Anda di halaman 1dari 54

Membangun

LOYALITAS
Sumber Daya Manusia

Dr. Hardani Widhiastuti, MM., PSI.


Perpustakaan Nasional : Katalog dalam Terbitan (KDT)
ISBN : 978-602-9019-09-4

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku
tanpa izin tertulis dari penulis atau penerbit.

MEMBANGUN LOYALITAS SUMBER DAYA MANUSIA


47 halaman + vi

Dr. Hardani Widhhiastuti, MM., PSI.

Tata Letak : Priyono


Desain sampul : Saiful Hadi

Cetakan I tahun 2012

Penerbit
Semarang University Press
Jl. Soekarno Hatta, Semarang

ii
Kata Pengantar

Sumber Daya Manusia (SDM) berguna sebagai alih-alih fungsi


suatu aset perusahaan yang paling berharga. Akan tetapi apabila
suatu organisasi atau perusahaan dihadapkan pada suatu masalah,
maka tidak segan-segan SDM menjadi sasaran utama
pamangkasan.
Sebagai praktisi dan ilmuwan, perlu adanya pemikiran untuk
mengadakan perubahan dalam rangka memberi penyadaran bagi
kita semua akan pentingnya dorongan dalam rangka membangun
loyalitas SDM. Pada buku ini diberikan suatu wawasan dan
langkah-langkah bagaimana cara agar SDM bukan sebagai suatu
obyek, melainkan suatu subyek yang selalu butuh pengembangan
diri maupun keahlian.
Penulis berharap agar dari tulisan ini muncul ide-ide lanjutan
untuk mengembangkan pembahasan dengan topik yang lebih tajam.
Menumbuhkan loyalitas SDM disadari bersama tidak begitu
mudah, akan tetapi setelah membaca tulisan dari buku ini
diharapkan dapat memberi masukan kepada praktisi, pimpinan
perusahaan/organisasi, ilmuwan, dosen dan mahasiswa akan
pentingnya memperhatikan segi SDM, mengingat SDM merupakan
pelaku sebagai kunci utama suatu usaha.
Agar memudahkan pemahaman bagi yang membaca buku ini,
maka tulisan dibuat sederhana tetapi berbobot, sehingga semua
pihak yang berminat dan membaca, bisa mengerti dan diterapkan
pada usaha masing-masing. Pada kesempatan ini pula disampaikan
ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dan
membantu terselesaikannya penyusunan buku ini.

Penulis

iii
iv
Daftar Isi

Halaman Judul .......................................................................... i


Halaman Hak Cipta .................................................................. ii
Kata Pengantar .......................................................................... iii
Daftar Isi .................................................................................. v

BAB I PENDAHULUAN .................................................. 1


A. Sumber Daya Manusia ..................................... 1
B. Lahirnya Manajemen Sumber Daya Manusia ... 2

BAB II SDM SEBAGAI ASET USAHA ........................... 6


A. Keeronisan SDM .............................................. 6
1. Perencanaan Sumber Daya manusia ......... 6
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Perencanaan SDM ..................................... 9
2.1 Lingkungan Eksternal Organisasi ...... 9
2.2 Faktor Internal Organisasi.................. 10
2.2.1 Faktor Ketenaga kerjaan ...... 11
2.2.2 Faktor-faktor lain ................. 11

BAB III LOYALITAS SDM ................................................ 13


A. Sebab – sebab Turunnya Loyalitas SDM ......... 13
B. Kepemimpinan dan Loyalitas SDM ................. 17
C. Kepuasan dan Loyalitas SDM .......................... 18

BAB IV LOYALITAS DAN KEKUATAN


ORGANISASI ........................................................ 24
A. Membangkitkan spirit untuk Membangun
Loyalitas ........................................................... 26
1. Studi Kasus di PT. Astra, Tbk..................... 26
2. Studi Kasus pada PT. Bank DKI ................ 32

v
BAB V PEMBENTUKAN SDM MENJADI SUMBER
DAYA INSANI ....................................................... 35
A. Peran Komitmen Organisasi .............................. 36
B. Menyiapkan Manajemen Insani ....................... 39

DAFTAR PUSTAKA ............................................................. 45

vi
Bab I
Pendahuluan

A. Sumber Daya Manusia


Manusia, merupakan salah satu mahluk hidup yang memiliki
kelebihan-kelebihan yang lebih banyak dibandingkan mahluk
ciptaan Allah yang lain. Manusia memiliki naluri dalam hidupnya
untuk berkelompok. Dengan berkelompok, maka salah satu
kebutuhan yaitu bersosialisai juga akan terpenuhi, sehingga
manusia disebut dengan mahluk sosial.
Manusia memiliki potensi yang beragam sesuai dengan
kemampuan masing-masing. Manusia merupakan mahluk yang
adaptif dan peka terhadap apa yang terjadi dan dibutuhkan di
lingkungannya. Kemampuan dan potensi inilah akhirnya manusia
membangun suatu organisasi yang merupakan intensi nyata akan

