cairan ini kembali ke pembuluh darah dan
menambah darah balik, sehingga terjadi sesak nafas. (Sugeng &
Sitompul 2003)
3. Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND): serangan sesak nafas ini
terjadi pada malam hari, di mana pasien yang sedang tidur
terbangun karena sesak nafas. Berbeda dengan ortopneu yang
dengan cepat bisa disembuhkan dengan perubahan dari posisi

19
tidur ke posisi berdiri, PND memerlukan waktu agak lama, yaitu
sekitar 30 menit. Sebab yang pasti terjadinya PND belum
diketahui, tetapi mungkin disebabkan oleh kombinasi: (1)
menurunnya tonus simpatis; (2) darah balik yang bertambah; (3)
penurunan aktivitas pada pusat pernafasan di malam hari; (4)
edema paru, keadaan ini merupakan suatu kesatuan atau keadaan
tersendiri dan merupakan tingkat terberat dari gagal jantung.
Selain keadaan di atas, dapat pula terjadi sesak yang sangat berat,
takikardia, tekanan darah menurun, hemoptoe, keringat dingin,
pucat, dan sebagainya. (Sugeng & Sitompul 2003)
Gejala gagal jantung kanan
Pada keadaan gagal jantung kanan akut akibat ventrikel kanan tidak
bisa berkontraksi secara optimal, terjadi bendungan di atrium kanan dan
vena cava (inferior dan superior). Dalam keadaan ini, gejala edema perifer,
hepatomegali, dan splenomegali belum sempat terjadi. Yang terjadi secara
mencolok adalah turunnya tekanan darah dengan cepat sebab darah balik
berkurang. (Sugeng & Sitompul 2003)
Pada gagal jantung kanan yang kronik, ventrikel kanan saat sistol
tidak mampu memompakan darah keluar, sehingga tekanan akhir diastol
ventrikel kanan akan meninggi. Dengan demikian, maka tekanan di atrium
kanan juga akan meninggi, sehingga diikuti bendungan darah di vena cava
superior dan inferior serta seluruh sistem vena. Hal ini secara klinis akan
memperlihatkan gejala: (Sugeng & Sitompul 2003)
1. bendungan di vena jugularis eksterna;
2. bendungan di vena hepatika (menyebabkan hepatomegali);
3. bendungan di vena lienalis (menyebabkan splenomegali);
4. bendungan di vena-vena perifer, sehingga tekanan hidrostatik di
kapiler meningkat, sehingga terjadi edema perifer.
b. Pemeriksaan penunjang
1. Foto thoraks
Pemeriksaan x-ray thoraks berperan penting dalam investigasi rutin
pasien-pasien yang disuspek mengalami gagal jantung, dan dapat pula

20
berguna dalam memantau respon terapi. Pembesaran jantung (CTI >0.5)
dapat terjadi, meskipun rasio kardiothoraks dan fungsi ventrikel kiri tidak
terlalu berhubungan. Kardiomegali biasanya tidak terjadi, misalnya pada
gagal ventrikel kiri akut yang disebabkan oleh infark miokard akut,
regurgitasi katup akut, atau defek septum ventrikel didapat. Peningkatan
rasio kardiothoraks kemungkinan berhubungan dengan dilatasi ventrikel
kanan atau kiri. X-ray thoraks juga dapat memberikan informasi mengenai
penyebab sesak nafas yang bukan disebabkan oleh kelainan jantung.
(PERKI 2015)

Gambar 2. Gambaran x-ray thoraks yang menunjukkan kardiomegali


pada pasien dengan kardiomiopati dilatasi

Gambar 3. Gambaran x-ray thoraks yang menunjukkan kardiomegali dan


kongesti paru pada fissura horizontalis

21
2. Elektrokardiografi (EKG) 12 sadapan
Gambaran elektrokardiografi (EKG) 12 sadapan abnormal pada
sebagian besar pasien gagal jantung, walaupun gambaran EKG
normal pada lebih dari 10% kasus. Abnormalitas yang umum terjadi
berupa gelombang Q, abnormalitas pada gelombang T dan segmen
ST, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block, dan fibrilasi atrial.
Kombinasi x-ray thoraks yang normal dan gambaran EKG normal
menunjukkan bahwa kemungkinan besar sesak nafas bukan
disebabkan oleh kelainan jantung. Pada pasien bergejala (palpitasi
atau pusing), pemantauan EKG 24 jam (Holter) atau peralatan
Cardiomemo dapat mendeteksi aritmia paroksismal atau abnormalitas
lain, seperti ventrikular ekstrasistol, takikardi ventrikular berlanjut
ataupun tidak berlanjut, dan ritme atrial abnormal (ekstrasistol,
takikardi supraventrikular, dan fibrilasi atrial paroksismal). Namun
demikian, banyak pasien gagal jantung menunjukkan ventrikular
ekstrasistol kompleks dalam pemantauan 24 jam. Dengan demikian,
EKG dapat memperlihatkan beberapa abnormalitas pada sebagian
besar pasien (80-90%), termasuk gelombang Q, perubahan ST-T,
LVH, gangguan konduksi dan aritmia. (Gray et al. 2002)

Gambar 4. Gambaran EKG yang menunjukkan hipertrofi ventrikel


kiri dengan perubahan gelombang T dan segmen ST pada sadapan
sadapan lateral (“strain pattern”)

