Anda di halaman 1dari 31

DEPARTEMEN ILMU ANESTESI, PERAWATAN TRANSLATE TEXTBOOK

INTENSIF DAN MANAJEMEN NYERI MARET 2019

FARMAKOLOGI DAN FISIOLOGI DALAM PRAKTIK ANESTESI STOELTING


BAB 16: FISIOLOGI GINJAL

OLEH:
Fourenty Kusuma
C014172099

RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Abdul Qadir Jaelani

SUPERVISOR PEMBIMBING :
Dr. dr. Syamsul Hilal Salam, Sp.An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU ANESTESI, PERAWATAN INTENSIF DAN MANAJEMEN NYERI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Fourenty Kusuma


NIM : C014172099
Judul : FARMAKOLOGI DAN FISIOLOGI DALAM PRAKTIK ANESTESI
STOELTING BAB 16: FISIOLOGI GINJAL

Telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik Departemen Ilmu Anestesi, Perawatan


Intensif dan Manajemen Nyeri, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin.

Makassar, Maret 2019

Supervisor Pembimbing Residen Pembimbing

Dr. dr. Syamsul Hilal Salam, Sp.An dr. Abdul Qadir Jaelani
BAB 16
FISIOLOGI RENAL

Ginjal memegang peran utama dalam mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal


menstabilkan komposisi cairan elektrolit ekstraseluler, mempertahankan keseimbangan asam-
basa, regulasi status volume dan tekanan darah, sekresi eritopoietin dan renin, dan ekskresi
toksin dan sampah metabolik. Fungsi ini melibatkan interaksi yang kompleks antara ginjal
dengan sistem organ lainnya dan sering kali berubah selama anestesi. Oleh karena itu,
pemahaman mengenai fungsi ginjal penting bagi ahli anestesi sebelum, selama, dan setelah
pasien mendapatkan perawatan di kamar operasi.

Struktur dan Fungsi Ginjal


Anatomi Dasar Ginjal
Ginjal berpasangan dan terletak di bawah diafragma dalam ruang retroperitoneum,
dengan berat masing-masing 115-160 gram. Setiap ginjal memiliki bagian terluar (korteks)
dan bagian dalam (medulla). Arteri renalis berasal dari aorta abdominalis dan vena renalis
mengalir langsung ke vena cava inferior. Ginjal dipersarafi oleh sistem saraf simpati setinggi
T4-T12.
Nefron merupakan unit fungsional terkecil dari ginjal (Gambar 16-1). Sebuah nefron
terdiri dari sebuah bed kapiler yang disebut glomerulus yang dikelilingi oleh sel epitel yang
disebut kapsul Bowman. Kapsul Bowman kemudian berlanjut dengan sebuah tubulus
panjang yang mengalir ke pelvis renalis. Cairan disaring melalui kapiler glomerular dan
diubah sepanjang tubulus ginjal menjadi urin.1 Ada 2 jenis nefron: Nefron juxtamedular yang
memiliki tubulus yang turun ke medulla renalis, sedangkan nefron kortikal lebih dekat ke
permukaan ginjal.
Nefron Juxtamedular
Kapsul Tubulus kontortus Tubulus kontortus
Bowman proksimal distal
Arteriol
Aferen

Arteriol
Eferen
Korteks

Loop
Henle Saluran
pengumpul

Medula

Urin

Gambar 16-1 Gambaran skematis nefron juxtamedular

Glomerulus
Struktur dan Fungsi Glomerulus
Glomeruli ditemukan di korteks ginjal dan terdiri dari seberkas kapiler yang
dikelilingi oleh kapsul Bowman, ujung melebar dari tubulus ginjal. Kapiler glomerulus
ditempatkan secara unik di antara dua set arteriol. Darah mengalir dari arteriol aferen melalui
kapiler glomerulus dan kemudian ke arteriol eferen. Oleh karena itu, tekanan pada kapiler
glomerulus merupakan hasil dari aktivitas vaskular dari arteriol aferen dan eferen (Gambar
16-2): Vasokonstriksi aferen menurunkan tekanan kapiler glomerulus, sedangkan
vasokonstriksi arteriol eferen meningkatkan tekanan kapiler glomerulus. Tekanan kapiler
glomerulus menyebabkan air dan zat dengan berat molekul rendah disaring ke dalam kapsul
Bowman dan sistem tubulus ginjal.
Cairan yang disaring dari kapiler glomerulus ke tubulus ginjal disebut filtrat
glomerulus. Karena membran kapiler glomerulus mengandung pori-pori, permeabilitasnya
jauh lebih besar daripada kapiler jaringan tipikal. Cairan, asam amino, dan ion dengan cepat
disaring, sedangkan protein dengan berat molekul lebih tinggi dipertahankan di dalam
kapiler. Komposisi filtrat glomerulus mirip dengan plasma tetapi tanpa protein.
Penurunan tekanan
kapiler glomerulus
Vasokontriksi
arteriol aferen

Vasodilatasi arteriol eferen

Peningkatan tekanan
kapiler glomerulus
Vasodilatasi
arteriol aferen

Vasokontriksi arteriol eferen

Gambar 16-2 Tekanan filtrasi glomerulus. A: Vasokonstriksi arteriol aferen menurunkan tekanan kapiler
glomerulus dan karenanya menurunkan LFG. B: Vasokonstriksi arteriol eferen meningkatkan tekanan kapiler
glomerulus dan karenanya meningkatkan LFG.

Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)


Volume filtrat glomerulus kolektif yang terbentuk dari waktu ke waktu disebut laju
filtrasi glomerulus (LFG). Pada orang normal, LFG adalah sekitar 125 mL per menit atau 180
L per hari. Karena 99% dari 180 L filtrat glomerulus ini diserap kembali, output urin harian
adalah 1 sampai 2 L. Seperti dijelaskan sebelumnya, tekanan kapiler glomerulus mengarah ke
filtrasi ke tubulus ginjal. Tekanan filtrasi normal sekitar 10 mmHg dihitung sebagai tekanan
kapiler glomerulus (60 mmHg) dikurangi tekanan osmotik koloid (32 mmHg) dan tekanan
dalam kapsul Bowman (18 mmHg) (Gambar 16-3). Tingkat filtrasi dipengaruhi oleh
beberapa faktor: Tekanan arteri rata-rata, curah jantung, dan sistem saraf simpatik masing-
masing dapat meningkatkan tekanan kapiler glomerulus dan meningkatkan LFG.
Ginjal memiliki mekanisme autoregulasi untuk memodulasi efek tekanan arteri rata-
rata pada LFG. Proses autoregulasi ini melibatkan umpan balik dari tubulus distal renalis ke
glomerulus. Sel-sel khusus dalam tubulus distal renalis, yang disebut makula densa, memberi
sinyal ke arteriol ginjal aferen atau eferen untuk vasokonstriksi atau vasodilatasi. Melalui
penyesuaian akibat tekanan kapiler glomerulus, tekanan filtrasi yang hampir konstan
menyebabkan LFG yang konsisten pada kisaran tekanan arteri rerata, tetap relatif konstan
antara tekanan arteri rerata 60 dan 160 mmHg. Karena bahkan perubahan kecil dalam LFG
dapat menyebabkan variasi yang luas pada output urin, jelas bahwa umpan balik tubulus-
glomerular berperan penting dalam homeostasis.

Tekanan cairan
interstisial 6 mm Hg

Gambar 16-3 Tekanan intravaskular dalam sirkulasi ginjal8

Tubulus ginjal
Struktur Tubulus ginjal
Tubulus ginjal tersusun atas tubulus kontortus proksimal, loop Henle, dan tubulus
kontortus distal.1 (lihat Gambar 16-1). Seperti dijelaskan sebelumnya, loop Henle pada nefron
juxtamedular meluas ke medula ginjal sebelum mengembalikan filtrat kembali ke korteks
ginjal di tubulus kontortus distal. Filtrat glomerulus, setelah melewati sepanjang tubulus
ginjal, kemudian memasuki saluran pengumpul (duktus koligentes/kolektivus), yang
merupakan pertemuan aliran dari beberapa nefron ke dalam pelvis ginjal.