1
keberadaan manusia dengan seluruh potensi. Satu pihak manusai
membangun kelompok untuk mewujudkan angan-angan yang
terealisasi dalam visi, misi, dan tujuan organisasi yang
dibentuknya. Di pihak lain, manusia memenuhi kebutuhan untuk
hidup dengan pilihan menjadi bagian dari sekian banyak manusia
yang berperan serta menggerakkan roda organisasi, dengan seluruh
kekuatan dan potensi. Dengan demikian, peran serta sekelompok
manusia inilah yang disebut dengan Sumber Daya Manusia, karena
manusia tersebut menjadi bagian integral dari sistem yang
membentuk organisasi.
Dewasa ini, perkembangan terbaru memandang Sumber Daya
manusia atau SDM bukan saja semata-mata hanya sebagai sumber
daya, melainkan lebih berupa modal atau aset bagi organisasi.
Karena itu kemudian munculah istilah baru di luar H.R. (Human
Resources), yang berfungsi sebagai H.C. (Human Capital). SDM
dilihat bukan sekadar sebagai aset utama, tetapi aset yang bernilai
dan dapat dilipatgandakan, dikembangkan (bandingkan dengan
portfolio investasi) dan juga bukan sebaliknya sebagai liability
(beban,cost). Perspektif SDM sebagai investasi bagi organisasi
lebih mengemuka (Greer, 1995).

B. Lahirnya Manajemen Sumber Daya Manusia


Gerakan hubungan manusia dimulai sejak abad 20, yang mau
tidak mau disadari atau tidak ikut berperan dalam perkembangan
Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM). Gerakan-gerakan
pekerja di Amerika Serikat maupun gerakan pekerja saat perubahan
Industri I dan Perubahan Industri ke II, memberi pemahaman bagi
ilmuwan dan pakar-pakar Ekonomi maupun Psikologi Industri pada
abad itu.

2
Gerakan-gerakan yang mengawali berdirinya MSDM, tanpa
disadari sebenarnya membuat suatu pemicu mengenai konsep yang
memikirkan adanya hubungan kemanusiaan tersebut. Kontribusi
gerakan kemanusiaan khususnya di dunia industri merupakan
harmonisasi hubungan antar karyawan dengan pihak manajemen
secara utuh, mengingat sumber daya manusia (SDM) merupakan
suatu aset perusahaan yang paling utama, karena melalui sumber
daya manusia itulah akan tercipta suatu atmosfir lingkungan kerja
yang nyaman, yang memberi dampak pada tercapainya tujuan
perusahaan.
Organisasi-organisasi pekerja mempengaruhi konsep-konsep
yang berada dalam MSDM. Dasar pemikirannya adalah bahwa
SDM merupakan pekerja yang perlu dimanusiawikan, sehingga
untuk kondisi-kondisi yang berpengaruh terhadap keberhasilan
kerja dan terwujudnya tujuan perusahaan, perlu jaminan-jaminan
penunjang kesejahteraan pekerja, jaminan penunjang kondisi kerja,
serta dukungan lain yang benar-benar diperlukan oleh pekerja agar
mereka lebih nyeman dalam bekerja.
Tahap perkembangan berdirinya MSDM pun melewati enam
tahapan, antara lain; gerakan ilmu manajemen, gerakan
kesejahteraan industri, peran psikologi industri, gerakan hubungan
antar manusia, gerakan serikat pekerja, gerakan profesionalitas
MSDM. Perkembangan MSDM berdasarkan pergerakan tersebut
membuat MSDM semakin kompleks dan mengglobal.
Tokoh-tokoh ilmuwan sudah sejak dekade terakhir banyak
yang membuat tulisan tentang MSDM dalam berbagai sudut
pandang. Akan tetapi masih perlu memberikan pemahaman lebih
lanjut mengenai MSDM itu sendiri beserta aktivitasnya. Tuntutan
profesionalitas dalam penanganan SDM, membutuhkan suatu
petunjuk terhadap pengelolaan SDM secara profesional juga. Oleh

