Askep KOLESISTITIS DAN KOLELITIASIS Klompok 5
Askep KOLESISTITIS DAN KOLELITIASIS Klompok 5
TUGAS
oleh
Kelompok 5
UNIVERSITAS JEMBER
2015
TUGAS
diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Klinik III A dosen pengampu
Ns. Wantiyah, M.Kep.
oleh
Kelompok 5
UNIVERSITAS JEMBER
2015
ASKEP KOLESISTITIS
Kasus
Seorang pasien perempuan usia 45 tahun dibawa ke UGD karena mengalami nyeri hebat
pada perut sebelah kanan atas. Nyeri kadang dirasakan pada daerah baru. Pasien juga
merasakan demam sejak 1 hari yang lalu. Berdasarkan berbagai pemeriksaan yang
dilakukan pasien didiagnosa kolesistitis.
Analisa Kasus
A. Kolesistitis
Etiologi
Penyebab terjadinya kolesistitis adalah statis cairan empedu, infeksi kuman dan
iskemia dinding kandung empedu. Bagaimana stasis di duktus sistitis dapat menyebabkan
kolesistitis dalam belum jelas. Banyak factor yang berpengaruh seperti kepekatan cairan
empedu, kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding
Selain factor-faktor di atas kolesistitis dapat terjadi juga pada pasien yang dirawat
cukup lama dan mendapat nutrisi secara parentesal pada sumbatan karena keganasan
kandung empedu, batu disaluran emepedu atau merupakan salah satu komplikasi penyakit
lain seperti demam tipoid dan IOM (Prof. dr. H.M. Sjaifaoellah Noer).
Faktor Resiko
Faktor risiko utama untuk kolesistitis, memiliki peningkatan prevalensi di kalangan
orang-orang keturunan Skandinavia, Pima India, dan populasi Hispanik, cholelithiasis
sedangkan kurang umum di antara orang dari sub-Sahara Afrika dan Asia. Beberapa
faktor resiko yang lain sebagai berikut:
1. adanya riwayat kolesistitis akut sebelumnya
2. Wanita (beresiko dua jadi lebih besar dibanding laki-laki)
3. Usia lebih dari 40 tahun
4. Kegemukan (obesitas)
5. Faktor keturunan
6. Aktivitas fisik
Dikerjakan Oleh:
Dema novita hindom 132310101033
Referensi :
Hadi, Sujono. 1995. Gastroenterologi, ed. 6. Alumni : Bandung
Mitchel, Richard N. 2008. Buku saku dasar keperawatan patologis Robbins &
Cotran Ed.7. Jakarta: EGC
Smeltzer, S& Brunner Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Volume 2 Edisi 8. Jakarta : EGC.
http://www.academia.edu/9341232/Asuhan_keperawatan_kolesistitis
Tanda dan gejala untuk kolesistitis akut adalah nyeri perut kanan atas serta kenaikan
panas tubuh. Kadang-kadang rasa sakit menjalar ke pundak / scapula kanan dan dapat
berlangsung selama 60 menit tanpa reda. Pada pemeriksaan fisi teraba masa kandung
empedu, nyeri tekan. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukosistesis serta
kemungkinan peninggalan serum transaminase dan fostatase alkali.
Menurut Price (2005) sebanyak 75% orang yang memiliki batu empedu tidak
memperlihatkan gejala. Sebagian besar gejala timbul bila batu menyumbat aliran empedu,
yang seringkali terjadi karena batu yang kecil melewati ke dalam duktus koledokus.
Penderita batu empedu sering memiliki gejala kolesistitis akut atau kronis.
a. Gejala Akut
1) Nyeri hebat mendadak pada epigastrium atau abdomen kuadran kanan atas,
nyeri dapat menyebar ke punggung dan bahu kanan.
2) Nyeri 30-60 menit pasca krandial kuadran kanan atas.
3) Rasa sakit menjalar ke pundak / scapula kanan
4) Penderita dapat berkeringat banyak dan gelisah.
5) Nausea dan muntah sering terjadi
6) Leukostesis
7) Ikterus, dapat di jumpai di antara penderita penyakit kandung empedu dengan
persentase yang kecil dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus koledokus.
Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan menimbulkan
gejala yang khas, yaitu getah empedu yang tidak lagi di bawa ke dalam
duodenum akan di serap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat
kulit dan membran mukosa bewarna kuning. Keadaan ini sering di sertai
dengan gejala gatal-gatal yang mencolok pada kulit.
8) Perubahan warna urine dan feses. Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan
membuat urine bewarna sangat gelap. Feses yang tidak lagi di warnai oleh
pigmen empedu akan tampak kelabu, dan biasanya pekat.
b. Gejala kronis
Gejala kolelitiasis kronis mirip dengan gejala kolelitiasis akut, tetapi
beratnya nyeri dan tanda-tanda fisik kurang nyata. Pasien sering memiliki riwayat
dispepsia, intoleransi lemak, nyeri ulu hati, atau flatulen yang berlangsung lama.
Menurut Reeves ( 2001) tanda dan gejala yang biasanya terjadi adalah:
1) Nyeri di daerah epigastrium kuadran kanan atas
2) Pucat biasanya dikarenakan kurangnya fungsi empedu
3) Pusing akibat racun yang tidak dapat diuraikan
4) Demam
5) Urine yang berwarna gelap seperti warna the
6) Dispepsia yang kadang disertai intoleransi terhadap makanan-makanan
berlemak
7) Nausea dan muntah
8) Berkeringat banyak dan gelisah
9) Koledokolitiasis (tidak menimbulkan gejala pada fase tenang)
10) Terjadi otolisis serta edema.
D. Mekanisme Kolesistitis
Brunner & Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Ed. 8 vol 2. Jakarta EGC
E. Pemeriksaan Kolesistitis
1. Radiologi
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan akurat, dan
dapat digunakan pada penderita disfungsi hati dan ikterus. Disamping itu, pemeriksaan
USG tidak membuat pasien terpajan radiasi inisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil
yang paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung
empedunya berada dalam keadan distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan pada
gelombang suara yang dipantulkan kembali. Pemeriksan USG dapat mendeteksi kalkuli
dalam kandung empedu atau duktus koleduktus yang mengalami dilatasi.
2. Radiografi: Kolesistografi
Kolesistografi digunakan bila USG tidak tersedia atau bila hasil USG meragukan.
Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu empedu dan mengkaji
kemampuan kandung empedu untuk melakukan pengisian, memekatkan isinya,
berkontraksi serta mengosongkan isinya. Oral kolesistografi tidak digunakan bila pasien
jaundice karena liver tidak dapat menghantarkan media kontras ke kandung empedu yang
mengalami obstruksi. (Smeltzer dan Bare, 2002).
3. Sonogram
Sonogram dapat mendeteksi batu dan menentukan apakah dinding kandung
empedu telah menebal. (Williams 2003)
Manajemen terapi :
2. Disolusi medis
Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan pemberian obat-
obatan oral. Ursodeoxycholic acid lebih dipilih dalam pengobatan
daripada chenodeoxycholic karena efek samping yang lebih banyak pada
penggunaan chenodeoxycholic seperti terjadinya diare, peningkatan aminotransfrase dan
hiperkolesterolemia sedang.
Pemberian obat-obatan ini dapat menghancurkan batu pada 60% pasien dengan
kolelitiasis, terutama batu yang kecil. Angka kekambuhan mencapai lebih kurang 10%,
terjadi dalam 3-5 tahun setelah terapi. Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi
kriteria terapi nonoperatif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu kurang
dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik paten. Pada anak-anak terapi
ini tidak dianjurkan, kecuali pada anak-anak dengan risiko tinggi untuk menjalani operasi.
3. Disolusi kontak
Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan batu kolesterol
dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam kandung empedu melalui kateter
perkutaneus melalui hepar atau alternatif lain melalui kateter nasobilier. Larutan yang
dipakai adalahmethyl terbutyl eter. Larutan ini dimasukkan dengan suatu alat khusus ke
dalam kandung empedu dan biasanya mampu menghancurkan batu kandung empedu
dalam 24 jam.