Fungsi Tubulus ginjal


Filtrat glomerulus diubah menjadi urin di sepanjang jalannya tubulus ginjal.2 (Tabel
16-1). Mayoritas air dan berbagai zat terlarut yang disaring oleh kapiler glomerulus diserap
kembali ke kapiler peritubular. Produk-produk limbah metabolik, juga disaring oleh kapiler
glomerulus, tidak diserap kembali. Zat terlarut lainnya disekresikan oleh sel epitel tubulus
ginjal ke dalam lumen tubulus ginjal. Jadi, urin yang ditemukan dalam saluran pengumpul
terutama terdiri dari zat yang disaring melalui kapiler glomerulus dan sejumlah kecil zat yang
disekresikan. Proses reabsorpsi menentukan volume urin yang terbentuk, sedangkan sekresi
sangat penting dalam menentukan sifat urin, seperti konsentrasi kalium dan ion hidrogen.
Berbagai bagian tubulus ginjal memiliki peran berbeda dalam reabsorpsi dan sekresi. 2 (lihat
Tabel 16-1). Sekitar dua pertiga dari semua reabsorpsi dan sekresi dalam tubulus ginjal
terjadi di tubulus ginjal proksimal. Faktor paling penting yang mempengaruhi reabsorpsi
natrium dan air adalah aldosteron, arginin vasopresin (AVP), prostaglandin ginjal, dan
peptida natriuretik atrium.

Tabel 16-1 Magnitudo dan Situs Reabsorpsi atau Sekresi Solut dalam Tubulus Ginjal
Filtrasi Reabsorpsi Sekresi Ekskresi Persentase
Lokasi
(24 jam) (24 jam) (24 jam) (24 jam) Reabsorpsi
Air (L) 180 179 1 99,4 P,L,D,C
Natrium (mEq) 26.000 25.850 150 99,4 P,L,D,C
Kalium (mEq) 600 560 50 90 93,3 P,L,D,C
Klorida (mEq) 18.000 17.850 150 99,2 P,L,D,C
Bikarbonat (mEq) 4.900 4.900 0 10 P,D
Urea (mM) 870 460 410 53 P,L,D,C
Asam urat (mM) 50 49 4 5 98 P
Glukosa (mM) 800 800 0 100 P
P:tubulus kontortus, D:tubulus distal, L: loop Henle, P: tubulus proksimal

Reabsorpsi natrium melibatkan perpindahan ion ini terhadap gradien konsentrasi dari
lumen tubulus proksimal ke kapiler peritubular. Proses ini membutuhkan energi, dipasok oleh
sistem natrium-kalium adenosin trifosfatase (ATPase) dan secara tepat disebut transpor aktif.
Proses transportasi lain di sepanjang tubulus, termasuk reabsorpsi glukosa, reabsorpsi asam
amino, dan sekresi asam organik, berbagi pembawa yang sama dengan natrium. Oleh karena
itu, sebagian besar transportasi sel tubular lintas sel tergantung pada aktivitas ATPase
natrium-kalium. Tubulus kontortus proksimal, menggerakkan enzim ATPase untuk
reabsorpsi natrium, mengonsumsi sekitar 80% dari konsumsi oksigen ginjal.3
Lebih dari 99% air dalam filtrat glomerulus diserap kembali ke kapiler peritubular
saat melewati tubulus ginjal. Variasi dalam permeabilitas sel epitel yang melapisi tubulus
penting dalam fungsi ginjal. Osmosis air yang cepat melalui tubulus ginjal proksimal berarti
bahwa konsentrasi zat terlarut di sisi kapiler membran sel hampir tidak pernah lebih dari
beberapa miliosmol lebih besar daripada di lumen tubular. Namun, tubulus distal hampir
sepenuhnya kedap air, memungkinkan untuk mengontrol gravitasi spesifik urin.
Permeabilitas saluran pengumpul berubah-ubah dan ditentukan oleh aksi AVP. Ketika AVP
mengaktifkan adenilat siklase dalam sel epitel yang melapisi saluran pengumpul, siklik
adenosin monofosfat yang dihasilkan meningkatkan permeabilitas membran sel terhadap air.
Oleh karena itu, peningkatan AVP menyebabkan reabsorpsi air dari saluran pengumpul,
menghasilkan urin yang sangat pekat. Penurunan AVP menghasilkan sedikit reabsorpsi air
dan sejumlah besar urin encer.
Sistem berlawanan arusKemampuan ginjal untuk menghasilkan urin encer atau pekat
tergantung pada gradien dalam osmolaritas antara korteks ginjal dan medula ginjal yang
dibuat oleh loop Henle. Dimana korteks ginjal memiliki osmolaritas yang relatif rendah (300
mOsm / L), medula ginjal mengandung cairan interstitial sangat terkonsentrasi (1.400 mOsm
/ L dekat panggul ginjal) karena reabsorpsi zat terlarut secara aktif dalam loop Henle. 3
(Gambar 16-4). Osmolaritas meduler yang tinggi dipertahankan sebagian oleh aliran darah
yang lambat, mencegah pembuangan zat terlarut.

zat
terlarut

Gambar 16-4 Pertukaran balik air dan zat terlarut dalam vasa recta3

Sama seperti loop juxtamedular Henle membawa filtrat glomerulus dari korteks ke
medula ginjal dan kembali ke korteks, pasokan vaskular memiliki struktur yang sama.
Susunan kapiler peritubular berbentuk U, yang dikenal sebagai vasa recta, sejajar dengan
loop Henle. Ini membentuk sistem arus berlawanan, di mana aliran masuk kapiler berjalan
paralel dan berlawanan arah dengan aliran keluar kapiler.
Aquaporin
Osmolaritas tinggi di medula ginjal memungkinkan potensi reabsorpsi air secara cepat
melalui osmosis ketika filtrat melewati saluran pengumpul ginjal. Proses ini dimediasi oleh
aquaporin, yang merupakan kanal yang memfasilitasi aliran air yang cepat melintasi
membran sel lipid pada kecepatan yang lebih besar dari difusi sederhana.4–6 Aqaporin adalah
struktur protein tetramer dan ditemukan di ginjal, otak, kelenjar ludah dan lakrimal, serta
saluran pernapasan. Lima aquaporin di ginjal berperan dalam keseimbangan air.5 Aquaporin-
1 ada di tubulus ginjal proksimal, sedangkan aquaporin-2 ditemukan di saluran pengumpul
ginjal. Sebagai tanggapan terhadap AVP, kanal-kanal dalam epitel saluran pengumpul tubular
terbuka, yang mengarah pada reabsorpsi air dan pembentukan urin pekat. Dengan tidak
adanya AVP, urin encer melintasi saluran pengumpul tanpa dipengaruhi osmolaritas meduler.

Maksimum Transpor Tubular


Tubular transport maximum (Tmax atau Tmax) adalah jumlah maksimum suatu zat
yang dapat diserap secara aktif dari lumen tubulus ginjal setiap menit. Tm tergantung pada
jumlah zat pembawa dan enzim yang tersedia untuk sistem transpor aktif spesifik dalam sel
epitel yang melapisi tubulus ginjal.
Tmax untuk glukosa adalah sekitar 220 mg per menit. Ketika jumlah glukosa yang
disaring melalui kapiler glomerulus melebihi jumlah ini, kelebihan glukosa tidak dapat
diserap kembali dan masuk ke urin (Gambar 16-5). Jumlah glukosa yang biasa dalam filtrat
glomerulus yang memasuki tubulus ginjal proksimal adalah 125 mg per menit, dan tidak ada
kebocoran yang dapat terdeteksi ke dalam urin. Ketika muatan tubulus, bagaimanapun,
melebihi sekitar 220 mg per menit (konsentrasi ambang batas), glukosa mulai muncul dalam
urin. Konsentrasi glukosa darah 180 mg / dL dengan adanya LFG normal menghasilkan
pengiriman 220 mg per menit glukosa ke dalam cairan tubulus ginjal. Kebocoran glukosa
dalam urin terjadi pada konsentrasi di atas Tm untuk glukosa. Kehadiran sejumlah besar zat
terlarut yang tidak diserap dalam urin seperti glukosa (atau manitol) menghasilkan diuresis
osmotik dengan menahan air dalam sistem pengumpulan.
Konsentrasi glukosa urin

Glukosa tersaring (mg/menit)

Gambar 16-5 Transpor maksimum untuk glukosa. Konsentrasi glukosa urin dapat diabaikan sampai jumlah
glukosa yang disaring melebihi maksimum transpor