3
sebab itu, gerakan-gerakan yang mengawali hingga berkembang-
nya MSDM tidak hanya didasari oleh satu bidang ilmu saja, akan
tetapi didukung oleh lebih dari tiga bidang ilmu, antara lain ilmu
ekonomi, psikologi, sosiologi, hukum, serta tehnik lingkungan.
Para pengarang buku-buku yang membahas mengenai Sumber
Daya manusia antara lain Kunde, Ramsay, berpendapat mengenai
perlunya memperhatikan masalah kondisi kerja dalam arti luas,
mengingat kondisi kerja karyawan merupakan inti penunjang
kenyamanan karyawan. Memang pergerakan dan teori-teori
penunjang SDM tersebut banyak berasal dari AS dan Eropa,
mengingat publikasi tokoh-tokoh berasal dari dua benua tersebut.
Kemajuan teknologi juga berawal dari benua tersebut. Sebut saja
Harvard Business School dan Michigan Business School
merupakan tempat munculnya MSDM dikembangkan di AS, dan
dari ke dua sekolah tersebut muncul pula aliran tentang
pengembangan MSDM.
Pandangan mengenai pengelolaan SDM dengan MSDM yang
mendasarkan pada tercapainya tujuan perusahaan, yaitu dengan
pemikiran dasar produktivitas dan target pemasaran produk dengan
tercapainya target penjualan produk. Selain itu karyawan
dimotivasi agar dapat ikut serta dalam penentuan dan realisasi
strategi, sedangkan di satu sisi karyawan dieksploitasi semaksimal
mungkin seperti halnya mengelola suatu aset dan material.
Pengelolaan SDM dalam perusahaan atau organisasi memiliki
kecenderungan untuk mengelola secara utuh, dalam arti
profesionalitas diharapkan terjaga. Efektivitas, efisiensi, kualitas
kerja, kemampuan SDM, setiap saat perlu menjadi perhatian utama.
SDM tidak lagi diasumsikan sebagai faktor produksi. Konsep
tentang SDM ini sudah sejalan dengan perubahan paradigma

4
manajerial yang meletakkan konsep keunggulan kompetitif SDM
sebagai salah satu cara organisasi mencapai sukses.
Faktor SDM diberdayakan melalui implementasi fungsi-fungsi
Manajemen Sumber Daya Manusia dengan dukungan sumber-
sumber daya lainnya. Dengan adanya kontribusi inti dari MSDM
akan halnya SDM dalam pengintegrasian konsep-konsep strategia
perusahaan, maka MSDM memiliki kandungan sifat stratejik.
Stratejik SDM akan menyangkut dimensi-dimensi organisasi,
antara lain tujuan, jangkauan, struktur fungsi tugas.
Carneval, misalnya mengemukakan bahwa karyawan
hendaknya jangan dipandang sebagai “modal” yang mengandung
konsekuensi “biaya”, melainkan dianggap sebagai salah satu
bentuk sumber daya organisasi yang dapat meningkatkan
keunggulan kompetitif organisasi. Manajemen SDM dikembangkan
dalam rangka mengelola SDM dalam rangka memanusiakan
manusia dan dalam rangka mengelola SDM. Miner dan Miner
mengemukakan bahwa manajemen SDM perlu dalam rangka
pengembangan, penerapan, menilai kebijakan-kebijakan, menerap-
kan prosedur, metode dan program yang berhubungan dengan
SDM dalam organisasi.

5
Bab II
SDM Sebagai Aset Usaha

A. Keeronisan SDM

1. Perencanaan Sumber Daya Manusia


Perencanaan SDM merupakan bagian dan fungsi dari
Manajemen Sumber Daya Manusia. Bila membahas masalah SDM,
maka tidak dapat dilepaskan dengan peran MSDM yang berfungsi
untuk menganalisa dan mengidentifikasi tersedianya kebutuhan
SDM dalam kaitannya dengan upaya pencapaian tujuan organisasi.
Apabila kita cermati bersama, maka ada tiga kepentingan dalam
perencanaan SDM, yaitu kepentingan individu, kepentingan
organisasi, dan yang lebih luas lagi adalah kepentingan nasional.

