Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Chronic Myeloid Leukemia (CML) adalah kelainan myeloproliferatif yang

memiliki karakteristik ekspansi cloning dari sel hematopoetik. Sel hematopoetik

ini membawa kromosom Philadelphia. Penyakit ini sampai sekarang masih

menjadi permasalan di masyarakat, dikarenakan prognosis dari penyakit yang

buruk. Data dari International Agency for Research on Cancer (IARC)

menunjukan angka insidensi CML di negara Asia. Pada negara-negara Asia

Tenggara, insidensi CML sebesar 0,5 per 100.000 penduduk, dengan umur

penderita berkisar antara 36-38 tahun. Menurut penelitian yang dilakukan oleh

Harryanto et al., insidensi CML di Indonesia sekitar 1,5 kasus dari 100.000

penduduk. Angka ini terus meningkat selama 1 dekade terakhir. Dari 100 pasien,

11 orang meninggal dunia1,2

Pada penyakit CML terjadi translokasi kromosom 22 dan 9 yang

menyebabkan fusi dari gen BCR-ABL. Gen ini merupakan suatu tirosin kinase

yang bersifat onkogen yang menyebabkan proliferasi sel myeloid di sumsum

tulang. Oleh karena itu untuk menghambat kerja gen onkogen ini penderita CML

menggunakan golongan obat Tirosin Kinase Inhibitor (TKI). Salah satu obat yang

sering dipakai saat ini adalah imatinib dan nilotinib. 3

Imatinib adalah derivat 2-phenylamino pyrimidine yang bekerja pada ABL,

BCR-ABL, PDGFRA dan c-KIT. Cara kerja obat ini adalah berkompetisi dengan

1
Universitas Lambung Mangkurat
2

ATP untuk menempel pada ATP binding site di gen BCR-ABL. Sementara itu,

nilotinib memiliki struktur yang sama dengan imatinib namun lebih berpotensi

untuk menginhibisi gen BCR-ABL. Hal ini dikarenakan nilotinib memiliki afinitas

lebih tinggi pada ATP binding site. Obat ini sering digunakan untuk tipe CML

yang parah atau pasien yang memiliki resistensi terhadap obat imatinib.4,5

Penelitian yang dilakukan oleh Jabbour et al. menunjukkan bahwa pasien

CML yang menerima pengobatan dengan nilotinib memiliki angka remisi lebih

tinggi dibandingkan dengan imatinib (remisi sitogenetik 85% vs 77% dan remisi

molekular 77% vs 60%). Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Saglio et al.

disebutkan bahwa pasien yang sudah menjalani terapi selama 12 bulan dengan

nilotinib memiliki persentase remisi molekular lebih tinggi yaitu 44% dan yang

menggunakan imatinib hanya berkisar 22%.6,7

Dari beberapa hasil penelitian itu nilotinib dan imatinib memiliki perbedaan

kecepatan remisi untuk pasien CML. Prognosis baik dan buruk pada pasien CML

sangat bergantung pada pengobatan ini. Perbedaan etnik juga berpengaruh dalam

hal remisi molekuler kedua obat ini, sehingga penelitian ini sangat penting

dilakukan di Indonesia. Walaupun sangat penting untuk mengetahui obat manakah

yang lebih baik, masih sedikit penelitian mengenai kedua obat ini di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini

adalah:

Universitas Lambung Mangkurat


3

1. Apakah terdapat perbedaan remisi molekular antara terapi dengan imatinib

dan nilotinib pada pasien CML?

2. Apakah terdapat perbedaan penurunan kadar transkrip BCR-ABL antara terapi

dengan imatinib dan nilotinib pada pasien CML?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui perbandingan remisi molekular pada pasien Chronic

Myeloid Leukemia antara terapi dengan imatinib dan nilotinib.

2. Untuk mengetahui penurunan kadar transkrip BCR-ABL pada pasien Chronic

Myeloid Leukemia antara terapi dengan imatinib dan nilotinib.

Tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Mengetahui remisi molekular pada pasien CML dengan pengobatan imatinib.

2. Mengetahui remisi molekular pada pasien CML dengan pengobatan nilotinib.

3. Membandingkan remisi molekular antara terapi dengan imatinib dan nilotinib

pada pasien CML

4. Mengetahui penurunan kadar transkrip BCR-ABL pada pasien CML dengan

pengobatan imatinib.

5. Mengetahui penurunan kadar transkrip BCR-ABL pada pasien CML dengan

pengobatan nilotinib.

6. Membandingkan penurunan kadar transkrip BCR-ABL antara terapi dengan

imatinib dan nilotinib pada pasien CML.

Universitas Lambung Mangkurat


4

D. Manfaat Penelitian

Manfaat teoritis dari hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu

memberikan informasi mengenai perbandingan remisi molecular pada pasien

CML dengan pengobatan imatinib dan nilotinib.

Manfaat praktis dari hasil penelitian ini diharapkan jika terbukti obat

nilotinib lebih cepat mencapai remisi molekuler, maka hasil penelitian ini bisa

menjadi salah satu dasar untuk rekomendasi pemilihan obat TKI nilotinib pada

pasien CML dibandingkan pemilihan imatinib.

E. Keaslian Penelitian

Keaslian penelitian ini dapat diketahui dengan membandingkan judul

penelitian ini dengan peneltiian-penelitian sebelumnya, yang dapat dilihat pada

Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Penelitian-penelitian sebelumnya tentang remisi molekular pada pasien


CML dengan pengobatan imatinib dan nilotinib.
Nama Peneliti
No. Judul Penelitian Persamaan Perbedaan
(Tahun)
1. Saglio Nilotinib versus Analisis Analisis
Giuseppe, Kim Imatinib for Newly perbandingan perbandingan
Dong-Wook, diagnosed Chronic remisi remisi sitogenetik
Issaragrisil Myeloid Leukemia molekular pada pada pasien CML
Surapol, et.al pasien CML dengan pengobatan
(2010)7 dengan nilotinib dan
pengobatan imatinib.
nilotinib dan Populasi yang
imatinib, tanpa diteliti mencakup
menghitung ras kulit putih dan
perbedaan kadar kulit hitam
transkrip BCR-
ABL.

