yang cepat manakala warga masyarakat yang memiliki akses di dalam kawasan
tidak diberikan ruang sebagai salah satu komponen yang berperan aktif dan
bertanggung jawab menjaga kelestarian kawasan itu.
kurung waktu tertentu akan mempengaruhi situasi wilayah TAHURA yang hanya
berjarak 4-11 km dari Kota Palu, terutama pada penguasaan lahan untuk
pemukiman dan lahan untuk usaha pertanian. Dengan perkembangan yang cukup
pesat ini yang di dalamnya juga kepentingan yang tidak mungkin dihindarkan,
maka kebijakan seharusnya dapat menerjemahkan secara benar makna ”untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang menjadi landasan Undang-Undang
Pokok Agraria (Maria Sumardjono, 2005).
Pertambahan penduduk dengan kebutuhan-kebutuhan dasar yang semakin
tinggi akan mempercepat proses perubahan sosial dan ekonomi masyarakat yang
berekses pada penguasaan sumberdaya alam. Perubahan ini juga tidak terlepas
dari intervensi pemerintah untuk merubah struktur kehidupan sosial masyarakat
yang tadinya sangat kental dengan pola kehidupan yang sepenuhnya bergantung
kepada sumberdaya alam, bagaimana dapat merubah pola kehidupan pada sektor-
sektor jasa. Peran ini sepenuhnya dilakoni pemerintah sebagai pemegang kendali
akses sumberdaya dan memiliki pawer dalam banyak hal. Pembangunan yang
dilakoni pemerintah sejak orde baru hingga sekarang masih menganut pola-pola
top down dan berorientasi pada kepentingan sesaat dan sepihak. Tidak sedikit
masyarakat yang menerima dampak dari perlakuan-perlakuan yang tidak
manusiawi. Kasus Dompu dan Taman Hutan Raya Marhum di Sulawesi
Tenggara perlu menjadi bahan perenungan bagi pengambil kebijakan, betapa
lemahnya keadilan atas rakyat yang juga bagian dari negeri ini (Noerdin &
Nainggolan dalam Suporahardjo, 2006)10.
Masyarakat lokal Kaili yang bermukim dalam kawasan ini juga dijuluki
sebagai masyarakat tradisional yang menganggap segala sesuatu dalam alam
saling berhubungan. Sudah merupakan sebuah kebudayaan untuk memperlakukan
alam dengan arif dan bijaksana untuk menghindari dampak buruk dari alam
(Marten, 2001). Dalam konteks inilah masyarakat lokal Kaili menganggap
kehadiran pihak luar di lingkungan mereka merupakan ancaman bagi kelestarian
10
Kelompok tani Cando Permai dan Mada Feli memiliki niat baik dan berkeinginan untuk
mengelola kawasan hutan yang telah rusak dan telah berhasil menjadi hutan kembali, justru
bukan mendapatkan penghargaan dari pemerintah Kabupaten Dompu, namun sebaliknya
”mereka ditangkap dan dijebloskan kepenjara dengan cara sewenang-wenang oleh Dinas
Kehutanan Kabupaten Dompu dan selanjutnya dituntut oleh Kejaksaan Negeri Dompu dan
dihukum penjara oleh Putusan Pengadilan Negeri Dompu antara 6 (enam) sampai 9
(sembilan) bulan penjara (Noerdin, W dan Nainggolan L, 2005; 23).
61
Tabel 10. Perspektif pemangku kepentingan dan pejabat yang berkaitan dengan
keberlanjutan TAHURA.
Konsep pengelolaan
Peme Tidak Peme P.emeri
Informan/ Jabatan Instansi/ Institusi rintah jelas rintah ntah+
Responden + Masy +
Masy. Stakhld
Haerul Kepala Dinas Kehutanan 9
Anantha, Ir. Dinas Propinsi Sulteng
Trimuljono Balai Pengelolaan
Admomartono, Kepala Balai Daerah Aliran Sungai 9
Ir. (BP-DAS) Palu-Poso
Sulteng
Balai Konservasi
Istanto, M.Sc Kepala Balai Sumber Daya Alam 9
(BKSDA) VI Sulawesi
Badan Pengendalian
Said Awad, Kepala Dampak Lingkungan 9
MH, Drs. Badan Daerah Sulteng
Ardin Kasie Badan Perencanaan
T.Tayeb, MT, Perencanaan Pembangunan Daerah 9
SE dan Tata (BAPPEDA) Sulteng
Ruang
Wilayah.
Helmy D. Wakil Ketua DPRD Propinsi Sulteng 9
Yambas, SE
Hedar Ketua Lembaga Swadaya
Laudjeng, SH Masyarakat (LSM), 9
Perkumpulan Bantaya
Rusdi Mastura Walikota Pemerintrah Kota Palu. 9 9
Zainal Arifin Kepala Dinas Kehutanan Kota 9
H. Tongko, Dinas Palu.
MS. Ir.
Usman, SH. Kepala Biro Sekretariat Pemda 9 9
MH Hukum Sulteng
Harun Sekretaris LPPM Universitas 9
Lapasere, Drs. Tadulako
Dari hasil wawancara mendalam dengan para pimpinan instansi yang juga
merupakan elemen yang bertanggung jawab dalam proses penetapan dan
63
11
Usman Suhudin, SH,MH (Kepala Biro Hukum PemDa Sulteng) menyatakan “tidak tahu menahu
hal tentang TAHURA, silahkan ditanyakan kepada Dinas Kehutanan, saya mau rapat”. Dalam
perspektif Kepala Biro Hukum, TAHURA adalah sepenuhnya wewenang dinas teknis, termasuk
penyusunan peraturan yang berhubungan dengan kawasan dimaksud, dan biro hukum bertugas
untuk membuat keputusan-keputusan pemerintah yang berkaitan dengan sekretariat, dan
memfilekan keputusan-keputusan pemerintah dan peraturan perundang-undangan. Disini
nampak mekanisme dan koordinasi sangat lemah dan tidak berjalan.
64
dan dikaji, sesungguhnya siapa yang lebih memiliki akses untuk mendapatkan air
tersebut.
Pemukiman-pemukiman tersebut digambarkan pada peta penyebaran
pemukiman penduduk dan lahan kebun rakyat di dalam kawasan TAHURA
SULTENG sebagai berikut :
Vatutela
vintu
Bunti Pobau
DAS Pondo
Uentumbu
Tompu
Tompu
Kws. Raranggonau
sistematis diterima dan dipahami baik oleh generasi mereka tanpa kecuali,, suatu
keyakinan bila hal ini tidak dilaksanakan akan berdampak pada keluarga dan atau
komunitas bersangkutan berupa sanksi adat yang dalam kepercayaan komunitas
masyarakat lokal Kaili di Sulawesi Tengah adalah “Nerapi tupu ntana” (bila tidak
dilaksanakan akan meminta korban).
Kultur bertani masyarakat lokal Kaili adalah berladang. Sawah merupakan
introduksi atau yang diadopsi dari luar. Sistem bertani ladang di tanah Kaili
membagi dua tipe yaitu Talua dan Pampa. Talua secara filosofis, dimaknai
sebagai suatu aktivitas bertani yang produksinya akan dapat memenuhi kebutuhan
selama satu periode panen. Masyarakat lokal Kaili melakukan sistem pergiliran
(rotasi) berkebun ladang selama satu tahun atau berdasarkan umur padi lokal 5-6
bulan. Pampa adalah sistem usahatani pekarangan dan atau di luar pekarangan.
Pampa dalam pertanian modern hampir sama atau identik dengan mix farming
(sistem usahatani campuran). Pampa dikelola untuk memenuhi kebutuhan
keluarga secara rutin (sehari-hari) selama menunggu panen padi ladang atau
produksi tanaman tahunan dari kebun besar (talua). Pampa dikelola dengan luas
tidak melebihi dari 0,5 hektar (0-0,5 hektar). Produksi hasil usahatani pampa
tidak untuk komersil atau dijual, kecuali konsumen yang datang ke pampa atau
ke rumah tangga petani untuk membelinya dengan takaran tertentu. Sistem
penukarannya-pun tidak dibatasi dengan nilai tukar uang, bisa barter seperti warga
dari wilayah pesisir (pantai) membawa ikan atau garam, dibarter dengan ubi jalar,
singkong, jagung, sayur atau beras padi ladang. Dengan demikian maka indikator
pampa bukanlah dalam bentuk barang, benda atau suatu komoditas (jenis kayu,
rotan, atau tanaman tertentu). Pampa juga merupakan proses atau pola bertani
masyarakat Kaili. Sebelum membuka hutan (lahan baru), didahului mengerjakan
lahan untuk pampa agar dalam proses pembukaan lahan baru tidak kekurangan
pangan. Tanaman-tanaman yang ditanam adalah jenis tanaman musiman atau
berumur pendek seperti ubi jalar, jagung, singkong, dan sayur-sayuran. Dalam
proses pembukaan awal dilakukan dengan ritual adat melalui pemangku adat atau
sobo.
