Anda di halaman 1dari 20

MANAJEMEN KEPERAWATAN

KONSEP KOLABORASI DAN NEGOISASI

OLEH
KELOMPOK 7
NI LUH PUTU SANTI SRININGSIH (NIM. P07120014053)
NI KADEK MEGA YANTI (NIM. P07120014059)
NI WAYAN KRISMA ANDIANI (NIM. P07120014063)
TINGKAT 3.2 DIII KEPERAWATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES DENPASAR

2017
KONSEP KOLABORASI DAN NEGOISASI

A. Manajemen Konflik
1. Pengertian Konflik
Marquis dan Huston (1998) mendefinisikan konflik sebagai masalah
internal dan eksternal yang terjadi sebagai akibat dari perbedaan pendapat,
nilai-nilai, atau keyakinan dari dua orang atau lebih. Littlefield (1995) dalam
Nursalam (2012) mengatakan bahwa konflik dapat dikategorikan sebagai suatu
kejadian atau proses. Sebagai suatu kejadian, konflik terjadi akibat
ketidaksetujuan antara dua orang atau organisasi yang merasa kepentingannya
terancam. Sebagai proses, konflik dimanifestasikan sebagai suatu rangkaian
tindakan yang dilakukan oleh dua orang atau kelompok, di mana setiap orang
atau kelompok berusaha menghalangi atau mencegah kepuasan dari pihak
lawan.
Sumber konflik di organisasi dapat ditemukan pada kekuasaan,
komunikasi, tujuan seseorang dan organisasi, ketersediaan sarana, perilaku
kompetisi dan kepribadian, serta peran yang membingungkan. Sebagai manajer
keperawatan, konflik sering terjadi pada setiap tatanan asuhan keperawatan.
Oleh karena itu, manajer harus mempunyai dua asumsi dasar tentang konflik.
Asumsi dasar yang pertama adalah konflik merupakan hal yang tidak dapat
dihindari dalam suatu organisasi. Asumsi yang kedua adalah jika konflik dapat
dikelola dengan baik, maka dapat menghasilkan suatu penyelesaian yang
kreatif dan berkualitas, sehingga berdampak terhadap peningkatan dan
pengembangan produksi. Di sini, peran manajer sangat penting dalam
mengelola konflik. Manajer berusaha menggunakan konflik yang konstruktif
dalam menciptakan lingkungan yang produktif.. Jika konflik mengarah ke
suatu yang menghambat, maka manajer harus mengidentifikasi sejak awal dan
secara aktif melakukan intervensi supaya tidak berefek pada produktivitas dan
motivasi kerja. Belajar menangani konflik secara konstruktif dengan
menekankan pada win-win solution merupakan keterampilan kritis dalam suatu
manajemen.
2. Sumber Konflik
Beberapa sumber konflik dalam organisasi dapat disebabkan oleh beberapa hal
berikut.
a. Keterbatasan sumber daya.
b. Perbedaan tujuan.
c. Ketidakjelasan peran.
d. Hubungan dalam pekerjaan.
e. Perbedaan antar individu.
f. Masalah organisasi.
g. Masalah dalam komunikasi

3. Kategori Konflik
Di dalam organisasi, konflik dipandang secara vertikal dan horizontal
(Marquis dan Huston, 1998). Konflik vertikal terjadi antara atasan dan
bawahan. Konflik horizontal terjadi antara staf dengan posisi dan kedudukan
yang sama, misalnya konflik yang meliputi wewenang, keahlian, dan praktik.
Konflik dapat dibedakan menjadi tiga jenis yakni, konflik intrapersonal,
interpersonal, dan antar kelompok
a. Konflik Intrapersonal
Konflik yang terjadi pada individu sendiri. Keadaan ini merupakan
masalah internal untuk mengklarifikasi nilai dan keinginan dari konflik
yang terjadi. Hal ini sering dimanifestasikan sebagai akibat dari kompetisi
peran. Misalnya, manajer mungkin merasa mempunyai konflik
intrapersonal dengan loyalitas terhadap profesi keperawatan, loyalitas
terhadap pekerjaan, dan loyalitas kepada pasien.
b. Konflik Interpersonal
Konflik interpersonal terjadi antara dua orang atau lebih di mana nilai,
tujuan, dan keyakinan berbeda. Konflik ini sering terjadi karena seseorang
secara konstan berinteraksi dengan orang lain, sehingga ditemukan
perbedaan-perbedaan. Manajer sering mengalami konflik dengan teman
sesama manajer, atasan, dan bawahannya.
c. Konflik Antarkelompok (Intergroup)
Konflik terjadi antara dua atau lebih, kelompok, departemen, atau
organisasi. Sumber konflik jenis ini adalah hambatan dalam mencapai
kekuasaan dan otoritas (kualitas jasa layanan), serta keterbatasan
prasarana.

