Anda di halaman 1dari 90

BAB V.

HASIL DAN PEMBAHASAN.

5.1. Keadaan Sosial Budaya dan Ekonomi Masyarakat dalam/sekitar


Kawasan TAHURA SULTENG

5.1.1. Keadaan Penduduk

Jumlah penduduk kelurahan/desa yang termasuk dalam wilayah penelitian


disajikan dalam Tabel 7. Masyarakat dari kelurahan/desa di sekitar TAHURA
adalah komunitas asli (masyarakat lokal Kaili) yang memiliki akses cukup besar
terhadap integritas dan keberlanjutan TAHURA Sulawesi Tengah.

Tabel 7. Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah perkelurahan/desa di sekitar


Kawasan TAHURA Sulawesi Tengah.

No. Kecamatan/ Kelurahan/ Luas Jumlah Jumlah Kepadatan


Kabupaten/Kota Desa Wilayah KK Jiwa Penduduk
(km2) Per-km2
1. Palu Selatan/Palu ¾ Kavatuna 20,67 613 2.666 126
2 Palu Timur/Palu ¾ Poboya 63,41 601 1.287 20
¾ Tondo 55,16 2.588 10.097 183
¾ Layana 15,00 607 2.579 172
Indah
3. Sigi-Biromaru/ ¾ Pumbeve 44,80 553 1987 44
Donggala ¾ Ngata
Baru 224,32 284 2367 11
¾ Loru 57,68 496 1906 33

Jumlah 481,048 5.742 22.889


Sumber : BPS, Kecamatan Dalam Angka (2004) ; Bappeda (2003)

Dari jumlah penduduk dalam Tabel 7 di atas, yang termasuk dalam


kawasan TAHURA, menempati hulu Daerah Aliran Sungai (DAS), pegunungan
dan bukit berjumlah 529 kepala keluarga dengan 2.416 jiwa, tersebar pada tujuh
kawasan (dilihat Tabel 8). Jumlah pemukim dalam kawasan bila dibandingkan
dengan penduduk kelurahan dan desa yang termasuk dalam tiga wilayah
kecamatan, berkisar 9,21 % kepala keluarga atau 10,55 % jumlah jiwa. Angka
tersebut jika ditilik dari prosentasenya masih rendah, namun bila dibandingkan
dengan luasan TAHURA, dapat diprediksi akan mengalami proses degradasi
59

yang cepat manakala warga masyarakat yang memiliki akses di dalam kawasan
tidak diberikan ruang sebagai salah satu komponen yang berperan aktif dan
bertanggung jawab menjaga kelestarian kawasan itu.

Tabel 8. Jumlah penduduk dalam kawasan Taman Hutan Raya Sulawesi


Tengah.

Lokasi/ Jml Jml Aktivitas (Tanaman yang


No. Kawasan Pemukiman KK Jiwa diusahakan)

1. Dusun Kalinjo 47 230 Kebun coklat, merotan,


Tompu Kambilo 36 200 berladang, Berburu, padi ladang,
menjual kayu bakar, kopi,
mangga, durian,
2. Paneki Raranggonau 40 167 Merotan, berladang, kebun coklat,
kayu bakar.
3. Hulu DAS Uentumbu/ 86 357 Berladang, beternak kambing &
Kavatuna Valiri sapi, merotan, kayu bakar,
bambu.
4. Bukit Bunti Pobau 76 228 Usahatani bawang, jagung,
Poboya kacang tanah, dan tanaman
(PPN pelindung.
25-29)
5. Hulu Das RT.6 28 143 Pendulang emas, berkebun coklat,
Pondo RT.7 25 129 mangga, durian, kelapa, bawang.
RT.8 37 198
6. Vatutela Vatutela 80 317 Kebun cengkeh, kopi, berladang
7. Bulu Vintu (RT. 33 198 Kebun ubi, kopi, cengkeh, kayu
Bionga 19) bakar, kemiri, kelapa, sukun,
jagung,
Paranjese 41 249 Padi ladang, mangga, asam,
(RT.18) cabe, Pisang, dll.
Jumlah 529 2.416
Sumber : Data Kelurahan (RT) dan Dusun /Desa (2006)

Penduduk masyarakat lokal Kaili di dalam kawasan, tertera pada Tabel 8


di atas, menunjukkan keberadaan pemukiman dalam kawasan saat ini adalah
penduduk yang telah ada sebelumya. Mereka telah beranak pinang beratus tahun
secara turun-temurun. Pemukiman yang dihuni saat ini dulunya adalah desa-desa
tua yang kini telah menjadi dusun dan lingkungan dari kelurahan. Hal ini terjadi
pergeseran karena perubahan dan perkembangan kota Palu dengan pertumbuhan
penduduk 5 tahun terakhir rata-rata 3,15 % pertahun atau dari 269.083 jiwa tahun
2000 menjadi 304.674 jiwa tahun 2005. Pertambahan penduduk kota dalam
60

kurung waktu tertentu akan mempengaruhi situasi wilayah TAHURA yang hanya
berjarak 4-11 km dari Kota Palu, terutama pada penguasaan lahan untuk
pemukiman dan lahan untuk usaha pertanian. Dengan perkembangan yang cukup
pesat ini yang di dalamnya juga kepentingan yang tidak mungkin dihindarkan,
maka kebijakan seharusnya dapat menerjemahkan secara benar makna ”untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang menjadi landasan Undang-Undang
Pokok Agraria (Maria Sumardjono, 2005).
Pertambahan penduduk dengan kebutuhan-kebutuhan dasar yang semakin
tinggi akan mempercepat proses perubahan sosial dan ekonomi masyarakat yang
berekses pada penguasaan sumberdaya alam. Perubahan ini juga tidak terlepas
dari intervensi pemerintah untuk merubah struktur kehidupan sosial masyarakat
yang tadinya sangat kental dengan pola kehidupan yang sepenuhnya bergantung
kepada sumberdaya alam, bagaimana dapat merubah pola kehidupan pada sektor-
sektor jasa. Peran ini sepenuhnya dilakoni pemerintah sebagai pemegang kendali
akses sumberdaya dan memiliki pawer dalam banyak hal. Pembangunan yang
dilakoni pemerintah sejak orde baru hingga sekarang masih menganut pola-pola
top down dan berorientasi pada kepentingan sesaat dan sepihak. Tidak sedikit
masyarakat yang menerima dampak dari perlakuan-perlakuan yang tidak
manusiawi. Kasus Dompu dan Taman Hutan Raya Marhum di Sulawesi
Tenggara perlu menjadi bahan perenungan bagi pengambil kebijakan, betapa
lemahnya keadilan atas rakyat yang juga bagian dari negeri ini (Noerdin &
Nainggolan dalam Suporahardjo, 2006)10.
Masyarakat lokal Kaili yang bermukim dalam kawasan ini juga dijuluki
sebagai masyarakat tradisional yang menganggap segala sesuatu dalam alam
saling berhubungan. Sudah merupakan sebuah kebudayaan untuk memperlakukan
alam dengan arif dan bijaksana untuk menghindari dampak buruk dari alam
(Marten, 2001). Dalam konteks inilah masyarakat lokal Kaili menganggap
kehadiran pihak luar di lingkungan mereka merupakan ancaman bagi kelestarian

10
Kelompok tani Cando Permai dan Mada Feli memiliki niat baik dan berkeinginan untuk
mengelola kawasan hutan yang telah rusak dan telah berhasil menjadi hutan kembali, justru
bukan mendapatkan penghargaan dari pemerintah Kabupaten Dompu, namun sebaliknya
”mereka ditangkap dan dijebloskan kepenjara dengan cara sewenang-wenang oleh Dinas
Kehutanan Kabupaten Dompu dan selanjutnya dituntut oleh Kejaksaan Negeri Dompu dan
dihukum penjara oleh Putusan Pengadilan Negeri Dompu antara 6 (enam) sampai 9
(sembilan) bulan penjara (Noerdin, W dan Nainggolan L, 2005; 23).
61

alam khususnya sumberdaya hutan. Pihak luar dipersepsikan sebagai pembawa


pembaharuan dan perubahan yang dapat menciptakan malapetaka bagi mereka
terutama kelompok-kelompok yang akan mengakses sumberdaya hutan berupa
penebangan pohon-pohon yang berdiameter besar. Jika mereka yang datang
hanya bermaksud mengambil hasil hutan berupa kayu tanpa ada rekomendasi dari
kepala desa kami halau dan kalau tidak mau pergi akan dilaporkan kepada
pemangku adat untuk diproses lanjut.
Persepsi masyarakat lokal Kaili tentang Taman Hutan Raya, diketahui
hanya terbatas pada singkatan TAHURA. Dari 52 responden di komunitas
masyarakat sekitar 17,31 % yang hanya mengetahui singkatan TAHURA, namun
fungsi dan kegunaan Taman Hutan Raya terhadap kelestarian hutan tidak
diketahui atau sekitar 82,69 % dari jumlah responden. Tabel 9 di bawah ini
menunjukkan persepsi masyarakat tentang Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah.

Tabel 9. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan Taman Hutan Raya Sulawesi


Tengah

Kelompok Umur Jumlah Responden Persepsi


Responden Tahu Tidak Tahu
27 - 30 6 2 4
31 - 35 9 1 (ragu-ragu) 8
36 - 40 13 2 11
41 - 50 13 3 10
> 51 12 1 11
Total 52 9 44

Informan selain masyarakat lokal Kaili, para pejabat yang memiliki


kepentingan dan keterkaitan dengan kawasan TAHURA juga sebagai sumber
informasi yang dapat djadikan petimbangan dalam analisis. Pemangku
kepentingan dimaksud disajikan dalam Tabel 10. Persepsi para
responden/informan yang juga bagian dalam penentuan keputusan pengelolaan
Taman Hutan Raya, berbeda satu sama lain. Hasil temuan dalam penelitian ini
menunjukkan bahwa instansi sektoral yang sesungguhnya pemegang kunci
(stakeholder kunci) justru tidak dapat memberikan penjelasan yang
menggambarkan pengelolaan TAHURA dalam konsteks kebijakan, dan belum
membagi peran masing-masing sektor secara teknis.
62

Hasil dari indepth interview (wawancara mendalam) dengan masyarakat


lokal Kaili dan instansi sektoral secara terpisah menunjukan perbedaan informasi
yang cukup signifikan. Masyarakat berpendapat bahwa pemerintah tidak
memperdulikan rakyatnya dalam beragam aspek termasuk dengan menjadikannya
wilayah ini sebagai TAHURA. Tidak sedikit lahan milik masyarakat yang
dieksploitasi, dan dimasukkan dalam areal TAHURA dengan tidak mengganti
rugi atau tanpa kompensasi.

Tabel 10. Perspektif pemangku kepentingan dan pejabat yang berkaitan dengan
keberlanjutan TAHURA.

Konsep pengelolaan
Peme Tidak Peme P.emeri
Informan/ Jabatan Instansi/ Institusi rintah jelas rintah ntah+
Responden + Masy +
Masy. Stakhld
Haerul Kepala Dinas Kehutanan 9
Anantha, Ir. Dinas Propinsi Sulteng
Trimuljono Balai Pengelolaan
Admomartono, Kepala Balai Daerah Aliran Sungai 9
Ir. (BP-DAS) Palu-Poso
Sulteng
Balai Konservasi
Istanto, M.Sc Kepala Balai Sumber Daya Alam 9
(BKSDA) VI Sulawesi
Badan Pengendalian
Said Awad, Kepala Dampak Lingkungan 9
MH, Drs. Badan Daerah Sulteng
Ardin Kasie Badan Perencanaan
T.Tayeb, MT, Perencanaan Pembangunan Daerah 9
SE dan Tata (BAPPEDA) Sulteng
Ruang
Wilayah.
Helmy D. Wakil Ketua DPRD Propinsi Sulteng 9
Yambas, SE
Hedar Ketua Lembaga Swadaya
Laudjeng, SH Masyarakat (LSM), 9
Perkumpulan Bantaya
Rusdi Mastura Walikota Pemerintrah Kota Palu. 9 9
Zainal Arifin Kepala Dinas Kehutanan Kota 9
H. Tongko, Dinas Palu.
MS. Ir.
Usman, SH. Kepala Biro Sekretariat Pemda 9 9
MH Hukum Sulteng
Harun Sekretaris LPPM Universitas 9
Lapasere, Drs. Tadulako

Dari hasil wawancara mendalam dengan para pimpinan instansi yang juga
merupakan elemen yang bertanggung jawab dalam proses penetapan dan
63

keberlanjutan Taman Hutan Raya, namun faktanya memperlihatkan berbagai


perspektif dan konsep yang berbeda dalam pengelolaan TAHURA. Dinas
Kehutanan misalnya memberikan pernyataan dan menjelaskan dengan lugas
bahwa pengelolaannya hanya dapat dilakukan pemerintah tanpa peran pihak lain
(kelola mono sektoral). Dalam perspektif ini menunjukkan ego sektoral dari
setiap instansi cukup tinggi, sementara pengelolaan yang ideal adalah
megkolaborasikan berbagai konsep yang dapat diterapkan sesuai dengan kondisi
tipikal wilayah bersangkutan dan melakukannya secara bersama dengan peran
fungsional masing-masing. Hal lain menunjukkan bahwa pengelolaan TAHURA
masih berpegang pada pengelolaan preservasi tanpa memperbolehkan aktivitas
lain sekitar dan dalam kawasan, sementara fakta menunjukkan terdapat ratusan
hektar lahan milik warga dan komunal serta ribuan jiwa penduduk penghuni
dengan aktivitas usahatani dan sejumlah kearifan yang dimiliki dalam mengelola
sumberdaya alam. Keadaan inilah yang menyebabkan salah satu timbulnya
proteksi masyarakat terhadap lahan-lahan yang de fakto-nya telah dimiliki secara
turun temurun, sementara pihak pemerintah daerah tidak memberikan kesempatan
bagi pemilik lahan melakukan akses dari pemilikan berbagai bukti berupa
tanaman keras dan sumberdaya lainnya.
Hal yang serupa namun berbeda versi adalah Biro Hukum Sekretariat
Daerah, menyatakan pengelolaan sepenuhnya dilakukan pemerintah, untuk
pelibatan masyarakat dalam memanfaatkan lokasi-lokasi yang telah ditetapkan
pemerintah menjadi TAHURA, perlu dilihat kembali aturannya. Berkaitan
dengan fungsi biro hukum yang bertanggung jawab terhadap penyusunan
peraturan daerah tentang TAHURA, namun sampai saat ini pemikiran untuk
melakukan upaya-upaya penguatan dari aspek hukum atas sumberdaya TAHURA
belum ada11. Kondisi ini menunjukkan betapa tidak pedulinya pihak-pihak yang
berkompeten terhadap sebuah kawasan yang merupakan sumber kehidupan bagi
sebagian masyarakat Kota Palu.

11
Usman Suhudin, SH,MH (Kepala Biro Hukum PemDa Sulteng) menyatakan “tidak tahu menahu
hal tentang TAHURA, silahkan ditanyakan kepada Dinas Kehutanan, saya mau rapat”. Dalam
perspektif Kepala Biro Hukum, TAHURA adalah sepenuhnya wewenang dinas teknis, termasuk
penyusunan peraturan yang berhubungan dengan kawasan dimaksud, dan biro hukum bertugas
untuk membuat keputusan-keputusan pemerintah yang berkaitan dengan sekretariat, dan
memfilekan keputusan-keputusan pemerintah dan peraturan perundang-undangan. Disini
nampak mekanisme dan koordinasi sangat lemah dan tidak berjalan.
64

Dalam perspektif masyarakat lokal Kaili pendidikan merupakan faktor


penting yang harus menjadi perhatian pemerintah, namun kenyataan di lapangan
menunjukkan ketidakpedulian kepada masyarakat lokal di dalam kawasan
TAHURA yang semakin termarginalkan dalam berbagai aspek. Sentuhan
pembangunan hanya diperuntukkan kepada wilayah-wilayah yang secara kasat
mata dan selalu dilalui oleh para pejabat daerah dan atau pejabat negara. Hal ini
dapat dibuktikan bahwa dilokasi penelitian menunjukkan persentase terbesar
adalah masyarakat yang hanya dapat menikmati jenjang pendidikan formal pada
Sekolah Menengah Pertama ke bawah. Keragaman masyarakat yang menempuh
jenjang pendidikan formal merupakan indikasi rendahnya kemampuan masyarakat
dari aspek ekonomi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari tujuh komunitas masyarakat
lokal yang mendiami kawasan ini masih dapat dikategorikan rata-rata
berpendidikan rendah. Jenjang pendidikan formal masyarakat lokal Kaili dari
tujuh komunitas yang tersebar dalam kawasan TAHURA berdasarkan sampel
penelitian, disajikan dalam Tabel 11 berikut :
Tabel 11. Jenjang Pendidikan Formal Informan dalam/sekitar TAHURA
SULTENG.

Desa/ Jumlah Jenjang Pendidikan (Orang)


Komunitas Kelurahan Kecamatan Informan
Tamat Tamat Tamat Tamat
SD/SR SMP SLTA PT
(1) (2) (3) (4) (5)
Vintu Layana Palu Timur
Indah 8 7 - 1 -
Vatutela Tondo Palu Timur 8 4 2 2 -
Bunti Pobau Poboya Palu Timur 9 2 4 3 -
Hulu DAS Poboya Palu Timur 7 - 1 6 -
Pondo
Uentumbu/ Kavatuna Palu 9 7 1 1 -
Hulu Das Selatan
Mamara
Tompu Ngata Baru Sigi 7 6 1 - -
Biromaru
Raranggo Pumbeve Sigi 4 3 1 - -
nau Biromaru
Jumlah 52 29 10 13 -

Dari jumlah tersebut di atas menggambarkan sumberdaya manusia


masyarakat lokal yang berdomisili di dalam kawasan TAHURA dapat
65

dikategorikan masih rendah atau perlu dilakukan peningkatan sumberdaya melalui


berbagai program pendidikan. Sumberdaya manusia dari masing-masing kawasan
sangat beragam, yang secara keseluruhan dapat diproporsikan yang menamatkan
pendidikan Sekolah Dasar sebesar 55,77 %, menamatkan Sekolah Menengah
Tingkat Pertama (SMP) sebesar 19,23 %, menamatkan Sekolah Lanjutan Tingkat
Atas (SLTA) sebesar 25,00 % dan menamatkan Pendidikan pada Perguruan
Tinggi negeri maupun swasta belum ditemukan dari tujuh (7) kawasan yang
menjadi lokasi penelitian. Hal ini menunjukkan kelemahan dan terbatasnya akses
masyarakat dalam memperoleh informasi termasuk mendapatkan kesempatan
menuntut ilmu di jalur pendidikan formal. Selain kesempatan mendapatkan akses
pengetahuan, juga dibatasi oleh rendahnya pendapatan petani pada umumnya
yang berada dalam dan sekitar kawasan TAHURA. Ketaatan masyarakat terhadap
kebijakan pemerintah mengenai adanya program yang menetapkan status kawasan
mereka menjadi kawasan pelestarian (preservasi), sesungguhnya cukup tinggi,
hanya saja pihak pengelola yang diberikan wewenang negara belum
mengkomunikasikannya dengan pihak yang berkepentingan termasuk masyarakat
lokal Kaili.
Pembangunan dalam era sebelumnya bahkan sampai sekarang belum
memperdulikan keberadaan masyarakat lokal khususnya yang berada dalam
kawasan TAHURA. Masyarakat lokal Vatutela misalnya, sebelum ada
pembangunan Universitas Tadulako, kebutuhan air belum mrenjadi masalah bagi
mereka. Setelah hadir Universitas Tadulako dengan bertambahnya pembangunan
BTN di kawasan Kelurahan Tondo, masyarakat Vatutela semakin terdesak dan
kebutuhan air juga semakin lama kian bermasalah. Sumber air DAS Vatutela
mulai dibendung dan dibuat bak penampung untuk dialirkan ke Kampus
Universitas Tadulako dan Perumahan Dosen, maka kekeringan sudah sering
melanda masyarakat di DAS Vatutela dan kini masalah utama bagi kehidupan
masyarakat Vatutela.
Akses masyarakat terhadap air DAS Vatutela hilang karena kekuasaan
dan terbatasnya kapital dalam mengakses air untuk didistribusikan kepada publik.
Karena air masih dianggap publik goods, pihak Universitas Tadulako dan
pemerintah daerah menganggapnya bukan sesuatu yang harus dipertimbangkan
66

dan dikaji, sesungguhnya siapa yang lebih memiliki akses untuk mendapatkan air
tersebut.
Pemukiman-pemukiman tersebut digambarkan pada peta penyebaran
pemukiman penduduk dan lahan kebun rakyat di dalam kawasan TAHURA
SULTENG sebagai berikut :

Vatutela

vintu
Bunti Pobau

DAS Pondo

Uentumbu

Tompu
Tompu

Kws. Raranggonau

Gambar 10. Peta Taman Hutan Raya (TAHURA) SULTENG

5.1.2. Keadaan Sosial Budaya.

Masyarakat pemukim tetap di dalam kawasan merupakan komunitas


masyarakat adat dari komunitas asli Kaili Ledo dan Kaili Tara. Beberapa hal
yang berkaitan dengan kebiasaan dalam memanfaatkan sumberdaya alam seperti
halnya mengelola sumber air yang dikenal dengan “Ada’ Pombagi Uve” yang
dilakukan oleh seorang Punggava yang ditunjuk Totua Nu Ada’ .
Untuk menanggulangi gangguan pada tanaman (hama dan penyakit)
dilakukan upacara adat yang dikenal dengan “Nompaura” (menolak bala’).
Selanjutnya, jika terjadi kekeringan sepanjang tahun masyarakat secara
67

keseluruhan atas pimpinan Totua nu ada’ melakukan upacara adat “Nora’a


Binangga” dengan memotong kambing di hulu sungai. Kegiatan ini diwajibkan
diikuti oleh masyarakat sekitar dan dalam kawasan yang berpandangan bahwa
interaksi alam dan kehidupan masyarakat yang terdapat di dalamnya tidak dapat
dipisahkan. Interaksi yang harmonis dengan alam telah berlangsung lama dari
generasi ke generasi. Kondisi seperti ini akan berpeluang besar dijadikan
kekuatan dalam melestarikan kawasan ini, namun yang menjadi pertimbangan
serius dan sebagai konsekwensi logis bahwa mereka dapat hidup dari sumberdaya
kawasan tanpa mengeksploitasi sumberdaya alam (kayu) dalam TAHURA.
Masyarakat lokal Kaili dalam melakukan interaksi sosial dengan pihak lain
dan atau antar sesamanya memberikan kesempatan kepada yang lebih tua dari
aspek umur. Dalam pergaulan sehari-hari telah terbiasa dengan kondisi yang
berlaku dalam struktur keluarga. Kebiasaan tersebut juga menjadi budaya yang
terpelihara dalam komunitas masyarakat ini. Jika terdapat individu yang tidak
mematuhi norma atau tatanan, akan terpinggirkan dan tidak mendapat
penghargaan di tengah masyarakat, dan dianggap tidak mempunyai etika adat,
dalam komunikasi bahasa Kaili Ledo disebut sebagai “le no’ada” atau Kaili Tara
menyebutnya “ta no ada”. Budaya ini memberikan gambaran bahwa
sesungguhnya masyarakat komunitas Kaili sangat terbuka dengan segala hal
karena indikator keterbukaan suatu masyarakat dapat dilihat dari keterbukaannya
menerima perubahan dalam berbagai hal.
Dalam melakukan aktivitas pertanian, secara tipologi dari tujuh komunitas
yang masuk di dalam kawasan TAHURA berbeda-beda berdasarkan kondisi
wilayah dan geografisnya. Masyarakat Raranggonau (Tanalando), dan Tompu
mendiami pegunungan di kawasan Timur dari Kota Palu dengan ketinggian 600-
1150 meter dari permukaan laut (mdpl). Komunitas Masyarakat Uentumbu
menghuni kawasan hulu DAS Kavatuna, komunitas masyarakat Vatutela
menghuni sekitar DAS Vatutela, dan komunitas masyarakat Vintu menghuni
kawasan bukit Bulu Bionga dan DAS Vintu.
Masyarakat Tanalando dan Tompu adalah kmunitas lokal Kaili berdialek
Ledo, masyarakat Uentumbu campuran dari dialek Kaili Ledo dan Kaili Tara ;
kawasan ini berbatasan antara kawasan Tompu dan Poboya. Uentumbu
68

merupakan pertemuan kedua wilayah ini, dan sebagian masyarakat Tompu


melakukan migrasi, dan demikian pula halnya masyarakat Poboya yang berdialek
Tara.
To ri Tompu atau komunitas masyarakat yang mendiami kawasan Tompu
(pegunungan Bulili) dengan ketinggian 700-1000 mdpl, sebagian besar
penduduknya memeluk agama Kristen dan lainnya agama Islam. Komunitas ini
adalah sub-Etnik Kaili Ledo sama dengan Raranggonau, dalam eksistensinya
memiliki sistem pengelolaan dengan claim wilayah/tanah adat, hutan adat dengan
azas kelola bersama untuk kepentingan bersama dan keberlanjutan bagi anak
cucu. Aktivitas keadatan yang dapat dilihat disaat menyusun perencanaan
pembukaan lahan dengan melakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Notava’a adalah kegiatan ritual yang dilakukan oleh pemangku adat yang
memahami dan mengenal dengan benar sistem dan pengetahuan bertani.
Kegiatan ini dilakukan beberapa orang pemangku adat yang dipimpin oleh
pemimpin petani yang disebut Sobo. Sobo adalah totua nu ada (ketua
pemangku adat) yang diangkat petani melalui musyawarah adat atau dalam
komunitas masyarakat petani adalah pemimpin petani. Sobo dibantu oleh
seorang wakil yang dikenal dengan sebutan Tuntu. Jika seorang petani ingin
membuka lahan maka ritual adat yang dapat ikut dalam kelompok upacara
tersebut adalah pemilik yang akan membuka lahan setelah dimusyawarahkan
di pertemuan pemuka adat. Bahan-bahan dalam acara ritual tersebut yang
harus disediakan oleh pemilik yang akan membuka lahan adalah sambulu
gana yang meliputi antara lain pinang muda, daun dan buah sirih, kapur
sirih satu genggam, gambir, daun taba, daun cocor bebek, dan sesajian
lainnya berupa makanan dari beras ketan putih, telur satu butir dan ayam
jantan putih satu ekor. Bahan-bahan tersebut disajikan di daun Kambuno dan
atau pisang mentah, dan diletakkan pada posisi tengah areal dimana rencana
akan dibuat kebun. Selanjutnya Sobo melaksanakan acara ritual dengan
diakhiri melepas ayam jantan putih tersebut di areal dimaksud. Proses untuk
menunggu apakah areal tersebut dapat dibuka untuk menjadi lahan kebun,
ditunggu selama tujuh hari terhitung mulai saat melakukan acara ritual tadi.
Informasi atau kontak spritual langsung dilakukan oleh Sobo, petani yang
69

akan membuka areal tersebut datang menanyakan kepada Sobo tentang


peluang boleh atau tidak diberikan membuka lahan di areal dimaksud. Jika
informasi yang disampaikan Sobo bahwa areal tersebut tidak boleh
diganggu, maka petani tadi mencari lokasi lain untuk dilakukan kembali
ritual yang namanya Tava’a.
2. Nantalu. Kegiatan yang dilakukan ketika membuka kebun dengan menebang
pohon-pohon, dengan syarat bahwa pohon yang besar di atas diameter 100
m tidak boleh ditebang. Untuk mengawali penebangan dilakukan oleh Sobo
sebagai prasyarat menandakan lokasi yang telah dilakukan ritualnya tadi
telah direstui untuk dijadikan kebun atau ladang. Sobo selain melakukan
penebangan awal sebagai pertanda lokasi tersebut dapat dijadikan ladang,
sekaligus melaksanakan tugasnya meminta kepada sang pencipta dan
penguasa alam untuk memberikan izin dan rejeki pada petani yang
bersangkutan agar ladang tersebut menghasilkan produksi yang optimal.
Dalam waktu yang bersamaan Sobo menentukan posisi sentral
(tengah/pusat) kebun yang disebut Pobanea dengan syarat tanah subur
(kaisia).
3. Nogane adalah rangkaian ritual dalam setiap akan melakukan aktivitas dan
atau akan mengolah lahan, demikian pula halnya akan menerima hasil
produksi. Aktivitas tersebut dilakukan jika akan memohon sesuatu kepada
sang pencipta baik untuk memproteksi gangguan dari dalam maupun dari
luar, agar kesinambungan usahatani dapat berkelanjutan.
4. Novunja adalah kebiasaaan yang dilakukan setelah panen atau biasa disebut
dengan ada’ mpae. Aktivitas Novunja hanya dilakukan pada komoditas
padi ladang dan atau padi sawah yang pelaksanaannya sudah menjadi aturan
adat atau semua aktivitas mengikuti aturan keadatan masing-masing lokasi
dan komunitas tertentu.
Kearifan-kearifan tersebut berlangsung secara sistematis yang diwariskan
dari leluhur secara berurutan dalam keturunan masing-masing keluarga. Dogma
keadatan diberikan kepada turunan yang dikomunikasikan secara lisan tanpa
dokumen tertulis. Sistem ini telah terkomunikasi dengan teratur dan telah menjadi
pemahaman kolektif dalam suatu komunitas masyarakat lokal. Sistem ini secara
70

sistematis diterima dan dipahami baik oleh generasi mereka tanpa kecuali,, suatu
keyakinan bila hal ini tidak dilaksanakan akan berdampak pada keluarga dan atau
komunitas bersangkutan berupa sanksi adat yang dalam kepercayaan komunitas
masyarakat lokal Kaili di Sulawesi Tengah adalah “Nerapi tupu ntana” (bila tidak
dilaksanakan akan meminta korban).
Kultur bertani masyarakat lokal Kaili adalah berladang. Sawah merupakan
introduksi atau yang diadopsi dari luar. Sistem bertani ladang di tanah Kaili
membagi dua tipe yaitu Talua dan Pampa. Talua secara filosofis, dimaknai
sebagai suatu aktivitas bertani yang produksinya akan dapat memenuhi kebutuhan
selama satu periode panen. Masyarakat lokal Kaili melakukan sistem pergiliran
(rotasi) berkebun ladang selama satu tahun atau berdasarkan umur padi lokal 5-6
bulan. Pampa adalah sistem usahatani pekarangan dan atau di luar pekarangan.
Pampa dalam pertanian modern hampir sama atau identik dengan mix farming
(sistem usahatani campuran). Pampa dikelola untuk memenuhi kebutuhan
keluarga secara rutin (sehari-hari) selama menunggu panen padi ladang atau
produksi tanaman tahunan dari kebun besar (talua). Pampa dikelola dengan luas
tidak melebihi dari 0,5 hektar (0-0,5 hektar). Produksi hasil usahatani pampa
tidak untuk komersil atau dijual, kecuali konsumen yang datang ke pampa atau
ke rumah tangga petani untuk membelinya dengan takaran tertentu. Sistem
penukarannya-pun tidak dibatasi dengan nilai tukar uang, bisa barter seperti warga
dari wilayah pesisir (pantai) membawa ikan atau garam, dibarter dengan ubi jalar,
singkong, jagung, sayur atau beras padi ladang. Dengan demikian maka indikator
pampa bukanlah dalam bentuk barang, benda atau suatu komoditas (jenis kayu,
rotan, atau tanaman tertentu). Pampa juga merupakan proses atau pola bertani
masyarakat Kaili. Sebelum membuka hutan (lahan baru), didahului mengerjakan
lahan untuk pampa agar dalam proses pembukaan lahan baru tidak kekurangan
pangan. Tanaman-tanaman yang ditanam adalah jenis tanaman musiman atau
berumur pendek seperti ubi jalar, jagung, singkong, dan sayur-sayuran. Dalam
proses pembukaan awal dilakukan dengan ritual adat melalui pemangku adat atau
sobo.
Kaili Tara dan Kaili Ledo di kawasan TAHURA, berprinsip bahwa
hubungan alam dengan manusia pada hakekatnya untuk manusia (Mattulada, tt).
71

