Anda di halaman 1dari 22

KEPERAWATAN KOMPLEMENTER

PEMBERIAN TERAPI BEKAM KERING DALAM


MENGURANGI NYERI PADA PASIEN LANSIA DENGAN
RHEUMATIK

OLEH :

KELOMPOK 2

I Dewa Ayu Agung Yuli Umardewi ( 183222909 )

I Gusti Ayu Murtini ( 183222910 )

I Gusti Ayu Selvia Yasmini ( 183222911 )

I Gusti Ayu Yustiana ( 183222912 )

I Kadek Apriana ( 183222913 )

I Made Dwi Satwika Wiraputra ( 183222914 )

STIKES WIRA MEDIKA BALI

2018/2019

i
KATA PENGANTAR

“Om Swastyastu”

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga kami mampu
menyelesaikan tugas keperawatan komplementer ini dengan judul “Konsep Terapi
Bekam Kering dalam Mengurangi Nyeri Pada Pasien Lansia Dengan Rheumatik”.
Adapun pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah
keperawatan komplementer.

Dalam menyelesaikan penulisan makalah ini, kami mendapat banyak bantuan dari
berbagai pihak dan sumber. Oleh karena itu kami sangat menghargai bantuan dari
semua pihak yang telah memberi kami bantuan dukungan juga semangat, buku dan
sumber lainnya sehingga tugas ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu melalui media
ini kelompok menyampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu pembuatan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan karena keterbatasan kemampuan dan ilmu pengetahuan yang
kelompok miliki. Oleh karena itu kelompok mengharapkan kritik dan saran yang
membangun guna untuk menyempurnakan makalah ini.

“Om Santih, Santih, Santih Om”

Denpasar, 23 November 2018

Kelompok

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 5
1.3 Tujuan ........................................................................................................ 5
1.4 Manfaat ...................................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN TEORI

2.1. Lanjut usia ................................................................................................. 6

2.2. Penyakit rematik ....................................................................................... 8

2.3. Rematik pada lansia ................................................................................... 9

2.4 Nyeri rematik ............................................................................................. 9

2.5 Terapi bekam kering ................................................................................. 10

2.6 Etika dan legal penerapan terapi bekam.................................................... 14

BAB III PENUTUP

3.1 Simpulan ................................................................................................... 17

3.2 Saran .......................................................................................................... 17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keberhasilan pembangunan adalah cita-cita suatu bangsa yang terlihat
dari peningkatan taraf hidup dan Umur Harapan Hidup (UHH) /Angka
Harapan Hidup (AHH). Salah satu outcome atau dampak dari keberhasilan
pembangunan nasional dibidang kesehatan dan kesejahteraan sosial yang telah
dirasakan antara lain adalah meningkatnya angka rata-rata Usia Harapan
Hidup (UHH) penduduk.
Peningkatan rata-rata UHH tersebut mencerminkan bertambah
panjangnya masa hidup penduduk lanjut usia (BPS, 2004). Berdasarkan
laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (WHO) 2011, pada tahun 2000-2005
UHH adalah 66,4 tahun (dengan persentase populasi lansia tahun 2000 adalah
7,74%), angka ini akan meningkat pada tahun 2045-2050 yang diperkirakan
UHH menjadi 77,6 tahun (dengan persentase populasi lansia tahun 2045
adalah 28,68%). Begitu pula dengan laporan Badan Pusat Statistik (BPS)
terjadi peningkatan UHH.
Saat ini di seluruh dunia, jumlah orang lanjut usia diperkirakan lebih
dari 629 Juta jiwa orang dengan usia rata-rata 60 tahun dan diperkirakan pada
tahun 2025 angka akan mencapai 1,2 milyar orang (Nugroho, 2008). Rata-rata
usia harapan hidup tertinggi adalah di Jepang yaitu 80,93 tahun (pria 77,63
tahun dan wanita 84,41 tahun), Amerika Serikat 77,14 tahun (pria 74,37 tahun
dan wanita 80,05 tahun), sedangkan penduduk lansia di Indonesia pada tahun
2020 diperkirakan mencapai 11,34% atau tercatat 28,8 juta orang dari
populasi (Depkes RI, 2007). Berikut persentase penduduk lanjut usia :