Kaili Tara dan Kaili Ledo di kawasan TAHURA, berprinsip bahwa
hubungan alam dengan manusia pada hakekatnya untuk manusia (Mattulada, tt).
71
Perspektif tersebut menggambarkan bahwa alam sekitar bagi masyarakat ini harus
diperlakukan dengan baik agar dapat memberikan penghidupan untuk selamanya
dan menjamin antar generasi. Makna penggambaran tersebut bahwa alam beserta
isinya (sumberdaya alam) harus dikelola dengan kearifan-kearifan yang
menghargai hak-hak alam, karena di alam banyak mahluk lain selain manusia
yang membutuhkan sumber penghidupan yang sama, termasuk yang tidak dapat
dilihat dengan kasat mata. Untuk itu dalam proses pengelolaannya selalu diawali
dengan ritual-ritual yang intinya memohon kepada yang kuasa (penguasa alam)
dapat mengizinkannya untuk dimanfaatkan bagi kepentingan ummat manusia.
Jika dalam proses awal terdapat gejala yang mengindikasikan tidak dapat dibuka
untuk ladang, maka harus dicari tempat lain untuk ladang yang layak dan terjamin
dari aspek ekologis.
Komunitas di dalam/sekitar kawasan ini mengelola sumberdaya hutan,
mengelompokannya dalam lansekap hutan menurut perspektif manfaat dan fungsi
dari ekosistem yang ada. Masyarakat adat Kaili Ledo dan Kaili Tara membagi
hutan dengan fungsi-fungsi tertentu sebagai berikut :
1. Pangale mbongo dalam perspektif masyarakat adat To ri Tompu, Tori Lando
bo To po Tara, merupakan hutan alam primer yang belum dijamak dan atau
disebut dengan hutan alam primer.
2. Pangale yaitu hutan alam yang pernah dijamak manusia, namun telah
kembali pulih hutannya dengan komposisi lengkap seperti semula, atau biasa
disebut dengan hutan sekunder.
3. Nava adalah hutan yang telah diberakan selama minimal 10 (> 10) tahun dan
telah ditumbuhi pohon-pohonan dan tegakan yang pohonnya masih dibawah
diameter 40 cm.
4. Tinalu adalah bekas kebun yang mengalami masa bera di bawah 10 tahun atau
antara 5-10 tahun.
5. Ova adalah bekas kebun yang telah mengalami masa bera di bawah lima (< 5)
tahun atau dikenal dalam perspektif umum merupakan hutan semak belukar.
Ova cukup beragam menurut pemanfaatannya, ciri khasnya adalah telah
tumbunh tanaman keras terutama jenis tanaman hortikultura.
72
jenis hutan yang lebih muda dibanding oma ntua. Tumbuhan yang tumbuh
masih dapat ditebas dengan menggunakan parang, semak dan belukar
merupakan ciri khasnya, (c) oma ngkuku adalah bekas kebun yang berusia
antara satu sampai dua tahun, vegetasi dominan rerumputan.
5. Balingkea, yakni bekas kebun yang usianya enam bulan sampai satu tahun,
sering dimanfaatkan untuk palawija.
Untuk komunitas Topo Da’a di pegunungan Marawola yang
mengelompokkan diri sebagai To Pakava atau To Pinembani (Laudjeng, 1998)
dan To Kamalisi di pegunungan Gawalise (Saleh, 2001), pengelolaannya identik
sebagai berikut :
1. Pangale, hutan primer yang belum pernah disentuh atau dikelola untuk kebun.
Vegetasi utama adalah kayu jenis pohon, rotan dan tumbuhan lain. Kawasan
hutan tersebut dimanfaatkan untuk tempat buruan binatang dan satwa.
2. Ova, untuk bekas ladang yang telah ditinggalkan antara 5-10 tahun. Jenis
vegetasi utama adalah kayu jenis tihang yang dimanfaatkan untuk kayu bakar
dan ramuan rumah, termasuk berbagai jenis rotan.
3. Tinalu, untuk kebun ladang mereka dan,
4. Olo adalah wilayah hutan yang sama sekali tidak dapat dikelola. Olo
dijadikan tempat penyimpan bente (sajian-sajian upacara adat) sebagai
perlindungan terhadap bencana.
bersumber dari hasil hutan non kayu, utamanya rotan dan sebagian kayu bakar.
Masyarakat yang berada di bukit Poboya bersumber dari usahatani bawang dan
sebagian kayu bakar. Berbeda halnya dengan masyarakat Vatutela yang
berpendapatan dari hasil produksi perkebunan berupa buah cengkeh, kopi dan
kemiri, sebagian dari mengumpul kayu bakar dan mengumpul batu kali.
Peternakan domba, kambing dan sapi dijadikan sebagai tabungan bila kondisi
mendesak baru dijual seperti membiayai anak sekolah, kuliah dan kebutuhan lain
yang sama pentingnya, berupa pesta kawin, sunatan atau hajatan. Masyarakat
dusun Tompu dan Raranggonau, aktivitas untuk mencari sumber pendapatan
masih bersifat nomaden, selain berkebun tanaman sayur-sayuran, coklat dan padi
ladang mereka juga melakukan pencarian rotan, dan hasil dari penjualan buah-
buahan seperti durian, langsat, nenas, pepaya dan lain-lain.
Pendapatan masyarakat yang bersumber dari hasil produksi rotan dalam
perbulannya sebesar Rp. 382.500 (tiga ratus delapan puluh dua ribu lima ratus
rupiah) dari penjualan 450 kg rotan dengan harga Rp. 850 perkilogramnya. Dari
pendapatan ini dipotong biaya (konsumsi) selama dalam hutan (14-21 hari)
sebanyak Rp. 99.000 (sembilan puluh sembilan ribu rupiah). Jadi praktis yang
diterima bersih dari hasil merotan sebanyak R. 292.500 (dua ratus embilan puluh
dua ribu lima ratus rupiah). Pendapatan tersebut bila dibandingkan dengan
keadaan saat ini maka strata hidup keluarga masyarakat di hulu DAS Kavatuna
(lingkungan Uentumbu) masih dalam taraf berpendapatan rendah (miskin).
Untuk pendapatan yang bersumber dari hasil produksi usahatani dan
perkebunan adalah coklat, beras padi ladang, sayur-sayuran, ubi jalar, ubi kayu
(singkong), mentimun, labu, bawang, pepaya dan lain-lain. Setiap kawasan
pemukiman membawa produksinya ke pasar yang terdekat, dan sehari menjelang
hari pasar semua produk-produk yang akan dibawa ke pasar telah siap dan
berkumpul pada satu tempat dari warga masyarakat. Untuk kawasan Tompu
berkumpul di Boya Tana Nenggila untuk bersam-sama pergi ke pasar Ngata Baru
(Kapopo) besok harinya. Warga dari kawasan Raranggonau langsung turun ke
Pasar Biromaru. Untuk warga Uentumbu dan Valiri turun ke pasar Lasoani,
demikian pula halnya bagi warga Poboya. Warga dari Vatutela dan Vintu
75
langsung ke pasar Masomba Palu dan pasar Mamboro dan akses transportasi
lebih baik dibanding warga dari lokasi lainnya.
Sumber pendapatan komunitas masyarakat Vatutela selain dari hasil
usahatani juga berprofesi sebagai pengumpul batu kali. Setiap warga dapat
mengumpul 3-4 kubik dalam sehari dengan harga di lokasi sebesar Rp. 2.500–Rp.
4.000 per kubik. Penghasilan yang dapat diperoleh dari profesi mengumpul batu
kali rata-rata sebesar Rp. 315.000 (Tiga ratus lima belas ribu rupiah), dengan
perhitungan rata-rata mengumpul 3,5 kubik dan penghasil sebesar Rp. 10.500 per
hari. Komunitas masyarakat Vatutela berkisar 10 % dari sumber penghasilan
mengumpul batu kali (batu pondasi).
Pendapatan yang diperoleh dari masing-masing komunitas tidak sama.