Perspektif tersebut menggambarkan bahwa alam sekitar bagi masyarakat ini harus
diperlakukan dengan baik agar dapat memberikan penghidupan untuk selamanya
dan menjamin antar generasi. Makna penggambaran tersebut bahwa alam beserta
isinya (sumberdaya alam) harus dikelola dengan kearifan-kearifan yang
menghargai hak-hak alam, karena di alam banyak mahluk lain selain manusia
yang membutuhkan sumber penghidupan yang sama, termasuk yang tidak dapat
dilihat dengan kasat mata. Untuk itu dalam proses pengelolaannya selalu diawali
dengan ritual-ritual yang intinya memohon kepada yang kuasa (penguasa alam)
dapat mengizinkannya untuk dimanfaatkan bagi kepentingan ummat manusia.
Jika dalam proses awal terdapat gejala yang mengindikasikan tidak dapat dibuka
untuk ladang, maka harus dicari tempat lain untuk ladang yang layak dan terjamin
dari aspek ekologis.
Komunitas di dalam/sekitar kawasan ini mengelola sumberdaya hutan,
mengelompokannya dalam lansekap hutan menurut perspektif manfaat dan fungsi
dari ekosistem yang ada. Masyarakat adat Kaili Ledo dan Kaili Tara membagi
hutan dengan fungsi-fungsi tertentu sebagai berikut :
1. Pangale mbongo dalam perspektif masyarakat adat To ri Tompu, Tori Lando
bo To po Tara, merupakan hutan alam primer yang belum dijamak dan atau
disebut dengan hutan alam primer.
2. Pangale yaitu hutan alam yang pernah dijamak manusia, namun telah
kembali pulih hutannya dengan komposisi lengkap seperti semula, atau biasa
disebut dengan hutan sekunder.
3. Nava adalah hutan yang telah diberakan selama minimal 10 (> 10) tahun dan
telah ditumbuhi pohon-pohonan dan tegakan yang pohonnya masih dibawah
diameter 40 cm.
4. Tinalu adalah bekas kebun yang mengalami masa bera di bawah 10 tahun atau
antara 5-10 tahun.
5. Ova adalah bekas kebun yang telah mengalami masa bera di bawah lima (< 5)
tahun atau dikenal dalam perspektif umum merupakan hutan semak belukar.
Ova cukup beragam menurut pemanfaatannya, ciri khasnya adalah telah
tumbunh tanaman keras terutama jenis tanaman hortikultura.
72

6. Olo, kawasan yang dilarang melakukan aktivitas apapun di dalamnya.


Kawasan ini merupakan area yang dijaga sebagai sumber mata air, berelevasi
di atas 30 % dan zona-zona penyangga dalam beragam perspektif. Selain
sebagai zona penyangga, kawasan ini dijaga keutuhannya termasuk
sumberdaya tambang, habitat hidupan liar (flora dan fauna) endemik yang
harus mendapat perlindungan secara kolektif yang disepakati dalam
musyawarah adat, dan telah menjadi komitmen turun-temurun antar generasi.
Lansekap hutan menurut perspektif masyarakat Kaili Ledo (Topo Ledo)
dan Topo Tara, mirip dengan komunitas masyarakat adat Ngata Toro (To ri
Toro) di dataran Lindu Kecamatan Kulawi dan Topo Da’a di pegunungan
Marwola dan Gawalise Kecamatan Marawola . To ri Toro membagi lansekap
hutan (Sangaji, 2001; Adiwibowo, 2005) sebagai berikut :
1. Wanangkiki untuk jenis hutan lumut dan menjadi habitat berbagai satwa dan
hewan-hewan liar. Dalam kategori hutan ini tidak ada aktivitas manusia di
sana. Luas Wanangkiki sekitar 2.300 ha.
2. Wana adalah kawasan hutan primer yang belum pernah ada kegiatan
pengolahan kebun. Wana dimanfaatkan khusus untuk pengambilan damar,
rotan, wewangian, obat-obatan dan sewaktu-waktu tempat untuk berburu
binatang dan mencari ikan di sungai. Pada aliran sungai yang mengandung
emas dilakukan pendulangan oleh masyarakat. Luas Wana seluas 11.290
hektar.
3. Pangale yaitu untuk hutan yang berada di pegunungan dan dataran. Pangale
termasuk kategori hutan sekunder karena sudah pernah diolah, tetapi telah
menjadi hutan. Pangale disiapkan untuk kebun dan datarannya untuk sawah
atau ladang. Pangale juga dimanfaatkan untuk mengambil rotan, kayu, pandan
hutan, obat-obatan dan wewangian. Luas pangale berkisar 2.950 hektar (hasil
pemetaan).
4. Oma adalah hutan bekas kebun yang sering diolah utamanya untuk tanaman
kopi, coklat, dan tanaman tahunan lainnya. Menurut usia pemanfaatannya
Oma terdiri atas tiga jenis yaitu (a) oma ntua yakni bekas kebun yang
ditinggalkan antara belasan hingga 20-an tahun, (b) oma ngura yakni bekas
kebun yang ditinggalkan antara tiga hingga belasan tahun, yang merupakan
73

jenis hutan yang lebih muda dibanding oma ntua. Tumbuhan yang tumbuh
masih dapat ditebas dengan menggunakan parang, semak dan belukar
merupakan ciri khasnya, (c) oma ngkuku adalah bekas kebun yang berusia
antara satu sampai dua tahun, vegetasi dominan rerumputan.
5. Balingkea, yakni bekas kebun yang usianya enam bulan sampai satu tahun,
sering dimanfaatkan untuk palawija.
Untuk komunitas Topo Da’a di pegunungan Marawola yang
mengelompokkan diri sebagai To Pakava atau To Pinembani (Laudjeng, 1998)
dan To Kamalisi di pegunungan Gawalise (Saleh, 2001), pengelolaannya identik
sebagai berikut :
1. Pangale, hutan primer yang belum pernah disentuh atau dikelola untuk kebun.
Vegetasi utama adalah kayu jenis pohon, rotan dan tumbuhan lain. Kawasan
hutan tersebut dimanfaatkan untuk tempat buruan binatang dan satwa.
2. Ova, untuk bekas ladang yang telah ditinggalkan antara 5-10 tahun. Jenis
vegetasi utama adalah kayu jenis tihang yang dimanfaatkan untuk kayu bakar
dan ramuan rumah, termasuk berbagai jenis rotan.
3. Tinalu, untuk kebun ladang mereka dan,
4. Olo adalah wilayah hutan yang sama sekali tidak dapat dikelola. Olo
dijadikan tempat penyimpan bente (sajian-sajian upacara adat) sebagai
perlindungan terhadap bencana.

5.1.3. Perekonomian Masyarakat Lokal di dalam/sekitar Kawasan.

Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah (TAHURA SULTENG) berbatasan


langsung dengan kelurahan/desa dalam Wilayah Kota Palu, Ibukota Propinsi
Sulawesi Tengah dan penduduknya sebagian besar memiliki pola kehidupan
perkotaan, namun aktivitas penduduk yang berada di sekitar batas areal dan yang
berada di dalam kawasan umunya petani ladang yang sumber pendapatannya
berasal dari hasil hutan non kayu. Hal ini akan menjadi ancaman dan atau potensi
yang besar terhadap kelestarian dan keberlanjutan kawasan TAHURA.
Masyarakat yang bermukim di dalam kawasan hutan bermata pencaharian
bertani dan memiliki sumber pendapatan beragam. Untuk masyarakat yang
bermukim di hulu DAS Kavatuna Lingkungan Uentumbu dan Valiri 80 %
74

bersumber dari hasil hutan non kayu, utamanya rotan dan sebagian kayu bakar.
Masyarakat yang berada di bukit Poboya bersumber dari usahatani bawang dan
sebagian kayu bakar. Berbeda halnya dengan masyarakat Vatutela yang
berpendapatan dari hasil produksi perkebunan berupa buah cengkeh, kopi dan
kemiri, sebagian dari mengumpul kayu bakar dan mengumpul batu kali.
Peternakan domba, kambing dan sapi dijadikan sebagai tabungan bila kondisi
mendesak baru dijual seperti membiayai anak sekolah, kuliah dan kebutuhan lain
yang sama pentingnya, berupa pesta kawin, sunatan atau hajatan. Masyarakat
dusun Tompu dan Raranggonau, aktivitas untuk mencari sumber pendapatan
masih bersifat nomaden, selain berkebun tanaman sayur-sayuran, coklat dan padi
ladang mereka juga melakukan pencarian rotan, dan hasil dari penjualan buah-
buahan seperti durian, langsat, nenas, pepaya dan lain-lain.
Pendapatan masyarakat yang bersumber dari hasil produksi rotan dalam
perbulannya sebesar Rp. 382.500 (tiga ratus delapan puluh dua ribu lima ratus
rupiah) dari penjualan 450 kg rotan dengan harga Rp. 850 perkilogramnya. Dari
pendapatan ini dipotong biaya (konsumsi) selama dalam hutan (14-21 hari)
sebanyak Rp. 99.000 (sembilan puluh sembilan ribu rupiah). Jadi praktis yang
diterima bersih dari hasil merotan sebanyak R. 292.500 (dua ratus embilan puluh
dua ribu lima ratus rupiah). Pendapatan tersebut bila dibandingkan dengan
keadaan saat ini maka strata hidup keluarga masyarakat di hulu DAS Kavatuna
(lingkungan Uentumbu) masih dalam taraf berpendapatan rendah (miskin).
Untuk pendapatan yang bersumber dari hasil produksi usahatani dan
perkebunan adalah coklat, beras padi ladang, sayur-sayuran, ubi jalar, ubi kayu
(singkong), mentimun, labu, bawang, pepaya dan lain-lain. Setiap kawasan
pemukiman membawa produksinya ke pasar yang terdekat, dan sehari menjelang
hari pasar semua produk-produk yang akan dibawa ke pasar telah siap dan
berkumpul pada satu tempat dari warga masyarakat. Untuk kawasan Tompu
berkumpul di Boya Tana Nenggila untuk bersam-sama pergi ke pasar Ngata Baru
(Kapopo) besok harinya. Warga dari kawasan Raranggonau langsung turun ke
Pasar Biromaru. Untuk warga Uentumbu dan Valiri turun ke pasar Lasoani,
demikian pula halnya bagi warga Poboya. Warga dari Vatutela dan Vintu
75

langsung ke pasar Masomba Palu dan pasar Mamboro dan akses transportasi
lebih baik dibanding warga dari lokasi lainnya.
Sumber pendapatan komunitas masyarakat Vatutela selain dari hasil
usahatani juga berprofesi sebagai pengumpul batu kali. Setiap warga dapat
mengumpul 3-4 kubik dalam sehari dengan harga di lokasi sebesar Rp. 2.500–Rp.
4.000 per kubik. Penghasilan yang dapat diperoleh dari profesi mengumpul batu
kali rata-rata sebesar Rp. 315.000 (Tiga ratus lima belas ribu rupiah), dengan
perhitungan rata-rata mengumpul 3,5 kubik dan penghasil sebesar Rp. 10.500 per
hari. Komunitas masyarakat Vatutela berkisar 10 % dari sumber penghasilan
mengumpul batu kali (batu pondasi).
Pendapatan yang diperoleh dari masing-masing komunitas tidak sama.
Komunitas masyarakat di kawasan Poboya baik yang berada di kawasan Hulu
Sungai Pondo (melintasi Kelurahan Poboya), maupun di kawasan Bunti Pobau
yang bersumber dari usahatani bawang, dan pendulang emas berpenghasilan lebih
besar dibanding komunitas di kawasan Raranggonau, Tompu, Uentumbu,
Vatutela dan Vintu. Penghasilan bersih yang diperoleh dari komunitas12
masyarakat Bunti Pobau dan DAS Pondo (Poboya) masing-masing informan rata-
rata antara Rp 1.500.000-Rp, 4.500.000, bahkan sampai 9 juta rupiah setiap panen
bawang. Dalam setahun dapat berproduksi 3-4 kali panen bergantung iklim dan
cuaca. Untuk petani bawang bila curah hujan terlalu tinggi akan berdampak
kurang menguntungkan bagi petani bawang di kawasan Poboya. Dengan melihat
kondisi ini akan membuka ruang dan peluang yang menjanjikan bagi
keberlanjutan Taman Hutan Raya, jika komunitas-komunitas ini diberikan ruang
dan kesempatan untuk menggarap lahannya masing-masing secara intensif yang
didukung oleh kebijakan politik pembangunan pertanian berbasis komunitas.

5.1.4. Penggunaan Lahan di dalam/sekitar Kawasan TAHURA

Lahan kebun masyarakat yang menjadi sumber pendapatan dan


penghidupan rumah tangga petani selama ini dan sudah diusahakan secara turun
temurun (hak de fakto) adalah masuk di dalam kawasan TAHURA. Total luasan
keseluruhan sejumlah 656,72 hektar dari 529 kepala keluarga dan kebun
komunal 30 hektar atau 9,63 % dari luas TAHURA SULTENG, yang terdistribusi

12
Komunitas dalam kamus antropologi mendefiniskan sebagai kesatuan sosial yang terutama
terikat oleh rasa kesadaran wilayah (Koentjaraningrat, 2003).
76

dalam tujuh (7) kawasan yaitu kawasan Bulu Bionga (Vintu) Kelurahan Layana
Indah, Kawasan Vatutela Kelurahan Tondo, Kawasan Bunti Pobau Kelurahan
Poboya, Hulu DAS Poboya, kawasan Uentumbu-Valiri Kelurahan Kavatuna,
Kawasan Bulu Bulili Tompu Desa Ngata Baru (Kapopo) dan Kawasan
Raranggonau Desa Pumbeve. Lahan-lahan yang dimiliki berada di bukit, hulu
sungai dan pegunungan yang sebagian besar di atasnya ditanami tanaman
perkebunan (tanaman keras), kecuali kawasan Bunti Pobau pada lokasi PPN 25,
26 dan 29, umumnya bercocok tanam bawang merah dan bawang goreng.
Dari luasan pemilikan lahan tersebut di dalamnya beragam tanaman yang
merupakan akses masyarakat dan sekaligus mendorong keras keinginan masuk di
dalam kawasan tersebut selain akses untuk memanen hasil hutan non kayu berupa
rotan dan damar. Kepemilikan lahan secara de fakto ini sebesar 9,63 % dari total
luas TAHURA 7.128 hektar. Kondisi ini perlu dijadikan bahan pertimbangan
yang serius bagi pengambil kebijakan di daerah, dimana mereka adalah bagian
yang tidak terpisahkan dengan sumberdaya alam tempat mereka tinggal dan
hidup sejak dahulu hingga saat ini. Sumberdaya hutan adalah bagian dari
kehidupan dan penghidupan masyarakat lokal (adat), dan merupakan estetika,
ikatan moral dan memiliki nilai kultural. Dengan demikian maka sumberdaya
berupa lahan, segala yang hidup di atasnya adalah pemilikannya jelas dan
tentunya akses terhadap sumberdaya tersebut juga tinggi.
Pemilikan lahan kebun dari masing-masing kawasan yang masuk dalam
Taman Hutan Raya (TAHURA) Sulawesi Tengah disajikan dalam Tabel 12.

Tabel 12. Luas pemilikan (penguasaan) lahan kebun warga masyarakat Kaili di lokasi
penelitian.

Rata-rata Total
Komunitas Masyarakat Jumlah KK pemilikan Luas lahan
lahan (ha) (ha)
Vintu (Bulu Bionga) 74 1,11 82,14
Vatutela 80 0,80 64,00
Uentumbu (DAS Mamara, 86 1,08 92,88
Kavatuna)
Bunti Pobau (PPN 25, 26, 29) 76 0,75 57,00
DAS Pondo/Poboya 90 2,3 207,00
Tompu (Bulu Bulili) 83 1,3 107,90
Raranggonau 40 1,17 45,80
Jumlah 529 656,72
77

Tabel 12 menunjukkan pemilikan lahan rata-rata setiap kepala keluarga


(rumah tangga petani) seluas 1,21 hektar atau antara 0,75-2,3 hektar. Luasan
tersebut dimanfaatkan untuk beragam jenis tanaman untuk pemenuhan kebutuhan
hidup rumah tangga petani yang bersanggotakan 4-10 orang.

Tabel 13. Jenis Padi Lokal dan tanaman pangan/sayuran di lokasi Penelitian13.
No. Jenis Komoditas Harga Jangka tanam
(nama lokal) (Rp) (bln) Keterangan
& panen
1. Pae Saralonja 4 Tidak dijual atau
2. Pae Sarasabe 3 untuk kebutuhan
3. Pae Pelisi 4 sendiri (konsumsi
4. Pae Tolevonu 5 keluarga).
5. Pae Merianggi koyo 5
6. Pae Banjarone 5
7. Pae Toparia 3
8. Pae Topase 5
9. Pae Pulumuto 5
10. Pae Meringgi pulu 5
11. Pae Toburane 4
12. Pae Bude 5
13. Pae Pulungguni 4
14. Pae Mpoiri 3

15. Marisa nete (Cabe rawit) 4.000 Tidak menentu Dijual per liter
16. Parancina (Tomat) 1.000 Dijual per mangkok
17. Tambue (kacang panjang) 1.000 Idem
18. Palola (Terung) 500 Per 3 buah
19. Paku (paku-pakuan) 500 Per ikat
20. Tavanjuka (Daun melinjo) 500 Per ikat
21. Uvu lauro (umbut rotan) 1.500 Per 1 buah
22. Robu volo vatu (Bambu) 1.000 Per loyang
23. Toboyo (Labu) 1.000 Per buah
24. Kacang Kedelai 5.000 Per kilogram
25. Kacang hijau 2.500 Per liter
26. Buncis 2.000 Per liter
27. Kasubi (Singkong) - Tidak dijual
28. Pia (Bawang) 1.000 Per ikat
29. Ntomoloku (Ubi jalar) - Tidak dijual
30. Paria 1.000 Per 5 buah
31. Tampai 500 Per ikat
32. Cangkore (Kacang tanah) 2.500 Per kaleng (blek)
33. Antimu (Ketimun) - Tidak dijual
34. Kula (Jahe merah) 9.000 Per kilogram
35. Kuni (Kunyit) 3.000 Per kilogram
36. Balintua (Laos) 2.000 Per kilogram
37. Valangguni - Tidak dijual
38. Tumbavani (Sereh) 500 Per ikat
39. Sarao - Tidak dijual
40. Vongu - Tidak dijual.
41. Dale (jagung) - Tidak dijual

13
Pae (bahasa daerah Kaili) sinonim dengan padi.
78

Tabel 13 menggambarkan jenis tanaman musiman yang diusahakan petani


untuk kebutuhan hidup dan sebagai sumber penghasilan rumah tangga adalah padi
ladang beragam jenis dan tanaman pangan lainnya. Dari sejumlah Komoditas
yang diusahakan tidak semuanya memiliki akses ke pasar, namun disesuaikan
dengan kebutuhan konsumen. Komoditas tersebut selain untuk dijadikan sumber
penghasilan, juga untuk kebutuhan rumah tangga dan sebagian diberikan kepada
keluarga yang datang dari jauh sebagai tanda hubungan kekerabatan.
Tanah tersebut merupakan penguasaan melalui warisan leluhur (de fakto)
yang secara adat telah diakui leberadaannya, namun negara melihat pemilikan
berdasarkan de jure (hak milik) yang dibuktikan dengan atribut hukum
(administratif : izin, sertifikat dan lainnya). Tanah dan penguasaannya merupakan
suatu faktor yang sangat krusial bagi masyarakat umumnya, khususnya bagi
masyarakat yang tinggal dalam kawasan hutan (petani) yang dalam perkembangan
kehidupannya baik sosial, ekonomi dan politik (Bappenas, 1994). Secara umum
petani komunitas masyarakat lokal Kaili dari tujuh kawasan ini menggunakan
sistem rotasi dalam mengelola ladang, dan mereka telah terbiasa berpindah-pindah
dari satu ladang ke ladang lain yang dikuasainya, kemudian memanfaatkan ladang
tersebut untuk jenis tanaman tertentu yang dapat menunjang keberlanjutan
hidupnya. Sistem berladang mereka berpindah-pindah, namun pemukiman tempat
tinggal menetap dan berkumpul dalam satu tempat, namun masih terdapat juga
lokasi yang menyebar berdasarkan pola kebun seperti Tompu dan Raranggonau.
Untuk lokasi Uentumbu, DAS Pondo, Bunti Pobau, Vatutela dan Vintu cenderung
berkumpul dalam satu wilayah pemukiman, kebun hanya tempat untuk
mendapatkan nafkah hidup dari usahatani semusim dan produksi tanaman
perkebunan.
Sistem usahatani masyarakat lokal Kaili di dalam kawasan TAHURA
cukup beragam, dari sistem rotasi, semi intensif sampai usahatani intensif.
Keragaman pola usahatani ini menggambarkan tingkat keragaman pengetahuan
bertani yang juga disebabkan karena faktor geografis dan topografis kawasan
masing-masing. Untuk komunitas masyarakat lokal Kaili Tara yang mendiami
kawasan Bulu Bionga yang meliputi Vintu dan Vatutela adalah menganut sistem
bertani menetap dengan pola semi intensif. Komoditas yang dikembangkan
umumnya tanaman perkebunan dan kehutanan sebagian kecil tanaman pangan
79

seperti jagung, singkong, sayur-sayuran dan beternak. Lahan-lahan yang dikelola


adalah lahan milik individu (keluarga : warisan tetua). Demikian pula halnya pada
masyarakat lokal Kaili Tara di Uentumbu Kavatuna. Pola pertaniannya adalah
semi intensif dengan sumber penghasilan menetap adalah rotan (hasil hutan non
kayu), dan beternak.
Untuk kawasan Bunti Pobau adalah komunitas masyarakat lokal Kaili
Tara yang mendiami kawasan pegunungan Masomba, dan DAS Pondo Poboya
menggunakan sistem pengelolaan intensif dengan komoditas yang dikembangkan
adalah tanaman bawang. Petani di lokasi ini menggunakan sistem bertani intensif
dengan sarana produksi dan sistem pertanaman yang telah mengikuti pola
usahatani intensif dan panen rutin setiap tiga bulan. Berbeda halnya dengan
komunitas masyarakat lokal Kaili Ledo di Tompu dan Raranggonau. Pola bertani
masyaralat topo Ledo di Raranggonau dan Tompu adalah menggunakan sistem
rotasi untuk lahan-lahan perladangan, dan lahan-lahan pekarangan dilakukan
dengan pola tradisional. Lahan pekarangan dalam perspektif masyarakat Kaili
Ledo di Tompu dan Raranggonau menyebutnya sebagai pampa. Lokasi pampa
dapat berada di luar pemukiman dan atau di dekat kebun (talua), dengan catatan
luasnya tidak melebihi atau dibawah 0,5 ha dan tanaman yang dikembangkan
adalah tanaman yang berumur pendek untuk konsumsi rumah tangga sehari-hari
(tanaman campuran). Pengelolaan pampa dilakukan secara rutin. Lokasi yang
ditanami dengan tanaman tahunan adalah tanah yang diberakan, dan akan diolah
kembali setelah beberapa tahun biasanya minimal 5 tahun14.
Akses terhadap pemanfaatan sumberdaya dalam kawasan yang telah
berlangsung selama ini, kini berbeda dengan sebelumnya. Masyarakat lokal Kaili
(petani) merasa terhambat dan terganggu dengan penyampaian dan pengumuman
yang disampaikan dari petugas lapangan dari Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi
Tengah yang menegaskan bahwa setiuap warga masyarakat yang memotong
cabang dan ranting pohon di dalam kawasan akan dikenakan denda percabangnya
Rp. 50.000 (lima puluh ribu rupiah)15.

14
Hasil wawancara dengan Hi. Djadja (63 th), tokoh adat Vintu, tanggal 17 Mei 2006 ; Tanah
yang diberakan biasanya minimal 5 tahun bar udiolah lagi. Maksud pemberakan adalah untuk
mengembalikan kesuburan tanah yang telah digunakan untuk tanaman semusim seperti padi dan
jagung.
15
Hasil wawancara dengan Muslima (67 th) dan warga masyarakat dalam pertemuan, 25 Juli
2006 di Bantaya Vatutela Kelurahan Tondo Kecamatan Palu Timur.
80

Tanaman perkebunan dan buah-buhan bagi petani juga merupakan


komoditas yang menjadi perhatian untuk penghasilan jangka panjang dan
memiliki akses pasar yang besar seperti disajikan dalam Tabel 14.

Tabel 14. Jenis tanaman perkebunan dan hortikultura di lokasi penelitian.