1
Gambar 1.1: Persentase Penduduk Lansia di Dunia, Asia dan Indonesia Tahun 1950 - 2050

Sumber : UN, World Population Prospects: The 2010 Revision


Abad 21 bagi bangsa Indonesia merupakan abad lanjut usia (Era of
Population Ageing), karena pertumbuhan penduduk lanjut usia Indonesia
diperkirakan lebih cepat dibandingkan dengan negara-negara lain. Pada tahun
2000 UHH di Indonesia adalah 64,5 tahun (dengan persentase populasi lansia
adalah 7,18%). Angka ini meningkat menjadi 69,43 tahun pada tahun 2010
(dengan persentase populasi lansia adalah 7,56%) dan pada tahun 2011
menjadi 69,65 tahun (dengan persentase populasi lansia adalah 7,58%), (BPS,
2004).
Peningkatan jumlah lansia ini terjadi baik di negara maju maupun
negara yang sedang berkembang (Bustan, 2007). Di negara maju,
pertambahan populasi atau penduduk lanjut usia telah diantisipasi sejak awal
abad ke-20, tidak heran bila masyarakat di negara maju mudah siap
menghadapi pertambahan populasi lanjut usia dengan aneka tantangannya
yang sama, fenomena ini jelas mendatangkan jumlah konsekuensi, antara lain
timbulnya masalah fisik, mental, serta kebutuhan pelayanan kesehatan dan
keperawatan, terutama kelainan degeneratif (Nugroho, 2008).
Perubahan tubuh terjadi sejak awal kehidupan hingga usia lanjut pada
semua organ dan jaringan tubuh. Keadaan itu tampak pula pada semua sistem
muskuloskletal dan jaringan lain yang ada kaitannya dengan kemungkinan
timbulnya beberapa golongan rematik (Darmojo, 2006). Dilihat dari data
Departemen Pendidikan dan Kesejahteraan Amerika melaporkan bahwa
terdapat sekitar 35 juta pasien rematik (Purwoastuti, 2009).
Dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN), dengan meningkatnya Usia Harapan Hidup (UHH) maka populasi
penduduk lansia mengalami peningkatan bermakna (Depkes RI, 2007).
Peningkatan proporsi jumlah lansia tersebut perlu mendapatkan perhatian
karena kelompok lansia merupakan kelompok beresiko tinggi yang
mengalami berbagai masalah kesehatan khususnya penyakit degeratif (Depkes
RI, 2007).

2
Penduduk lansia pada umumnya banyak mengalami penurunan akibat
proses alamiah yaitu proses menua (Aging) dengan adanya penurunan kondisi
fisik, psikologis, maupun social yang saling beriteraksi (Nugroho, 2000).
Permasalahan yang berkembang memiliki keterkaitan dengan perubahan
kondisi fisik yang menyertai lansia. Perubahan kondisi fisik pada lansia
diantaranya adalah menurunnya kemampuan muskuloskeletal kearah yang
lebih buruk. Penurunan fungsi muskuloskeletal menyebabkan terjadinya
perubahan secara degeneratif yang dirasakan dengan keluhan nyeri, kekakuan,
hilanganya gerakan dan tanda-tanda inflamasi seperti nyeri tekan, disertai pula
dengan pembengkakan yang mengakibatkan terjadinya gangguan imobilitas
(Christensen, 2006).
Dari hasil studi tentang kondisi social ekonomi dan kesehatan lansia
yang dilaksanakan Komnas Lansia tahun 2006, diketahui bahwa penyakit
terbanyak yang diderita lansia adalah penyakit sendi (52,3%), penyakit sendi
ini merupakan penyebab utama disabilitas pada lansia (Pusat Komunikasi
Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan, 2008). Diperkirakan pada
tahun 2025 lebih dari 35 % akan mengalami kelumpuhan akibat kerusakan
tulang dan sendi (Handono&Isbagyo, 2005).
Menurut Arthritis Foundotion 2006, jumlah penderita arthritis atau
gangguan sendi kronis lain di Amerika Serikat terus meningkat. Pada tahum 1
990 terdapat 3 8 juta penderita dari sebelumnya 35 juta pada tahun 1985, data
tahun 1998 memperlihatkan hampir 43 juta atau I dmi 6 orang di Amerika
menderita gangguan sendi, dan pada tahun 2005 jumlah penderita arthritis
sudah mencapai 66 juta atau hampir 1 dari 3 orang menderita gangguan sendi.
Sebanyak 42,7 juta di antaranya telah terdiagnosis sebagai arhritis dan 23,2
juta sisanya adalah penderita dengan keluhan nyeri sendi kronis.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Centers for Disease
Control and Prevention (2007), 38% (17 juta) penderita penyakit rematik di
Amerika Serikat mengeluhkan keterbatasan fungsi fisik akibat dari pada
penyakitnya. Sementara, berdasarkan hasil penelitian terakhir dari Qing, Y.Z.,