Transportasi Urin ke Kandung Kemih


Dari saluran pengumpul, urin mengalir ke pelvis renalis. Sebuah ureter muncul dari
pelvis renalis setiap ginjal. Pada ujung distalnya, ureter menembus kandung kemih secara
oblik sehingga tekanan dalam kandung kemih menekan ureter, sehingga mencegah refluks
urin ke dalam ureter ketika tekanan kandung kemih meningkat selama miksi.
Setiap ureter dipersarafi oleh sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Ketika urine
terkumpul di pelvis renalis, tekanan di dalam pelvis meningkat dan memicu kontraksi
peristaltik yang bergerak ke bawah sepanjang ureter untuk memaksa urin menuju kandung
kemih. Stimulasi sistem saraf parasimpatis meningkatkan frekuensi peristaltik, sedangkan
stimulasi sistem saraf simpatis menurunkan peristaltik.
Obstruksi ureter oleh batu menyebabkan penyempitan refleks yang intens dan rasa
sakit. Selain itu, nyeri memunculkan refleks sistem saraf simpatis (ureterorenal reflex) yang
menyebabkan vasokonstriksi arteriol ginjal dan penurunan bersamaan dalam pembentukan
urin di ginjal ketika ada obstruksi ureter.
Saat kandung kemih terisi dengan urin, reseptor peregang di dinding kandung kemih
memicu kontraksi miksi. Sinyal sensorik dikonduksikan ke segmen sakral sumsum tulang
belakang melalui saraf panggul dan kemudian kembali lagi ke kandung kemih melalui serat
sistem saraf parasimpatis. Refleks berkemih adalah refleks medula spinalis sepenuhnya
otomatis yang dapat dihambat (kontraksi tonik dari sfingter uretra eksterna) atau difasilitasi
oleh pusat-pusat di otak. Kerusakan medula spinalis di atas daerah sakral meninggalkan
refleks berkemih tetapi tidak lagi dikendalikan oleh otak.
Aliran Darah Ginjal
Meskipun ginjal mewakili sekitar 0,5% dari total berat badan, aliran darah mereka
secara tidak proporsional besar pada 20% hingga 25% dari curah jantung. Aliran darah ginjal
sekitar 400 mL / 100 g / menit, dibandingkan dengan 70 mL / 100 g / menit untuk jantung
dan hati. Kemampuan untuk autoregulasi menjaga aliran darah ginjal relatif konstan di
berbagai tekanan arteri rata-rata sistemik. Karena aliran darah ginjal besar, fraksi ekstraksi
oksigen rendah meskipun konsumsi oksigen tinggi, PO2 menurun dari 95 mm Hg dalam arteri
renal hanya menjadi sekitar 70 mmHg di vena ginjal.
Sekitar 90% aliran darah ginjal didistribusikan ke korteks ginjal, dengan kurang dari
10% aliran darah ginjal menuju medula. Pengiriman darah yang bagus ke korteks mendukung
fungsi yang bergantung pada aliran seperti filtrasi glomerulus dan proses reabsorpsi tubular
dari korteks. Sebaliknya, aliran darah yang rendah di medula mempertahankan osmolaritas
cairan interstitial yang tinggi, yang pada gilirannya memungkinkan konsentrasi urin. Aliran
darah yang rendah juga membuat medula lebih rentan terhadap iskemia daripada korteks.

Aliran Darah Korteks Ginjal: Glomerulus dan Kapiler Peritubular


Darah memasuki arteri renalis, yang cabangnya pada akhirnya memasok arteriol
aferen glomeruli. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, arteriol aferen memberi makan dasar
kapiler glomerulus, dari mana darah mengalir ke arteriol eferen1 (lihat Gambar 16-1).
Resistensi pembuluh darah dari arteriol eferen meningkatkan tekanan kapiler glomerulus,
yang mendorong filtrasi cairan secara terus menerus dari kapiler glomerulus ke dalam kapsul
Bowman. Darah mengalir dari arteriol ke jaringan kapiler kedua yang disebut kapiler
peritubular. Kapiler-kapiler ini memiliki tekanan yang jauh lebih rendah8 (lihat Gambar 16-
3), mendorong reabsorpsi cairan dari tubulus ke kapiler peritubular.

Aliran Darah Medula Ginjal: Vasa Recta


Kapiler yang turun dengan loop Henle disebut sebagai vasa recta, yang hanya
menerima 1% hingga 2% dari aliran darah ginjal. Kapiler ini, setelah turun ke medula ginjal,
kembali ke korteks ginjal dan bermuara ke vena. Seperti dijelaskan sebelumnya, sistem
berlawanan arah ini meminimalkan pencucian zat terlarut dari cairan interstitial medula
menciptakan osmolaritas tinggi yang mendorong penyerapan air dari saluran pengumpul dan
pembentukan urin pekat.
Autoregulasi Aliran Darah Ginjal
Aliran darah ginjal dan LFG dijaga relatif konstan dalam kisaran tekanan arteri rata-
rata antara sekitar 60 dan 160 mmHg8 (Gambar 16-6). Karena LFG berbanding lurus dengan
aliran darah ginjal, curah jantung memiliki efek penting pada LFG. Mekanisme autoregulasi
masih kontroversial.9 Salah satu teori adalah respons miogenik, di mana peningkatan tekanan
perfusi menyebabkan peningkatan ketegangan dinding di arteriol aferen, yang mengakibatkan
kontraksi otomatis serat otot polos di dinding pembuluh darah. Hal ini meningkatkan
resistensi menjaga aliran tetap konstan meskipun terjadi peningkatan tekanan perfusi.3
Hipotesis alternatif adalah bahwa mekanisme umpan balik tubuloglomerular bertanggung
jawab untuk autoregulasi, di mana peningkatan tekanan perfusi akan meningkatkan filtrasi,
meningkatkan pengiriman cairan tubular ke makula densa, yang kemudian melepaskan faktor
atau faktor-faktor yang menyebabkan vasokonstriksi.
aliran darah ginjal (ml/menit)
Laju Filtrasi Glomerulus dan

Output urin (ml/menit)

Tekanan arteri (mm Hg)


Gambar 16-6 Autoregulasi. Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, tetapi bukan keluaran urin,
diautoregulasi antara tekanan arteri rata-rata sekitar 60 dan 160 mmHg8

Namun, dalam keadaan volume sirkulasi efektif yang menurun, aliran darah ginjal
mungkin menurun meskipun tekanan perfusi memadai. Aktivasi sistem saraf simpatik
menjauhkan curah jantung dari ginjal. Oleh karena itu, tekanan darah sistemik yang memadai
tidak selalu menunjukkan perfusi ginjal yang memadai dengan adanya hipovolemia.

Aparatus Juxtaglomerular
Aparatus juxtaglomerular adalah tempat tubulus distal lewat antara arteriol aferen dan
eferen. Sel-sel epitel tubulus distal yang bersentuhan dengan arteriol ini disebut makula
densa, sedangkan sel-sel yang sesuai dalam arteriol dikenal sebagai sel juxtaglomerular.
Sebagai respon dari penurunan aliran darah ginjal, sel-sel juxtaglomerular melepaskan renin
ke dalam sirkulasi3 (Gambar 16-7). Renin mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I,
yang kemudian dikonversi menjadi angiotensin II oleh angiotensin-converting enzyme. Efek
angiotensin II termasuk rasa haus, vasokonstriksi, dan reabsorpsi garam dan air oleh ginjal
untuk menjaga volume sirkulasi dan meningkatkan aliran darah ginjal. Baik penyebab awal
penurunan aliran darah ginjal adalah hasil dari hipovolemia, hipotensi sistemik, atau stimulasi
sistem saraf simpatik , efek renin adalah mempertahankan darah ginjal aliran dan LFG.
Penurunan volume
sirkulasi efektif

Peningkatan
pelepasan renin

Angiotensinogen
(substrat renin)

Angiotensin I

Angiotensin II

Peningkatan Peningkatan Peningkatan


Vasokonstriksi Haus
reabsorpsi natrium pelepasan aldosteron pelepasan ADH
proksimal

Peningkatan reabsorpsi
natrium distal Retensi air

Gambar 16-7 Peran sistem renin-angiotensin dalam mempertahankan volume sirkulasi yang efektif3

Regulasi Cairan Tubuh


Ginjal memiliki peran utama dalam regulasi jumlah dan sifat cairan tubuh. Mereka
mengontrol karakteristik berikut:
 Volume darah dan cairan ekstraseluler
 Osmolaritas cairan tubuh
 Konsentrasi ion dan urea dalam plasma