Jenis Tanaman Musim Panen Harga Keterangan
(Rp)
Kaluku (Kelapa) Tidak menentu Tidak dijual
Biau (Kemiri) 3 kali /tahun 7.000 Per kilogram
Kopi 3 kali /tahun 4.000 Per liter
Cengkeh 2 kali/tahun 10.000 Per kilogram
Tule (Air aren) 1 kali/minggu 3.000 Per botol
Kalosu (Pinang) Tidak menentu 1.000 Per 5 buah
Bou (Buah sirih) Tidak menentu 1.000 Per 5 buah
Soklati (Cocoa) Tidak menentu 15.000 Per kilogram
Loka (Pisang) Tidak menentu 3.000 Per sisir
Taipa (Mangga) 1 kali/tahun 1.000 Per 5 buah
Lonja (Langsat) 1 kali/tahun 2.000 Per liter
Bunga pepaya Tidak menentu 500 Per mangkok
Ganaga (Nangka) Tidak menentu - Tidak dijual
Tara’a (Nenas) Tidak menentu - Tidak dijual
Duria (Durian) Tidak menentu - Tidak dijual

Tanaman tersebut ditanam pada lahan-lahan kebun dan lahan pekarangan.


Untuk beberapa jenis tanaman perkebunan di tanam pada lahan-lahan berlereng
dan lahan-lahan dekat dengan sumber air seperti tanaman kemiri, durian dan
mangga ; sementara tanaman nangka dan nenas umumnya ditanam pada pinggir
kebun atau tanda batas dengan lahan-lahan lain. Hasil produksi tanaman tersebut
di atas dijual di tempat dan sebagian kecil dibawa ke pasar. Harga yang tercantum
adalah harga berlaku di tingkat petani.
Produksi yang bersumber dari sumberdaya hutan adalah rotan. Rotan
merupakan sumber pendapatan masyarakat yang umumnya enam komunitas
masyarakat (Vintu, Vatutela, DAS Poboya, Uentumbu, Tompu dan Rarangonau)
yang disajikan dalam Tabel 15.
81

Tabel 15. Jenis Rotan Hasil Produksi dari Kawasan Hutan TAHURA dan
sekitarnya.

No. Jenis Rotan (nama lokal). Harga Pasar Lokal


(Rp)
1. Lauro Langguku (Rotan Lambang) 90.000/100 kg
2. Lauro Barabata (Rotan Batang) 110.000/100 kg
3. Lauro Leluo (Rotan Batang) 110.000/100 kg
4. Lauro Manggauva (Rotan Uban) 90.000/100 kg
5. Lauro Patani (Rotan Tohiti) 80.000/100 kg
6. Lauro Vatu (Rotan Tohiti) 80.000/100 kg
7. Lauro Nanga (Rotan Batang Merah) 80.000/100 kg
8. Lauro Ngguluvi (Rotan Noko) 80.000/100 kg
9. Lauro Laru (Rotan Ombol) 95.000/100 kg
10. Lauro Lere 95.000/100 kg
11. Lauro Mputi 2.000/ikat
12. Lauro Ronti 2.000/ikat
13. Lauro Matangii 80.000/100 kg
14. Lauro Bao 2.000/ikat
15. Lauro Ape 2.000/ikat
16. Lauro Nggarea 2.000/ikat
17. Lauro Paloe 2.000/ikat
18. Lauro Njanepa 2.000/ikat
19. Lauro Boga 2.000/ikat
Sumber : Masyarakat Tompu, Raranggonau dan Uentumbu, Juni 2006

Selain aktivitas bertani, merotan, mendulang emas dan mengumpul batu


kali, warga masyarakat memiliki dan memelihara ternak. Ternak-ternak
digembalakan pada padang penggembalaan di sekitar dan dalam kawasan
TAHURA pada siang hari dan dimasukkan di kandang pada malam hari. Hewan
ternak yang digembalakan meliputi ternak domba, kambing, sapi, dan sebagian
kecil pemilik ternak kuda. Jumlah ternak yang digembalakan di sekitar dan dalam
kawasan TAHURA disajikan dalam Tabel 16.
82

Tabel 16. Jumlah dan Jenis Ternak yang digembalakan di sekitar/dalam kawasan
TAHURA SULTENG.

Desa/Kelurahan/ Jenis Ternak (Ekor)


Lokasi Sapi Kambing Domba Kuda
Layana Indah/Vintu 112 520 95 23
Tondo/Vatutela 425 875 180 14
Kavatuna/Uentumbu 516 4.640 2.125 50
Poboya/Bunti Pobau/Hulu 475 220 381 32
DAS Pondo
Ngata Baru/Tompu 35 500 128 -
Pumbeve/Raranggonau 140 366 205 -
Jumlah 1.703 7.121 3.114 119
Sumber : BPS, Kecamatan Dalam Angka, 2005.

Dari data tersebut di atas menggambarkan bahwa populasi ternak


peliharaan cukup besar yang membutuhkan areal yang luas. Daya tampung
dalam setiap unit ternak membutuhkan lahan seluas 10.000 m2/4 ekor ternak
sapi. Setiap jenis ternak membutuhkan daya tampung yang berbeda dan
ketersediaan pakan yang berbeda pula. Untuk ternak domba dan kambing
sebanyak 6-10 unit ternak per hektarnya. Dengan demikian jumlah ternak
kambing dan domba yang berjumlah 10.235 ekor membutuhkan luasan lahan
untuk padang penggembalaan sekitar antara 1.023,5 -1.705,8 hektar, dan ternak
sapi membutuhkan luasan lahan sebesar 425,75 hektar (3-4 unit ternak/ha).
Dengan demikian maka akses penggembalaan terhadap sumberdaya lahan di
dalam kawasan TAHURA berkisar sebesar antara 1.448,75 - 2.131,55 hektar.
Dengan demikian akses nasyarakat untuk lahan penggembalaan seluas antara
20,32-29,90 %.
Ternak bagi masyarakat di kawasan Taman Hutan Raya merupakan
sumber pendapatan dan dapat berfungsi ganda, bergantung situasi yang dihadapi
keluarga petani, dijual disaat mendesak.
83

5.2. Aspek Historis TAHURA SULTENG

Dalam perspektif sejarah, berawal dari dilaksanakannya Proyek


Penghijauan Nasional (PPN) ke 30 tahun 1990 di kawasan Ngata Baru (Kapopo)
Kecamatan Sigi-Biromaru Kabupaten Donggala oleh Pemerintah Daerah melalui
koordinasi Wakil Gubernur Sulawesi Tengah. Proses pelaksanaannya hingga
Tahun 1994, dilakukan secara bersama antar Pemda Sulteng dengan APHI
Komisariat Daerah Sulawesi Tengah (Dinas Kehutanan, 2002). Kegiatan
pemeliharaan dilakukan mulai tahun 1995 sampai sekarang, dan pembiayaannya
dibebankan pada sumber dana APBD Propinsi Sulawesi Tengah.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 461/Kpts-II/1995,
tanggal 4 September 1995, lokasi PPN ke 30 seluas 100 hektar dimasukkan
menjadi bagian Taman Hutan Raya yang meliputi gabungan dari kawasan-
kawasan yakni Cagar Alam Poboya dengan luas 1.000 hektar, Hutan Lindung
Paneki seluas 7.000 hektar sehingga luas keseluruhan TAHURA menjadi 8.100
hektar. Proses perubahan dan perkembangan kawasan bergerak terus seiring
dengan perkembangan penduduk, maka pada tanggal 29 Januari 1999 terbit
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 24/Kpts-II/1999
menetapkan tata batas, status TAHURA dengan luas 7.128 hektar sehingga
wilayah ini merupakan temu gelang.
Untuk menindaklanjuti kebijakan Nasional di atas, Gubernur Sulawesi
Tengah meresponnya dengan menetapkan lokasi PPN ke 30 menjadi Taman
Wisata Alam Kapopo melalui Surat Keputusan Nomor : 188.44/1400/Dis 1200
PAR-G.57/2003.
Pemerintah sebagai pemegang hak atas tanah, sebelumnya telah dibuat
kebijakan melalui Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor
SK.239/591/IX/1987 tentang pengawasan tanah negara Bumi Roviga oleh
Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah. Tanah Negara yang dimaksud
dalam surat keputusan tersebut adalah kawasan bagian Utara TAHURA sekarang,
dan sebagian telah menjadi pemukiman transmigrasi swakarsa Lingkungan
Industri Kecil Layana Indah. Luas tanah-tanah negara yang dianggap tidak
bertuan sekalipun pemiliknya berada di dalam kawasan ini, seluas ± 6.750 Ha.
84

Dalam Surat Keputusan No. SK.239/591/IX/1987 menetapkan lima (5) point


sebagai berikut :
(a) Tanah Negara seluas ± 6.750 Ha dengan keadaan penggunaan tanah
berupa semak belukar, padang rumput, hutan belukar, tanah gundul,
maupun tanah tegalan dinyatakan berada dibawah pengawasan
Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah.
(b) Bagi masyarakat yang bermaksud memanfaatkan kawasan tersebut,
pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah akan mengeluarkan
rekomendasi yang dikoordinasikan oleh Bappeda Tingkat I Sulawesi
Tengah.
(c) Kepada masyarakat yang merasa menguasai tanah negara di kawasan
tersebut dalam waktu tiga (3) bulan setelah dikeluarkannya surat
keputusan ini supaya melaporkan kepada pemerintah daerah tingkat I
Sulawesi Tengah yang dikoordinir oleh Bappeda Tingkat I Sulawesi
Tengah dengan membawa bukti penguasaannya, untuk keperluan
pengaturan lebih lanjut.
(d)Tidak dibenarkan kepada masyarakat baik yang merasa menguasai tanah
maupun yang akan menguasai tanah di kawasan tersebut untuk
melakukan pematokan, pemagaran, tanpa seizin Pemerintah Daerah
Tingkat I Sulawesi Tengah.

Dengan menelaah isi dari keputusan tersebut dengan realitas lapangan


bahwa kebijakan dan tindakan yang dilakukan pemerintah daerah adalah sepihak
tanpa mempertimbangkan situasi yang sebenarnya. Pada situasi saat itu (Tahun
1987) adalah kekuatan rezim orde baru yang menempatkan posisi masyarakat
dipihak yang lemah. Saat itu memang kekuatan dan kekuasaan berada di pihak
pemerintah, dan masyarakat semata obyek bagi pembangunan dalam berbagai
aspek.
Sepuluh bulan kemudian, menyusul permohonan Gubernur Sulawesi
Tengah, Abdul Azis Lamadjido, SH dengan Surat Nomor. 522.5/2835/Ro.BKLH,
tanggal 13 Juli 1988, yang menindaklanjuti Surat Permohonan Nomor 104/VII-
1/KM-II/1988 tanggal 14 Maret 1988 dengan harapan Menteri Departemen
Kehutanan R.I dapat mempercepat proses realisasi permohonan pembangunan
Taman Hutan Raya Palu.
TAHURA juga bagian yang tidak terpisahkan dari rekomendasi hasil
penelitian yang dilakukan Paimbonan dkk (1993) dalam Bappeda (2003)
mengenai Rancangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Terpadu DAS
Palu seluas 30.000 hektar dan Rancangan Teknik detail Rehabilitasi Lahan dan
85

Konservasi Tanah Sub DAS Kavatuna seluas 10.000 hektar yang dibiayai oleh
Dana Proyek Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Kantor Departemen
Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah Sub Balai RLKT Tahun 1993. Dari proyek
tersebut salah satu kebijakan yang diimplementasikan adalah penghijauan pola
khusus lembah Palu seluas 1.483,34 hektar yang tersebar pada tiga sub DAS
yaitu sub-sub DAS Kavatuna 311,35 hektar, Mamara/Ngia 431,80 hektar, dan
Paneki 957,50 hektar dengan teknik konservasi menggunakan teras guludan,
teras bangku dan penanaman cover crop. Sub-sub Das tersebut adalah lokasi-
lokasi yang rawan erosi dan banjir sehingga perlu mendapat prioritas. Lokasi
tersebut merupakan bagian dari kawasan TAHURA. Luas lokasi TAHURA yang
masuk dalam perencanaan konservasi pada lahan-lahan kritis dan rawan erosi
seluas 2.589,95 hektar sampai tahun anggaran 2002/2003 (Bappeda, 2003).

5.3. Kebijakan-kebijakan dalam Pengelolaan TAHURA SULTENG.

Berangkat dari perspektif manfaat Taman Hutan Raya bagi suatu


lingkungan dimana kawasan tersebut merupakan penyangga bagi Kota Palu.
TAHURA dengan Hutan Lindung Paneki, Cagar Alam Poboya, Taman Wisata
Kapopo dan beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) seperti DAS Kavatuna dengan
sub-sub DAS-nya (DAS Poboya, DAS Vatutela dan DAS Vintu) adalah daerah
tangkapan air yang juga menjadi sumber air minum bagi masyarakat Kota Palu
dan untuk pengairan ratusan hektar sawah.
Ketergantungan masyarakat dan mahluk hidup terhadap sumber air dari
kawasan ini cukup besar, maka implementasi kebijakan yang dikeluarkan untuk
mengantisipasi kondisi kekurangan air bahkan kekeringan seperti introduksi
tanaman penghijauan yang sesuai dengan iklim setempat. Instansi pemerintah
seperti Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) merupakan salah satu
bentuk kepedulian dari aspek kebijakan untuk pengelolaan DAS yang berada di
Lembah Palu khususnya dan Sulawesi Tengah umumnya. Kebijakan selain yang
dilakukan institusi BP-DAS adalah penetapan kawasan lembah Palu menjadi Pola
Pengelolaan Khusus yang dikoordinasikan BAPPEDA Propinsi Sulawesi Tengah
bertujuan untuk kelestarian sumberdaya dan kesinambungan sumberdaya hayati
melalui program-program konservasi. TAHURA adalah salah satu kawasan yang
86

menjadi konsentrasi pengelolaan kawasan dari program Pola Pengelolaan Khusus


yang melibatkan para sektor (lintas sektoral). Pertanyaan yang akan muncul,
akankah koodinasi berjalan dengan program kolektif atau hanya sebuah program
yang indah di tatanan konsep, tapi implementasi seperti apa...???. Beberapa hal
yang dapat dijadikan indikator, bahwa sejak penetapan pola pengelolaan khusus
tahun 2003 hingga sekarang belum ada yang dapat dilihat dari kebijakan dan
konsep yang telah disusun rapi dan menjanjikan itu.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1998
tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan kepada
daerah merupakan payung hukum bagi pemerintah daerah untuk melakukan
program-program yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam di daerah.
Peraturan tersebut tidak ditindaklanjuti dalam Peraturan Daerah Propinsi Sulawesi
Tengah Nomor 2 Tahun 2004 yang di dalamnya termasuk Taman Hutan Raya
(TAHURA). Peraturan Pemerintah No. 62/1998 tidak terdapat dalam diktum
Peraturan Daerah No. 2/1004. Dalam Bab V menjelaskan mengenai kriteria dan
pola pengelolaan kawasan lindung, kawasan budidaya dan kawasan tertentu.
Bab tersebut menjelaskan mekanisme pengelolaan yang mengindikasikan adanya
ruang bagi masyarakat di dalam kawasan budidaya dan kawasan tertentu.
Dalam pasal 18 poin (2) dijelaskan bahwa kriteria kawasan lindung untuk
Taman Hutan Raya sebagai berikut :
¾ Merupakan wilayah dengan ciri khas baik asli maupun buatan, baik
pada kawasan yang ekosistemnya masih utuh atau-pun kawasan yang
sudah berubah.
¾ Memiliki keindahan alam, tumbuhan, satwa dan gejala alam.
¾ Mudah dijangkau dan dekat dengan pusat-pusat permukiman penduduk.
¾ Mempunyai luas wilayah yang memungkinkan untuk pembangunan
koleksi tumbuhan dan atau satwa, baik jenis asli dan atau bukan asli.

Pasal tersebut tidak memuat dan menjelaskan bahwa di dalam kawasan


yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi Taman Hutan Raya
(TAHURA), di dalamnya terdapat ratusan kepala keluarga dan ribuan jiwa
manusia yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya kawasan hutan
Peraturan tersebut masih mengundang pertanyaan banyak pihak, termasuk dalam
proses penyusunan Paraturan Daerah No. 2 Tahun 2004 tentang RTRWP Propinsi
Sulawesi Tengah. TAHURA dalam Peraturan Daerah tersebut hanya salah satu
87

poin dari pasal 1 dalam Bab Ketentuan Umum. TAHURA disebutkan disini
adalah kawasan pelestarian yang terutama dimanfaatkan untuk tujuan koleksi
tumbuhan dan/atau satwa, alami atau buatan, jenis asli dan/atau bukan asli,
pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan latihan, budaya pariwisata dan
rekreasi. Dari batasan ini tidak mengandung dimensi yang memberikan ruang
bagi masyarakat yang secara de fakto telah memiliki akses di dalam kawasan
tersebut sebelum peraturan ini diterbitkan.
Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Sulawesi Tengah dalam
pasal 2 menyebutkan bahwa :
(a) Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu berdaya guna
dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan serta
mempertimbangkan masukan dari dinas, instansi terkait, kabupaten dan
aspirasi masyarakat,
(b) Keterbukaan, partisipatif, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.

Peraturan Daerah ini tidak berimplikasi pada pengambil kebijakan yang


berwenang melakukan koordinasi dan mengimplementasikannya. Program
implementasi umumnya sektoralis, sehingga program-program yang semestinya
dilakukan secara holistik (bersama) nampaknya sangat sulit untuk dilakukan..
Peraturan daerah hanya sebagai persyaratan administratif belaka, bukan dijadikan
roh bagi setiap program pembangunan kewilayahan.
Jika dimaknai isi dari pasal 2 Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2004 tersebut
di atas sesungguhnya memberikan peluang yang sangat luas kepada masyarakat
dalam prakondisi kebijakan. Dalam situasi yang sebenarnya berbeda dari harapan
dan keinginan yang akan dicapai dalam peraturan daerah tersebut. Poin dua (2b)
pasal 2 tersebut mengindikasikan adanya persamaan hak dan kewajiban dalam
memanfaatkan ruang yang ada, baik dalam prakondisi maupun dalam penyusunan
produk kebijakan sampai pada implementasinya. Namun yang perlu dicermati
bahwa stakeholders berbeda-beda dalam menentukan tujuan, rencana maupun
tindakan.
88

5.4. Kebijakan Penetapan Tata Batas, Luas Wilayah dan Status


TAHURA.

Penetapan Tata batas, Luas Wilayah dan Status TAHURA Sulawesi Tengah
yang sebelumnya adalah kawasan yang terbuka bagi berbagai pihak dalam
memanfaatkan sumberdaya kawasan hutan berupa kayu dan produk non kayu
(rotan, damar, hasil tambang dll). Perencanaan kawasan ini setelah berlakunya
keputusan Menteri Kehutanan dengan beberapa prinsip pengembangan yaitu (1)
prinsip pelestarian (preservasi dan konservasi) lingkungan alami dari kawasan
TAHURA, (2) prinsip pemanfaatan berbagai potensi lingkungan alami kawasan
TAHURA sebagai media pendidikan, (3) prinsip pengembangan berbagai potensi
lingkungan alami pada kawasan TAHURA untuk kegiatan pariwisata dan
pembibitan serta koleksi flora dan fauna (Kanwil Dephut Sulteng, 1997).
Prinsip ini mengacu pada landasan pengembangan dari rencana tata letak
(Site plan) yang berupaya untuk melestarikan, memanfaatkan dan
mengembangkan berbagai potensi alami yang dapat menjadi suatu wadah aktifitas
masyarakat di dalam kawasan hutan dan masyarakat umum dalam rangka
pengenalan, menanamkan rasa cinta dan rasa kepemilikan. Aktivitas ini menurut
Kantor Wilayah Kehutanan Sulteng (1997) dilakukan melalui beberapa pola
antara lain :
1. Melestarikan berbagai potensi flora, fauna dan ekosistem hutan existing
dalam dan sekitar hutan TAHURA Sulteng sebagai kekayaan
keanekaragaman hayati yang harus dilindungi dan dijaga kelestariannya.
2. Memanfaatkan berbagai potensi flora dan fauna dan ekosistem existing
yang berada di sekitar dan dalam hutan sebagai kekayaan keanekaragaman
hayati yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sosial, ekonomi dan
pendidikan.
3. Mengembangkan berbagai potensi flora, fauna dan ekosistem hutan
existing yang berada sekitar dan dalam kawasan hutan sebagai kekayaan
keanekaragaman hayati yang dapat dinikmati sebagai wahana dalam
berbagai aktifitas sosial, ekonomi dan budaya termasuk kegiatan rekreasi
dan olah raga.
89

Taman Hutan Raya (TAHURA) SULTENG dikukuhkan melalui Surat


Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 24/Kpts-II/1999, menetapkan
status, tata batas dan luas menjadi 7.128 (Tujuh Ribu Seratus Dua Puluh Delapan)
hektar. Dari luasan yang tertata batas saat ini termasuk dalam wilayah Kota Palu
seluas 4.696,27 Ha, dan Wilayah Kabupaten Donggala seluas 2.431,73 Ha.
Keputusan ini merupakan pembaharuan dari Surat Keputusan No. 461/Kpts-
II/1995 dengan luas keseluruhan 8.100 ha, dengan nama TAHURA PALU.
Pengukuhan kawasan hutan sejak dimulai dengan penunjukan kawasan hutan per
propinsi pada tahun 1982-an yang dikenal dengan istilah Tata Guna Hutan
Kesepakatan (Depatemen Kehutanan, 2004). Saat ini Tata Guna Hutan
Kesepakatan (TGHK) sudah tidak digunakan dan diganti dengan penunjukan
kawasan hutan dan perairan propinsi dengan merujuk pada SK Menteri Kehutanan
No. 195/Kpts-II/2003. Surat Keputusan tersebut dibuat berdasarkan masukan
pemerintah daerah dalam bentuk Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Propinsi (RTRWP) yang dipaduserasikan dengan kepentingan
Departemen Kehutanan atau dikenal dengan TGHK baru. Untuk Propinsi
Sulawesi Tengah berdasarkan Perda No. 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Sulawesi Tengah, di dalam pasalnya memuat
Taman Hutan Raya (TAHURA) SULTENG.
Keputusan-keputusan yang menjadi acuan penetapan kawasan hutan
sebagai berikut :
¾ SK Menhut No. 634/Kpts-II/1996 tentang Pedoman Pengukuhan
Hutan.
¾ SK Menhut No. 635/Kpts-II/1996 tentang Panitia Tata Batas.
¾ SK Menhut No. 613/Kpts-II/1997 tentang Pedoman Pengukuhan
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Perairan.
¾ SK Menhut No. 48/Kpts-II/2004 tentang Perubahan Keputusan
Menteri Kehutanan No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan
Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan.
¾ SK Menhut No. 70/Kpts-II/2001 tentang tentang Penetapan Kawasan
Hutan, Pereubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan.
90

¾ SK Menhut No. 32/Kpts-II/2001 tentang Kriteria dan Standar


Pengukuhan Kawasan Hutan.
Proses pelaksanaan tata batas, penetapan luas dan status tidak melalui
sosialisasi terlebih dahulu, baik terhadap masyarakat di dalam/sekitar kawasan
maupun kepada stakeholder yang berkepentingan terhadap sumberdaya
TAHURA, dan pemerintah dalam hal ini bertindak sepihak. Sementara dalam
TGHK baru pada dasarnya untuk penunjukan kawasan hutan tidak menghilangkan
hak seseorang atau kelompok masyarakat atas tanahnya yang berada pada wilayah
yang ditunjuk sebagai kawasan hutan (Departemen Kehutanan, 2004). Dengan
mengacu pada isi keputusan tersebut maka pelaksanaan rekonstruksi kembali tata
batas kawasan hutan TAHURA SULTENG masih memungkinkan untuk
dilakukan dengan pelibatan para pihak (stakeholders), duduk satu meja (molibu).
Hasil wawancara dengan informan yang memiliki interest termasuk
penentu kebijakan bahwa untuk pengembangan ke depan agar TAHURA dapat
berkesinambungan, pihak pengelola (Dinas Kehutanan) harus berani melakukan
rekonstruksi total tata batas, dan dalam proses rekonstruksi tersebut harus
melibatkan penuh masyarakat di dalam kawasan dan stakeholders terkait untuk
menyusun perencanaan bersama11. Hal yang sama disampaikan Kepala Balai
Konservasi Sumberdaya Alam Wilayah VI Sulawesi bahwa pengelolaan
TAHURA harus dilakukan secara khusus dengan membentuk Unit Pengelolaan
Teknis Daerah (UPTD) dan masyarakat sebagai subyek harus masuk dalam
organik sebagai representasi komunitasnya. Kemandegan TAHURA disebabkan
antara lain belum transparannya pengelola terhadap stakeholders khususnya
masyarakat lokal penghuni dalam kawasan yang secara defakto telah memiliki
sumberdaya, memelihara dan memanfaatkannya untuk kehidupan secara turun
temurun.

5.5. Kebijakan Konservasi Kawasan TAHURA

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Paimbonan dkk dalam


Bappeda (2003) mengenai Rancangan Teknik Detail Rehabilitasi Lahan dan
11
Wawancara dengan Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Palu_Poso, Ir. Trimujono
Admomartono, April 2006.
91

Konservasi Tanah Sub DAS Kavatuna seluas 10.000 Ha. Penentuan ini didasarkan
atas kriteria dan tata cara penetapan hutan lindung dan kawasan produksi yang
tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 dan
N0. 683/Kpts/Um/8/1981 dan Keputusan Presiden No. 48/1983. Ketiga keputusan
tersebut menekankan pada tiga faktor yang harus diperhatikan yakni (a)
Kelerengan tanah, (b) Jenis tanah menurut kepekaannya, dan (c) Curah hujan rata-
rata harian.
Kebijakan tersebut dilakukan sebelum dikeluarkannya kebijakan
penetapan kawasan Cagar Alam Poboya, Hutan Lindung Paneki dan lokasi PPN
30 menjadi TAHURA Sulawesi Tengah. Untuk menindaklanjuti kebijakan
tersebut, pihak PDAM melakukan introduksi program berupa pemasanagan pipa
air dan pembangunan bak-bak air pada masing-masing kawasan yang
membutuhkan kontribusi air untuk kesinambungan kehidupan tanaman-tanaman
konservasi yang diintrodusir pada program sejuta pohon yang secara seremoni
dilakukan pada Pekan Penghijauan Nasional (PPN) 30 di Kapopo.
Untuk mewujudkan program besar ini pihak pemerintah daerah melakukan
pengembangan sebagian kawasan ini untuk sektor pariwisata untuk dapat
memberikan pemasukan bagi daerah, dan menyerahkannya kepada Dinas
Pariwisata sebagai pelaksana teknis, melalui Surat Keputusan Nomor:
188.44/1400/Dis 1200 PAR-G.57/2003. Dalam tataran implementasi sangat
menyedihkan, fasilitas yang dibangun hanya untuk kepentingan sesaat, ”proyek
oriented”. Kondisi saat ini fasilitas yang dibangun dengan biaya mahal telah
menjadi tempat berlindungnya hewan-hewan ternak seperti sapi, kambing dikala
hujan dan tidak pernah ditemukan seorangpun pengelola di dalam kawasan ini
selama penelitian.

5.6. Keterlibatan Stakeholder dalam Proses Penetapan TAHURA.


Proses penetapan TAHURA menjadi kawasan pelestarian alam merupakan
integral kebijakan pemerintah daerah Propinsi Sulawesi Tengah melalui Gubernur
yang salah satu dasar pertimbangan bahwa pengembangan Kota Palu ke depan
akan diarahkan pada wilayah bagian Utara dan Timur Kota Palu. Konsekwensi
dari kebijakan ini adalah banyaknya lahan-lahan milik masyarakat yang
dialihfungsikan pemanfaatannya dari lahan penggembalaan dan kebun jagung
92

dikala hujan, menjadi tempat pembangunan sarana dan prasarana seperti Kampus
Universitas Tadulako, yang telah mengambil lahan masyarakat sebesar 250 Ha,
tanpa ganti rugi. Demikian pula halnya lahan-lahan yang dimanfaatkan untuk
pemukiman transmigrasi Lingkungan Industri Kecil (LIK) yang saat ini telah
didefinitifkan menjadi kelurahan Layana Indah. Lokasi pemukiman tersebut
sebelumnya adalah lahan kebun jagung masyarakat dan areal penggembalaan
ternak sapi, kambing dan domba masyarakat Vintu dan Dupa Indah. Karena areal
tersebut termasuk dalam wilayah pengawasan Pemerintah Daerah Propinsi
Sulawesi Tengah sebagaimana disebutkan dalam Surat Keputusan Gubernur No.
SK.239/591/IX/1987 yang ditanda tangani oleh Abdul Azis Lamadjido, SH ;
maka penempatan warga transmigran-pun tidak dilakukan konsolidasi dan
konsultasi dengan masyarakat. Pada era tersebut keputusan pemerintah segala-
galanya, bagi yang melakukan kritik dianggap suversif, sehingga sulit
mendapatkan political will terhadap masyarakat miskin yang jumlahnya terbesar
dari penduduk keseluruhan Kota Palu hingga sekarang.
Dengan situasi ini maka berbagai tanggapan dari para pihak sebagai
bentuk responsibilitas individu sebagai pejabat atau bagian dari pengambil
kebijakan di daerah. Banyak komentar yang dilontarkan ketika dilakukan dialog
(diskusi) dengan mereka, setelah kebijakan kawasan ini diserahkan kepada
pemerintah daerah c/q Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah. Sikap tersebut
merupakan bentuk kepedulian yang tidak memiliki akses langsung, sehingga
mengharapkan pengelolaan kawasan perlu melibatkan stakeholders, dengan
masukan-masukan konstruktif yang perlu mendapat umpan balik dari pemegang
wewenang, disajikan dalam Tabel 17.

