Anda di halaman 1dari 16

TUGAS

MEKANIKA BATUAN LANJUT II

“Pengujian Tegangan Insitu”

OLEH:
MOH. SURIYAIDULMAN RIANSE
NPM 212180013

PROGRAM STUDI PASCASARJANA TEKNIK PERTAMBANGAN


JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2019
Daftar Isi
Bab 1. Pendahuluan ................................................................................................. 1
1. Pendahuluan ................................................................................................. 1
2. Pengaruh Diskontinuitas Terhadap Distribusi Tegangan ............................. 4
Bab 2. Metode Pengukuran Tegangan Insitu .......................................................... 5
1. Acoustic Emission (AE) ............................................................................... 6
2. Borehole Breakout ....................................................................................... 9
3. Differential Strain Curve Analysis (DSCA) .............................................. 12
Referensi ............................................................................................................... 14
Bab 1. Pendahuluan
1. Pendahuluan
Teganga insitu adalah tegangan lokal dan alami dalam formasi massa batuan.
Tegangan insitu mendefinisikan kuantitas dan arah tekanan yang diterapkan pada
batuan di lokasi tertentu. Tegangan insitu suatu titik ditentukan oleh kondisi
pembebanan material yang ada di atasnya dan perubahan akibat proses geologi
sebelumnya. Perubahan kondisi tegangan insitu dapat diakibatkan oleh beberapa
hal yang antara lain berhubungan dengan perubahan suhu, serta proses kimia seperti
leaching, penguapan, dan rekristalisasi mineral. Proses mekanik seperti
terbentuknya rekahan, geseran antara bidang rekahan dan aliran viskoplastik dalam
material akan menghasilkan kondisi tegangan yang komplek dan heterogen.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi tegangan insitu menurut Brady dan
Brown (1985) adalah (1) topografi permukaan, (2) erosi, (3) tegangan sisa, (4)
inklusi, (5) aktivitas tektonik, dan (6) bidang diskontinyu.

a. Topografi Permukaan
Untuk kondisi permukaan yang datar, tegangan vertikal rata-rata mendekati
nilai tegangan akibat beban material di atasnya. Semakin jauh dari permukaan,
semakin besar pengaruh beban material di atasnya. Untuk topografi permukaan
yang tidak rata, penentuan kondisi tegangan pada suatu titik menjadi lebih
kompleks.
Beberapa kondisi topografi dapat menyebabkan tegangan horisontal yang
lebih besar dibandingkan tegangan vertikalnya. Hal ini dapat menjadi salah satu
sebab beberapa pengukuran tegangan insitu oleh Hoek & Brown (1978)
menunjukkan tegangan horisontal yang pada umumnya lebih besar daripada
tegangan vertikalnya. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa pengaruh topografi
permukaan akan semakin kecil jika jarak dari permukaan semakin besar.

1
Gambar 1. Pengaruh Topografi Terhadap Distribusi Tegangan (Brady & Brown,
1985)
b. Erosi
Erosi pada permukaan tanah baik oleh air, angin, maupun es akan mengurangi
kedalaman batuan pada suatu titik di bawah tanah, sehingga tegangan vertikalnya
menjadi lebih kecil. Proses ini akan membawa pada suatu kondisi tegangan dengan
nisbah tegangan horisontal dan vertical yang tinggi, khususnya di tempat-tempat
yang dangkal.
Analisis dari permasalahan ini juga menunjukkan bahwa rasio tegangan
horisontal dan vertikal akan semakin kecil jika kedalaman meningkat, mendekati
nilai sebelum proses erosi terjadi di mana kedalamannya lebih besar daripada
kedalaman lapisan tanah penutup yang tererosi.
c. Tegangan Sisa
Tegangan sisa adalah tegangan yang masih tersisa, walaupun penyebab
tegangan tersebut sudah hilang yg berupa panas atau pembengkakan di kulit bumi.
Tegangan yang masih ada di dalam batuan meskipun penyebab tegangan tersebut
sudah tidak ada. Sebagai contoh (gambar 2), pada ilustrasi pertama berikut (a)
menggambarkan kondisi tegangan pada saat bidang lemah belum bergerak.
Sedangkan ilustrasi yang kedua (b) menyatakan kondisi tegangan sisa setelah
terjadi proses pergerakan bidang lemah tersebut. Tegangan yang masih ada di
dalam batuan walaupun penyebabnya sudah tidak ada lagi. Fenomena ini
disebabkan oleh beberapa hal. Love (1944) menyatakan bahwa proses pendinginan
yang tidak merata dalam suatu material dapat meyisakan tegangan dalam material