22
Gambar 5. Gambaran EKG menunjukkan fibrilasi atrial dengan respon
ventrikular cepat
3. Ekokardiografi
Ekokardiografi merupakan satu-satunya pemeriksaan non-invasif
yang bermanfaat dalam penilaian fungsi ventrikel kiri yang idealnya
dilakukan pada seluruh pasien yang disuspek gagal jantung. Walaupun
penilaian klinis yang dikombinasikan dengan pemeriksaan x-ray
thoraks dan EKG memungkinkan diagnosis awal gagal jantung,
ekokardiografi dapat menilai struktur dan fungsi jantung secara
objektif. Dilatasi ventrikel kiri dan gangguan kontraktilitas diobservasi
pada pasien-pasien dengan disfungsi sistolik yang berhubungan dengan
penyakit jantung iskemik (di mana abnormalitas pergerakan dinding
jantung regional dapat dideteksi) atau kardiomiopati dilatasi (dengan
kerusakan global kontraksi sistolik). (Gray et al. 2002)

Gambar 6. Gambaran ekokardiogram dua dimensi (kiri) dan


ekokardiogram model M (kanan) menunjukkan hipertrofi ventrikel
kiri. A = septum intraventrikular; B = dinding posterior ventrikel kiri

23
Gambar 7. Ekokardiogram Doppler berwarna menunjukkan regurgitasi
mitral; (kiri) dan regurgitasi aorta (kanan)

Gambar 8. Ekokardiogram dua dimensi (tampak parasternal aksis


panjang) (kiri), Ekokardiogram mode M (kanan) menunjukkan
kerusakan berat fungsi ventrikel kiri pada kardiomiopati dilatasi.
F. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pada pasien yang telah didiagnosis dengan gagal
jantung adalah untuk menghilangkan gejala dan tanda (contoh: edema),
mencegah perawatan di rumah sakit, dan meningkatkan angka kehidupan.
Mengurangi tingkat mortalitas dan perawatan di rumah sakit merefleksikan
efektivitas terapi dalam memperlambat atau mencegah gagal jantung yang
semakin memburuk secara progresif. (Kabo 2010)

24
1. Non-farmakologik
Intervensi gaya hidup antara lain; Diet rendah garam 2 gr pada gagal
jantung ringan, dan 1 gr pada gagal jantung berat. Jumlah cairan 1.5 L/hari
pada gagal jantung ringan, dan 1 L/hari pada gagal jantung berat. Berhenti
merokok dan konsumsi alkohol (terutama pada kardiomiopati). Aktivitas
fisik rutin misalnya berjalan kaki 3-5 kali per minggu selama 20-30 menit.
Istirahat tirah baring pada gagal jantung akut, berat, dan eksaserbasi akut.
(Liwang & Wijaya 2014)
2. Farmakologik
Berdasarkan patofisiologinya, konsep terapi farmakologis pada gagal
jantung saat ini terutama bertujuan untuk:
 Menurunkan preload (diuretik, antagonis reseptor aldosteron, nitrat).
Diuretik juga dapat dipakai untuk mengatasi retensi cairan tubuh.
 Meningkatkan kontraktilitas jantung (bagi yang mengalami gangguan
kontraktilitas miokard) (digitalis, ibopamin, β-blocker generasi ketiga,
atau inhibitor fosfodiesterase).
 Menurunkan afterload (ACE-inhibitor, Angiotensin Receptor
Blocker/ARB, Direct Renin Inhibitor/DRI, atau Calcium Channel
Blocker/CCB golongan dihidropiridin).
 Mencegah remodelling miokard dan menghambat progresivitas gagal
jantung dengan ACE-inhibitor atau ARB.
 Memperbaiki metabolisme energi miokard dengan Carnitine, Co-
enzyme Q10, D-ribose, magnesium, dan vitamin-vitamin.
(Kabo 2010)
Golongan obat-obatan yang dipakai dalam terapi gagal jantung:
a. Diuretik
Diuretik merupakan pengobatan standar untuk penderita gagal
jantung kongestif. Kebanyakan pasien membutuhkan obat ini secara
kronis untuk mempertahankan euvolemia. Diuretik yang sering
digunakan adalah tiazid, furosemid, dan spironolakton. (Kabo 2010)

25
 Hydrochlorotiazide (HCT) harganya murah, namun selalu
menyebabkan hipokalemia dan hipomagnesemia. Dosis kecil
(12.5 mg/hari) atau dengan substitusi kalium dapat mengurangi
efek samping. (Kabo 2010)
 Spironolakton memiliki efek potassium sparing yang tidak
menyebabkan hipokalemia, akan tetapi obat ini merupakan
antagonis reseptor aldosteron. Spironolakton dilaporkan dapat
menghambat perburukan gagal jantung dan menurunkan
mortalitas. Dosis yang dianjurkan tidak melebihi 25 mg karena
dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama jika dikombinasikan
dengan ACE-inhibitor. (Kabo 2010)
 Furosemid adalah loop-diuretic yang kuat, di mana mula kerja
untuk diuresisnya mulai tampak dalam 30 menit masa kerja 4-6
jam. Obat ini masih memperlihatkan efek diuresisnya walaupun
GFR turun di bawah 25 ml/jam dan aman digunakan untuk
penderita gagal ginjal. Bagi penderita gagal jantung kongestif
ringan sampai sedang, furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari
akan memberikan respon yang baik. Sedangkan pada kasus berat
mungkin membutuhkan 40-80 mg/hari. Dosis ini dapat
ditingkatkan sesuai kebutuhan. Kontraindikasi pemberian
diuretik adalah tamponade jantung, infark miokard ventrikel
kanan, hepatic failure, hipokalemia, dan hipersensitivitas. (Kabo
2010)
b. Nitrat
Pemberian nitrat sangat berguna pada penderita gagal jantung
yang juga memiliki riwayat penyakit jantung koroner atau bagi
mereka yang telah menerima furosemid dosis tinggi namun belum
mampu mengatasi sindrom gagal jantung. Pemberian nitrat harus
selalu dimulai dengan dosis awal rendah untuk mencegah terjadinya
sinkop. Pemberian nitrat dosis kecil lebih menyebabkan dilatasi vena
dibandingkan dilatasi arteriol. Venodilatasi yang ditimbulkan nitrat
menurunkan preload sehingga menurunkan ukuran ruang atrium

