Anda di halaman 1dari 16

ABSES SEREBRI PADA

TETRALOGY Of FALLOT

FASIHAH IRFANI FITRI


NIP : 198307212008012007

DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/
RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN
2011

Universitas Sumatera Utara


I. Pendahuluan
Lesi intrakranial sering terjadi berkaitan dengan malformasi jantung kongenital1 dan
dapat muncul nyata pada saat lahir atau bermanifestasi pada usia dewasa.2 Dua komplikasi pada
susunan saraf pusat yang paling serius yang berkaitan dengan penyakit jantung bawaan (PJB)
adalah trombosis serebral dan abses serebri.1,2 Abses serebri adalah infeksi intraserebral fokal
yang muncul sebagai area serebritis lokal dan berkembang menjadi kumpulan pus yang
dikelilingi oleh kapsul yang bervaskularisasi baik.1 Abses sereri adalah infeksi parenkim otak
yang relatif jarang dijumpai namun dapat bersifat fatal.3,4 Abses serebri dapat berasal dari (1)
penyebaran langsung dari infeksi jaringan non-neuronal di sekitarnya seperti sinusitis paranasal,
otitis media, mastoiditis, atau infeksi gigi; (2) penyebaran hematogen dari tempat infeksi yang
jauh seperti endokarditis, infeksi paru, infeksi gastrointestinal; (3) akibat trauma kepala atau
4-6
tindakan pembedahan yang menyebabkan infeksi langsung pada otak. Faktor predisposisi
untuk terjadinya abses serebri mencakup penyakit jantung bawaaan (PJB) dengan right-to-left
shunt; infeksi telinga tengah, mastoid, sinus paranasal dan jaringan lunak pada wajah, orbita
atau scalp; luka tembus atau fraktur tulang tengkorak; pembedahan intrakranial; dan
abnormalitas sistem imun.3,4
Pasien dengan PJB sianotik (dengan right-to-left shunt) memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk menderita abses serebri dimana PJB sianotik merupakan faktor risiko pada 12.8-
69.4% dari seluruh kasus abses serebri. Studi dari Menon et al melaporkan bahwa dari 75 pasien
abses serebri, enam diantaranya (8%) memiliki PJB sianotik dan keseluruhannya merupakan
penderita ToF.1 Pada negara-negara maju PJB sianotik adalah faktor risiko yang paling sering
dijumpai pada kasus abses serebri pada pasien immunokompeten.1 Insiden abses serebri pada
pasien dengan PJB sianotik adalah antara 5 dan 18.7%.1,3,7 Tetralogy of Fallot adalah anomali
jantung yang paling sering berhubungan dengan abses serebri.1,4,7 Defek septum atrial5, atresia
trikuspid, atresia pulmonal, defek septum ventrikel, transposition of great vessels, atresia
trikuspid, stenosis pulmonal dan double outlet right ventricle juga dilaporkan sebagai faktor
predisposisi.4,8 Organisme penyebabnya mencakup Streptococcus milleri, Staphylococcus,
Streptococcus spp dan Haemophillus. Lokasi abses serebri pada pasien dengan PJB sianotik
paling sering berlokasi di perbatasan antara substansia alba dan substansia grisea karena area ini
merupakan area dengan perfusi yang paling rendah sebagai konsekuensi dari hipoksia berat
yang kronis, dan peningkatan viskositas darah yang dijumpai pada pasien PJB sianotik. Cara
penyebaran hematogen merupakan alasan sering terbentuknya abses multipel pada pasien PJB.7
Terlepas dari perkembangan dalam manajemen abses serebri, tingkat morbiditas dan
mortalitasnya masih relatif tinggi. Kecurigaan klinis yang tinggi dan pemilihan alat diagnostik
yang tepat adalah kunci untuk diagnosis dan tatalaksana yang tepat. Computed tomography

Universitas Sumatera Utara


(CT) scan dengan kontras adalah alat yang cukup baik untuk menegakkan diagnosis karena CT
scan saja tidak dapat mengidentifikasi semua abses serebri.3
Adapun tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui dan
memahami definisi, etiologi, patogenesis, gambaran klinis, penegakan diagnosis, dan
penatalaksanaan abses serebri, terutama yang berkaitan dengan penyakit jantung kongenital
seperti tetralogi fallot.