2
tesebut. Timoshenko dan Goodier (1970) mengungkapkan bahwa pada umumnya
tegangan sisa dapat ditimbulkan karena proses fisika dan kimia yang terjadi secara
tidak merata dalam material. Sebagai contoh, pendinginan yang tidak merata dalam
massa batuan dengan litologi yang berdekatan dan mempunyai koefisien ekspansi
termal yang berbeda akan menyebabkan tegangan yang terkunci (locked-in stress).
Selain pendinginan, perubahan mineralogi lokal dalam batuan seperti rekristalisasi
lokal, perubahan kandungan air dalam agregasi mineral karena absorpsi atau proses.
Masalah tegangan sisa masih menjadi hambatan dalam memperkirakan kondisi
tegangan yang bekerja dalam massa batuan juga dalam penyelidikan geologi detail
ataupun mekanismenya.

Gambar 2. Ilustrasi terjadinya tegangan sisa dan hubungan nisbah tegangan


terhadap sesar (Herget, 1988)

d. Inklusi
Inklusi dalam massa batuan adalah bagian yang secara litologi membuat umur
batuan lebih muda dari formasi batuan induknya. Biasanya inklusi merupakan
intrusi seperti dykes dan sill, serta veins seperti mineral kuarsa dan fluor.
Keberadaan inklusi secara vertikal mempengaruhi kondisi tegangan dengan dua
cara. Pertama, jika inklusi berada di bawah kondisi tekanan yang berlawanan
dengan kondisi horisontal batuan di sekitarnya, maka komponen tegangan yang
tinggi akan terjadi tegak lurus bidang inklusinya. Kemungkinan kedua dihubungkan

3
dengan perbedaan nilai modulus deformasi inklusi dan batuan di sekitarnya yang
dapat diakibatkan oleh adanya aktivitas pembebanan. Sebagai contoh adanya
perubahan tegangan efektif dalam batuan induk atau adanya perpindahan karena
aktivitas tektonik dapat menyebabkan perubahan tegangan dalam inklusi menjadi
relatif lebih rendah atau lebih tinggi dibandingkan batuan induknya. Inklusi yang
relatif kaku (stiff) akan menyebabkan tegangan dalam inklusi menjadi lebih tinggi,
begitu pula sebaliknya. Perbedaan modulus deformasi antara inklusi dan batuan
induk akan membuat gradien tegangan dalam batuan induk di sekitar inklusi
menjadi tinggi. Sebaliknya, jika modulus deformasi inklusi relatif rendah, maka
gradien tegangan dalam batuan induk di sekitar inklusi menjadi lebih kecil sehingga
kondisi tegangannya relatif homogen (Savin, 1961).
e. Aktifitas Tektonik
Tegangan insitu mungkin juga berasal dari aktivitas tektonik yang berkerja
pada skala regional dan bisa dihubungkan dengan kondisi struktur geologi daerah
tersebut seperti sesar dan lipatan. Elemen batuan bereaksi secara viskoplastik
terhadap tegangan yang bekerja. Semakin kuat aktivitas tektonik cenderung
menyebabkan komponen tegangan subhorisontal lebih besar daripada tegangan
vertikal dan tegangan horisontal lainnya. Hal ini mungkin karena aktivitasnya
terjadi jauh di bawah permukaan.

2. Pengaruh Diskontinuitas Terhadap Distribusi Tegangan


Keberadaan bidang diskontinyu di dalam massa batuan akan mengganggu
kesetimbangan tegangan dan dapat menyebabkan tegangan tersebut terdistribusi
kembali untuk mencari kesetimbangan barunya. Adanya bidang diskontinyu
vertikal seperti ridge dapat diasosiasikan dengan rendahnya tegangan horisontal
yang bekerja di daerah tersebut. Price (1966) menyatakan bahwa satu kelompok
bidang diskontinyu dalam massa batuan yang mempunyai orientasi, formasi dan
perilaku yang sesuai dengan compressive failure erat kaitannya dengan sifat-sifat
tegangan yang dapat menyebabkan perkembangan bidang diskontinyu. Kondisi
tegangan yang heterogen merupakan akibat alami dari adanya proses perlipatan,
pergeseran atau lucuran yang terjadi pada bidang-bidang perlapisan batuan.