3
(2008) prevalensi nyeri rematik di beberapa negara asean adalah, 26.3%
Bangladesh, 18.2% India, 23.6-31.3% Indonesia, 16.3% Filipina, dan 14.9%
Vietnam. Dari data yang didapati ini, bisa dikatakan bahwa, negara Indonesia
mempunyai prevalensi nyeri rematik yang cukup tinggi dimana keadaan
seperti ini dapat menurunkan produktivitas negara akibat daripada
keterbatasan fungsi fisik penderita yang mengefek kualitas hidupnya (Eustice,
2007).
Menurut hasil penelitian terakhir Zeng et.al. 2008 di Indonesia
prevalensi nyeri rematik mencapai 23,6% hingga 31,3%. Seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk dunia maka jumlah penderita penyakit
rematik secara otomatis akan meningkat pula. Namun dengan pengetahuan
masyarakat saat ini yang masih kurang mengenai rematik dikhawatirkan
akibat dari penyakit, yaitu kecacatanpun akan meningkat (Torich,2011).
Di ketahui bahwa lansia yang mengalami nyeri rematik tidak
mendapatkan pengobatan khusus dan cenderung membiarkan nyeri yang
diderita. Keterbatasan kemampuan fisik dan kurangnya pengetahuan
menyebabkan lansia cenderung membiarkan rasa nyeri yang dialami.
Disamping itu lansia yang mengalami nyeri rematik lebih bertegantungan
dengan pengobatan farmakologis yakni obat-obatan untuk menghilangkan
rasa nyerinya, dan kebanyakan mereka melupakan bahkan ada yang tidak
mengetahui akan adanya pengobatan non farmakologis untuk mengatasi nyeri
rematik yang mereka alami.
Penanganan penderita rematik difokuskan pada cara mengontrol rasa
sakit, mengurangi kerusakan sendi, dan meningkatkan atau mempertahankan
fungsi dan kualitas hidup. Menurut American Collage Rheumatology,
penanganan untuk rematik dapat meliputi terapi farmakologis (obat-obatan),
nonfarmakologis dan tindakan operasi (Purwoastuti, 2009).
Tindakan nonfarmakologis cukup banyak untuk penderita yang
menagalami nyeri rematik salah satu diantaranya adalah terapi bekam, baik itu
bekam kering maupun bekam basah. Karena bekam kering atau basah

4
dipercayai juga dapat menghilangkan berbagai macam penyakit salah satunya
ialah rematik. Akan tetapi terkhusus pada kondisi penderita yang mengalami
nyeri rematik (lansia), sebaiknya lebih mengunakan terapi bekam kering,
disamping kondisi lansia juga sudah mengalami penururnan atau kelemahan
fisik, terapi ini juga diharapkan agar lebih praktis, efektif dan efesien dalam
mengatasi masalah nyeri pada penderita rematik.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah Bagaimanakah Terapi
Bekam Kering dalam Mengurangi Nyeri Pada Pasien Lansia Dengan
Rheumatik?

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah untuk meningkatkan
pengetahuan tentang: Konsep Terapi Bekam Kering dalam Mengurangi Nyeri
Pada Pasien Lansia Dengan Rheumatik

1.4 Manfaat
Adapun manfaat dalam pembuatan makalah ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penyusunan makalah ini diharapkan dapat memberikan
manfaat kepada semua pihak, khususnya kepada mahasiswa untuk
menambah pengetahuan dan wawasan mengenai Konsep Terapi Bekam
Kering dalam Mengurangi Nyeri Pada Pasien Lansia Dengan Rheumatik
2. Manfaat Praktis
Hasil dari penyusunan makalah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
suatu pembelajaran bagi mahasiswa yang nantinya ilmu tersebut dapat
dipahami dan diaplikasikan dalam praktik keperawatan

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lanjut Usia (Lansia)


2.1.1 Pengertian
Seseorang dikatakan lansia ialah apabila berusia 60 tahun atau lebih,
karena factor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya
baik secara jasmani, rohani maupun sosial (Nugroho, 2000).
2.1.2 Batasan lanjut usia
Di bawah ini dikemukakan beberapa pendapat mengenai batasan usia.
Mengenai
kapankah orang disebut lanjut usia, sulit untuk dijawab secara
memuaskan. Menurut WHO (1993) lansia meliputi, usia pertengahan
(middle age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun, lansia (elderly)
antara 60 dan 74 tahun, lansia tua (old) antara 75 dan 90, dan usia sangat
tua (very old) di atas 90 tahun. Sedangkan menurut UU No.13 Tahun 1998
tentang kesejahteraan lansia pada BAB I pasal 1 ayat 2 yang berbunyi
“Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun
ke atas”. Menurut Departemen Kesehatan dijelaskan bahwa kelompok
menjelang usia lanjut (45-54 th) sebagai masa vibrilitas meliputi masa
Senium (usia kurang dari 65 tahun), dan masa Presenium (usia 55-64
tahun).
2.1.3 Perubahan yang terjadi pada lansia
Menurut Nugroho (2000), perubahan-perubahan yang terjadi pada
lansia diantaranya adalah :
a. Perubahan fisik seperti perubahan sel, sistem pernafasan, sistem
pendengaran, system penglihatan, sistem kardiovaskuler, sistem