Kelemahan teknik ini hanya mampu digunakan untuk kasus dengan batu yang
kolesterol yang radiolusen. Larutan yang digunakan dapat menyebabkan iritasi mukosa,
sedasi ringan dan adanya kekambuhan terbentuknya kembali batu kandung empedu
ESWL sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu. Analisis biaya-
manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien
yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
Penatalaksanaan Bedah
1. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga kolelitiasis
simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus
biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur
ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik
biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
2. Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang
ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di
Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi
normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung
dan paru.Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil
di dinding perut.
Dikerjakan Oleh:
Windi Noviani 132310101036
Referensi:
Dr. H. Y. Kuncara Aplikasi klinis patofisiologi: Pemeriksaan dan manajemen,
edisi 2: 2009; Buku kedokteran EGC
Nucleus Precise Newsletter. (2011). Batu Empedu. Jakarta : PT.Nucleus Precise
Noer, Sjaifoellah. 1996. Ilmu Penyakit Dalam. HKUI: Jakarta
Pearce, Evelyn C. 2006. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. PT. Gramedia
Pustaka Utama : Jakarta
Smeltzer, Suzanne c, dkk. 2001. Keperawatan medical bedah EGC: Jakarta
Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2005. 570-579
Pengkajian
Anamnesa
A. Identitas Klien : Nama, tempat tanggal lahir, jenis kelamin,umur, pekerjaan, nama
ayah/ ibu, pekerjaan, alamat, agama, suku bangsa, pendidikan terakhir. Masalah ini
biasanya di alami oleh wanita dengan usia lebih dari 40 tahun.
B. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama : sakit perut sisi kanan atas, nyeri yang berpindah-
pindahmenjalar kadang sampai pundak, mual, muntah, perut terasa kembung,
kulit berwarna kuning (apabila batu empedu menghalangi saluran empedu),
suhu badan tinggi (demam).
2. Riwayat kesehatan sekarang
Data dapat diperoleh dari kronlogis kejadian sampai muncul masalah dan
keluhan utama, misalnya:
a. Bagaimana gejalanya ? (mendadak, perlahan-lahan, terus-menerus atau
hilan timbul)
b. Tempat dan sifat gejala (menjalar, menyebar, berpindah-
pindah, atau menetap).
c. Berat ringannya keluhan dan perkembangannya (menetap, cenderung
bertambah, atau berkurang).
d. Berapa lama keluhan berlangsung?
e. Kapan dimulainya?
f. Upaya apa saja yang telah dilakukan untuk meringankan.
Pasien yangmengalami kolesistisismengalaminyeriperutkananatas yang
dapatmenyebarkepunggung danbahukanan.Selainitupasienjuga mengalami
mual, muntah, kembungdan bersendawa.
3. Riwayat kesehatan masa lalu
a. Riwayat pemakaian obat-obatan (jenis obat, dosis obat dan cara
pemakaian)
b. Pengalaman masa lalu tentang kesehatan : riwayat sakit dengan gejala
yang sama, pengalaman perawatan di rumah sakit, pengalaman
tindakan bedah ( operasi ), pengalaman kecelakaan, dll.
4. Riwayat kesehatan keluarga
Data mengenai penyakit menular atau menurun yang dimiliki keluarga seperti
TBC, Diabetes, Hipertensi
5. Riwayat kesehatan lingkungan
Dapatkan data mengenai lingkungan rumahtempat tinggal pasien sekarang.
a. Apakah sedang terjadi wabah penyakit di lingkungan rumah
tempattinggal pasien?
b. Apakah merupakan daerah industri (rawan polusi)?
c. Lingkungan yang kurang sehat?
d. Kondisi rumah(ventilasi, jendela, kamar mandi/MCK) yang memadai?