6
Handoko (2001) Perencanaan sumber daya manusia atau
perencanaan tenaga kerja merupakan serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mengantisipasi permintaan-permintaan bisnis dan
lingkungan pada organisasi di waktu yang akan datang dan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan tenaga kerja yang ditimbulkan
oleh kondisi-kondisi tersebut. Pandangan lain mengenai definisi
perencanaan sumber daya manusia dikemukakan oleh
Mangkunegara (2008) Perencanaan tenaga kerja dapat diartikan
sebagai suatu proses menentukan kebutuhan akan tenaga kerja
berdasarkan peramalan pengembangan, pengimplementasian, dan
pengendalian kebutuhan tersebut yang berintegrasi dengan
perencanaan organisasi agar tercipta jumlah pegawai, penempatan
pegawai yang tepat dan bermanfaat secara ekonomis.
Komponen yang terkait dengan perencanaan SDM antara lain :
1. Tujuan
Perencanaan SDM harus mempunyai tujuan dengan
menghubungkan antara SDM yang ada dengan kebutuhan
perusahaan pada masa yang akan datang, misalnya antara lain
untuk menghindari manajemen dan tumpang tindih dalam
pelaksanaan tugas.
2. Perencanaan Organisasi
Perencanaan organisasi tidak dapat dilepaskan dari peran SDM.
Peran-peran yang ada dalam rangka perencanaan organisasi,
juga akan merubah SDM dalam kaitannya dengan pencapaian
tujuan organisasi dan peningkatan SDM itu sendiri. Misalnya
perubahan teknologi, akan berdampak pada kebutuhan SDM
dan organisasi untuk ikut serta mengembangkan teknologi
seiring dengan pengembangan di eksternal organisasi.

7
Dengan demikian, perencanaan SDM memberikan petunjuk
masa depan, dengan menentukan dimana tenaga kerja diperoleh,
kapan tenaga kerja tersebut dibutuhkan, dan pelatihan dan
pengembangan jenis apa yang harus dimiliki tenaga kerja. Untuk
keperluan tersebut, maka perlu dicermati persyaratan perencanaan
SDM, yang meliputi :
1. Harus mengetahui secara jelas mengenai apa yang akan
direncanakan kaitannya dengan SDM di suatu bagian
2. Harus mampu mengump[ulkan dan menganalisis informasi
tentang SDM
3. Harus mempunyai pengalaman luas tentang job analysis, dan
situasi SDM
4. Harus mampu membaca situasi SDM masa kini dan masa
mendatang
5. Mampu memperkirakan peningkatan SDM dan teknologi masa
depan
6. Mengetahui secara luas peraturan dan kebijakan perburuhan
pemerintah.
Apabila para pengelola organisasi akan melakukan perencanaan
terhadap SDM yang terkait dengan upaya pencapaian tujuan
organisasi, maka organisai tersebut perlu mengikuti prosedur
perencanaan dan sebaiknya tidak menghilangkan salah satu bahkan
lebih dari satu prosedur, antara lain :
1. Perlu menetapkan secara jelas mengenai kualitas SDM sesuai
dengan kebutuhan.
2. Mengumpulkan data dan informasi tentang SDM.
3. Mengelompokkan data dan informasi SDM tersebut serta
menganalisa.
4. Menetapkan beberapa alternative pilihan dalam kaitannya
dengan perencanaan SDM.
5. Memilih yang terbaik dari alternatif yang ada menjadi rencana.

8
6. Menginformasikan rencana kepada para karyawan untuk
direalisasikan perencanaan Sumber Daya Manusia.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perencanaan SDM


Perencanaan SDM memiliki kaitan dengan variabel-variabel
lain. Handoko (2001) mengemukakan adanya keterkaitan
perencanaan sumber daya manusia yang dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain:

2.1. Lingkungan Eksternal Organisasi


Perubahan-perubahan lingkungan sulit diprediksi dalam jangka
pendek dan kadang-kadang tidak mungkin diperkirakan dalam
jangka panjang, yaitu :
a. Perkembangan ekonomi mempunyai pengaruh yang besar tetapi
sulit diestimasi. Sebagai contoh tingkat inflasi, pengangguran
dan tingkat bunga sering merupakan faktor penentu kondisi
bisnis yang dihadapi perusahaan.
b. Kondisi sosial-politik-hukum mempunyai implikasi pada
perencanaan sumber daya manusia melalui berbagai peraturan
di bidang personalia, perubahan sikap dan tingkah laku, dan
sebagainya.
c. Sedangkan perubahan-perubahan teknologi sekarang ini tidak
hanya sulit diramal tetapi juga sulit dinilai. Perkembangan
komputer secara dasyat merupakan contoh jelas bagaimana
perubahan teknologi menimbulkan gejolak sumber daya
manusia.
d. Para pesaing merupakan suatu tantangan eksternal lainnya yang
akan mempengaruhi permintaan sumber daya manusia
organisasi. Sebagai contoh, “pembajakan” manajer akan
memaksa perusahaan untuk selalu menyiapkan penggantinya
melalui antisipasi dalam perencanaan sumber daya manusia.