Komunitas masyarakat di kawasan Poboya baik yang berada di kawasan Hulu
Sungai Pondo (melintasi Kelurahan Poboya), maupun di kawasan Bunti Pobau
yang bersumber dari usahatani bawang, dan pendulang emas berpenghasilan lebih
besar dibanding komunitas di kawasan Raranggonau, Tompu, Uentumbu,
Vatutela dan Vintu. Penghasilan bersih yang diperoleh dari komunitas12
masyarakat Bunti Pobau dan DAS Pondo (Poboya) masing-masing informan rata-
rata antara Rp 1.500.000-Rp, 4.500.000, bahkan sampai 9 juta rupiah setiap panen
bawang. Dalam setahun dapat berproduksi 3-4 kali panen bergantung iklim dan
cuaca. Untuk petani bawang bila curah hujan terlalu tinggi akan berdampak
kurang menguntungkan bagi petani bawang di kawasan Poboya. Dengan melihat
kondisi ini akan membuka ruang dan peluang yang menjanjikan bagi
keberlanjutan Taman Hutan Raya, jika komunitas-komunitas ini diberikan ruang
dan kesempatan untuk menggarap lahannya masing-masing secara intensif yang
didukung oleh kebijakan politik pembangunan pertanian berbasis komunitas.
12
Komunitas dalam kamus antropologi mendefiniskan sebagai kesatuan sosial yang terutama
terikat oleh rasa kesadaran wilayah (Koentjaraningrat, 2003).
76
dalam tujuh (7) kawasan yaitu kawasan Bulu Bionga (Vintu) Kelurahan Layana
Indah, Kawasan Vatutela Kelurahan Tondo, Kawasan Bunti Pobau Kelurahan
Poboya, Hulu DAS Poboya, kawasan Uentumbu-Valiri Kelurahan Kavatuna,
Kawasan Bulu Bulili Tompu Desa Ngata Baru (Kapopo) dan Kawasan
Raranggonau Desa Pumbeve. Lahan-lahan yang dimiliki berada di bukit, hulu
sungai dan pegunungan yang sebagian besar di atasnya ditanami tanaman
perkebunan (tanaman keras), kecuali kawasan Bunti Pobau pada lokasi PPN 25,
26 dan 29, umumnya bercocok tanam bawang merah dan bawang goreng.
Dari luasan pemilikan lahan tersebut di dalamnya beragam tanaman yang
merupakan akses masyarakat dan sekaligus mendorong keras keinginan masuk di
dalam kawasan tersebut selain akses untuk memanen hasil hutan non kayu berupa
rotan dan damar. Kepemilikan lahan secara de fakto ini sebesar 9,63 % dari total
luas TAHURA 7.128 hektar. Kondisi ini perlu dijadikan bahan pertimbangan
yang serius bagi pengambil kebijakan di daerah, dimana mereka adalah bagian
yang tidak terpisahkan dengan sumberdaya alam tempat mereka tinggal dan
hidup sejak dahulu hingga saat ini. Sumberdaya hutan adalah bagian dari
kehidupan dan penghidupan masyarakat lokal (adat), dan merupakan estetika,
ikatan moral dan memiliki nilai kultural. Dengan demikian maka sumberdaya
berupa lahan, segala yang hidup di atasnya adalah pemilikannya jelas dan
tentunya akses terhadap sumberdaya tersebut juga tinggi.
Pemilikan lahan kebun dari masing-masing kawasan yang masuk dalam
Taman Hutan Raya (TAHURA) Sulawesi Tengah disajikan dalam Tabel 12.
Tabel 12. Luas pemilikan (penguasaan) lahan kebun warga masyarakat Kaili di lokasi
penelitian.
Rata-rata Total
Komunitas Masyarakat Jumlah KK pemilikan Luas lahan
lahan (ha) (ha)
Vintu (Bulu Bionga) 74 1,11 82,14
Vatutela 80 0,80 64,00
Uentumbu (DAS Mamara, 86 1,08 92,88
Kavatuna)
Bunti Pobau (PPN 25, 26, 29) 76 0,75 57,00
DAS Pondo/Poboya 90 2,3 207,00
Tompu (Bulu Bulili) 83 1,3 107,90
Raranggonau 40 1,17 45,80
Jumlah 529 656,72
77
Tabel 13. Jenis Padi Lokal dan tanaman pangan/sayuran di lokasi Penelitian13.
No. Jenis Komoditas Harga Jangka tanam
(nama lokal) (Rp) (bln) Keterangan
& panen
1. Pae Saralonja 4 Tidak dijual atau
2. Pae Sarasabe 3 untuk kebutuhan
3. Pae Pelisi 4 sendiri (konsumsi
4. Pae Tolevonu 5 keluarga).
5. Pae Merianggi koyo 5
6. Pae Banjarone 5
7. Pae Toparia 3
8. Pae Topase 5
9. Pae Pulumuto 5
10. Pae Meringgi pulu 5
11. Pae Toburane 4
12. Pae Bude 5
13. Pae Pulungguni 4
14. Pae Mpoiri 3
15. Marisa nete (Cabe rawit) 4.000 Tidak menentu Dijual per liter
16. Parancina (Tomat) 1.000 Dijual per mangkok
17. Tambue (kacang panjang) 1.000 Idem
18. Palola (Terung) 500 Per 3 buah
19. Paku (paku-pakuan) 500 Per ikat
20. Tavanjuka (Daun melinjo) 500 Per ikat
21. Uvu lauro (umbut rotan) 1.500 Per 1 buah
22. Robu volo vatu (Bambu) 1.000 Per loyang
23. Toboyo (Labu) 1.000 Per buah
24. Kacang Kedelai 5.000 Per kilogram
25. Kacang hijau 2.500 Per liter
26. Buncis 2.000 Per liter
27. Kasubi (Singkong) - Tidak dijual
28. Pia (Bawang) 1.000 Per ikat
29. Ntomoloku (Ubi jalar) - Tidak dijual
30. Paria 1.000 Per 5 buah
31. Tampai 500 Per ikat
32. Cangkore (Kacang tanah) 2.500 Per kaleng (blek)
33. Antimu (Ketimun) - Tidak dijual
34. Kula (Jahe merah) 9.000 Per kilogram
35. Kuni (Kunyit) 3.000 Per kilogram
36. Balintua (Laos) 2.000 Per kilogram
37. Valangguni - Tidak dijual
38. Tumbavani (Sereh) 500 Per ikat
39. Sarao - Tidak dijual
40. Vongu - Tidak dijual.
41. Dale (jagung) - Tidak dijual
13
Pae (bahasa daerah Kaili) sinonim dengan padi.
78
14
Hasil wawancara dengan Hi. Djadja (63 th), tokoh adat Vintu, tanggal 17 Mei 2006 ; Tanah
yang diberakan biasanya minimal 5 tahun bar udiolah lagi. Maksud pemberakan adalah untuk
mengembalikan kesuburan tanah yang telah digunakan untuk tanaman semusim seperti padi dan
jagung.
15
Hasil wawancara dengan Muslima (67 th) dan warga masyarakat dalam pertemuan, 25 Juli
2006 di Bantaya Vatutela Kelurahan Tondo Kecamatan Palu Timur.
80
Tabel 15. Jenis Rotan Hasil Produksi dari Kawasan Hutan TAHURA dan
sekitarnya.
Tabel 16. Jumlah dan Jenis Ternak yang digembalakan di sekitar/dalam kawasan
TAHURA SULTENG.
Konservasi Tanah Sub DAS Kavatuna seluas 10.000 hektar yang dibiayai oleh
Dana Proyek Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Kantor Departemen
Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah Sub Balai RLKT Tahun 1993. Dari proyek
tersebut salah satu kebijakan yang diimplementasikan adalah penghijauan pola
khusus lembah Palu seluas 1.483,34 hektar yang tersebar pada tiga sub DAS
yaitu sub-sub DAS Kavatuna 311,35 hektar, Mamara/Ngia 431,80 hektar, dan
Paneki 957,50 hektar dengan teknik konservasi menggunakan teras guludan,
teras bangku dan penanaman cover crop. Sub-sub Das tersebut adalah lokasi-
lokasi yang rawan erosi dan banjir sehingga perlu mendapat prioritas. Lokasi
tersebut merupakan bagian dari kawasan TAHURA. Luas lokasi TAHURA yang
masuk dalam perencanaan konservasi pada lahan-lahan kritis dan rawan erosi
seluas 2.589,95 hektar sampai tahun anggaran 2002/2003 (Bappeda, 2003).
poin dari pasal 1 dalam Bab Ketentuan Umum. TAHURA disebutkan disini
adalah kawasan pelestarian yang terutama dimanfaatkan untuk tujuan koleksi
tumbuhan dan/atau satwa, alami atau buatan, jenis asli dan/atau bukan asli,
pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan latihan, budaya pariwisata dan
rekreasi. Dari batasan ini tidak mengandung dimensi yang memberikan ruang
bagi masyarakat yang secara de fakto telah memiliki akses di dalam kawasan
tersebut sebelum peraturan ini diterbitkan.
Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Sulawesi Tengah dalam
pasal 2 menyebutkan bahwa :
(a) Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu berdaya guna
dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan serta
mempertimbangkan masukan dari dinas, instansi terkait, kabupaten dan
aspirasi masyarakat,
(b) Keterbukaan, partisipatif, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.
Penetapan Tata batas, Luas Wilayah dan Status TAHURA Sulawesi Tengah
yang sebelumnya adalah kawasan yang terbuka bagi berbagai pihak dalam
memanfaatkan sumberdaya kawasan hutan berupa kayu dan produk non kayu
(rotan, damar, hasil tambang dll). Perencanaan kawasan ini setelah berlakunya
keputusan Menteri Kehutanan dengan beberapa prinsip pengembangan yaitu (1)
prinsip pelestarian (preservasi dan konservasi) lingkungan alami dari kawasan
TAHURA, (2) prinsip pemanfaatan berbagai potensi lingkungan alami kawasan
TAHURA sebagai media pendidikan, (3) prinsip pengembangan berbagai potensi
lingkungan alami pada kawasan TAHURA untuk kegiatan pariwisata dan
pembibitan serta koleksi flora dan fauna (Kanwil Dephut Sulteng, 1997).
Prinsip ini mengacu pada landasan pengembangan dari rencana tata letak
(Site plan) yang berupaya untuk melestarikan, memanfaatkan dan
mengembangkan berbagai potensi alami yang dapat menjadi suatu wadah aktifitas
masyarakat di dalam kawasan hutan dan masyarakat umum dalam rangka
pengenalan, menanamkan rasa cinta dan rasa kepemilikan. Aktivitas ini menurut
Kantor Wilayah Kehutanan Sulteng (1997) dilakukan melalui beberapa pola
antara lain :
1. Melestarikan berbagai potensi flora, fauna dan ekosistem hutan existing
dalam dan sekitar hutan TAHURA Sulteng sebagai kekayaan
keanekaragaman hayati yang harus dilindungi dan dijaga kelestariannya.
2. Memanfaatkan berbagai potensi flora dan fauna dan ekosistem existing
yang berada di sekitar dan dalam hutan sebagai kekayaan keanekaragaman
hayati yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sosial, ekonomi dan
pendidikan.
3. Mengembangkan berbagai potensi flora, fauna dan ekosistem hutan
existing yang berada sekitar dan dalam kawasan hutan sebagai kekayaan
keanekaragaman hayati yang dapat dinikmati sebagai wahana dalam
berbagai aktifitas sosial, ekonomi dan budaya termasuk kegiatan rekreasi
dan olah raga.
89
Konservasi Tanah Sub DAS Kavatuna seluas 10.000 Ha. Penentuan ini didasarkan
atas kriteria dan tata cara penetapan hutan lindung dan kawasan produksi yang
tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 dan
N0. 683/Kpts/Um/8/1981 dan Keputusan Presiden No. 48/1983. Ketiga keputusan
tersebut menekankan pada tiga faktor yang harus diperhatikan yakni (a)
Kelerengan tanah, (b) Jenis tanah menurut kepekaannya, dan (c) Curah hujan rata-
rata harian.
Kebijakan tersebut dilakukan sebelum dikeluarkannya kebijakan
penetapan kawasan Cagar Alam Poboya, Hutan Lindung Paneki dan lokasi PPN
30 menjadi TAHURA Sulawesi Tengah. Untuk menindaklanjuti kebijakan
tersebut, pihak PDAM melakukan introduksi program berupa pemasanagan pipa
air dan pembangunan bak-bak air pada masing-masing kawasan yang
membutuhkan kontribusi air untuk kesinambungan kehidupan tanaman-tanaman
konservasi yang diintrodusir pada program sejuta pohon yang secara seremoni
dilakukan pada Pekan Penghijauan Nasional (PPN) 30 di Kapopo.
Untuk mewujudkan program besar ini pihak pemerintah daerah melakukan
pengembangan sebagian kawasan ini untuk sektor pariwisata untuk dapat
memberikan pemasukan bagi daerah, dan menyerahkannya kepada Dinas
Pariwisata sebagai pelaksana teknis, melalui Surat Keputusan Nomor:
188.44/1400/Dis 1200 PAR-G.57/2003. Dalam tataran implementasi sangat
menyedihkan, fasilitas yang dibangun hanya untuk kepentingan sesaat, ”proyek
oriented”. Kondisi saat ini fasilitas yang dibangun dengan biaya mahal telah
menjadi tempat berlindungnya hewan-hewan ternak seperti sapi, kambing dikala
hujan dan tidak pernah ditemukan seorangpun pengelola di dalam kawasan ini
selama penelitian.
dikala hujan, menjadi tempat pembangunan sarana dan prasarana seperti Kampus
Universitas Tadulako, yang telah mengambil lahan masyarakat sebesar 250 Ha,
tanpa ganti rugi. Demikian pula halnya lahan-lahan yang dimanfaatkan untuk
pemukiman transmigrasi Lingkungan Industri Kecil (LIK) yang saat ini telah
didefinitifkan menjadi kelurahan Layana Indah. Lokasi pemukiman tersebut
sebelumnya adalah lahan kebun jagung masyarakat dan areal penggembalaan
ternak sapi, kambing dan domba masyarakat Vintu dan Dupa Indah. Karena areal
tersebut termasuk dalam wilayah pengawasan Pemerintah Daerah Propinsi
Sulawesi Tengah sebagaimana disebutkan dalam Surat Keputusan Gubernur No.
SK.239/591/IX/1987 yang ditanda tangani oleh Abdul Azis Lamadjido, SH ;
maka penempatan warga transmigran-pun tidak dilakukan konsolidasi dan
konsultasi dengan masyarakat. Pada era tersebut keputusan pemerintah segala-
galanya, bagi yang melakukan kritik dianggap suversif, sehingga sulit
mendapatkan political will terhadap masyarakat miskin yang jumlahnya terbesar
dari penduduk keseluruhan Kota Palu hingga sekarang.
Dengan situasi ini maka berbagai tanggapan dari para pihak sebagai
bentuk responsibilitas individu sebagai pejabat atau bagian dari pengambil
kebijakan di daerah. Banyak komentar yang dilontarkan ketika dilakukan dialog
(diskusi) dengan mereka, setelah kebijakan kawasan ini diserahkan kepada
pemerintah daerah c/q Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah. Sikap tersebut
merupakan bentuk kepedulian yang tidak memiliki akses langsung, sehingga
mengharapkan pengelolaan kawasan perlu melibatkan stakeholders, dengan
masukan-masukan konstruktif yang perlu mendapat umpan balik dari pemegang
wewenang, disajikan dalam Tabel 17.
Tabel 17. Keterlibatan stakeholders dalam proses tata batas TAHURA SULTENG
Aspek Sumber
Stakeholders keterlibatan Tanggapan/Komentar Informasi
Petani, pdlg Tidak Pemerintah bertindak sepihak Responden
emas, terlibat
perotan
Bapedalda Tidak ¾ Kawasan TAHURA perlu dipertahankan. Drs. Said
terlibat ¾ Perlu sosialisasi intensif Awad, MH
¾ Konservasi tetap digalakkan sesuai dengan (Kepala
konsep bersama. BAPEDALDA
¾ Tidak layak untuk dilakukan eksploitasi SULTENG)
apapun bentuknya.
93
BKSDA
Camat DPRD
Dishut Masyarakat
Distamen
LSM
Lurah
PDAM
Untad
Gambar 11. Simulasi hubungan kelembagaan dengan diagram venn, di komunitas masyarakat
Vatutela Kelurahan Tondo Kecamatan Palu Timur.
Disos Pol
Masyarakat Binsa
P.kop
Dishut
Prop. LSM
Diskes B.dal
da
PPL
BKSDA
Camat DPRD
BKSDA DPRD
Camat
Lurah Distamen
LSM
Masyarakat CPM
P.rot
Dishut an
Gambar 14. Simulasi Hubungan stakholder di Komunitas Masyarakat Hulu DAS Pondo
dam Bunti Pobau Kelurahan Poboya Kecamatan Palu Timur
99
Masyarakat Dishut
Prop.
Lurah
Camat Pdg.