Pemeriksaan Fisik
A. PemeriksaanFisik
1) Kaji keadaanumum pasien:meliputi kesan secara umum pada
keadaansakittermasukekspresiwajah(meringis,grimace,lemas) dan
posisipasien.Kesadaranyang meliputipenilaiansecarakualitatif
(komposmentis,apatis,somnolen,sopor,soporokoma,koma) dapat juga
menggunakanGCS.Lihatjuga keadaanstatusgizisecara umum (kurus,
ideal, kelebihan berat badan)
2) Kaji kondisifisik pasien: pemeriksaan tanda-tanda vital, adanya
kelemahanhingga sangatlemah,takikardi,diaforesis,wajahpucatdan
kulit berwarnakuning, perubahanwarnaurin danfeses.
3) Kajiadanyanyeriabdomenatasberat,dapatmenyebarkepunggung
ataubahukanan,mualdanmuntah,gelisahdankelelahan.Palpasi
padaorganhati,limpa,ginjal,kandungkencinguntukmemeriksaada atau
tidaknyapembesaran padaorgan tersebut.
4) Integumen:periksa ada tidaknya oedem, sianosis,icterus, pucat,
pemerahan luka pembedahan padaabdomen sebelah kananatas.
5) Kaji perubahangizi-metabolik: penurunan berat badan, anoreksia,
intoleransilemak,mualdanmuntah,dispepsia, menggigil,demam,
takikardi, takipnea, terabanyakandung empedu.
6) Ekstremitas:Apakahadaketerbatasandalamaktivitaskarenaadanya
nyeriyanghebat, juga apakah adakelumpuhan atau kekakuan.
B. PemeriksaanFisik B6
1)B1: Peningkatan frekuensipernafasan, pernafasan tertekan ditandai nafas
pendek dan tertekan.
2)B2: Takikardi,demam,resikoperdarahankarenakekuranganvitamin
K.
3)B3:Nyeri padaperutkananatasmenyebarkepunggungataubahu
kanan,gelisah.
4)B4: Urinegelap pekat.
5)B5:Distensiabdomen,terabamassapadakuadrankananatas,feses
warnaseperti tanah liat.
6)B6: Kelemahan, ikterik,kulit berkeringat dangatal (pruritus).
C. Pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksana kesehatan: pola hidupsehat pasien yang
menderitakolesistitis harus ditingkatkan dalam meningkatkan
statuskesehatannya,perawatan,dantatalaksana hidupsehat. Keluarga
jugaperluuntukterus melakukanperawatanselaintimkesehatan
gunameningkatkankesehatannya.
2) Polanutrisidanmetabolisme:polanutisipasiendengankolesistitis
terganggu,halinidikarenakanpasienmengalamimual,muntahdan
kembungsehingga pasienmengalami resiko perubahan nutrisi.
3) Pola eliminasi: pola eliminasi pada pasien dengan kolesistitis
mengalamigangguanyang ditandaidenganurineyang berwarna pekat
dan gelap serta fesesyangberwarnaseperti tanahliat.
4) Polaaktivitas:Pasiendengankolesistitismengalamiperubahanpola
aktivitasnya.Hal ini dikarenakan pasien mengalmi nyeri perutkanan
atas sertaadanya perubahan nutria yangmenyebabkan kelemahan.
Perubahan pola nutrisijugadapat mempengaruhiaktivitasnya.
5) Polaistirahatdantidur:Polaistirahatpadapasienkolesistitisjuga
mengalami gangguan karenanyeriyangdirasakan.
6) Pola kognitif dan persepsi sensori: Pola ini mengenai
pengetahuan pasien dankeluarga terhadap penyakit yang diderita klien
7) Pola konsep diri: Bagaimana persepsikeluarga dan pasien
terhadappengobatan danperawatanyang akan dilakukan.
8) Pola hubungan-peran: Peran keluarga sangat dibutuhkan dalam
perawatan danmemberi dukungan serta dampingan pada pasien
dengan kolesistitis.
9) Polaseksual-seksualitas:Apakahselamasakitterdapatgangguanatau
tidakyang berhubungandenganreproduksisosial.Padapasien
kolesistitits mengalamigangguandalamreproduksikarenanyeriyang
dirasakan.
10)Polamekanisme koping:Keluarga perlumemberikandukungandan
semangatsembuh bagi pasien kolesistitis.
11)Polanilaidankepercayaan:Keluarga selaluoptimisdanberdoaagar
penyakitpadapasien kolesistitisdapat sembuh dengancepat.