II. Laporan Kasus


Seorang laki-laki, 38 tahun, masuk pada tanggal 17 Desember 2010, datang
dengan keluhan nyeri kepala yang telah dialami os sejak 3 bulan terakhir. Nyeri kepala
dirasakan di seluruh kepala, terutama di bagian belakang kepala, bersifat berdenyut
dengan intensitas sedang berat,frekuensi 3-4 kali perhari, lamanya lebih dari 1 jam,
memberat jika os batuk, bersin atau mengedan dan tidak hilang dengan obat penghilang
rasa nyeri. Nyeri kepala bertambah berat dalam 1 bulan sebelum masuk rumah sakit
dimana nyeri kepala dirasakan terus menerus dan diikuti dengan rasa panas dan kebas
pada tubuh sebelah kiri, sehingga os merasa sulit berjalan. Riwayat muntah menyembur
(+) 3 kali dalam 1 bulan terakhir. Riwayat kejang dijumpai, frekuensi 1 kali, lama
kejang 3 menit, kejang pada tubuh sebelah kiri, bersifat kaku dan menyentak, setelah
kejang os sadar. Riwayat trauma kepala tidak dijumpai. Riwayat demam tidak dijumpai
Sebelumnya os berobat ke RS luar dan dilakukan penarikan cairan darah 1 bulan
sebelum masuk RS HAM. Riwayat sesak nafas selama ini disangkal os. Selama ini os
juga mengeluhkan biru pada bibir dan ujung-ujung jari tangan dan kaki.Pada saat os
berusia 3 bulan os sudah diberitahu oleh dokter bahwa os menderita penyakit jantung
bawaan. Sejak bayi, os sering keluar masuk rumah sakit dengan keluhan membiru, dan
os juga sering mengalami batuk pilek. Sejak os berusia 7 tahun didapatkan keterbatasan
fisik, dimana os merasa sesak dan biru jika melakukan aktivitas seperti berlari dan
untuk mengurangi sesaknya,os berjongkok. Failure to thrive dijumpai, feeding difficulty
dijumpai. Riwayat kelahiran os tidak langsung menangis, biru, berat badan lahir 3700
gram. Os lahir ditolong dokter dengan ante natal care teratur dan os anak kedua dari
empat bersaudara.
Pada pemeriksaan fisik, didapati kesadaran compos mentis, tekanan darah 120/80
mmHg, denyut jantung 80 kali per menit, pernafasan 28 kali per menit, suhu tubuh 37°C.
Konjungtiva tidak anemis dan sklera tidak ikterik. Tekanan vena jugularis R+2cmH2O. Jantung

