Anda di halaman 1dari 22

Adellia Ony Eka Putri 165070201111002

Clara Ayu Lestari 165070201111004


Titi Cahyanti 165070201111006
Annisa Fatia Putri 165070201111008
Debby Hamsa Putri 165070201111010

STRUKTUR KELOMPOK
Struktur kelompok menjelaskan batasan, komunikasi, proses pengambilan
keputusan dan hubungan otoritas dalam kelompok. Struktur kelompok menjaga
stabilitas dan membantu pengaturan pola perilaku dan interaksi. Struktur dalam
kelompok diatur dengan adanya pemimpin dan anggota kelompok, arah komunikasi
dipandu oleh pemimpin sedangkan keputusan diambil secara bersamaan. (Keliat &
Akemat, 2005)

1. Batasan Peran
Struktur dalam kelompok diatur dengan adanya pemimpin dan
anggota.Pemimpin perlu mengobservasi peran yang terjadi dalam kelompok.Ada
tiga peran dan fungsi kelompok yang ditampilkan anggota kelompok dalam kerja
kelompok yaitu meintence roles, task roles, dan individual roles. Meintence roles
yaitu peran serta aktif dalam proses kelompok dan fungsi kelompok yang meliputi
pendorong pemusyawarah, penyelaras, penjaga, pengikut, pembuat peraturan
dan penyelesaian masalah. Task roles, yaitu fokus pada penyelesaian tugas yang
meliputi pemimpin, penanya, fasilitator, penyimpul, evaluator dan pemberi inisiatif.
Individual roles adalah self-centered dan distraksi pada kelompok yang meliputi
korban, monopoli, seducer, diam, tukang komplain, negative dan moralis.
2. Komunikasi
Arah komunikasi dipandu oleh pemimpin, sehingga tugas pemimpin
mengobservasi dan menganalisa pola komunikasi. Elemen yang harus diamati
yaitu, komunikasi itu sendiri, setting duduk, tema yang diekspresikan, frekuensi
komunikasi, kemampuan anggota dan proses penyelesaian masalah. Dalam
proses ini, pemimpin berperan dalam memberikan umpan balik sehingga setiap
anggota menyadari adanya dinamika dan proses interaksi di dalam kelompok.
3. Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan di dalam suatu kelompok harus dilakukan secara
bersama-sama dengan melakukan musyawarah untuk mencapai mufakat.
4. Hubungan Otoritas Dalam Kelompok
Kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin berpengaruh dan bersifat
mengendalikan atas pengarahan perilaku seseorang.otoritas juga seharusnya
dapat diterima oleh anggota kelompok dengan alasan untuk mencapai
persetujuan dan diterima oleh semua anggota untuk memberikan sumbangsih
kepada tujuan terapi aktivitas kelompok stimulasi realitas.
(Setiawan, dkk., 2017)

REFERENSI

Keliat, BA. dan Akemat. 2005. Keperawatan Jiwa: Terapi Aktivitas Kelompok.
Cetakan I. Jakarta. EGC.

Setiawan, Hendi., dkk. 2017. Proposal Terapi Aktifitas Kelompok Realita Dengan
Gangguan Persepsi Halusinasi. Politeknik Kesehatan Kendari.
Risa Damayanti 13070218113024
Cynthia Putri Irawan 155070200111008
Choirunnisa Aprilia Setyo P. 155070200111014
Dika Febrianti 165070200111002
Adelia Rekha Miranda 165070201111012

LAMANYA SESI
Waktu optimal untuk satu sesi adalah 20-40 menit bagi fungsi kelompok yang
rendah dan 60-120 menit bagi fungsi kelompok yang tinggi. Biasanya dimulai dengan
pemanasan berupa orientasi, kemudian tahap kerja dan terminasi. Benyak sesi
bergantung pada tujuan kelompok, dapat satu kali atau dua kali per minggu; atau
dapat direncanakan sesuai dengan kebutuhan.
A. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Sensori
1. TAK stimulasi sensori suara, misalnya mendengar musik,
2. TAK stimulasi sensori menggambar,
3. TAK stimulasi sensori menonton TV/video

B. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Orientasi Realitas Pasien


1. Sesi I: pengenalan orang
2. Sesi II: pengenalan tempat
3. Sesi III: pengenalan waktu

C. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Sosialisasi


1. Sesi I: menyebutkan jati diri.
2. Sesi II: mengenali jati diri anggota kelompok.
3. Sesi III: bercakap-cakap dengan anggota kelompok.
4. Sesi IV : menyampaikan dan membicarakan topik percakapan
5. Sesi V: menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi dengan orang lain.
6. Sesi VI: bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok.
7. Sesi VII : menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan TAK sosialisasi
yang telah dilakukan.
D. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi
1. Sesi I : menonton TV
2. Sesi II : membaca majalah/koran/artikel
3. Sesi III : gambar
4. Sesi IV:
a. Mengenal perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
b. Mencegah perilaku kekerasan melalui kegiatan fisik.
c. Mencegah perilaku kekerasan melalui interaksi asertif.
d. Mencegah perilaku kekerasan melalui kepatuhan minum obat.
e. Mencegah perilaku kekerasan melalui kegiatan ibadah.

E. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi Peningkatan Harga Diri


1. Sesi I: identifikasi hal positif diri.
2. Sesi II: menghargai hal positif orang lain.
3. Sesi III: menetapkan tujuan hidup yang realistis.

F. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi Mengontrol Halusinasi


1. Sesi I: mengenal halusinasi
2. Sesi II: mengontrol halusinasi dengan menghardik
3. Sesi III: mengontrol halusinasi dengan menyusun jadwal kegiatan
4. Sesi IV: mengontrol halusinasi dengan minum obat yang benar
5. Sesi V: mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap

Daftar Pustaka
Yusuf, A., PK, R. F., & Nihayati, H. E. (2015). Keperawatan Kesehatan Jiwa. Buku
Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa, 1–366. https://doi.org/ISBN 978-xxx-xxx-xx-x
Efendi, Surya. 2012. Pengaruh Pemberian Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi
Terhadap Perubahan Perilaku Klien Isolasi Sosial.
http://ners.fkep.unand.ac.id/index.php/ners/article/view/73/68. Diakses pada 13
Maret 2019.
Rizky Karuniawati 165070201111020
Dwi Harsanto Kurniawan 165070201111022
Reny Citra Pratiwi 165070201111024
Uniyati 165070201111028

BESAR KELOMPOK
Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang
anggotanya berkisar antara 5-12 orang. Jumlah anggota kelompok kecil menurut
Stuart dan Laraia (2001, dalam Keliat dan Akemat, 2005) adalah 7-10 orang,
sedangkan menurut Rawlins, Williams, dan Beck (1993, dalam Keliat dan Akemat,
2005) adalah 5-10 orang. Jika anggota kelompok terlalu besar akibatnya tidak semua
anggota mendapat kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat, dan
pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang
terjadi. Sedangkan menurut Johnson (dalam Yosep, 2009) terapi kelompok
sebaiknya tidak lebih dari 8 anggota karena interaksi dan reaksi interpersonal yang
terbaik terjadi pada kelompok dengan jumlah sebanyak itu. Apabila keanggotaanya
lebih dari 10, maka akan terlalu banyak tekanan yang dirasakan oleh anggota
sehingga anggota merasa lebih terekspos, lebih cemas, dan seringkali bertingkah
laku irasional. Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang
anggotanya berkisar antara 5-12 orang. Jika angota kelompok terlalu besar akibatnya
tidak semua anggota mendapat kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat,
dan pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi
yang terjadi (Kelliat, 2005). Berdasarkan Maryam dkk (2008) bahwa terapi aktivitas
kelompok terdiri atas 7-10 orang bertujuan untuk meningkatkan kebersamaan,
bersosialisasi, bertukar pengalaman, dan mengubah perilaku.

Daftar Pustaka
Keliat & Akemat. (2005). Keperawatan jiwa terapi aktivitas kelompok. Jakarta: EGC
Yosep, I. (2011). Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama.
Maryam, Ekasari, Jubaedi, Batubara.(2008). Mengenal Usia Lanjut dan
Perawatannya. Jakarta: Penerbit Salemba Medika
SHIFA RESTI S 165070201111014
JULIANA SAVITRI H 165070201111016
SYARIFAH ZULIATUL A 165070201111018
STYRADIXA WIDHI T 165070207111018
RATNA DILLA F 165070207111020