6
respirasi, sistem pencernaan, system endokrin, sistem integument, dan
muskuloskeletal.
b. Perubahan mental dipengaruhi beberapa faktor berawal dari perubahan
fisik, kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan (hereditas), dan
lingkungan. Biasanya lansia akan menunjukkan perubahan mental
pada memori (kenangan) dimana kenangan jangka panjang lebih
dominan dibandingkan kenangan jangka pendek. Intelegensi akan
menurun dengan bertambahnya usia seseorang. Beberapa perubahan
seperti perkataan verbal, berkurangnya penampilan, persepsi dan
keterampilan serta perubahan daya imajinasi
c. Perubahan psikososial seperti pensiun maka lansia akan mengalami
berbagai kehilangan yaitu kehilangan finansial, kehilangan status,
kehilangan teman atau relasi, dan kehilangan pekerjaan , merasakan
atau sadar akan kematian (sense of awareness of mortality),
kehilangan pasangan, berpisah dari anak dan cucu, perubahan dalam
cara hidup yaitu memasuki rumah perawatan, dan penyakit kronis dan
ketidakmampuan.
Melihat proses penuaan dan perubahan yang terjadi pada lansia
maka dapat mempengaruhi pengetahuan dan memori lansia. Lansia
akan mengalami perubahan kognitif, afektif, dan psikomotor
(Christensen, 2006). Perubahan kognitif yang terjadi pada lansia dapat
dilihat dari penurunan intelektual terutama pada tugas yang
membutuhkan kecepatan dan tugas yang memerlukan memori jangka
pendek serta terjadi perubahan pada daya fikir akibat dari penurunan
sistem tubuh, perubahan emosi, dan perubahan menilai sesuatu
terhadap suatu objek tetentu merupakan penurunan fungsi afektif.
Sedangkan penurunan psikomotor dapat dilihat dari keterbatasan
lansia menganalisa informasi, mengambil keputusan, serta melakukan
suatu tindakan (Nugroho, 2000).

7
2.2. Penyakit Rematik
2.2.1 Pengertian Rematik
Menurut Endang Purwastuti (2009), Rematik adalah penyakit yang
menyerang sendi dan tulang atau jaringan penunjang sekitar sendi.
Menurut Arif Muttaqin (2008), Rematik merupakan suatu istilah tentang
sekelompok penyakit (gabungan dari 100 penyakit) dengan manifestasi
klinis berupa pembengkakkan jaringan sekitar sendi dan tendon, kelainan
terutama terjadi pada sendi, penyakit rematik dapat pula mengenai ekstra
artikular. Menurut Aqila Smart (2010), Rematik adalah penyakit kelainan
pada sendi yang menimbulkan nyeri dan kaku pada system Autoimun.
2.2.2 Faktor Penyebab Rematik
Faktor penyebab rematik yakni faktor usia, jenis kelamin, serta faktor
genetik. Semakin bertambahnya usia, semakin tinggi resiko terkena
rematik. Wanita lebih rawan terkena rematik dibandingkan pria, dengan
faktor resiko 60%. Rematik yang terjadi pada orang dalam masa usia
produktif disebabkan karena peradangan. Peradangan ini bisa karena asam
urat atau sebab-sebab lain. Hal ini disebabkan karena hasil dari
metabolisme purin yang tertimbun di persendian sehingga menyebabkan
sakit di persendian (Muttaqin, 2008).
2.2.3 Tanda dan Gejala
a. Keluhan sakit bahkan kadang disertai bengkak pada persendian,
terutama sendi penumpu berat badan seperti sendi panggul, lutut, dan
pergelangan kaki.
b. Keluhan morning stiffness atau kaku pagi hari saat bangun tidur,
disertai nyeri sendi dan bengkak yang membaik apabila sendi
diistirahatkan, dan nyeri ini berlangsung sekitar 30-60 menit.
c. Bengkak dan nyeri, umumnya terjadi dengan pola yang simetris (nyeri
pada sendi yang sama di kedua sisi tubuh) (Smart, 2010).
d. Atralgia yaitu gejala yang ditemukan pada sendi,berupa pegal
linu(Junaidi,2006)