Universitas Lambung Mangkurat


5

2. Ciarcia Comparison of Analisis Analisis


Roberto, Dasatinib, Nilotinib, perbandingan perbandingan
Damiano Sara, and Imatinib in the remisi remisi sitogenetik
Puzio Maria Treatment of molekular pada imatinib, nilotinib,
Valeria, et.al Chronic Myeloid pasien CML dan dasatinib.
(2016)8 Leukemia dengan Analisis remsisi
pengobatan molekular
nilotinib dan dasatinib.
imatinib, tanpa Populasi yang
menghitung diambil tidak
perbedaan kadar terdapat ras atau
transkrip BCR- suku di Indonesia
ABL.
3. Mealing The Relative Analisis Analisis
Struart, Efficacy of Imatinib, perbandingan perbandingan
Barcena Dasatinib and remisi remisi sitogenetik
Leticia, Nilotinib For Newly molekular pada pada pasien CML
Hawkins Neil, Diagnosed Chronic pasien CML dengan pengobatan
et.al.(2013)9 Myeloid Leukemia: A dengan nilotinib dan
Systematic Review pengobatan imatinib.
and Network Meta- nilotinib dan Populasi yang
Analysis imatinib, tanpa diambil adalah
menghitung warga Inggris.
perbedaan kadar
transkrip BCR-
ABL.

Penelitian ini merupakan penelitian baru yang berbeda dengan penelitian

sebelumnya. Pada penelitian sebelumnya sudah disebutkan tentang perbandingan

remisi molekular pada pasien CML dengan pengobatan imatinib dan nilotinib,

namun belum terdapat data mengenai perbandingan remisi molekular dan

perbandingan penurunan kadar transkrip BCR-ABL pada pasien CML di

Indonesia.

Universitas Lambung Mangkurat


6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Chronic Myeloid Leukemia

Chronic Myeloid Leukemia (CML) adalah neoplasma myeloproliferatif yang

mempunyai karakteristik yaitu meningkatnya sel myeloid. Kebanyakan dari

pasien leukemia memiliki kromosom Philadelphia (Ph), yang diperoleh dari

translokasi resiprokal antara kromosom 9 dan 22, t(9;22)(q34;911). Translokasi

ini menghasilkan fusi gen BCR-ABL. Penyebab translokasi BCR-ABL belum

diketahui pasti, tetapi ionisasi radiasi, radioterapi kanker, dan ledakan bom atom

adalah faktor risiko terjadinya fusi gen ini.1,3

Data dari Cancer Research Society (Gambar 2.1) di UK menunjukkan

bahwa pada tahun 2015 terdapat kasus baru CML laki-laki 438 orang dan

perempuan 310 orang. Angka insidensi tertinggi pada rentang usia 85-89 tahun,

baik untuk laki – laki dan perempuan.23

Gambar 2.1 Cancer Research UK Rerata Jumlah Kasus Per Tahun

Universitas Lambung Mangkurat


7

Penyakit CML di Indonesia lebih sering diderita oleh laki-laki daripada

perempuan (1,6:1). Dari penelitian yang dilakukan oleh Harryanto et al.

didapatkan bahwa 11 dari 100 pasien CML sudah menderita penyakit ini lebih

dari 24 bulan sebelum menerima pengobatan imatinib. Pasien yang mengalami

remisi hematologi dalam tiga bulan sekitar 53%. 1

Beberapa domain dari gen BCR-ABL telah teridentifikasi terlibat dalam

kejadian CML. Domain protein ABL meliputi domain SH3, Src2-homology

(SH2), tirosin kinase, DNA-binding, dan actin binding. Domain protein BCR

meliputi oligomerization domain dan phoposerin/tronin rich SH2 binding

domain. Domain tirosin kinase ABL berkontribusi pada aktivitas dari kinase

dengan cara mentransfer gugus fosfat dari ATP ke residu tirosin yang membuat

berbagai jalur intraseluler aktif. Sinyal yang teraktivasi dari jalur intraseluler yang

distimulasi BCR-ABL adalah RAS, PI3K, dan STAT pathway. Aktivasi sinyal-

sinyal tersebut menghambat proliferasi sel aktif dan apoptosis sel. Selain itu BCR-

ABL juga berinteraksi dengan protein kinase C βII. Aktivasi protein ini

menginhibisi degradasi protein Fus. Protein Fus berperan dalam mengurangi

CCAT/enhancer-binding protein α yang berfungsi sebagai faktor transkripsi untuk

diferensiasi sel myeloid3

Protein yang terdapat dalam sitoskeleton, seperti aktin, paxillin, talin,

vinkulin dan focal adhesion kinase (FAK) juga berinteraksi dengan BCR-ABL.

Interaksi ini mengubah adhesi dan fungsi dari sitoskeleton, yang menyebabkan

memisahnya sel darah imatur dari sumsum tulang ke dalam peredaran darah.3

Universitas Lambung Mangkurat


8

PatogenesisFigure 3. ABL1 domain and BCR-ABL


Gambar fusion
2.2. gene.
27
penyakit ini ditunjukkan pada

Figure
Gambar 2.24.Patogenesis
Some of the cellularMyeloid
Chronic eventsLeukemia
activated by BCR-ABL.28