Volume Darah dan Cairan Ekstraseluler


Volume darah dipertahankan dalam kisaran yang sempit meskipun variasi harian yang
besar dalam cairan dan asupan atau kehilangan zat terlarut. Mekanisme untuk mengontrol
volume darah juga mempengaruhi tekanan darah sistemik dan curah jantung, karena
keduanya saling terkait. Peningkatan volume darah meningkatkan curah jantung, yang
biasanya meningkatkan tekanan darah sistemik. Peningkatan curah jantung dan tekanan arteri
sistemik akan meningkatkan aliran darah ginjal dan LFG, menghasilkan peningkatan
keluaran urin. Putaran umpan balik negatif dilengkapi dengan penurunan yang terjadi pada
volume darah sirkulasi.
Mekanisme pengaturan dasar ini ditambah oleh faktor-faktor lain. Dalam keadaan
penurunan volume darah, peningkatan konsentrasi AVP yang bersirkulasi akan meningkatkan
reabsorpsi air, sedangkan peningkatan aldosteron meningkatkan reabsorpsi natrium dan
dengan demikian reabsorpsi air secara osmotik. Hal ini mengurangi volume urin dan
mengembalikan volume darah. Faktor lain dimediasi melalui reseptor peregangan atrium dan
peptida natriuretik atrium yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.
Regulasi volume darah yang bersirkulasi normal terganggu oleh faktor-faktor yang
secara langsung mempengaruhi kapasitansi vaskular. Vasokonstriksi persisten terkait dengan
hipertensi esensial atau stimulasi sistem saraf simpatis (dari pheochromocytoma, misalnya)
menghasilkan penurunan volume darah. Sebaliknya, volume darah dapat ditingkatkan dengan
vasodilatasi kronis yang diinduksi obat atau efek varises yang parah.
Pengaturan volume cairan ekstraseluler dikendalikan secara tidak langsung melalui
pemeliharaan volume darah yang bersirkulasi. Peningkatan volume darah menyebabkan
peningkatan volume cairan ekstraseluler, sedangkan penurunan volume cairan ekstraseluler
diikuti dengan penurunan volume darah. Meskipun volume ini bergerak ke arah yang sama,
perubahan proporsionalnya dipengaruhi oleh permeabilitas kapiler, yang umumnya
dipengaruhi oleh faktor perioperatif. Ruang cairan ekstraseluler dapat dianggap sebagai
reservoir untuk kelebihan cairan intravena yang diberikan selama periode perioperatif.

Faktor Natriuretik Atrium dan Ginjal


Otot atrium jantung mensintesis dan mengeluarkan hormon peptida yang dikenal
sebagai atrial natriuretic peptide (ANP), yang dilepaskan sebagai respons terhadap
peningkatan tekanan dan volume atrium kanan dan kiri. ANP berikatan dengan reseptor di
saluran pengumpul ginjal dan bertindak melalui sistem kurir kedua transelular, menghambat
reabsorpsi natrium. Oleh karena itu, "peregangan" atrium mendorong eliminasi natrium dan
air, dan penurunan volume sirkulasi berikutnya. ANP juga memiliki sifat vasodilatasi,
sehingga menurunkan tekanan darah sistemik dan memicu vasodilatasi arteri ginjal.
Analog ANP ginjal adalah peptida natriuretik ginjal (urodilatin), yang disintesis dalam nefron
kortikal ginjal. Sangat mungkin bahwa ANP terutama merupakan regulator kardiovaskular
dan relatif tidak penting untuk ekskresi natrium, sedangkan peptida natriuretik ginjal
berpartisipasi dalam regulasi intrarenal ekskresi natrium.3,10 Dalam ventilasi mekanis,
tekanan ekspirasi akhir positif mengurangi distensi atrium dan tekanan transmural atrium. Hal
ini mengurangi pelepasan ANP, yang dapat menyebabkan retensi natrium dan air oleh ginjal.

Osmolaritas Cairan Tubuh


Penentu utama osmolaritas cairan tubuh adalah konsentrasi natrium dalam cairan
ekstraseluler. Konsentrasi ion natrium sebagian besar dikendalikan oleh dua mekanisme:
respon osmoreseptor-AVP dan refleks haus. Aldosteron, sebaliknya, memiliki peran minimal
dalam pemeliharaan konsentrasi natrium dan osmolaritas plasma8 (Gambar 16-8). Reabsorpsi
natrium yang diinduksi aldosteron disertai dengan reabsorpsi air. Untuk alasan ini, pasien
dengan hiperaldosteronisme primer biasanya mengalami peningkatan volume cairan
ekstraseluler tetapi kadar natrium serumnya hampir normal.
Konsentrasi Natrium Plasma (mEq/liter)

Blokade sistem aldosteron

Asupan Natrium (mEq/hari)


Gambar 16-8 Dengan tidak adanya aldosteron, konsentrasi natrium plasma bervariasi kurang dari 2% pada
kisaran enam kali lipat dalam asupan natrium8

Hormon Osmoreceptor-Arginine Vasopressin


Menanggapi peningkatan osmolaritas cairan ekstraseluler, osmoreseptor di
hipotalamus memberi sinyal ke hipofisis posterior untuk meningkatkan pelepasan AVP. AVP
juga disekresi dalam pengaturan kekurangan air dan pendarahan. AVP yang bersirkulasi
menyebabkan saluran pengumpul menahan air dan dengan demikian menurunkan kadar
natrium serum. Karena natrium adalah penentu utama osmolalitas serum, hal ini
menghasilkan penurunan osmolalitas. Dan kebalikannya juga. Osmolalitas cairan
ekstraseluler yang secara abnormal rendah akan menyebabkan penurunan pelepasan AVP,
sehingga meningkatkan produksi urin encer. Hal ini meningkatkan serum natrium dan
osmolalitas terhadap normal. Perubahan kecil dalam osmolalitas (sesedikit 1%) dapat
menghasilkan perubahan besar dalam konsentrasi AVP yang bersirkulasi, menghasilkan
regulasi osmolalitas serum yang ketat.

Refleks Haus
Refleks haus terutama ditimbulkan oleh peningkatan konsentrasi natrium dalam
cairan ekstraseluler. Peningkatan natrium sekecil 2 mEq / L di atas normal (atau peningkatan
osmolalitas sekitar 4 mOsm / L) akan merangsang rasa haus, dan konsumsi air menurunkan
konsentrasi natrium ke normal. Dengan cara ini, osmolalitas cairan ekstrasel dipertahankan
dalam kisaran yang sempit. Selain itu, angiotensin II meningkatkan respons haus, sehingga
perubahan sirkulasi yang meningkatkan produksi angiotensin II, seperti perdarahan akut atau
gagal jantung kongestif, akan meningkatkan rasa haus.

Konsentrasi Plasma Ion dan Urea


Natrium
Ginjal mengendalikan konsentrasi natrium melalui proses reabsorpsi. Seperti
dijelaskan sebelumnya, transpor aktif memindahkan ion natrium dari lumen tubulus ke
kapiler peritubular. Dua pertiga natrium dalam filtrat glomerulus diserap kembali dalam
tubulus proksimal ginjal, dan kurang dari 10% natrium diharapkan mencapai tubulus distal
ginjal. Sistem renin-angiotensin-aldosteron memodulasi reabsorpsi natrium oleh tubulus
ginjal. Hipotensi atau penurunan volume darah yang bersirkulasi menyebabkan peningkatan
angiotensin, yang dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru dan akhirnya menghasilkan
peningkatan reabsorpsi natrium. Angiotensin II mengarah ke vasokonstriksi arteriol eferen,
meningkatkan tekanan kapiler glomerulus dan LFG.
Terakhir, angiotensin II meningkatkan sekresi aldosteron, yang memberikan efek
pada tubulus ginjal distal. Ketika kadar aldosteron meningkat, hampir semua natrium yang
tersisa diserap kembali dari tubulus distal, dan ekskresi natrium urin dapat diabaikan.
Biasanya, hanya 1% dari natrium yang disaring diekskresikan dalam urin2 (lihat Tabel 16-1).
Kalium
Kalium, setelah disaring dalam glomerulus, kemudian diserap kembali oleh tubulus
proksimal dan loop Henle. Kalium diserap kembali atau dikeluarkan di tubulus distal dan
saluran pengumpul, tergantung pada kadar aldosteron. Peningkatan aldosteron meningkatkan
sekresi ion kalium ke tubulus ginjal dan akibatnya meningkatkan kalium urin. Mekanisme
umpan balik memungkinkan pengaturan yang ketat: Perubahan kecil konsentrasi kalium akan
menyebabkan perubahan substansial dalam konsentrasi aldosteron8 (Gambar 16-9). Ketika
aktivitas aldosteron tersumbat oleh diuretik tertentu, konsentrasi kalium plasma lebih
bergantung pada asupan diet kalium, membuat hipokalemia atau hiperkalemia lebih mungkin
terjadi8 (Gambar 16-10).
Perkiraan konsentrasi aldosteron
plasma (ng/100 ml plasma)

Konsentrasi kalium serum (mEq/liter)


Gambar 16-9 Perubahan kecil dalam konsentrasi plasma kalium membangkitkan perubahan besar dalam
konsentrasi plasma aldosteron8

Pengaturan konsentrasi ion natrium dan hidrogen juga memiliki efek pada ekskresi
kalium dalam urin. Ion hidrogen bersaing dengan kalium untuk sekresi ke dalam tubulus
ginjal. Pada keadaan alkalosis (misalnya muntah dan kehilangan asam lambung), kalium
diekskresikan dalam urin untuk menjaga keseimbangan asam-basa. Sebaliknya, asidosis
metabolik akan menyebabkan sekresi ion hidrogen dan retensi kalium, dan konsentrasi
kalium plasma akan meningkat. Asupan natrium dapat mempengaruhi konsentrasi plasma
kalium karena natrium diangkut melalui sel-sel epitel tubulus ginjal dalam pertukaran dengan
kalium.
Konsentrasi kalium plasma (mEq/liter) Blokade sistem
aldosteron

Asupan kalium (mEq/hari)


Gambar 16-10 Konsentrasi plasma asupan paralel kalium ketika aktivitas aldosteron terganggu 8

Keseimbangan Asam-Basa
Ginjal mengeluarkan ion hidrogen berlebih dengan menukar ion hidrogen dengan ion
natrium, sehingga mengasamkan urin, dan dengan sintesis amonia, yang bergabung dengan
hidrogen untuk membentuk amonium. Pada keadaan hipovolemia, reabsorpsi bikarbonat oleh
ginjal akan menyebabkan pengasaman urin dan alkalosis metabolik.