9
2.2. Faktor Internal Organisasi
a. Rencana strategik dan rencana operasional.
Rencana stratejik dan rencana operasional suatu perusahaan.
Sehingga setiap ada perbaikan atau perubahan rencana stratejik
akan berpengaruh pada perencanaan SDM.
b. Anggaran/Cost SDM.
Semakin besar jumlah SDM, maka semakin besar pula dana
yang diperlukan untuk membayar upah. Sehingga kemampuan
suatu perusahaan atau organisasi sangat berpengaruh terhadap
perencanaan SDM.
c. Peramalan produksi dan penjualan.
Peramalan ini dapat diketahui berapa jumlah keuntungan yang
akan didapat oleh organisasi, yang dampaknya dapat mem-
pengaruhi perencanaan SDM
d. Faktor bisnis baru.
Dengan memperhitungan lingkungan/iklim bisnis dan
kemampuan menjaring, menganalisa dan memanfaatkan
informasi, selalu terbuka peluang bagi sebuah perusahaan untuk
mengembangkan usaha bisnisnya.
e. Faktor desain organisasi dan desain pekerjaan.
Desain organisasi dan desain pekerjaan pada dasarnya
merupakan hasil menterjemahkan rencana stratejik dan
operasional, yang dirancang untuk mewujudkan pekerjaan agar
berlangsung efektif efisien. Cara mendesain organisasi dan
mendesain pekerjaan, baik secara langsung akan berpengaruh
pada perencanaan SDM suatu perusahaan.
f. Faktor Keterbukaan dan keikutsertaan manajer.
Manajer yang terbuka dan bersedia ikut serta memberi
informasi lengkap untuk melakukan analisis SDM dan
selanjutnya melibatkan dalam menyusun perencanaan SDM.

10
2.2.1 Faktor Ketenagakerjaan
a. Kondisi SDM seperti pensiun, PHK, meninggal dunia, dan
SDM yang sering absen, dalam perencanaan SDM harus
diperhitungkan sebagai pengurangan tenaga kerja yang harus
diganti.
b. Promosi, pindah kerja, pelatihan, pendidikan, harus diper-
hitungkan, sehingga keterampilan SDM meningkat.

2.2.2 Faktor-Faktor lain


a. Pasar Tenaga Kerja.
Faktor ini perlu diperhatikan kaitannya dengan keterampilan/
keahlian, untuk memberi kepastian berapa banyak yang
diperlukan untuk kemungkinan mendapat di pasar tenaga kerja.
Prestasi Kerja.
Hal ini merupakan bagian dalam memperhitungkan kualitas,
yang mempengaruhi pengaturan penempatan dalam
perencanaan SDM.
b. Waktu yang tersedia untuk mencapai sasaran.
Sejumlah waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan, merupakan hal penting yang harus diperhatikan
dalam perencanaan SDM.
c. Faktor demografi.
Sebaran penduduk sangat berpengaruh terhadap perencanaan
SDM, mengingat kondisi, karakteristik dan ketersediaan
sumber daya dapat dipenuhi berdasarkan ketersediaan sdm di
wilayah tertentu.
d. Faktor supervise
Terutama memperhitungkan kemampuan dalam memberikan
bimbingan dan pengawasan. Sehingga dengan supervise
tersebut didapat kriteria SDM yang dibutuhkan.

11
e. Faktor lokasi
Lokasi member pengaruh yang tidak sedikit, karena jauh
dekatnya lokasi perushaan atau organisasi dengan pemukiman
akan berdampak pada perencanaan SDM.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, Perncanaan SDM
dipengaruhi oleh Lingkungan Eksternal dan Internal Organisasi,
Ketenaga kerjaan, dan faktor lain sepert Pasar Tenaga Kerja,
prestasi Kerja,Waktu yang tersedia untuk mencapai sasaran, faktor
Demografi dan Supervisi, serta faktor lokasi, melalui diagram
gambar berikut ini :

Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi perencanaan SDM

12
Bab III
Loyalitas Sumber Daya Manusia

A. Sebab – sebab Turunnya Loyalitas SDM

Penyebab terjadinya ketidak loyalnya para sumber daya


manusia, salah satu sebabnya adalah adanya ketidakpuasan
karyawan. Ketidakpuasan tersebut berasal dari berbagai hal, antara
lain ketidakcocokan dengan pimpinan, kenyamanan kerja,
lingkungan kerja, masalah upah, fasilitas minim, maupun yang
bersifat psikologis seperti penghargaan terhadap karyawan,
kebutuhan untuk ikut serta berpartisipasi dalam pengembangan
usaha, dll. (Nitisemito, 1996)
Uraian yang disampaikan oleh Nitisemito pun mengemukakan
bahwa sebenarnya loyalitas karyawan dapat dihindari apabila para
pemilik usaha memperhatikan indikasi-indikasi yang memunculkan