Sebagian besar penyakit ini terdiagnosis saat pemeriksaan fisik atau


Intracellular signaling pathway activated Activated PI3K would phosphorilize Bad, causing
by BCR-ABL includelaboratorium
pemeriksaan RAS, PI3K,darah andrutin.
STAT CMLBad to detach
dapat from BCL-XL.
diklasifikasikan menjadiFreetigaBCL-XL prevents
pathway.25,28 Ras pathway would activate when the release of c-cytochrom from mitochondria
BCR-ABL interact with
fase yaitu adaptor
Chronic protein
Phase (CP),like Grb2, and
Accelerated Phasepreventing
(AP), dan apoptosis
Blast Phase(Figure
(BP). 4).11,17
Shc, Sos and Dok. Activated Ras would bind Phosphorilation of Signal Transducer
Gejala yang muncul pada CML-CP adalah anemia dan splenomegali. Selain itu
GTP. Ras-GTP would then activate Raf-1 and and Activator Transcripion (STAT) 1 and 5 by
Raf-1 would activate
juga terdapatMAP
gejalakinase (MEK).
kelelahan, beratMEKbadan BCR-ABL causing
menurun, malaise, thesekenyang,
mudah protein to activate.
activates extracellular-signal-regulated kinase This STATs activation would activate gene
(ERK) whichterasa
thenpenuh atau nyeri
initiate genepada kuadran kiri atas.
transcription Pada fase ini that
transcription jumlah sel blast danin cell growth,
contributes
that contributes in proliferation
sel promielosit kurang (Figure
dari 5% 4).
3,17,28
for instance
yang didominasi CBL-XL,
oleh segmen cyclin D1
neutrofil. Padaand D2 (Figure
The interaction of BCR-ABL protein with Crkl 4). 17

adaptor protein
CML-AP would cause
dapat the activation
ditemukan anemia of In addition
yang semakin berat to the activation
ataupun menetap, of these three
PI3K (phosphoinositide 3-kinase) pathway. pathway, BCR-ABL could also interact with kinase
splenomegali dan infiltrasi organ. Fase ini seangat progresif, sel blast dapat

mencapai lebih dari 5% namun masih kurang dari 30%. Banyak pasien yang tidak

merasakan gejala apapun pada saat perubahan fase AP menjadi BP. CML-BP
33
digambarkan sebagai leukemia akut dengan gejala perdarahan, demam dan infeksi

Universitas Lambung Mangkurat


9

ang semakin berat. Terdapat sel blast di dalam darah dan sumsum tulang yang

mencapai 30%.6

B. Pengobatan CML

Setiap pasien CML mendapatkan terapi yang berbeda – beda tergantung

pada fase terdiagnosisnya, hasil tes laboratorium, faktor resiko dan umur.

Hydroxyurea, interferon alfa, pegylated interferon alfa, cytarabine, busulfan

adalah beberapa obat yang pertama digunakan untuk pasien penderita CML.

Sekarang lini pertama terapi untuk pasien CML adalah Tirosin Kinase Inhibitor

(TKI).10,1112

Tirosin kinase BCR-ABL bekerja dengan menggunakan gugus fosfat dari

ATP (autophosphorilation) yang akan ditransfer ke residu tirosin pada substrat sel

dan mengaktivasi intracellular pathway. Karena itu pengobatan yang

mentargetkan pada BCR-ABL harus dapat menghambat aktivitas dari tirosin

kinase, yang disebut dengan Tirosin Kinase Inhibitor (TKI). Obat ini berkompetisi

dengan ATP untuk menempel pada ATP binding site. Contoh obat TKI adalah

imatinib dan nilotinib. Pengobatan dengan TKI ini mempunyai faktor risiko yang

lebih rendah dibandingkan dengan pengobatan dengan cara lain (transplantasi

sumsum tulang).3

Mekanisme obat TKI inhibitor ini ditunjukkan pada Gambar 2.3.