Universitas Sumatera Utara


S1 (N), S2 (N), murmur pansistolik gr 4/6 pada left sternal border dijumpai, gallop tidak
dijumpai. Paru: suara pernafasan vesikuler, suara tambahan tidak dijumpai. Abdomen: soepel,
hepar dan limpa tidak teraba, bising usus (N). Ekstremitas: akral hangat, edema pretibia tidak
dijumpai.
Pada pemeriksaan neurologis, didapatkan sensorium compos mentis, tanda peningkatan
tekanan intrakranial berupa nyeri kepala, muntah dan kejang dijumpai. Tanda perangsangan
meningeal tidak dijumpai. Pemeriksaan nervus kranialis, pada nervus I : normosmia, nervus
II:pupil isokor, refleks cahaya positif, diameter 3 mm, tidak dijumpai gangguan lapangan
pandang, funduskopi dijumpai papil oedema, nervus III,IV,VI: gerakan bola mata normal,
nervus V: motorik dan sensorik dalam batas normal, nervus VII : kerut kening dijumpai,
menutup mata dalam batas normal, sudut mulut tertarik kekanan, nervus VIII: pendengaran
dalam batas normal, nervus IX,X: uvula medial, nervus XI: mangangkat bahu dan menoleh
kanan kiri dalam batas normal, N.XII: ujung lidah istirahat dan dijulurkan medial. Pada
pemeriksaan motorik, dijumpai normotrofi dan normotonus, kekuatan motorik 5 pada
ekstremitas superior dekstra dan ekstremitas inferior dekstra, dan 4 pada ekstremitas superior
sinistra dan ekstremitas inferior sinistra. Pemeriksaan refleks, dijumpai peningkatan refleks
APR/KPR dan Bisep/Trisep kiri, tidak dijumpai refleks patologis. Pemeriksaan sensibilitas
eksteroseptif dan proprioseptif dalam batas normal. Tanda perangsangan radikuler tidak
dijumpai. Gejala serebelar, ekstrapiramidal, dan gerakan involunter tidak dijumpai. Pemeriksaan
fungsi luhur: memori, atensi, berbahasa, fungsi eksekutif dan visuospasial dalam batas normal.
Dari pemeriksaan laboratorium: Hb 18,5g/dl; Ht 53,9 %; WBC 13.610/mm3; PLT
184.000/mm3; Ur 13 g/dl; Cr 0,53 g/dl; SGOT 14 U/L; SGPT 16 U/L; Na 132 mEq/L; Kalium
3,6 mEq/L; Chlorida 101 mEq/L; KGD ad random 108 mg/dl;
Dari pemeriksaan elektrokardiografi menunjukkan irama sinus, QRS rate 90 kali
permenit, QRS axis RAD, durasi QRS 0,06”, P wave dalam batas normal, PR interval 0,16 s, r/s
di V1 >1, S persisten di V5 V6, hipertrofi ventrikel kiri tidak dijumpai, VES dijumpai. Kesan:
sinus ritme dengan deviasi aksis ke kanan, hipertrofi ventrikel kanan dan VES.
Dari pemeriksaan foto toraks didapatkan CTR 50%, segmen aorta dalam batas normal,
segmen pulmonal cekung, pinggang jantung dijumpai, apex upward, kongesti tidak dijumpai,
infiltrat tidak dijumpai. Kesan: boot-shaped appearance.
Dari pemeriksaan ekokardiografi: Katup mitral baik. Katup aorta mengalami regurgitasi
dengan PHT 390 ms. Katup trikuspid baik. Katup pulmonal mengalami stenosis dengan velocity
4,32 m/s dan PG 74,66 mmHg. Atrial situs sollitus. AV-VA concordance. Vena-vena bermuara
pada tempatnya. IVS mengalami defek dengan diameter 14,4 mm,dengan malalignment aorta

Universitas Sumatera Utara


terhadap IVS > 50% .IAS intact. PDA tidak dijumpai. RA-RV dilatasi. Ejection fraction 53,2
%. Kesan : Tetralogy of Fallot
Dari pemeriksaan Head CT Scan potongan aksial : tampak lesi bulat hipodens
multipel di lobus temporal dan occipito-parietal kanan disertai finger-like oedema yang
mendorong dan menekan ventrikel lateralis kanan dan ventrikel III ke kiri menyebabkan
midline shift ke kiri sejauh ± 1 cm. Kortikal sulci dan fissure sylvii hemisfer kanan menyempit
dengan gyri yang tidak jelas. Kesan : abses serebri DD/ SOL intraserebral.
Dari pemeriksaan Head CT Scan dengan kontras potongan aksial: tampak lesi hipodens
bulat multipel dengan enhancement berbentuk ring pasca kontras di lobus temporal dan
occipitoparietal kanan disertai finger-like oedema yang menyebabkan midline shift ke kiri <0,5
cm. Kortikal sulci dan fissura sylvii hemisfer kanan menyempit dengan gyri yang tidak jelas.
Kesan : Abses multiple lobus temporal dan occipito-parietal kanan dengan herniasi subfalcine
ringan dan edema hemisfer kanan.
Penderita didiagnosa dengan secondary headache + hemiparese sinistra + parese N.VII
sinistra tipe UMN + focal seizure ec. Abses Serebri Multipel + Tetralogi Fallot dan diberikan
penatalaksanaan tirah baring, ivfd Rsol 10 tetes mikro per menit, injeksi Ceftriaxone 2 gram/12
jam/IV, IVFD Metronidazole 500 mg/8 jam, injeksi Dexamethasone 8mg/IV dilanjutkan 4mg/6
jam/IV, tappering off per 3 hari, injeksi Ranitidin 50mg/12 jam/IV, Aspilet 1X160 mg, Ultracet
3x1.
Pasien kemudian dikonsulkan ke bagian Bedah Saraf untuk dilakukan tindakan operatif
setelah 3 minggu dirawat. Pasien menjalani tindakan operatif burr hole untuk drainase abses
setelah lebih kurang mendapat terapi antibiotika selama 4 minggu. Pasien kemudian diterapi
dengan IVFD Rsol 10 tetes mikro per menit, injeksi Varcep 0,5 gram/6jamIV, IVFD
Metronidazole 500 gram/8jam/IV, injeksi Phenytoin 100 mg/8 jam/IV, injeksi Tramadol
100mg/8 jam/IV, injeksi Ranitidin 50 mg/12jam/IV.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 1. EKG pada tanggal 20 Desember 2010