Pemeriksaan penunjang
1)Darah lengkap:
a) Leukositosis sedang (akut), bilirubin dan amilase serum:
meningkat.
b) Enzim hati serum-AST (SGOT): ALT (SGPT); LDH; agak
meningkat alkaline fosfat dan 5-nukletiase; Di tandai obstruksi
bilier.
c) Kadarprotrombin:Menurunbilaobstruksialiranempedudalam usus
menurunkanabsorbsi vitamin K.
2)Ultrasound: Menyatakan kalkuli, dan distensi kandung empedu
dan/atau ductus empedu(seringmerupakan prosedur diagnostik awal).
3) Kolangeopankreatografi retrograd endeskopik: Memperlihatkan
percabanganbilier dengankanualasduktuskoledukusmelalui deudenum.
4) Kolangiografitranshepatikperkutaneus:Pembedaangambarandengan
flouroskopianatarapenyakitkantungempedudankankerpankreas( bila
ekterik ada).
5)Kolesistogram(untukkolositisis kronis):Menyatakanbatupadasistem
empedu.Catatan:kontraindikasipadakolesititis karenapasienterlalu
lemahuntukmenelanzatlewatmulut.CTScan:Dapatmenyatakan kista
kandungempedu, dilatasi duktus empedu, dan membedakan antaraikterik
obstruksi/non obstruksi.
6) Scanhati(denganzatradioaktif):Menunjukanobstruksipercabangan bilier.
7) Foto abdomen (multiposisi): Menyatakan gambaran radiologi
(kalsifikasi)batuempedu,kalsifikasidinding ataupembesarankandung
empedu.
8)Foto dada: Menunjukan pernapasan yang menunjukkan penyebaran
nyeri.
Diagnosa
1. Nyeri b/d proses inflamasi kandung empedu, obstruksi/spasme duktus, iskemia
jaringan/nekrosis
2. Resiko tinggi kekurangan volume cairan b/d dispensi dan hipermortilitas gaster,
gangguan proses pembekuan darah, peningkatan metabolisme
3. Resiko tinggi gangguan pemenuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b/d
mual, muntah, gangguan pencernaan lemak,dispepsi, intake yang tidak adekuat
4. Kurangnya pengetahuan b.d kurangnya informasi
Analisa Data
7. Analgesikberfungsi
untukmelakukanhambatan padas
ensor nyerisehingga sensasinyeri
pada klienberkurang.
NO DIAGNOSA IMPLEMENTASI
1. Nyeri b/d proses inflamasi 1. Memantau tingkat dan intensitasnyeri.
kandung empedu, 2. Mengajarkan teknik relaksasi (nafas dalam)
obstruksi/spasme duktus, 3. Memberikan kompres hangat (hati-hati
iskemia jaringan/nekrosis dengan klien yang mengalami perdarahan)
4. Memberikan posisi yang nyaman
5. Mengkondisikan lingkungan yangtenang di
sekitar klien
6. Mencatat repons terhadap obat dan laporkan
bila nyeri tidak hilang.
7. Mengkolaborasi pemberian analgesik
sesuai program terapi.
A: Masalah teratasi.
P: Intervensi dihentikan.
A: Masalah teratasi.
P: Intervensi dihentikan.
3. Resiko tinggi kekurangan S: Pasien mengatakan sudah tidak mual
volume cairan berhubungan dan muntah lagi.
dengan mual, muntah.
O: Pasien terlihat lebih segar dan tidak
menunjukkan ekspresi mual dan muntah
lagi.
A:Masalah teratasi.
P: Intervensi dihentikan.
Discharge Planning
Dikerjakan Oleh:
Nur Winingsih 132310101020
Ike Andriani 132310101057
Janna Ni’ma I 132310101051
Referensi:
Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Vol. 3.
Jakarta: EGC
Ignatavicius, Donna D. & Workman M.L. 2006. Medical-Surgical Nursing, Critical
Thinking for Collaborative Care. St. Louis: Elsevier Saunders
Marry, Marilynn, dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Akarta: EGC
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 2 Vol 2. Jakarta:
EGC.