Universitas Lambung Mangkurat


10

Gambar 2.3 Mekanisme Obat TKI inhibitor

a. Imatinib

Imatinib adalah derivat dari 2-phenyl amino pyrimidine, yang

merupakan salah satu obat TKI. Imatinib bekerja dengan cara berkompetisi

pada ATP-binding site dari onkoprotein BCR-ABL1, yang mengiinhibisi

fosforilasi protein yang terlibat dalam transduksi sinyal. Selain menginhibisi

BCR-ABL1 kinase, imatinib juga memblok platelet derived growth factor

receptor (PGDFR) dan C-KIT tirosin kinase. Obat ini juga menginhibisi

protein ABL non-kanker, tetapi sel normal ini memiliki tirosin kinase yang

lebih banyak, sehingga tetap berfungsi normal walaupun gen ABL

diinhibisi. Imatinib dapat masuk ke dalam nukleus sel yang menghambat

kerja antiapoptosis sel tersebut.3,4

Imatinib diabsorpsi dengan baik per oral (mencapai 90%). Obat ini

dimetabolisme oleh substrat sitokrom P450 CYP3A4 dan CYP3A5, dan

Universitas Lambung Mangkurat


11

dapat berkompetisi menghambat obat lain yang juga dimetabolisme oleh

CYP3A4 dan CYP3A5. Terdapat beberapa obat yang dapat menginhibisi

CYP3A4 yang harus dihindari penggunaannya bersamaan dengan imantinib,

yaitu ketoconazole, levothyroxine, voriconazole, dan amiodarone. Imatinib

juga berinteraksi dengan hOCT1, Pgp, dan BCRP. Verapamil, eritromisin,

claritromisin, dan ciclosporin adalah beberapa obat yang dapat menginhibisi

Pgp yang dapat mempengaruhi kerja obat ini.4,13

Imatinib bisa ditoleransi dengan baik, namun ada beberapa efek

samping yang sering muncul. Beberapa efek samping tersebut yaitu retensi

cairan, sakit kepala, diare, berkurang nafsu makan, lemas, mual, muntah,

distensi abdominal, edema, rash, pusing, dan kram. Efek samping yang

berat yang dapat terjadi adalah gagal jantung, myelosuppression, dan

abnormalitas fungsi hati.4

Resistensi pada pasien CML yang menerima obat imatinib sudah

menjadi permasalahan besar. Resistensi primer didefinisikan sebagai

ketidakmampuan pasien CML yang sudah menerima obat imatinib untuk

mencapai Complete Hematology Respons (CHR) dalam 3 bulan dan Mayor

Molecular Respons (MCR) dalam 6 bulan. Hal ini bisa disebabkan karena

metabolism dan/atau transpor obat lain. Resistensi yang didapat terjadi jika

terjadinya progresi penyakit atau tidak adanya respons, dengan peningkatan

transkrip BCR-ABL 5-6 kali lipat. Resistensi tipe ini dikarenakan mutasi dari

gen BCR-ABL, overexpression dari gen transporter obat, dan

overexpression dari tirosin kinase seperti SRC family kinase. (4)15

Universitas Lambung Mangkurat


12

Resistensi obat imatinib dibagi menjadi dua mekanisme, yaitu BCR-

ABL1-dependent dan –independent. Mekanisme BCR-ABL1-dependent

dibagi lagi menjadi berbagai mekanisme.16

- Pertimbangan farmakokinetik. Teori ini menyebutkan imatinib dapat

berikatan dengan α1-acid glycoprotein-1 (AGP1) yang menyebabkan

hilangnya kadarobat aktif dalam darah. 16

- Uptake intraseluler dari imatinib. Disebutkan bahwa pada pasien CML-

BP terjadi overekspresi dari transporter ABCB1 yang banyak

menyebabkan resistensi obat antikanker.16

- Kepasifan stem cell CML. Imatinib tidak bekerja efektif pada sel yang

pasif ini, menyebabkan terjadinya resistensi.16

- Evolusi klonal. Terjadi mutasi pada tumor suppression p53 yang

membuat imatinib tidak dapat berkerja.16

- SRC overexpression. Overekspresi ini mengaktivasi sinyal HCK dan

LYN. Sinyal LYN membuat imatinib menjadi resisten.16

Mekanisme resistensi kedua yaitu BCR-ABL1-independent.

Mekanisme ini juga dibagi menjadi beberapa mekanisme, yaitu:16

- BCR-ABL1 overexpression

- Point mutation di domain tirosin kinase dari BCR-ABL1

b. Nilotinib

Nilotinib adalah generasi kedua dari TKI. Nilotinib memiliki struktur

yang sama dengan imatinib. Obat ini dirancang untuk lebih selektif dan

lebih poten terhadap gen BCR-ABL. Afinitas untuk ATP binding site pada

Universitas Lambung Mangkurat


13

BCR-ABL lebih tinggi 30-50 kali in vitro (IC < 30nM) dan terbukti dapat

tepat menempel dalam kantong hidrofobik dari tirosin kinase. Selain itu

nilotinib juga aktif mempengaruhi beberapa tirosin kinase lain, termasuk

ABL, ARG, KIT, PDGFR, discoidin domain receptor 1 (DDR1) dan

NADPH dehydrogenase quinone (NQO2). Nilotinib biasa digunakan pada

pasien yang resisten atau intoleran pada pengobatan imatinib.5,6

Nilotinib diabsorpsi per oral sebesar kurang lebih 30%. Absorpsi ini

dapat ditingkatkan dengan jenis makanan yang dimakan sebelumnya,

khususnya makanan yang tinggi lemak. Peningkatan absorpsi ini dapat

mencapai 82%. Konsumsi jus anggur sebanyak 250 ml juga dapat

meningkatkan konsentrasi obat nilotinib sebanyak 60%. Dianjurkan obat ini

tidak dimakan dua jam sebelum dan satu jam setelah makan agar didapat

kadar plasma obat yang sudah diprediksikan dan pencegahan adverse effect

seperti gangguan repolarisasi ventrikuler. Nilotinib menggunakan sitokrom

P450 CYP3A4 untuk metabolismenya, dan nilotinib sedikit menginhibisi

sitokrom ini. Oleh karena itu nilotinib dikontraindikasikan diberikan dengan

obat (karbamazepin dan fenitoin) yang menginduksi atau menginhibisi

sitokrom tersebut. Ketoconazole adalah salah satu obat yang menghambat

CYP3A4. Obat ini dapat membuat konsentrasi nilotinib meningkat tiga kali

lipat. Nilotinib tidak bergantung pada ekspresi human organic cation

transporter Oct-1 dan dapat mengurangi uptake dari imatinib karena potensi

obat ini jauh lebih tinggi. Nilotinib disekresikan melalui kandung empedu

dan feses.5,13

Universitas Lambung Mangkurat


14

Pada penggunaan obat nilotinib juga dapat terjadi resistensi.

Penyebab dari resistensi obat nilotinib tidak jauh berbeda dengan imatinib.