Kalsium dan Magnesium


Konsentrasi ion kalsium dikendalikan terutama oleh efek hormon paratiroid pada
reabsorpsi tulang, yang melepaskan kalsium. Selain itu hormon paratiroid meningkatkan
reabsorpsi kalsium dari tubulus ginjal distal dan saluran pengumpul. Magnesium diserap
kembali oleh semua bagian tubulus ginjal. Ekskresi magnesium urin berbanding lurus dengan
konsentrasi plasma ion ini.

Urea
Urea adalah produk sisa metabolisme yang paling berlimpah. Tanpa pembersihan urea
yang memadai, akumulasi cairan tubuh yang berlebihan mencegah fungsi normal beberapa
sistem. Eliminasi urea tergantung pada konsentrasi plasma urea (blood urea nitrogen atau
BUN) dan LFG. Sekitar 50% urea yang disaring ke tubulus ginjal dieliminasi dalam urin;
sisanya diserap kembali. Ketika LFG rendah, aliran filtrat tubular relatif lambat, sehingga
meningkatkan proporsi urea yang diserap kembali. Ini secara efektif meningkatkan BUN
dengan mengurangi eliminasi urea urin. Sebaliknya, ketika LFG meningkat, lebih sedikit urea
yang diserap kembali dalam tubulus, meningkatkan eliminasi dalam urin, dan BUN
berkurang.

Mengukur Fungsi Ginjal


Pengukuran formal fungsi ginjal membutuhkan studi intensif seperti pengumpulan
urin dari waktu ke waktu dan pengukuran darah dan komponen urin. Untuk pengambilan
keputusan klinis, perkiraan LFG dapat diakses dan tidak mahal, hanya membutuhkan kerja
laboratorium dasar. Serum creatinine (serum kreatinin), biasa digunakan untuk mengukur
perubahan fungsi ginjal, tidak sensitif terhadap perubahan kecil pada LFG; LFG perlu
dikurangi sekitar 50% sebelum kenaikan serum kreatinin terlihat. Selama bertahun-tahun,
rumus Cockcroft-Gault telah digunakan untuk memperkirakan LFG.11
LFGpria = (140-usia) x berat badan (kg) / serum kreatinin (mg/dL) x 72
LFGwanita = (140-usia) x berat badan (kg) x 0,85 / serum kreatinin (mg/dL) x 72
Perbedaan dalam rumus antara pria dan wanita menjelaskan perbedaan yang
diharapkan dalam massa otot dan produksi kreatinin. Formula juga memperhitungkan
pengaruh usia terhadap LFG. Mengingat penurunan massa otot yang berhubungan dengan
usia, LFG pada orang tua biasanya akan kurang dari orang yang lebih muda dengan berat dan
serum kreatinin yang sama. Formula Modifikasi Diet dalam Penyakit Ginjal atau The
Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) menggunakan empat variabel untuk
memperkirakan LFG: usia, serum kreatinin, etnis, dan jenis kelamin, dan tidak tergantung
pada berat badan.12
Berkembang dalam populasi pasien dengan penyakit ginjal kronis di Amerika Serikat,
telah secara luas diadopsi sebagai perkiraan LFG yang bermanfaat, meskipun masih ada
pertanyaan mengenai penerapannya pada populasi lain. Cockcroft-Gault dan MDRD
memiliki kondisi stabil: produksi seimbang dan klirens serum kreatinin yang mengarah ke
konsentrasi yang konsisten. Karena penurunan LFG yang akut akan menghasilkan
peningkatan serum kreatinin selama berjam-jam atau berhari-hari, formula ini merupakan
ukuran LFG yang buruk pada cedera ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI).

Cedera Ginjal Akut


Cedera ginjal akut menghasilkan penurunan tiba-tiba dalam kemampuan ginjal untuk
menghilangkan produk limbah nitrogen dan mempertahankan homeostasis cairan dan
elektrolit.3,13 Walaupun suplai darah ginjal yang melimpah dan pengiriman oksigen yang
besar, tetap berisiko terhadap iskemia pada periode perioperatif. Cedera ginjal akut dapat
diklasifikasikan berdasarkan tempat terjadinya patologi atau tingkat cedera yang diderita,
yang diukur dengan perubahan LFG dan penurunan output urin. Mengingat penyebab
heterogen cedera ginjal akut dan kesulitan dalam membandingkan literatur menggunakan
definisi yang berbeda,13 ada banyak perhatian baru-baru ini dalam standardisasi dan
meluruskan klasifikasi cedera ginjal akut.

Klasifikasi
Cedera ginjal akut (AKI) secara umum telah diklasifikasikan dengan membagi
patofisiologi primer menjadi penyebab prerenal, intrarenal, atau postrenal13 (Gambar 16-11).

Gagal ginjal akut

Penyebab prerenal Penyebab intrinsik Penyebab postrenal

Nekrosis tubulus Nefritis interstisial Glomerulonefritis akut


(10% kasus) (5% kasus)

Iskemik Toksin
(50% kasus (35% kasus)

Gambar 16-11 Klasifikasi Gagal Ginjal Akut13

Azotemia Prerenal
Kelainan sirkulasi sistemik yang menyebabkan penurunan aliran darah ginjal
berpotensi merusak fungsi ginjal. Istilah azotemia mengacu pada kondisi apa pun yang
ditandai dengan tingginya kadar senyawa yang mengandung nitrogen, seperti urea, kreatinin,
dan senyawa kaya nitrogen lainnya dalam darah. Azotemia prerenal mengacu pada penurunan
fungsi ginjal karena hipoperfusi dalam keadaan glomeruli dan tubulus yang intak.
Memperbaiki masalah yang mendasarinya dalam sirkulasi akan meningkatkan fungsi ginjal.
Penyebab umum azotemia prerenal pada pasien rawat inap termasuk syok septik, gagal
jantung, gagal hati, dan perubahan hemodinamik perioperatif yang menyebabkan penurunan
perfusi ginjal. Obat-obatan juga dapat terlibat pada pasien berisiko. Obat antiinflamasi
nonsteroid (NSAID) diketahui mengendapkan azotemia prerenal pada pasien hipovolemik
atau pada pasien dengan gagal jantung kongestif.13 Inhibitor kalsineurin, dengan
menyebabkan vasokonstriksi arteri aferen ginjal, juga mengurangi LFG dan menyebabkan
azotemia prerenal.14,15

Penyebab Intrinsik Cedera Ginjal Akut


Penyebab paling umum dari gagal ginjal intrinsik adalah nekrosis tubular akut (ATN),
yang disebabkan oleh iskemia atau agen nefrotoksik. Penyebab yang kurang umum terlihat
perioperatif termasuk glomerulonefritis akut dan nefritis interstitial dari agen seperti
antibiotik beta laktam dan NSAID8 (lihat Gambar 16-11). Dalam kasus ATN sekunder akibat
iskemia, penurunan aliran darah ginjal yang berkepanjangan merangsang sel-sel epitel untuk
menyerap kembali natrium untuk mengembalikan aliran darah ginjal. Peningkatan transpor
aktif dalam tubulus medula renalis memperburuk ketidakcocokan pasokan dan permintaan
oksigen, yang mengarah pada cedera dan ekspresi protein yang mengatur respons terhadap
hipoksia.16,17 Dengan demikian, azotemia prerenal mengarah ke ATN, dan kedua entitas
mungkin menjadi dianggap sebagai rangkaian penyakit ginjal iskemik.
Sel tubulus ginjal sangat rentan terhadap iskemia karena kebutuhan oksigen terkait
transportasi dan aliran darah awal yang rendah ke medula ginjal. Cedera diperparah oleh
hipoksemia dan pembengkakan sel endotel, yang selanjutnya menurunkan perfusi. Agen
nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media kontras radio beryodium juga dapat
menyebabkan ATN, baik dengan cedera langsung pada tubulus atau dengan proses yang
dimediasi oleh radikal bebas.13,18
ATN sekunder akibat iskemia meduler ginjal adalah penyebab perioperatif AKI yang
paling umum. Dalam kondisi ini, output urin yang memadai dapat meyakinkan palsu. ATN
iskemik menyebabkan kegagalan pompa natrium-kalium ATPase dalam tubulus ginjal;
mengganggu kemampuan mereka untuk konsentrasi urin. Dengan demikian, output urin tidak
sesuai dengan tingkat kerusakan sel atau LFG pada pasien yang terkena trauma, syok, atau
operasi kardiovaskular.19