4
Bab 2. Metode Pengukuran Tegangan Insitu
Pengukuran tegangan (stress) insitu bertujuan untuk mengetahui keadaan
tegangan di dalam massa batuan dan dapat menentukan antara lain
parameter‑parameter penting untuk mengetahui perilaku (behavior) massa batuan
di tempat asainya. Pengukuran ini mencakup kepentingan di berbagai bidang.
Dalam bidang pertarnbangan, dengan diketahuinya keadaan tegangan yang ada di
dalarn massa batuan dapat ditentukan ukuran lubang bukaan dan kestabilan di
dalam tambang. klasifikasi batubara in‑situ memerlukan diketahuinya secara tepat
besar dan penyebaran tegangan di dalam massa batuan.
Bagi para geologiwan, pencarian gaya‑gaya tektonik dan akibat‑akibat yang
ditimbulkannya tidak akan lengkap tanpa, diketahuinya penyebaran teganga di
dalam struktur yang sedang, dalam bidang teknik sipil, penentuan lokasi pembuatan
sebuah terowongan ataupun sebuah bendungan berdasarkan pada arah tegangan
utama (principal stress) regional.
Teori hanya dapat memberikan perkiman besaran intensitas dari tegangan
yang ada, sedangkan hanya pengukuran tegangan in‑situ yang dapat memberikan
keterangan mengenai orientasi dan besarnya tegangan pada massa batuan di bawah
tanah.
Dari berbagai literatur, terdapat, beberapa cara untuk mengklasifikasikan
metode‑metode pengukuran tegangan in‑situ. Seperti metode pengukuran langsung
(direct) dan pengukuran tidak langsung (indirect). Juga metode pengukuran absolut
dan penglikuran relatif. Tetapi kelihatannya yang terbaik adalah klasifikasi
berdasarkan tipe dari pengukuran yang dilakukan. Dalam bab ini hanya akan
dijelaskan metode pengukuran tidak langsung (uji laboratorium).
Metode pengukuran tegangan insitu tidak langsung antara lain.
• Acoustic Emission (AE)
• Borehole Breakout
• Deformation Rate Analysis (DRA)
• Differential Strain Curve Analysis (DSCA)
• Anelastic Strain Relaxation (ASR)

5
1. Acoustic Emission (AE)
Emisi akustik adalah gelombang elastis frekuensi tinggi yang muncul karena
adanya pelepasan energi yang cepat dari satu atau lebih sumber pada saat material
mengalami proses pembebanan. Metode Emisi Akustik menggunakan fenomena
Efek Kaiser untuk menentukan tegangan yang pernah dialami batuan. Efek Kaiser
adalah emisi akustik yang terdeteksi pada saat pembebanan mendekati atau
melampaui tingkat tegangan yang pernah dialami contoh batuan. Tegangan yang
ditentukan dari uji emisi akustik adalah tegangan searah lubang bor.

a. Prinsip Uji Emisi Akustik


Secara Umum Emisi terkait dengan energi gelombang elastik yang timbul
karena pembentukan, pergerakan, dan multiplikasi rekahan, proses friksi selama
pembukaan dan pembukaan rekahan, transformasi fasa, pagasi rekahan mikro,
bahan deformasi, tumbukan, dan pemadatan. pro Gelombang elastik yang
dikeluarkan sebagai aktivitas emisi akustik. Gelombang yang dihasilkan oleh
perubahan-transisi tersebut akan saling bersuperposisi sehingga dapat diubah.
Contoh tangki diberi beban uniaksial dengan siklik. Gelombang akustik yang
dihasilkan pada pengujian akan dideteksi dan ditangkap oleh transduser
piezoelektrik yang ditempelkan pada contoh batuan. Transduser ini berfungsi
sebagai pengubah sinyal mekanik menjadi sinyal listrik. Selanjutnya oleh pre-
amplifier, sinyal ini diperbaiki kemudian diolah dengan instrumen emisi akustik
dan selanjutnya dibaca oleh program computer.