KOMUNIKASI

Kata komunikasi berasal dari bahasa latin yaitu coomunicare yang artinya
berpartisipasi atau memberitahukan. Komunikasi adalah proses penyampaian
gagasan, harapan, dan pesan yang disampaikan melalui lambang tertentu,
mengandung arti dilakukan oleh penyampai pesan ditujukan kepada penerima pesan.
(Ridhyalla, 2015).
Komunikasi adalah salah satu aspek penting yang harus dimiliki oleh seorang
perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien. Komunikasi yang
dapat diterapkan oleh perawat kepada pasien merupakan komunikasi terapeutik
dengan tujuan untuk mencapai kesembuhan klien (Ridhyalla, 2015).
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar;
tujuan dan kegiatannya difokuskan untuk menyembuhkan klien. Komunikasi
terapeutik merupakan media untuk saling memberi dan menerima antar perawat
dengan klien yang berlangsung secara verbal dan nonverbal. Komunikasi terapeutik
merupakan media utama yang digunakan untuk mengaplikasikan proses
keperawatan dalam lingkungan kesehatan jiwa. Keterampilan perawat dalam
komunikasi terapeutik mempengaruhi keefektifan banyak intervensi dalam
keperawatan jiwa (Ridhyalla, 2015). Sedangkan komunikasi dalam komponen
kelompok kecil adalah umpan balik yang digunakan untuk membantu anggota
mengidentifikasi dinamika kelompok dan pola komunikasi (Stuart, 2016).
Dalam terapi aktifitas kelompok tugas utama pemimpin kelompok adalah
mengobservasi dan menganalisis pola komunikasi dalam kelompok. Melalui
pemberian umpan balik, pemimpin membantu anggota menjadi sadar akan pola
komunikasi dalam kelompok sehingga mereka menyadari pentingnya pola-pola ini
untuk kelompok dan untuk diri mereka sendiri.kelompok atau anggota dapat
bereksperimen dan mengubah pola-pola ini jika mereka inginkan. Elemen komunikasi
dalam kelompok yang dapat diamati secara verbal dan nonverbal meliputi berikut ini :
a. Pengaturan tata ruang dan tempat duduk
b. Tema umum yang di ungkapkan dalam kelompok
c. seberapa sering dan kepada siapa anggota kelompok saling berkomunikasi
d. Bagaimana anggota saling mendengarkan dalam kelompok
e. Apa proses pemecahan masalah yang terjadi dalam kelompok
f. Gerakan wajah dan tangan yang dapat menunjukkan konten emosional
(Stuart, 2016)
Perilaku ini membantu pemimpin menilai : resistensi dalam kelompok, konflik
interpersonal, peran yang diharapkan, tingkat persaingan, dan seberapa baik para
anggota memahami dan bekerja pada tugas kelompok (Stuart, 2016).

 Penerapan Strategi Komunikasi Komunikasi Terapeutik pada Keluarga dan


Kelompok
Melakukan komunikasi dalam keluarga/kelompok tidaklah mudah.
Komunikator harus mempunyai cara-cara strategis sebagai upaya agar tujuan
komunikasi tercapai. Berikut upaya meningkatkan komunikasi dalam
keluarga/kelompok.
a. Saling memahami antaranggota kelompok agar dapat diketahui komunikasi seperti
apa yang harus ia lakukan demi lancarnya komunikasi tersebut.
b. Pemimpin kelompok dapat mengatur dengan baik setiap anggota kelompok agar
proses komunikasi antaranggota kelompok dapat berkembang dengan baik.
c. Berkomunikasi yang jelas, sopan, dan sesuai etika yang berlaku agar tidak terjadi
salah paham dan saling menyinggung antara anggota kelompok.
d. Saling menghargai anggota kelompok lain.
e. Jangan menyela pembicaraan orang lain.
f. Selalu memperhatikan orang yang mengajak bicara
g. Berikan respons yang baik, mendukung, dan tidak menyinggung ketika ada yang
mengajak bicara. (Anjaswarni, 2017)
 Faktor-faktor yang Memengaruhi Komunikasi Kelompok
a. Ukuran kelompok: kelompok yang efektif mempunyai jumlah anggota yang tidak
terlalu kecil ataupun terlalu besar.
b. Tujuan kelompok: tujuan yang telah disepakati bersama akan mudah dicapai
karena semua anggota mempunyai tujuan yang sama. Satukan tujuan dalam
kelompok, minimalkan sifat individualisme yang dapat mengganggu pencapaian
tujuan bersama.
c. Kohesivitas anggota kelompok adalah penting karena menunjukkan kekuatan dan
kekompakan kelompok untuk mencapai tujuan bersama.
d. Jaringan komunikasi (networking) diperlukan untuk mendapatkan peluang dalam
mencapai tujuan bersama.
e. Kepemimpinan kelompok diperlukan pemimpin yang bisa mengayomi seluruh
anggota, tidak berpihak, dan akomodatif sehingga bisa meningkatkan kohesivitas
kelompok.(Anjaswarni, 2017)