8
2.3 Rematik Pada Lansia
2.3.1 Pengertian
Rematik sering tampak pada lansia. Karena salah satu faktor
timbulnya rematik adalah usia, semakin tinggi usia maka semakin
tinggi resiko terjadinya rematik (Darmojo, 2006).
2.3.2 Gangguan Rematik Pada Lansia
Beberapa rematik yang terjadi pada lansia adalah Osteoartritis,
Osteoporosis, Tendinitis, Bursitis, fibromyalgia, Low Back Pain,
Artropati Kristal, Gout, Arthritis Rematoid, Polimyalgia Rheumatik,
Arthritis karena keganasan (Bjelle 1994 dalam Darmojo, 2006).

2.4 Nyeri Rematik


2.4.1 Pengertian Nyeri
Nyeri adalah suatu sensasi yang disebabkan karena rusaknya
jaringan, bisa dikulit sampai jaringan yang paling dalam, Darmojo
(2006).
2.4.2 Klasifikasi Nyeri
Menurut Darmojo (2006), berdasarkan pada sifatnya nyeri dibagi
menjadi dua, yaitu:
a. Nyeri tajam merupakan perasaan yang menyengat, rangsangannya
sangat cepat dijalarkan ke pusat. Biasanya terdapat di kulit dan
tidak terus menerus.
b. Nyeri tumpul merupakan rasa sakit di kulit sampai jaringan yang
lebih dalam, terasa menyebab dan lambat di jalarkan ke pusat dan
sifatnya terus menerus.
2.4.3 Manajemen Nyeri
a. Sentuhan Terapeutik
b. Akupresur
c. Relaksasi dan Teknik Imajinasi
d. Bimbingan Antisipasi

9
e. Distraksi
f. Hipnosis
g. Stimulasi Kutaneus
Stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan untuk
menghilangkan nyeri. Massase, mandi air hangat, terapi bekam,
kompres dingin atau kompres hangat merupakan langkah-langkah
sederhana dalam upaya menurunkan persepsi nyeri.

2.5 Terapi Bekam Kering


Bekam memiliki beragam sebutan diantaranya : canduk, santhuk, kop,
atau mambakan. Di eropa, bekam disebut cupping dan fire bottle.Dalam
bahasa Arab disebut hijamah.Secara istilah, bekam didefinisikan sebagai
peristiwa penghisapan kulit, penyayatan dan pengeluaran darah dari
permukaan kulit yang kemudian ditampung didalam gelas.(Kim IN, Lee MS,
Lee DH, Boddy K, Ernst E, 2011). Bekam diyakini dapat menyembuhkan
beberapa penyakit diantaranya : penyakit darah seperti hemofili dan
hipertensi, penyakit reumatik, nyeri panggul, sakit punggung, migren, gelisah,
dan masalah mental atau masalah fisik lainnya seperti nyeri. (Ullah K, Younis
A, 2009)
Bekam juga didefinisikan sebagai terapi uno dengan menggunakan
sebuah gelas pada daerah tertentu pada kulit yang disayat ataupun tidak untuk
menghisapnya sehingga keluarlah darah pada daerah spesifik tersebut akibat
perbedaan tekanan udara di dalamnya.(Suarsyaf.P, 2012).Sedangkan dalam
perspektif kedokteran barat, bekam didefinisikan sebagai sebuah terapi
ekstraksi darah dari titik titik spesifik pada kulit yang diinsisi.
(Suarsyaf.P,2012).
Umar (2010) juga menyebutkan Bekam atau Cupping therapy
merupakan salah satu jenis manipulasi tubuh (Body Manipulation/Manual
Therapy) dari terapi komplementer yang merupakan suatu metode pengobatan
dengan menggunakan cup, alat berbentuk seperti gelas dan digunakan untuk