Nefropati Obstruktif Postrenal


Pasien perioperatif dengan AKI juga harus dievaluasi untuk etiologi postrenal,
terutama mereka dengan oliguria akut. Karena patofisiologi yang mendasari AKI ini
melibatkan hambatan aliran urin, ini juga disebut nefropati obstruktif. Penyebabnya
termasuk batu ginjal, hipertrofi prostat, dan obstruksi mekanis kateter urin.
Diagnosis Cedera Ginjal Akut
Kriteria Diagnosis
Baru-baru ini pada 2004, tidak ada definisi konsensus luas gagal ginjal akut atau acute
renal failure (ARF). Perbandingan literatur itu menantang karena definisi dan kategori
bervariasi antara studi. Pada tahun 2004, kelompok Acute Dialysis Quality Initiative
melakukan tinjauan sistematis dan konferensi konsensus, yang menghasilkan skema
klasifikasi lima tingkat untuk ARF, yang disebut RIFLE (risk, injury, failure, loss of kidney
function, dan end-stage kidney disease)20 (Gambar 16-12). Skema ini didasarkan pada
variabel klinis yang mudah diukur dan memasukkan definisi untuk akomodasi penyakit ginjal
akut atau kronis.
Klasifikasi RIFLE mencakup tiga tingkat disfungsi ginjal dan dua hasil klinis. Derajat
disfungsi ginjal ditentukan oleh (a) perubahan serum kreatinin atau estimasi LFG (eGFR)
atau (b) oliguria. Seorang pasien dapat dikategorikan dengan memenuhi satu definisi, yang
lain, atau keduanya. Kriteria yang mengarah pada klasifikasi terburuk harus digunakan.20
 R — risk of renal dysfunction: peningkatan serum kreatinin 1,5 kali lipat (penurunan LFG
25%) atau keluaran urin (UOP) kurang dari 0,5 mL / kg / jam selama 6 jam
 I — injury to kidney: peningkatan serum kreatinin dua kali lipat (LFG turun 50%) atau
UOP kurang dari 0,5 mL / kg / jam selama 12 jam
 F — failure to kidney function: peningkatan serum kreatinin tiga kali lipat (penurunan
LFG 75%), serum kreatinin lebih besar dari 4 mg / dL, atau UOP kurang dari 0,3 mL / kg
/ jam selama 24 jam atau anuria selama 12 jam

Hasil klinis meliputi:


 L — loss of kidney function setara dengan ARF persisten, membutuhkan terapi
penggantian ginjal atau renal replacement therapy (RRT) selama lebih dari 4 minggu.
 E — end-stage kidney disease: perlu dialisis selama lebih dari 3 bulan
Gambar 16-12 Kriteria RIFLE. GFR, laju filtrasi glomerulus; UO, keluaran urin; SCr, kreatinin serum; ESKD,
penyakit ginjal tahap akhir38

Modifikasi yang diusulkan untuk kriteria RIFLE dibuat oleh Acute Kidney Injury
Network (AKIN) pada tahun 2007 21 (Gambar 16-13). Tiga tahap pertama RIFLE (risk,
injury, dan failure) sesuai dengan tiga tahap cedera pertama dalam definisi AKIN. Selain itu,
AKI tahap 1 mencakup pasien dengan peningkatan serum kreatinin sesedikit 0,3 mg / dL,
karena bahkan peningkatan kecil dalam serum kreatinin dikaitkan dengan hasil yang lebih
buruk21,22 AKIN semakin memperketat jendela untuk diagnosis AKI berdasarkan kriteria
laboratorium atau urin output menjadi 48 jam dibandingkan dengan 7 hari. Setiap pasien
dengan terapi penggantian ginjal termasuk dalam stadium 3, terlepas dari durasi terapi atau
keluaran urin yang terjadi saat ini. Akhirnya, "loss" dan "end-stage kidney disease" telah
dihapus, karena mereka menggambarkan hasil jangka panjang daripada kategori jangka
pendek. Definisi RIFLE dan AKIN telah dibandingkan dan secara umum sesuai. Telah
disarankan bahwa definisi AKIN tidak memberikan keuntungan yang signifikan, meskipun
sensitivitas AKI tahap 1 meningkat.
Gambar 16-13 Kriteria RIFLE dibandingkan dengan kirteria Acute Kidney Injury Network 21

Biomarker
Seperti yang dibahas sebelumnya, serum kreatinin dan output urin adalah kriteria
diagnostik yang paling banyak digunakan untuk mendeteksi AKI. Penggunaan serum
kreatinin untuk memperkirakan LFG mengasumsikan kondisi stabil: Produksi kreatinin sama
dengan clearance-nya. Oleh karena itu bermasalah untuk menggunakan serum kreatinin
untuk memperkirakan LFG dalam kondisi yang dinamis. Sederhananya, kenaikan serum
kreatinin memperlambat penurunan LFG akut. Lebih lanjut, karena bahkan perubahan kecil
dalam LFG memiliki dampak signifikan pada mortalitas dan lama perawatan di rumah
sakit,22 kebutuhan untuk deteksi dini AKI telah mengarah pada pencarian untuk biomarker
yang dapat memberikan informasi sesuai waktu sebenarnya. Harapannya adalah deteksi dini
AKI dapat mengarah pada intervensi terapeutik yang meningkatkan hasil, dan penelitian di
bidang ini telah sangat aktif untuk beberapa waktu.
Neutrophil gelatinase-associated lipocalin (NGAL) telah diidentifikasi sebagai
penanda awal AKI.25–27 Ekspresinya diinduksi dalam sel tubular ginjal setelah cedera
iskemia-reperfusi, dan dapat diukur baik dalam serum atau urin segera setelah cedera.
Penelitian signifikan telah menyelidiki biomarker yang menjanjikan ini, meskipun
penggunaan klinisnya telah melambat oleh berbagai nilai prediktif dalam berbagai laporan.
Sebuah meta-analisis awal menunjukkan bahwa NGAL adalah prediktor yang berguna untuk
AKI awal di berbagai pengaturan klinis.24 Ketika menggunakan tes standar, nilai batas yang
disepakati secara umum 150 ng / mL mungkin memberi kesan AKI. Terlepas dari pertanyaan
mengenai nilai batas yang tepat dan teknik uji, ulasan yang lebih baru telah menegaskan
kembali penggunaan NGAL baik dalam prediksi adanya dan tingkat keparahan AKI setelah
operasi jantung (AUCROC 0,82-0,83) dan untuk memprediksi fungsi cangkok yang tertunda
setelah transplantasi ginjal (AUCROC 0,87) .28
Biomarker lain dari AKI sedang diselidiki.29 Cystatin-C, penghambat sistein
proteinase yang diproduksi oleh semua sel berinti, berukuran kecil dan mudah disaring dalam
glomerulus. Karena dimetabolisme dalam tubulus ginjal proksimal, konsentrasi urin tidak
signifikan. Selain itu, waktu paruh yang pendek menandakan kadar serum akan
mencerminkan LFG. Interleukin-18 (IL-18) disintesis baik dalam sel tubulus proksimal dan
dalam sel yang memediasi respon inflamasi. Peningkatan kadar terlihat pada pasien dengan
ATN, meskipun perannya sebagai biomarker AKI dikacaukan oleh bukti yang menunjukkan
bahwa itu mungkin mewakili lebih dekat dengan adanya proses inflamasi umum. Terakhir,
kidney injury molecul (KIM) -1 adalah protein membran yang diekspresikan dalam sel epitel
tubulus proksimal yang terluka. Meskipun terkait dengan ATN, nilai prediktifnya masih
didefinisikan.29 Daripada mengandalkan biomarker tunggal, panel biomarker dapat digunakan
di masa depan untuk memprediksi AKI. Penelitian lebih lanjut juga akan menentukan apakah
intervensi pada AKI awal akan mempengaruhi hasil klinis.