Gambar.2 Foto Thorax PA tanggal 18 Desember 2010

Universitas Sumatera Utara


Gambar 3. Ekokardiografi tanggal 17 Desember 2010

Universitas Sumatera Utara


Gambar 4. Head CT Scan tanggal 20 Desember 2010

Universitas Sumatera Utara


Gambar 5. Head CT Scan Contrast 31 Desember 2010

III. Diskusi Kasus


Tetralogy of Fallot, pertama kali diuraikan pada tahun 1988 oleh dokter
berkebangsaan Perancis,merupakan salah satu PJB sianotik yang paling sering dijumpai
dengan perkiraan insiden 5% dari seluruh pasien PJB. Empat temuan karakteristik
adalah (1) defek septum ventrikel,(2) stenosis pulmonal, (3) overriding aorta, (4)
hipertrofi ventrikel kanan. Harapan hidup pada pasien ToF yang tidak menjalani operasi
adalah sekitar 10 tahun dan hanya 3% dapat mencapai dekade kelima. Suatu studi
melaporkan bahwa survival pasien ToF tanpa pembedahan adalah 66% pada usia 1
tahun, 40% pada usia 3 tahun, 11% pada usia 20 tahun, 6% pada usia 30 tahun dan 3%
pada usia 40 tahun. Studi dari Yang, et al, melaporkan bahwa penderita yang bertahan
yang tidak dioperasi cenderung memiliki tiga gambaran utama, yaitu arteri pulmonal
hipoplastik dengan obstruksi subpulmonal yang lambat berkembang, hipertrofi ventrikel
kiri, atau kolateral arteri sistemik-pulmonal untuk aliran darah pulmonal. Para ahli
mempostulatkan bahwa terjadinya hipertrofi ventrikel kiri merupakan suatu faktor
penyeimbang terhadap terjadinya right-to-left shunt. Komplikasi akibat right-to-left
shunt, mencakup sianosis, eritrositosis, peningkatan risiko emboli paradoksikal dan
terbentuknya endokarditis dan abses serebri. 7
Abses serebri adalah infeksi intraserebral fokal yang berawal dari area serebrittis lokal
dan berkembang menjadi kumpulan pus yang dikelilingi oleh kapsul yang bervaskularisasi
dengan baik.1
Insiden abses serebri di Amerika serikat adalah sekitar 1500-2500 kasus per tahun dan insiden
yang lebih tinggi dijumpai pada negara berkembang. Terdapat lebih banyak penderita laki-laki