10
membekam yang menghisap kulit dan jaringan dibawah kulit, sehingga
menyebabkan komponen darah mengumpul di bawah kulit.
Bekam atau hijamah merupakan suatu metode pengobatan yang sudah
dikenal sejak jaman dahulu.Berawal dari kerajaan Sumeria, kemudian terus
berkembang sampai Babilonia, Mesir, Saba’ dan Persia.Selanjutnya bekam
juga digunakan oleh umat Islam, kemudian berkembang juga pada jaman Cina
kuno dan di Eropa pada kurun waktu abad ke-18 atau abad ke-13 Hijriyah
(Kasmui, 2010).Oleh sebab itu istilah bekam dapat dikatakan beragam sesuai
dengan tempat atau daerah berkembangnya bekam.Praktik bekam telah
dikenal bangsabangsa purba sejak Kerajaan Sumeria berdiri, lalu berkembang
di Babilonia, Mesir, Saba dan Persia. Cara pengobatan dengan bekam juga
sudah dipakai sejak 2000 tahun sebelum Masehi di Cina, jauh sebelum masa
Rasulullah saw (Sunardi, 2008).
Bekam merupakan metode pengobatan dengan cara mengeluarkan
darah yang terkontaminasi toksin atau oksidan dari dalam tubuh melalui
permukaan kulit ari. Dalam istilah medis dikenal dengan istilah ‘Oxidant
Release Therapy’ atau ‘Oxidant Drainage Therapy’ atau istilah yang lebih
populer adalah ‘detoksifikasi’. Definisi lainnya menyebutkan bekam adalah
mengeluarkan darah kotor atau racun dari dalam tubuh melalui permukaan
kulit dengan melakukan penyedotan dan penyayatan pada bagian tertentu
(Anonim, 2010).
Sementara Sunardi (2008) mengemukakan hijamah atau bekam
menurut bahasa berarti peristiwa penghisapan darah dan mengeluarkannya
dari permukaan kulit, yang kemudian ditampung dalam gelas khusus yang
menyebabkan penarikan dan penyedotan darah, kemudian dilakukan
penyayatan pada kulit dengan pisau atau jarum sehingga darah akan keluar.
Jadi dari berbagai pengertian tersebut dapat didefinisikan bahwa terapi
bekam adalah salah satu jenis terapi Body Manipulation/Manual Therapy
yang merupakan tindakan medis dilakukan dengan menggunakan cup atau
gelas pada titik titik tertentu yang dapat menghisap kulit dan jaringan dibawah

11
kulit. Peristiwa penghisapan kulit dalam terapi bekam dapat dilakukan dengan
melakukan penyayatan atau tusukan dengan jarum sehingga akan
mengeluarkan darah kotor atau mengeluarkan darah yang terkontaminasi
toksin atau oksidan dalam tubuh. Selain itu terapi bekam juga dapat dilakukan
dengan tanpa melakukan perlukaan atau sayatan atau penusukan dan hanya
dilakukan penghisapan.

2.5.1 Tujuan terapi bekam

Tujuan bekam pada umumnya adalah untuk mengeluarkan darah kotor


yang ada di dalam tubuh seseorang yang melakukan bekam. Tujuan bekam
tersebut dilakukan sebagai upaya untuk menyembuhkan berbagai penyakit
yang dialami oleh pasien. Seperti yang kita ketahui bahwa darah kotor berasal
dari darah yang mengandung toksin atau racun serta darah statis yang ada di
dalam tubuh seseorang. Darah kotor tersebut berasal dari makanan atau
minuman yang mengaandung zat-zat yang membahayakan kesehatan (Aiman,
2005).

Secara lebih khusus lagi, tujuan dari bekam yang dilakukan ialah
menyembuhkan berbagai penyakit, mencegah terjadinya suatu penyakit,
memulihkan serta meningkatkan sistem daya tahan tubuh, meningkatkan
kinerja dan sistem saraf-saraf yang tidak aktif atau lemah dan mengelurkan
racun yang ada di dalam darah (Aiman, 2005).

Ada beberapa manfaat luar biasa dari terapi bekam untuk mengobati penyakit
rematik yang bisa anda dapatkan, diantaranya adalah sebagai berikut:

 Meningkatkan sirkulasi darah pada persendian yang mengalami sakit


 Mengurangi peradangan sendi
 Mengurangi pembengkakan di sekitar persendian
 Meringankan rasa nyeri pada sendi
 Meningkatkan kekebalan tubuh

12
 Meminimalisir kerusakan pada tulang rawan
 Mengurangi kram otot disekitar sendi

Dengan melakukan terapi bekam basah yakni dengan mengeluarkan


darah kotor, hal itu akan membantu mengeluarkan zat prostaglandin
sehingga akan sangat membantu mengurangi rasa sakit dan nyeri pada
persendian yang terkena rematik.