Komunkasi terapeutik menurut Fasya & Supratman (2018) meliputi beberapa tahap,
yaitu:
1. Membangun kepercayaan
Dalam membangun komunikasi yang efektif diperlukan kepercayaan antar
perawat dan klien/pasien. Membangun hubungan saling percaya dari awal akan
memudahkan dalam berhubungan kedepannya dan klien akan semakin terbuka
untuk menceritakan masalahnya pada perawat. Hubungan saling percaya
ditandai pula dengan menghargai kerahasiaan cerita klien.
Ketika klien tidak mudah untuk diajak berdiskusi, maka untuk membangun
hubungan saling percaya adalah dengan sering berinteraksi walaupun dalam
waktu singkat. Dengan seringnya berkomunikasi, maka kepercayaan klien
terhadap perawat akan semakin besar dan menguat sehingga klien akan mudah
dalam meneceritakan segala permasalahannya. Sebaliknya klien juga akan
semakin terbuka dalam menerima pendapat, nasihat dan solusi yang diberikan
perawat terhadapnya.
Kepercayaan juga akan didapatkan perawat dengan memberikan perhatian
kepada klien. Ketika klien merasa sering diperhatikan maka ia akan merasa
bahwa dirinya ada yang memperhatikan dan tidak sendiri. Dalam membangun
kepercayaan, perawat dapat melakukan dengan memenuhi kebutuhan dasar dari
klien yang kemudian dengan sendirinya rasa trust itu akan muncul.
Membangun kepercayaan dilakukan oleh perawat sejak fase orientasi seperti
menanyakan bagaimana perasaanya hari ini, apa yang menjadi keluhannya.
Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti terlebih dahulu harus meminta izin untuk ikut
serta dalam kegiatan/diskusi yang dilakukan karena menurut klien, perawat
adalah orang asing.
2. Pemecahan masalah dengan koping konstruktif
Pemecahan permasalahan dengan koping konstruktif adalah sebuah pemecahan
masalah dengan cara yang positif dengan cara:
1) Pada fase orientasi perawat harus bisa menggali data klien terlebih dahulu
2) Identifikasi masalah klien yang muncul, menggali stressor yang membuat klien
hingga berada di rumah sakit dengan bahasa yang tidak menyinggung
perasaan dan karakteristik klien sehingga dihasilkan diagnosis yang sesuai
3) Perawat dapat mengetahui cara yang tepat untuk bisa berinteraksi dengan
klien, karena dengan diagnosis yang berbeda maka cara berkomunikasinya
juga berbeda dengan tujuan yang sama yaitu untuk kesembuhan klien
4) Fase kerja perawat bisamemberikan solusi dan saran yang baik, memotivasi
lekas sembuh, melatih kemampuan dan menggali pemahaman klien atas apa
yang sudah diajarkan oleh perawat ke klien.
3. Memahami kondisi klien
Dalam memahami kondisi klien dapat dilakukan dengan berusaha memenuhi
segala fasilitas yang dibutuhkan oleh klien. Memahami kondisi klien berarti
perawat harus bersikap:
1) Empati terhadap klien, bukan perasaan simpati yang diberikan karena simpati
bukan termasuk dlaam komunikasi terapeutik. Dengan mengetahui kondisi
klien, maka perawat akan lebih berhati-hati dalam melakukan inetraksi diskusi.
2) Rasa caring terhadap klien arus dimiliki oleh setiap perawat dalam
berkomunikasi dengan klien sehingga klien merasa diterima oleh perawat.
3) Komunikasi penuh ketulusan akan membuat klien merasa dihargai yang
kemudian dapat mempercepat kesembuhan klien sebab adanya sugesti positif
untuk sembuh dari dalam diri pasien.
4. Memberikan apresiasi
Apresiasi merupakan bentuk penghargaan yang diberikan perawat kepada klien
atas kemajuan kesehatannya. Apresiasi berupa barang dianggap kurang tepat,
dengan pemberian pujian atas klien yang sudah melakukan suatu hal yang positif
dianggap lebih berharga dan membangun kepercayaan diri klien. Apresiasi yang
diberikan harus benar tulus dari perawat sehingga klien merasa diargai dan
diperhatikan. Apresiasi sekecil pujian yang diberikan kepada klien akan
memotivasi klien untuk bisa berkembang lebih dan memandang dirinya lebih
positif.
5. Penggunaan komunikasi verbal dan non verbal
Dalam berkomunikasi perlu diperhatikan teknik-teknik berikut:
1) Mendengarkan dengan sepenuh hati
2) Menunjukkan penerimaan
3) Menanyakan pertanyaan yang berkaitan
4) Mengklarifikasi
5) Meringkas
6) Memberikan penghargaan
7) Menawarkan diri
8) Memberikan kesempatan klien untuk bertanya dan menguraikan persepsi
9) Meneruskan pembicaraan
10) Menempatkan kejadian secara brurutan
11) Humor
Dalam pelaksanaan komunikasi terapeutik diperlukan juga komunikasi verbal dan
non verbal. Pada teknik verbal yang digunakan adalah:
1) Menjelaskan dnegan ringkas dan jelas kepada klien
2) Penggunaan perbendaharaan kata yang dimengerti klien
3) Memperhatikan intonasi berbicara
4) Memperhatikan kecepatan berbicara
5) Diberikan selingan humor agar suasana ketika diskusi terasa nyaman dan
tidak terlalu tegang
Sedangkan dalam teknik non verbal yang digunakan dalam berkomunikasi
adalah:
1) Isyarat vocal (suara)
2) Isyarat tindakan (ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan sikap tubuh yaitu sikap
terbuka)
3) Isyarat objek
4) Jarak atau ruang ketika berkomunikasi dengan berhadapan
5) Ada sentuhan (kontak fisik)
6) Mempertahankan kontak mata
7) Tersenyum pada saat yang tepat