Gambar 3. Prinsip Uji Emisi Akustik

6
Gambar 4. Uji Emisi Akustik
b. Prinsip dasar perhitungan tegangan dalam metode emisi akustik
Sistem koordinat yang digunakan sebagai dasar perhitungan salah sistem
koordinat ONEV (Origin, North, East, Vertikal), dengan Zi adalah Arah lubang bor
(Lihat Gambar 5). Dari Gambar 5 dapat dilihat dalam pengujian emisi akustik,
contoh mutiara akan ditekan searah sumbu lubang bor Zi yang memiliki kemiringan
𝛼 dan azimuth 𝛽. Tekanan yang diperoleh pada pengujian merupakan tegangan
searah lubang bor (𝛼zi). Nilsi szi ini adalah tegangan pada saat efek Kaiser muncul.
Dengan demikian, tegangan ini merupakan hasil transformasi dari komponen
tegangan dalam sumbu ONEV.
Peralatan dalam pengujian emsisi akustik ini terdiri dari peranti uji akustik
(peranti lunak dan peranti keras MISTRAS 2001), personal computer, papan
AEDSP-32/16 yang memiliki 2 kanal per papan, sensor akustik yang dikenal
dengan nama transduser piezoelektrik yang terhubung dengan core, pre -pemancar
emisi akustik, mesin kuat tekan uniaksial, load cell 300 kN dan pre-amplifier load
cell.

Gambar 5. Posisi contoh batuan uji emisi akustik dalam system koordinat ONEV
(modivikasi Mizuta, dkk. 1987)

7
Adapun tahapan pengujian emisi akustik dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Tahapan dari pengambilan conto dengan coring hingga pengujian AE


Hasil uji AE yang dilkaukan untuk batuan dapat dilihat pada tabel 1. Tabel
tersebut merupakan hasil pengujian AE untuk batuan yang berasal dari tambang
emas bawah tanh Pongkor, Jawa Barat, Indonesia.
Tabel 1. Contoh hasil pengujian AE
CIURUG PAMOYANAN
Lubang
Arah Py = KE Arah Py = KE
Bor
Lubang Bor (MPa) Lubang Bor (MPa)
N 310 E/15 20.01 N160 E/-1 19.97
1
N310 E/0 19.21 N160 E/10 21.24
N270 E/15 13.02 N247 E/-4 19.88
2
N270 E/0 17.78 N247 E/10 21.93
N235 E/15 15.77 N243 E/-5 21.04
3
N235 E/0 14.84 N243 E/10 23.75
Vertical -90 11.60 -90 20.60

8
Dari hasil pengujian emisi akustik juga akan memperoleh tegangan. Tabel di
bawah ini merupakan contoh hasil dari uji emisi akustik yang telah dilakukan dari
pengujian vein emas di tambang Ciurug dan Pamoyanan Pongkor, Jawa Barat,
Indonesia.
Tabel 2. Perhitungan TeganganS
Tegangan (MPa)
Lokasi
σNN σEE σVV τNE τEV τVN
Clurug 21.17 16.15 11.63 -2.00 2.14 0.57
Pamoyanan 16.83 26.44 19.87 -3.25 5.20 -1.97

2. Borehole Breakout
Pemecahan pada dinding lubang bor atau lubang sumur karena konsentrasi
tegangan menghasilkan interval memanjang dengan penampang non-lingkaran
yang sumbu panjangnya berbagi arah rata-rata yang sama. Interval seperti itu
didefinisikan sebagai zona breakout atau breakout ketika diameter lubang bor yang
lebih pendek sesuai dengan, atau dekat dengan, diameter mata bor. Orientasi
tekanan insitu horizontal besar dan kecil di sekitar lubang bor vertikal dapat
disimpulkan dari orientasi breakout karena biasanya diasumsikan bahwa breakout
terjadi di dua zona yang berlawanan secara diametral di sepanjang arah minimum
tegangan insitu horisontal (Gbr.7).

Gambar 7. Breakout lubang bor di dinding lubang bor vertikal yang mengalami
tegangan in situ besar dan horizontal masing-masing SH dan Sh. Tegangan
tangensial maksimum pada A dan tegangan tangensial minimum pada B.