Penelitian Xavier Mahon et.al mendapatkan hasil overekspresi BCR-ABL,

ekspresi dari MDR-1, peningkatan regulasi ekspresi Src, atau overekspresi

dari Lyn kinase adalah penyebab dari resistensi obat nilotinib.17,18

Untuk menilai respons terapeutik dari pasien CML yang menggunakan

pengobatan TKI dilakukan dengan cara evaluasi kondisi. Terdapat 3 tipe evaluasi

kondisi yaitu tes hematologi, tes sitogenetik, dan tes molekular. Mengevaluasi

hitung sel darah dan apusan darah pada tes hematologi dilakukan untuk

menentukan tipe dari diferensiasi leukosit. Jika angka sel darah pasien normal

(leukosit < 10x109/l, trombosit < 450x109/L) dan tidak ditemukan granulosit

imatur, dapat dipertimbangkan sebagai complete hematologic response (CHR).3,4

Pada keadaan CHR, CML tidak dapat dideteksi dengan tes hematologi,

namun dengan menggunakan tes sitogenetik dan tes molekular masih dapat

dideteksi. Tes sitogenetik ini dilakukan untuk menghitung jumlah sel yang

membawa kromosom Philadelphia. Tes ini dapat dilakukan dengan cara

konvensional, yaitu kariotipe atau dengan metode lebih baik dengan Florescence

In Situ Hybridization (FISH). Jika sel yang membawa kromosom Philadelphia

(Ph+) di antara 66-95%, maka pasien dianggap mengalami minimal cytogenetic

response, jika 1-35% dianggap mengalami partial cytogenetic response (PCyR),

dan dianggap sebagai complete cytogenetic response (CcyR) jika hasilnya tidak

ditemukan Ph+. Pada pasien yang ditetapkan sebagai CcyR, sel leukemia tidak

Universitas Lambung Mangkurat


15

dapat ditemukan dengan menggunakan tes sitogenetik, namun dengan tes

molekular sel leukemia masih terdeteksi.3,4

Tes molekular dapat dilakukan dengan menggunakan quantitative real-

time PCR (RQ-PCR). Tes molekular ini dilakukan dengan mendeteksi jumlah

transkrip BCR-ABL. Jika jumlah transkrip BCR-ABL < 0,1%, maka pasien

dianggap mengalami major molecular response (MMR), dan jika tidak ditemukan

sama sekali transkrip BCR-ABL, dianggap mengalami complete molecular

response (CMR).3,4

International Randomized Study of Interferon and STI571 melakukan

penelitian mengenai landmark klinis untuk TKI dan CML. Peneliti merandomisasi

1106 pasien CML-CP untuk mendapatkan imatinib 400 mg/hari atau INF-α

ditambah dengan cytarabine dosis rendah. Pada saat 19 bulan, didapatkan hasil

pengguna imatinib memiliki outcome (luaran klinik) jauh lebih baik dibandingkan

dengan pengguna INF-α ditambah dengan cytarabine, khususnya dalam hal rerata

CHR (95,3% vs 55,5%, P<0,001) dan CCyR (74% vs 9%, p < 0,001) dan free-

from-progession dari AP atau BP pada 12 bulan. Setelah 8 tahun follow up, rerata

free survival adalah 81% dan rerata overall survival adalah 93%.4,6,19

Pada uji klinis ENEST-nd, dua dosis nilotinib (300 mg atau 400 mg dua

kali sehari) dibandingkan dengan imatinib 400 mg per hari. Rerata MMR saat 12

bulan dijadikan sebagai endpoint penelitian. Rerata MMR pada pasien yang

menerima pengobatan nilotinib dengan dosis 300 mg maupun 400 mg lebih tinggi

daripada imatinib (44% dan 43% vs 22%, p < 0,01)6

Universitas Lambung Mangkurat


16

Nilotinib mengakibatkan 73% remisi molekular, sedangkan imatinib

mengakibatkan 53% remisi molekuler. Dari hasil ini dikatakan bahwa nilotinib

lebih tinggi afinitasnya dari pada imatinib. Selain itu nilotinib bekerja dengan

meningkatkan stress oksidatif melebihi imatinib. Sel kanker lebih banyak terpapar

stress oksidatif dibandingkan dengan sel normal. Oleh karena itu pemberian

nilotinib dapat membuat sel kanker mengalami apoptosis. 6,8

Untuk mencapai remisi, faktor kepatuhan meminum obat (drug

compliance) sangat berpengaruh. Definisi dari kepatuhan meminum obat adalah

tindakan sesuai dengan rekomendasi yang dibuat oleh dokter sesuai dengan

waktu, dosis, dan frekuensi minum obat. Studi yang dilakukan rumah sakit

Hammersmith didapatkan hasil bahwa pasien yang tidak patuh meminum obat

lebih lambat enam tahun mencapai MMR dan CMR dibandingkan pasien yang

patuh meminum obat.14

Selain itu, usia juga mempengaruhi keberhasilan terapi. Penelitian

Brummendorf et.al menunjukkan bahwa pasien di atas 65 tahun memiliki angka

intoleransi lebih tinggi untuk penggunaan obat imatinib (43% vs 28%). Tetapi

pasien di atas 65 tahun ini memiliki angka durasi lebih pendek untuk durasi

pengobatan. Pasien di atas 65 tahun juga memiliki angka MCyR dan CCyR lebih

tinggi dibandingkan dengan pasien dengan umur kurang dari 65 tahun.20

Penelitian yang dilakukan oleh Justin P Lee et.al di Amerika tahun 2009

mendapatkan perbedaan etnik berpengaruh dalam prognosis pasien CML. Etnik

hispanik lebih besar kemungkinan mencapai CHR dalam 3 bulan dibandingkan

Universitas Lambung Mangkurat


17

dengan etnik non hispanik. Penelitian ini juga menyebutkan wanita memiliki

angka lebih tinggi dalam adverse effect dibandingkan dengan pria.21

Universitas Lambung Mangkurat


18

BAB III

LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS

A. Landasan Teori

Respons pengobatan CML dapat dinilai melalui 3 tipe evaluasi kondisi,

yaitu tes hematologi, tes sitogenetik, dan tes molekular. Tes molekular dapat

dilakukan dengan menggunakan quantitative real-time PCR (RQ-PCR). Tes

molekular ini dilakukan dengan mendeteksi jumlah transkrip BCR-ABL. Jika

jumlah transkrip BCR-ABL < 0,1%, maka pasien dianggap mengalami major

molecular response (MMR), dan jika tidak ditemukan sama sekali transkrip BCR-

ABL maka dianggap mengalami complete molecular response (CMR).3

Untuk mencapai remisi tersebut harus dilakukan pengobatan. Obat yang

sekarang dipakai untuk pasien CML adalah jenis Tyrosine Kinase Inhibitor (TKI),

yang bekerja menghambat aktivitas dari tirosin kinase BCR-ABL. Contoh obat

TKI adalah imatinib dan nilotinib.3

Imatinib adalah derivat dari 2-phenyl amino pyrimidine. Obat ini

dimetabolisme oleh substrat sitokrom P450 CYP3A4 dan CYP3A5, dan dapat

berkompetisi menghambat obat lain yang juga dimetabolisme oleh CYP3A4,

CYP3A5 dan Pgp. Oleh karena itu obat yang dimetabolisme atau mempengaruhi

CYP3A4, CYP3A5, dan Pgp dikontraindikasikan penggunaannya bersamaan

dengan imatinib. Imatinib bekerja dengan cara berkompetisi pada ATP-binding

site dari onkoprotein BCR-ABL1, yang menginhibisi fosforilasi protein yang

Universitas Lambung Mangkurat


19

terlibat dalam transduksi sinyal. Selain menginhibisi BCR-ABL1 kinase, imatinib

juga memblok platelet derived growth factor receptor (PGDFR) dan C-KIT

tyrosine kinase. Resistensi dapat terjadi pada penggunaan oabt imatinib. Resisten