DAFTAR PUSTAKA

Anjaswarni, T. (2017). Komunikasi Dalam Keperawatan. Jakarta: Kementrian


Kesehatan RI.

Ridhyalla, A. (2015). Komunikasi Terapeutik dalam Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:


Gosyen Publishing.

Stuart, G. W. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa. Singapore:


Elsevier.

Fasya, Hannika dan Supratman, Lucy Pujasari. (2018). Komunikasi Terapeutik


Perawat Pada Pasien Gangguan Jiwa. Jurnal Penelitian Komunikasi, Vol. 21, No.
1, (15-28)
Nafisah 165070200111004
Nurmalia Filda Syafiky 165070200111006
Tyas Febry Ghea Rachmadi 165070200111008
Hirni Adiriani 165070200111022
Erlintan Yunianingsih 165070200111024

PERAN KELOMPOK

Task Roles
1. Initiator/Contributor
Contributes ideas and suggestions; proposes solutions and decisions; proposes
new ideas or states old ideas in a novel fashion.
2. Information Seeker
Asks for clarification of comments in terms of their factual adequacy; asks for
information or facts relevant to the problem; suggests information is needed
before making decisions.
3. Information Giver
Offers facts or generalizations that may relate to the group’s task.
4. Opinion Seeker
Asks for clarification of opinions made by other members of the group and asks
how people in the group feel.
5. Opinion Giver
States beliefs or opinions having to do with suggestions made; indicates what the
group’s attitude should be.
6. Elaborator/Clarifier
Elaborates ideas and other contributions; offers rationales for suggestions; tries to
deduce how an idea or suggestion would work if adopted by the group.
7. Coordinator
Clarifies the relationships among information, opinions, and ideas or suggests an
integration of the information, opinions, and ideas of subgroups.
8. Diagnostician
Indicates what the problems are.
9. Orienter/Summarizer
Summarizes what has taken place; points out departures from agreed-on goals;
tries to bring the group back to the central issues; raises questions about the
direction in which the group is heading.
10. Energizer
Prods the group to action.
11. Procedure Developer
Handles routine tasks such as seating arrangements, obtaining equipment, and
handing out pertinent papers.
12. Secretary
Keeps notes on the group’s progress.
13. Evaluator/Critic
Constructively analyzes the group’s accomplishments according to some set of
standards; checks to see that consensus has been reached.

Social/Maintenance Roles
1. Supporter/Encourager
Praises, agrees with, and accepts the contributions of others; offers warmth,
solidarity, and recognition.
2. Harmonizer
Reconciles disagreements; mediates differences; reduces tensions by giving
group members a chance to explore their differences.
3. Tension Reliever
Jokes or in some other way reduces the formality of the situation; relaxes the
group members.
4. Conciliator
Offers new options when his or her own ideas are involved in a conflict; disciplines
to admit errors so as to maintain group cohesion.
5. Gatekeeper
Keeps communication channels open; encourages and facilitates interaction from
those members who are usually silent.
6. Feeling Expresser
Makes explicit the feelings, moods, and relationships in the group; shares own
feelings with others.
7. Follower
Goes along with the movement of the group passively, accepting the ideas of
others sometimes serving as an audience.

Dysfunctional Roles
1. Blocker
Interferes with progress by rejecting ideas or taking a negative stand on any and
all issues; refuses to cooperate.
2. Aggressor
Struggles for status by deflating the status of others; boasts; criticizes.
3. Deserter
Withdraws in some way; remains indifferent, aloof, and sometimes formal;
daydreams; wanders from the subject; engages in irrelevant side conversations.
4. Dominator
Interrupts and embarks on long monologues; is authoritative; tries to monopolize
the group’s time.
5. Recognition Seeker
Attempts to gain attention in an exaggerated manner; usually boasts about past
accomplishments; relates irrelevant personal experiences, usually in an attempt to
gain sympathy.
6. Playboy
Displays a lack of involvement in the group through inappropriate humor,
horseplay, or cynicism.