Anestesi dan Ginjal


Pemahaman fungsi ginjal penting bagi ahli anestesi, karena konsep dasar manajemen
perioperatif meliputi pemeliharaan volume sirkulasi normal, pengaturan elektrolit dan status
asam-basa, dan pembersihan metabolit dan obat-obatan. Periode waktu perioperatif adalah
unik karena beberapa potensi penghinaan, sering bersamaan atau berturut-turut, menantang
kemampuan fungsional ginjal. AKI perioperatif memiliki insiden keseluruhan diperkirakan
1% dan dikaitkan dengan peningkatan delapan kali lipat dalam risiko kematian.30

Anestesi dan Aliran Darah Ginjal


Beberapa faktor perioperatif mempengaruhi aliran darah ginjal baik secara langsung
oleh efek hemodinamik atau secara tidak langsung melalui aksi sistem saraf simpatis atau
AVP. Terlepas dari penyebab langsungnya, penurunan aliran darah ginjal cenderung
menurunkan LFG dengan mengurangi aliran darah ke korteks ginjal. Demikian juga,
penurunan aliran darah ginjal membuat medula ginjal berisiko terkena iskemia pasokan darah
ke wilayah ini sudah rendah pada awal. Jumlah efek dari perubahan ini adalah konservasi
natrium dan air dan, akibatnya, penurunan output urin.
Banyak faktor perioperatif yang mempengaruhi aliran darah ginjal melalui perubahan
curah jantung atau tekanan arteri sistemik. Obat anestesi umumnya memiliki efek
hemodinamik langsung yang signifikan, baik dengan mengurangi resistensi vaskular
sistemik, menekan fungsi miokard, atau mengurangi preload yang efektif. Demikian juga,
hipovolemia perioperatif (dari puasa sebelum operasi, persiapan usus, perubahan cairan,
perdarahan akut, atau kombinasi faktor apa pun) akan menurunkan curah jantung dan tekanan
arteri sistemik, yang pada akhirnya mengarah ke efek langsung yang serupa pada aliran darah
ginjal.
Karena ginjal memiliki persarafan otonom yang kaya, aliran darah ginjal juga sangat
sensitif terhadap aksi sistem saraf simpatik. Stimulasi simpatis menyebabkan peningkatan
resistensi pembuluh darah ginjal, yang memiliki dua efek signifikan. Pertama, darah
dikeluarkan dari ginjal ke organ lain, menjaga perfusi organ penting seperti otak dan jantung.
Kedua, penyempitan arteriol aferen menurunkan tekanan kapiler glomerulus dan menurunkan
LFG. Apakah akar penyebabnya adalah rasa sakit, stimulasi bedah, atau katekolamin
eksogen, stimulasi simpatis yang berlebihan dapat menurunkan aliran darah glomerulus ke
titik dimana output urin turun menjadi hampir nol. Selain itu, rangsangan yang menyakitkan
menimbulkan pelepasan AVP, yang meningkatkan penyerapan air dari saluran pengumpul,
menghasilkan urin pekat. Retensi natrium dan air yang disebabkan oleh tekanan akhir /
ekspirasi positif tidak berhubungan dengan perubahan konsentrasi plasma AVP yang
bersirkulasi.31
Mekanisme langsung dan tidak langsung ini mengubah aliran darah ginjal tidak saling
eksklusif. Faktor apa pun yang menurunkan curah jantung juga akan menyebabkan pelepasan
AVP dan peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron.
AVP dan aldosteron cenderung mengembalikan volume sirkulasi normal dan aliran darah
ginjal normal dengan mempertahankan natrium dan air. Hipovolemia akibat perdarahan akut
juga meningkatkan tonus simpatis, lagi-lagi mengurangi aliran darah ginjal.
Autoregulasi aliran darah ginjal juga dapat dipengaruhi oleh faktor perioperatif.
Meskipun sebagian besar obat bius tidak menghilangkan autoregulasi, obat ini mengalami
gangguan pada keadaan berikut: sepsis berat, gagal ginjal akut, dan bypass kardiopulmoner.
Perubahan berkelanjutan dalam tekanan arteri rata-rata (lebih dari 10 menit) dikaitkan dengan
penurunan kemampuan untuk autoregulasi aliran darah ginjal. Autoregulasi LFG, sebaliknya,
dipertahankan untuk periode waktu yang lebih lama. Dengan demikian, LFG mungkin tetap
mendekati normal meskipun terjadi penurunan aliran darah ginjal.
Penting untuk diingat bahwa tekanan arteri sistemik normal tidak menjamin aliran
darah ginjal yang memadai dan bahwa iskemia ginjal dapat terjadi bahkan tanpa hipotensi.
Juga, output urin intraoperatif adalah prediktor yang buruk dari perubahan fungsi ginjal pasca
operasi.32 (Gambar 16-14). Oleh karena itu, faktor-faktor yang umumnya muncul dalam
kondisi perioperatif termasuk agen anestesi, perubahan cairan, respon stres, perubahan
hemodinamik, dan pemberian katekolamin semua memiliki potensi untuk mengurangi aliran
darah ginjal dan mempengaruhi fungsi ginjal.
Perubahan pasca operasi pada
kreatinin (mg/dl)

Rata-rata keluaran urin intraoperatif (ml/jam)


Gambar 16-14 Keluaran urin intraoperatif. Rata-rata keluaran urin intraoperatif tidak berkorelasi dengan
perubahan pasca operasi dalam konsentrasi plasma kreatinin32

Penilaian Risiko Perioperatif


Penilaian risiko perioperatif memungkinkan dokter perioperatif untuk mengatasi
masalah ini dengan pasien dan konsultan, serta merencanakan anestesi dengan tujuan
menghindari AKI. Pada populasi pasien yang menjalani operasi umum, risiko AKI diyakini
sekitar 1%. Faktor risiko pasien meliputi usia lebih dari 56 tahun, jenis kelamin laki-laki,
gagal jantung kongestif aktif, asites, diabetes, dan hipertensi (Tabel 16-2). Faktor bedah yang
meningkatkan kemungkinan AKI adalah pembedahan intraperitoneal dan operasi darurat.30
Risiko AKI perioperatif tetap menjadi perhatian yang signifikan dalam pembedahan
pembuluh darah dan jantung.33-35 Sepsis dan transfusi darah juga meningkatkan risiko AKI.
Pasien yang menjalani operasi jantung yang membutuhkan cardio-pulmonary bypass
(CPB) berisiko tinggi. Perubahan aliran darah ginjal, respon inflamasi, mikroemboli, dan
toksisitas langsung adalah beberapa mekanisme untuk cedera ginjal pada pasien ini. Lebih
jauh lagi, penjepitan aorta pada operasi jantung atau pembuluh darah besar dikaitkan dengan
emboli ateromatosa ke ginjal. Peningkatan serum kreatinin awal adalah faktor risiko paling
signifikan untuk AKI perioperatif setelah CPB. Pada pasien dengan serum kreatinin awal
antara 2,0 dan 4,0 mg / dL, risiko AKI yang membutuhkan dialisis adalah 10% hingga 20%.
Faktor risiko lain termasuk fraksi ejeksi kurang dari 40% dan penggunaan pompa balon
intraaortik sebelum operasi.36 Pasien yang menjalani operasi katup berisiko lebih tinggi
daripada mereka yang menjalani okulasi bypass arteri koroner saja.

Tabel 16-2 Faktor Risiko untuk Perioperatif Cedera Ginjal Akut


Faktor Risiko Pasien Faktor Risiko Bedah
Usia >56 tahun Pembedahan intraperitoneal
Jenis kelamin laki-laki Operasi darurat
Gagal jantung kongestif aktif
Asites
Diabetes
Hipertensi

Manajemen Intraoperatif
Meskipun kemampuan ahli anestesi untuk mencegah AKI masih terbatas, prinsip-
prinsip manajemen umum termasuk mengidentifikasi potensi penyebab cedera ginjal (dan
mengurangi dampaknya), meminimalkan paparan agen nefrotoksik (NSAID dan kontras
radiografi) dan pemeliharaan aliran darah ginjal. Ini dapat dilakukan dengan koreksi yang
cepat dari penurunan volume intravaskular dan pemeliharaan tekanan arteri sistemik yang
adekuat. Optimalisasi gagal jantung kongestif sebelum operasi, serta mempertahankan curah
jantung normal secara perioperatif, akan membantu mempertahankan aliran darah ginjal.
Penggunaan bijaksana dari tekanan ekspirasi akhir positif dan menghindari peningkatan yang
tidak perlu dalam tekanan udara rata-rata akan membantu mempertahankan curah jantung dan
aliran darah ginjal yang memadai. Pada pembedahan laparoskopi, menggunakan tekanan
insuflasi abdomen serendah mungkin akan meningkatkan aliran darah ginjal, meskipun ini
harus diimbangi dengan kebutuhan operasi. Analgesia yang adekuat akan meminimalkan
sistem saraf simpatis yang diperantarai oleh penurunan aliran darah ginjal. Ini mungkin
manfaat potensial dari anestesi regional. Agen yang digunakan untuk mendukung pelebaran
arteriol aferen belum terbukti meningkatkan hasil ginjal perioperatif. Dopamin dosis rendah
tidak mencegah AKI atau meningkatkan mortalitas.38 Fenoldopam mesylate, agonis dopamin
selektif, dapat mengurangi risiko AKI pada populasi pasien tertentu,39,40 tetapi penelitian
lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi manfaat potensial ini.
REFERENSI