2.5.2 Prosedur pelaksanaan terapi bekam

Terapi bekam dapat dibedakan menjadi terapi bekam basah dan terapi
bekam kering. Terapi bekam basah yaitu melukai bagian tubuh yang dibekam
setelah dilakukan bekam kering menggunakan jarum tajam (lancet) atau
sayatan pisau steril (surgical blade) lalu disekitarnya dihisap dengan alat
cupping set atau hand pump untuk mengeluarkan darah kotor dari dalam
tubuh. Lamanya tiap hisapan 3-5 menit dan maksimal 9 menit.Penghisapan
tidak lebih dari 7 kali penghisapan.(Kasmui, 2010).Sedangkan, terapi bekam
kering atau bekam angin, yaitu menghisap permukaan kulit dan memijat
tempat sekitarnya tanpa mengeluarkan darah kotor. Kulit yang dibekam akan
tampak merah kehitam-hitaman selama 3 hari atau akan terlihat memar
selama 1-2 pekan. Sedotan pada bekam kering hanya sekali dan dilakukan
selama 5-10 menit. (Fatahillah,2006). Prosedur bekam kering :

1. Tubuh diurut atau dilakukan massage dengan minyak zaitun selama


kurang lebih 5 menit sebelum dilakukan bekam
2. Lakukan pemvakuman pada permukaan kulit dari titik-titik yang dituju
dengan alat bekam dan biarkan selama 10-15 menit
3. Alat bekam dilepaskan dan diurut kembali dengan menggunakan minyak
zaitun selama 2-3 menit sebagai penutup terapi bekam kering.

Berikut titik bekam pada penyakit reumatik

13
2.6 ETIK DAN LEGAL PENERAPAN TERAPI BEKAM

Dasar Hukum dalam melakukan terapi bekam ini adalah Permenkes RI


no.1109/Menkes/PER/IX/2007 Tentang penyelenggaraan pengobatan
komplementer-alternatif di fasilitas pelayanan kesehatan.Pelayanan
komplementer-alternatif dapat dilaksanakan secara sinergi, terintegrasi, dan
mandiri di fasilitas pelayanan kesehatan.Pengobatan itu harus aman, bermanfaat,
bermutu, dan dikaji institusi berwenang sesuai dengan ketentuan
berlaku.Penerapan terapi komplementer ini dilakukan sebagai upaya pelayanan
yang berkesinambungan mulai dari peningkatan kesehatan (promotif),

14
pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan atau
pemulihan kesehatan (rehabilitatif).

Selain itu, terdapat Undang-Undang Keperawatan No. 38 tahun 2014


tentang Praktik Keperawatan pasal 30 ayat (2) huruf m yang berbunyi “dalam
menjalankan tugas sebagai pemberi asuhan keperawatan di bidang upaya
kesehatan masyarakat, perawat berwenang melakukan penatalaksanaan
keperawatan kompelementer dan alternatif”.Dalam penjelasannya pasal 30 ayat
(2) huruf m tersebut adalah melakukan pnatalaksanaan keperawatan
komplementer dan alternatif merupakan bagian dari penyelenggaraan praktik
keperawatan dengan memasukan/mengintegrasikan terapi komplementer dan
alternatif dalam pelaksanaan asuhan keperawatan.

Shaleh (2013) menyebutkan bahwa aspek etika keperawatan dalam


menerapkan terapi bekam adalah sebagai berikut :
1. Otonomi
Otonomi berkaitan dengan hak seseorang untuk mengatur dan membuat
keputusan sendiri, meskipun demikian masih terdapat keterbatasan , terutama
terkati dengan situasi dan kondisi, latar belakang individu, campur tangan
hukum dan tenaga kesehatan profesional yang ada. Jadi perawat harus
menghargai hak seseorang atau klien untuk memilih melakukan terapi bekam
atau tidak.
2. Beneficience
Beneficience berkaitan dengan kewajiban untuk melakukan hal yang baik
dan tidak membahayakan orang lain. Dalam melakukan terapi bekam ini
dilakukan sesuai kebutuhan klien yang dapat bermanfaat bagi meningkatkan
kesehatan klien yang melakukan bekam.
3. Non-Maleficence
Prinsip ini berkaitan dengan kewajiban perawat untuk tidak menimbulkan
kerugian atau cidera pada klien.Pada saat melakukan bekam perawat atau
tenaga kesehatan yang melakukan terapi bekam dengn profesional yang tidak

15
menimbulkan kerugian bagi klien. Saat akan melakukan terapi bekam harus
dilakukan pengkajian terlebih dahulu unuk menghindari terjadinya reaksi
yang menimbulkan cedera bagi klien.
4. Veracity (kejujuran)
Berkaitan dengan kewajiban perawat untuk mengatakan suatu kebenaran dan
tidak berbohong atau menipu orang lain. Perawat harus mengkomunikasikan
segala tindakan terapi bekam yang dilakukan.
5. Confidentiality (kerahasiaan)
Berkaitan dengan penghargaan perawat untuk merahasiakan semua informasi
tentang klien.
6. Fidelity (kesetiaan)