Rotan PDAM
Dishut BKSDA
Prop. LSM
Masyarakat
Camat P. Rotan
Kades
tetapi masih ada sebagian kecil dalam kelompok yang terbatas kemampuannya
dalam memahami aturan-aturan yang telah disepakati dalam institusi adat
sehingga melanggarnya. Totalitas perubahan kesadaran ini merupakan hasil dari
proses interaksi dengan pihak luar yang memakan waktu cukup lama.
Distan BKSDA
Dishut DPRD
Prop.
Camat
Masyarakat Disos
Kades
P. Rotan
Komunikasi hanya dilakukan dengan kepala Desa Pumbeve dan Kepala Dusun,
berkaitan dengan program yang akan digulirkan di komunitas ini.
sumberdaya hutan tidak terdapat kawasan open acces karena semua kawasan
hutan di Indonesia adalah dikuasai oleh negara atau state property. Dari 52
informan yang dicoba dieksplorasi informasinya terdapat 3 responden atau sebesar
5,76 % yang memiliki hak milik secaraa de jure. Selebihnya kepemilikan de
fakto sebesar 94,24 % atau sebanyak 48 responden. Hak de fakto tersebut
diwarisi dari leluhur/tetua yang menurun secara terstruktur dari generasi ke
generasi berikutnya.
Kepemilikan yang ada bagi masyarakat lokal di dalam kawasan
TAHURA, karena pengakuan adat, hubungan sosial dan kekerabatan yang terjalin
di masyarakat secara harmonis. Kontrak sosial yang ada di antara sesama warga
masyarakat hanya karena dilatari komitmen moral dan mempercayai serta
meyakini amanah atau pesan-pesan yang ditinggalkan generaasi sebelumnya atau
orang tua bersangkutan. Dengan kondisi terkini saat ini yang menjadi polemik
bahkan konflik adalah penetapan hak terhadap masyarakat lokal yang belum ada
ketegasan pemerintah atau dengan perkataan lain bahwa pihak pemerintah hanya
mengakui hak sesorang jika dibuktikan dengan legal fomal berupa izin, sertifikat
dan sejenisnya, dan ini banyak terjadi di dalam kawasan hutan oleh pemerintah
menetapkan kebijakan tanpa memperdulikan masyarakat yang ada di dalamnya.
Sementara pemilikan yang ada di masyarakat khususnya di luar Jawa dan Madura,
kebanyakan hak kepemilikan ditetapkan berdasarkan hubungan-hubungan sosial
dan adat atau konvensi. Dalam berbagai fenomena yang ada, dan tragedi berdarah
karena perebutan hak, Kartodihardjo (2005) menyatakan bahwa penetapan hak
secara tepat adalah keselarasan antara hak dan kewenangan lembaga lokal
(misalnya : institusi adat), serta hak dan kewenangan pemerintah. Selanjutnya
dipertegas lagi, jika hal ini tidak dilakukan maka masyarakat akan menetapkan
keputusan-keputusan yang diambil di luar hukum yang berlaku, dan akan
membuat kebijakan pengelolaan sumberdaya alam sangat sulit bahkan tidak
mungkin dijalankan.
Kemandegan TAHURA SULTENG merupakan implikasi ketidak
selarasan dalam menetapkan kawasan tersebut, masyarakat dipandang sebagai
komponen yang tidak penting dan tidak memahami sesuatu, bahkan diasumsikan
masyarakat mudah dipindahkan, jika tidak mau akan memanfaatkan semua
106
PHH Kades
Militer
Pdlg Emas
Pekayu/
Perotan K. adat
Klaim
Pemerintah
Petani
PEMDA/ Sumberdaya
DISHUT TAHURA
SULTENG LSM
CPM
konflik Donatur
Legenda :
: Relasi bisnis (antar stakeholder dan atau donatur).
: Interaksi kapital mutualistis.
: Akses Institusi Adat atas komunitasnya terhadap sumberdaya alam.
: Aliran akses atas sumberdaya
: Pemicu & mediasi.
: Klaim kawasan oleh pemerintah.
Gambar 18. Peta akses stakeholders dalam pengelolaan TAHURA SULTENG
beberapa penggarap (tenaga kerja) bukan pemilik lahan. Pemilik lahan adalah
pemodal (beberapa pejabat di daerah) yang mempekerjakan sekelompok
masyarakat sebagai tenaga kerja harian. Beberapa kasus tersebut ditemukan pada
petani bawang di Bunti Pobau. Pemanfaat akses selain masyarakat lokal Kaili
adalah militer dan atau pihak yang memiliki kekuasaan dan teknologi untuk
dijadikan kekuatan mendapatkan akses sumberdaya melalui hubungan-hubungan
dengan stakeholder yang mengakses langsung. Proses-proses tersebut berjalan
secara normal tanpa menimbulkan ekses-ekses negatif.
Kebijakan pemerintah melalui KepMenHut No. 461/Kpts-II/1995, maka
ditetapkan kawasan Cagar Alam Poboya, Hutan Lindung Paneki dan PPN 30
menjadi TAHURA, klaim-pun terjadi pada tahun 1997 dengan membatasi akses
masyarakat lokal Kaili melakukan aktivitas usahatani dan kegiatan ekonomi
lainnya di dalam kawasan yang telah dipatok (di tata batas sementara). Kemudian
penetapan tata batas permanen dilakukan tahun 1999 dengan mengganti tapal
batas yang terbuat dari kayu dengan tapal batas yang terbuat dari semen bertulang
besi. Dari proses penataan batas tahun 1997, maka tahun 1998 pengusiran dan
pemindahan terhadap masyarakat lokal Kaili yang berada dalam kawasan ke
wilayah lain juga dilakukan seperti komunitas masyarakat Vatutela, Poboya,
Tompu dan Raranggonau, namun masyarakat tetap bertahan dan melakukan
perlawanan12. Hal ini terjadi karena pemerintah tidak mengakui kepemilikan de
fakto (praktek kepemilikan adat), dan masyarakat tidak dapat menunjukkan
kepemilikan formal yang berdasarkan hukum atau peraturan yang dianggap sah
oleh negara (Affif, 2002). Ketidakpedulian negara atas pemilikan de fakto
berdampak pada situasi yang tidak kondusif yaitu keadaan menjadi krusial,
perlawanan laten di masyarakat terhadap birokrasi pemerintahan telah tercipta
dan menjadi borok yang disembunyikan. Perlawanan laten tersebut terakumulasi
beriring dengan proses waktu, terekpresikan secara reflektif tatkala pemerintah
memberikan izin pengelolaan tambang emas di Cagar Alam Poboya kepada PT.
Citra Palu Mineral dan melakukann eksplorasi Tahun 1994-1995, dilanjutkan
tahun 1997-200213. Dalam proses eksplorasi ini konflik horisontal dan vertikal
terjadi. Konflik horisontal adalah kelompok yang berpihak pada swasta dengan
12
Hasil wawancara ”Muslima” (67 th), tokoh masyarakat Vatutela, 17 Juli 2006.
13
”Sarjun (43 th)” warga Poboya yang menjadi tenaga eksploratif tambang tahun 1997-1998. Pada
eksplorasi ditemukan 22 titik bor yang siap dieksploitasi oleh PT. Citra Palu Minerals (anak
perusahaan Rio Tinto Group). Wawancara 27 Juli 2006.
111
Mekanisme akses
Stakeholders Pengguna akses Kendali akses Memelihara akses
(Gain) (Control acces) (Maintain akses)
Dinas Kehutanan 9 9
PT. Citra Palu 9
Minerals
Petani (subsisten) 9 9
Perotan 9 9
Pendulang emas 9
Pengumpul batu kali 9
LSM 9
Traeler 9
Institusi adat 9 9 9
Sumber : Ribot dan Peluso (2003).
14
”Ali Djaludin M (57 th), sengketa pemanfaatan lahan untuk pembibitan tanaman Jarak dari
PemDa Kota Palu dengan masyarakat petani bawang di Bunti Pobau Poboya, wawancara 7
Agustus 2006.
113
memperhatikan hak-hak alam seperti rotan yang berada di sekitar hulu sungai
tidak boleh diambil atau ditebang15.
15
Sanatanji (58 th), tokoh masyarakat di Uentumbu : Syarat-syarat rotan yang layak diambil.
Jenis rotan yang diambil adalah jenis batang yang ukurannya berdiameter 4-7 cm dengan
panjang antara 10-20 meter setiap batangnya.