Sumber:
Jfmueller.faculty.noctrl.edu
Azmiya Naufala Jayanti 165070200111026
Fabi Solichah Hariadi 165070200111028
Grace Firsty Putri Farica 165070207111010
Marisa Devina Agustin 165070207111012
Ade Ajeng Aulia 165070207111016

KEKUATAN KELOMPOK
Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu dengan yang
lain, saling bergantung dan memiliki norma yang sama. (Stuart & Laraia, 2005).
Tujuan kelompok adalah membantu anggotanya berhubungan dengan orang lain
serta mengubah perilaku yang detruktif dan maladaktif. Kekuatan kelompok ada
pada kontribusi dari tiap anggota dan pemimpin dalam mencapai tujuannya.
Kelompok berfungsi sebagai tempat berbagi pengalaman dan saling membantu satu
sama lain, untuk menemukan cara menyelesaikan masalah.
Menurut Keliat (2005) kekuatan adalah kemampuan anggota kelompok dalam
mempernaruhi berjalannya kegiatan kelompok. Dalam menetapkan kekuatan
anggota kelompok yang bervariasi diperlukan kajian siapa yang paling banyak
mendengar dan siapa yang membuat keputusan dalam kelompok.

Aktivitas- Membangun Harga Diri: Kekuatan Perisai Kelompok


- Fokus: Mengidentifikasi Kekuatan dan Ketahanan dalam upaya untuk
mempromosikan kekohesian kelompok
- Baik dilaksanakan pada pembukaan atau sesi awal
- Esensi kegiatan: Anggota kelompok mengidentifikasi kekuatan individu dan
kemudian mengeksplorasi bagaimana kekuatan itu penting untuk kesuksesan
kelompok
- Aturan:
1. Di satu sisi kartu, setiap anggota harus menggambar sebuah gambar kecil
untuk merepresentasikan kekuatan terbaik mereka dan di baliknya adalah
kekuatan personal/individu.
2. Setiap anggota memperlihatkan kartunya ke kelompok.
3. Anggota lain harus mengatakan bagaimana kekuatan yang dipresentasikan
untuk membantu kelompok mereka. Setiap anggota harus mengatakan satu
cara bahwa kekuatan tersebut membantu.
- Proses:
Mari kita renungkan bagaimana rasanya ketika anggota grup yang lain
mengatakan kekuatan kita itu penting.

Daftar Pustaka
Keliat, B.A, dkk. 2005. Keperaatan Jiwa : Terapi Aktivitas Kelompok. Jakarta: EGC.
Stuart & Laraia. 2005. Buku Saku Keperawatan Jiwa (terjemahan). Jakarta: EGC.
Global Career Development Facilitator. 2019. www.nbcc.ro. Romania: NBCC
Febry Priscila 165070201111030
Desi Christin Saragih 165070201111032
Chintya Clara Abidha D. 165070207111008
Rachel Victoriana Raharjo 165070207111008
Rida Aulia Batubara 165070201111026