Tabel 17. Keterlibatan stakeholders dalam proses tata batas TAHURA SULTENG

Aspek Sumber
Stakeholders keterlibatan Tanggapan/Komentar Informasi
Petani, pdlg Tidak Pemerintah bertindak sepihak Responden
emas, terlibat
perotan
Bapedalda Tidak ¾ Kawasan TAHURA perlu dipertahankan. Drs. Said
terlibat ¾ Perlu sosialisasi intensif Awad, MH
¾ Konservasi tetap digalakkan sesuai dengan (Kepala
konsep bersama. BAPEDALDA
¾ Tidak layak untuk dilakukan eksploitasi SULTENG)
apapun bentuknya.
93

¾ Kawasan tersebut, daerah jalur


penerbangan pesawat penumpang.
BKSDA Terlibat, ¾ Harapannya dapat berlanjut dan semua Kepala
perencanaan pihak bisa terlibat. BKSDA Wil VI
awal, site ¾ Secara teknis selalu memberikan masukan Sulawesi : Ir.
plan – kepada Dinas Kehutanan Istanto, M.Sc
implementa ¾ Pemerintah daerah belum konsern dan Ir. Toran
si sebelum mengelola TAHURA. Lamban
diserahkan ¾ Perlu dibentuk secepatnya UPTD (Unit Tobing.
ke pemda. Pengelola Teknis Daerah).
BP-DAS Terlibat, ¾ Kesinambungan program, harus Kepala BP-
perencanaan melibatkan masyarakat dalam kawasan. DAS Palu-
-site plan ¾ Pengelolaan masih dilakukan sektoral oleh Poso : Ir.
instansi teknis. Trimuljono
¾ Untuk menghindari konflik, perlu Admomartono.
rekonstruksi total tata batas kawasan.
¾ Dinas kehutanan harusnya melakukan
implementasi program bersama
masyarakat.
¾ Masyarakat lokal harus dilibatkan dalam
kelompok pengelola sebagai kontrol
pengamanan TAHURA dengan pendekatan
budaya.
BAPPEDA Terlibat, ¾ Secara khusus TAHURA belum dibuat Sekretaris
SULTENG dalam Perdanya, telah termuat dalam salah satu Bappeda :
penyusunan pasal pada Perda No. 2 Tahun 2004. Sakina, SE dan
draf ¾ Untuk keberlanjutan pelestarian, rencana Ardin
Peraturan eksploitasi tambang emas di Poboya di T.Tayeb,
daerah tolak. SE.MT (Kasie
tentang ¾ Rencana pembukaan jalan poros Parigi- Tata Ruang
RTRWP Palu, melintasi TAHURA tidak disetujui Daerah).
Sulteng. Gubernur krn merusak ekosistem (dlm
pidato tertulis).
LSM Tidak ¾ Tidak ada pengakuan terhadap masyarakat Hedar
Perkum terlibat dan lokal, secara de fakto memiliki Laudjeng, SH
pulan tidak sumberdaya.
Bantaya dilibatkan ¾ Kawasan hutan tetap, perlu dirubah adalah
peraturan.
¾ TAP MPR No. IX/2001 ttg pembaruan
agraria, UU/peraturan bertentangan
otomatis tidak berlaku termasuk UU
Kehutanan.
¾ Perlu dilakukan lokakarya sekaligus
perumusan dan seklaigus produk kebijakan
TAHURA.
Dinas Pengendali ¾ Belum ada kegiatan yang signifikan, dan Kepala Dinas
Kehutanan dan penetapan dilakukan sepihak tanpa Kehutanan : Ir.
pemegang melibatkan masyarakat. Chairul
hak ¾ Izin untuk pemanfaatan sumberdaya alam Anantha dan
pengelolaan TAHURA belum diberikan kepada Kasubdin KPA
siapapun. : Ir. Jein.
DPRD Penetapan ¾ Perda TAHURA secara khusus belum ada. Pimpinan
Propinsi PerDa ¾ TAHURA termuat salah satu pasal dalam Dewan :H.
Perda No. 2 Thn 2004. Helmy D.
Yambas, SE
94

Pelaksanaan kegiatan tata batas berdasarkan Surat Tugas Kepala Dinas


Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah, Nomor 5.98/II-5/KW-PL/88. (dulunya
Kantor Wilayah). Dinas Kehutanan dalam hal ini sebagai pemegang kendali dan
pemegang hak pengelolaan. Penetapan dan pemasangan tapal batas TAHURA
dilakukan sejak Tahun 1986-1987, lalu dilanjutkan pada Tahun 1996-1997, dan
kemudian tapal batas permanen Tahun 1999-2000 untuk proyek Pengelolaan
Khusus dan TAHURA.

5.7. Analisis Right, Responsibility, Revenues dan Relationship (4 R).

5.7.1. Hubungan Stakeholder dalam Pengelolaan TAHURA SULTENG

Pengelolaan suatu kawasan berupa TAHURA tidak dapat berjalan secara


harmonis dan berkesinambungan manakala tidak dilaksanakan secara
komprehenship dan pola kolaboratif. Stakeholder yang berkepentingan merupakan
elemen penting yang tidak bisa diabaikan dalam proses pengelolaannya.
Masyarakat komunitas lokal yang berdomisili di kawasan ini dapat dijadikan
baromater untuk menilai perkembangan kawasan dari waktu ke waktu, terutama
dalam aspek perubahan tutupan lahan dan degradasi dan deforestasi. Mereka yang
lebih mengetahui dan memahami kawasannya dimana mereka hidup.
Sumberdaya alam khususnya hutan bagi masyarakat lokal adalah sumber
penghidupan yang sangat erat kaitannya baik dari aspek emosional maupun
empirik. Dalam proses pengelolaannya juga ditentukan oleh hubungan-hubungan
emosional, hubungan kelembagaan dan hubungan kekerabatan yang melakukan
aktivitas sosial dan ekonomi. Hubungan-hubungan antar stakeholder belum
terbangun suatu pola yang konsern dengan pengembangan TAHURA sebagai
kawasan/daerah penyangga untuk Kota Palu dan sekitarnya. Hubungan
stakeholder khususnya bagi pengendalian sosial umumnya dilakukan antara
individu atau antar orang. Pengendalian merupakan salah satu fungsi pencipta
kondisi bagi kepribadian manusia. Manusia tidak melakukan sesuatu secara serta
merta, akan tetapi kemungkinan besar berdasarkan kesadaran (Soekanto dan
Tjandrasari, 1987).
Dari sejumlah stakeholder yang memiliki interest di TAHURA, hampir
bahkan tidak ditemukan adanya hubungan yang dilakukan melalui program
bersama di dalam kawasan hutan TAHURA dengan pelibatan masyarakat secara
95

partisipatif. Keikutsertaan yang diberikan sesuai dengan kemampuannya adalah


sesuatu yang perlu diapresiasi dan diberikan penghargaan, namun sampai akhir
penelitian tidak satu-pun informasi baik dari komunitas masyarakat lokal maupun
stakeholder lain seperti LSM, Lurah/Kepala Desa, Kepala Dusun, Ketua RT,
menyampaikan keharmonisan dimaksud.
Dari hasil simulasi yang dilakukan bahwa hubungan-hubungan baik secara
individu (aktor) maupun kelembagaan berbeda dari setiap komunitas yang berada
di dalam kawasan TAHURA. Hubungan-hubungan tersebut dapat dilihat dari
hasil simulasi berikut ini :
5.7.1.1. Komunitas Masyarakat Kaili Tara di Vatutela Kelurahan Tondo
Kecamatan Palu Tmur.

BKSDA
Camat DPRD

Dishut Masyarakat
Distamen
LSM
Lurah
PDAM

Untad

Gambar 11. Simulasi hubungan kelembagaan dengan diagram venn, di komunitas masyarakat
Vatutela Kelurahan Tondo Kecamatan Palu Timur.

Keadaan yang digambarkan komunitas masyarakat Vatutela dalam


simulasi di atas menunjukkan tidak adanya komunikasi yang dilakukan baik dari
stakeholder di luar pemerintah maupun pihak pemerintah, kecuali Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM). Institusi di luar LSM melakukan aktivitas
pembangunan bersangkutan yang berkaitan dengan pengembangan
kemasyarakatan sangat jarang melakukan proses komunikasi baik kelompok kecil
di masyarakat maupun kolektif. Dari gambaran tersebut menunjukkan kurang
harmonisnya hubungan antar komunitas masyarakat dalam kawasan dengan Dinas
Kehutanan yang secara kelembagaan bertanggung jawab dengan penetapan tata
batas TAHURA, di dalamnya lahan masyarakat. Hubungan-hubungan antara
stakeholder, menunjukkan tidak adanya koordinasi dan komunikasi yang
96

dilakukan mengenai keberadaan TAHURA. Sementara kawasan ini adalah sumber


penghidupan masyarakat di dalam/sekitar kawasan, juga bagian dari ekosistem
TAHURA.
Dari hasil pengembangan diskusi terfokus (FGD) komunitas masyarakat
lokal Vintu bahwa TAHURA diartikan sebagai Taman Hutan Rakyat. Pengertian
ini membuat gerang dan marah terhadap pemerintah yang sewenang-wenang
melakukan klaim terhadap lahan mereka. Bahkan ada yang memahaminya hutan
tersebut dijadikan Taman Rakyat oleh pemerintah. Komunikasi yang tidak terjalin
antara masyarakat dan pemerintah sebagai pemegang hak kelola, hal tersebut
menjadi krusial ketika kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
melakukan aktivitas kemasyarakatan dan memberikan informasi yang tanggung.
Informasi yang disampaikan kelompok ”LSM” mengindikasikan bahwa
pemanfaatan sumberdaya dalam kawasan tersebut sepenuhnya akses masyarakat
lokal dan atau komunitas masyarakat adat dalam situasi tertentu tidak dapat
optimal.

5.7.1.2. Komunitas Masyarakat Kaili Tara di Vintu Kelurahan Layana


Indah Kecamatan Palu Timur.
Dishut
Palu

Disos Pol
Masyarakat Binsa
P.kop
Dishut
Prop. LSM
Diskes B.dal
da
PPL

Gambar 12. Simulasi hubungan stakeholder pada komunitas masyarakat Vintu


Kelurahan Layana Indah Kecamatan Palu Timur.

Pola hubungan yang terjadi pada komunitas masyarakat lokal Vintu


berbeda dengan komunitas masyarakat di tempat lain yang masuk dalam kawasan
TAHURA. Dari simulasi yang diperlihatkan di atas bahwa yang melakukan
interaksi dengan masyarakat justru institusi-institusi yang secara formal dan tidak
memiliki wewenang terhadap kebijakan TAHURA. Informasi tentang lahan-
lahan masyarakat vintu yang masuk di dalam kawasan TAHURA justru
97

disampaikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) disaat melakukan


aktivtas pemberdayaan masyarakat di komunitas tersebut.
Gambar simulasi di atas menunjukkan bahwa institusi yang melakukan
interaksi dengan masyarakat adalah sektoral sifatnya, antar instansi tidak pernah
melakukan koordinasi baik pada level pengambil kebijakan maupun dalam tataran
impelementasi. Instansi berjalan sendiri-sendiri dan enjoi dengan program
sektoralnya, yang tujuannya hanya sekedar memenuhi target proyek. Indikator
yang dapat dilihat pada kegiatan-kegiatan bersifat proyek oriented berupa plot-
plot percontohan dilakukan sendiri oleh instansi bersangkutan bersama PPL-nya
tanpa dibangun komitmen bersama dengan masyarakat sebagai pelaku dan
sasaran program, seperti Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Peternakan,
Perkebunan dan Kehutanan Kota Palu pada komunitas masyarakat Vintu.
Masyarakat berpandangan, proyek tersebut diciptakan untuk tujuan instansi
bersangkutan, dimana masyarakat berasumsi mereka dijadikan obyek.
Indikatornya bahwa memasukkan proyek ini tidak dilakukan konsultasi publik
(komunikasi dan dialog) sebelumnya, masyarakat suka atau tidak suka harus
menerimanya. Contoh dalam penetapan lokasi proyek, tidak perlu mendapat
persetujuan masyarakat pemilik lahan, penetapan instansi pemerintah (dinas teknis
bersangkutan) sudah yang terbaik.
Stakeholder selama keberadaan TAHURA belum pernah melakukan
interaksi dengan masyarakat, walaupun ada program yang dilakukan stakeholder
bersangkutan di lingkungan Vintu kawasan Bulu Bionga. Stakeholder yang
berkepentingan terutama pihak pemerintah mengintroduksi program sektoralnya
tanpa menjadikan masyarakat sebagai mitra dalam proses penyelenggaraan
program, tetapi sebagai obyek bagi pembangunan proyek bersangkutan.

5.7.1.3. Komunitas Masyarakat Kaili Tara di Bunti Pobau Keluarahan


Poboya Kecamatan Palu Timur.

BKSDA
Camat DPRD

Dishut Masyarakat Distamen


Palu
Lurah PPL
PDAM
Gambar 13. Simulasi Hubungan stakholders di Komunitas Masyarakat Bunti Pobau
Kelurahan Poboya Kecamatan Palu Timur
98

Hasil simulasi yang dilakukan masyarakat lokal yang beraktivitas sebagai


petani bawang di Bunti Pobau Kelurahan Poboya, yang juga dijadikan sebagai
lokasi penghijauan yang dikenal dengan PPN 25, 26, dan 29, menunjukkan bahwa
peran pemerintah sangat kecil untuk melakukan proses pengembangan usaha
perekonomian petani, sementara produksi bawang merah petani di kawasan ini
cukup memadai. Tanpa intervensi pemerintah saja pendapatan dari produksi
bawang merah antara 2,5 sampai 9 juta per kepala keluarga per panen.
Komunitas masyarakat lokal di kawasan ini juga adalah masyarakat adat
Kaili Tara. Kepemilikan lahan di wilayah ini secara de fakto sejak sebelum
negara Republik Indonesia terbentuk. Beberapa indikator yang dapat ditunjukkan
berupa tempat-tempat atau lokasi diberikan nama dan tanda-tanda bekas
pemukiman berupa pekuburan Pomene. Selain pekuburan, lokasi-lokasi di daerah
ini telah memiliki nama seperti Bunti Lari, Kapu’a, Sigogo, Rima-rima,
Tanunggu, Lelona, Pompole Rogo, Pogimba, Pobau (tempat membuat adat),
Songgoraka, Tanibo, Marambu, Masinoe, dan Bosena. Tanaman-tanaman
masyarakat yang dapat dijadikan bukti hak milik adalah kemiri, mangga, kelapa,
durian, kopi dan lain-lain.
Tanaman-tanaman tersebut menunjukkan bukti tanaman leluhur komunitas
masyarakat adat Tara. Tanaman tersebut perlu dilindungi karena merupakan
sumber penghidupan masyarakat. Klaim tanah yang dilakukan pihak pemerintah
dan melarang adanya aktivitas di dalamnya, merupakan perampasan hak atas
tanah ulayat dan tanah individu masyarakat, yang dijadikan kawasan cagar alam.

5.7.1.4. Komunitas Masyarakat Kaili Tara di DAS Poboya Kelurahan


Poboya Kecamatan Palu Timur.

BKSDA DPRD
Camat
Lurah Distamen

LSM
Masyarakat CPM

P.rot
Dishut an
Gambar 14. Simulasi Hubungan stakholder di Komunitas Masyarakat Hulu DAS Pondo
dam Bunti Pobau Kelurahan Poboya Kecamatan Palu Timur
99

Hasil simulasi yang ditunjukkan pada gambar 14 di atas bahwa interaksi


hubungan antar stakeholder sangat sektoralis dimana masing-masing melakukan
aktivitas program sangat jarang melakukan koordinasi. Aktivitas yang diperoleh
beberapa stakeholder agar mendapatkan akses di TAHURA melalui masyarakat
berupa berbagai provokasi program seperti halnya konsorsium LSM yang
menamakan dirinya sebagai Koalisi ORNOP untuk Hutan Sulawesi Tengah
disingkat KORAN. Stakeholder lain melakukan program sektoral berupa
memberikan bantuan kepada masyarakat sebagai investasi sosial agar
mendapatkan akses terhadap hutan di TAHURA.
Untuk akses terhadap sumberdaya alam seperti pertambangan emas, bagi
PT. Citra Palu Minerals (CPM) dari Rio Tinto Group mendapatkan legitimasi
untuk mengakses sumberdaya TAHURA melalui Pemerintah Daerah untuk
melakukan eksplorasi dan menentukan titik-titik pemboran dalam kawasan.
Dalam proses ini menimbulkan konflik horisontal antara sesama masyarakat yang
tidak mau menerima kehadiran perusahaan tersebut untuk mengeksplorasi dan
eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya alam di wilayah mereka. Bagi
kelompok yang berpihak kepada PT. CPM adalah mereka yang telah melakukan
hubungan-hubungan sosial dan mendapatkan kapital (kekuatan) untuk menekan
masyarakat yang menolak kehadiran pertambangan. Dari penekanan-penekanan
yang dilakukan dari pihak pendukung CPM, menimbulkan konflik horisontal
bahkan vertikal. Kehadiran Dinas Pertambangan dan CPM adalah sumber konflik
berdarah di kawasan Poboya Kecamatan Palu Timur. Dari fenomena sosial yang
krusial ini menyebabkan konflik fisik (berdarah) antara sesama warga yang
mendapat suplai dari pihak perusahaan dengan masyarakat yang menolak
pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi tambang di wilayah ini. Kelompok
masyarakat yang menolak mendapat penguatan dari LSM melalui lokakarya dan
aktivitas bersama menyusun perencanaan pemanfaatan kawasan untuk dijadikan
bahan masukan kepada Pemerintah Daerah c/q Dinas Kehutanan Propinsi
Sulawesi Tengah. Lokakarya yang dilakukan tanggal 30 Mei sampai 1 Juni 2006
dengan topik cara Kelola TAHURA Berbasis Komunitas, yang dihadiri oleh
perwakilan masing-masing komunitas masyarakat dengan enam poin kesepakatan
(Koran, 2006) sebagai berikut :
100

1. Masyarakat pengolah dan pemanfaat hasil hutan non kayu (rotan,


damar, madu dll), mendapatkan dukungan dan perlindungan dari
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah atas dasar keberlanjutan
ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan TAHURA.
2. Di kawasan TAHURA tidak ada penambangan (batu, pasir, emas dll),
kecuali dilakukan dengan praktek-praktek kearifan tradisional yang
sudah dilakukan secara turun-temurun.
3. Penempatan tapal batas TAHURA harus melibatkan masyarakat.
4. Keterlibatan pemerintah dalam mengelola TAHURA sangat
dibutuhkan apabila memperhatikan azas manfaat yang besar bagi
kepentingan mayarakat.
5. Reboisasi di TAHURA harus menggunakan tanaman produktif.
6. Mendesak kepada pemerintah untuk merevisi hasil tapal batas
TAHURA dengan melibatkan masyarakat se-tempat.

Jika dimaknai keenam poin di atas, sepenuhnya wewenang di pihak


masyarakat. Dengan fenomena yang ada sekarang perlu penelaahan lebih cermat
dan belajar dari pengalaman yang terjadi pada kawasan Dongi-dongi Taman
Nasional Lore Lindu, berakhir pada open akses yang kebablasan. Keterlibatan
para pihak dalam proses pengelolaan TAHURA perlu membangun komitmen dan
tanggungjawab berkaitan dengan keberlanjutan integritas kawasan. Pemanfaatan
potensi sumberdaya kawasan berupa kandungan tambang emas, perlu pengaturan
yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan hak-hak alam juga menjadi
perhatian yang serius bagi para penambang. Praktek penambangan rakyat dengan
menggunakan teknologi sederhana yang tidak berdampak pada kerusakan
lingkungan seperti penggunaan keset kaki untuk mendapatkan emas dari hasil
galian dalam sungai perlu dipertahankan, dan penggunaan teknologi seperti ini
perlu diatur melalui mekanisme keadatan.

5.7.1.5. Komunitas Masyarakat Kaili Tara & Ledo di Uentumbu Kelurahan


Kavatuna Kecamatan Palu Selatan.

Dishut BKSDA DPRD


Palu

Masyarakat Dishut
Prop.
Lurah
Camat Pdg.
Rotan PDAM

Gambar 15. Simulasi Hubungan stakeholder di Komunitas Masyarakat Uentumbu


Kelurahan Kavatuna Kecamatan Palu Selatan
101

Komunitas masyarakat lokal Uentumbu Kelurahan Kavatuna memiliki


kelompok usaha rotan. Kelompok tersebut mengkhususkan diri sebagai kelompok
yang sumber pendapatannya dari hasil rotan. Kelembagaan kelompok ini
mendapat dukungan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Palu berupa
bantuan dana untuk kelompok baik penguatan kelembagaan maupun
pengembangan usaha. Selain dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota
Palu, juga mendapat supporting program dari Lurah dan pemerintah kecamatan.
Pemasangan tapal batas oleh Dinas Kehutanan pada Tahun 1997 tidak
dilakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat di kawasan ini. Personil
yang ditugaskan merekrut dua orang warga masyarakat lokal di Uentumbu
(Sanarudin/56 thn dan Desa/52 thn) sebagai tenaga kerja dengan upah per harinya
Rp.4.000 (empat ribu rupiah) selama satu bulan. Setelah pemasangan tapal batas
tersebut, kedua warga ini diberikan insentif sebesar Rp. 40.000 (empat puluh
ribu) per bulan selama tiga bulan untuk menjaga dan mengawasi tapal batas yang
telah terpasang di kawasan Hulu Sungai Mamara Kavatuna.
Untuk mendukung kebijakan TAHURA tersebut, pihak Pemerintah
Daerah melalui PDAM melakukan pemasangan pipa dan pembuatan bak-bak air
pada masing-masing kawasan yang dianggap kritis (kekurangan) air yang akan
digunakan untuk menanam pohon yang akan ditanam berupa penghijauan dan
reboisasi dari Departemen Kehutanan. Dalam kegiatan ini pihak PDAM
melakukannya tanpa melibatkan masyarakat sehingga nampak saat ini campuran
semen yang berserakan berbentuk segi empat (bekas bak) dan sebagian tinggal
puing-puing semen.

5.7.1.6. Komunitas Masyarakat Kaili Ledo di Tompu Desa Ngata Baru


(Kapopo) Kecamatan Biromaru Kabupaten Donggala.

Dishut BKSDA
Prop. LSM

Masyarakat
Camat P. Rotan
Kades

Gambar 16. Simulasi Hubungan stakholder di Komunitas Masyarakat Tompu Desa


Ngata Baru Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Donggala, Sulawesi
Tengah.
102

Masyarakat Tompu atau lebih dikenal dengan sebutan To ri Tompu


mendiami kawasan pegunungan Bulili, tepatnya arah Timur dari Desa Ngata
Baru (Kapopo) Kecamatan Sigi-Biromaru Kabupaten Donggala. Tompu berjarak
10 km dari Ibukota Kecamatan Sigi-Biromaru, 50 km dari Ibukota Kabupaten
Donggala dan hanya 15 km dari Kota Palu Ibukota Propinsi Sulawesi Tengah.
Tompu adalah Desa Tua sebelum Indonesia merdeka, dan dikenal sebagai Desa
Adat atau Ngata topo ada’ (Karim, at al, 2005). Masyarakat Tompu dalam
melakukan hubungan sosial selalu dituntun dengan etika sosial yang meurut adat
dalam bertutur kata haarus mengikuti kaidah yang diajarkan tetua (totua ada’).
Komunitas masyarakat lokal Tompu yang dalam hubungan sosial memiliki
kesadaran yang tinggi. Kesadaran sosial individu terhadap kelompok
(komunitasnya) merupakan suatu aspek penting dalam proses pengendalian sosial
maupun perkembangan kepribadian. Perilaku ini merupakan suatu kesadaran
manusia terhadap tindakan fihak lain terhadap komunitasnya dan terhadap
pelbagai jenis perilaku (Tjandrasari dan Soekanto, 1987).
Kesadaran ini (protes terhadap sesuatu) muncul tatkala tim pengukur tapal
batas kawasan TAHURA datang melakukan aktivitas di wilayahnya dengan
menggelar tenda di halaman Kepala Dusun Kalinjo-Tompu tanpa melakukan
konsultasi dan pemberitahuan. Keadaan ini merubah suasana dan pemikiran
komunitas masyarakat adat dan bereaksi terhadap obyek dengan situasi yang
berbeda dari sebelumnya. Kesadaran ini tidak hanya mencakup kesadaran akan
reaksi pihak lain terhadap perilaku kelompok dalam komunitas masyarakat, tetapi
kemampuan untuk membayangkan reaksi apa yang akan tinbul terhadap perilaku
pendatang yang datang melakukan pengukuran di lahan-lahan komunal dan
individu (warga). Dampak dari timbulnya kesadaran sosial, individu menyadari
akan posisinya secara relatif dalam suatu kelompok atau komunitas adat.
Individu merasakan dan menyadari akan lebih terhormat, berprestasi dan
harga dirinya akan terpelihara jika kesadaran untuk melakukan aksi diserahkan
kepada institusi adat untuk mengakomodirnya. Dengan demikian dia menganggap
dirinya mempunyai suatu kedudukan tertentu yang merupakan unsur yang sangat
kuat dalam pengendalian sosialnya. Pengendalian sosial dari individu dalam
komunitas ini cenderung mentaati pola perilaku yang melembaga dan
menghindarkan diri dari perbuatan yang tidak disukai kelompok atau
komunitasnya. Kepercayaan pada pola perilaku yang telah melembaga ini
merupakan hasil pengalaman sosial dan partisipasinya dalam kelompok. Akan
103

tetapi masih ada sebagian kecil dalam kelompok yang terbatas kemampuannya
dalam memahami aturan-aturan yang telah disepakati dalam institusi adat
sehingga melanggarnya. Totalitas perubahan kesadaran ini merupakan hasil dari
proses interaksi dengan pihak luar yang memakan waktu cukup lama.

6.7.1.7. Komunitas Masyarakat Kaili Ledo di Raranggonau (Tanalando)


Desa Pumbeve Kecamatan Biromaru Kabupaten Donggala.

Hasil simulasi di komunitas masyarakat Tanalando di bawah ini berbeda


dengan beberapa komunitas lainnya yang ada dalam kawasan TAHURA. Kontak
yang dilakukan oleh pihak kecamatan, maupun pihak Kabupaten dan Propinsi
berkaitan dengan program sektoral khususnya dengan status kawasan Hutan
Produksi Terbatas (HPT), tapal batas kawasan TAHURA bergeser ke arah Utara.
Pemukiman Tanalando masuk dalam areal HPT, namun sebagian lahan-lahan
kebun masyarakat masuk dalam kawasan TAHURA.

Distan BKSDA
Dishut DPRD
Prop.
Camat
Masyarakat Disos
Kades
P. Rotan

Gambar 17. Simulasi Hubungan stakholder di Komunitas Masyarakat Raranggonau


Desa Pumbeve Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Donggala, Sulawesi
Tengah.

Pola bertani masyarakat Tanalando, dalam membuka lahan tidak semua


pohon ditebang, disisahkan sebahagian pohon-pohon khususnya yang berdiameter
di atas 60 cm. Tujuannya untuk pelindung tanaman coklat dan sebagai penyangga
jika terjadi hujan khususnya lahan-lahan yang berada pada kemiringan.
Untuk komunikasi/interaksi dengan pihak luar, komunitas ini lebih sering
dikunjungi seperti pemerintah desa, kecamatan dan instansi sektoral seperti
petugas lapangan dari Dinas Kehutanan dan pedagang rotan. Mereka ini
melakukan kontak langsung dengan masyarakat Tanalando. Instansi lain datang
hanya berkunjung, tetapi tidak melakukan kontak langsung dengan masyarakat.
104

Komunikasi hanya dilakukan dengan kepala Desa Pumbeve dan Kepala Dusun,
berkaitan dengan program yang akan digulirkan di komunitas ini.