4. Proses Konflik
Proses konflik dibagi menjadi beberapa tahapan.
a. Konflik laten.
Tahapan konflik yang terjadi terus-menerus (laten) dalam suatu organisasi.
Misalnya, kondisi tentang keterbatasan staf dan perubahan yang cepat.
Kondisi tersebut memicu pada ketidakstabilan organisasi dan kualitas
produksi, meskipun konflik yang ada kadang tidak nampak secara nyata
atau tidak pernah terjadi.
b. Konflik yang dirasakan (felt conflict).
Konflik yang terjadi karena adanya sesuatu yang dirasakan sebagai
ancaman, ketakutan, tidak percaya, dan marah. Konflik ini disebut juga
sebagai konflik affectiveness. Hal ini penting bagi seseorang untuk
menerima konflik dan tidak merasakan konflik tersebut sebagai suatu
masalah/ancaman terhadap keberadaannya.
c. Konflik yang tampak/sengaja dimunculkan.
Konflik yang sengaja dimunculkan untuk dicari solusinya. Tindakan yang
dilaksanakan mungkin menghindar, kompetisi, debat, atau mencari
penyelesaian konflik. Setiap orang secara tidak sadar belajar menggunakan
kompetisi, kekuatan, dan agresivitas dalam menyelesaikan konflik.
Sementara itu , penyelesaian konflik dalam suatu organisasi memerlukan
upaya dan strategi sehingga dapat mencapai tujuan organisasi.
d. Resolusi konflik.
Resolusi konflik adalah suatu penyelesaian masalah dengan cara
memuaskan semua orang yang terlibat di dalamnya dengan prinsip win-
win solution.
e. Konflik aftermath.
Konflik aftermath merupakan konflik yang terjadi akibat dari tidak
terselesaikannya konflik yang pertama. Konflik ini akan menjadi masalah
besar dan bisa menjadi penyebab dari konflik yang utama bila tidak segera
di atasi atau dikurangi.

5. Langkah-Langkah Menyelasikan Konflik


Vestal (1994) dalam Nursalam (2012) menjabarkan langkah-langkah
menyelesaikan suatu konflik meliputi pengkajian, identifikasi, dan intervensi.
a. Pengkajian.
1) Analisis situasi.
Identifikasi jenis konflik untuk menentukan waktu yang diperlukan,
setelah dilakukan pengumpulan fakta dan memvalidasi semua
perkiraan melalui pengkajian lebih mendalam. Kemudian siapa yang
terlibat dan peran masing-masing. Tentukan jika situasinya dapat
diubah.
2) Analisis dan mematikan isu yang berkembang.
Jelaskan masalah dan prioritas fenomena yang terjadi. Tentukan
masalah utama yang memerlukan suatu penyelesaian yang dimulai
dari masalah tersebut. Hindari penyelesaian semua masalah dalam
satu waktu.
3) Menyusun tujuan.
Jelaskan tujuan spesifik yang akan dicapai.
b. Identifikasi.
1) Mengelola perasaan
Hindari respons emosional: marah, sebab setiap orang mempunyai
respons yang berbeda terhadap kata-kata, ekspresi, dan tindakan.
c. Intervensi.
1) Masuk pada konflik yang diyakini dapat diselesaikan dengan baik.
Selanjutnya identifikasi hasil yang positif yang akan terjadi.
2) Menyeleksi metode dalam menyelesaikan konflik. Penyelesaian
konflik memerlukan strategi yang berbeda-beda. Seleksi metode yang
paling sesuai untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.
6. Kunci Langkah dalam Manajemen Konflik
a. Set the tone: kendalikan diri dan jangan ada ancaman.
b. Get the feeling: beri kesempatan untuk mengekspresikan perasaan.
c. Get the fact: mendengarkan dan mengamati dengan saksama.
d. Ask for help: beri kesempatan karyawan untuk mencari solusi yang terbaik
dan gali konsekuensi dari keputusan yang akan dibuat.
e. Get a commitment: komitmen dan pengorbanan.
f. Follow up: tindak lanjuti secara konsisten.