13
turunnya loyalitas kerja yang terlihat dalam sikap kerja karyawan.
Hal itu dapat diketahui dalam perilaku yang ditunjukkan, antara
lain :
1. Turun/rendahnya produktivitas kerja.
Produktivitas kerja tersebut dapat diukur atau diperbandingkan
dengan waktu sebelumnya. Produktivitas kerja yang turun ini
dapat terjadi karena pekerjaan yang tertunda.
2. Meningkatnya tingakat absensi.
Pada umumnya, apabila loyalitas dan sikap karyawan menurun,
maka terlihat dalam perilaku kerja yang malas untuk datang
tiap hari. Bila ada gejala-gejala absensi naik, maka perlu dicari
penyebabnya.
3. Tingkat Perpindahan yang tinggi.
Turn over atau keluar masuknya karyawan yang meningkat
tersebut terutama adalah karena tidak senangnya para karyawan
bekerja pada perusahaan tersebut, sehingga karyawan mencari
perusahaan yang lain yang diminati. Tingkat perpindahan
karyawan yang tinggi ini selain berdampak pada menurunnya
produktivitas kerja, juga dapat mempengaruhi kelangsungan
jalannya perusahaan.
4. Kegelisahan dimana-mana.
Loyalitas dan sikap kerja yang menurun menyebabkan
kegelisahan bagi karyawan yang lain. Apabila dampak ini
dirasakan oleh pimpinan dan segera mengambil langkah, maka
hal ini segera dapat teratasi. Namun tidak semua pimpinan
memahami dan peduli terhadap situasi perusahaan.
5. Tuntutan yang sering terjadi.
Tuntutan yang merupakan perwujudan dan ketidakpuasan,
dimana pada tahap tertentu akan menimbulkan keberanian
untuk mengajukan tuntutan.

14
6. Pemogokan.
Indikasi paling dapat diambil kesimpulan adalah saat terjadi
pemogokan karyawan. Hal ini terjadi apabila karyawan suatu
perusahaan sudah tidak merasa tahan lagi hingga memuncak,
yang akhirnya muncul tuntutan karyawan sebagai dampak atas
ketidak puasan. Apabila tuntutan tersebut tidak dipenuhi,
biasanya terjadi mogok kerja.
Mengenai loyalitas, juga mempunyai kaitan dengan tingkat
kematangan karyawan. Disatu sisi kematangan karyawan tidak
mungkin serempak, karena masing-masing orang memiliki latar
belakang yang berbeda-beda. Latar belakang karyawan dari sisi
keluarga adalah dipengaruhi oleh pola asuh dan lingkungan
keluarga, status gizi, pendidikan. Selain itu,dari sisi usiapun ada
dampaknya terhadap keputusan kaitannya dengan loyalitas.
Pada kategori usia para karyawan yang berbeda menunjukkan
aksentuasi loyalitas yang berbeda pula seperti yang diuraikan
berikut ini:
a. Angkatan kerja yang usianya di atas lima puluh tahun
menunjukkan loyalitas yang tinggi pada organisasi. Mungkin
alasan – alasan yang menonjol ialah bahwa mereka sudah
mapan dalam kekaryaannya, penghasilan yang memadai,
memungkinkan mereka menikmati taraf hidup yang
dipandangnya layak. Banyak teman dalam organisasi, pola
karirnya jelas, tidak ingin pindah, sudah “terlambat” memulai
karier kedua, dan dalam waktu yang tidak terlalu lama akan
memasuki usia pensiun.
b. Tenaga kerja yang berada pada kategori usia empat puluhan
menunjukkan loyalitas pada karir dan jenis profesi yang selama
ini ditekuninya. Misalnya, seseorang yang menekuni karir di
bidang keuangan akan cenderung “ bertahan” pada bidang