5.7.2. Hak Pemanfaatan Sumberdaya Alam TAHURA.

Hak pemilikan (Property right) untuk memanfaatkan sumberdaya alam


bagi masyarakat komunitas lokal didasarkan pada konsep de jure dan de fakto.
Hak kepemilikan (property right) yang dilegalisasi oleh pemegang hak yang
diwariskan negara adalah pemerintah. Pemerintah melalui Departemen
Kehutanan mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan property right
mempertimbangkan berbagai aspek yang berkaitan dengan kepentingan para
stakeholder.
Hutan bukan hanya sebagai sumberdaya alam yang menunjang
pembangunan ekonomi, tetapi sebagai sumberdaya alam yang menunjang
pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup (keseimbangan ekosistem).
Kebijakan yang bersifat sentralistik, tanpa ada mekanisme bagi masyarakat untuk
memberikan apresiasi (umpan balik), kurang berhasil dalam mengakomodir
kepentingan stakeholder maupun masyarakat di dalam kawasan hutan.
Pemerintah tidak cukup hanya mengandalkan informasi mengenai karakteristik
lokal sumberdaya hutan dan lingkungannya sebagai landasan pengambilan
keputusan dan pengendalian (Ichwandi, 2003).
Hak pemanfaatan bisa juga terkait dengan eksploitasi ekonomi
sumberdaya (Dietz, 2005). Hak dalam prakteknya tidak selalu harus menentukan
siapa yang dizinkan untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Hak
sekurang-kurangnya mengandung tiga komponen yaitu subyek hak, obyek hak,
dan jenis haknya. Selanjutnya dalam sistem tenurial penting diketahui siapa
yang memiliki hak (de jure) atas sumberdaya dan siapa dalam kenyataannya (de
fakto) menggunakan sumberdaya.
Pada hakekatnya terdapat empat (4) jenis property right terhadap
sumberdaya yang berbeda satu sama lain, yaitu milik priadi (private property),
milik umum atau bersama (common property) milik negara (state property), dan
tidak bertuan (open access). Jenis-jenis property right tersebut, TAHURA
SULTENG mengakomodasi ketiganya kecuali open acces. Secara normatif
105

sumberdaya hutan tidak terdapat kawasan open acces karena semua kawasan
hutan di Indonesia adalah dikuasai oleh negara atau state property. Dari 52
informan yang dicoba dieksplorasi informasinya terdapat 3 responden atau sebesar
5,76 % yang memiliki hak milik secaraa de jure. Selebihnya kepemilikan de
fakto sebesar 94,24 % atau sebanyak 48 responden. Hak de fakto tersebut
diwarisi dari leluhur/tetua yang menurun secara terstruktur dari generasi ke
generasi berikutnya.
Kepemilikan yang ada bagi masyarakat lokal di dalam kawasan
TAHURA, karena pengakuan adat, hubungan sosial dan kekerabatan yang terjalin
di masyarakat secara harmonis. Kontrak sosial yang ada di antara sesama warga
masyarakat hanya karena dilatari komitmen moral dan mempercayai serta
meyakini amanah atau pesan-pesan yang ditinggalkan generaasi sebelumnya atau
orang tua bersangkutan. Dengan kondisi terkini saat ini yang menjadi polemik
bahkan konflik adalah penetapan hak terhadap masyarakat lokal yang belum ada
ketegasan pemerintah atau dengan perkataan lain bahwa pihak pemerintah hanya
mengakui hak sesorang jika dibuktikan dengan legal fomal berupa izin, sertifikat
dan sejenisnya, dan ini banyak terjadi di dalam kawasan hutan oleh pemerintah
menetapkan kebijakan tanpa memperdulikan masyarakat yang ada di dalamnya.
Sementara pemilikan yang ada di masyarakat khususnya di luar Jawa dan Madura,
kebanyakan hak kepemilikan ditetapkan berdasarkan hubungan-hubungan sosial
dan adat atau konvensi. Dalam berbagai fenomena yang ada, dan tragedi berdarah
karena perebutan hak, Kartodihardjo (2005) menyatakan bahwa penetapan hak
secara tepat adalah keselarasan antara hak dan kewenangan lembaga lokal
(misalnya : institusi adat), serta hak dan kewenangan pemerintah. Selanjutnya
dipertegas lagi, jika hal ini tidak dilakukan maka masyarakat akan menetapkan
keputusan-keputusan yang diambil di luar hukum yang berlaku, dan akan
membuat kebijakan pengelolaan sumberdaya alam sangat sulit bahkan tidak
mungkin dijalankan.
Kemandegan TAHURA SULTENG merupakan implikasi ketidak
selarasan dalam menetapkan kawasan tersebut, masyarakat dipandang sebagai
komponen yang tidak penting dan tidak memahami sesuatu, bahkan diasumsikan
masyarakat mudah dipindahkan, jika tidak mau akan memanfaatkan semua
106

kekuatan untuk memindahkannya ke tempat lain. Keadaan ini terbukti ketika


kawasan ini direncanakan akan diusulkan menjadi Taman Hutan Raya,
masyarakat Tompu yang berjumlah di atas 1000-an kepala keluarga dipindahkan
ke Palolo sebagai warga transmigrasi lokal yang dikenal dengan program
resetlemen. Warga yang pertama dibawa dengan diberikan berbagai fasilitas
adalah Kepala Desa Tompu. Hal ini dimaksudkan agar warganya tidak bisa
berbuat banyak (tidak dapat melakukan perlawanan), karena pengayom selama
ini sudah tidak ada lagi. Dengan keterpaksaan, sebagian ikut program yang
lainnya melakukan perjalanan sendiri bergantung keinginan dimana ada
kehidupan yang bisa memberikan nafkah keluarga, mencari sesuap nasi untuk
bertahan hidup sehari dua. Penyebaran masyarakat saat itu hampir semua wilayah
ada, termasuk wilayah Parigi, sekarang telah menjadi Kabupaten Parigi Moutong.

5.7.3. Akses Stakeholder terhadap Pengelolaan TAHURA

Akses menurut Ribot dan Peluso (2003) merupakan kemampuan untuk


mendapatkan sesuatu baik dalam bentuk benda, jasa, ilmu pengetahan, dan lain-
lain melalui individu, organisasi, komunitas masyarakat, kelompok tani, dan
sebagainya.
Stakeholders yang berkepentingan dalam pengelolaan akses sumberdaya
alam Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah, disajikan dalam Tabel 18.
Kepentingan tersebut menunjukkan keragaman penggunaan akses, dan melihat
mekanisme pengelolaan akses siapa dan mendapatkan apa di dalam kawasan
TAHURA tersebut (Ribot dan Peluso, 2003). Petani menggunakan sumberdaya
alam melalui pemanfaatan lahan yang diperoleh dan mengalir dari leluhur (nenek
moyang yang menurun berdasarkan garis keturunan) antar lintas generasi.
Sementara stakeholder lain berupa pemanen rotan mengakses sumberdaya hasil
hutan non kayu berdasarkan hak dejure yang dimiliki seperti izin pengolahan yang
diperoleh dengan membayar provisi kepada Dinas Kehutanan, dengan jangka
waktu tertentu dan volume produksi yang terbatas setiap produk.
Dari tujuh kawasan pemukiman di dalam dan sekitar TAHURA hak
pemilikan atas sumberdaya khususnya lahan tidak ditemukan secara de jure,
namun de fakto-nya masyarakat lokal Kaili telah memiliki dan mengelolanya
107

secara lintas generasi melalui pengakuan institusi adat dengan hubungan-


hubungan sosial yang harmoni antar individu dan komunitas masyarakat setempat.
Akses tersebut telah berlangsung lama dengan kebiasaan dan prosedur lokal yang
dilakukan institusi adat kepada warganya. Hal yang sama terhadap hak
kepemilikan (property right) komunal atas sumberdaya berupa tanaman kopi di
lahan-lahan adat yang luasnya berkisar 30 hektar yang saat ini dikuasai oleh
komunitas masyarakat lokal Kaili Tara di Vatutela Kelurahan Tondo Kecamatan
Palu Timur. Namun sampai akhir penelitian dilakukan, belum memperlihatkan
pengakuan pemerintah daerah terhadap kepemilikan sumberdaya komunal yang
juga merupakan sumber pendapatan bagi warga masyarakat lokal Kaili di wilayah
ini. Dalam konteks ini sangat ironis tatakala TAHURA menjadi kawasan
pelestarian disatu sisi dan kepentingan ekonomi warga masyarakat untuk
penghidupan keluarga petani di sisi lain. Kepentingan-kepentingan inilah yang
menjadi sumber permasalahan jika mekanisme pengelolaan akses sumberdaya
alam yang tertata batas dalam kawasan TAHURA tidak jelas. Pemerintah daerah
dengan mengacu pada peraturan-peraturan yang ada, kepentingan-kepentingan
stakeholders tersebut akan dapat terfasilitasi manakala pemerintah daerah
merespon dan menindaklanjuti peraturan-peraturan yang dijabarkan sesuai dengan
kondisi lokal wilayah, akan mendapatkan dukungan moril masyarakat lokal Kaili
dalam kawasan dan stakeholder lainnya. Dari kedua kepentingan tersebut,
masyarakat lokal Kaili tidak menolak kehadiran TAHURA sebagai kawasan
pelestarian, namun perlu dipertimbangkan hak-hak de fakto yang juga menjadi
sumber penghidupan dari 529 kepala keluarga dengan 2.416 jiwa yang
bergantung pada sumberdaya alam TAHURA.
108

Tabel 18. Kepentingan Stakeholders atas sumberdaya alam TAHURA

Stakeholders Kepentingan atas sumberdaya alam TAHURA


Dinas Kehutanan Perlindungan dan pelestarian hutan alam,
Propinsi Sulawesi konservasi, pengaturan/pengelolaan, pemanfaatan
Tengah dan penerapan peraturan.
DPRD Propinsi Sulawesi Menyusun dan menetapkan peraturan daerah
Tengah mengenai TAHURA
Lembaga Swadaya Penguatan masyarakat lokal Kaili dan konservasi
Masyarakat (NGOs) alam.
Petani (subsisten) Pengelolaan lahan usahatani (akses terhadap lahan
& kebun)
Perotan Mengakses sumberdaya alam (hasil hutan : kayu
dan non kayu).
Pendulang emas Mengakses sumberdaya tambang di DAS Poboya
(emas).
PT. Citra Palu Minerals Mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumberdaya
tambang di Cagar Alam Poboya TAHURA
Sulawesi Tengah.
Pedagang sumberdaya Membeli hasil hutan kayu dan non kayu (rotan)
hasil hutan

Dinas Kehutanan (pemerintah) secara normatif adalah pemegang


wewenang dalam pengelolaan Taman Hutan Raya, dan mengatur stakeholders
sesuai dengan kepentingannya masing-masing, namun kenyataan di lapangan
tidak demikian. Banyak kebijakan yang tumpang tindih, hak pemilikan individu
maupun komunal umumnya tidak mendapatkan pengaturan yang jelas, termasuk
zona pengelolaan dan pemanfaatan bagi pemangku kepentingan dan masyarakat
dalam kawasan. Kepentingan stakeholders atas sumberdaya alam TAHURA
tersebut dipetakan berdasarkan aliran akses dengan fakta lapangan sebagaimana
disajikan dalam gambar 18 di bawah ini.
109

PHH Kades
Militer

Pdlg Emas
Pekayu/
Perotan K. adat
Klaim
Pemerintah
Petani
PEMDA/ Sumberdaya
DISHUT TAHURA
SULTENG LSM

CPM
konflik Donatur
Legenda :
: Relasi bisnis (antar stakeholder dan atau donatur).
: Interaksi kapital mutualistis.
: Akses Institusi Adat atas komunitasnya terhadap sumberdaya alam.
: Aliran akses atas sumberdaya
: Pemicu & mediasi.
: Klaim kawasan oleh pemerintah.
Gambar 18. Peta akses stakeholders dalam pengelolaan TAHURA SULTENG

Dari gambar tersebut menunjukkan karakteristik dan peta penggunaan


akses oleh stakeholder atas sumberdaya alam TAHURA. Akses stakeholders
khususnya masyarakat lokal Kaili yang direpresentasikan oleh petani, pendulang
emas dan perotan berjalan secara alami dengan hubungan-hubungan sosial yang
telah terbangun bertahun-tahun, baik internal maupun hubungan dengan pihak
luar. Masyarakat lokal Kaili adalah pengguna akses (gain) atas sumberdaya alam
dan de faktonya, mereka sebagai pemilik sebagian sumberdaya alam berupa lahan
dan tanaman-tanaman keras yang ada di dalamnya. Pemilikan ini merupakan
warisan dari tetua (totua) yang mengalir secara turun-temurun. Selain masyarakat
lokal Kaili yang memanfaatkan sumberdaya tersebut, terdapat pihak lain yang
memanfaatkan aliran akses dari petani, perotan dan pendulang emas seperti
pedagang hasil hutan (PHH). PHH adalah pemanfaat akses dengan perantaraan
stakeholder lain dengan menggunakan kemampuan kapitalnya. Dengan kapital
yang dimiliki, dalam keadaan tertentu berkemampuan mengendalikan akses dari
sumberdaya alam yang ada. Dalam kenyataannya di lapangan, ditemukan
110

beberapa penggarap (tenaga kerja) bukan pemilik lahan. Pemilik lahan adalah
pemodal (beberapa pejabat di daerah) yang mempekerjakan sekelompok
masyarakat sebagai tenaga kerja harian. Beberapa kasus tersebut ditemukan pada
petani bawang di Bunti Pobau. Pemanfaat akses selain masyarakat lokal Kaili
adalah militer dan atau pihak yang memiliki kekuasaan dan teknologi untuk
dijadikan kekuatan mendapatkan akses sumberdaya melalui hubungan-hubungan
dengan stakeholder yang mengakses langsung. Proses-proses tersebut berjalan
secara normal tanpa menimbulkan ekses-ekses negatif.
Kebijakan pemerintah melalui KepMenHut No. 461/Kpts-II/1995, maka
ditetapkan kawasan Cagar Alam Poboya, Hutan Lindung Paneki dan PPN 30
menjadi TAHURA, klaim-pun terjadi pada tahun 1997 dengan membatasi akses
masyarakat lokal Kaili melakukan aktivitas usahatani dan kegiatan ekonomi
lainnya di dalam kawasan yang telah dipatok (di tata batas sementara). Kemudian
penetapan tata batas permanen dilakukan tahun 1999 dengan mengganti tapal
batas yang terbuat dari kayu dengan tapal batas yang terbuat dari semen bertulang
besi. Dari proses penataan batas tahun 1997, maka tahun 1998 pengusiran dan
pemindahan terhadap masyarakat lokal Kaili yang berada dalam kawasan ke
wilayah lain juga dilakukan seperti komunitas masyarakat Vatutela, Poboya,
Tompu dan Raranggonau, namun masyarakat tetap bertahan dan melakukan
perlawanan12. Hal ini terjadi karena pemerintah tidak mengakui kepemilikan de
fakto (praktek kepemilikan adat), dan masyarakat tidak dapat menunjukkan
kepemilikan formal yang berdasarkan hukum atau peraturan yang dianggap sah
oleh negara (Affif, 2002). Ketidakpedulian negara atas pemilikan de fakto
berdampak pada situasi yang tidak kondusif yaitu keadaan menjadi krusial,
perlawanan laten di masyarakat terhadap birokrasi pemerintahan telah tercipta
dan menjadi borok yang disembunyikan. Perlawanan laten tersebut terakumulasi
beriring dengan proses waktu, terekpresikan secara reflektif tatkala pemerintah
memberikan izin pengelolaan tambang emas di Cagar Alam Poboya kepada PT.
Citra Palu Mineral dan melakukann eksplorasi Tahun 1994-1995, dilanjutkan
tahun 1997-200213. Dalam proses eksplorasi ini konflik horisontal dan vertikal
terjadi. Konflik horisontal adalah kelompok yang berpihak pada swasta dengan

12
Hasil wawancara ”Muslima” (67 th), tokoh masyarakat Vatutela, 17 Juli 2006.
13
”Sarjun (43 th)” warga Poboya yang menjadi tenaga eksploratif tambang tahun 1997-1998. Pada
eksplorasi ditemukan 22 titik bor yang siap dieksploitasi oleh PT. Citra Palu Minerals (anak
perusahaan Rio Tinto Group). Wawancara 27 Juli 2006.
111

masyarakat yang mempertahankan eksistensi kawasan tetap terlindungi dari


eksploitasi. Masyarakat dari kelompok konservasionist dibantu oleh kelompok
pekerja sosial termasuk LSM yang melakukan penguatan terhadap masyarakat
agar tetap melakukan perlawanan dan mempertahankan eksistensi cagar alam
sebagai yang perlu mendapat perlindungan. Kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah (Dinas Kehutanan) dengan eksistensi TAHURA menjadi buruk dan
dianggap tidak bertanggung jawab serta melanggar komitment. Pemerintah dalam
perspektif masyarakat atas keberlanjutan eksistensi TAHURA adalah kendali atas
akses, yang mengatur pengelolaan konservasi agar tetap berkelanjutan, namun
faktanya justru sebaliknya ; berpihak kepada pemilik modal (kelompok kapitalis).
Pengelolaan akses di tataran implementasi, institiusi adat sangat besar
peranannya khususnya dalam proses pengaturan anggota (warganya) dalam
melakukan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam sekalipun institusi adat tidak
melakukan akses langsung secara teknis. Dalam perilaku masyarakat lokal Kaili
(komunitas masyarakat adat) sangat taat dengan keputusan adat dan tunduk
dengan aturan-aturan yang berkaitan dengan religiusitas.
Mekanisme akses dari pemanfaatan sumberdaya alam di lokasi penelitian
disajikan dalam Tabel 19 di bawah ini :

Tabel 19. Peran stakeholders berdasarkan mekanisme akses sumberdaya TAHURA

Mekanisme akses
Stakeholders Pengguna akses Kendali akses Memelihara akses
(Gain) (Control acces) (Maintain akses)
Dinas Kehutanan 9 9
PT. Citra Palu 9
Minerals
Petani (subsisten) 9 9
Perotan 9 9
Pendulang emas 9
Pengumpul batu kali 9
LSM 9
Traeler 9
Institusi adat 9 9 9
Sumber : Ribot dan Peluso (2003).

Dinas Kehutanan adalah pemegang wewenang terutama untuk


mengendalikan akses sumberdaya kawasan TAHURA. Dengan ditetapkannya
kawasan ini menjadi wilayah konservasi maka tanggung jawab penuh berada pada
Dinas Kehutanan, baik propinsi maupun kabupaten/kota, yang mewakili
pemerintah atas negara. Jika kontrol akses dilakukan dengan baik berdasarkan
112

mekanisme tersebut di atas, konflik atas pemanfaatan sumberdaya alam akan


dapat ditekan dan dieliminir, pada gilirannya akan dapat dilakukan pengelolaan
kolaboratif berdasarkan fungsi yang sebenarnya. Fakta menunjukkan mekanisme
tidak berjalan dan kurang harmonisnya hubungan sosial dalam pemanfaatan
sumberdaya, sengketa antar petugas lapangan dari instansi pemerintah sering saja
terjadi dalam areal petani yang dimanfaatkan untuk tanaman bawang dan palawija
lainnya14.
Stakeholders yang berfungsi menjadi pengendali akses adalah Dinas
Kehutanan, dan pada level implementasi adalah institusi adat (kelembagaan adat)
setempat. Dinas Kehutanan (pemerintah) melakukan kontrol pada tataran
kebijakan termasuk pengaturan pemberian izin pemanfaatan sumberdaya alam.
Dengan melihat mekanisme yang ditunjukkan dalam Tabel 19 di atas, keragaman
pemanfaatan sumberdaya tersebut sesungguhnya dapat berjalan jika sistem
governance terhadap pengelolaan sumberdaya alam berjalan dengan baik.
Kelembagaan adat dalam memfasilitasi warganya untuk mengakses
sumberdaya alam didasarkan pada kearifan-kearifan lokal yang didominasi norma
dan etika yang bersumber dari adat istiadat dan kepercayaan (Kartodihardjo,
2006). Masyarakat lokal Kaili Ledo dan Tara di lokasi penelitian, tergolong
dalam kelompok penerima manfaat/pengguna dari sumberdaya alam di kawasan
ini. Stakeholders yang termasuk dalam kelompok tersebut adalah petani,
pendulang emas, pengumpul batu kali, PT. Citra Palu Mineral, traeler, dan
institusi adat. Dalam proses memanfaatkan sumberdaya, beberapa stakeholder
yang termasuk dalam kelompok ini sekaligus memelihara sumberdaya yang
diakses, kecuali pendulang emas, pengumpul batu kali, PT. Citra Palu Mineral
dan traeler (pedagang/pengusaha hasil hutan). Institusi adat merupakan
stakeholder yang termasuk dalam kelompok pengguna tidak langsung, pemelihara
akses sumberdaya melalui kearifan-kearifan lokal yang dimiliki dalam
pengelolaan sumberdaya hutan dan sebagai pengontrol akses melalui etika moral
yang sudah merupakan keharusan dan dogma terhadap warga (anggota) komunitas
masyarakat adat bersangkutan.
Dalam pelaksanaan aktivitas ekonomi mereka berupa mengambil
sumberdaya alam di dalam kawasan tetap dalam koridor etika yaitu

14
”Ali Djaludin M (57 th), sengketa pemanfaatan lahan untuk pembibitan tanaman Jarak dari
PemDa Kota Palu dengan masyarakat petani bawang di Bunti Pobau Poboya, wawancara 7
Agustus 2006.
113

memperhatikan hak-hak alam seperti rotan yang berada di sekitar hulu sungai
tidak boleh diambil atau ditebang15.

Tabel 20. Ringkasan dari right, responsibility dan revenues di TAHURA


SULTENG

Stakeholders Right Responsi Revenues


bility
(1) (2) (3) (4)
Petani Hak : ada Ada Menerima pemasukan dari penjualan hasil
subsisten Akses : ada padi ladang, coklat, kemiri, buah-buahan,
sayuran dan lain-lain.
Pendulang Hak : tidak ada Tidak ada Menerima penjualan emas hasil dulangan,
emas Akses : ada sebesar Rp. 20.000-Rp. 50.000/hari atau 2-
5 kaca/hari.
Penambang Hak : tidak ada Tidak ada Menerima hasil penjualan batu kali dan
batu kali Akses : ada kerikil.
Petani Hak : ada Ada Menerima hasil penjualan bawang sebesar
bawanhg Akses : ada 2,5 s/d 9 juta per panen.
Pengambil Hak : ada Ada Menerima hasil penjualan rotan sebesar Rp.
rotan Akses : ada 292.500 per bulan (pdpt, beresih).
Pedagang Hak : tidak ada Tidak ada Menerima manfaat/produksi rotan dari
rotan Akses : ada petani kelompok pengambil rotan.
Kepala Dinas Hak : ada Ada Menerima hasil pengurusan hak (berupa
Kehutanan Akses : ada Izin, restribusi) sumberdaya hutan kayu dan
non kayu (mendapatkan fee dari hasil
hutan).
Pimpinan Hak : tidak ada Tidak ada Mendapatkan fee dari hasil pengurusan izin
DPRD Akses : ada eksploitasi/eksplorasi sumberdaya.
PT. Citra Palu Hak : ada Tidak ada Dapat melakukan eksplorasi dan data-
Minerals Akses : ada data/tiik-titik pemboran (5 titik bor = 3 ttk
dalam kawasan, 2 ttk sekitar kawasan.
LSM Hak : tidak ada Ada Mendapatkan manfaat dari donor, melalui
Akses : ada akses masyarakat terhadap kawasan hutan.
Babinsa Hak : tidak ada Tidak ada Manfaat langsung dan tidak langsung
Akses: tidak ada dengan pedagang rotan dan kayu (hasil
sumberdaya hutan).
PPL Hak : tidak ada Ada Manfaat langsung berupa honor dari
Akses : ada aktivitas yang dilakukan.
Kepala Dinas Hak : tidak ada Tidak ada Manfaat izin berupa fee dari perusahaan
Pertambangan Akses : ada pertambangan dalam kawasan hutan.
Kades/Kepala Hak : ada Ada Menerima pungutan hasil kesepakatan
Dusun/RT Akses : ada dengan petani/perotan dll (untuk kas
dusun/RT, sebagian ke desa/kas kelurahan).
Dari ringkasan right, responsibility dan revenues di atas menunjukan
bahwa proporsi masing-masing stakeholder berbeda-beda terhadap kawasan
TAHURA, baik dalam bentuk tanggung jawab maupun manfaat yang diterima.