Universitas Sumatera Utara


dibanding wanita, dengan rasio dari 1,3:1 hingga 3:1. Rentang usia pasien adalah dari bayi
hingga usia lanjut.6
Pada pasien dengan PJB sianotik, right-to-left shunt dalam jantung memungkinkan
resirkulasi darah yang tidak teroksigenasi dengan baik ke sirkulasi sistemik. Kondisi ini
menyebabkan hipoksia pada sirkulasi sistemik dan jaringan, termasuk otak. Hipoksia pada otak
dapat menyebabkan pembentukan area nekrotik yang menjadi predisposisi untuk infeksi otak.9
Hipoksia juga menyebabkan polisitemia dan hiperviskositas yang menyebabkan aliran darah
lambat pada mikrosirkulasi serebral sehingga memungkinkan terbentuknya mikrotrombi dan
ensefalomalasia fokal.4,9 Pasien dengan PJB tampaknya memiliki area dengan perfusi rendah
pada otak akibat hipoksemia berat yang kronis, juga peningkatan viskositas darah akibat
polisitemia sekunder. Area dengan perfusi rendah ini biasanya berlokasi di batas antara
substansia grisea dan substansia alba, dan area ini rentan terhadap penyebaran mikroorganisme
yang mungkin terdapat di aliran darah. Cara penyebaran hematogen ini berperan dalam
terbentuknya abses multipel.8
Pembentukan abses serebri pada pasien ToF juga dipengaruhi oleh paparan otak
terhadap bakterimia. Pertama, bakterimia dapat disebabkan oleh terlewatinya sistem sirkulasi
pulmonal, karena sistem ini memiliki efek penyaringan bakteri melalui fagositosis.9 Pada pasien
dengan PJB sianotik, terdapat right-to-left shunt yang memungkinkan darah vena di jantung,
tidak melalui sirkulasi pulmonal2,8 sehingga bakteri di aliran darah tidak disaring melalui
sirkulasi pulmonal, dimana biasanya bakteri-bakteri ini akan disingkirkan oleh fagositosis.4,5,8
Kedua, jantung itu sendiri menjadi predisposisi untuk terbentuknya vegetasi pada katup. Jika
terjadi bakterimia, bakteri akan berada pada vegetasi. Ini kemudian akan menjadi sumber
emboli yang jika mencapai otak akan menyebabkan terbentuknya abses otak.Maka,terdapat dua
kondisi yang diperlukan untuk terbentuknya abses otak yaitu bakterimia dan ensefalomalasia
fokal. 9
Lokasi dan kondisi predisposisi abses memberi petunjuk tentang kemungkinan
penyebabnya. Abses otak yang berhubungan dengan penyebaran langsung dari sinus atau fokus
odontogenik cenderung berlokasi di frontal dan disebabkan oleh streptococci aerob atau
anaerob (termasuk streptococcus milleri), enterobacteriaceae, staphylococcus aureus. Abses
sekunder dari infeksi telinga biasanya berlokasi di temporal atau serebellar, dengan organisme
penyebab mencakup streptococci dan pseudomonas aeruginosa. Abses otak pasca trauma
biasanya disebabkan oleh S.aureus, streptococci atau enterobacteriaceae. Penyebaran
hematogen dari fokus yang jauh biasanya menyebabkan abses multipel di distribusi arteri
serebri media. Haemophillus aphrophillus, relatif sering dijumpai pada PJB sianotik, sedangkan
S.aureus adalah penyebab utama abses pada endokarditis.10 Pada studi pada pasien PJB,

Universitas Sumatera Utara


mikroorganisme penyebab yang paling sering adalah cocci gram-positive, Streptococcus milleri,
Streptococcous viridans, microaerophilic, Staphylococcus aureus dan streptococci anaerob.3,4,6
Abses serebri terjadi sebagai respon parenkim terhadap infeksi bakteri piogenik, yang
dimulai dengan area serebritis lokal dan berlanjut menjadi lesi supuratif yang dikelilingi oleh
kapsul fibrotik yang bervaskularisasi baik. Stadium abses otak pada manusia didasarkan pada
temuan CT scan. Tahap awal atau early cerebritis terjadi dari hari 1 hingga 3 dan ditandai
dengan akumulasi neutrofil, nekrosis jaringan dan edema. Aktivasi mikroglia dan astrosit juga
nyata pada tahap ini dan menetap sepanjang perkembangan abses. Tahap late cerebritis, terjadi
dari hari ke 4 hingga 9 berkaitan dengan dominasi infiltrasi limfosit dan makrofag. Tahap akhir
atau pembentukan kapsul terjadi dari hari ke 10 hingga seterusnya dan berkaitan dengan
pembentukan dinding abses yang bervaskularisasi dengan baik, untuk membatasi lesi dan
melindungi jaringan parenkim dari kerusakan lebih lanjut. Tahap early capsul formation
berlangsung pada hari ke 10 hingga 13 dan cenderung lebih tipis pada sisi medial abses dan
lebih rentan untuk ruptur. Setelah hari ke 14 adalah tahap late capsule formation, dengan
pembentukan lapisan gliotik kolagen dan granulasi.6,8,11
Gambaran klinis mencakup nyeri kepala yang konstan dan progresif yang refrakter
terhadap terapi, muntah, papil edema, defisit neurologis fokal, konvulsi,meningismus dan
perubahan kesadaran.3 Tidak ada tanda patognomonis: sebagian besar pasien menunjukkan
tanda klinis yang bergantung pada lokasi lesi; nyeri kepala, muntah, demam, perubahan
kesadaran, seizure dan kelamahan motorik adalah gejala yang paling sering dijumpai. Demam
tidak selalu dijumpai, dan hanya 30-55% dari pasien mengalami demam >38.5°C. Defisit
neurologis fokal dijumpai pada 40-60% pasien, bergantung lokasi lesi. Maka, trias gejala abses
6,8
otak, yaitu demam, nyeri kepala dan defisit neurologis hanya terlihat pada 15-30% pasien.
Penurunan kesadaran dengan kaku kuduk dapat terjadi pada kasus dimana terdapat peningkatan
efek massa yang menyebabkan herniasi atau pada kasus-kasus terjadinya ruptur intraventrikel
dari abses serebri.8
Pemeriksaan CT scan dengan kontras membantu dalam deteksi awal, menentukan
lokasi abses, ukuran dan staging abses, jumlah, efek massa, edema, dan pergeseran dan ada
tidaknya ruptur intraventrikuler.3,8 Gambaran imejing dari abses serebri bergantung pada
stadium pada saat dilakukan imejing dan sumber infeksi. Sebagian besar abses menunjukkan
edema yang cukup nyata di sekelilingnya, yang umumnya muncul pada tahap late cerebritis
atau early capsule formation, sekunder akibat efek massa. Abses yang terjadi akibat penyebaran
hematogen, yang biasanya dijumpai pada pasien PJB sianotik, biasanya multipel dan terletak di
daerah gray-white matter junction dan berlokasi di teritori arteri serebri media. Pada fase awal,
CT scan tanpa kontras hanya menunjukkan abnormalitas berupa area hipodens dengan efek