1. Pitts RF. Physiology of the Kidney and Body Fluids: An Introductory Te x t . 3rd ed.
Chicago, IL: Year Book Medical Publishers; 1974.
2. Ganong WF. Review of Medical Physiology. 21st ed. New York, NY: McGraw-Hill;
2003.
3. Lote CJ, Harper L, Savage CO. Mechanisms of acute renal failure. Br J Anaesth.
1996;77(1):82–89.
4. Agre P, King LS, Yasui M, et al. Aquaporin water channels—from atomic structure to
clinical medicine. J Physiol. 2002;542(pt 1):3–16.
5. Kortenoeven MLA, Fenton RA. Renal aquaporins and water balance disorders.
Biochimica et Biophysica Acta. 2014;1840:1533–1549.
6. Kozono D, Yasui M, King LS, et al. Aquaporin water channels: atomic structure
molecular dynamics meet clinical medicine. J Clin Invest . 2002;109(11):1395–1399.
7. Epstein FH, Brezis M, Silva P, et al. Physiological and clinical implications of medullary
hypoxia. Artif Organs. 1987;11(6):463–467.
8. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 10th ed. Philadelphia, PA: W.B.
Saunders; 2000.
9. Steinhausen M, Endlich K, Wiegman DL. Glomerular blood flow. Kidney Int.
1990;38(5):769–784.
10. Shirakami G, Segawa H, Shingu K, et al. The effects of atrial natriuretic peptide infusion
on hemodynamic, renal, and hormonal responses during gastrectomy. Anesth Analg.
1997;85(4):907–912.
11. Cockcroft DW, Gault MH. Prediction of creatinine clearance from serum creatinine.
Nephron. 1976;16(1):31–41.
12. Levey AS, Bosch JP, Lewis JB, et al; for Modification of Diet in Renal Disease Study
Group. A more accurate method to estimate glomerular filtration rate from serum
creatinine: a new prediction equation. Ann Intern Med. 1999;130(6):461–470.
13. Thadhani R, Pascual M, Bonventre JV. Acute renal failure. N Engl J Med.
1996;334(22):1448–1460.
14. Finn WF. FK506 nephrotoxicity. Ren Fail. 1999;21(3–4):319–329.
15. Kahan BD. Cyclosporine. N Engl J Med. 1989;321(25):1725–1738.
16. Byric RJ, Rose DK. Pathophysiology and prevention of acute renal failure: the role of the
anaesthetist. Can J Anaesth. 1990;37(4)(pt 1): 457–467.
17. Conde E, Alegre L, Blanco-Sanchez I, et al. Hypoxia inducible factor 1-alpha (HIF-1
alpha) is induced during reperfusion after renal ischemia and is critical for proximal
tubule cell survival. PLoS One. 2012;7(3):e33258.
18. Barrett BJ, Parfrey PS. Clinical practice. Preventing nephropathy induced by contrast
medium. N Engl J Med. 2006;354(4):379–386.
19. Kellen M, Aronson S, Roizen MF, et al. Predictive and diagnostic tests of renal failure: a
review. Anesth Analg. 1994;78(1):134–142.
20. Bellomo R, Ronco C, Kellum JA, et al; Acute Dialysis Quality Initiative Workgroup.
Acute renal failure—definition, outcome measures, animal models, fluid therapy and
information technology needs: the Second International Consensus Conference of the
Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) Group. Crit Care. 2004;8(4): R204–R212.
21. Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, et al; Acute Kidney Injury Network. Acute Kidney
Injury Network: report of an initiative to improve outcomes in acute kidney injury. Crit
Care. 2007;11(2):R31.
22. Chertow GM, Burdick E, Honour M, et al. Acute kidney injury, mortality, length of stay,
and costs in hospitalized patients. J Am Soc Nephrol. 2005;16(11):3365–3370.
23. Bagshaw SM, George C, Bellomo R; ANZICS Database Management Committee. A
comparison of the RIFLE and AKIN criteria for acute kidney injury in critically ill
patients. Nephrol Dial Transplant. 2008;23(5):1569–1574.
24. Haase M, Bellomo R, Devarajan P, et al; NGAL Meta-analysis Investigator Group.
Accuracy of neutrophil gelatinase-associated lipocalin (NGAL) in diagnosis and
prognosis in acute kidney injury: a systematic review and meta-analysis. Am J Kidney
Dis. 2009;54(6):1012–1024.
25. Mishra J, Ma Q, Prada A, et al. Identification of neutrophil gelatinase-associated lipocalin
as a novel early urinary biomarker for ischemic renal injury. J Am Soc Nephrol.
2003;14(10):2534–2543.
26. Wagener G, Jan M, Kim M, et al. Association between increases in urinary neutrophil
gelatinase-associated lipocalin and acute renal dysfunction after adult cardiac surgery.
Anesthesiology. 2006;105(3):485–491.
27. Wagener G, Minhaz M, Mattis FA, et al. Urinary neutrophil gelatinase-associated
lipocalin as a marker of acute kidney injury after orthotopic liver transplantation. Nephrol
Dial Transplant. 2011;26(5):1717–1723.
28. Haase-Fielitz A, Haase M, Devarajan P. Neutrophil gelatinase- associated lipocalin as a
biomarker of acute kidney injury: a critical evaluation of current status. Ann Clin
Biochem. 2014;51(pt 3):335–351.
29. McIlroy DR, Wagener G, Lee HT. Biomarkers of acute kidney injury: an evolving
domain. Anesthesiology. 2010;112(4):998–1004.
30. Kheterpal S, Tremper KK, Heung M, et al. Development and validation of an acute
kidney injury risk index for patients undergoing general surgery: results from a national
data set. Anesthesiology. 2009;110(3):505–515.
31. Payen DM, Farge D, Beloucif S, et al. No involvement of antidiuretic hormone in acute
antidiuresis during PEEP ventilation in humans. Anesthesiology. 1987;66(1):17–23.
32. Alpert RA, Roizen MF, Hamilton WK, et al. Intraoperative urinary output does not
predict postoperative renal function in patients undergoing abdominal aortic
revascularization. Surgery. 1984;95(6): 707–711.
33. Loef BG, Epema AH, Smilde TD, et al. Immediate postoperative renal function
deterioration in cardiac surgical patients predicts in-hospital mortality and long-term
survival. J Am Soc Nephrol. 2005;16(1):195–200.
34. Thakar CV, Arrigain S, Worley S, et al. A clinical score to predict acute renal failure after
cardiac surgery. J Am Soc Nephrol. 2005; 16(1):162–168.
35. Wijeysundera DN, Karkouti K, Beattie WS, et al. Improving the identification of patients
at risk of postoperative renal failure after cardiac surgery. Anesthesiology.
2006;104(1):65–72.
36. Kumar AB, Suneja M. Cardiopulmonary bypass-associated acute kidney injury.
Anesthesiology. 2011;114(4):964–970.
37. Haase M, Bellomo R, Matalanis G, et al. A comparison of the RIFLE and Acute Kidney
Injury Network classifications for cardiac surgery-associated acute kidney injury: a
prospective cohort study. J Thorac Cardiovasc Surg. 2009;138(6):1370–1376.
38. Bellomo R, Chapman M, Finfer S, et al. Low-dose dopamine in patients with early renal
dysfunction: a placebo-controlled randomised trial. Lancet 2000;356(9248):2139–2143.
39. Landoni G, Biondi-Zoccai GG, Tumlin JA, et al. Beneficial impact of fenoldopam in
critically ill patients with or at risk for acute renal failure: a meta-analysis of randomized
clinical trials. Am J Kidney Dis. 2007;49(1):56–68.
40. Morelli A, Ricci Z, Bellomo R, et al. Prophylactic fenoldopam for renal protection in
sepsis: a randomized, double-blind, placebocontrolled pilot trial. Crit Care Med.
2005;33(11):2451–2456.

Anda mungkin juga menyukai