15
Sanatanji (58 th), tokoh masyarakat di Uentumbu : Syarat-syarat rotan yang layak diambil.
Jenis rotan yang diambil adalah jenis batang yang ukurannya berdiameter 4-7 cm dengan
panjang antara 10-20 meter setiap batangnya.
114

Demikian pula terhadap pemegang wewenang (yang memberikan hak)


pengelolaan kepada stakeholder. Dengan ringkasan tersebut dapat diihat siapa-
siapa yang mendapatkan hak, akses dan manfaat, dan siapa saja yang tidak
mendapatkan hak, tetapi mendapatkan akses dan manfaat dari sumberdaya,
bahkan dapat dilihat pula siapa-siapa yang tidak mendapatkan hak dan akses
namun mendapatkan manfaat dari sumberdaya tersebut.
Keragaman yang mendapatkan sesuatu dari sumberdaya tersebut bagi
aktor/stakeholders bisa jadi karena memang berdasarkan legal hukum
mendapatkan haknya, dan tanpa legal hukum namun memiliki akses karena
interaksi dan hubungan-hubungan sosial, pengakuan adat yang telah berlangsung
turun-temurun untuk mendapatkan hak dan menerima manfaat. Selain hubungan
kelembagaan, dapat pula manfaat diterima karena hubungan sosial yang dijalin
secara personal lalu dilegalisasi melalui konvensi (hukum adat), berdasarkan
realitas wajar mendapatkan akses dan hak dengan kriteria-kriteria yang
situasional. Hubungan-hubungan sosial ini menurut Faucault dalam Peluso dan
Ribot (2003), dalam situasi tertentu masyarakat memiliki kekuatan yang lebih
ketika memiliki hubungan sosial.
Petani subsisten (masyarakat lokal) yang merupakan stakeholder utama
telah mendapatkan kepemilikan de fakto yang diwariskan leluhurnya dan
dilegitimasi oleh adat, pengakuan sosial komunitas masyarakat setempat sehingga
akses yang dimiliki juga berdasarkan pemilikan yang keabsahannya diakui
berdasarkan hubungan sosial kemasyarakatan. Dengan demikian tanggung jawab
terhadap sumberdaya juga besar dimana alam merupakan sumber penghidupan
satu-satunya yang harus dijaga kelestarian dan kesinambungannya untuk anak
cucu (generasi yang akan datang). Fakta-fakta yang dapat membuktikan kuat dan
besarnya akses terhadap sumberdaya dimaksud adanya berupa tanaman-tanaman
perkebunan (coklat, cengkeh, kelapa, kemiri, durian, langsat) dan tanaman
musiman seperti berbagai sayur mayur, tanaman pangan, padi ladang dan pohon-
pohon tanaman leluhur. Selain tanaman tersebut penamaan lokasi-lokasi kebun
dan pekuburan tua secara massal. Dari fenomena yang ada, Tawney dalam Ribot
dan Peluso (2003), mulai memperluas definisi property menjadi kepemilikan
akses pasar. Selanjutnya dikemukakan aspek “tangible” dan “ingtangible” dalam
115

menilai suatu komoditas, bahwa dalam suatu kepemilikan terdapat berbagai


hubungan sosial.
Untuk pendulang emas dan penambang batu kali memiliki akses terhadap
pemanfaatan sumberdaya alam pada Daerah Aliran Sungai Pondo yang
mengandung emas. Pendulang emas tersebut malakukan aktivitas tanpa
menggunakan legal formal berupa hak pemanfaatan sumberdaya seperti atribut
hukum (izin pengolahan, keterangan dari pemerintah setempat, dll).
Hak dan akses merupakan dua konsep yang berbeda dalam perspektif
pemanfaatan sumberdaya alam. Hak (right) adalah pemilikan sesuatu sumberdaya
yang dibuktikan dengan atribut hukum berupa perizinan dan sejenisnya yang
dikeluarkan oleh lembaga atau intansi pemerintah yang diberikan wewenang
berdasarkan aturan perundang-undangan. Akses dalam perspektif masyarakat
lokal Kaili merupakan suatu pemilikan yang telah lama berlangsung, dan
beriteraksi dengan alam dan sumberdaya di dalamnya. Situasi ini masyarakat
merasakan dampak yang sangat besar pengaruhnya terhadap proses aktivitas
berusaha, khususnya kegiatan usaha di sektor pertanian dan tanaman keras.
Stabilitas sumberdaya alam selama dikelola oleh masyarakat adat tidak berkurang
dalam pengertian kemampuan lahan untuk mengakomodasi siklus ekologi
kawasan yang ada saat ini. Masyarakat lokal Kaili (adat) menganggap segala
sesuatu dalam alam saling berhubungan, dan percaya bahwa semua kejadian
langsung atau tidak, merupakan sebuah konsekwensi dari perilaku manusia.
Persepsi masyarakat lokal Kaili di TAHURA tentang alam tersebut hampir sama
dengan konsep ekologi manusia, bahwa perbuatan manusia akan menghasilkan
efek berantai melalui ekosistem dan sistem sosial (Marten, 2001). Oleh karena itu
dalam proses pengaksesan sumberdaya selalu mengikuti kaidah dan etika, nilai-
nilai yang ada selama ini, baik sumberdaya yang dapat diperbaharui (reneweble
resources) maupun yang tidak dapat diperbaharui (Non reneweble resources),
dimana alam dipahami mempunyai sifat keseimbangan yang mudah rusak jika
manusia merubah ekosistem dari kondisi alamnya (Kartodihardjo, 2006).
Masyarakat lokal Kaili merupakan suatu kesatuan masyarakat adat yang
bersifat otonom dimana mereka mengatur sistem kehidupannya (hukum, politik,
ekonomi dsb), dan selain itu bersifat otohton yaitu suatu kesatuan masyarakat adat
116

yang lahir/dibentuk oleh masyarakat itu sendiri, bukan atas bentukan desa dengan
LKMD-nya (Fay dkk, 2000). Kehidupan komunitas masyarakat kini tidak
sepenuhnya otonom dan terlepas dari proses pengintegrasian ke dalam kesatuan
organisasi kehidupan negara, bangsa yang lebih besar dan berformat nasional
(Wignyosoebroto, 1999a dalam Fay dkk, 2000), sehingga rumusan-rumusan
mengenai masyarakat adat yang dibuat pada masa sebelum kemerdekaan
cenderung kaku dalam kondisi masyarakat adat yang statis tanpa tekanan
perubahan. Sementara rumusan masyarakat adat yang dibuat setelah kemerdekaan
lebih bersifat dinamis melihat kenyataan masyarakat adat saat ini dalam tekanan
perubahan. Beberapa ciri pokok masyarakat hukum adat merupakan suatu
kelompok manusia, mempunyai kekayaan tersendiri terlepas dari kekayaan
perorangan mempunyai batas wilayah tertentu, dan mempunyai kewenangan
tertentu (Maria Sumardjono, 2005). Selanjutnya dijelaskan, hak ulayat
menunjukkan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat (subyek hak) dan
tanah/wilayah tertentu (obyek hak), dan adanya kewenangan masyarakat hukum
adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang berhubungan dengan tanah
dan sumberdaya alam (hutan), dan perbuatan-perbuatan hukum. Hak-hak menurut
Fay dkk (2004) berisi wewenang untuk : (a) mengatur dan menyelenggarakan
penggunaan tanah (untuk pemukiman, bercocok tanam, dll), persediaan
(pembuatan pemukiman/perladangan baru) dan pemeliharaan tanah, (b) mengatur
dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah (memberikan hak
tertentu pada subyek tertentu), dan (c) mengatur dan menetapkan hubungan
hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan
dengan tanah (jual beli, warisan dll). Wewenang hak ulayat tersebut menyatarakn
bahwa hubungan antar masyarakat hukum adat dan tanah/wilayahnya adalah
hubungan menguasai, bukan hubungan milik sebagaimana halnya dalam konsep
hubungan antar negara dan tanah menurut pasal 33 ayat (3) UUD 1945 (Maria
Sumardjono, 2005).
Akses yang didapatkan dalam bentuk penerimaan secara langsung
maupun tidak langsung merupakan sebagian dari konsekwensi adanya
kemampuan yang dimiliki pada masing-masing stakeholders selain hak yang
dimiliki, seperti kelompok pengambil/pemungut rotan. Besar-kecilnya akses
kelompok ini sangat bergantung pada pemegang hak legal (pemilik izin)
pengelolaan sumberdaya hutan baik kayu maupun non kayu. Manfaat yang
117

diterima secara langsung (revenues) oleh stakeholder dari akses sumberdaya alam
di TAHURA disajikan dalam Tabel 21 berikut :

Tabel 21. Pendapatan rata-rata warga masyarakat lokal (adat) per bulan di
lokasi penelitian.

Komunitas Penghasilan Pengeluaran


masyarakat Sumber penghasilan Rata-rata (Biaya Pendapatan
(bln, panen) produksi)
Vintu Komoditas 520.000 30.000 490.000
campuran, karyawan
perusahaan rotan
Vatutela Coklat, cengkeh, 300.000 - 300.000
kopi, batu kali,
karyawan
perusahaan roti
Bunti Pobau Komoditas Bawang 1.000.000 113.300 886.700
DAS Pondo Emas, coklat, 1.106.000 123.330 983.330
bawang, kemiri
Uentumbu Rotan (hasil hutan 382.500 99.000 292.500
non kayu)
Tompu Komoditas 280.000 - 280.000
campuran, rotan
Raranggonau Komoditas 800.000 125.000 675.000
campuran

Tabel 21 di atas menunjukkan besarnya penerimaan stakeholders dari


pengelolaan akses sumberdaya alam di dalam kawasan TAHURA yang umumnya
belum memiliki hak de jure kecuali pengelola rotan yang menggunakan izin
pengolahan dari salah seorang pemegang hak (eks HPH). Penerimaan yang
bersumber dari sumberdaya alam non hutan berupa produk-produk pertanian
seperti bawang, sayur-sayuran, padi, coklat, kopi, cengkeh dan tanaman
perekebunan lainnya merupakan kepemilikan de fakto atas pengolahan lahan
untuk tanaman pertanian dan perkebunan. Akses terhadap sumberdaya lahan/tanah
dari masing-masing individu dan atau keluarga berbeda, brgantung kemampuan
dan kebutuhan keluarga petani serta kepemilikan yang dipersyaratkan dari
komunitas adat yang diwariskan dari leluhur tetuanya.
Analisis ”3R” (Right, responsibility, Revenues) mempresentasikan siapa
yang memiliki tanggung jawab besar melalui penilaian bersama yang dilakukan
kelompok komunitas masyarakat dengan bobot tertentu, stakeholder mana yang
118

mengendalikan akses (pemegang hak kelola), dan siapa yang menerima manfaat
atau pengguna serta pemelihara akses sumberdaya TAHURA.

Tabel 22. Right, responsibility dan revenues, 14 dari 22 stakeholders.

Stakeholders Right Nilai Responsibility Nilai Revenues Nilai


Petani Akses thdp 2 Merencanakan 1 Menjual, 5
Subsisten lahan, tata guna lahan konsumsi hasil
partisipasi dalam dan registrasi tani
keputusan
Pendulang Tidak ada 0 Tidak ada 0 Menjual hasil 2
emas pendulangan
Penambang Tidak ada 0 Tidak ada 0 Menjual hasil 2
Batu kali tambangan
Petani Akses terhadap 2 Merencanakan 1 Menjual hasil 5
Bawang lahan, partisipasi tata guna lahan, usahatani
dalam keputusan register
Kelompok Akses terhadap 3 Menanam bibit 3 Menjual hasil 5
Rotan hasil hutan non rotan dalam hutan non kayu
kayu hutan
Dinas Supervisi, 4 Kontrol 2 Penerimaan dari 3,5
Kehutanan pengelolaan tebangan, hasil hutan dan
menarik pajak, fee
koordinasi
Pimpinan Akses terhadap 2 Kontrol terhadap 1 Penerimaan 2
DPRD masyarakat lokal pelaksanaan PAD dari
ttg penerapan perda intansi teknis
perda
PT.Citra HGU penuh 3 Mengelola 0 Belum ada 0
Palu pertambangan
Minerals emas dgn baik
Pedagang Tidak ada 0 Tidak ada 0 Menerima rotan 3
Rotan dari masyarakat
lokal
LSM Tidak ada 0 Memfasilitasi, 5 Menerima jasa 2
mendampingi dari dampingan
masyarakat lokal
(adat)
Kades/ Akses terhadap 3 Menjaga dan 2 Fee, upah, 1
Kadus/ RT semua mengawasi hadiah
sumberdaya kawasan,
wilayahnya
Babinsa Tidak ada 0 Tidak ada 0 Fee, upah, 1
hadiah
Distamen Tidak ada 0 Tidak ada 0 Fee dari 2
perizinan
tambang
PPL Akses terhadap 2 Menyampaikan 1 Upah/gaji dari 2
informasi penyuluhan, kerja
infomrasi ke- penyuluhan.
masyarakat
Keterangan : 1= sangat kurang, 2= kurang, 3= cukup/sedang, 4=tinggi, 5= sangat tinggi
(maksimum)
119

Tabel 22 di atas merupakan hasil perumusan 3R dari stakeholder


masyarakat lokal. Dalam proses menentukan penilaian tersebut, setiap komunitas
masyarakat yang berkumpul dan tergabung dalam satu kelompok,
mempresentasikan tabel mereka dan peserta bersama-sama mengecek hasilnya.
Pengecekan setiap baris dan kolom “R”, untuk konsistensi dan kesepakatan akhir.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pemerintah (Dinas Kehutanan) kurang
mengambil tangung jawab dalam pengelolaan dan keberlanjutan TAHURA.
Kurangnya tanggung jawab ini diindikasikan belum sinkronnya peraturan
perundang-undangan dengan kebijakan di daerah dalam hal pengelolaan kawasan
TAHURA, dan atau pemerintah daerah tidak mau peduli dengan kondisi yang
sedang maupun akan terjadi16.
Hasil rumusan yang dilakukan bersama masyarakat dalam kawasan
TAHURA menunjukkan bahwa Dinas Kehutanan yang memiliki kewenangan
besar dalam pengelolaan, namun kenyataannya di lapangan tidak memperlihatkan
fakta tersebut. Petugas dari Dinas Kehutanan hanya beraktivitas melakukan
pelarangan bagi masyarakat untuk berusaha di dalam kawasan dengan berkelik
dibelakang peraturan preservasi, bahwa masyarakat tidak boleh mengganggu
sumberdaya yang berada di dalam kawasan sekalipun milik masyarakat
sebelumnya.
Komunitas masyarakat lokal yang berada pada setiap kawasan merupakan
satu kelompok diskusi yang melakukan interaktif. Dalam penelitian ini terdapat 7
(tujuh) kawasan (kelompok masyarakat lokal) yang menjadi sumber data dan
kelompok diskusi yang mengambil 14 stakeholder untuk dianalisis. Analisis
untuk situasi saat ini dilakukan melalui kelompok, diskusi dan persetujuan setiap
hak, tanggung jawab dan manfaat yang berkaitan dengan TAHURA secara
langsung, setiap stakeholder pada kondisi sekarang dan yang aktual. Kelompok
mencatat masalah-maslah kunci dan memberikan suatu nilai relatif (0 = tidak ada,
5= tertinggi/maksimum) untuk setiap 3R di dalam tabel. Stakeholder dengan
kebijakan atau tanggung jawab legal bukan merupakan tanggung jawab yang

16
Wawancara dengan Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sulawewsi Tengah ”Ir. Haerul Anantha”
bahwa kewewenang pengelolaan oleh pemerintah pusat, dan penetapan tata batas dilakukan
secara sepihak oleh pemerintah tanpa melibatkan pihak lain termasuk masyarakat setempat.
120

secara aktual ada, penggambaran itu merefleksikan kebijakan dan nilai


merefleksikan kenyataan.

Tabel 23. Perbandingan antar Stakeholder dari Aspek Hak, Tanggung Jawab dan
Manfaat (Penerimaan).

Stakeholder yang paling Stakeholder yang paling Stakeholder yang paling


tinggi : Hak. tinggi : Tanggung jawab. tinggi : manfaat.
1. Dinas Kehutanan 1. LSM. 1. Petani subsisten/ petani
2. PT.Citra Palu 2. Kelompok Rotan bawang/ Kelompok
Minerals/Kades/Kad 3. Dinas rotan.
us/ Ka.RT Kehutanan/Kades/ 2. Dinas Kehutanan
3. Petani Kadus/ Ka. RT. 3. Pedagang rotan
subsisten/Petani 4. Petani subsisten/ Petani 4. Pendulang emas,
bawang/PPL bawang/ Pimpinan Pimpinan DPRD/
DPRD/ PPL LSM/Dinas
Pertambangan, PPL.

Perbandingan antar stakeholders dari aspek hak, tanggung jawab dan


manfaat yang berbeda. Dinas Kehutanan (pemerintah) yang merupakan
stakeholder yang mendapatkan hak tertinggi dan memiliki wewenang terhadap
pengelolaan TAHURA Sulawesi Tengah, namun dalam kenyataannya tidak
memberikan apresiasi bagi keberlanjutan pengelolaan sumberdaya di dalam
kawasan termasuk masyarakat pemukim yang ada di dalam dan sekitar kawasan.
Pada sisi lain Dinas Kehutanan kurang mengambil tanggung jawab dalam hal
pengelolaan sehingga situasi di lapangan terjadi mis-komunikasi antar stakeholder
dan masyarakat lokal yang bergantung sepenuhnya kepada sumberdaya di dalam
kawasan TAHURA.
Kelompok (stakeholders) yang memiliki tanggung jawab besar terhadap
keberlanjutan pelestarian TAHURA adalah Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM). Dalam beberapa pertemuan dan lokakarya yang dilakukan perkumpulan
oraganisasi non pemerintah (LSM) seperti KORAN (koalisi ornop untuk hutan
Sulawesi Tengah) dan LSM perkumpulan Bantaya, menginginkan adanya
pengelolaan berbasis komunitas dan ekologis. Hal ini masih dalam tataran wacana
yang disosialisasikan kepada beberapa komunitas masyarakat lokal yang berada
dalam kawasan. Situasi akan berbeda jika konsep pengelolaan yang ditawarkan
kepada komunitas bukan hasil kesepakatan duduk bersama antar pihak. Dua
kelompok ORNOP yang melakukan aktivitas pendampingan yang berbeda dalam
121

mengembangkan program untuk pengelolaan TAHURA. Kelompok pertama


melakukan advis penguatan dari aspek kelembagaan adat masyarakat. Kelompok
ini cukup piawai dalam mengembangkan program-program pemberdayaan,
dimana penguatan terhadap hak-hak komunal dan hak-hak alam dilakukan sesuai
dengan aturan pengelolaan berdasarkan kearifan yang dimiliki. Kelompok kedua
melakukan aktivitas yang bersifat insidental dengan pertemuan-pertemuan melalui
lokakarya yang dibiayai oleh salah satu donatur (founding). Aktivitas yang
dilakukan masih terbatas pada membangun wacana masyarakat untuk merubah
paradigma pengelolaan sumberdaya alam TAHURA, namun dampak dari wacana
tersebut terhadap suatu konsep pengelolaan atas sumberdaya alam tidak dipikirkan
matang. Kasus Dongi-dongi merupakan pengalaman yang berharga untuk
dijadikan acuan dan perenungan bagi ornop yang melakukan aktivitas provokatif
terhadap suatu pengelolaan yang tidak melalui kolaborasi antar pihak baik
pengguna akses dan pemelihara maupun pengelola yang sekaligus melakukan
kontrol akses. Konflik dan kerusakan sumberdaya alam khususnya hutan tidak
selamanya kekeliruan dari pengelola, namun tida terlepas dari peran dan campur
tangan pihak-pihak ornop dalam melakukan aktivitas yang over information
terhadap komunitas yang masih terbatas dalam aspek penyerapan informasi. Hasil
penelitian yang dilakukan Adiwibowo (2005) bahwa keterlibatan pihak elit
masyarakat dan ornop atas rusaknya kawasan hutan Dongi-dongi merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan.
Stakeholders yang menerima manfaat besar atas sumberdaya di dalam
kawasan adalah petani, perotan, namun dalam proses pengelolaan usahatani dan
aktivitas mengambil rotan merasa terganggu dan tertekan17, karena beberapa hal
antara lain (a) petani tidak memiliki kepemilikan secara yurisdiksi, namun lahan-
lahan usahatani yang dikelola saat ini merupakan warisan leluhur (de fakto), (b)
perotan menggunakan izin kelola milik pengusaha, bukan hak langsung yang
diberikan dari pemegang wewenang (Dinas Kehutanan), hanya menggunakan jasa
izin kelola hasil hutan non kayu. Ketiga komponen di atas akan dapat berjalan

17
Wawancara dengan Ali Djaludin M (57 th) tokoh masyarakat lokal Kaili (adat), profesi sebagai
petani bawang ; pemerintah kota Palu mengusir petani dari lahan usahataninya dengan dasar
bahwa tanah yang digunakan sekarang adalah tanah negara, masyarakat tidak berhak untuk
beraktivitas di lahan tersebut karena lokasi ini akan digunakan untuk tanaman jarak, kecuali
“bapak mau ikut program ini’; pertengkaran 5 Agustus 2006, ”Ali Djalaludin M dipanggil ke
Kantor Camat Palu Timur, memberikan keterangan mengenai status tanah/lahan garapan
petani di Bunti Pobau Kelurahan Poboya yang dijadikan lokasi penanaman bawang
masyarakat petani saat ini.
122

dengan baik jika didukung oleh hubungan komunikasi dan jaringan kerja yang
harmonis (networking) antar stakeholder. Bagaimana hubungan antar stakeholder
di TAHURA SULTENG dapat dilihat dalam Tabel 24 berikut.

Tabel 24. Ringkasan hubungan antar stakeholder di TAHURA SULTENG

Kepala Dinas Kehutanan

PT. Citra Palu Minerals

Kades/Kadus/Ketua RT
Penambang Batu Kali
Penambang Emas

Pedagang Rotan
Kelompok rotan

DPRD Propinsi
Stakeholder
Petani Bawang

Dispertamen
Babinsa
LSM

PPL
Petani subsisten B B B B K - - - B B B - -
Penambang emas /// B B - K - Br - B B B K -
Penambang batu /// - - - - Br - B B B K -
kali
Petani bawang /// B K - - - B - S
Kelompok rotan /// K - - B K B B - -
Dinas Kehutanan /// B B K K K B B B
Pimp.DPRD // S - - S - B -
PT. Citra Palu ///// - Br Br S B -
Minerals
Pedagang Rotan // B B B - -
LSM ///// B - K K
Kades/Kadus/ RT ///// B Br S
Babinsa // B B
Distamen //// -
PPL //
Keterangan :
Kualitas relasi : Baik (B), Sedang (S), Kurang (K), Buruk (Br), Ttidak ada interaksi (-).
Baik (B) : Ada interaksi personal/institusi, sinergis berkelanjutan min 3 kali kontak/3 bln.
Sedang (S) : Ada interaksi, sinergis, tidak berkelanjutan, maksimal 3 kali kontak/3 bln.
Kurang (K) : Ada interaksi, kurang sinergis, berpolemik, sekali kontak, tidak berkelanjutan.
Buruk (Br) : Ada interaksi, tidak sinergis, konfliktual.
(-) : Tidak ada interaksi sama sekali

Hubungan/interaksi kelembagaan atau institusi dan personal antar


stakeholder bergantung konteks dari terjadinya hubungan itu. Sebelum
ditetapkannya kawasan TAHURA relasi dari pihak yang memiliki kepentingan di
wilayah ini adem-adem saja, berjalan secara alami, tidak ada tekanan, namun
setelah ditetapkannya menjadi kawasan konservasi dalam bentuk TAHURA maka
stakeholder yang terlibat langsung dan menggantungkan penuh sumber
123

kehidupannya pada sumberdaya dalam hutan dengan sendirinya terusik dan


merasa diganggu dan mendapat tekanan dari pihak pemerintah. Stakeholders
selain masyarakat lokal terusik untuk mengambil peran untuk dapat memiliki
akses, melakukan berbagai aktivitas melalui masyarakat lokal dengan bermacam
tipe, model dan pendekatan. Hubungan satu stakeholder dengan stakeholder lain
cukup beragam versinya, bergantung akses apa yang ada dan seberapa besar
sumberdaya yang akan diakses dalam kawasan itu. Hubungan-hubungan sosial
yang dilakukan antar stakeholders merupakan suatu cara untuk memelihara akses
dan bahkan mengontrol akses. Kontrol akses adalah kemampuan untuk memediasi
akses yang dimiliki pihak lain. Dari aspek definisi kontrol atau kendali akses
adalah memeriksa, mengarahkan, dan mengatur aktivitas. Dari sekian banyak
stakeholder, maka yang berwewenang sebagai pengendali akses adalah pejabat
atau institusi yang diberikan kewenangan berdasarkan undang-undang dan
peraturan yang berlaku secara normatif. Dinas Kehutanan merupakan Perangkat
Pemerintah Daerah yang diberikan wewenang (hak) untuk mengendalikan akses
sumberdaya TAHURA. Paling tidak ada kecenderungan untuk membentuk suatu
sistem antar sesama stakeholder dan memandang dirinya merupakan suatu
kesatuan (Roling & Jiggings, 1998 dalam Suporahardjo, 2006).
Perubahan paradigma yang cukup pesat, namun tidak diikuti dengan
perubahan peraturan dan perundang-undangan, sehingga disemua penjuru
Nusantara terjadi konflik tenurial yang tak lain adalah perebutan hak dan akses
sumberdaya alam sebagai tumpuan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya.
Sejak pemerintahan Orde Baru, penguasa negara memperekenalkan konsep baru
dalam pemilikan tanah, yang pada intinya adalah perwujudan kekuatan mereka
atas rakyatnya (Malik et al, 2003). Konsep kepemilikan pribadi semakin kukuh
dan meluas dalam masyarakat seiring dengan kukuh dan meluasnya kapitalisme
sebagai suatu sistem produksi. Konsep pemilikan ini ternyata diikat pula dengan
suatu jalinan hubungan politik, sosial, ekologi dan budaya. Dalam kawasan
Tompu yang masuk dalam kawasan TAHURA jugar terjadi pengkaplingan tanah
hutan belukar oleh mantan Bupati Donggala yang saat ini kondisinya masih
semak belukar dan hutan sekunder, tepatnya melintasi jalan ke Dusun Tompu.
124

Secara tipologis, kepemilikan di dalam TAHURA SULTENG dapat


dibedakan menjadi beberapa tipe kepemilikan yaitu, pemilikan pribadi (private
property), pemilikan negara (state property), dan pemilikan komunal (communal
property). Ketiga pemilikan ini selalu berdampingan dalam suatu kawasan atau
tumpang tindih dan bahkan sampai konflik antara masyarakat lokal dan pihak luar
yang mendapatkan legitimasi negara untuk menguasai sebagian sumberdaya alam
(Malik at al, 2003).
Di Sulawesi Tengah sendiri ditemui peraturan bahwa Gubernur atau
Bupati dapat melakukan pencabutan hak atas tanah. Hal ini antara lain dapat
dilihat dalam Peraturan Menteri no. 15/1975 (sudah dicabut) dan Perda Kabupaten
Donggala Sulawesi Tengah No. 2/1973. Perda tersebut secara tegas memberikan
kewenangan kepada pemerintah daerah (Bupati) untuk melakukan pencabutan hak
atas tanah. Beberapa kasus di Sulawesi menurut Bachriadi at al (1997) seperti
kasus Paguyaman di Sulawesi Utara, kasus Wewangriu di Sulawesi Selatan dan
kasus Kasimbar di Sulawesi Tengah menunjukkan betapa aparatur negara
bertindak dengan berbagai macam cara untuk membebaskan tanah dari
penguasaan rakyat setempat agar pihak swasta dapat mendirikan perkebunan besar
di daerah tersebut. Kasus semacam ini hingga sekarang di Sulawesi Tengah
masih saja terjadi dengan versi yang identik yaitu di kawasan PPN 25, 26 dan 29
(masih dalam kawasan TAHURA), pihak pemerintah daerah kota Palu melakukan
klaim terhadap tanah yang sedang digunakan petani untuk penanaman bawang.
Pemaksaan terhadap petani karena awalnya masyarakat belum siap menerima
tanaman jarak sebagai tanaman monokultur yang harus dikembangkan di kawasan
ini. Proyek jarak yang dilakukan Pemerintah Kota Palu adalah kerjasama dengan
pihak perusahaan dari Surabaya, mengintroduksi program tersebut untuk diterima
dan menggantikan tanaman bawang petani. Penolakan dilakukan masyarakat
petani karena pendapatan yang akan diperoleh dari penanaman jarak dan sumber
pendapatan yang rutin ke depan bagi petani belum jelas.
Perundang-undangan/peraturan telah memberikan penguatan dan
pengakuan terhadap kepemilikan masyarakat lokal (komunitas masyarakat adat)
yang ditunjukkan dengan TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam ; dalam beberapa pasal menyatakan :
(a) menghormati dan menjunjung tinggi hak azasi manusia (pasal 4), (b)
mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukun adat dan
keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agraria/sumberdaya alam, (c)
125

melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan


pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan
kepemilikan tanah untuk rakyat (pasal 5 at b), (d) memperluas pemberian akses
informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumberdaya alam di daerahnya
dan mendorong terwujudnya tanggungjawab sosial untuk menggunakan teknologi
ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional (pasal 5 at c). Dengan
demikian maka peraturan yang ada di bawahnya baik undang-undang dan atau
peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, Keputusan
Presiden, Keputusan Menteri dan Peraturan Daerah perlu menyesuaikan dengan
TAP MPR No. IX/2001 yang merupakan payung hukum bagi peraturan di
bawahnya. Segala peraturan yang bertentangan secara hirarkhis harus
diharmonisasi agar tidak menimbulkan masalah pada level daerah (di lapangan).
Hubungan kelembagaan atau isntitusi dari stakeholders yang memiliki
kepentingan dengan TAHURA masih merupakan sesuatu yang banyak
menimbulkan pertanyaan. Dinas Kehutanan sebagai leading sekor yang memiliki
wewenang untuk mengkomunikasikan kepada stakeholder lain terhadap
pengelolaan tersebut menemui kendala. Dalam perspektif institusi (Dinas
Kehutanan) saat ini, TAHURA hanya digunakan sebagai penggembalaan ternak
rakyat yang berada di dalam maupun sekitar kawasan. Relasi dengan stakeholder
yang berkepentingan belum menunjukkan adanya komunikasi dua arah, dalam
pengertian belum ada aktivitas yang signifikan dilakukan institusi terhadap
pengelolaan TAHURA yang memberikan akses masyarakat di dalamnya.
Hubungan yang dilakukan masih terbatas pada hubungan-hubungan personal
(antar individu) seperti saat pemancangan patok, membawa beban petugas di
lapang dll. Program sektoral yang pernah dilakukan sebelum ditetapkan menjadi
TAHURA yaitu program reboisasi tahun 1991, 1992 dan 1993, dikala itu masih
dalam bentuk Cabang Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah. Dinas
Kehutanan masih selalu menimbulkan polemik di masyarakat (stakeholders) yang
sampai saat ini belum memperlihatkan keseriusan melakukan komunikasi dengan
pihak-pihak yang berkepentingan. Demikian pula halnya dengan investor tambang
emas PT.Citra Palu Minerals, anak perusahaan Rio Tinto Group yang berkantor
pusat di Inggeris), masih juga menimbulkan pertanyaan para stakeholders dan
masyarakat umum sekitar kawasan TAHURA. Keluarnya legitimasi pemerintah
terhadap CPM atas sumberdaya di TAHURA karena relasi yang baik kedua pihak
(lihat Tabel 24), namun menimbulkan beragam perspektif, dimana tindakan
126

pemerintah/daerah bertentangan dengan peraturan perundangan. Sikap


ambiguisitas pemerintah tersebut dipersepsikan dalam beberapa faktor antara lain
: (a) mengacu dengan keputusan bersama Menteri Kehutanan dan Pertambangan
tentang pengelolaan sumberdaya tambang di kawasan hutan, (b) belum menelaah
secara seksama bahwa selain keputusan beresama tersebut terdapat peraturan
yang menggugurkannya (peraturan pemerintah dan undang-undang), (c)
pemerintah daerah berorientasi pada peningkatan pendapatan asli daerah (PAD)
untuk mengejar target APBD tahunan, tanpa mengkaji aspek-aspek produksi yang
memungkinkan dan layak untuk dikelola sebagai sumber pendapatan daerah, (d)
pemerintah (Deparetemen Kehutanan) tidak melakukan kontrol yang baik
terhadap usulan dan persetujuan gubernur (pemerintah daerah), berkaitan dengan
eksplorasi/eksploitasi tambang di kawasan cagar alam dan hutan lindung. Faktor-
faktor lain yang menyebabkan keluarnya izin pengelolaan tambang emas di
kawasan Cagar Alam Poboya masih perlu dibuktikan dengan data-data yang
akurat dan membuktikannya membutuhkan kiat-kiat khusus dan waktu yang
cukup lama.
127

5.8. Analisis Kebijakan Pengelolaan Akses Sumberdaya Alam TAHURA

Produk kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang berkaitan dengan


TAHURA dikaji melalui content analysis, disajikan dalam tabel 25 berikut :

Tabel 25. Perlindungan Negara terhadap Masyarakat Lokal (adat) atas Pengelolaan
Sumberdaya Alam.