114
yang lahir/dibentuk oleh masyarakat itu sendiri, bukan atas bentukan desa dengan
LKMD-nya (Fay dkk, 2000). Kehidupan komunitas masyarakat kini tidak
sepenuhnya otonom dan terlepas dari proses pengintegrasian ke dalam kesatuan
organisasi kehidupan negara, bangsa yang lebih besar dan berformat nasional
(Wignyosoebroto, 1999a dalam Fay dkk, 2000), sehingga rumusan-rumusan
mengenai masyarakat adat yang dibuat pada masa sebelum kemerdekaan
cenderung kaku dalam kondisi masyarakat adat yang statis tanpa tekanan
perubahan. Sementara rumusan masyarakat adat yang dibuat setelah kemerdekaan
lebih bersifat dinamis melihat kenyataan masyarakat adat saat ini dalam tekanan
perubahan. Beberapa ciri pokok masyarakat hukum adat merupakan suatu
kelompok manusia, mempunyai kekayaan tersendiri terlepas dari kekayaan
perorangan mempunyai batas wilayah tertentu, dan mempunyai kewenangan
tertentu (Maria Sumardjono, 2005). Selanjutnya dijelaskan, hak ulayat
menunjukkan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat (subyek hak) dan
tanah/wilayah tertentu (obyek hak), dan adanya kewenangan masyarakat hukum
adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang berhubungan dengan tanah
dan sumberdaya alam (hutan), dan perbuatan-perbuatan hukum. Hak-hak menurut
Fay dkk (2004) berisi wewenang untuk : (a) mengatur dan menyelenggarakan
penggunaan tanah (untuk pemukiman, bercocok tanam, dll), persediaan
(pembuatan pemukiman/perladangan baru) dan pemeliharaan tanah, (b) mengatur
dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah (memberikan hak
tertentu pada subyek tertentu), dan (c) mengatur dan menetapkan hubungan
hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan
dengan tanah (jual beli, warisan dll). Wewenang hak ulayat tersebut menyatarakn
bahwa hubungan antar masyarakat hukum adat dan tanah/wilayahnya adalah
hubungan menguasai, bukan hubungan milik sebagaimana halnya dalam konsep
hubungan antar negara dan tanah menurut pasal 33 ayat (3) UUD 1945 (Maria
Sumardjono, 2005).
Akses yang didapatkan dalam bentuk penerimaan secara langsung
maupun tidak langsung merupakan sebagian dari konsekwensi adanya
kemampuan yang dimiliki pada masing-masing stakeholders selain hak yang
dimiliki, seperti kelompok pengambil/pemungut rotan. Besar-kecilnya akses
kelompok ini sangat bergantung pada pemegang hak legal (pemilik izin)
pengelolaan sumberdaya hutan baik kayu maupun non kayu. Manfaat yang
117
diterima secara langsung (revenues) oleh stakeholder dari akses sumberdaya alam
di TAHURA disajikan dalam Tabel 21 berikut :
Tabel 21. Pendapatan rata-rata warga masyarakat lokal (adat) per bulan di
lokasi penelitian.
mengendalikan akses (pemegang hak kelola), dan siapa yang menerima manfaat
atau pengguna serta pemelihara akses sumberdaya TAHURA.
16
Wawancara dengan Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sulawewsi Tengah ”Ir. Haerul Anantha”
bahwa kewewenang pengelolaan oleh pemerintah pusat, dan penetapan tata batas dilakukan
secara sepihak oleh pemerintah tanpa melibatkan pihak lain termasuk masyarakat setempat.
120
Tabel 23. Perbandingan antar Stakeholder dari Aspek Hak, Tanggung Jawab dan
Manfaat (Penerimaan).
17
Wawancara dengan Ali Djaludin M (57 th) tokoh masyarakat lokal Kaili (adat), profesi sebagai
petani bawang ; pemerintah kota Palu mengusir petani dari lahan usahataninya dengan dasar
bahwa tanah yang digunakan sekarang adalah tanah negara, masyarakat tidak berhak untuk
beraktivitas di lahan tersebut karena lokasi ini akan digunakan untuk tanaman jarak, kecuali
“bapak mau ikut program ini’; pertengkaran 5 Agustus 2006, ”Ali Djalaludin M dipanggil ke
Kantor Camat Palu Timur, memberikan keterangan mengenai status tanah/lahan garapan
petani di Bunti Pobau Kelurahan Poboya yang dijadikan lokasi penanaman bawang
masyarakat petani saat ini.
122
dengan baik jika didukung oleh hubungan komunikasi dan jaringan kerja yang
harmonis (networking) antar stakeholder. Bagaimana hubungan antar stakeholder
di TAHURA SULTENG dapat dilihat dalam Tabel 24 berikut.
Kades/Kadus/Ketua RT
Penambang Batu Kali
Penambang Emas
Pedagang Rotan
Kelompok rotan
DPRD Propinsi
Stakeholder
Petani Bawang
Dispertamen
Babinsa
LSM
PPL
Petani subsisten B B B B K - - - B B B - -
Penambang emas /// B B - K - Br - B B B K -
Penambang batu /// - - - - Br - B B B K -
kali
Petani bawang /// B K - - - B - S
Kelompok rotan /// K - - B K B B - -
Dinas Kehutanan /// B B K K K B B B
Pimp.DPRD // S - - S - B -
PT. Citra Palu ///// - Br Br S B -
Minerals
Pedagang Rotan // B B B - -
LSM ///// B - K K
Kades/Kadus/ RT ///// B Br S
Babinsa // B B
Distamen //// -
PPL //
Keterangan :
Kualitas relasi : Baik (B), Sedang (S), Kurang (K), Buruk (Br), Ttidak ada interaksi (-).
Baik (B) : Ada interaksi personal/institusi, sinergis berkelanjutan min 3 kali kontak/3 bln.
Sedang (S) : Ada interaksi, sinergis, tidak berkelanjutan, maksimal 3 kali kontak/3 bln.
Kurang (K) : Ada interaksi, kurang sinergis, berpolemik, sekali kontak, tidak berkelanjutan.
Buruk (Br) : Ada interaksi, tidak sinergis, konfliktual.
(-) : Tidak ada interaksi sama sekali
Tabel 25. Perlindungan Negara terhadap Masyarakat Lokal (adat) atas Pengelolaan
Sumberdaya Alam.
peningkatan
pengetahuan,
keterampilan, rehabilitasi
lahan, produktivitas, dan
kegiatan lain untuk
peningkatan
kesejahteraan masyarakat
(psl 57).
Peraturan ¾ Masyarakat berhak ¾ Tidak memperoleh Tidak tercantum
Pemerintah Nomor mendapatkan penyuluhan, akses pemanfaatan aspek pemanfaatan
62 Tahun 1998, pengelolaan hasil hutan sumberdaya alam. sumberdaya alam
tentang penyerahan non kayu, perburuan ¾ Mekanisme dalam pengelolaan
sebagian urusan tradisional, dan pelatihan pengelolaan hutan TAHURA oleh
pemerintahan di keterampilan (pasal 5 ayat lindung, cagar alam masyarakat dari isi
bidang kehutanan j). dan area pemanfaatan 8 bab, 20 pasal.
kepada daerah termasuk posisi
masyarakat tidak
jelas.
KepMenHut No. ¾ Penetapan tata batas, status ¾ Tidak mengatur akses Tidak mengatur
461/Kpts-II/1995 dan luas TAHURA 8.100 masyarakat dalam mekanisme
tentang perubahan ha. pengelolaan pengelolaan akses
fungsi cagar alam TAHURA. pengelolaan sda dan
poboya seluas merupakan legalitas
1.000 ha, hutan hukum sebagai
lindung paneki pengukuhan
7.000 ha, lokasi TAHURA.
PPN XXX seluas
100 ha menjadi
TAHURA PALU.
KepMenHut No. ¾ Menetapkan Kelompok ¾ Tidak mengatur Tidak mengatur
24/Kpts-II/1999 Hutan TAHURA seluas pengelolaan akses mekanisme
tentang penetapan 7.128 ha dengan nama sumberdaya alam oleh pengelolaan.
kelompok hutan TAHURA SULTENG. masyarakat lokal Kaili
TAHURA seluas ¾ Menetapkan tata batas tetap dalam TAHURA.
7.128 ha, terletak dengan Berita Acara Tata
di Kec. Palu Batas (BATB) tanggal 13
Selatan, Palu Juni 1997.
Timur dan Sigi-
Biromaru Kab.
Donggala, bernama
TAHURA
SULTENG.
Undang-Undang ¾ Hutan hak (hutan adat). ¾ Religi dan budaya. ¾ Pengukuhan kws
Nomor 41 Tahun ¾ Masyarakat hukum adat ¾ Pembentukan wilayah hutan harus
1999, tentang ¾ Mendapatkan izin pengelolaan dan unit memperhatikan
Kehutanan. pemungutan hasil hutan kelola yang situasional RTRWP (pasal 15
non kayu. (sosial budaya, ayat 2).