Kasus
Seorang pasien laki-laki usia 50 tahun periksa ke poli interna RS Sehat karena
sering mengalami nyeri pada perut sebelah kanan atas. Nyeri berlangsung agak lama
sekitar 30 menit. Berdasarkan berbagai pemeriksaan yang dilakukan pasien
didiagnosa kolelitiasis.
Analisa Kasus
A. Definisi Kolelitiasis
B. Etiologi Kolelitiasis
C. Patofisiologi Kolelitiasis\
Gejala klinik kolelitiasis bervariasi dari tanpa gejala hingga munculnya gejala.
Lebih dari 80% batu kandung empedu memperlihatkan gejala asimptomatik. Gejala
klinik yang timbul pada orang dewasa biasanya dijumpai gejala dispepsia non
spesifik, intoleransi makanan yang mengandung lemak, nyeri epigastrium yang tidak
jelas, tidak nyaman pada perut kanan atas. Gejala ini tidak spesifik karena bisa terjadi
pada orang dewasa dengan atau tanpa kolelitiasis.
Pada anak-anak, gejala klinis yang sering ditemui adalah adanya nyeri bilier dan
obstructive jaundice. Nyeri bilier yang khas pada penderita ini adalah kolik bilier
yang ditandai oleh gejala nyeri yang berat dalam waktu lebih dari 15 menit sampai 5
jam. Lokasi nyeri di epigastrium, perut kanan atas menyebar sampai ke punggung.
Nyeri sering terjadi pada malam hari, kekambuhannya dalam waktu yang tidak
beraturan. Nyeri perut kanan atas yang berulang merupakan gambaran penting
adanya kolelitiasis. Umumnya nyeri terlokalisir di perut kanan atas, namun nyeri
mungkin juga terlokalisir di epigastrium. Nyeri pada kolelitiasis ini biasanya
menyebar ke bahu atas. Mekanisme nyeri diduga berhubungan dengan adanya
obstruksi dari duktus. Tekanan pada kandung empedu bertambah sebagai usaha untuk
melawan obstruksi, sehingga pada saat serangan, perut kanan atas atau epigastrium
biasanya dalam keadaan tegang.
Studi yang dilakukan oleh Kumar et al didapatkan gejala nyeri perut kanan atas
yang berulang dengan atau tanpa mual dan muntah mencapai 75% dari gejala klinik
yang timbul, sisanya meliputi nyeri perut kanan atas yang akut, jaundice, failure to
thrive, keluhan perut yang tidak nyaman. Hanya 10% dijumpai dengan gejala
asimptomatik. Mual dan muntah juga umum terjadi. Demam umum terjadi pada anak
dengan umur kurang dari 15 tahun. Nyeri episodik terjadi secara tidak teratur dan
beratnya serangan sangat bervariasi. Pada pemeriksaan fisik mungkin tidak dijumpai
kelainan. Pada sepertiga pasien terjadi inflamasi mendahului nekrosis, kemudian
diikuti perforasi atau empiema pada kandung empedu.
1. Radiologi
2. Radiografi: Kolesistografi
Kolesistografi digunakan bila USG tidak tersedia atau bila hasil USG
meragukan. Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu empedu
dan mengkaji kemampuan kandung empedu untuk melakukan pengisian,
memekatkan isinya, berkontraksi serta mengosongkan isinya. Oral kolesistografi
tidak digunakan bila pasien jaundice karena liver tidak dapat menghantarkan
media kontras ke kandung empedu yang mengalami obstruksi. (Smeltzer dan
Bare, 2002).
3. Sonogram
5. Pemeriksaan Laboratorium
2. Disolusi medis
Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan pemberian
obat-obatan oral. Ursodeoxycholic acid lebih dipilih dalam pengobatan
daripada chenodeoxycholic karena efek samping yang lebih banyak pada
penggunaan chenodeoxycholic seperti terjadinya diare, peningkatan
aminotransfrase dan hiperkolesterolemia sedang. Pemberian obat-obatan ini
dapat menghancurkan batu pada 60% pasien dengan kolelitiasis, terutama
batu yang kecil. Angka kekambuhan mencapai lebih kurang 10%, terjadi
dalam 3-5 tahun setelah terapi. Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi
kriteria terapi nonoperatif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm,
batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik
paten. Pada anak-anak terapi ini tidak dianjurkan, kecuali pada anak-anak
dengan risiko tinggi untuk menjalani operasi.