primer bisa disebabkan karena metabolism dan/atau transpor obat lain. Resistensi

yang didapat terjadi jika terdapat progresi penyakit atau tidak adanya respons

dengan peningkatan transkrip BCR-ABL 5-6 kali lipat.3,4,13,20

Nilotinib adalah generasi kedua dari TKI. Nilotinib memiliki struktur yang

sama dengan imatinib. Sama dengan imatinib, metabolisme obat ini juga oleh

CYP3A4, sehingga penggunaan obat yang mempengaruhi CYP3A4

dikontraindikasikan juga untuk nilotinib. Dianjurkan obat ini tidak dimakan dua

jam sebelum dan satu jam setelah makan agar didapat kadar plasma obat yang

sudah diprediksikan dan pencegahan adverse effect. Obat ini dirancang untuk

lebih selektif dan lebih poten terhadap gen BCR-ABL. Afinitas untuk ATP binding

site pada BCR-ABL lebih tinggi 30-50 kali in vitro (IC < 30nM) dan terbukti dapat

tepat menempel dalam kantong hidrofobik dari tirosin kinase. Selain itu nilotinib

juga aktif berpengaruh pada beberapa tirosin kinase lain termasuk ABL, ARG,

KIT, PDGFR, DDR1 dan NQO2. Nilotinib bisa digunakan pada pasien yang

resistan atau intoleran pada pengobatan imatinib. Pasien yang menggunakan

nilotinib mencapai remisi molekular lebih cepat dibandingkan dengan imatinib.

Hal ini dikarenakan nilotinib lebih tinggi afinitasnya pada ATP binding site

dibandingkan dengan imatinib. Selain itu nilotinib juga meningkatkan stress

oksidatif pada sel kanker lebih tinggi dibandingkan dengan imatinib. Pada

penggunaan obat nilotinib juga dapat terjadi resistensi. Penelitian Xavier Mahon

Universitas Lambung Mangkurat


20

et.al mendapatkan hasil overekspresi BCR-ABL, ekspresi dari MDR-1,

peningkatan regulasi ekspresi Src, atau overekspresi dari Lyn kinase adalah

penyebab dari resistensi obat nilotinib.5,6,8,13,17,18

Kepatuhan meminum obat menjadi salah satu hal yang dapat

mempengaruhi kecepatan remisi molekular. Studi yang dilakukan rumah sakit

Hammersmith menunjukkan bahwa pasien yang tidak patuh meminum obat lebih

lambat enam tahun mencapai MMR dan CMR dibandingkan pasien yang patuh

meminum obat. Umur juga berpengaruh dalam kecepatan mencapai remisi

molekular. Data dari penelitian Brummendorf et.al menunjukkan bahwa pasien di

atas 65 tahun juga memiliki angka MCyR dan CCyR lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien dengan umur kurang dari 65 tahun. Selain itu penelitian yang

dilakukan oleh Justin P Lee et.al di Amerika mendapatkan perbedaan etnik

berpengaruh yaitu etnik hispanik lebih besar kemungkinan mencapai CHR dalam

3 bulan dibandingkan dengan etnik non hispanik. Penelitian ini juga menyebutkan

wanita memiliki angka lebih tinggi dalam adverse effect dibandingkan dengan

pria14,21

Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka teori dan kerangka konsep

penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1 dan 3.2.

Universitas Lambung Mangkurat


21

Gambar 3.1 Kerangka Teori Perbandingan Remisi Molekular pada Pasien Chronic
Myeloid Leukemia dengan Pengobatan Imatinib dan Nilotinib.

Universitas Lambung Mangkurat


22

Gambar 3.2 Kerangka Konsep Perbandingan Remisi Molekular pada Pasien Chronic
Myeloid Leukemia dengan Pengobatan Imatinib dan Nilotinib.

Universitas Lambung Mangkurat


23

B. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah:

1. Pasien CML yang menggunakan nilotinib menunjukkan proporsi remisi

molekular lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang menggunakan

imatinib.

2. Pasien CML yang menggunakan nilotinib mengalami penurunan kadar

transkrip BCR-ABL lebih besar dibandingkan dengan pasien yang

menggunakan imatinib.

Universitas Lambung Mangkurat


24

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan rancangan kohort

retrospektif dengan pengambilan data secara retrospektif. Data hasil pemeriksaan

laboratorium penderita CML dewasa dikumpulkan dari rekam medis di RSUD

Ulin Banjarmasin dan Klinik Global Farma Banjarmasin untuk mengetahui remisi

molekular pada pasien CML dengan pengobatan imatinib dan nilotinib.

B. Populasi dan Subjek Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah pasien dewasa yang didiagnosis

menderita CML di RSUD Ulin Banjarmasin. Subjek penelitian diambil dari data

rekam medis berupa hasil pemeriksaan laboratorium penderita CML di RSUD

Ulin Banjarmasin dan Klinik Global Farma menggunakan teknik total sampling.

Subjek penelitian diambil berdasarkan kriteria inklusi, yaitu penderita CML

dewasa (usia >17 tahun), yang mempunyai data hasil laboratorium hasil

pemeriksaan BCR-ABL dan data penggunaan obat.

C. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil laboratorium

pemeriksaan BCR-ABL dan data pengobatan penderita CML dewasa yang diambil

Universitas Lambung Mangkurat


25

di RSUD Ulin Banjarmasin dan Klinik Global Farma, dan data status penderita

CML di RSUD Ulin Banjarmasin.

D. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah terapi Tirosin Kinase Inhibitor,

yaitu imatinib atau nilotinib.

2. Variabel terikat

Variabel terikat pada penelitian ini ada 2, yaitu:

a. remisi molekular pada penderita CML.

b. kadar transkrip BCR-ABL

c. Variabel pengganggu

Variabel pengganggu pada penelitian ini adalah

a. Kepatuhan meminum obat imatinib dan nilotinib

b. Penggunaan obat lain

c. Usia

d. Etnis

e. Jenis kelamin

f. Perbedaan etnik

E. Definisi Operasional

1. Terapi Tirosin Kinase Inhibitor adalah terapi antikanker yang bekerja

dengan berkompetisi dengan ATP pada ATP binding site untuk menghambat

kerja dari tirosin kinase BCR-ABL. Variabel ini dikategorikan menjadi dua,

yaitu:3,4

Universitas Lambung Mangkurat


26

- Imatinib. Dosis yang diberikan untuk pasien CML adalah 400 mg satu

kali sehari dalam satu siklus (3 bulan).

- Nilotinib. Dosis yang diberikan untuk pasien CML adalah 300 mg dua

kali sehari dalam satu siklus (3 bulan)

2. Remisi molekular adalah apabila jumlah persentase kadar transkrip BCR-

ABL < 0,1%. Variabel ini dikategorikan menjadi dua, yaitu Remisi

molekuler (Ya) dan Tidak remisi molekuler (Tidak).3,4

3. Kepatuhan meminum obat adalah tindakan pasien sesuai dengan

rekomendasi yang dibuat oleh dokter tentang waktu, dosis, dan frekuensi

minum obat. Variabel ini dikategorikan menjadi dua, yaitu Ya dan Tidak.14

4. Usia adalah seberapa lama seseorang telah menjalani kehidupan.22

5. Etnis adalah kelompok sosial dengan ikatan kultural (agama, nasionalitas,

dll) atau ciri fisik (ras) yang sama.24

6. Jenis kelamin adalah perbedaan di antara pria dan wanita, ditemukan pada

manusia, didasarkan pada tipe gamet yang dihasilkan oleh individu.24

7. Penggunaan obat lain adalah tindakan mengkonsumsi obat yang dapat

mempengaruhi efek obat TKI (imatinib dan nilotinib). Obat yang akan

dinilai adalah ketoconazole, levothyroxine, voriconazole, amiodarone,

Verapamil, eritromisin, claritromisin, dan ciclosporin.13

Data terapi dengan TKI didapatkan di Instalasi Farmasi RSUD Ulin Banjarmasin.

Data remisi molekuler dan persentase transkrip BCR-ABL didapatkan dari

Instalasi Patalogi Klinik RSUD Ulin Banjarmasin dan Klinik Global Farma.

Universitas Lambung Mangkurat


27

F. Prosedur Penelitian

1. Perizinan dan Prasurvei

Surat permohonan penelitian dari Unit Pengelola Karya Tulis Ilmiah (UP-

KTI) diajukan ke pimpinan RSUD Ulin Banjarmasin untuk pelaksanaan

penelitian di RSUD Ulin Banjarmasin. Prasurvei dilakukan dengan

pengambilan data awal di Bangsal Penyakit Dalam, Instalasi Farmasi, dan

Instalasi Laboratorium Patologi Klinik RSUD Ulin Banjarmasin. Prasurvei

juga dilakukan untuk pasien CML yang berobat di Klinik Global Farma

Banjarmasin

2. Pengumpulan Data

Data penderita CML di Instalasi Laboratorium Patalogi Klinik RSUD Ulin

Banjarmasin dan di Klinik Global Farma Banjarmasin yang sesuai dengan

kriteria inklusi diambil menjadi subjek penelitian. Data pengobatan pasien

diambil di Instalasi Farmasi di RSUD Ulin Banjarmasin. Sedangkan data

remisi molekular diambil di Instalasi Laboratorium Patologi Klinik RSUD

Ulin Banjarmasin dan Klinik Global Farma Banjarmasin. Alur penelitian

ditampilkan pada Gambar 4.1.

Universitas Lambung Mangkurat


28

Gambar 4.1 Alur Penelitian Perbandingan Remisi Molekuler Pada Pasien Chronic
Myeloid Leukemia dengan Pengobatan Imatinib dan Nilotinib.

Universitas Lambung Mangkurat


29

G. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data

Data yang dikumpulkan merupakan data sekunder yang diambil dari hasil

pemeriksaan laboratorium yaitu berupa data hasil laboratorium berupa data remisi

molekular dan data pengobatan di RSUD Ulin Banjarmasin dan klinik Global

Farma, kemudian data dimasukan dalam bentuk tabel dan ditabulasi.

H. Cara Analisis Data

Karakteristik pasien CML yang menjadi subjek penelitian dianalisis secara

deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Kemudian,

dilakukan analisis menggunakan dua metode, yaitu uji regresi logistik dan uji

regresi linear. Uji regresi logistik untuk menilai besarnya perbedaan remisi

molekular pada pasien CML antara pengobatan dengan imatinib dan nilotinib. Uji

regresi linear untuk menilai perbedaan penurunan persentase transkrip BCR-ABL

pada pasien CML antara pengobatan imatinib dan nilotinib. Dalam kedua analisis

ini, variabel pengganggu (kepatuhan meminum obat imatinib dan nilotinib,

penggunaan obat lain, usia pasien, jenis kelamin pasien, perbedaan etnik)

dimasukkan sebagai adjusting factor. Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah

95%.

I. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di RSUD Ulin Banjarmasin dan di Klinik Global

Farma. Penelitian dilaksanakan pada periode Januari - April 2018 dengan alokasi

kegiatan seperti Tabel 4.1.