Kandungan peraturan perundangan yang berpihak pada


Kebijakan masyarakat atas pengelolaan sumberdaya alam (SDA).
Hak Akses (Pemanfaatan) Mekanisme
Undang-undang ¾ Perlindungan sistem ¾ Peranserta rakyat Pasal 38 (ayat 1),
Nomor 5 Tahun penyangga kehidupan dalam konservasi Dlm rangka
1990, tentang ditujukan bagi sumberdaya alam pelaksanaan
Konservasi terpeliharanya proses hayati dan konservasi,
sumberdaya hayati ekologis yang menunjang ekosistemnya pemerintah dapat
dan ekosistemnya. kelangsungan kehidupan diarahkan dan menyerahkan
untuk meningkatkan digerakkan oleh sebagian urusan di
kesejahteraan masyarakat pemerintah melalui bidang tersebut
dan mutu kehidupan berbagai kegiatan kepada pemda
manusia. (pasal 7). yang berdaya guna sebagaimana
¾ Untuk kegiatan dan berhasil guna dimaksud dalam
kepariwisataan dan (pasal 37 ayat 1). UU No.5/1974
rekreasi pemerintah dapat ¾ Dalam tentang pokok-
memberikan hak mengembangkan pokok
pengusahaan atas zona peranserta rakyat, pemerintahan di
pemanfaatan TAHURA pemerintah daerah. Ketentuan
dengan menumbuhkan dan lebih lanjut diatur
mengikutsertakannya meningkatkan sadar dalam peraturan
rakyat. (pasal 34). konservasi pemerintah (ayat
sumberdaya alam 2).
hayati dan
ekosistemnya di
kalangan rakyat
melalui pendidikan
dan penyuluhan (pasal
37 ayat 2)
Peraturan ¾ Rencana pengelolaan ¾ TAHURA dikelola ¾ Rencana
Pemerintah Nomor kawasan cagar alam dgn melakukan pengelolaan
68 Tahun 1998, (TAHURA) disusun upaya pengawetan kawasan diatur
tentang Kawasan berdasarkan kajian aspek keaneka ragaman dgn keputusan
Suaka Alam dan ekologis, teknis, jenis tumbuhan dan menteri (psl 14
Kawasan ekonomis, dan sosial satwa beserta ayat 3), cukup
Pelestarian Alam. budaya (psl 14). ekosistemnya (psl banyak peluang
¾ Untuk membina fungsi 37). masyarakat
daeraah penyangga ¾ Penetapan daerah untuk berperan,
pemerintah mlkkn : penyangga tetap tetapi belum
peningkatan pemahaman menghormati hak- terwujud.
masy, thp konservasi sda hak dr pemegang
hayati & ekosistemnya, hak (psl 56).
128

peningkatan
pengetahuan,
keterampilan, rehabilitasi
lahan, produktivitas, dan
kegiatan lain untuk
peningkatan
kesejahteraan masyarakat
(psl 57).
Peraturan ¾ Masyarakat berhak ¾ Tidak memperoleh Tidak tercantum
Pemerintah Nomor mendapatkan penyuluhan, akses pemanfaatan aspek pemanfaatan
62 Tahun 1998, pengelolaan hasil hutan sumberdaya alam. sumberdaya alam
tentang penyerahan non kayu, perburuan ¾ Mekanisme dalam pengelolaan
sebagian urusan tradisional, dan pelatihan pengelolaan hutan TAHURA oleh
pemerintahan di keterampilan (pasal 5 ayat lindung, cagar alam masyarakat dari isi
bidang kehutanan j). dan area pemanfaatan 8 bab, 20 pasal.
kepada daerah termasuk posisi
masyarakat tidak
jelas.
KepMenHut No. ¾ Penetapan tata batas, status ¾ Tidak mengatur akses Tidak mengatur
461/Kpts-II/1995 dan luas TAHURA 8.100 masyarakat dalam mekanisme
tentang perubahan ha. pengelolaan pengelolaan akses
fungsi cagar alam TAHURA. pengelolaan sda dan
poboya seluas merupakan legalitas
1.000 ha, hutan hukum sebagai
lindung paneki pengukuhan
7.000 ha, lokasi TAHURA.
PPN XXX seluas
100 ha menjadi
TAHURA PALU.
KepMenHut No. ¾ Menetapkan Kelompok ¾ Tidak mengatur Tidak mengatur
24/Kpts-II/1999 Hutan TAHURA seluas pengelolaan akses mekanisme
tentang penetapan 7.128 ha dengan nama sumberdaya alam oleh pengelolaan.
kelompok hutan TAHURA SULTENG. masyarakat lokal Kaili
TAHURA seluas ¾ Menetapkan tata batas tetap dalam TAHURA.
7.128 ha, terletak dengan Berita Acara Tata
di Kec. Palu Batas (BATB) tanggal 13
Selatan, Palu Juni 1997.
Timur dan Sigi-
Biromaru Kab.
Donggala, bernama
TAHURA
SULTENG.
Undang-Undang ¾ Hutan hak (hutan adat). ¾ Religi dan budaya. ¾ Pengukuhan kws
Nomor 41 Tahun ¾ Masyarakat hukum adat ¾ Pembentukan wilayah hutan harus
1999, tentang ¾ Mendapatkan izin pengelolaan dan unit memperhatikan
Kehutanan. pemungutan hasil hutan kelola yang situasional RTRWP (pasal 15
non kayu. (sosial budaya, ayat 2).
¾ Memungut hasil hutan ekonomi, institusi ¾ Pemanfaatan
untuk kebutuhan sehari- masyarakat (masy. hutan lindung
hari. lokal/adat). dilaksanakan
¾ Melakukan pengelolaan ¾ Manfaat optimal untuk melalui pemberian
hutan berdasarkan hukum kesejahteraan izin usaha
adat, tidak bertentangan masyarakat. pemanfaatan
129

dengan undang-undang. ¾ Mendapatkan hasil kawasan, izin


¾ Mendapatkan hutan kayu dan non usaha
pemberdayaan. kayu. pemanfaatan jasa
¾ Mendapatkan kompensasi ¾ Pemerintah daerah lingkungan, dan
atas hilangnya akses dan dapat bertindak jika izin pemungutan
hak atas tanah karena terjadi kerusakan yang hasil hutan bukan
penetapan kawasan hutan. merugikan masyarakat. kayu (pasal 26
¾ Mendapat pendampingan ¾ Pemanfaatan hutan ayat 2).
dari pihak lain (LSM, adat yang berfungsi ¾ Pembentukan
pemerintah, swasta) untuk lindung dan konservasi wilayah
rehabilitasi hutan. dapat dilakukan pengelolaan hutan
¾ Mengajukan gugutan sepanjang tidak dilaksanakan
perwakilan ke penegak mengganggu fungsinya untuk tingkat
hukum atas kerusakan (pasal 37 ayat 2). propinsi,
hutan yang merugikan ¾ Pembentukan wlayah kabupaten/kota
masyarakat lokal. pengelolaan hutan tkt. dan unit
Unit pengelolaan pengelolaan.
dilaksanakan dgn (pasal 17 ayat 1)
mempertimbangkan
karakteristik lahan,
tipe hutan, fungsi
hutan, kondisi DAS,
sosial budaya,
ekeonomi,
kelembagaan
masyarakat setempat
termasuk hukum adat
dan batas administrasi
pemerintahan (pasal 17
ayat 2).
Peraturan ¾ Tata hutan, penyusunan ¾ Zona pemanfaatan ¾ Mekanisme
Pemerintah Nomor pengelolaan, dan lainnya karena telah diatur
34 Tahun 2002 pemanfaatan dan fungsi & kondisinya berdasarkan
tentang Tata Hutan pengunaan kawasan dapat dmanfaatkan peraturan
dan Penyusunan dikelola unit pengelola untuk rekreasi, perundangan
Rencana teknis (pasal 2 ayar 2), penelitian, dan
Pengelolaan Hutan, dan kewenangan pendidikan, penjabarannya
Pemanfaatan Hutan pemerintah dan daerah penunjang budidaya; oleh pemerintah
dan Penggunaan (psl 3). pemanfatan dan pemDa
Kawasan Hutan. ¾ Penyusunan rencana tradisional dan melalui PerDa
pengelolaan, rehabilitasi dan petunjuk
pemanfaatan, (penjelasan psl 8 teknis
penggunaan hutan ayat 3 butir a, b &c). opersional.
didasarkan pertimbangan ¾ Hutan hak
kekhasan daerah, kondisi dibuktikan dgn alas
sosial budaya & titel (hak atas tanah),
lingkungan yg terkait (psl 67); hutan hak
dgn kelestarian hutan dan berfungsi kws
kepentingan masyarakat konservasi &

18
SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan), hasil hutan yang berasal dari hutan negara , SATS
(Surat Angkutan Tumbuhan dan Satwa), untuk tumbuhan dan satwa liar, dan SKAU (Surat
Keterangan Asal Usul), untuk hasil hutan yang berasal dari hutan hak.
130

luas (penjelasan psl 3); lindung dapat


memperhatikan hak-hak dirubah statusnya
masyarakat dalam menjadi kws hutan
pembagian blok dan pemerintah
(penjelasan psl 5). berkewajiban
¾ Tata hutan kws memberi
TAHURA dilaksanakan kompensasi kpd
unit pengelolaan pemegang hak (psl
(penentuan tata batas; 69).
iventarisasi, edentifikasi, ¾ Masyarakat dapat
perisalahan kondisi mengakses
kawasan; pengumpulan sumberdaya hasil
data sosial budaya di kws hutan sesuai dgn
hutan & sekitarnya, peraturan yang
pemancangan tata batas berlaku berupa surat
blok; pengukuran dan dokumen (SKSHH,
pemetaan) (psl. 9 ayat 1) SATS, & SKAU)18
¾ Kws blok : pemanfaatan, sbg bukti legalitas
koleksi tanaman, untuk dasar
perlindungan dan blok pengkuran dan
lainnya (blok pengujian fisik hail
pemanfaatan tradisional, hutan (psl 73-78).
rehabilitasi dll) (psl 9
ayat 2).
Peraturan ¾ Tata hutan dan ¾ Pemanfaatan hutan ¾ Mekanisme
Pemerintah No. 6 penyusunan rencana bertujuan untuk telah diatur
Tahun 2007 pengelolaan serta memperoleh dalam peraturan
tentang Tata pemanfaatan hutan di manfaat hasil dan ini, dan perlu
Hutan19 dan seluruh kws hutan mrpk jasa hutan secara ditindaklanjuti
Penyusunan kewenangan pemerintah optimal,adil, & dalam peraturan
Rencana dan PemDa (psl 3). lestari bagi daerah dan
Pengelolaan Hutan ¾ Pada areal tertentu dalam kesejahteraan petunjuk
serta Pemanfaatan kws hutan ditetapkan masyarakat (psl 17 operasional
Hutan. oleh pemerintah sbg ayat 1). mengenai
hutan kemasyarakatan, ¾ Pemanfaatan hutan kejelasan peran
hutan adat, hutan desa, yaitu pemanfaatan masing-masing
dan Kawasan Hutan kws, jasa sesuai fungsi
Dengan Tujuan Khusus lingkungan, hasil hutan dan
(KHDTK). (psl 11 ayat hutan kayu & non peruntukannya.
2). kayu, pemungutan
¾ Pemerintah, PemDa hasil hutan kayu &
propinsi & non kayu (psl 17
kabupaten/kota, sesuai ayat 2).
kewenangannya wajib
mengembangkan hutan
hak melalui fasilitasi,
penguatan kelembagaan
dan sistem usaha (psl.
103)

19
Tata hutan adalah suatu kegiatan untuk mengorganisasikan areal kerja KPH sesuai dengan
karakteristik KPH dan hak-hak masyarakat sehingga perencanaan dan kegiatan pengelolaan KPH
dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien (penjelasan psl. 11 ayat 1).
131

Ketetapan MPR ¾ Hak masyarakat adat ¾ Masyarakat berhak ¾ DPR bersama


Nomor : dilindungi, dihormati dan mendapatkan akses Presiden
IX/MPR/2001, dihargai oleh negara atas informasi mengenai berkewajiban
tentang Pembaruan sumberdaya alam (pasal 4 potensi sumberdaya untuk mereubah
Agraria dan ayat j). alam di daerahnya dan semua undang-
Pengelolaan ¾ Melaksanakan penataan pemerintah undang dan
Sumberdaya Alam. kembali penguasaan, berkewajiban peraturan
pemilikan, penggunaan mendorong pelaksanaannya
dan pemanfaatan tanah terwujudnya tanggung yang tidak sejalan
(land reform), yang jawab sosial untuk dengan TAP MPR
berkeadilan dengan menggunakan No. IX/MPR/2001
memperhatikan teknologi ramah (pasal 6).
kepemilikan tanah untuk lingkungan termasuk
rakyat (pasal 4 ayat k). teknologi tradisional
(pasal 5 ayat 2 poin c).
Keputusan Menteri ¾ Kriteria status areal yang ¾ Masyarakat lokal ¾ Kriteria panitia
Kehutanan Nomor ditata batas sbg kws hutan memiliki akses untuk tata batas areal
: 32/Kpts-II/2001, memperoleh pengakuan membuat share dan yang ditata batas
tentang Kriteria para pihak (masyarakat, pengakuan terhadap meliputi 9 unsur
dan Standar badan hukum, pemerintah) penataan batas kws di ketuai oleh
Pengukuran di sepanjang trayek hutan. Bupati/walikota.
Kawasan Hutan. penataan batas (pasal 7 ¾ Masyarakat Salah satu unsur
ayat 2 poin c). mengetahui aktivitas di dalamnya
¾ Kriteria Berita Acara Tata dan dapat dilibatkan adalah tokoh
Batas (BATB) sementara dalam proses masyarakat
telah diumumkan kepada pengukuran. setempat (pasal 8
masyarakat (pasal 9 ayat 3 ¾ Memahami fungsi kws ayat b).
poin a1). TAHURA melalui ¾ Standar panitia
¾ Memuat pernyataan penyuluhan atau tata batas sebagai
pengakuan masyarakat di sosialisasi dari kawasan hutan
sepanjang trayek penataan pelaaksana/petugas. adalah pejabat
batas kawasan hutan (pasal ¾ Dalam proses instansi pemda,
9 ayat 3 poin a2). pelaksanaan tata batas pejabat instansi
¾ BATB definitif, adanya masyarakat lokal kehutanan yang
pernyataan tidak tercatat seperti institusi adat menangani
hak-hak kepemilikan atas harus masuk sebagai pengukuhan
tanah, tanam tumbuh, komponen di kawasan hutan di
bangunan dsb (pasal 9 ayat dalamnya. daerah, kepala
3 poin b2). ¾ Menerima informasi desa, tokoh/ketua
¾ Berita acara pengakuan yang lebih lengkap dan masyarakat adat
hasil pembuatan batas yang mendapatkan manfaat setempat (pasal
ditandatangani oleh dari program yang 14).
wakil/tokoh/Ketua adat akan maupun sedang
masyarakat setempat, dilaksanakan.
kepala desa, instansi
kehutnanan daerah, camat,
ketua tim pelaksana tata
batas dan bupati/walikota
(pasal 12 ayat 2 poin a).
Keputusan Menteri ¾ Penyelenggaraan hutan ¾ Wilayah pengelolaan ¾ Pemerintah
Kehutanan Nomor kemasayarakatan bertujuan hutan kemasyarakatan kabupaten/kota
31/Kpts-II/2001, untuk memberdayakan adalah kawasan hutan menetapkan
tentang masyarakat setempat dalam yang menjadi sumber kriteria masyarakat
132

Penyelenggaraan pengelolaan hutan dengan penghidupan setempat yang


Hutan tetap menjaga kelestarian masyarakat setempat perlu dipersiapkan
Kemasyarakatan. fungsi hutan dan (pasal 6 ). sebagai calon
lingkungan hidup dalam ¾ Meningkatnya pengelola hutan
rangka meningkatkan kesiapan kelembagaan kemasyarakatan
kesejahteraannya (pasal 3). masyarakat setempat (pasal 15).
¾ Ruang lingkup yang difasilitasi ¾ Blok perlindungan
penyelenggaraan hutan pemerintah kabupaten/ adalah bagian areal
kerja yang harus
kemasyarakatan meliputi kota (pasal 12).
dilindungi
pengaturan tugas dan ¾ Kegiatan pemanfaatan
berdasarkan
fungsi serta tanggung di hutan lindung dapat pertimbangan
jawab pemerintah, dilakukan pada blok keberlanjutan
pemerintah daerah, dan perlindungan dan blok hidrologis antara
masyarakat dalam aspek- budidaya (pasal 38). lain : 200 meter
aspek penetapan wilayah ¾ Apabila pengelolaan dari tepi mata air
pengelolaan, penyiapan hutan kemasyarakatan dan kiri kanan
masyarakat, perizinan, menimbulkan kerugian sungai di daerah
pengelolaan, dan bagi kepentingan rawa, 100 meter
pengendalian. (pasal 4). umum dari segi dari kiri kanan tepi
¾ Kawasan hutan yang dapat lingkungan hidup, sungai, 50 meter
ditetapkan sebagai wilayah masyarakat luas dapat dari tepi kiri kanan
pengelolaan hutan melakukan gugatan anak sungai, 2 kali
kemasyarakatan adalah perwakilan kepada kedalaman jurang
kawasan hutan lindung dan pemerintah dari tepi jurang,
kawasan hutan produksi kabupaten/kota. (pasal lahan berlereng
yang tidak dibebani izin 54). lebih dari 40 %,
lain di bidang kehutanan serta pertimbangan
pelestarian plasma
(pasal 5 ayat 2).
nutfah.
¾ Penentuan rencana lokasi
dan luas areal kerja jangka
waktu pengelolaan,
dilakukan secara
partisipatif oleh pemerintah
kabupaten/kota bersama
masyarakat setempat
dengan memperhatikan
kemampuan kelompok,
potensi lahan dan hutan,
dan pertimbangan teknis
dari instaansi kehutanan di
daerah (pasal 12 ayat 3).
KepMenHut No. ¾ Hak pemerintah pusat ¾ Akses daerah terhadap ¾ Tugas
107/Kpts-II/2003 terhadap pengelolaan TAHURA terbatas, pembantuan
tentang TAHURA masih karena pemerintah berkaitan dengan
Penyelenggaraan didominasi, daerah hanya pusat belum teknis
Tugas Pembantuan merupakan perpanjangan sepenuhnya dioordinasikan
Pengelolaan tangan pemeerintah pusat menyerahkan kepada kepada BKSDA
TAHURA oleh dan masyarakat lokal Kaili daerah karena masih sebagai
Gubernur atau dalam kawasan hutan juga ada kepentingan yang pelaksanaan
Bupati/Walikota. menjadi korban kebijakan. lebih besar. program pusat di
daerah (pasal 2
ayat 2).
133

Surat Keputusan ¾ Hak masyarakat terhadap ¾ Akses masyarakat Pengelolaan


Gubernur Nomor : lahan dan tanaman di terhadap hak milik dilakukan Dinas
188.44/1400/DIS dalamnya dikurangi bahkan akan dikurangi dan Pariwisata, peran
BUDPAR- akan dihilangkan. Pemilik lambat laun akan masyarakat tidak
G.57/2003. lahan/tanah tidak dapat hilang karena kekuatan jelas.
mengembangkannya, setiap penguasa (kekuasaan).
tiga bulan harus melapor ke
pemerintah daerah yang
dikoordinasikan oleh
Bappeda Propinsi Sulteng.
Peraturan Daerah ¾ Untuk memanfaatkan ¾ Untuk menikmati dan ¾ Masyarakat
Nomor 2 Tahun ruang berdasarkan memanfaatkan ruang memberikan
2004, tentang potensinya, diarahkan pada beserta sumberdaya saran, tanggapan
Rencana Tata pola investasi untuk alam yang terkandung kepada gubernur
Ruang Wilayah meningkatkan di dalamnya, berupa melalui Tim
Propinsi Sulawesi pembangunan kawasan manfaat ekonomi, Koordinasi
Tengah (pemerintah, swasta, dan sosial dan lingkungan Penataan Ruang
masyarakat), dilaksanakan atas Daerah (TKPRD),
meminimalkan konflik dasar penguasaan, disampaikan
pemanfaatan ruang dan sesuai dengan secara lisan atau
mengupayakan sinergi ketentuan peraturan tertulis. Secara
pembangunan yang tinggi perundangan ataupun teknis mekanisme
(kabupaten/kota dan atas hukum adat dan peran masyarakat
propinsi). kebiasaan yang akan diatur
¾ Berperan serta dalam berlaku atas ruang melalui keputusan
proses perencanaan tata pada masyarakat gubernur (belum
ruang, pemanfaatan ruang, setempat. ada).
dan pengendalian ¾ Pemberian informasi, ¾ Penggantian yang
pemanfaatan ruang. saran, pertimbangan layak atas
¾ Pengakuan dan atau pendapat dalam kerugian terhadap
perlindungan hak-hak penyusunan strategi perubahan status
keperdataan masyarakat dan struktur semula yang
(pasal 100 ayat d). pemanfaatan ruang dimiliki
¾ Mempereoleh penggantian wilayah propinsi (pasal masyarakat akibat
yang layak atas kondisi 106 ayat d). pelaksanaan
yang dialami masyarakat RTRWP Sulawesi
sebagai akibat pelaksanaan Tengah
kegiatan pembangunan diselenggarakan
yang sesuai dengan rencana dengan cara
tata ruang (pasal 100 ayat musyawarah antar
e). pihak
berkepentingan
(pasal 103 ayat 1).

Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 menjelaskan bahwa


perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses
ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia (psl 7). Hal ini menunjukan
betapapun kawasan pelestarian alam dan kawasan konservasi berupa Taman
134

Nasional, Taman Hutan Raya (TAHURA), dan Taman Wisata Alam, memperkuat
keyakinan bahwa manusia juga merupakan ekosistem di dalamnya. Dengan demikian
maka peran serta rakyat (masyarakat) dalam pengelolaan kawasan pelestarian,
konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya adalah bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan masyarakat dalam kawasan hutan. Peran-peran masyarakat
tersebut diarahkan dan digerakan pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya
guna dan berhasil guna. Dalam hal ini pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan
kesadaran masyarakat melalui pendidikan dan penyuluhan dalam mengembangkan
peranserta tersebut. Undang-undang merupakan kerangka normatif yang dijadikan
acuan bagi pengelola, dan elemen yang terkait termasuk masyarakat.
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 merupakan aturan pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Peraturan Pemerintah (PP) tersebut
memaklumatkan kepada pengelola (pemerintah) bahwa penyusunan rencana
pengelolaan kawasan TAHURA (Cagar Alam, Hutan Lindung, Wisata Alam)
berdasarkan kajian aspek ekologis, teknis, ekonomis, sosial budaya dan politik.
Aspek-aspek tersebut merupakan dasar yang menjadi pertimbangan untuk
memberikan ruang dan peluang bagi masyarakat untuk dapat berperan aktif dalam
pengelolaannya. Keterlibatan masyarakat sangat penting dan prioritas harus
diberikan khususnya bagi daerah-daerah yang kawasan hutannya telah dikelola secara
efisien oleh masyarakat. Hal ini mungkin dapat memperkecil biaya transaksi seperti
memberikan penguatan dan hak-hak masyarakat adat (Fay dkk, 2006). Hal tersebut
sejalan dengan bunyi pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 bahwa
penetapan daerah-daerah penyangga tetap menghormati hak-hak dari pemegang
hak. Untuk membina fungsi daerah penyangga pemerintah diwajibkan melakukan
peningkatan pemahaman masyarakat terhadap konservasi sumberdaya alam hayati
dan ekosistemnya, peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat,
peningkatan rehabilitasi lahan, peningkatan produktivitas dan kegiatan lainnya untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Konsep tersebut sangat memadai untuk
dijadikan pegangan bagi komunitas masyarakat di dalam kawasan hutan, namun
masih panjang prosedural untuk mencapainya.
135

Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998 tentang


penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan kepada daerah, maka
proses pengelolaan TAHURA SULTENG berada pada pemerintah daerah. Peraturan
tersebut justru tidak memberikan kejelasan bagi masyarakat dalam pengelolaan
TAHURA. Peraturan ini (PP No.62/1998) seharusnya menindaklanjuti peraturan No.
68/1998 yang harapannya dapat memperjelas mekanisme pengelolaan untuk menjadi
acuan teknis bagi pemerintah daerah, namun hal ini masih jauh dari keinginan hati
rakyat. Akses masyarakat terhadap sumberdaya alam semakin tidak jelas termasuk
hak-hak de fakto diabaikan. Peraturan tersebut nampaknya hanya mengadopsi
sebagian isi dari PP No. 68/1998, bukan menjabarkan, menyempurnakan kelemahan,
dan memperjelas peran daerah termasuk masyarakat dan stakeholder seperti
dinyatakan dalam pasal 5 ayat 1 PP No. 62/1998 berbunyi masyarakat berhak
mendapatkan penyuluhan, pengelolaan hasil hutan non kayu, perburuan tradisional
dan pelatihan keterampilan masyarakat.
Dalam situasi yang berbeda, terbit Keputusan Menteri Kehutanan No.
461/Kpts-II/1995, yang menetapkan perubahan fungsi Cagar Alam Poboya, Hutan
Lindung Paneki dan PPN xxx menjadi Taman Hutan Raya dengan nama sementara
TAHURA PALU. Keputusan tersebut tidak mengatur akses masyarakat dalam
pengelolaan TAHURA. Untuk memperjelas statusnya, maka terbit lagi Keputusan
Menteri Kehutanan No. 24/Kpts-II/1999 yang mengukuhkan kelompok hutan
TAHURA SULTENG seluas 7.128 hektar yang sekaligus menetapkan tata batas
tetap dengan mengacu pada Berita Acara Tata Batas (BATB) tangal 13 Juni 1997.
Proses penandatanganan berita acara yang seharusnya diwakili oleh semua elemen
(para stakeholders), nampaknya belum memenuhi aspirasi para pihak. Hal tersebut
dapat dibuktikan dengan didapatkannya tapal batas yang dipancang di dalam kebun
dan halaman rumah warga (kasus Tompu), yang seharusnya tidak terjadi. Tahapan
pemancangan awal adalah penetapan tata batas dengan titik koordinat melalui foto
citra, namun setelah dilakukan ground chek atau dilakukan trayek batas maka
koordinat yang berada pada kebun dan halaman warga masyarakat sudah dilakukan
pergeseran dan pengelola harusnya sudah melakukan negosiasi, komunikasi dan
136

penyampaian bahwa wilayah tersebut telah ditetapkan sebagai daerah pelestarian


alam dengan nama TAHURA yang juga di dalamnya masyarakat sebagai bagian
ekosistem. Fungsi dan peruntukan TAHURA seharusnya telah dipahami masyarakat
saat pelaksanaan trayek batas, akan tetapi hal ini tidak terjadi. Petugas lapangan
mengabaikan keberadaan masyarakat di dalam kawasan sehingga akhir-akhir ini
menjadi krusial dan menuai protes bahkan jika tidak dilakukan negosiasi dengan para
pihak yang terkait khususnya masyarakat pemukim dalam kawasan, akan terjadi
penolakan atas kehadiran TAHURA. Hal ini tentu tidak diinginkan terjadi, karena
TAHURA SULTENG merupakan penyangga kehidupan dan sumber air bagi
umumnya masyarakat di wilayah Timur Kota Palu.
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 yang merupakan revisi dari UU No. 5
Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan, memberikan ruang dan
peluang yang besar bagi masyarakat adat dan menghargai hak-hak ulayat, termasuk
pemanfaatan sumberdaya alam untuk kesejahteraan masyarakat dengan prinsip-
prinsip keberlanjutan. Hak-hak yang harusnya diterima masyarakat dan mendapat
pelayanan pemerintah berupa pengakuan dan pemberian hak komunal dan privat,
mendapatkan pemberdayaan dan pendampingan baik dilakukan langsung maupun
melalui kemitraan dengan pihak lain. Hal ini akan berkonsekwensi pada pengelolaan
yang taat aturan termasuk dalam penggunaan izin pemanfaatan sumberdaya hasil
hutan. Hal lain yang dapat dilakukan adalah melakukan gugutan perwakilan ke
penegak hukum atas kerusakan hutan yang merugikan masyarakat lokal.
Keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat lokal menurut perspektif
peraturan perundang-undangan kehutanan menunjukkan adanya keinginan yang baik
sekalipun masih terdapat kelemahan-kelemahan. Hal ini dapat ditunjukan dalam
pasal-pasal UU No. 41/1999 bersama pelaksanaannya. UU No. 41/1999
mengamanatkan bahwa pembentukan wilayah pengelolaan, pemanfaatan sumberdaya
alam (hutan) mempertimbangkan situasi lokal dalam aspek-aspek sosial, budaya,
ekonomi dan institusi masyarakat lokal yang bermuara pada pensejahteraan
masyarakat. Dalam hal ini pemerintah daerah diberikan wewenang untuk bertindak
jika terjadi hal-hal yang merugikan masyarakat. Pemaknaan hal tersebut menunjukan
137

bahwa berbagai program pembangunan dan aktivitas yang bersentuhan langsung


dengan sumberdaya alam (hutan), tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan
pemerintah semata dan pendekatan sektoral, namun keterlibatan para pihak dari awal
(proses prakondisi) hingga pada pengambilan keputusan akhir. Keterlibatan ini tentu
saja akan berkelanjutan dan kontinue dalam berbagai aspek yang berkaitan
pengelolaan sumberdaya dalam kawasan hutan TAHURA.
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang tata hutan dan
penyusunan rencana pengelolaan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan
hutan. Peraturan tersebut merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999. Untuk memenuhi kebutuhan para pihak, dilakukan
penyempurnaan PP No. 34/2002 dengan PP No. 6 Tahun 2007. Selain
penyempurnaan atas PP No. 34/2002 yang secara substansi memberikan perubahan
signifikan, namun kelemahannya memposisikan pihak swasta pemilik izin untuk tetap
eksis melakukan eksploitasi tambang di dalam kawasan hutan lindung dan cagar
alam.
Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 akan
mengundang polemik dan sumber memicu konflik baru, jika pemegang izin
penambangan emas di TAHURA akan melakukan aktrivitasnya. Peraturan tersebut
telah melegalkan kembali penambangan dalam kawasan hutan tanpa kecuali, baik
hutan lindung, kawasan cagar alam maupun kawasan-kawasan hutan yang
berpenghuni sekalipun. Dalam penjelasan pasal-pasalnya telah menyebutkan dan
memberikan ruang yang jelas kepada masyarakat di sekitar/dalam kawasan hutan,
namun nampaknya dilematis. Sementara dalam pasal 17 ayat 2 menyebutkan,
pemanfaatan hutan adalah pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, hasil hutan kayu
dan non kayu dan pemungutan hasil hutan kayu dan non kayu. Bunyi ayat tersebut
jika di integrasikan dengan TAP MPR No. IX/MPR/2001, nampaknya menunjukkan
adanya penguatan secara normatif bagi masyarakat, namun yang menjadi pertanyaan
kemudian adalah sudah sejauh manakah aturan pelaksanaan ini dijalankan pada
tataran implementasi ? Sudah siapkah dan atau seperti apa respon pemerintah daerah
138

dalam menyikapi peraturan tersebut dalam mengintegrasikannya dengan


pembangunan daerah?
Sebagai konsekwensi dari sebuah peraturan pelaksanaan, maka dibuatlah
keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 32/Kpts-II/2001 tentang kriteria
dan standar pengukuran kawasan. Keputusan tersebut dimaksudkan agar dalam
penyelenggaraan atau implementasi kebijakan tidak kebablasan, sehingga perlu
petunjuk yang runut sampai pada tingkat pelaksanaan. Beberapa pasal dalam
keputusan tersebut menyebutkan bahwa kriteria penetapan status areal yang ditata
batas sebagai kawasan hutan memperoleh pengakuan para pihak (masyarakat,
badan hukum, pemerintah daerah hingga tingkat desa dan dusun) disepanjang trayek
penataan batas (pasal 7 ayat 2 poin c). Makna eksplisit yang dapat dicermati dari
ayat tersebut, saat melakukan trayek penataan batas telah teridentifikasi/teriventarisir
berbagai informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan kriteria yang
dipersyaratkan dalam trayek penataan batas. Keadaan ini dari fakta lapangan yang
ada di TAHURA SULTENG, bahwa penyelesaian administrasi dilakukan pada elit-
elit dari desa-propinsi ; komponen masyarakat termasuk rakyat yang terkena dengan
trayek batas diabaikan. Dalam pasal lain juga berbunyi kriteria Berita Acara Tata
Batas (BATB) sementara telah diumumkan kepada masyarakat (pasal 9 ayat 3 poin
a1), dan selanjutnya dalam ayat 3 poin b2 pasal yang sama berbunyi BATB definitif
adanya pernyataan tidak tercatat hak-hak kepemilikan atas tanah, tanaman tumbuh,
bangunan/pemukiman. Berita acara pengakuan hasil pembuatan batas yang
ditandatangani oleh wakil/tokoh/ketua adat masyarakat setempat, kepala desa,
instansi kehutanan daerah, camat, ketua tim pelaksana tata batas dan
bupati/walikota (pasal 12 ayat 2 poin a). Hasil penelitian menunjukan sejumlah
tujuh tokoh adat komunitas, dan sejumlah responden yang kena trayek penataan
batas tidak pernah membubuhi tandatangan ataupun cap jempol dalam sebuah
berita acara yang berkaitan dengan penataan batas TAHURA SULTENG.
Masyarakat umumnya penduduk dari komunitas yang berdomisili dalam kawasan
tidak tahu-menahu seperti apa bentuk dan pengelolaannya, dan mereka akan
dikemanakan jika peraturan menurut petugas lapangan Dinas Kehutanan Propinsi
139

akan bebas dari pemukiman masyarakat. Informasi tersebut sangat ironis jika
memaknai pengertian ekosistem, bahwa pemukiman masyarakat dalam kawasan
merupakan bagian dari ekosistem kawasan, telah menyatu dengan alam sekitar dan
hidup dari generasi ke generasi berikutnya. Dalam pelaksanaan di lapangan sangat
berbeda dengan yang dianjurkan dalam keputusan ini. Pasal 14 berbunyi, standar
panitia tata batas sebagai kawasan hutan adalah pejabat instansi pemerintah
daerah, pejabat instansi kehutanan yang menangani pengukuhan kawasan hutan di
daerah, kepala desa, tokoh/ketua masyarakat adat setempat. Tokoh masyarakat
adat20, dan beberapa pejabat instansi pemerintah21, yang berkaitan dengan penatapan
TAHURA SULTENG menunjukan tidak dilibatkannya komponen lokal (institusi
adat, tokoh masyarakat dari masing-masing-masing komunitas).
Produk kebijakan yang ada saat ini cukup memadai untuk mengeliminir
kesenjangan yang terjadi dari dampak penataan batas, jika respons pemerintah daerah
cerdas mengapresiasinya, namun beberapa peraturan masih juga terdapat kelemahan
antar peraturan yang satu dengan lainnya. Peraturan operasional seyogyanya tidak
membingungkan masyarakat, dimana peraturan perundangan merupakan acuan dalam
kehidupan bermasyarakat termasuk mengelola sumberdaya alam untuk kesejahteraan
dan penghidupan yang layak. Kenyataan menunjukkan tidak sedikit peraturan yang
menimbulkan kontraversi di kalangan masyarakat dan stakeholder (Kartodihardjo,
2006). Kartodihardjo memberikan contoh empirik mengenai perubahan-perubahan
peraturan yang kontradiktif, seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

20
Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat adat : Randa Wali (tokoh adat Tana Lando), Pasiringgi
(tokoh adat masyarakat Tompu), Sanatandji (tokoh adat masyarakat Uentumbu), Ali Djaludin M
(tokoh adat masyarakat Bunti Pobau & DAS Pondo), Muslima (tokoh adat masyarakat Vatutela) dan
Hi. Djadja (tokoh adat masyarakat Vintu), mereka tidak pernah dilibatkan dalam proses penataan
batas hingga pengambilan keputusan penetapan kawasan hutan TAHURA SULTENG.
21
Hasil wawancara dengan para top pimpinan : Said Awad (Kepala BAPEDALDA Propinsi Sulawesi
Tengah, Istanto (Kepala BKSDA), Trimuljono Admomartono (Kepala BP-DAS), dan Hedar
Laudjeng (Ketua LSM Perkumpulan Bantaya), memperkuat keyakinan bahwa pelaksanaan tata batas
dilakukan sepihak, tanpa negosiasi dengan aktor di dalamnya. Bahkan dalam wawancara dua orang
pimpinan instansi pemerintah menyarankan untuk dilakukan rekonstruksi kempali tata batas
TAHURA SULTENG yang telah ditetapkan definitif saaat ini. Pertimbangannya, jika masyarakat
bukan pelaku dan masuk dalam organik pengelolaan, program tersebut tidak akan jalan, stagnasi,
dan kawasan tersebut akan terancam tereksploitasi tanpa terkendali.
140

(Perpu) No. 1 Tahun 2004 tentang perubahan Undang-Undang No. 41/1999 tentang
Kehutanan22.
Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001 merupakan salah satu
peraturan teknis pelaksanaan dari UU No. 41/1999 yang dapat memberikan peluang
yang luas bagi masyarakat, dan dapat mengakomodir kepentingan banyak pihak.
Penyelenggaraan hutan kemasyarakatan bertujuan untuk memberdayakan masyarakat
khususnya yang berdomisili dalam kawasan hutan. Ruang lingkup penelenggaraan
hutan kemasyarakatan meliputi pengaturan tugas dan fungsi serta tanggung jawab
pemerintah daerah dan masyarakat dalam aspek-aspek wilayah pengelolaan,
penyiapan masyarakat, perizinan pengelolaan dan pengendalian (pasal 4). Hal ini
sekali lagi dinyatakan bahwa antar pemerintah daerah dengan masyarakat belum
dapat melakukan negosiasi, dimana paradigma pemerintah daerah saat ini kekuatan
dan keabsahan dari TAHURA SULTENG adalah legalitas formal dan administratif,
dan jika terdapat kelompok masyarakat yang memprotes dan atau menolak berarti
melawan pemerintah. Sementara paradigma yang dianut masyarakat berbeda, yaitu
raakyat juga merupakan bagian dalam menentukan keputusan, apalagi kawasan
tersebut adalah juga hak de fakto yang telah lama dikuasai sebelum ditetapkan
menjadi TAHURA SULTENG. Perbedaan paradigma tersebut merupakan salah satu
faktor penghambat bagi keduanya untuk bersepakat (pemerintah ego dengan
kekuasaannya vs masyarakat berpandangan kebenaran ada di pihak mereka).
Dampak yang diterima oleh pemerintah daerah dalam proses penetapan tersebut
adalah menurunnya kepercayaan masyarakat atas pengelolaan TAHURA SULTENG.
Rendahnya ketidakpercayaan masyarakat kepada birokrasi pemerintah, dengan tidak
melaksanakan beberapa amanah dari isi peraturan seperti penentuan rencana lokasi
dan luas areal kerja jangka waktu pengelolaan, dilakukan secara partisipatif oleh
pemerintah kabupaten/kota bersama masyarakat setempat dengan memperhatikan
kemampuan kelompok, potensi lahan, hutan dan pertimbangan teknis dari instansi

22
Lihat Kartodihardjo, H. (2006 ; 77 - 99), kronologis perubahan undang-undang no. 41/1999 tentang
Kehutanan dan perundangan lainnya, menunjukkan kelemahan pemerintah dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan pengelolaan sumberdaya alam, dalam Politik Lingkungan dan Kekuasaan di
Indonesia.
141

kehutanan di daerah (pasal 12 ayat 3). Daerah dalam pengelolaan TAHURA belum
merupakan bagian yang strategis dan prioritas dalam pengembangan program, apalagi
kebiasaan yang telah bertahun-tahun dengan pengelolaan yang sifatnya sektoralis,
sementara TAHURA pengelolaannya holistis. Untuk merubah kebiasaan ini
membutuhkan proses yang melembaga dengan keinginan dan kemampuan
profesional yang memadai dari pemimpinnya. Tidak berjalannya governance
resources karena ketidakmampuan pengelola dalam mengkolaborasikan beragan
kepentingan di dalamnya. Hal ini dibenturkan lagi dengan KepMenHut No. 107/Kpts-
II/2003 tentang penyelenggaraan tugas pembantuan pengelolaan TAHURA oleh
Gubernur dan Bupati/walikota bahwa hak pemerintah pusat terhadap pengelolaan
TAHURA masih dominan, dan daerah hanya merupakan perpanjangan tangan
pemerintah pusat. Tugas pembantuan tersebut secara teknis dikoordinasikan kepada
BKSDA sebagai pelaksana program pusat di daerah (pasal 2 ayat 2). Kondisi ini
sangat sulit untuk dapat berkomunikasi dengan baik di tataran implementasi
khususnya dalam aspek koordinasi. Secara hirarki birokrasi, BKSDA dalam struktur
pemerintahan termasuk dalam eselon III, sementara Dinas Kehutanan eselon II.
Situasi ini masing-masing instansi dalam institusi pemerintah sendiri masih
menunjukan ego sektoral dan strukturalnya, bukan berpegang pada prinsip fungsional
terhadap sesuatu program yang merupakan tanggung jawabnya. Data faktual
menunjukkan kelemahan kapasitas kelembagaan pemerintah yang diwakili Dinas
Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah. Indikator lain yang dapat ditunjukkan bahwa
Peraturan Pemerintah No. 62/1998 mengamanatkan pengelolaan di bidang kehutanan
khususnya TAHURA SULTENG adalah wewenang pemerintah daerah tingkat II
(baca pasal 5 dan 6). Sesuatu yang ironis ditemukan di lapangan bahwa pengelolaan
TAHURA tidak dapat berjalan (oleh Pemda Kabupaten dan kota), karena kendala
utama adalah belum adanya pelimpahan wewenang dan atau wewenang berada pada
Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah23

23
”Ir. Zainal Arifin H. Tongko, SH, MS”, Kepala Dinas Kehutanan Kota Palu Sulawesi Tengah. Dinas
Kehutanan Kota Palu menunggu kewenangan pengelolaan di Propinsi sekaligus kebijakan
pengelolaannya. Belum ada tindaklanjut dari Propinsi mengenai SK Menteri No. 24/Kpts-II/1999 kepada
142

Pelaksanaan tugas pembantuan sebagaimana pasal 7 dalam Peraturan


Pemerintah No. 62/1998 yang ditindaklanjuti dengan KepMenHutBun No. 107/Kpts-
II/2003 tentang penyelenggaraan tugas pembantuan pengelolaan TAHURA oleh
Gubernur atau Bupati/Walikota. Pengelolaan TAHURA dalam pasal 2 dan 5 PP No.
62/1998 yang diperjelas dalam pasal 7, bahwa tugas pembantuan dapat berjalan jika
kegiatan pengelolaan mendapat persetujuan Menteri Kehutanan. Keadaan ini
merupakan salah satu indikasi bahwa pengelolaan TAHURA separuh sentralistik,
atau dapat dikatakan belum sepenuhnya otonom. Situasi seperti ini pihak pusat belum
sepnuhnya memberikan kewenangan, dan mengindikasikan pemerintah daerah
nampaknya belum memiliki ”kemampuan" untuk mengelola TAHURA secara
komprehenship, karena kawasan ini banyak kepentingan yang terlibat (stakeholders).
Hal ini terbukti bahwa selama penyerahan kepada pemerintah daerah tahun 1998,
belum terdapat aktivitas yang signifikan dilakukan, terutama koordinasi yang
melibatkan stakeholders, khususnya masyarakat lokal Kaili yang bermukim dalam
kawasan sejak lama. Faktor lain yang menjadi hambatan di daerah adalah tidak
berjalannya pengelolaan dan kurang dipahaminya peraturan yang telah diterbitkan
pemerintah, baik pengelola yang terlibat dalam kebijakan maupun pengelola teknis,
termasuk peraturan daerah (PerDa) No. 2 Tahun 2004 mengenai Tata Ruang Wilayah
Propinsi Sulawesi Tengah. Peraturan Daerah yang mengatur khusus TAHURA
SULTENG belum dibuat termasuk perangkat teknis lainnya (lunak dan kasar). Hal
ini diperkuat dengan persepsi dari Dinas Kehutanan yang seolah-olah bukan
wewenangnya dalam melakukan pengelolaan yang mengkoordinasikan para
stakeholder yang berkepentingan di dalamnya. Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun
1998 nampaknya belum dicermati baik pimpinan instansi (Kepala Dinas, Kepala Sub
Bidang maupun pengelola Teknis Lapangan). Situasi ini sangat ironis tatkala
pemegang kendali tidak memahami apa yang akan dikerjakan, sementara pihak lain
banyak yang bergantung kepada-nya, dan yang lebih memilukan bahwa kebijakan

daerah tingkat II sehingga dinas teknis belum bisa ”sembarang masuk”, wawancara tanggal 3 Agustus
2006 di ruang kerjanya di Palu.
143

pengelolaan kawasan tersebut masih berada sebagian pada pemerintah pusat 24 .


Sementara peraturannya telah jelas bahwa pemerintah propinsi (dinas) melaksanakan
kebijakan pengelolaan TAHURA lintas kabupaten dan kota, dan dinas
kabupaten/kota melaksanakan kebijakan pengelolaan TAHURA SULTENG dalam
wilayah kabupaten/kota.
Gubernur menindaklanjuti kebijakan ini juga seadanya, hanya melihat dari sisi
kepentingan kontribusi pendapatan daerah, bukan memandang sebagai aset daerah
yang akan memberikan kontribusi besar dalam berbagai hal untuk mendukung
keberlanjutan pembangunan masa depan dan ekosistem kawasan hidrologi yang
kepentingannya sama dengan aspek lain. Indikator tersebut ditunjukkan dengan sikap
pemerintah daerah bahwa hingga penelitian ini selesai, belum dibuatnya Peraturan
Daerah yang mengatur secara mandiri, dan kontribusi TAHURA SULTENG dengan
ekosistem yang ada ; masyarakat bukan sebagai aset yang dapat memberikan
kontribusi besar terhadap perekonomian daerah, namun dianggap sebagai hambatan
dan tantangan/ancaman. Sementara ruang yang diberikan kepada masyarakat
sebagaimana termaktub dalam Peraturan Daerah No. 2/2004 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Propinsi Sulawesi Tengah dinyatakan, untuk menikmati dan
memanfaatkan ruang beserta sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya berupa
manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan dilaksanakan atas dasar penguasaan, sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ataupun atas hukum adat dan
kebiasaan yang berlaku atas ruang pada masyarakat setempat. Hal yang sama
disebutkan dalam pasal 103 ayat 1 PerDa No. 2/2004 berbunyi pergantian yang layak
atas kerugian terhadap perubahan status semula yang dimiliki masyarakat akibat
pelaksanaan RTRWP Sulawesi Tengah, diselenggarakan dengan cara musyawarah
antar pihak yang berkepentingan. Peraturan tersebut hanya merupakan slogan dan
persyaratan administratif, bukan menjadi acuan dalam menyusun setiap program
implementasi. Hal yang lebih ironis lagi tentang persepsi Dinas Kehutanan yang

24
Hasil Wawancara Pth. Kadis Kehutanan “Ir. Haerul Anantha” dan Ir.Jein, Kepala Sub Bidang
Konservasi dan Pelestarian Hutan Alam (KPHA) Propinsi Sulawesi Tengah, Maret 2006.
144

seolah-olah bukan wewenangnya dalam melakukan pengelolaan untuk


mengkoordinasikan para stakehoder yang terkait dengan TAHURA SULTENG.
Peraturan yang melarang aktivitas di dalam kawasan Taman Hutan Raya tidak
cukup dan tidak menjamin kelestarian dan rusaknya kawasan hutan. Bagaimana
ekosistem kehidupan bisa dijalankan bersama antar perangkat hukum yang mengatur
pengelolaan memberikan peluang dan akses yang sama sehingga keberadaan hutan
TAHURA merupakan tanggung jawab bersama. Masyarakat di dalam kawasan
bersama institusi adatnya dapat dimaksimalkan fungsinya sebagai aktor yang benar-
benar eksis, bukan hanya slogan yang dijadikan persyaratan administratif. Mereka
dilibatkan dalam pengambilan keputusan (prakondisi, perencanaan, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi), termasuk peran kontrol diberikan kepada institusi adat yang
eksis di lapang atau lokasi dimana mereka bermukim. Keadaan ini akan lebih
memberikan dampak positif yang menjanjikan atas keberlanjutan terjaganya
ekosistem TAHURA. Hal tersebut didukung dengan kondisi geografis pemukiman
warga berada hampir semua sisi yang masuk dalam trayek batas.
Situasional tersebut menganjurkan untuk didefinisikan tersendiri menurut
perspektif lokasi yang sesuai dengan karakteristik wilayahnya yang unik, sehingga
dalam implementasi dapat berjalan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Hal ini
akan dapat berjalan jika semua elemen duduk satu meja untuk mengharmonisasi
kebijakan-kebijakan yang diangap belum sinkron dengan situasi lokal daerah
Sulawesi Tengah. Jika hal ini dilakukan maka yang akan terjadi adalah peninjauan
kembali trayek batas secara bersama (komprehenship) sehingga akan menghasilkan
peta dengan alur penyesuaian situasi lapangan. Hasilnya mungkin bukan hanya
berupa satu cincin gelang utuh, tapi akan terbentuk beberapa cincin-cincin gelang
yang diantaranya adalah kebun rakyat dan lahan-lahan komunal. Akses terhadap
kebun-kebun dan lahan komunal ini jika dimaksimalkan akan memberikan dampak
yang positif terhadap peningkatan ekonomi petani, sosial budaya dan ekologis, pada
145

gilirannya hutan TAHURA akan terjaga dari gangguan baik dari dalam sendiri
maupun dari luar25.
Secara operasional petunjuk termasuk mekanisme pengelolaan TAHURA,
sampai penelitian ini selesai dilaksanakan belum ditemukan peraturan maupun
kebijakan lain yang menjelaskan mekanisme dan peran masing-masing stakeholder.
Peraturan daerah yang menjadi acuan bagi pengelola belum dibuat, dan kini terjadi
stagnasi dalam pengelolaannya. Daerah dalam hal ini nampaknya masih bingung dan
enggan berbuat banyak, yang seharusnya memiliki apresiasi yang tinggi untuk
merespon kebijakan pelimpahan wewenang pengelolaan berdasarkan PP No.
62/1998. Pasal 3 dalam peraturan pemerintah tersebut menjelaskan, proporsi daerah
dalam pengelolaan TAHURA meliputi kegiatan pembangunan, pemeliharaan,
pemanfaatan dan pengembangannya. Lebih lanjut dijelaskan pada ayat berikutnya ;
perlu dilakukan iventarisasi hak-hak pihak ketiga yang berkaitan dengan trayek
batas. Hal ini belum pernah dilakukan khususnya tentang iventarisasi pada pihak
ketiga, sehingga sampai saat ini polemik TAHURA tak kunjung berakhir.
Undang-undang mengenai otonomi daerah (desentralisasi), yang menawarkan
sejumlah peluang bagi maasyarakat lokal untuk mendapatkan ruang aspirasi yang
lebih besar dalam penyusunan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam (hutan).
Pemerintah yang terdesentralisasi akan lebih dekat dengan masyarakat, karenanya
harus lebih tanggap terhadap tuntutan lokal dibandingkan skema pemerintahan yang
terpusat (Fay dkk, 2006). Selanjutnya, proses desentralisasi ternyata pemerintah
daerah yang tidak siap menghadapi reorganisasi skala besar, termasuk Sulawesi
Tengah dengan beberapa daerah tingkat II, mengindikasikan belum sepenuhnya
berkemampuan mengakses kebijakan tersebut dalam berbagai aspek pembangunan.
Dalam atmosfir perubahan yang begitu cepat, stakeholder yang memiliki
akses lebih baik kepada informasi pasar serta hubungan yang baik dengan calon
pembeli potensial, serta kepada pejabat-pejabat pemerintah, memiliki keuntungan
25
Komunikasi personal dengan Languha, A. (April 2006) di Palu. Konsep pengelolaan yang berdimensi
situasional perlu menjadi pertimbangan mendasar dalam perumusan kebijakan pengelolaan akses
susmberdaya TAHURA SULTENG ke depan, karena di dalam kawasan terdapat ratusan hektar kebun
ladang privat dan komunal dengan 529 KK (2.416 jiwa) yang menggantungkan kehidupannya dengan
sumberdaya alam di TAHURA.
146

yang luar biasa. Masyarakat tidak menikmati keunggulan tersebut, karenanya


menerima keuntungan yang sedikit. Dalam situasi tertentu, desentralisasi cenderung
menjadi kendaraan bagi elit, politikus dan aparat keamanan setempat yang bergabung
mengeksploitasi hutan (Down to Earth 2002 dalam Fay dkk, 2006).
Secara keseluruhan pengelolaan TAHURA SULTENG dengan proses
desentralisasi yang dipertegas melalui Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 1998 dan
didukung dengan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Propinsi Sulawesi Tengah. Pengaturan ruang daerah termasuk
TAHURA, salah satu pasal di dalamnya, namun secara eksplisit dalam operasional
TAHURA tidak ditindaklanjuti dalam mekanisme pengelolaan. Banyak peraturan
pemerintah yang justru tidak menguraikan bahkan cenderung menyembunyikan dan
menafikan keberadaan tanah-tanah ulayat masyarakat adat, yang secara kasar maupun
halus yang diubah menjadi kawasan luas konsesi pembalakan hutan, perkebunan
besar, dan pertambangan. Piranti hukum hanyalah langkah awal untuk memberikan
basis keabsahan de jure, sehingga rakyat tidak lagi mempunyai alasan tandingan
secara legal formal untuk mempertahankan hak-hak mereka. Perjuangan komunitas
masyarakat adat Kaili Ledo dan Tara mempertahankan hak-haknya sedang berjalan,
dan pemerintah daerah-pun hingga saat ini belum memberikan pengakuan dan
perlindungannya. Dengan demikian, dapat dikemukakan beberapa hal yang menjadi
kelemahan dalam pengelolaan akses sumberdaya TAHURA dari konteks kebijakan
sebagai berikut :
1) Belum adanya aturan main yang jelas, ketidakmampuan pemerintah pusat
untuk memantau dan menegakan undang-undang yang telah diterjemahkan
menjadi prakarsa pemerintah daerah yang ternyata melampaui rentang
tanggung jawab yang diberikan undang-undang dan peraturan yang
diterbitkan pemerintah pusat (Fay dkk, 2006).
2) Proses desentralisasi telah menciptakan gelombang harapan dan
meningkatkan tekanan untuk perubahan di tingkat kabupaten dan kota, hingga
mencapai titik dimana pemerintah pusat kehilangan kendalinya terhadap
proses tersebut.
147

3) Pada daerah tingkat II, Kabupaten Donggala dan Kota Palu perwujudan
peluang untuk menetapkan klaim atas sumberdaya TAHURA menciptakan
sejumlah tuntutan yang kuat untuk penyelesaian konflik, dan faktanya
pemerintah kabupaten dan kota tidak berkemampuan menyelesaikannya.
4) Pemerintah kabupaten dan kota berwewenang untuk menerbitkan perizinan
bagi eksploitasi sumberdaya hutan skala kecil sehingga mereka memperoleh
insentif untuk mempercepat eksploitasi guna meningkatkan pendapatan
daerahnya.
5) Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 1998 tidak disinggung ketentuan
mengenai peranserta masyarakat dan urusan pemerintahan daerah di bidang
kehutanan. Peranserta masyarakat adalah salah satu syarat terlaksananya
sistem pemerintahan yang baik dan demokratis. Apabila peranserta
masyarakat diabaikan, maka dikhawatirkan pembangunan yang dilaksanakan
tidak mencerminkan aspirasi masyarakat (terjadinya pembangunan yang
semu).
6) Kebijakan mengenai peranserta masyarakat dalam Peraturan Daerah No.
2/2004 tidak memberikan definisi yang jelas, dalam proses mana masyarakat
berperan, apakah hanya terbatas pada menyetujui hasil keputusan dari
pemerintah (seperti sekarang?) atau dilibatkan dari prakondisi penyusunan
kebijakan hingga pengambilan keputusan.!!!

Anda mungkin juga menyukai