3. Disolusi kontak
Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan batu
kolesterol dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam kandung
empedu melalui kateter perkutaneus melalui hepar atau alternatif lain melalui
kateter nasobilier. Larutan yang dipakai adalah methyl terbutyl eter. Larutan
ini dimasukkan dengan suatu alat khusus ke dalam kandung empedu dan
biasanya mampu menghancurkan batu kandung empedu dalam 24 jam.
Kelemahan teknik ini hanya mampu digunakan untuk kasus dengan batu
yang kolesterol yang radiolusen. Larutan yang digunakan dapat
menyebabkan iritasi mukosa, sedasi ringan dan adanya kekambuhan
terbentuknya kembali batu kandung empedu
4. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut berulang
(Repeated Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam kandung
empedu atau duktus koledokus dengan maksud memecah batu tersebut
menjadi beberapa sejumlah fragmen. (Smeltzer,SC dan Bare,BG 2002).
ESWL sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu. Analisis biaya-
manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas
pada pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi
ini.
5. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut, kerongkongan,
lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam
saluran empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter oddi. Pada
sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu yang
menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi
telah berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000
penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi, sehingga
prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja
biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih
tua, yang kandung empedunya telah diangkat
b. Penatalaksanaan Bedah
1) Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga
kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi
adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas
yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling
umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh
kolesistitis akut.
2) Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan
sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90%
batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko
kematian dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan
mengurangi komplikasi pada jantung dan paru. Kandung empedu diangkat
melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut. Indikasi
awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut.
Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai
melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan
batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan
prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan
biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan
perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah keamanan dari
prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi seperti cedera duktus
biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi
laparoskopi.
G. Komplikasi Kolelitiasis
Referensi
I W Gustawan, K Nomor Aryasa, IPG Karyana, IGN Sanjaya Putra,oktober
2007.”kolelitiasis pada anak”. majalah kedokteran Indonesia. Volume 57, No. 10,
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/543/661.
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung
Waluyo...(dkk), EGC, Jakarta.
H. Asuhan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
No Diagnosa Evaluasi
1 Nyeri akut b/d cedera S: Pasien mengatakan, “Sus, nyeri di perut
biologis; inflamasi, saya sudah mulai berkurang”.
obstruksi/spasme duktus, O: Pasien terlihat meringis menahan nyeri.
iskemia jaringan/nekrosis A: Masalah teratasi sebagian.
P: Lanjutkan intervensi
2 Perubahan nutrisi kurang S: Istri pasien mengatakan bahwa “sus, suami
dari kebutuhan tubuh b/d saya sudah mau makan lebih banyak yang
gangguan pencernaan intake sepelumnya hanya 3 sendok makan sekarang
yang tidak adekuat. sudah mau menghabiskan 1 porsi sus”
O: pasien mengabiskan makanan yang
diberikan
A: Masalah teratasi sebagian.
P: Lanjutkan Intervensi.
3 Kekurangan volume cairan S: Istri pasien mengatakan bahwa “ Sus,
b/d dispensi dan suami saya sudah tidak lemas lagi dan sudah
hipermortilitas gaster, lebih segar dari sebelumnya”
gangguan proses pembekuan O: Pasien tidak memperlihatkan tanda-
darah tanda sianosis
A: Masalah Teratasi Sebagian
P: Lanjutkan Intervensi
Dikerjakan Oleh :
Rizka Agustine NIM 132310101041
Talitha Zhafirah NIM 132310101055
Referensi:
Carpenito, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana
Doengoes, Marlyn E. dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk
Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Klien. Jakarta: EGC
NANDA. 2005. Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2005-2006.
Philadelphia: NANDA International.