Berkaitan dengan kewajiban perawat untuk selalu setia pada kesepakatan dan
tanggung jawab yang telah dibuat.Perawat harus memegang janji yang
dibuatnya pada klien. Perawat terlebih dahulu melakukan kontrak waktu dan
menjelaskan prosedur apa saja yang akan dilakukan selama terapi bekam.
7. Justice (keadilan)

Prinsip keadilan berkaitan dengan kewajiban perawat untuk berlaku adil pada
semua orang dan tidak memihak atau berat sebelah.Terapi bekam dilakukan
secara profesional sesuai kebutuhan tiap klien dengan memerhatikan kondisi
tubuh dan penyakit yang dialami oleh klien.

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

Seseorang dikatakan lansia ialah apabila berusia 60 tahun atau lebih,


karena factor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya baik
secara jasmani, rohani maupun sosial (Nugroho, 2000).
Rematik merupakan suatu istilah tentang sekelompok penyakit
(gabungan dari 100 penyakit) dengan manifestasi klinis berupa
pembengkakkan jaringan sekitar sendi dan tendon, kelainan terutama terjadi
pada sendi, penyakit rematik dapat pula mengenai ekstra articular (Arif
Muttaqin, 2008).
Terapi bekam adalah salah satu jenis terapi Body
Manipulation/Manual Therapy yang merupakan tindakan medis dilakukan
dengan menggunakan cup atau gelas pada titik titik tertentu yang dapat
menghisap kulit dan jaringan dibawah kulit. Peristiwa penghisapan kulit
dalam terapi bekam dapat dilakukan dengan melakukan penyayatan atau
tusukan dengan jarum sehingga akan mengeluarkan darah kotor atau
mengeluarkan darah yang terkontaminasi toksin atau oksidan dalam tubuh.
Selain itu terapi bekam juga dapat dilakukan dengan tanpa melakukan
perlukaan atau sayatan atau penusukan dan hanya dilakukan penghisapan.

3.2 Saran
Diharapkan makalah ini dapat menambah sumber bacaan bagi
mahasiswa keperawatan khusus pada mata kuliah keperawatan
komplementer.

17
DAFTAR PUSTAKA

Aiman Al Husaini. 2005. Bekam, Mukjizat Pengobatan Nabi SAW. Jakarta: Pustaka
Azzam.

Anonim. 2006. Bekam, Sembuhkan Hipertensi, Migrain, SakitPinggang Dan Kanker


terdapat dalam. Jakarta.

Farhadi, K, Choubsaz, M, Setayeshi, K, Kameli, M, Bazargan-Hejazi, S, Zadie, Z.H,


& Ahmadi, A. ( 2015 ). The effectiveness of dry-cupping in preventing post-operative
nausea and vomiting by P6 acupoint stimulation A randomized controlled trial.
Medicine.95 : 38

Fatahillah, Ahmad. 2006. Keampuhan Bekam (Pencegahan dan Penyembuhan


Penyakit). Jakarta: Qultum Media.

Kasmui. 2010. Bekam Pengobatan Menurut Sunnah Nabi, Semarang: Komunitas


Thibbun Nabawi “ISYFI”.

Kim IN, Lee MS, Lee DH, Boddy K, Ernst E. 2011. Cupping for Treating Pain : A
Systematic Review. Evidence based Complementary Alternative Medicine.

Kusnanto.2004. Profesi dan Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta:EGC

Permenkes RI. 2007. Penyelenggaraan pengobatan komplementer-alternatif di


fasilitas pelayanan kesehatan: Jakarta

Shaleh, Malikkul. 2013. Penguasaan Terapi Komplementer Jadi Nilai Tambah


Perawat.

Sunardi. 2008. Materi pelatihan Hijamah, Jakarta: P3H Assabil.

18
Tae, H.K, Jung, W.K, Kun, H.K, Min, H.L, Jung, E.K, Joo, H.K, Seunghoon, L, Mi,
S.S, Soyoung, J, Ae, R.K, Hyo, J.P & Kwon, E.H. ( 2012 ). Cupping for Treating
Neck Pain in Video Display Terminal (VDT) Users: A Randomized Controlled Pilot
Trial. Journal of Occupational Health. J Occup Health 2012; 54: 416–426

Ullah K, Younis A, Wali M. An investigation into the effect of Cupping Therapy as a


treatment for Anterior Knee Pain and its Potential Role in Health Promotion.The
Internet journal of Alternative Medicine.

19

Anda mungkin juga menyukai