NORMA KELOMPOK
Norma adalah pola berbagi pikiran, rasa, dan perilaku melalui komunitas. Hal ini
menunjukkan kepada komunitas akan apa yang bisa dan tidak bisa mereka lakukan
(Hogg dan Tindale, 2003). Marino et al. (2016) mendefinisikan norma kelompok
sebagai standar yang sebagian besar dapat mengatur perilaku di dalam komunitas.
Definisi ini sejalan dengan Feldman (2001) dan Tanis dan Postmes (2007) yang
mengatakan norma kelompok adalah aturan tidak formal yang diadaptasi oleh
komunitas untuk mengatur serta meregulasi perilaku anggota komunitas. Norma
dibentuk dan ditegakkan hanya dengan menghormati perilaku yang memiliki manfaat
yang signifikan terhadap komunitas (Feldman, 2001). Menegakkan norma
memberikan kesempatan anggota komunitas untuk mengungkapkan apa yang
menjadi nilai utama mereka dan untuk menglarifikasi apa yang menjadikan komunitas
istimewa (Marino et al. 2016).
Norma Kelompok dalam Terapi Aktifitas Kelompok adalah standar perilaku yang
ada dalam kelompok. Pengharapan terhadap perilaku kelompok pada masa yang
akan datang berdasarkan pengalaman masa lalu dan saat ini. Pemahaman tentang
norma kelompok berguna untuk mengetahui pengaruhnya terhadap komunikasi dan
interaksi dalam kelompok. Kesesuaian perilaku anggota kelompok dengan normal
kelompok, penting dalam menerima anggota kelompok. Anggota kelompok yang
tidak mengikuti norma dianggap pemberontak dan ditolak anggota kelompok lain.
Norma dibentuk dan ditegakkan hanya dengan menghormati perilaku yang
memiliki manfaat yang signifikan terhadap komunitas (Feldman, 2001). Menegakkan
norma memberikan kesempatan anggota komunitas untuk mengungkapkan apa yang
menjadi nilai utama mereka dan untuk menglarifikasi apa yang menjadikan komunitas
istimewa (Marino et al. 2016).
Penelitian Feldman, (2001) menyebutkan bahwa terdapat empat kondisi dimana
norma kelompok dapat dijalankan dalam komunitas. Pertama, norma kelompok dapat
ditegakkan jika norma tersebut memfasilitasi bertahannya suatu komunitas. Perilaku
apapun yang memiliiki efek negative terhadap komunitas akan menjadi lebih
menonjol dan mengancam anggota komunitas. Kedua, norma kelompok dapat
ditegakkan jika norma tersebut sederhana, mudah diprediksi, dan merupakan
perilaku yang diharapkan oleh anggota komunitas. Ketiga, norma kelompok
ditegakkan ketika norma tersebut membantu komunitas menghindari masalah
interpersonal yang memalukan. Keempat, norma kelompok ditegakkan jika norma
tersebut mengantarkan nilai komunitas dan membuat perbedaan yang jelas pada
komunitas. Tajfel dan Turner (1986) mengasumsikan bahwa norma mengekspresikan
aspek penting dari identitas sosial dalam komunitas dan memotivasi anggota
komunitas untuk bertindak sesuai dengan norma komunitas karena hal itu
menggambarkan hal yang benar dan sesuai untuk dilakukan. Ketika seseorang
mengidentifikasikan dirinya berdasarkan anggota komunitas, maka penyesuaiannya
dengan perilaku komunitas akan mudah diobservasi oleh anggota komunitas lainnya.
Dijelaskan lagi lebih lanjut oleh Hsu et al. (2011) yang mengatakan identitas sosial
yang menonjol, mengakibatkan norma bersama mengenai kooperatif akan cederung
diadopsi dan ditiru oleh anggota lainnya (Hsu et al., 2011).

DAFTAR PUSTAKA
1. Hogg, M. A., and Tindale, R. S. 2003. Social Identity, Influence, and
Communications in Small Groups. in J. Harwood & H. Giles (ed). Intergroup
Communication: Multiple Perspective, Pp. 141-164. New York: Peter Lang
2. Marino, C., Vieno, A., Pastore, M., Albery, I. P., Frings, D., and Spada, M. M.
2016. Modeling the contribution of personality, social identity and social norms to
problematic Facebook use in adolescents. Addictive Behaviors, 63, 51-56
3. Feldman, D. C. 2001. The Development and Enforcement of Group Norms.
Academy of Management Review. 9(1), 47-53
4. Tanis, M., and Postmes, T. 2007. Two Faces of Anonymity: Paradoxical Effects
of Cues to Identity in CMC. Computers in Human Behavior, 23 (2): 955-970
5. Tajfel, H. and Turner, J. C. 1986. The Social Identity Theory of Intergroup
Behaviour. In S. Worchel & W. G. Austin (ed). Psychology of Intergroup Relations,
pp. 7–24. Chicago, IL: Nelson-Hall.
6. Hsu, J.-L., Hwang, W.-Y., Huang, Y.-M., and Liu, J.-J. 2011. Online Behavior in
Virtual Space: An Empirical Study on Helping. Educational Technology & Society,
14 (1): 146–157
Samuel Bayu Santosa Hari Susila 165070200111010
Sandra Listanti Dewi 165070200111012
Nurva Prastya Ningrum 165070200111014
Destasya Hayyu Qorirah Pragian 165070200111016
Delfira Arizda 165070200111020