¾ Memungut hasil hutan ekonomi, institusi ¾ Pemanfaatan
untuk kebutuhan sehari- masyarakat (masy. hutan lindung
hari. lokal/adat). dilaksanakan
¾ Melakukan pengelolaan ¾ Manfaat optimal untuk melalui pemberian
hutan berdasarkan hukum kesejahteraan izin usaha
adat, tidak bertentangan masyarakat. pemanfaatan
129
18
SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan), hasil hutan yang berasal dari hutan negara , SATS
(Surat Angkutan Tumbuhan dan Satwa), untuk tumbuhan dan satwa liar, dan SKAU (Surat
Keterangan Asal Usul), untuk hasil hutan yang berasal dari hutan hak.
130
19
Tata hutan adalah suatu kegiatan untuk mengorganisasikan areal kerja KPH sesuai dengan
karakteristik KPH dan hak-hak masyarakat sehingga perencanaan dan kegiatan pengelolaan KPH
dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien (penjelasan psl. 11 ayat 1).
131
Nasional, Taman Hutan Raya (TAHURA), dan Taman Wisata Alam, memperkuat
keyakinan bahwa manusia juga merupakan ekosistem di dalamnya. Dengan demikian
maka peran serta rakyat (masyarakat) dalam pengelolaan kawasan pelestarian,
konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya adalah bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan masyarakat dalam kawasan hutan. Peran-peran masyarakat
tersebut diarahkan dan digerakan pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya
guna dan berhasil guna. Dalam hal ini pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan
kesadaran masyarakat melalui pendidikan dan penyuluhan dalam mengembangkan
peranserta tersebut. Undang-undang merupakan kerangka normatif yang dijadikan
acuan bagi pengelola, dan elemen yang terkait termasuk masyarakat.
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 merupakan aturan pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Peraturan Pemerintah (PP) tersebut
memaklumatkan kepada pengelola (pemerintah) bahwa penyusunan rencana
pengelolaan kawasan TAHURA (Cagar Alam, Hutan Lindung, Wisata Alam)
berdasarkan kajian aspek ekologis, teknis, ekonomis, sosial budaya dan politik.
Aspek-aspek tersebut merupakan dasar yang menjadi pertimbangan untuk
memberikan ruang dan peluang bagi masyarakat untuk dapat berperan aktif dalam
pengelolaannya. Keterlibatan masyarakat sangat penting dan prioritas harus
diberikan khususnya bagi daerah-daerah yang kawasan hutannya telah dikelola secara
efisien oleh masyarakat. Hal ini mungkin dapat memperkecil biaya transaksi seperti
memberikan penguatan dan hak-hak masyarakat adat (Fay dkk, 2006). Hal tersebut
sejalan dengan bunyi pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 bahwa
penetapan daerah-daerah penyangga tetap menghormati hak-hak dari pemegang
hak. Untuk membina fungsi daerah penyangga pemerintah diwajibkan melakukan
peningkatan pemahaman masyarakat terhadap konservasi sumberdaya alam hayati
dan ekosistemnya, peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat,
peningkatan rehabilitasi lahan, peningkatan produktivitas dan kegiatan lainnya untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Konsep tersebut sangat memadai untuk
dijadikan pegangan bagi komunitas masyarakat di dalam kawasan hutan, namun
masih panjang prosedural untuk mencapainya.
135
akan bebas dari pemukiman masyarakat. Informasi tersebut sangat ironis jika
memaknai pengertian ekosistem, bahwa pemukiman masyarakat dalam kawasan
merupakan bagian dari ekosistem kawasan, telah menyatu dengan alam sekitar dan
hidup dari generasi ke generasi berikutnya. Dalam pelaksanaan di lapangan sangat
berbeda dengan yang dianjurkan dalam keputusan ini. Pasal 14 berbunyi, standar
panitia tata batas sebagai kawasan hutan adalah pejabat instansi pemerintah
daerah, pejabat instansi kehutanan yang menangani pengukuhan kawasan hutan di
daerah, kepala desa, tokoh/ketua masyarakat adat setempat. Tokoh masyarakat
adat20, dan beberapa pejabat instansi pemerintah21, yang berkaitan dengan penatapan
TAHURA SULTENG menunjukan tidak dilibatkannya komponen lokal (institusi
adat, tokoh masyarakat dari masing-masing-masing komunitas).
Produk kebijakan yang ada saat ini cukup memadai untuk mengeliminir
kesenjangan yang terjadi dari dampak penataan batas, jika respons pemerintah daerah
cerdas mengapresiasinya, namun beberapa peraturan masih juga terdapat kelemahan
antar peraturan yang satu dengan lainnya. Peraturan operasional seyogyanya tidak
membingungkan masyarakat, dimana peraturan perundangan merupakan acuan dalam
kehidupan bermasyarakat termasuk mengelola sumberdaya alam untuk kesejahteraan
dan penghidupan yang layak. Kenyataan menunjukkan tidak sedikit peraturan yang
menimbulkan kontraversi di kalangan masyarakat dan stakeholder (Kartodihardjo,
2006). Kartodihardjo memberikan contoh empirik mengenai perubahan-perubahan
peraturan yang kontradiktif, seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
20
Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat adat : Randa Wali (tokoh adat Tana Lando), Pasiringgi
(tokoh adat masyarakat Tompu), Sanatandji (tokoh adat masyarakat Uentumbu), Ali Djaludin M
(tokoh adat masyarakat Bunti Pobau & DAS Pondo), Muslima (tokoh adat masyarakat Vatutela) dan
Hi. Djadja (tokoh adat masyarakat Vintu), mereka tidak pernah dilibatkan dalam proses penataan
batas hingga pengambilan keputusan penetapan kawasan hutan TAHURA SULTENG.
21
Hasil wawancara dengan para top pimpinan : Said Awad (Kepala BAPEDALDA Propinsi Sulawesi
Tengah, Istanto (Kepala BKSDA), Trimuljono Admomartono (Kepala BP-DAS), dan Hedar
Laudjeng (Ketua LSM Perkumpulan Bantaya), memperkuat keyakinan bahwa pelaksanaan tata batas
dilakukan sepihak, tanpa negosiasi dengan aktor di dalamnya. Bahkan dalam wawancara dua orang
pimpinan instansi pemerintah menyarankan untuk dilakukan rekonstruksi kempali tata batas
TAHURA SULTENG yang telah ditetapkan definitif saaat ini. Pertimbangannya, jika masyarakat
bukan pelaku dan masuk dalam organik pengelolaan, program tersebut tidak akan jalan, stagnasi,
dan kawasan tersebut akan terancam tereksploitasi tanpa terkendali.
140
(Perpu) No. 1 Tahun 2004 tentang perubahan Undang-Undang No. 41/1999 tentang
Kehutanan22.
Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001 merupakan salah satu
peraturan teknis pelaksanaan dari UU No. 41/1999 yang dapat memberikan peluang
yang luas bagi masyarakat, dan dapat mengakomodir kepentingan banyak pihak.
Penyelenggaraan hutan kemasyarakatan bertujuan untuk memberdayakan masyarakat
khususnya yang berdomisili dalam kawasan hutan. Ruang lingkup penelenggaraan
hutan kemasyarakatan meliputi pengaturan tugas dan fungsi serta tanggung jawab
pemerintah daerah dan masyarakat dalam aspek-aspek wilayah pengelolaan,
penyiapan masyarakat, perizinan pengelolaan dan pengendalian (pasal 4). Hal ini
sekali lagi dinyatakan bahwa antar pemerintah daerah dengan masyarakat belum
dapat melakukan negosiasi, dimana paradigma pemerintah daerah saat ini kekuatan
dan keabsahan dari TAHURA SULTENG adalah legalitas formal dan administratif,
dan jika terdapat kelompok masyarakat yang memprotes dan atau menolak berarti
melawan pemerintah. Sementara paradigma yang dianut masyarakat berbeda, yaitu
raakyat juga merupakan bagian dalam menentukan keputusan, apalagi kawasan
tersebut adalah juga hak de fakto yang telah lama dikuasai sebelum ditetapkan
menjadi TAHURA SULTENG. Perbedaan paradigma tersebut merupakan salah satu
faktor penghambat bagi keduanya untuk bersepakat (pemerintah ego dengan
kekuasaannya vs masyarakat berpandangan kebenaran ada di pihak mereka).