26
kanan dan kiri serta tekanan akhir diastolik, sehingga meningkatkan
perfusi miokard. Nitrat dapat diberikan peroral, intravena, topikal, dan
sublingual. (Kabo 2010)
c. Digitalis
Digitalis digunakan sebagai obat standar untuk penderita gagal
jantung karena memiliki efek inotropik positif (meningkatkan
kontraktilitas) dan kronotropik negatif (menurunkan laju jantung).
Sifat obat ini sangat ideal karena hampir semua pasien gagal jantung
mengalami takikardi. Dengan menurunkan laju jantung, obat ini
memberi kesempatan bagi ventrikel kiri untuk mengadakan relaksasi
dan pengisian efektif sebelum dipompakan keluar. (Kabo 2010)
Digoksin adalah rapid-acting digitalis yang dapat diberikan
secara oral atau intravena. Mekanisme kerja digoksin yang pertama
adalah menghambat aktivasi pompa sodium (Na+/K-ATPase) yang
memperlambat fase repolarisasi, atau dengan kata lain
memperpanjang fase depolarisasi miokard; dengan demikian lebih
banyak Ca2+ masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja digoksin yang
kedua adalah meningkatkan tonus vagus (parasimpatis) sehingga
menurunkan laju jantung. (Kabo 2010)
Digoksin intravena diberikan pada gagal jantung akut akibat
fibrilasi atrium respon cepat. Digoksin oral diabsorpsi lambat dan
tidak sempurna (30-40%), akan tetapi obat ini masuk ke dalam
sirkulus enterohepatis sehingga waktu paruh penjang, yaitu 1.6 hari.
Sifat-sifat ini menyebabkan pemberian digoksin selalu mulai dengan
dosis muat (loading dose), yaitu 3 kali 1 tablet (0,25 mg) per hari
selama tiga hari untuk dewasa, kemudian dilanjutkan dosis
pemeliharaan (maintenance dose) 0,25 mg/hari untuk umur di bawah
70 tahun dan 0,125 mg/hari untuk umur di atas 70 tahun. (Kabo 2010)
d. Penghambat reseptor beta (β-blocker)
β-blocker yang terbukti dapat meningkatkan fraksi ejeksi,
memperbaiki gejala, dan menurunkan angka kematian pasien gagal
jantung adalah metoprolol, bisoprolol, dan carvedilol. “Start low and

27
go slow” adalah cara pemberian obat ini untuk pasien gagal jantung.
Semua pasien harus dalam kondisi relatif stabil, yaitu sudah tidak
terlalu sesak, tidak udem pretibial, atau ascites. Mulai dengan dosis
awal sangat rendah, yaitu 1/8-1/10 dosis target; misalnya dosis target
carvedilol adalah 25 mg/hari atau bisoprolol 5 mg/hari, maka mulai
dengan 1/8 tablet/hari. Dosis kemudian dinaikkan pelan-pelan dengan
supervisi ketat, yaitu apabila kondisi pasien membaik, maka setiap 1-
2 minggu dosis ditingkatkan 1/8 tablet sampai mencapai dosis target.
Kemajuan akan tampak setelah beberapa minggu bahkan beberapa
bulan kemudian. (Kabo 2010)
e. Angiotensin Converting Enzyme (ACE)-inhibitor
Setelah ditemukannya angiotensin II reseptor yang memiliki sifat
protooncogenic terhadap sel jantung, maka konsep yang paling
populer terhadap mekanisme kerja ACE-inhibitor pada gagal jantung
ialah bahwa obat golongan ini memiliki efek langsung pada jantung
dalam hal mencegah terjadinya remodelling dan menghambat
perluasan kerusakan miokard. Selain itu, obat golongan ini juga
memiliki efek lainnya, seperti: menurunkan afterload, menurunkan
aktivitas saraf simpatik, menurunkan sekresi aldosteron (sehingga
meningkatkan sekresi natrium), dan menurunkan sekresi vasopresin
yang semuanya berguna untuk penderita gagal jantung kongestif.
Penderita gagal jantung kongestif yang juga hipertensi adalah
golongan yang aman untuk menerima ACE-inhibitor. (Kabo 2010)
Biasanya, pengobatan dimulai dengan ACE-inhibitor short-
acting seperti captopril dosis rendah yaitu 3 kali 6,25 mg atau 12,5
mg/hari, kemudian dosis dinaikkan secara bertahap. Apabila tampak
perbaikan dan hemodinamik stabil, obat short-acting ini dapat diganti
ke golongan long-acting seperti lisinopril atau ramipril. (Kabo 2010)
f. Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
ACE-inhibitor tidak mampu menghambat sebagian besar
produksi angiotensin II, jadi dengan memblokade AT-1 reseptor,
ARB diharapkan dapat mencegah sebagian besar efek negatif dari