15
tersebut meskipun tidak berarti menekuninya hanya dalam
organisasi yang sama. Karena itu pindah ke profesi lain, tetapi
bergerak di bidang yang sama, bukanlah merupakan hal yang
aneh. Barangkali alasan pokoknya terletak pada hasrat untuk
benar – benar mendalami bidang tertentu itu karena latar
belakang pendidikan dan pelatihan yang pernah ditempuh,
bakat, minat, dan pengalaman yang memungkinkannya
menampilkan kinerja yang memuaskan yang pada gilirannya
membuka peluang untuk promosi, menambah penghasilan, dan
meniti karir secara mantap.
c. Tenaga kerja dalam kategori 30 – 40 tahun menunjukkan
bahwa loyalitasnya tertuju pada diri sendiri. Hal ini dapat
dipahami karena tenaga kerja dalam kategori ini masih
terdorong kuat untuk memantapkan keberadaannya, kalau perlu
berpindah dari satu organisasi ke organisasi lain dan bahkan
mungkin juga dari satu profesi ke profesi lain. Di samping itu
pula didukung oleh tingkat kebutuhan yang semakin lama
semakin meningkat tetapi tidak diimbangi dengan pemasukan
yang cukup sehingga banyak para pekerja yang mencari
pekerjaan lain yang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari – hari.
d. Bagi mereka yang lebih muda dari itu, makna loyalitas belum
diserapi dan kecenderungan mereka masih lebih mengarah
kepada gaya hidup santai, apabila mungkin disertai dengan
kesempatan “berhura – hura” Pada kenyataan sehari – hari
banyak sekali terjadi kecurangan – kecurangan yang dilakukan
oleh para karyawan yang umumnya mempunyai umur relatif
muda hal itu juga dipicu oleh tingkat angan – angan yang
tinggi, tetapi tidak diiringi oleh tingkat kerajinan yang tinggi
dari dalam dirinya sendiri, oleh karena itu tingkat

16
penganggguran semakin lama semakin meningkat (Nitisemito,
1996).
Tantangan dan kesulitan menyebabkan menurunnya tingkat
loyalitas karyawan. Disatu sisi, suatu negara dengan tingkat
loyalitas yang rendah akan berdampak pada stabilitas negara
tersebut. Bahkan hasil penelitian dari Fortune 500, yaitu penelitian
yang dilakukan oleh Buckingham dan Coffman terhadap 80.000
manajer di lebih dari 400 perusahaan (2009), membuktikan bahwa
ada korelasi positif antara loyalitas karyawan dan kinerja
perusahaan. Karyawan yang loyal akan lebih banyak membawa
keuntungan bagi perusahaan. Bagaimana dengan kondisi peruahaan
sendiri? Apabila di perusahaan sudah tidak banyak dipertanyakan
karena karyawan sudah loyal karena banyak karyawan yang sudah
bangga karena mengabdi dan mendedikasikan seumur hidupnya
pada perusahaan. Loyalitas sudah sekaligus melekat dalam kontrak
kerja.

B. Kepemimpinan dan Loyalitas SDM


Secara umum, karyawan merupakan aset terbesar dalam suatu
organisasi perusahaan. Dengan demikian para atasan atau pimpinan
perusahaan selalu khawatir apabila kehilangan karyawan terutama
karyawan yang berkualitas. Arus informasi menjadi penunjang
untuk mendukung organisasi maupun untuk kepentingan karyawan
tersebut. Bagi mereka yang menginginkan karir yang lebih baik
juga tersedia informasi. Sehingga alasan-alasan tersebut menjadi
kendala dalam mengembangkan organisasi. Upaya yang dilakukan
salah satunya adalah mengoptimalkan kepemimpinan yang ada.
Para pimpinan perusahaan maupun organisasi selalu berupaya agar
SDM ataupun karyawan menjadi termotivasi dan betah untuk

17
tinggal lama di organisasi atau perusahaan tersebut, karena
kepemimpinan atau leadership merupakan salah satu eleman atau
unsur yang dapat mendorong karyawan untuk loyal di organisasi,
karena kenyamanan adalah buah dari hasil kebijakan yang
diterapkan dalam unit kerja yang dipimpinannya. Hal ini tercermin
dalam gaya kepemimpinan (leadership style) seorang atasan.
Dengan demikian sangatlah penting untuk diketahui oleh
seorang pemimpin tentang gaya kepemimpinan yang tepat agar
loyalitas karyawan dapat meningkat. Sehingga yang dapat
diperoleh dengan adanya terapan gaya kepemimpinan tersebut, ada
peningkatan loyalitas dan hubungan antara atasan dan bawahan
serta antara karyawan sendiri, juga akan lebih baik karena kerja
sama tim, distribusi tugas, dan komunikasi dapat terjalin lebih baik.
Sebagai contoh adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh
Work Indonesia tahun 2004/2005 oleh Watson Wyatt (WW) yang
merupakan konsultas Sumber Daya Manusia (SDM) menyatakan
bahwa hanya 23 persen responden yang puas dengan penyelia atau
atasan mereka. Angka ini lebih rendah 18 persen di bawah rata-rata
angka untuk Asia Pasifik. Angka ketidakpuasan karyawan di
Indonesia adalah nomor dua terendah di kawasan Asia Pasifik,
hanya ada 23 persen karyawan yang menyatakan atasan mereka
telah menjalankan kebijakan dan prosedur secara baik. Sedangkan
pendapat mereka mengenai perlakuan atasan terhadap karyawan
baik adalah sebesar 30 persen (Lilis, 2004)