Dampak yang diterima oleh pemerintah daerah dalam proses penetapan tersebut
adalah menurunnya kepercayaan masyarakat atas pengelolaan TAHURA SULTENG.
Rendahnya ketidakpercayaan masyarakat kepada birokrasi pemerintah, dengan tidak
melaksanakan beberapa amanah dari isi peraturan seperti penentuan rencana lokasi
dan luas areal kerja jangka waktu pengelolaan, dilakukan secara partisipatif oleh
pemerintah kabupaten/kota bersama masyarakat setempat dengan memperhatikan
kemampuan kelompok, potensi lahan, hutan dan pertimbangan teknis dari instansi
22
Lihat Kartodihardjo, H. (2006 ; 77 - 99), kronologis perubahan undang-undang no. 41/1999 tentang
Kehutanan dan perundangan lainnya, menunjukkan kelemahan pemerintah dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan pengelolaan sumberdaya alam, dalam Politik Lingkungan dan Kekuasaan di
Indonesia.
141
kehutanan di daerah (pasal 12 ayat 3). Daerah dalam pengelolaan TAHURA belum
merupakan bagian yang strategis dan prioritas dalam pengembangan program, apalagi
kebiasaan yang telah bertahun-tahun dengan pengelolaan yang sifatnya sektoralis,
sementara TAHURA pengelolaannya holistis. Untuk merubah kebiasaan ini
membutuhkan proses yang melembaga dengan keinginan dan kemampuan
profesional yang memadai dari pemimpinnya. Tidak berjalannya governance
resources karena ketidakmampuan pengelola dalam mengkolaborasikan beragan
kepentingan di dalamnya. Hal ini dibenturkan lagi dengan KepMenHut No. 107/Kpts-
II/2003 tentang penyelenggaraan tugas pembantuan pengelolaan TAHURA oleh
Gubernur dan Bupati/walikota bahwa hak pemerintah pusat terhadap pengelolaan
TAHURA masih dominan, dan daerah hanya merupakan perpanjangan tangan
pemerintah pusat. Tugas pembantuan tersebut secara teknis dikoordinasikan kepada
BKSDA sebagai pelaksana program pusat di daerah (pasal 2 ayat 2). Kondisi ini
sangat sulit untuk dapat berkomunikasi dengan baik di tataran implementasi
khususnya dalam aspek koordinasi. Secara hirarki birokrasi, BKSDA dalam struktur
pemerintahan termasuk dalam eselon III, sementara Dinas Kehutanan eselon II.
Situasi ini masing-masing instansi dalam institusi pemerintah sendiri masih
menunjukan ego sektoral dan strukturalnya, bukan berpegang pada prinsip fungsional
terhadap sesuatu program yang merupakan tanggung jawabnya. Data faktual
menunjukkan kelemahan kapasitas kelembagaan pemerintah yang diwakili Dinas
Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah. Indikator lain yang dapat ditunjukkan bahwa
Peraturan Pemerintah No. 62/1998 mengamanatkan pengelolaan di bidang kehutanan
khususnya TAHURA SULTENG adalah wewenang pemerintah daerah tingkat II
(baca pasal 5 dan 6). Sesuatu yang ironis ditemukan di lapangan bahwa pengelolaan
TAHURA tidak dapat berjalan (oleh Pemda Kabupaten dan kota), karena kendala
utama adalah belum adanya pelimpahan wewenang dan atau wewenang berada pada
Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah23
23
”Ir. Zainal Arifin H. Tongko, SH, MS”, Kepala Dinas Kehutanan Kota Palu Sulawesi Tengah. Dinas
Kehutanan Kota Palu menunggu kewenangan pengelolaan di Propinsi sekaligus kebijakan
pengelolaannya. Belum ada tindaklanjut dari Propinsi mengenai SK Menteri No. 24/Kpts-II/1999 kepada
142
daerah tingkat II sehingga dinas teknis belum bisa ”sembarang masuk”, wawancara tanggal 3 Agustus
2006 di ruang kerjanya di Palu.
143
24
Hasil Wawancara Pth. Kadis Kehutanan “Ir. Haerul Anantha” dan Ir.Jein, Kepala Sub Bidang
Konservasi dan Pelestarian Hutan Alam (KPHA) Propinsi Sulawesi Tengah, Maret 2006.
144
gilirannya hutan TAHURA akan terjaga dari gangguan baik dari dalam sendiri
maupun dari luar25.
Secara operasional petunjuk termasuk mekanisme pengelolaan TAHURA,
sampai penelitian ini selesai dilaksanakan belum ditemukan peraturan maupun
kebijakan lain yang menjelaskan mekanisme dan peran masing-masing stakeholder.
Peraturan daerah yang menjadi acuan bagi pengelola belum dibuat, dan kini terjadi
stagnasi dalam pengelolaannya. Daerah dalam hal ini nampaknya masih bingung dan
enggan berbuat banyak, yang seharusnya memiliki apresiasi yang tinggi untuk
merespon kebijakan pelimpahan wewenang pengelolaan berdasarkan PP No.
62/1998. Pasal 3 dalam peraturan pemerintah tersebut menjelaskan, proporsi daerah
dalam pengelolaan TAHURA meliputi kegiatan pembangunan, pemeliharaan,
pemanfaatan dan pengembangannya. Lebih lanjut dijelaskan pada ayat berikutnya ;
perlu dilakukan iventarisasi hak-hak pihak ketiga yang berkaitan dengan trayek
batas. Hal ini belum pernah dilakukan khususnya tentang iventarisasi pada pihak
ketiga, sehingga sampai saat ini polemik TAHURA tak kunjung berakhir.
Undang-undang mengenai otonomi daerah (desentralisasi), yang menawarkan
sejumlah peluang bagi maasyarakat lokal untuk mendapatkan ruang aspirasi yang
lebih besar dalam penyusunan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam (hutan).
Pemerintah yang terdesentralisasi akan lebih dekat dengan masyarakat, karenanya
harus lebih tanggap terhadap tuntutan lokal dibandingkan skema pemerintahan yang
terpusat (Fay dkk, 2006). Selanjutnya, proses desentralisasi ternyata pemerintah
daerah yang tidak siap menghadapi reorganisasi skala besar, termasuk Sulawesi
Tengah dengan beberapa daerah tingkat II, mengindikasikan belum sepenuhnya
berkemampuan mengakses kebijakan tersebut dalam berbagai aspek pembangunan.
Dalam atmosfir perubahan yang begitu cepat, stakeholder yang memiliki
akses lebih baik kepada informasi pasar serta hubungan yang baik dengan calon
pembeli potensial, serta kepada pejabat-pejabat pemerintah, memiliki keuntungan
25
Komunikasi personal dengan Languha, A. (April 2006) di Palu. Konsep pengelolaan yang berdimensi
situasional perlu menjadi pertimbangan mendasar dalam perumusan kebijakan pengelolaan akses
susmberdaya TAHURA SULTENG ke depan, karena di dalam kawasan terdapat ratusan hektar kebun
ladang privat dan komunal dengan 529 KK (2.416 jiwa) yang menggantungkan kehidupannya dengan
sumberdaya alam di TAHURA.
146
3) Pada daerah tingkat II, Kabupaten Donggala dan Kota Palu perwujudan
peluang untuk menetapkan klaim atas sumberdaya TAHURA menciptakan
sejumlah tuntutan yang kuat untuk penyelesaian konflik, dan faktanya
pemerintah kabupaten dan kota tidak berkemampuan menyelesaikannya.
4) Pemerintah kabupaten dan kota berwewenang untuk menerbitkan perizinan
bagi eksploitasi sumberdaya hutan skala kecil sehingga mereka memperoleh
insentif untuk mempercepat eksploitasi guna meningkatkan pendapatan
daerahnya.
5) Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 1998 tidak disinggung ketentuan
mengenai peranserta masyarakat dan urusan pemerintahan daerah di bidang
kehutanan. Peranserta masyarakat adalah salah satu syarat terlaksananya
sistem pemerintahan yang baik dan demokratis. Apabila peranserta
masyarakat diabaikan, maka dikhawatirkan pembangunan yang dilaksanakan
tidak mencerminkan aspirasi masyarakat (terjadinya pembangunan yang
semu).
6) Kebijakan mengenai peranserta masyarakat dalam Peraturan Daerah No.
2/2004 tidak memberikan definisi yang jelas, dalam proses mana masyarakat
berperan, apakah hanya terbatas pada menyetujui hasil keputusan dari
pemerintah (seperti sekarang?) atau dilibatkan dari prakondisi penyusunan
kebijakan hingga pengambilan keputusan.!!!