7. Beberapa Strategi Penyelesaian Konflik


Strategi penyelesaian konflik dapat dibedakan menjadi enam macam.
a. Kompromi atau negosiasi.
Suatu strategi penyelesaian konflik di mana semua yang terlibat saling
menyadari dan sepakat pada keinginan bersama. Penyelesaian strategi ini
sering diartikan sebagai lose-lose situation. Kedua pihak yang terlibat
saling menyerah dan menyepakati hal yang telah dibuat. Di dalam
manajemen keperawatan, strategi ini sering digunakan oleh middle dan top
manajer keperawatan.
b. Kompetisi.
Strategi ini dapat diartikan sebagai win-lose situation. Penyelesaian ini
menekankan hanya ada satu orang atau kelompok yang menang tanpa
mempertimbangkan yang kalah. Akibat negatif dari strategi ini adalah
kemarahan, putus asa, dan keinginan untuk perbaikan di masa mendatang.
c. Akomodasi.
Istilah lain yang sering digunakan adalah cooperative situation. Konflik ini
berlawanan dengan kompetisi. Pada strategi ini, seseorang berusaha
mengakomodasi permasalahan, dan memberi kesempatan pada orang lain
untuk menang. Pada strategi ini, masalah utama yang terjadi sebenarnya
tidak terselesaikan. Strategi ini biasanya digunakan dalam politik untuk
merebut kekuasaan dengan berbagai konsekuensinya.
d. Smoothing.
Teknik ini merupakan penyelesaian konflik dengan cara mengurangi
komponen emosional dalam konflik. Pada strategi ini, individu yang
terlibat dalam konflik berupaya mencapai kebersamaan daripada
perbedaan dengan penuh kesadaran dan introspeksi diri. Strategi ini bisa
diterapkan pada konflik yang ringan, tetapi tidak dapat dipergunakan pada
konflik yang besar, misalnya persaingan pelayanan/hasil produksi.
e. Menghindar.
Semua yang terlibat dalam konflik, pada strategi ini menyadari tentang
masalah yang dihadapi, tetapi memilih untuk menghindar atau tidak
menyelesaikan masalah. Strategi ini biasanya dipilih bila ketidaksepakatan
membahayakan kedua pihak, biaya penyelesaian lebih besar daripada
menghindar, atau perlu orang ketiga dalam menyelesaikannya, atau jika
masalah dapat terselesaikan dengan sendirinya.
f. Kolaborasi.
Strategi ini merupakan strategi win-win solution. Dalam kolaborasi, kedua
pihak yang terlibat menentukan tujuan bersama dan bekerja sama dalam
mencapai suatu tujuan. Oleh karena keduanya yakin akan tercapainya
suatu tujuan yang telah ditetapkan. Strategi kolaborasi tidak akan bisa
berjalan bila kompetisi insentif sebagai bagian dari situasi tersebut,
kelompok yang terlibat tidak mempunyai kemampuan dalam
menyelesaikan masalah, dan tidak adanya kepercayaan dari kedua
kelompok/seseorang (Bowditch dan Buono, 1994).

B. Konsep Kolaborasi
1. Definisi Kolaborasi
Kolaborasi adalah hubungan timbal balik dimana pemberi pelayanan
memegang tanggung jawab paling besar untuk perawatan pasien dalam
kerangka kerja bidang respektif mereka. Praktik keperawatan kolaboratif
menekankan tanggung jawab bersama dalam manajemen perawatan pasien,
dengan proses pembuatan keputusan bilateral didasarkan pada masing-masing
pendidikan dan kemampuan praktisi (Siegler & Whitney, 2000).
Kolaborasi adalah suatu hubungan yang kolegial dengan pemberi
perawatan kesehatan lain dalam pemberian perawatan pasien. Praktik
kolaboratif membutuhkan atau dapat mencakup diskusi diagnosis pasien dan
kerjasama dalam penatalaksanaan dan pemberian perawatan (Blais, 2006).
Kolaborasi menurut Asosiasi Perawat Amerika (ANA, 1992), adalah
hubungan kerja diantara tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan
kepada klien. Kegiatan yang dilakukan meliputi diskusi tentang diagnosa,
kerjasama dalam asuhan kesehatan saling berkonsultasi atau komunikasi serta
masing-masing bertanggung jawab pada kepercayaannya (Sumijatun, 2010).
Defenisi kolaborasi dapat disimpulkan yaitu hubungan kerja sama antara
perawat dan dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada klien yang
didasarkan pada pendidikan dan kemampuan praktisi yang memiliki tanggung
jawab dalam pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan.

2. Manfaat Kolaborasi
Kolaborasi dilakukan dengan beberapa alasan sebagai manfaat dari
kolaborasi yaitu antara lain:
a. Sebagai pendekatan dalam pemberian asuhan keperawatan klien, dengan
tujuan memberikan kualitas pelayanan yang terbaik bagi klien.
b. Sebagai penyelesaian konflik untuk menemukan penyelesaian masalah atau
isu.
c. Memberikan model yang baik riset kesehatan.

3. Komponen Kompetensi Sebagai Dasar Kolaborasi


Gambaran penting untuk kolaborasi mencakup, keterampilan
komunikasi yang efektif, saling menghargai, rasa percaya, memberi dan
menerima umpan balik, pengambilan keputusan, dan manajemen konflik
(Blais, 2006).
a. Keterampilan Komunikasi Yang Efektif
Komunikasi sangat penting dalam meningkatkan kolaborasi karena
memfasilitasi berbagai pengertian individu (Kemenkes, 2012). Chittiy, 2001
dalam Marquis (2010) mendefenisikan komunikasi adalah sebagai
pertukaran kompleks antara pikiran, gagasan, atau informasi, pada dua level
verbal dan nonverbal. Komunikasi yang efektif adalah kemampuan dalam
menyampaikan pesan dan informasi dengan baik, menjadi pendengar yang
baik dan keterampilan menggunakan berbagai media. Thomas Leech,
menyatakan bahwa untuk membangun komunikasi yang efektif, harus
menguasai empat keterampilan dasar dalam komunikasi, yaitu: membaca,
menulis, mendengar dan berbicara (Nurhasanah, 2010).
b. Saling Menghargai dan Rasa Percaya
Saling menghargai terjadi saat dua orang atau lebih menunjukkan atau
merasa terhormat atau berharga terhadap satu sama lain. Dan rasa percaya
terjadi saat seseorang percaya terhadap tindakan orang lain. Saling
menghargai maupun rasa percaya menyiratkan suatu proses dan hasil yang
dilakukan bersama. Tanpa adanya saling menghargai maka kerja sama tidak
akan terjadi. Yang dimaksud dengan pentingnya menghargai satu sama lain
yaitu:
1) Dapat mengurangi perbedaan status professional.
2) Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja.
3) Meningkatkan pembagian informasi diantara profesi.
4) Menerima konstribusi profesi lain.
5) Sebagai advokasi evaluasi kritis kritis penampilan kerja diantara
anggota tim.
6) Mempermudah pengambilan keputusan bersama.
7) Meningkatkan tanggung jawab dan tanggung gugat dalam bekerja.
c. Memberi dan Menerima Umpan Balik
Salah satu yang dihadapi para professional adalah memberi dan menerima
umpan balik pada saat yang tepat, relevan, dan membantu untuk dan dari
satu sama lain, dan klien mereka. Umpan balik yang positif dicirikan dengan
gaya komunikasi yang hangat, perhatian, dan penuh penghargaan.
d. Pengambilan Keputusan
Proses pengambilan keputusan ditingkat tim mencakup pembagian
tanggung jawab untuk hasil. Jelasnya, untuk menciptakan suatu solusi, tim
tersebut harus mengikuti tiap langkah proses pengambilan keputusan yang
dimulai dengan defenisi masalah yang jelas.
e. Manajemen Konflik
Konflik peran dapat terjadi, dalam situasi apapun di tempat individu
bekerjasama. Konflik peran muncul saat seseorang diharapkan
melaksanakan peran yang bertentangan atau tidak sesuai dengan harapan.

4. Proses Kolaboratif
Proses kolaboratif dengan sifat interaksi antara perawat dengan dokter
menentukan kualitas praktik kolaborasi. ANA, 1998 dalam Siegler & Whitney
(2000) menjabarkan kolaborasi sebagai hubungan rekan yang sejati, dimana
masing-masing pihak menghargai kekuasaan pihak lain dengan mengenal dan
menerima lingkup kegiatan dan tanggung jawab masing-masing dan adanya
tujuan bersama. Sifat kolaborasi tersebut terdapat beberapa indikator yaitu
kontrol kekuasaan, lingkup praktik, kepentingan bersama dan tujuan bersama.
a. Kontrol Kekuasaan
Kontrol kekuasaan dapat terbina apabila dokter dan perawat mendapat
kesempatan yang sama mendiskusikan pasien tertentu. Kemitraan terbentuk
apabila interaksi yang diawali sama banyaknya dengan yang diterima
dimana terdapat beberapa kategori antara lain: menanyakan informasi,
memberikan informasi, menanyakan dan memberi pendapat, memberi
pengarahan atau perintah, pengambilan keputusan, memberi pendidikan,
memberi dukungan/persetujuan, menyatakan tidak setuju, orientasi dan
humor.
b. Lingkungan Praktik
Menunjukkan kegiatan dan tanggung jawab masing-masing pihak. Perawat
dan dokter memiliki bidang praktik yang berbeda dengan peraturan
masingmasing tetapi tugas-tugas tertentu dibina yang sama.
c. Kepentingan Bersama
Kepentingan bersama merupakan tingkat ketegasan masing-masing (usaha
untuk memuaskan kepentingan sendiri) dan faktor kerjasama (usaha untuk
memuaskan pihak lain).
d. Tujuan Bersama
Tujuan bersama pada proses ini bersifat lebih terorientasi pada pasien dan
dapat membantu menentukan bidang tanggung jawab yang berkaitan
dengan prognosis pasien.

C. Konsep Negosiasi
1. Pengertian
Negosiasi pada umumnya sama dengan kolaborasi. Pada organisasi,
negosiasi juga diartikan sebagai suatu pendekatan yang kompetitif (Marquis
dan Huston, 1998). Negosiasi sering dirancang sebagai suatu strategi
menyelesaikan konflik dengan pendekatan kompromi. Selama negosiasi
berlangsung, berbagai pihak yang terlibat menyerah dan lebih menekankan
untuk mengakomodasi perbedaan-perbedaan antara keduanya.
Smeltzer (1991) dalam Nursalam (2012) mengidentifikasi dua tipe
dasar negosiasi, yakni kooperatif (setiap orang menang), dan kompetitif (hanya
satu orang yang menang). Satu hal yang penting dalam negosiasi adalah apakah
ada salah satu atau kedua pihak menghendaki adanya perubahan hubungan
yang berlangsung dengan meningkatkan hubungan yang lebih baik. Jika kedua
pihak menghendaki adanya perbaikan hubungan, maka akan muncul tipe
kooperatif. Namun, jika hanya salah satu pihak yang menghendaki perbaikan
hubungan, maka yang muncul adalah tipe kompetitif. Meskipun dalam
negosiasi ada pihak yang menang dan kalah, sebagai negosiator penting untuk
memaksimalkan kemenangan kedua pihak untuk mencapai tujuan bersama,
meminimalkan kekalahan dengan membuat pihak yang kalah tetap dapat tujuan
bersama, dan membuat kedua belah pihak merasa puas terhadap hasil
negosiasi.
Terdapat tiga kriteria yang harus dipenuhi sebelum manajer setuju
untuk memulai proses negosiasi, yaitu: masalah harus dapat dinegosiasikan,
negosiator harus tertarik terhadap “take and give” selama proses negosiasi, dan
mereka harus saling percaya (Smeltzer, 1991 dalam Nursalam, 2012).

2. Langkah-langkah Sebelum Negoisasi


Langkah-langkah yang harus dilakukan sebelum melaksanakan negosiasi
adalah sebagai berikut.
a. Mengumpulkan informasi tentang masalah sebanyak mungkin. Oleh karena
pengetahuan adalah kekuatan, semakin banyak informasi yang didapat,
maka semakin besar kemungkinan untuk menawarkan negosiasi.
b. Di mana manajer harus memulai. Oleh karena tugas manajer adalah
melakukan kompromi, maka mereka harus memilih tujuan yang utama.
Tujuan tersebut sebagai masukan dari tingkat bawah.
c. Memilih alternatif yang terbaik terhadap sarana dan prasarana. Efisiensi dan
efektivitas penggunaan waktu, anggaran, dan pegawai yang terlibat perlu
juga diperhatikan oleh manajer.
d. Mempunyai agenda yang disembunyikan. Agenda tersebut adalah agenda
negosiasi alternatif yang akan ditawarkan jika negosiasi tidak dapat
disepakati.

3. Strategi Negosiasi
Ada beberapa strategi dan cara yang perlu dilaksanakan dalam menciptakan
kondisi yang persuasif, asertif, dan komunikasi terbuka selama negosiasi
berjalan.
a. Pilih fakta-fakta yang rasional dan berdasarkan hasil penelitian.
b. Dengarkan dengan saksama, dan perhatikan respons nonverbal yang
nampak.
c. Berpikirlah positif dan selalu terbuka untuk menerima semua alternatif
informasi yang disampaikan.
d. Upayakan untuk memahami pandangan apa yang disampaikan lawan
bicara Anda. Konsentrasi dan perhatikan, tidak hanya memberikan
persetujuan.
e. Selalu diskusikan tentang konflik yang terjadi. Hindarkan masalah-
masalah pribadi pada saat negosiasi.
f. Hindari menyalahkan orang lain atas konflik yang terjadi.
g. Jujur.
h. Usahakan bersikap bahwa anda memerlukan penyelesaian yang terbaik.
i. Jangan langsung menyetujui solusi yang ditawarkan, tetapi berpikir, dan
mintalah waktu untuk menjawabnya.
j. Jika kedua belah pihak menjadi marah atau lelah selama negosiasi
berlangsung, istirahatlah sebentar.
k. Dengarkan dan tanyakan tentang pendapat yang belum begitu Anda
pahami.
l. Bersabarlah (Smeltzer, 1991).

4. Kunci Sukses dalam Melakukan Negosiasi


a. Lakukan
2) Jelaskan tujuan negosiasi, bukan posisinya. Pastikan bahwa Anda
mengetahui keinginan orang lain.
3) Perlakukan orang lain sebagai teman dalam penyelesaian masalah,
bukan sebagai musuh. Hadapi masalah yang ada, bukan orangnya.
4) Ingat, bahwa setiap orang mengharapkan penyelesaian yang dapat
diterima, jika Anda dapat menyajikan sesuatu dengan baik dan menarik.
5) Dengarkan baik-baik apa yang dikatakan dan apa yang tidak.
Perhatikan gerakan tubuhnya.
6) Lakukan sesuatu yang sederhana, tidak berbelit-belit.
7) Antisipasi penolakan.
8) Tahu apa yang dapat Anda berikan.
9) Tunjukkan beberapa alternatif pilihan.
10) Tunjukkan keterbukaan dan ketaatan jika orang lain sepakat terhadap
pendapat Anda.
11) Bersikaplah asertif, bukan agresif.
12) Hati-hati, Anda mempunyai suatu kekuasaan untuk memutuskan.
13) Pergunakan gerakan tubuh, jika Anda menyetujui atau tidak terhadap
suatu pendapat.
14) Konsisten terhadap apa yang Anda anggap benar
b. Hindari
1) Sikap yang tidak baik, seperti sinis, kasar, dan menyepelekan.
2) Trik yang tidak baik, seperti manipulasi.
3) Distorsi.
4) Tergesa-gesa dalam proses negosiasi.
5) Tidak berurutan.
6) Membuat hanya satu pilihan.
7) Memaksakan kehendak
8) Berusaha menekankan pada satu pendapat.

D. Konsep Pengambilan Keputusan Dalam Management


1. Pengertian Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan adalah bagian kunci kegiatan manajer.
Kegiatan ini memegang peranan penting terutama bila manajer
melaksanakan fungsi perencanaan. Dalam proses perencanaan, manajer
memutuskan tujuan-tujuan organisasi yang akan dicapai, sumber daya yang
akan digunakan, dan siapa yang akan melaksanakan tugas tersebut
(Handoko, 2009).
Menurut Gibson dkk (1997) dalam Sumijatun (2010) keputusan
merupakan tanggapan manajer terhadap permasalahan. Setiap keputusan
adalah akibat dari proses dinamis yang dipengaruhi oleh banyak kekuatan
termasuk lingkungan organisasi dan pengetahuan, kecakapan dan motivasi
manajer. Pengambilan keputusan adalah proses pemikiran dan
pertimbangan yang mendalam, dan proses yang melibatkan pendekatan
sistematik dengan langkah-langkah yang berurutan.
Pengambilan keputusan merupakan proses kognitif yang kompleks
dan sering didefinisikan sebagai suatu upaya memutuskan serangkaian
tindakan tertentu. Pengambilan keputusan sering dianggap sinonim dengan
manajemen (Marquis & Huston, 2010).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengambilan
keputusan adalah suatu proses berpikir dalam menentukan pilihan terbaik
untuk menyelesaikan suatu masalah dengan langkah-langkah yang
berurutan.

2. Model Pengambilan Keputusan


a. Model Normatif
Menurut Swanburg (2000) model normatif untuk pembuatan
keputusan ini tidak realistis karena asumsinya jelas memilih diantara
alternative yang teridentifikasi. Ada tujuh langkah untuk membuat
keputusan dalam model analisis ini:
1) menemukan dan menganalisis masalah,
2) mengidentifikasi semua alternatif yang memungkinkan,
3) mengevaluasi pro dan kontra dari masing-masing alternatif,
4) mengurutkan alternatif,
5) memilih alternative yang dapat memaksimalkan kepuasaan,
6) pelaksanaan,
7) evaluasi.
b. Model Pohon Keputusan
Vroom menggunakan jawaban untuk tujuh pertanyaan diagnostik
dalam bentuk pohon keputusan untuk mengidentifikasi tipe-tipe gaya
kepemimpinan yang digunakan dalam model manajemen pembuatan
keputusan. Pertanyaan berfokus pada perlindungan kualitas dan
penerimaan keputusan dan kesesuaian yang adekuat dari informasi,
keseuaian tujuan, struktur masalah, penerimaan oleh subordinat, konflik,
keadilan, dan prioritas implementasi (Swanburg, 2000).
c. Model Deskriptif
Simon mengembangkan model ini didasarkan pada asumsi bahwa
pembuat keputusan adalah seseorang yang melihat masalah secara
rasional dalam membuat solusi yang bisa dilakukan yang didasarkan
pada informasi yang diketahuinya. Model ini dapat digunakan untuk
membuat berbagai keputusan yang informasinya tidak lengkap
diakibatkan karena keterbatasan waktu, uang, atau orang dan kenyataan
bahwa orang tidak selalu memilih yang paling baik (Swanburg, 2000).
Ada lima langkah pengambilan keputusan dalam model dekripsi:
1) menetapkan tujuan yang dapat diterima,
2) menguraikan persepsi subjektif tentang masalah,
3) mengidentifikasi alternatif yang bisa diterima,
4) mengevaluasi setiap alternatif,
5) menyeleksi alternatif,
6) menerapkan keputusan,
7) evaluasi (Swanburg, 2000).

3. Langkah-langkah Pengambilan Keputusan


Manajemen keperawatan membutuhkan keputusan yang dibuat oleh
perawat manajer pada setiap tingkatan bagian dibangsal atau unit
(Swanburg, 2000).
Banyak waktu manajer dihabiskan untuk mengkaji isu, menyelesaikan
masalah, dan membuat keputusan secara kritis. Kualitas keputusan yang
dibuat oleh pemimpin atau manajer merupakan faktor yang sangat
berpengaruh dalam keberhasilan atau kegagalan mereka (Marquis &
Huston, 2010).
Marquis & Huston (2010) menyebutkan untuk meningkatkan
kemampuan pengambilan keputusan, perlu digunakan model proses yang
adekuat sebagai dasar teori untuk memahami dan mengaplikasikan
keterampilan berpikir kritis. Ada lima langkah kritis dalam penyelesaian
masalah dan pengambilan keputusan, yaitu:
a. Penetapan tujuan
Penetapan tujuan harus jelas dan konsisten dengan pernyataan filosofi
individu atau organisasi. Jika aspek tersebut tidak terpenuhi, maka
kemungkinan keputusan yang dibuat berkualitas buruk. Handoko
(2009) mengemukakan hal pertama yang harus dilakukan seorang
manajer adalah menemukan dan memahami masalah untuk
diselesaikan agar perumusan masalah menjadi jelas.
b. Mengumpulkan data secara cermat
Setelah manajer menentukan atau merumuskan masalah dan tujuan,
manajer harus menentukan data-data yang dibutuhkan untuk membuat
keputusan yang tepat (Handoko, 2009). Pengumpulan data dimulai
dengan mengidentifikasi masalah atau kesempatan untuk mengambil
keputusan dan berlanjut ke proses penyelesaian masalah. Ketika
mengumpulkan informasi, manajer harus berhati-hati agar data yang
dimilikinya dan orang lain tidak salah fakta (Marquis & Huston, 2010).
c. Membuat banyak alternatif
Semakin banyak alternatif yang dapat dibuat dalam penyelesaian
masalah dan pengambilan keputusan, semakin besar kesempatan
menghasilkan keputusan akhir. Dengan tidak membatasi hanya pada
satu alternatif yang jelas, orang akan mampu untuk menerobos pola
kebiasaan atau pengekangan berpikir dan memungkinkan munculnya
gagasan baru (Merquis & Huston, 2010). Menurut Handoko (2009)
setelah membuat alternatif keputusan, manajer harus mengevaluasi
alternatif tersebut untuk menilai keefektifitasannya, dan langkah
selanjutnya adalah memilih alternatis terbaik yang akan digunakan
dalam pengambilan keputusan.
d. Berpikir logis
Selama proses penyelesaian masalah, seseorang harus menarik
inferensi (simpulan) informasi dan mempertimbangakan informasi
serta alternatif secara cermat. Kesalahan berlogika pada titik ini akan
mengarahkan pada kualitas keputusan yang buruk. Ada beberapa cara
berpikir yang tidak logis, seperti: terlalu menggeneralisasi, afirmasi
konsekuensi, dan berargumen dengan analogi (Marquis & Huston,
2010).
e. Memilih dan bertindak secara efektif
Mengumpulkan informasi yang adekuat, berpikir logis, memilih
diantara banyak alternatif, dan memahami pengaruh nilai-nilai individu
tidaklah cukup. Dalam analisis akhir, seseorang harus bertindak.
Banyak orang yang menunda untuk bertindak karena mereka kurang
berani untuk menghadapi konsekuensi pilihan yang mereka ambil
(Marquis & Huston, 2010). Pada tahap ini manajer perlu
memperhatikan berbagai resiko dan ketidakpastian sebagai
konsekuensi keputusan yang telah dibuat, karena dengan mengambil
langkah tersebut manajer dapat menentukan kegiatan-kegiatan yang
diperlukan untuk menanggulangi hambatan dan tantangan yang akan
terjadi (Handoko, 2009).

SIMPULAN

Marquis dan Huston (1998) mendefinisikan konflik sebagai masalah


internal dan eksternal yang terjadi sebagai akibat dari perbedaan pendapat, nilai-
nilai, atau keyakinan dari dua orang atau lebih. Konflik dapat dibedakan menjadi
tiga jenis yakni, konflik intrapersonal, interpersonal, dan antar kelompok. Proses
konflik dibagi menjadi beberapa tahapan: 1) Konflik laten, 2) Konflik yang
dirasakan (felt conflict), 3) Konflik yang tampak/sengaja dimunculkan, 4) Resolusi
konflik, dan 5) Konflik aftermath. Strategi penyelesaian konflik dapat dibedakan
menjadi enam macam; 1) Kompromi atau negosiasi, 2) Kompetisi, 3) Akomodasi,
4) Smoothing, 5) Menghindar, dan Kolaborasi.
Kolaborasi adalah hubungan kerja sama antara perawat dan dokter dalam
memberikan pelayanan kesehatan kepada klien yang didasarkan pada pendidikan
dan kemampuan praktisi yang memiliki tanggung jawab dalam pelayanan
kesehatan khususnya pelayanan keperawatan.
Negosiasi pada umumnya sama dengan kolaborasi. Pada organisasi,
negosiasi juga diartikan sebagai suatu pendekatan yang kompetitif (Marquis dan
Huston, 1998). Negosiasi sering dirancang sebagai suatu strategi menyelesaikan
konflik dengan pendekatan kompromi. Selama negosiasi berlangsung, berbagai
pihak yang terlibat menyerah dan lebih menekankan untuk mengakomodasi
perbedaan-perbedaan antara keduanya.
Pengambilan keputusan merupakan proses kognitif yang kompleks dan
sering didefinisikan sebagai suatu upaya memutuskan serangkaian tindakan
tertentu. Pengambilan keputusan sering dianggap sinonim dengan manajemen

DAFTAR PUSTAKA

Blais, K. K. 2006. Praktik Keperawatan Profesional : Konsep dan Prespektif.


Jakarta: EGC.
Bowditch, L.J., dan A.F. Buono. 1994. A Primer on Organizing Behavior. New
York: Wiley
Handoko, T. Hani. 2009. Manajemen. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta
Marquis, B.L., dan C.J. Huston. 1998. Management Decision Making 124 Case
Studies. Edisi 3. New York: Lippincott-Raven
Marquis, B.L., dan C.J. Huston. 2010. Kepemimpinan dan manajemen
keperawatan: Teori dan Aplikasi. Jakarta. Edisi 4. EGC.
Nursalam. 2012. Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik Keperawatan
Profesional. Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika.
Siegler, E.L. dan Whitney, F.W. 2000. Kolaborasi perawat – dokter. Jakarta: EGC.
Sumijatun. 2010. Konsep Dasar Menuju Keperawatan Profesional. Jakarta : CV.
Trans Info Media
Swanburg, R.C, 2000. Pengantar Kepemimpinan & Manajemen Keperawatan
Untuk Perawat Klinis. Jakarta :EGC

Anda mungkin juga menyukai