Universitas Lambung Mangkurat


30

Tabel 4.1 Jadwal Penelitian Perbandingan Remisi Molekuler Pada Pasien Chronic
Myeloid Leukemia dengan Pengobatan Imatinib dan Nilotinib
Kegiatan Waktu Pelaksanaan Penelitian Bulan ke :
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Penyusunan proposal x x x x x x
Konsultasi x x x x x x x x x x x x
Seminar KTI 1 x
Perbaikan x x
Pengambilan Data x x x x
Pengolahan Data x x x x
Penyusunan Laporan x x x
Seminar KTI 2 x

J. Biaya penelitian

Penelitian ini memerlukan biaya sebagai berikut :

Penelusuran referensi : Rp. 50.000,00

Penyusunan proposal : Rp. 100.000,00

Biaya fotokopi data : Rp. 250.000,00

Penggandaan dan penjilidan proposal : Rp. 200.000,00 +

Jumlah Rp. 600.000,00

Universitas Lambung Mangkurat


31

1. Reksodiputro A H. Epidemiology Study and Mutation Profile of Patients

with Chronic Myeloid Leukemia (CML) in Indonesia. J Blood Disord

Transfus. 2015;6(3):1-13.

2. Au WY, Caguioa PB, Chuah C, et al. Chronic myeloid leukemia in Asia.

Int J Hematol. 2009;89(1):14-23.

3. Sholikah TA. Fusion Gene BCR-ABL: Etiophatogenesis to The

Management of Chronic Myeloid Leukemia. Jurnal Kedokteran dan

Kesehatan Indonesia.2017;8(1):29-37.

4. Iqbal N, Iqbal N. Imatinib: A Breakthrough of Targeted Therapy in Cancer.

Chemother Res Pract. 2014;2014:1-9.

5. Melchizedek KK, Jørgensen HG, Holyoake TL. Nilotinib in Chronic

Myeloid Leukaemia. 2011;1(3):1-10.

6. Jabbour E, Kantarjian H. Chronic myeloid leukemia: 2016 update on

diagnosis, therapy, and monitoring. Am J Hematol. 2016;91(2):252-265.

7. Saglio G, Kim DW, Issaragrisil S, et al. Nilotinib Versus Imatinib for

Newly Diagnosed Chronic Myeloid Leukemia. 2010;362(24):2251-2258.

8. Ciarcia R, Damiano S, Puzio MV, et al. Comparison of Dasatinib,

Nilotinib, and Imatinib in the Treatment of Chronic Myeloid Leukemia. J

Cell Physiol. 2016;231(3):680-687.

9. Mealing S, Barcena L, Hawkins N, et al. The relative efficacy of imatinib,

Universitas Lambung Mangkurat


32

dasatinib and nilotinib for newly diagnosed chronic myeloid leukemia: a

systematic review and network meta-analysis. Exp Hematol Oncol.

2013;2(1):5.

10. DeGennaro LJ. Chronic Myeloid Leukemia. Leukemia Lymphoma Society.

2014:1-13.

11. Hochhaus A, Saussele S, Rosti G, et al. Chronic myeloid leukaemia:

ESMO Clinical Practice Guidelines for diagnosis, treatment and follow-up.

Ann Oncol. 2017;28(4):41-51.

12. Shead DA, Hanisch LJ, Ciarke R. Chronic Myeloid Leukemia. National

Comprehensive Cancer Network. 2018. 1-60.

13. Haouala A, Widmer N, Duchosal MA, Montemurro M, Buclin T,

Decosterd LA. Drug interactions with the tyrosine kinase inhibitors

imatinib, dasatinib, and nilotinib. Blood. 2011;117(8):75-87.

14. Cramer J.A. Burrell A, Fairchild C.J., Fuldeore MJ, Ollendorf D.A, Wong

PK. RA. Medication compliance and persistence:terminology and

definitions. Value Heal. 2008;11(1):44-47.

15. Apperley JF. Part I: mechanisms of resistance to imatinib in chronic

myeloid leukaemia. Lancet Oncol. 2007;8(11):1018-1029.

16. Quintás-Cardama A, Kantarjian HM, Cortes JE. Mechanisms of primary

and secondary resistance to imatinib in chronic myeloid leukemia. Cancer

Control. 2009;16(2):122-131.

Universitas Lambung Mangkurat


33

17. Mahon FX, Hayette S, Lagarde V, et al. Evidence that resistance to

nilotinib may be due to BCR-ABL, Pgp, or Src kinase overexpression.

Cancer Res. 2008;68(23):9809-9816.

18. Eadie LN, Hughes TP, White DL. ABCB1 Overexpression Is a key initiator

of resistance to tyrosine kinase inhibitors in CML cell lines. PLoS One.

2016;11(8):1-18.

19. O’Brien SG, Guilhot F, Larson RA, et al. Imatinib Compared with

Interferon and Low-Dose Cytarabine for Newly Diagnosed Chronic-Phase

Chronic Myeloid Leukemia. N Engl J Med. 2003;348(11):994-1004.

20. Brümmendorf TH, Cortes JE, Khoury HJ, et al. Factors influencing long-

term efficacy and tolerability of bosutinib in chronic phase chronic myeloid

leukaemia resistant or intolerant to imatinib. Br J Haematol.

2016;172(1):97-110.

21. Lee JP, Birnstein E, Masiello D, Yang D, Yang AS. Gender and ethnic

differences in chronic myelogenous leukemia prognosis and treatment

response: a single-institution retrospective study. J Hematol Oncol.

2009;2(1):30.

22. Klotz U. Pharmacokinetics and drug metabolism in the elderly. Drug Metab

Rev. 2009;41(2):67-76.

23. Cancer Research UK. Chronic Myeloid Leukemia Statistics.13 Maret 2018.
http://www.cancerresearchuk.org/health-professional/cancer-
statistics/statistics-by-cancer-type/leukaemia-cml#heading-Four
24. Dorland W A N. Kamus Kedokteran Dorland. EGC. 2006

Universitas Lambung Mangkurat


34

Universitas Lambung Mangkurat

Anda mungkin juga menyukai