Universitas Sumatera Utara


massa dan pada fase lanjut ring enhancement hampir selalu terlihat.6 Tumor metastase, high
grade glioma, infark serebri, limfoma, hematoma atau kontusio serebri yang mengalami
penyembuhan, toksoplasmosis, penyakit demielinating dan nekrosis radiasi harus
dipertimbangkan sebagai diagnosis banding abses serebri, yang juga terlihat sebagai lesi ring-
enhancing. Lingkaran cincin pada abses biasanya lebih tipis jika dibandingkan dengan lesi
neoplastik.6
Manajemen abses serebri pada pasien PJB sianotik sedikit lebih rumit. Pasien-pasien ini
tidak hanya memiliki risiko kardiovaskular namun juga sejumlah defek koagulasi yang
meningkatkan risiko anestesi dan pembedahan.3 Manajemen yang ideal dari abses otak
bertujuan untuk mengurangi efek massa dan tekanan intrakranial dan kontrol yang efektif
terhadap proses infeksinya.12 Terdapat 3 pilihan terapi untuk abses serebri : 1) obat-obatan; 2)
aspirasi; atau 3) eksisi total. Dalam memilih terapi yang tepat sejumlah faktor harus
diperhatikan yaitu : skor Karnofsky performance scale; infeksi primer; status predisposisi; dan
jumlah, ukuran lokasi dan stadium abses.6
Lokasi anatomis, jumlah dan ukuran abses, stadium abses, usia dan status neurologis
pasien dapat mempengaruhi strategi penanganan abses otak. Pada pasien dengan durasi penyakit
< 2 minggu, terapi obat-obatan saja dapat berhasil jika kondisi berikut ini terpenuhi : 1) agen
penyebab diketahui dengan tingkat akurasi yang tinggi sebagai hasil dari kultur cairan
serebrospinal atau drainase dari telinga atau sinus; 2) pasien tidak menunjukkan gangguan
fungsi neurologis; 3) tidak dijumpai tanda peningkatan tekanan intrakranial; dan 4) ukuran
diameter abses kurang dari < 3 cm.10 Terapi obat-obatan saja juga dapat dipertimbangkan jika
pasien adalah kandidat yang buruk untuk intervensi bedah menurut kriteria berikut: jika lesi
mutipel; diameter <1,5 cm; berlokasi di area eloquent; atau jika terdapat infeksi tambahan
seperti meningitis atau ependimitis. Terapi obat-obatan juga akan lebih berhasil jika dimulai
pada stadium serebritis; jika diameter lesi <1,5 cm; durasi gejala < 2 minggu dan jika pasien
menunjukkan perbaikan klinis dalam minggu pertama.6
Antibiotik sistemik diberikan selama 6 minggu, namun kini ada yang menganjurkan 2
minggu antibiotika parenteral diikuti dengan 4 minggu antibiotik oral.6 Antibiotik empiris untuk
lesi yang disebabkan oleh PJB sianotik adalah cefotaxime atau ceftriaxone dan metronidazole
yang kemudian harus diganti berdasarkan hasil uji sensitivitas. Durasi terapi antibiotik
bergantung pada organisme dan respon terhadap terapi, namun biasanya 4-6 minggu.3
Kortikosteroid direkomendasikan pada pasien-pasien dengan edema di sekitar lesi yang
signifikan tapak secara radiologis.6 Jika kondisi neurologis pasien memburuk atau terdapat
peningkatan ukuran abses atau terapi antibiotik selama 2 minggu gagal untuk mengecilkan
ukuran abses, maka aspirasi untuk tujuan diagnostik dapat dilakukan.3,10