KEKOHESIFAN
Kekohesifan adalah kekuatan antar anggota kelompok bekerjasama dalam
mencapai tujuan. Hal ini mempengaruhi anggota kelompok untuk tertarik dan puas
terhadap kelompoknya. Terapis perlu melakukan upaya agar kekohesifan kelompok
dapat terwujud, selain mengelompokan anggota yang memiliki masalah yang sama.
Terapis juga menciptakan kekohesifan dengan cara mendorong kelompok untuk
berbicara satu sama lain. Kekohesifan dapat diukur melalui seberapa sering antar
anggota memberi pujian dan mengungkapkan kekaguman satu sama lain
(Sari,2015).
Kohesifitas adalah kekuatan hubungan yang terjadi antar anggota kelompok
(Forsyth, 2010). Kekohesifan adalah tingkat dimana anggota kelompok saling tertarik
untuk tinggal dalam kelompok tersebut. Lebih lanjut Forsyth (2010) mengatatakan
bahwa kohesivitas teridiri empat komponen, yaitu:
a. Social cohesion, yaitu merupakan daya tarik antar anggota kelompok untuk
membentuk kelompok.
b. Task cohesion, kohesivitas anggota kelompok berdasark tujuan kelompok.
Kelompok akan semakin memiliki kohesif jika anggota kelompok salang
bekerja sama dalam mencapai tujuan kelompok,
c. Perceive cohesion, kesatuan anggota kelompok berdasarkan persepsi dan
rasa kebersamaan dan memiliki yang meliputi perasaan terhadap kelompok
dan anggota kelompok.
d. Emotional cohesion, yaitu kohesi yang berdasarkan intensitas afektif dalam
kelompok. Emosi positif dalam kelompok akan meningkatkan kohesivitas
anggota kelompok.
Sementara menurut Forsyth (2010) kohesifitas dipengaruhi beberapa faktor,
diantaranya:
a. Ketertarikan kelompok. Ketertarikan anggota kelompok akan menimbulkan
kohesivitas kelompok.
b. Stabilitas keanggotaan. Kelompok yang memiliki anggota yang cenderung
stabil, maka kelompok tersebut cenderung memiliki kohesivitas tinggi
dibandingkan kelompok yang sering terjadi perubahan dalam keanggotannya.
c. Ukuran kelompok.salah satu tanda besarnya kelompok adalah jumlah
anggotanya. Semakin banyak anggota, maka semakin besar usaha anggota
untuk memperkuat hubungan anrara anggota. Implikasinya tingkat kohesif
pada kelompok besar tidak sekuat kelompok yang memiliki ukuran kecil.
d. Ciri-ciri struktural. Kohesif terkait dengan dua struktur kelompok. Pertama.
Kohesi cenderung pada kelompok yang memiliki struktur yang jelas, kedua,
tipe struktur kelompok berkaitan dengan tingginya kohesis anggota kelompok.
e. Permulaan kelompok. Persyaratan awal ketika masuk kelompok menjadi salah
satu yang dapat mempengaruhi kohesi kelompok. Misalkan, kegiatan orentasi
yang dilakukan padaa anggota baru dapat meningkatkan kohesi anggota
kelompok.
Kohesivitas berkaitan dengan peningkatan kepuasan pada anggota dan
mengurangi turn over dan stress (Forsyth & Burnette, 2010). Namun kohesif juga
dapat berdampak negatif pada masalah psikologis kelompok, seperti
ketergantungan, tekanan untuk konformitas tinggi dan penerimaan akan pengaruh
menjadi besar sehingga berpotensi bermasalah atau bias pada pengambilan
keputusan (Forsyth, 2010).
Faktor yang mempengaruhi kohesivitas kelompok kerja menurut Mc Shane &
Glinow(dalam Kurniawati), yaitu:
a. Adanya Kesamaan
Kelompok kerja yang homogen akan lebih kohesif dari pada kelompok kerja
yang heterogen. Karyawan yang berada dalam kelompok yang homogen
dimana memiliki kesamaan latar belakang, membuat mereka lebih mudah
bekerja secara objektif, dan mudah menjalankan peran dalam kelompok.
b. Ukuran kelompok
Kelompok yang berukuran kecil akan lebih kohesif dari pada kelompok yang
berukuran besar karena akan lebih mudah untuk beberapa orang untuk
mendapatkan satu tujuan dan lebih mudah untuk melakukan aktifitas kerja.
c. Adanya interaksi
Kelompok akan lebih kohesif bila kelompok melakukan interaksi berulang
antar anggota kelompok.
d. Ketika ada masalah
Kelompok yang kohesif mau bekerja sama untuk mengatasi masalah.
e. Keberhasilan kelompok
Kohesivitas kelompok kerja terjadi ketika kelompok telah berhasil memasuki
level keberhasilan. Anggota kelompok akan lebih mendekati keberhasilan
mereka dari pada mendekati kegagalan.
f. Tantangan
Kelompok kohesif akan menerima tantangan dari beban kerja yang diberikan.
Tiap anggota akan bekerja sama menyelesaikan tugas yang diberikan, bukan
menganggap itu sebagai masalah melainkan tantangan.

DAFTAR PUSTAKA

Forsyth, Donelson R., and Jeni Burnette. 2010. Advanced Social Psychology: The
State of the Science. Edited by Roy F. Baumeister and Eli J. Finkel. Oxford:
Oxford University Press
Fitri Kurniawati, 2016.Pengaruh Kohesivitas Kelompok dan Kepuasan Kerja
Terhadap Organizational Citizendhip Behavior (OCB). Thesis.
Sari, L. T. (2015). Terapi kelompok terhadap perubahan sikap perlindungan diri dari
IMS dana perilaku seksual pekerja seks komersial jalanan usia 15-18 tahun di
Denpasar Bali. Thesis.

Anda mungkin juga menyukai