28
sistem RAA. Pemberian ARB dianjurkan pada pasien gagal jantung
yang memiliki kontraindikasi terhadap ACE-inhibitor. (Kabo 2010)
g. Penghambat Kanal Kalsium (Calcium Channel Blocker/CCB)
Calcium channel blocker, golongan dihidropiridin, merupakan
vasodilator kuat sehingga biasanya diberikan pada pasien gagal
jantung grade II yang tidak takikardi. CCB yang long-acting seperti
amlodipin dan nifedipin GIT lebih baik karena tidak mempresipitasi
refleks takikardi dan dilaporkan bermanfaat pada kasus yang belum
maupun yang sudah terjadi gangguan fungsi sistolik. Bagi pasien
yang tidak mampu, dapat diberikan nifedipin 10 mg, yang penting
dosis dibagi rata setiap 8 jam. (Kabo 2010)
3. Tatalaksana Pembedahan
Jika penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab gagal
jantung kronik, dan jika terdapat iskemia jantung, maka pada pasien dapat
dilakukan revaskularisasi koroner, termasuk angioplasti koroner atau
coronary artery bypass grafting (CABG). Revaskularisasi juga dapat
memperbaiki fungsi dari miokardium yang sebelumnya berhibernasi.
Pergantian atau perbaikan katup harus dipertimbangkan pada pasien
dengan penyakit katup primer yang berkaitan dengan stabilitas
hemodinamik. (Kabo 2010)
Transplantasi jantung kini dinyatakan sebagai terapi pilihan pada
beberapa pasien dengan gagal jantung berat yang masih menunjukkan
gejala meskipun telah diberikan terapi medis yang intensif. Hal ini
berhubungan dengan 90% angka bertahan hidup satu tahun dan 50-60%
angka bertahan hidup 10 tahun, meskipun hal ini dibatasi oleh ketersediaan
organ donor. Transplantasi harus dipertimbangkan pada pasien-pasien
yang lebih muda (usia <60 tahun) tanpa penyakit penyerta yang berat
(contoh: gagal ginjal atau keganasan). (Kabo 2010)
Bradikardi dapat ditangani dengan pacu jantung permanen
konvensional, meskipun dapat dilakukan pacu jantung biventricular pada
beberapa pasien dengan gagal jantung kongestif yang resisten.
Kardiodefibrilator yang dapat diimplan kini dinyatakan sebagai terapi

29
pada beberapa pasien dengan aritmia ventrikular resisten yang mengancam
nyawa. Pendekatan operatif yang baru seperti kardiomioplasti dan operasi
reduksi ventrikel (prosedur Batista) jarang digunakan karena memiliki
angka morbiditas dan mortalitas yang berat serta kurangnya bukti
percobaan yang konklusif mengenai keuntungan substansialnya. (Kabo
2010)
G. PROGNOSIS
Dalam gagal jantung, banyak variabel yang dapat menentukan prognosis
penyakit ini, meskipun sebagian besar didapatkan dari data yang telah tersedia
seperti usia, etiologi, kelas NYHA, fraksi ejeksi, komorbiditas (disfungsi renal,
diabetes, anemia, hiperurisemia), dan konsentrasi peptida natriuretik plasma.
Jelas bahwa variabel-variabel ini berubah seiring waktu, begitu pula dengan
prognosis. Penilaian prognosis terutama penting dalam mengedukasi pasien
mengenai peralatan dan pembedahan (termasuk transplantasi) dan dalam
merencanakan perawatan akhir kehidupan dengan pasien, keluarga pasien, dan
sebagainya. (Sugeng & Sitompul 2003)

30
REGURGITASI MITRAL
A. Definisi
Regurgitasi Mitral (RM) ditandai dengan berbaliknya aliran darah dari
ventrikel kiri ke atrium kiri akibat insufisiensi katup mitral. Keluhan bervariasi
tergantung derajat bahkan ada yang tidak memiliki gejala. Keluhan yang paling
sering ditemui adalah lelah dan sesak namun membaik dengan istrahat. Pada
RM derajat berat akut dapat ditemukan gejala yang lebih hebat, seperti edema
paru atau gagal jantung kongestif, yang memerlukan pemberian diuretik.
(Gaol, Pradipta & Wijaya 2014)
B. Etiologi
Berdasarkan etiologinya insufisiensi atau regurgitasi mitral dapat dibagi
atas reumatik dan non reumatik (degenerative, endocarditis, penyakit jantung
koroner, penyakit jantung bawaan dan trauma). Di Negara berkembang seperti
Indonesia penyebab insufisiensi mitral adalah demam rematik yang
meninggalkan kerusakan menetap dari sisa fase akut. 30% penderita tidak
mempunyai riwayat demam rematik yang jelas. Manifestasi klinis sangat
bervariasi tergantung derajat hemodinamik yang ditimbulkan. (Yusak 2004)
C. Patogenesis Mitral Regurgitasi
Insufisiensi mitral akibat reuma terjadi karena katup tidak bisa menutup
sempurna waktu sistol. Perubahan-perubahan katup tersebut akibat kalsifikasi,
penebalan dan distorsi daun katup. Selain itu, pemendekan cordae tendinae
mengakibatkan katup tertarik ke ventrikel terutama bagian posterior, dan dapat
juga dilatasi annulus atau rupture kordae tendinae. (Yusak 2004)
Selama fase sistol terjadi aliran regurgitan ke atrium kiri, mengakibatkan
gelombang V yang tinggi di atrium kiri, sedangkan aliran aorta berkurang.
Selama diastol, darah mengalir dari atrium kiri ke ventrikel. Darah dari Atrium
kiri tersebut berasal dari vena pulmonalis dan juga darah regurgitan yang
berasal dari ventrikel saat sistol sebelumnya. Ventrikel cepat distensi, apeks
bergerak ke bawah secara mendadak, menarik katup, kordae tendinae dan otot
papillaris. Hal ini mengakibatkan vibrasi membentuk bunyi jantung ketiga.
(Yusak 2004)

31
Secara garis besar MR dapat disebabkan oleh abnormalitas fungsional dan
struktural yang menyebabkan gangguan penutupan yang tepat antara daun
katup anterior dan posterior katup mitral pada saat sistolik. Mekanisme
terjadinya MR dapat dibedakan yaitu: (Aaronson & Ward 2010)
1. Abnormalitas Fungsional
Pada kondisi ini struktur katup dalam batas normal, MR terjadi
akibat kombinasi dilatasi annulus mitral dan disfungsi muskulus
papillaris. Penyebabnya antara lain abnormalitas gerakan dinding
ventrikel kiri secara segmental, dilatasi ventrikel kiri, disfungsi
muskulus papillaris paling sering disebabkan oleh infark inferior yang
terutama menyebabkan disfungsi muskulus papillaris posterior.
Sedangkan, disfungsi muskulus papillaris anterior jarang terjadi,
hanya kalau terdapat infark anterior luas. (Aaronson & Ward 2010)
2. Abnormalitas Struktural
Abnormalitas struktur dari daun katup atau komponen
subvalvular termasuk chorda tendinae dapat terjadi bila terdapat:
a. Kalsifikasi annulus
Umum terjadi pada wanita usia tua, pasien diabetes atau
paget’s disease. Sering mengenai bagian posterior annulus mitral,
terlihat sebagai kalsifikasi pada bagian belakang jantung pada
foto Rotgen thorax lateral. (Yusak 2004)
b. Kelainan daun katup
Sering disebabkan oleh demam rematik, endocarditis infektif
atau katup yang floppy, Penyakit rematik menyebabkan kuspis
menebal dengan komisura yang menyatu dan memberikan
gambaran “fish-mouth”. Gambaran ini khas pada pasien dengan
kombinasi MR dan MS. (Gray et al. 2002)
c. Ruptur Chorda Tendinae
Sering idiopatik, bisa akibat degenerasi myxomatous pada
sindrom floppy valve yang melibatkan chorda tendinae sehingga
menyebabkan chorda meregang dan rupture. Contohnya pada
prolapse katup mitral ataupun flail leaflets. (Gray et al. 2002)

32
Pada MR, sekitar 50% isi sekuncup ventrikel kiri masuk ke dalam atrium
kiri sebelum katup aorta membuka. Besaran volume regurgitan tergantung dari
ukuran mulut katup yang mengalami abnormalitas dan perbedaan tekanan
antara ventrikel dan atrium kiri saat sistol. Perbedaan tekanan ini sangat
dipengaruhi oleh resistensi vascular sistemik. (Yusak 2004)
Pada penderita MR terjadi beban volume (preload) dan juga beban
tekanan/resistensi (afterload) yang berlebihan, sehingga amat membebani
ventrikel kiri. Lambat laun, ventrikel kiri akan mengalami dilatasi dan annulus
mitral juga melebar. Kondisi ini tentu akan memperberat MR. Dengan obat-
obatan vasodilator, afterload berkurang dan bila disertai diuretic preload pun
akan berkurang. Hasil kerja kedua obat ini dapat mengurangi beban ventrikel
kiri, sehingga ukurannya mengecil termasuk annulus katup mitral, sehingga
volume regurgitan juga dapat dikurangi. Tanpa upaya untuk mengurangi beban
ventrikel kiri, maka lama kelamaan akan terjadi gagal jantung kiri, hipertensi
pulmonel dan gagal jantung kanan. (Yusak 2004)
D. Klasifikasi
Secara garis besar, MR dapat dibagi menjadi:
1. Mitral regurgitasi akut
Pada kondisi ini volume regurgitan akan meningkat secara tiba-tiba,
sehingga preload meningkat dan aliran ke aorta berkurang. Akibatnya,
volume diastolic akhir meningkat dan volume sistolik akhir turun, oleh
karenanya fraksi ejeksi pada MR tinggi. Meskipun pada MR terjadi
peningkatan isi sekuncup total, akan tetapi aliran ke aorta berkurang,
karena sekitar 50% kembali ke atrium kiri dan menyebabkan peningkatan
tekanan atrium kiri, yang kemudian ditransmisikan ke vena pulmonalis.
Peningkatan tekanan vena pulmonalis kemudia menyebabkan peningkatan
tekanan baji kapiler pulmoner dan menimbulkan kongesti paru. Gejalanya
dapat berupa sesak saat istirahat, ortopneu, dan tanda-tanda penurunan dari
aliran darah sistemik bahkan syok kardiogenik. Pada MR berat yang akut,
mungkin tidak terdapat perbedaan tekanan yang signifikan antara ventrikel
kiri dan atrium kiri, kondisi inilah yang menyebabkan kadang murmur

33
terdengar kecil/lemah dengan durasi yang pendek. (Aaronson & Ward
2010)
2. Mitral Regurgitasi Kronik
a. Mitral regurgitasi kompensasi kronik
Pada fase ini telah terjadi hipertrofi eksentrik (hipertrofi dan
dilatasi) ventrikel kiri dan volume diastolic akhir meningkat secara
substantial sedangkan afterload menuju kondisi normal sesuai hukum
Laplace. Peningkatan volume diastolic akhir juga akan meningkatkan
isi sekuncup total. Atrium kiri juga telah beradaptasi terhadap adanya
volume regurgitan dengan cara dilatasi, sehingga tekanannya turun
dan tekanan baji kapiler pulmonel juga tidak terlalu tinggi lagi. Fraksi
ejeksi sudah mencapai normal. Dilatasi atrium kiri juga menyebabkan
perbedaan tekanan yang signifikan antara ventrikel kiri dan atrium
kiri, sehingga murmur terdengar jelas dan durasinya lebih lama
dibandingkan dengan MR akut. (Carabello 1997)
b. Mital regurgitasi dekompensasi kronik
Pada fase ini, telah terjadi disfungsi otot jantung yang
mengganggu fraksi ejeksi, mengurangi isi sekuncup total maupun
aliran darah sistemik. Fraksi ejeksi meskipun masih dalam batas
normal, tetapi sebenarnya ventrikel kiri sudah mengalami disfungsi
dan mengakibatkan kenaikan tekanan diastolic akhir ventrikel kiri
juga atrium kiri. Kurangnya volume darah yang dipompakan akibat
disfungsi ventrikel kiri ini, juga menyebabkan peningkatan volume
sistolik akhir ventrikel kiri. (Carabello 1997)
E. Gejala Klinis
1. Mitral Regurgitasi Akut
Peningkatan tekanan atrium kiri yang tiba-tiba, langsung di
transmisikan ke vascular pulmoner dan menyebabkan peningkatan tekanan
baji kapiler pulmoner. Peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler
pulmoner menyebabkan cairan berpindah dari vaskuler ke interstitial dan
alveoli. Gejala kongesti paru seperti: Sesak nafas pada saat aktivitas ringan
atau istirahat sambil berbaring (ortopnea), peningkatan jugular venous