Universitas Sumatera Utara


Aspirasi pus dari abses melalui burr hole telah digunakan secara luas dan menjadi
pilihan utama terapi. Aspirasi pus, dapat menurunkan tekanan intrakranial dan menyediakan pus
untuk kultur dan uji sensitivitas dan memungkinkan irigasi rongga abses dan instilasi antibiotik
ke dalam abses.12
Drainase bedah yang diikuti dengan terapi antimikroba adalah terapi pilihan untuk sebagian
besar abses serebri. Jika ukuran diameter abses <2.5 cm dan tidak menimbulkan efek massa,
dianjurkan untuk CT-guided stereotactic aspiration untuk kepentingan diagnosis dan pemilihan
10
antibiotik. Terapi abses otak terdiri dari aspirasi abses atau eksisi abses diikuti dengan terapi
antibiotik parenteral. Pemeriksaan CT scan tiap minggu atau tiap dua minggu harus dilakukan
untuk memonitor ukuran abses setelah aspirasi dan aspirasi berulang mungkin saja diperlukan. 8
Kraniotomi dan eksisi dilakukan untuk abses yang membesar setelah 2 minggu terapi
antibiotik atau yang tidak mengecil setelah terapi 3-4 minggu.8 Tindakan kraniotomi dianjurkan
pada keadaan : terdapat peningkatan tekanan intrakranial akibat efek massa dari abses otak;
kesulitan diagnosis; jika abses disebabkan oleh trauma yang menyebabkan adanya benda asing;
jika lesi berada di fossa posterior.6 Eksisi abses melalui kraniotomi merupakan pilihan terapi
untuk abses yang telah memiliki kapsul berbatas tegas. Eksisi abses memiliki keuntungan dapat
mengangkat semua materi purulen pada abses, sehingga menurunkan tekanan intrakranial
dengan cepat dan memperpendek durasi pemberian antibiotik.12 Komplikasi yang paling sering
dari abses serebri adalah herniasi, hidrosefalus obstruktif, ruptur abses ke ruang subarakhnoid
atau ventrikel. Herniasi dapat diketahui dengan adanya kompres batang otak progresif. Keadaan
ini membutuhkan penanganan darurat dengan tindakan pembedahan segera.13

IV. Kesimpulan

Lesi pada susunan saraf pusat sering terjadi berkaitan dengan malformasi jantung
kongenital. Dua komplikasi yang paling sering adalah trombosis serebri dan abses serebri.
Tetralogy of Fallot merupakan PJB sianotik yang paling sering berhubungan dengan abses
serebri. Kelainan ini terdiri dari (1) defek septum ventrikel,(2) stenosis pulmonal, (3)
overriding aorta, (4) hipertrofi ventrikel kanan. Abses serebri adalah infeksi intraserebral fokal
yang berawal dari area serebritis lokal dan berkembang menjadi kumpulan pus yang dikelilingi
oleh kapsul yang bervaskularisasi dengan baik.
Pada pasien dengan PJB sianotik, right-to-left shunt dalam jantung memungkinkan
resirkulasi darah yang tidak teroksigenasi dengan baik ke sirkulasi sistemik. Kondisi ini
menyebabkan hipoksia pada otak. Hipoksia pada otak dapat menyebabkan pembentukan area
nekrotik yang menjadi predisposisi untuk infeksi otak. Hipoksia juga menyebabkan polisitemia
dan hiperviskositas yang menyebabkan aliran darah lambat pada mikrosirkulasi serebral