9
a. Teknik, Peralatan dan Prosedur
Orientasi perpanjangan lubang bor dapat diukur dengan menggunakan
metode optik (kamera lubang bor), mekanik (tiga dan empat lengan dipmeters),
akustik (televiewer) atau resistivitas listrik (pembentukan microscanner atau FMS).
Kamera lubang bor dan log kaliper dipmeter tiga lengan diketahui memberikan data
yang paling tidak dapat diandalkan untuk analisis breakout, karena selalu ada
masalah untuk memusatkan kamera lubang bor dan untuk mengukur kedalaman
spalling di dinding lubang bor. Pengukuran caliper tiga lengan dapat memberikan
data yang andal jika bentuk lubang bor tidak terlalu tidak teratur tetapi kontak pad
yang buruk dapat terjadi pada lubang non-silinder (Cox, 1970). Dipmeters empat
lengan mengukur diameter lubang bor dalam dua arah ortogonal antara dua set
lengan yang berlawanan. Teknik ini kuat, dapat digunakan pada kedalaman yang
mendalam, dan prosedur evaluasi telah ditetapkan dengan baik. Log caliper pada
awalnya dikembangkan sebagai alat untuk memperkirakan grouting dan casing
semen dalam industri perminyakan. Oleh karena itu, ada sejumlah besar data caliper
dari ladang minyak dan gas. Kelemahan utama dari log caliper adalah mereka tidak
memberikan informasi tentang bentuk detail dari breakout. Di sisi lain, metode
microresistivity akustik dan resolusi tinggi yang ada, dan khususnya FMS modern,
memberikan data yang sangat baik untuk analisis pelarian. Peralatan dari uji
breakout terdiri dari dipmeter empat lengan, televiewer dan FMS.

Gambar 8. Dipmeter empat lengan untuk analisis breakout lubang bor.

10
Gambar 9. Bagian log televiewer lubang bor dari sumur Auburn yang
menunjukkan zona perpanjangan lubang bor atau breakout (bercak gelap)
b. Analisis dan Interpretasi Data
Sebagian besar lubang bor yang dibor untuk tujuan eksplorasi hidrokarbon
dicatat menggunakan dip meter. Dengan demikian jumlah lubang bor yang tersedia
untuk analisis breakout di berbagai lingkungan litologis berpotensi besar untuk
sebagian besar dunia. Dalam praktiknya, kecenderungannya sekarang lebih sering
menggunakan instrumen televiewer dan FMSS, karena mereka memberikan
informasi yang lebih terperinci tentang besarnya dan orientasi pelarian lubang bor.
Data breakout sangat penting untuk evaluasi pola tegangan di bagian atas
kerak bumi karena umumnya sampel interval kedalaman antara mekanisme fokus
gempa dan pengukuran tegangan in situ dari overcoring, dan metode lainnya.
Mereka juga menyediakan banyak pengamatan orientasi tegangan pada rentang
kedalaman yang cukup. Sejumlah besar pengamatan memungkinkan penentuan
statistik dari orientasi tegangan (orientasi rata-rata, deviasi sudut atau standar)
seperti yang ditunjukkan dalam Proyek Peta Stres Dunia (Zoback et al., 1989;
Zoback, 1992). Lima kualitas yang dilambangkan A-E digunakan dalam
pemeringkatan data dalam Proyek Peta Tegangan Dunia. Untuk breakout, peringkat
sangat tergantung pada jumlah dan panjang gabungan breakout yang diamati dalam
satu sumur (atau di dekat sumur), dan pada rata-rata dan standar deviasi dari
orientasi breakout.