34
pressure (JVP), hepatomegali, asites, edema tungkai terlihat bila sudah
terjadi hipertensi pulmoner dan gagal jantung kanan. Tekanan di atrium
kiri yang meningkat secara signifikan mengakibatkan penurunan /
hilangnya perbedaan tekanan antara ventrikel kiri dan atrium kiri sehingga
murmur terdengar kecil dengan durasi yang pendek. (Baliga, Siva & Noble
2005)
2. Mitral Regurgitasi Kronik
Pada MR kronik, seringkali pasien asimptomatik delama beberapa
tahun. Gejala akan timbul bila terjadi penurunan curah jantung, yaitu cepat
lelah, lemah, sesak pada aktivitas atau tengah malam, bahkan ketika
berbaring, diikuti tanda-tanda gagal jantung kanan. (Baliga, Siva & Noble
2005)
F. Pemeriksaan Fisik
1. Palpasi : (Yusak 2014)
a. Carotid upstroke jelas
b. Impuls apeks cordis kuat dan bergeser ke lateral
c. Pengisian ventrikel kiri pada awal diastolik dapat diraba karena
volume yang berlebihan mengalir dari atrium kiri ke ventrikel kiri
d. Dilatasi ventrikel kiri menyebabkan impuls apeks bergeser ke lateral
e. Peningkatan gerak ventrikel kanan menandakan hipertensi pulmonal.
2. Auskultasi : (Yusak 2014)
a. Bunyi jantung pertama (S1) melemah
b. Splitting bunyi jantung kedua (S2)
c. Komponen pulmonal bunyi jantung kedua (P2) mengeras bila telah
terjadi hipertensi pulmonal
d. Bunyi jantung tambahan S4 terutama pada MR akut
e. Murmur pansistolik dengan punctum maximum di apeks, menjalar ke
lateral dan axilla. Pada MR akut murmur terdengar pendek dan halus.
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Elektrokardiogram
Elekrokardiogram pada MR tidaklah spesifik. Temuan yang penting
adalah pembesaran atrium kiri dan fibrilasi atrium. Hipertrofi ventrikel kiri

35
dan kanan kadang bisa ditemukan pada kasus dengan MR yang berat.
(Yusak 2014)
2. Foto Rontgen Toraks
Adanya kardiomegali akibat pembesaran atrium kiri dan ventrikel kiri
bisa ditemukan pada penderita MR. Edema interstitial alveoli kadang bisa
dilihat berupa garis Kerley B pada paru. Pada proyeksi lateral kadang bisa
dilihat kalsifikasi annulus katup mitral yang berbentuk C-Shape. (Yusak
2014)
3. Ekokardiogram
Ekokardiogram sangat berperan dalam evaluasi MR. Dengan
ekokardiogram selain ditegakkan diagnosis MR, juga dapat ditentukan
derajat severitas dari MR, ukuran dan fungsi ventrikel kiri dan atrium kiri,
menilai tekanan di arteri pulmonalis serta evaluasi pra dan pasca bedah
penggantian katup. (Gray et al. 2002)
H. TERAPI
1. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi bertujuan untuk mengurangi dan memperlambat
progresivitas disfungsi ventrikel kiri. Pada MR akut, nitrat dan diuretic
dapat mengurangi tekanan pengisian. Nitroprusside dapat menurunkan
afterload dan fraksi regurgitasi. Obat inotropic dianggap bermanfaat pada
pasien dengan gagal jantung dan hipotensi. (Yusak 2014)
Pada pasien MR dengan fibrilasi atrial sementara atau menetap
dengan riwayat tromboemboli harus mendapatkan terapi antikoagulan
dengan target INR 2-3. Terapi antikoagulan ini juga wajib diberikan
selama 3 bulan setelah reparasi katup mitral (mitral valve repair, MVr)
atau ganti katup (Mitral Valve Replacment, MVR) bioprostesis dan seumur
hidup bila dilakukan MVR mekanik. (Yusak 2014)
Terapi ACEI atau ARB dianggap bermanfaat pada MR dengan gagal
jantung, gejala yang berat, kondisi yang tidak memungkinkan untuk
dilakukan tindakan operasi. Vasodilator ini juga diperlukan oleh pasien
yang masih simptomatik setelah operasi, karena adanya disfungsi ventrikel
kiri. Penyekat beta dan diuretic hemat kalsium (spironolakton) terbukti

36
bermanfaat pada pasien dengan gagal jantung secara umum. (Gray et al.
2002)
2. Terapi Invasif Non Bedah
Rekonstruksi katup mitral perkutan menggunakan Mitral Clip adalah
teknik terbaru untuk terapi MR berat dimana pendekatan bedah
konvensional dinilai beresiko tinggi oleh karena fungsi jantung yang
rendah, adanya komorbiditas yang lain atau pada usia tua. Tindakan bisa
dilakukan kalau kondisi daun katup jantung masih baik. (Gray et al. 2002)
3. Terapi Bedah
Pembedahan pada MR merupakan tindakan pilihan untuk mengurangi
gejala dan mencegah perburukan kondisi pasien kearah gagal jantung.
Jenis operasi bisa berupa reparasi atau penggantian katup, yang
indikasinya dipengaruhi oleh kondisi katup, usia, keinginan melahirkan
anak (bagi wanita usia produktif), resiko perdarahan dengan minum
antikoagulan jangka panjang dan tentu saja keinginan pasien. (Gray et al.
2002)