Universitas Sumatera Utara


sehingga memungkinkan terbentuknya mikrotrombi dan ensefalomalasia fokal. Pada pasien
dengan PJB sianotik, terdapat right-to-left shunt yang memungkinkan darah vena di jantung,
tidak melalui sirkulasi pulmonal sehingga bakteri di aliran darah tidak disaring melalui sirkulasi
pulmonal, dimana biasanya bakteri-bakteri ini akan disingkirkan oleh fagositosis. Maka,terdapat
dua kondisi yang diperlukan untuk terbentuknya abses otak yaitu bakterimia dan
ensefalomalasia fokal. Pada PJB mikroorganisme penyebab yang paling sering adalah cocci
gram-positive, Streptococcus milleri, Streptococcous viridans, microaerophilic, Staphylococcus
aureus dan streptococci anaerob.
Tidak ada gejala dan tanda patognomonis: sebagian besar pasien menunjukkan tanda
klinis yang bergantung pada lokasi lesi; nyeri kepala, muntah, demam, perubahan kesadaran,
seizure dan kelamahan motorik adalah gejala yang paling sering dijumpai. Pada fase awal, CT
scan tanpa kontras hanya menunjukkan abnormalitas berupa area hipodens dengan efek massa
dan pada fase lanjut ring enhancement hampir selalu terlihat. Manajemen yang ideal dari abses
otak bertujuan untuk mengurangi efek massa dan tekanan intrakranial dan kontrol yang efektif
terhadap proses infeksinya.Terdapat 3 pilihan terapi untuk abses serebri : 1) obat-obatan; 2)
aspirasi; atau 3) eksisi total. Dalam memilih terapi yang tepat sejumlah faktor harus
diperhatikan yaitu : skor Karnofsky performance scale; infeksi primer; status predisposisi; dan
jumlah, ukuran lokasi dan stadium abses.
Komplikasi yang paling sering dari abses serebri adalah herniasi, hidrosefalus obstruktif, ruptur
abses ke ruang subarakhnoid atau ventrikel

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

1. Menon S, Bharadwaj R, Howdhary A, et al. Current epidemiology of intracranial


abscess: a prospective 5 year study. Journal of Medical Microbiology. 2008 ; 57 ; 1259-
1268.
2. Matson DD, Salam M. Brain abscess in Congenital Heart Disease. Pediatris. 1961; 27:
772-789.
3. Ghafor T, Amin MU. Multiple brain abscesses in a child with congenital cyanotic heart
disease. J Pak Med Assoc. 2006 ; 56 (12) ; 603-605.
4. Mehnaz A, Syed AU, Saleem AS, et al. Clincal features and outcome of cerebral
abscess in congenital heart disease. J Ayub Med Coll Abbottabad. 2006 ; 18 (2) ; 21-24.
5. Sung CW, Jung J, Choi S, et al. Brain absess in an adult with atrial septal defectCli
Cardiol. 2010. 33 (4) ; E51-E53.
6. Erdogan E, Cansever T. Pyogenic Brain Abscess. Neurosurg Focus. 2008 ; 24(6); E2.
7. Jacob G< Matthews C. Unrepaired tetralogy of fallot presenting with brain abscess.
8. Moorthy RK, Rajshekhar V. Management of brain abscess. Neursurg Focus. 2008.
24(6); E3.
9. Ontoseno T. Iron deficiency, low arterial oxygen saturation and high hematocrit level as
a major micro-enviromental risk factors in the development of brain abscess in patients
with tetralogy of fallot. Folia Medica Indonesiana. 2004 ; 40 (3); 86-89.
10. Cavusoglu H, Kaya Alper R, Turkmenoglu O, et al. Brain abscess analysis of results in
a series of 51 patients with a combined surical and medical approach during an 11-year
period. Neurosurg Focus. 2008 ; 24(6); E9.
11. Kielian T. Immunpathogenesis of brain abscess. Journal of Neuroinflammation. 2004 ;
I; 16.
12. Kocherry XG, Hedge T, sastry K, et al. Efficacy of stereotactic aspiration in deep seated
and eloquent-region intracranial pyogenic abscesses. Neurosurg Focus. 2008 ; 24 96)
E13.
13. Thomas LE. Brain Abscess. 2010. Available from :
http://www.emedicine.com/article/781021. Accessed 10 Januari 2010.

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai