Anda di halaman 1dari 15

TUGAS

MEKANIKA BATUAN LANJUT II

“Fenomena atau Gejala Creep”

OLEH:
MOH. SURIYAIDULMAN RIANSE
NPM 212180013

PROGRAM STUDI PASCASARJANA TEKNIK PERTAMBANGAN


JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2019
Daftar Isi

1. Pengertian Creep .............................................................................................. 1


2. Proses Terjadinya Creep .................................................................................. 1
3. Batuan Yang Berpotensi Berperilaku Creep .................................................... 3
4. Kondisi Yang Mendorong Terjadinya Creep ................................................... 4
a. Kondisi Internal ........................................................................................... 4
b. Kondisi Eksternal ........................................................................................ 5
5. Eksperimen Creep ............................................................................................ 5
a. Eksperimen Laboratorium ........................................................................... 5
b. Eksperimen Lapangan ............................................................................... 12
6. Dampak Gejala Creep .................................................................................... 13
Referensi ............................................................................................................... 13
Fenomena atau Gejala Creep

1. Pengertian Creep
Creep merupakan gerakan tanah atau batuan yang kontinu dan relatif lambat.
Creep mengacu pada deformasi tergantung waktu pada tanah atau batu yang
dihasilkan dari penataan ulang internal partikel dalam merespon perbedaan
tegangan yang berkelanjutan = (σ - σ3) yang umumnya lebih kecil daripada
perbedaan tegangan tanah pada failure = (σ1- σ3)f dimana σ1 dan σ3 adalah tekanan
utama mayor dan minor. Deformasi selama creep yang undrained dihasilkan dari
penyimpangan bentuk ketika tanah mengerahkan tahanan geser yang konstan
sebagai respons terhadap tegangan geser yang diterapkan pada pemuatan atau
pembongkaran. Model creep telah diterapkan pada solusi dari berbagai masalah
teknik, seperti penutupan dan pembebanan pada terowongan, bilik, dan pilar dalam
material yang sensitif terhadap creep, seperti zona garam, serpih, dan patahan.
Tanah yang sangat tertekan dan sensitif akan rayapan yang ditemui dalam
penggalian bawah tanah digambarkan dalam terminologi manusia sebagai tanah
terjepit, karena mengarah ke penutupan bertahap pada bukaan di bawah kondisi
undrained yang praktis.

Perilaku undrained creep berkaitan erat dengan fenomena drained creep yang
berasosiasi dengan konsolidasi sekunder dan swelling karena mekanisme tersebut
menyebabkan perubahan volume. Pemahaman tentang creep penting untuk
pengembangan lebih lanjut di bidang desain tambang bawah tanah, kontrol strata,
seismologi dan dalam memahami banyak fenomena geologis dan geofisika lainnya
yang terjadi di kerak bumi.

2. Proses Terjadinya Creep


Creep disebabkan oleh interaksi beberapa faktor, tetapi heaving (kembang-
kempis) dari batuan kemungkinan merupakan proses yang paling penting. Heaving
melibatkan ekspansi dan kontraksi fragmen batuan, dan terjadi selama siklus
pembasahan dan pengeringan, serta pembekuan dan pencairan. Ketika terjadi
ekspansi, partikel bergerak ke luar, tegak lurus ke lereng bukit. Selama kontraksi,
partikel bergerak kembali ke sisi bukit, secara vertikal, dan berakhir sedikit
menurun di tempat mereka mulai. Gerakan berulang dari partikel-partikel individu

1
menghasilkan gerakan lereng bawah material. Daerah yang mengalami siklus
basah/kering atau beku/mencair paling rentan mengalami creep.

Solifluction adalah jenis creep khusus yang terjadi di daerah dingin yang
didasari oleh permafrost. Selama musim dingin, tanah membeku hingga ke
permukaan. Ketika lapisan permukaan mencair, selama musim semi dan awal
musim panas, air lelehan tidak dapat meresap ke lapisan beku di bawahnya. Hal ini
menyebabkan lapisan permukaan tanah menjadi tergenang air, memfasilitasi
pergerakan lereng saat lapisan tersebut menjadi jenuh. Dalam hal ini lapisan
permukaan mengalir, naik di atas tanah beku di bawahnya. Meskipun paling umum
di daerah permafrost, solifluksi dapat terjadi di mana saja sehingga lapisan tanah
permukaan menjadi jenuh.

Beberapa peneliti telah mempelajari creep pada pilar-pilar di tambang bawah


tanah, terutama tambang garam dan kalium. Studi-studi tersebut menunjukkan
bahwa deformasi pilar tidak terjadi secara instan tetapi meningkat seiring waktu.
Pilar, yang tampak stabil setelah penambangan dapat memburuk seiring waktu dan
kemudian runtuh karena pengembangan deformasi vertikal yang membatasi.
Keruntuhan pilar terjadi pada berbagai tekanan vertikal; keruntuhan pada tegangan
tinggi terjadi lebih awal daripada tekanan rendah.

Hasil studi creep berguna untuk memprediksi longsoran lereng juga. Saito
telah menggambarkan metode memprediksi waktu longsor lereng dengan laju creep
steady state. Dalam makalah selanjutnya ia juga menggambarkan metode lain
dalam memprediksi waktu longsor dengan metode creep tersier. Sangat mungkin
bahwa kadang-kadang hanya creep tahap tersier dapat diamati karena
keterlambatan pemasangan perangkat di lokasi.

2
Gambar 1. Perilaku creep standar

3. Batuan Yang Berpotensi Berperilaku Creep


Rayapan di batuan rapuh jarang terjadi karena laju deformasi sangat lambat.
Hard rock menunjukkan perilaku creep hanya pada suhu tinggi dan tekanan
umumnya tidak ditemui dalam rekayasa struktur. Soft rock di sisi lain terjadi creep
sebagian besar pada suhu kamar, tekanan atmosfer dan kisaran tegangan deviatorik
yang biasanya ditemui dalam rekayasa struktur.

Gambar 2. Karakteristik creep komparatif untuk tingkat stres yang sama di


berbagai jenis batuan

3
Tabel 1. Tipe Batuan dan Klasifikasi Creep Berdasarkan Mekanisme Deformasi
(Dusseault dan Fordham, 1993)
Tipe Batuan Mekanisme Deformasi Laju Stres Temperatur Rentang
Regangan Deviatorik Eksponen
(s-1) (σ1- σ3) Stres ‘n’
-11 -
Hard Rocks Microfracturing/ 10 -10 Tinggi Rendah 6-10
(silika Microcracks/Cataclasis 14 (10-15
porositas MPa)
rendah)
Karbonat Dislokasi dan 10-3-10-9 Tinggi Rendah ke 3-7
massif kering Microcracking (10-15 Tinggi
MPa)
Karbonat Larutan Difusi / 10-12-10- Rendah Tinggi 1-2
14
berkekar / Tekanan (1-5 MPa)
berpori basah
Batupasir Larutan Microcrack / 10-11 -10- Tinggi ke Rendah 6-10/3-6/
13
berporositas Dislokasi / Tekanan /10-3- Rendah <1
tinggi 10-9/ 10-15 (5-10
MPa)
Serpih/Slate Larutan >10-15 Tinggi ke Rendah ke 1-6
berporositas Microfracture/Tekanan Rendah Tinggi
tinggi (5-10
MPa)
Batugaram Semua bentuk 10-6 -10- High to Tinggi 1-10
10 -3
(Larutan / 10 - low (1-
Microfracture, 10-9/ 10- 15MPa)
14 -15
Dislokasi, Difusi dan -10
Tekanan)

4. Kondisi Yang Mendorong Terjadinya Creep


Seperti dijelaskan tadi, Creep umumnya disebabkan oleh heaving (kembang-
kempis) dari batuan. Namun ada beberapa kondisi lain yang mendorong terjadinya
creeping. Kondisi-kondisi yang menyebabkan terjadinya creep terdiri dari kondisi
internal dan kondisi eksternal

a. Kondisi Internal
1) Pembekuan
Pembekuan air tanah memperluas ruang antar partikel tanah. Setelah air
meleleh / menghangat, partikel-partikel jatuh karena gravitasi dan dapat
menggeser posisi ke bawah. Lereng bertindak sebagai pelumas untuk
partikel-partikel tanah yang menyebabkan gerakannya menurun ke bawah.

4
2) Suhu
Perubahan suhu menyebabkan partikel-partikel tanah mengembang dan
berkontraksi, oleh karena itu mereka menggeser posisi lereng.
3) Kelembaban
Kelembaban akibat air hujan ataupun factor lain menyebabkan tanah dan
batuan menjadi basah. Pada pengeringan, partikel melonggarkan dan dapat
bergeser dari posisi semula menuruni lereng.

b. Kondisi Eksternal
1) Aktivitas manusia dan aksi hewan penggali dapat menyebabkan lereng
kehilangan tanah pada bagian bawahnya. Ini menjadi efek pemicu pada
partikel tanah pada bagian atas lereng yang kemudian dapat bergeser ke
bawah lereng.
2) Getaran dari kendaraan yang bergerak dan tremor bumi dapat memicu
partikel tanah bergerak ke bawah.

5. Eksperimen Creep
Eksperimen creep sering digunakan untuk menentukan kekuatan dan/atau
modulus deformasi batuan yang tergantung waktu. Telah sering dinyatakan bahwa
creep batuan tidak terjadi kecuali level beban/tegangan melebihi nilai ambang
tertentu, yang kadang-kadang didefinisikan sebagai kekuatan jangka panjang
batuan (Ladanyi, 1974; Bieniawski, 1970). Eksperimen creep terdiri dari
eksperimen di laboratorium dan eksperimen di lapangan.

a. Eksperimen Laboratorium
1) Perangkat pengujian creep di laboratorium
Peralatan untuk uji creep yaitu dapat dari tipe cantilever atau tipe yang
dikendalikan oleh beban/perpindahan. Meskipun detail masing-masing mesin
pengujian mungkin berbeda, fitur-fitur alat untuk pengujian creep dijelaskan di sini.

a) Perangkat pengujian tipe Cantilever


Dalam praktiknya, alat ini paling stabil untuk uji creep karena level beban
dapat dengan mudah dijaga konstan seiring waktu. Batasan terbesar dari tipe ini

5
adalah tingkat beban yang berlaku, yang tergantung pada panjang lengan penopang
dan goyangan selama penerapan beban.

Gambar 3. Contoh peralatan untuk creep tipe kantilever: (a) Kantilever satu
lengan dan (b) multi-tuas

b) Kontrol Peralatan Pembebanan / perpindahan


Sistem pengujian pemuatan adalah mesin uji terkontrol servo yang mampu
menerapkan beban konstan tinggi ke sampel. Aspek paling kritis dari percobaan ini
adalah menjaga tekanan aksial yang sangat tinggi bekerja pada konstanta sampel,
yang akan membutuhkan pemantauan kontinu terhadap beban dan penyesuaian
otomatisnya (Peng, 1973). Beban yang diterapkan pada sampel dipertahankan
dalam ± 1% dari beban yang ditentukan. Pengukuran deformasi atau regangan
diukur dengan cara yang sama seperti pada eksperimen creep tipe cantilever.
Getaran seperti operasi loop tertutup berkecepatan tinggi yang konstan adalah
masalah yang memprihatinkan.

6
Gambar 4. Alat kontrol pembebanan/perpindahan (Ishizuka dll, 1993).

2) Jenis eksperimen creep di laboratorium


a) Uji creep kompresi uniaksial

Tes creep pada tufa Oya yang dilakukan oleh Ito & Akagi (2001) dalam
kondisi kering diplot pada Gambar 6. Seperti dicatat dari Gambar 6, beberapa
respon berakhir dengan kegagalan sementara yang lain menjadi asimptotik terhadap
tingkat regangan tertentu, tergantung pada rasio tegangan yang diterapkan (SR),
yang didefinisikan sebagai rasio tegangan yang diterapkan terhadap kekuatan
jangka pendek. Respon yang berakhir dengan kegagalan pada umumnya dibagi
menjadi tiga tahap. Transisi dari tahap primer ke tahap sekunder dan dari tahap
sekunder ke tahap tersier umumnya ditentukan dari deviasi dari penurunan linier
atau peningkatan laju regangan yang diplot dalam ruang waktu logaritmik. Secara
umum, harus dicatat bahwa data regangan harus dihaluskan sebelum
interpretasinya. Penurunan langsung dari data regangan yang berisi respon aktual
serta elektronik dapat menghasilkan hasil yang sepenuhnya berbeda.

7
Gambar 5. Mesin uji geser dinamis multi guna dengan kemampuan untuk
melakukan uji creep pada batuan, diskontinuitas, dan antarmuka di Universitas
Ryukyus.

Gambar 6. Respon creep kompresi uniaksial tufa Oya dalam kondisi kering
(dimodifikasi dari Ito & Akagi 2001).
b) Uji creep kompresi triaksial
Eksperimen creep kompresi triaksial sangat terbatas dibandingkan dengan
eksperimen creep kompresi uniaksial karena kecanggihan peralatan dan biaya.
Namun demikian, ada beberapa upaya untuk melakukan uji tersebut (Serata dll,
1968; Lockner & Byerlee, 1977; Waversik, 1983; Masuda dll, 1987; Okada, 2005;
Ito dll, 1999). Asalkan sudut gesekan tidak bergantung pada kecepatan, rasio
tegangan pada uji creep kompresi triaksial dengan uji creep kompresi uniaksial
didefinisikan dalam analogi sebagai:
𝜎1 −𝜎2
𝑆𝑅 = 2𝑐 𝑐𝑜𝑠∅+(𝜎1 + 𝜎3 )𝑠𝑖𝑛∅

8
Gambar 7. (a) Respon creep dari tufa Oya dan (b) Hubungan antara rasio tegangan
dan waktu kegagalan pada berbagai suhu (Shibata dll, 2007).

Gambar 8. Waktu keruntuhan creep dari uji creep kompresi uniaksial dan triaksial
(dari Ito dll, 1999; Shibata dll, 2007; Akai dll, 1979).

9
c) Uji Creep tarik Brasil
Tidak ada banyak studi tentang perilaku creep tarik batuan menggunakan uji
creep Brasil. Namun, batuan dapat mengalami tegangan tarik di alam seperti tebing
dengan erosi pada bagian bawah dan lapisan atap di atas bukaan bawah tanah yang
digali dalam batuan sedimen. Aydan dll (2011, 2013), Agan dll (2013) dan Ulusay
dll (2013) baru-baru ini melaporkan beberapa uji creep Brasil pada sampel tufa.
Kekuatan tarik dari sampel dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
2 𝑃
𝜎𝑡 =
𝜋 𝐷𝑡

Gambar 9. Respons creep Brasil dari sampel SN1-W3.


d) Uji creep geser langsung
Uji creep geser langsung pada batuan, diskontinuitas dan antarmuka juga
sangat jarang. Amadei & Curran (1982) melakukan uji geser geser langsung pada
diskontinuitas batuan. Uji geser langsung oleh Aydan dll, (1994, 2016), Voegler dll
(1998), Larson & Wade (2000) dapat dihitung sebagai tambahan tes awal yang
dilakukan oleh Amadei & Curran (1982). Kami menyajikan hasil eksperimen
Aydan dll (1994) dilakukan pada antarmuka dan bahan grouting dalam sistem
jangkar batu. Gambar 2.12 menunjukkan uji creep geser langsung pada antarmuka
tendon-grout di bawah tegangan normal 2MPa. Rasio tegangan sekitar 95%.
Respon keseluruhan mirip dengan kompresi uniaksial, triaksial dan uji creep Brasil.

Gambar 10. Uji creep geser langsung pada antarmuka tendon-grout.

10
Gambar 12. Respon dari material grouting yang diukur selama uji creep geser
langsung pada berbagai rasio tegangan.

c) Eksperimen jejak creep


Eksperimen jejak creep relatif mudah dilakukan dan kapasitas peralatan
pemuatan relatif kecil dibandingkan dengan eksperimen creep konvensional.
Masalah kritis dengan teknik ini adalah definisi regangan dan tegangan, yang dapat
dikaitkan dengan eksperimen creep konvensional. Ada beberapa saran tentang
bagaimana mengkorelasikan eksperimen jejajk creep dengan eksperimen creep
konvensional, yang dirangkum dalam Tabel 2.1 (yaitu Hyde dll, 1996; Timoshenko
& Goodier, 1970; Sastry, 2005; Rassouli dll, 2010; Aydan dll, 2011). Jika beban
yang diterapkan diasumsikan sama, semua persamaan dalam Tabel 2.1 menyiratkan
bahwa regangan yang sesuai akan lebih kecil sehingga perilaku plastik akan terjadi
pada tingkat pemuatan yang lebih tinggi.

Tabel 2. Korelasi yang diajukan antara eksperimen jejak creep dan eksperimen
creep kompresi uniaksial konvensional.

11
Gambar 13. Dua contoh perangkat jejak creep
b. Eksperimen Lapangan
Untuk ekperimen lapangan creep metode yang digunakan menggunakan alat
pemantau Ekstensometer. Alat ini berfungsi untuk mengukur perpindahanyang
terjadi di dalam massa batuan. Selanjutnya hasil pengamatan berupa data
perpindahan terhadap waktu diplotkan ke dalam suatu kurva untuk dapat dianalisis.
Hasil yang diperoleh dari pemantauan terhadap perpindahan di dalam dinding
menunjukkan bahwa batuan tersebut berperilaku hingga mencapai tahapan
sekunder.

Gambar 14. Grafik rayapan dinding kiri di tambang emas bawah tanah

12
Hasil antara pengukuran langsung di lapangan dan pengujian rayapan di
laboratorium menunjukkan tidak terlalu berbeda hasilnya.

Tabel 3. Analogi uji rayapan vs. uji UCS


Uji rayapan Uji kuat tekan uniaksial
Regangan elastik seketika Penutupan rekahan
Rayapan primer Deformasi elastik sempurna
Rayapan sekunder Perambatan rekahan stabil
Rayapan tersier Perambatan rekahan tidak stabil

6. Dampak Gejala Creep


Meskipun gerakan yang terkait dengan creep cukup lambat, hal tersebut tetap
memberikan dampak yang signifikan karena ini adalah fenomena luas yang
mungkin terjadi sampai batas tertentu di hampir semua lereng yang tertutup tanah.
Beberapa masalah terkait dengan kesulitan pendeteksian. Kecuali pohon, dinding,
atau struktur bangunan lainnya mengalami deformasi, sulit untuk menentukan
apakah creep terjadi atau tidak. Sayangnya, di mana creep telah diidentifikasi, juga
sulit dikendalikan. Respons terbaik terhadap masalah ini adalah menghindari
bangunan di daerah yang mengalami creep. Jika diperlukan konstruksi, bangunan
harus ditambatkan ke batuan dasar di bawah tanah yang merambat dan lapisan
puing.

Referensi

Aydan, Ömer (2017). “Time-Dependency in Rock Mechanics and Rock


Engineering”. Taylor & Francis Group, London, UK
Dusseault, M.B dan Fordham,C.J (1993). “Time dependent behaviour of rocks”. In:
Comprehensive Rock Engineering, Vol. 3, 119-149.
Rai, Made Astawa. (1988). “Mekanika Batuan”. Laboratorium Geoteknik Pusat
Antar Universitas Ilmu Rekayasa Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Roy, Mainak Ghosh dan Seshagiri K. Rao (2015).” Analysis of creep behaviour of
soft rocks in tunnelling”. In: ISEG-EGNM,

13

Anda mungkin juga menyukai