37
ATRIAL FIBRILASI
A. Definisi
Atrial fibrilasi adalah suatu gangguan irama pada jantung yang ditandai
dengan ketidakteraturan irama denyut jantung dan peningkatan frekuensi
denyut jantung, yaitu sebesar 350-650 x/menit. Pada dasarnya atrial fibrilasi
merupakan suatu takikardi supraventrikuler dengan aktivasi atrial yang tidak
terkoordinasi dan deteriorisasi fungsi mekanik atrium. Keadaan ini
menyebabkan tidak efektifnya proses mekanik atau pompa darah jantung.
(AHA 2008)
B. Klasifikasi (Kabo 2010)
1. AF yang pertama didiagnosis
2. AF paroksismal yaitu AF yang dapat hilang dengan saendirinya dalam
jangka waktu 7 hari.
3. AF persisten yaitu AF tidak dapat hilang dengan sendirinya dalam jangka
waktu 7 hari, tetapi harus diterminasi secara medikamentosa atau secara
elektrik
4. AF permanen adalah AF yang gagal dengan kardioversi.
C. Patofisiologi
Mekanisme AF terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi lokal dan
multiple wavelet reentry. Proses aktivasi lokal bisa melibatkan proses
depolarisasi tunggal atau depolarisasi berulang. Pada proses aktivasi lokal,
fokus ektopik yang dominan adalah berasal dari vena pulmonalis superior.
Selain itu, fokus ektopik bisa juga berasal dari atrium kanan, vena cava superior
dan sinus coronarius. Fokus ektopik ini menimbulkan sinyal elektrik yang
mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan menggangu potensial aksi yang
dicetuskan oleh nodus SA. (Nasution & Ismail 2006)
Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi yang
berulang dan melibatkan sirkuit/jalur depolarisasi. Mekanisme multiple
wavelet reentry tidak tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada proses
aktivasi lokal, tetapi lebih tergantung pada sedikit banyaknya sinyal elektrik
yang mempengaruhi depolarisasi. Pada multiple wavelet reentry, sedikit
banyaknya sinyal elektrik dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode refractory,

38
besarnya ruang atrium dan kecepatan konduksi. Hal ini bisa dianalogikan,
bahwa pada pembesaran atrium biasanya akan disertai dengan pemendekan
periode refractory dan penurunan kecepatan konduksi. Ketiga faktor
tersebutlah yang akan meningkatkan sinyal elektrik dan menimbulkan
peningkatan depolarisasi serta mencetuskan terjadinya AF. (Nasution & Ismail
2006)

Gambar 9. A. Proses Aktivasi Lokal Atrial Fibrilasi B. Proses Multiple


Wavelets Reentry Atrial Fibrilasi
D. Tanda dan Gejala
Pada dasarnya AF, tidak memberikan tanda dan gejala yang khas pada
perjalanan penyakitnya. Umumnya gejala dari AF adalah peningkatan denyut
jantung, ketidakteraturan irama jantung dan ketidakstabilan hemodinamik.
Disamping itu, AF juga memberikan gejala lain yang diakibatkan oleh
penurunan oksigenisasi darah ke jaringan, seperti pusing, kelemahan,
kelelahan, sesak nafas dan nyeri dada. Tetapi, lebih dari 90% episode dari AF
tidak menimbulkan gejala-gejala tersebut. (Lilihata & Wijaya 2014)
E. Penatalaksanaan
Sasaran utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol
ketidakteraturan irama jantung, menurunkan peningkatan denyut jantung dan
menghindari/mencegah adanya komplikasi tromboembolisme. Kardioversi
merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk AF.
Menurut pengertiannya, kardioversi sendiri adalah suatu tata laksana yang
berfungsi untuk mengontrol ketidakteraturan irama dan menurunkan denyut
jantung. Pada dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2, yaitu pengobatan

39
farmakologi (Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan elektrik
(Electrical Cardioversion). (Kabo 2010)
1. Mencegah pembekuan darah (thromboembolism)
Pencegahan pembekuan darah merupakan pengobatan untuk
mencegah adanya komplikasi dari AF. Pengobatan yang digunakan adalah
jenis antikoagulan atau antitrombosis, hal ini dikarenakan obat ini
berfungsi mengurangi resiko dari terbentuknya trombus dalam pembuluh
darah serta cabang-cabang vaskularisasi. Pengobatan yang sering dipakai
untuk mencegah pembekuan darah terdiri dari berbagai macam,
diantaranya adalah: (Kabo 2010)
a. Warfarin
Warfarin termasuk obat golongan antikoagulan yang berfungsi
dalam proses pencegahan pembentukan sumbatan fibrin untuk
mengurangi atau mencegah koagulasi. Warfarin diberikan secara oral
dan sangat cepat diserap hingga mencapai puncak konsentrasi plasma
dalam waktu ±1 jam dengan bioavailabilitas 100%. Warfarin
dimetabolisme dengan cara oksidasi (bentuk L) dan reduksi (bentuk
D), yang kemudian diikuti oleh konjugasi glukoronidasi dengan lama
kerja ±40 jam. (Kabo 2010)
b. Aspirin
Aspirin secara irreversible menonaktifkan siklooksigenase dari
trombosit (COX-2) dengan cara asetilasi dari asam amino serin
terminal. Efek dari COX-2 ini adalah menghambat produksi
endoperoksida dan tromboksan A2 (TXA2) di dalam trombosit. Hal
inilah yang menyebabkan tidak terbentuknya agregasi dari trombosit.
Tetapi, penggunaan aspirin dalam waktu lama dapat menyebabkan
pengurangan tingkat sirkulasi dari faktor-faktor pembekuan darah,
terutama faktor II, VII, IX dan X. (Gray et al. 2002)
2. Mengurangi denyut jantung
Terdapat 3 jenis obat yang dapat digunakan untuk menurunkan
peningkatan denyut jantung, yaitu obat digitalis, β-blocker dan antagonis