11
3. Differential Strain Curve Analysis (DSCA)
a. Teknik, Peralatan dan Prosedur
Prosedur eksperimental standar untuk metode DSCA dijelaskan oleh Ren dan
Roegiers (1983) dan Thiercelin dkk. (1986) terdiri dari langkah-langkah berikut.
1) Sampel kubik dipotong dari pusat inti bor yang berorientasi untuk
menghindari zona kerusakan inti yang terkait dengan pengeboran.
2) Setelah membersihkan sampel dan mengeringkannya selama 24 jam, kubus
diisi dengan strain gages. Strickland dan Ren (1980) dan Ren dan Roegiers
(1983) menggunakan 12 regangan pengukur, empat di masing-masing dari
tiga wajah ortogonal kubus. Seluruh rakitan kemudian dimasukkan ke dalam
jaket silikon yang fleksibel untuk mencegah cairan memasuki batu selama
pemuatan hidrostatik berikutnya.
3) Rakitan ditempatkan dalam bejana tekan dan tekanan hidrostatik (hingga 200
MPa) diterapkan pada laju tinggi yang konstan untuk menghindari perubahan
batuan dan perubahan suhu selama kompresi. Untuk menghindari kesalahan
eksperimental karena efek sekunder dari tekanan dan suhu pada instrumentasi
yang digunakan, sampel kecil silika leburan (disiapkan mirip dengan sampel
batuan) dimasukkan ke dalam kapal sebagai referensi mengikuti prosedur
analisis regangan diferensial Simmons, Siegfried dan Feves (1974) dan
Siegfried and Simmons (1978).
4) Sinyal keluaran dari pengukuran regangan dan tekanan terus direkam oleh
sistem akuisisi data selama pemuatan dan pembongkaran berikutnya.
5) Regangan dibandingkan dengan catatan tekanan yang diterapkan dianalisis
setelah koreksi untuk strain yang diukur dalam sampel silika leburan
(Siegfried dan Simmons, 1978). Kemudian komponen tensor regangan retak
yang terkait dengan penutupan celah mikro, rasio besarnya tegangan utama
dan orientasi tegangan utama ditentukan.

12
b. Analisis dan Interpretasi Data
Hasil DSCA dari satu sampel khas dari situs Eksperimen Multiwell di
Piceance Basin of Colorado diuji oleh Thiercelin et al. (1986) disajikan di bawah
ini sebagai contoh ilustrasi. Sampel (kubus 3 cm) dipotong dari inti berorientasi
batu pasir besar yang berasal dari kedalaman sekitar 1980 m. Sampel
diinstrumentasi dengan sembilan pengukur regangan. Regangan utama khas versus
kurva tekanan hidrostatik ditunjukkan pada Gambar 10. Kurva menunjukkan
perilaku yang agak linier untuk tekanan yang lebih besar dari sekitar 50 MPa.

Mengikuti analisis DSCA yang dirangkum di atas, arah tegangan in-situ


utama ditentukan dari arah utama regangan karena penutupan celah mikro. Gambar
11 menunjukkan arah tersebut pada stereonet (proyeksi area yang sama dengan
belahan bumi rendah) untuk kombinasi berbeda dari data regangan dan untuk
tekanan berkisar antara 28 dan 35 MPa. Dapat dilihat bahwa tekanan in situ yang
diprediksi oleh metode DSCA pada dasarnya horisontal dan vertikal. Thiercelin
dkk. (1986) juga mencatat bahwa orientasi tegangan utama horisontal utama σ2
pada Gambar 11 pada dasarnya sejajar dengan azimuth hydrofractures yang
disebabkan oleh rekah hidrolik dalam formasi batuan yang sama. Untuk sampel
yang dipertimbangkan di sini, rasio tegangan in-situ utama ditemukan sama dengan
σ1 / σ3 = 1,65 dan σ2 / σ3 = 1,37 untuk tekanan hidrostatik terapan yang lebih besar
dari 15 MPa.

Gambar 10. Strain utama DSCA dibandingkan dengan kurva respons tekanan
untuk sampel batu pasir Mesaverde. (Menurut Thiercelin dkk., 1986.)

13
Gambar 11. Arah tegangan in situ utama ditentukan dari arah utama tensor
regangan retak untuk sampel batu pasir Mesaverde yang diuji pada tekanan
hidrostatik berkisar antara 28 dan 35 MPa. (Menurut Thiercelin dkk., 1986.)

Referensi

Amedei, Bernard dan Ove Stephansson. 1997. “Rock Sress and Its Measurement”.
Springer Science + Business Media Dordrecht.
Bertrand, L. dan E. Duran. 1983. “In-situ Stress Measurements: Comparison of
Different Methods”, Symposium International In-Situ Testing, Volume 2,
Paris.
Brady, B.H.G dan E.T. Brown. 1985. “Rock Mechanics for Underground Mining”.
London: George Allen dan Unwin, 527p.
Brown, E.T. dan Hoek, E. 1978. “Trends in Relationships Between Measured In-
situ Stresses and Depth”. Int. J. Rock Mech. Min. Sci. Geomech. Abstr., v.
15, p. 211-215.
Rai, Made Astawa. (1988). “Mekanika Batuan”. Laboratorium Geoteknik Pusat
Antar Universitas Ilmu Rekayasa Institut Teknologi Bandung. Bandung.

14

Anda mungkin juga menyukai