40
kalsium. Obat-obat tersebut bisa digunakan secara individual ataupun
kombinasi. (Kabo 2010)
a. Digitalis
Obat ini digunakan untuk meningkatkan kontraktilitas jantung
dan menurunkan denyut jantung. Hal ini membuat kinerja jantung
menjadi lebih efisien. Disamping itu, digitalis juga memperlambat
sinyal elektrik yang abnormal dari atrium ke ventrikel. Hal ini
mengakibatkan peningkatan pengisian ventrikel dari kontraksi atrium
yang abnormal. (Kabo 2010)
b. Penghambat reseptor beta (β-blocker)
Obat β-blocker merupakan obat yang menghambat efek sistem
saraf simpatis. Saraf simpatis pada jantung bekerja untuk
meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas jantung. Efek ini akan
berakibat dalam efisiensi kinerja jantung. (Kabo 2010)
c. Antagonis Kalsium (Calcium Channel Blocker/CCB)
Obat ini menyebabkan penurunan kontraktilitas jantung akibat
dihambatnya ion Ca2+ dari ekstraseluler ke dalam intraseluler. (Kabo
2010)
3. Mengembalikan irama jantung
Kardioversi merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat
dilakukan untuk mengaturkan irama jantung. Menurut pengertiannya,
kardioversi sendiri adalah suatu tatalaksana yang berfungsi untuk
mengontrol ketidakteraturan irama dan menurunkan denyut jantung. Pada
dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2, yaitu pengobatan farmakologi
(Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan elektrik (Electrical
Cardioversion). (Kabo 2010)
a. Pharmacological Cardioversion (anti-aritmia)
1) Amiodarone
2) Dofetilide
3) Flecainide
4) Ibutilide
5) Propafenone

41
6) Quinidine
b. Electrical Cardioversion
Suatu teknik memberikan arus listrik ke jantung melalui dua pelat
logam (bantalan) ditempatkan pada dada. Fungsi dari terapi listrik ini
adalah mengembalikan irama jantung kembali normal atau sesuai
dengan NSR (nodus sinus rhythm). (Gray et al. 2002)
c. Operatif
a. Catheter ablation
Prosedur ini menggunakan teknik pembedahan dengan
membuatan sayatan pada daerah paha, kemudian memasukkan
kateter ke dalam pembuluh darah utama hingga masuk kedalam
jantung. Pada bagian ujung kateter terdapat elektroda yang
berfungsi menghancurkan fokus ektopik yang bertanggung jawab
terhadap terjadinya AF. (Kabo 2010)
b. Maze operation
Prosedur maze operation hampir sama dengan catheter
ablation, tetapi pada maze operation, akan mengahasilkan suatu
“labirin” yang berfungsi untuk membantu menormalitaskan
system konduksi sinus SA. (Kabo 2010)

42
DAFTAR PUSTAKA

Aaronson, PI & Ward, JPT 2010, At a Glance: Sistem Kardiovaskular, 3rd edn,
Erlangga, Jakarta.
Baliga, R, Siva, A & Noble, M 2005, Crash Course Cardiology, Elsevier MOSBY,
Philadelphia.
Carleton, PF & O’Donnell, MM 2012, ‘Penyakit Katup Jantung’, in SA Price & LM
Wilson (ed.), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, vol. 1, 6th
edn, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Fauci (ed.) 2012, Harrison’s Principles of Internal Medicine, 18th edn, McGraw-
Hill, USA.
Gaol, HL, Pradipta, EA & Wijaya, IP 2014, ‘Kelainan Katup Jantung’, in Christanto
et al. (ed.), Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, Jakarta, pp. 769-
776.
Gray et al. 2002, Lecture Notes: Kardiologi, 4th edn, Erlangga, Jakarta.
Kabo, P 2010, Bagaimana menggunakan obat – obat kardiovaskular secara
rasional, Badan Penerbit FKUI, Jakarta.
Karo, SK 2003, ‘Disritmia’, in LI Rilantono et al. (ed.), Buku Ajar Kardiologi,
Badan Penerbit FKUI, Jakarta, pp. 275-288.
Lilihata, G & Wijaya, IP 2014, ‘Aritmia’, in Christanto et al. (ed.), Kapita Selekta
Kedokteran, Media Aesculapius, Jakarta, pp. 756-763.
Liwang, F & Wijaya, IP 2014, ‘Gagal Jantung’, in Christanto et al. (ed.), Kapita
Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, Jakarta, pp. 742-746.
McMurray, JJV et al. 2012, ‘Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute
and Chronic Heart Failure’, European Society of Cardiology, pp. 1787-1847.
Nasution, SA & Ismail, D 2006, ‘Fibrilasi Atrial’, in AW Sudoyo et al. (ed.), Buku
Ajar Ilmu penyakit Dalam, Vol. 3, 4th edn, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta, pp. 1537-1542.
Siswanto, BB et al. 2015, Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung, Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, Jakarta.
Sugeng, JI & Sitompul, B 2003, ‘Gagal Jantung’, in LI Rilantono et al. (ed.), Buku
Ajar Kardiologi, Badan Penerbit FKUI, Jakarta, pp. 115-128.

43
Wijaya, IP & Gaol, HL 2014, ‘Kardiomiopati’, in Christanto et al. (ed.), Kapita
Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, Jakarta, pp. 767-769.
Yusak, M 2003, ‘Insufisiensi Mitral’, in LI Rilantono et al. (ed.), Buku Ajar
Kardiologi, Badan Penerbit FKUI, Jakarta, pp. 140-144.

44

Anda mungkin juga menyukai