C. Kepuasan dan Loyalitas SDM


Pengertian kepuasan kerja ada beberapa pendapat sebagaimana
hasil penelitian Herzberg, bahwa faktor yang mendatangkan
kepuasan adalah prestasi, pengakuan, pekerjaan itu sendiri,

18
tanggungjawab, dan kemajuan (Armstrong, 1994). Pendapat lain
menyatakan kepuasan kerja (job satisfaction) adalah keadaan
emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan di mana
para karyawan memandang pekerjaan mereka (Handoko, 2001).
Sedangkan Wexley dan Yulk (1977) yang disebut kepuasan kerja
ialah perasaan seseorang terhadap pekerjaan. Perasaan tersebut
merupakan sikap umum (generalized attitude) seseorang terhadap
pekerjaannya, yang didasarkan atas penilaiannya terhadap aspek
pekerjaannya.
Teori kepuasan yang lain adalah teori yang berkaitan dengan
tiga teori kepuasan dan loyalitas, walau tidak langsung, yaitu :
1. Teori kesenjangan (Discrepancy Theory)
Locke (1969) menyebutkan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan
terhadap aspek pekerjaan tergantung pada kesenjangan antara
persepsi karyawan mengenai apa yang ia peroleh dengan apa
yang ia inginkan. Seorang karyawan akan merasa puas jika
merasakan tidak adanya kesenjangan antara kondisi kerja yang
dia inginkan dengan kondisi kerja yang senyatanya. Ketidak-
puasan akan terjadi manakala karyawan merasa kondisi kerja
yang ada, jumlah karakteristik kerja yang ada, adalah kurang
atau tidak seperti yang diharapkan.
2. Teori Keadilan (Equity Theory)
Teori ini menunjukkan kondisi-kondisi semacam apa yang
dipersepsikan karyawan sebagai adil atau tidak adil dan masuk
akal atau tidak masuk akal. Komponen dari teori ini adalah
masukan (inputs), perolehan (outcomes), orang pembanding
(comparison person). Input adalah apa saja yang bernilai yang
dipersepsi oleh karyawan sebagai kontribusi terhadap
pekerjaannya seperti pendidikan, pengalaman, keterampilan,
jumlah usaha yang telah ia kerahkan, jumlah jam kerja, dan
peralatan serta bahan-bahan milik pribadi yang telah digunakan

19
dalam bekerja. Outcomes adalah apa saja yang bernilai yang
dipersepsi karyawan sebagai sesuatu yang diperoleh seperti
upah atau gaji, manfaat, simbol-simbol status, pengakuan, dan
peluang untuk berprestasi atau berekspresi diri. Sedangkan
orang pembanding adalah seseorang atau sejumlah orang yang
bekerja di perusahaan yang sama degan dirinya, atau bekerja di
perusahaan lain, atau ketika berada pada posisi sebelumnya,
yang dijadikan dasar perbandingan. Menurut teori ini, seorang
karyawan menilai keadilan dengan cara membandingkan rasio
pendapatan:pengeluaran dirinya dengan satu atau sejumlah
karyawan. Jika perbandingan kedua rasio tersebut dinilai
seimbang, maka karyawan akan mempersepsi adanya keadilan
atau ketidakadilan.
3. Teori Dua Faktor (Two-Factor Theory)
Menurut teori ini, karakteristik kerja dapat dikelompokkan
menjadi dua kategori, yaitu dissatisfiers atau hygiene factor dan
kelompok kedua disebut satisfier atau motivator factor (Gibson
et.al., 1996). Beberapa unsur yang termasuk hygiene factors
antara lain gaji, supervise, hubungan interpersonal, kondisi
kerja, keamanan kerja, dan status. Jika dalam pekerjaan
ternyata kadar hygiene factor ternyata tidak seperti yang
diharapkan, maka akan terjadai ketidakpuasan kerja, begitu
pula sebaliknya. Secara umum, hygiene factor dan motivator
factors.
Dengan demikian, berdasarkan teori-teori di atas, unsure seperti
situasi kerja yang sehat, akan menyebabkan motivasi kerja naik,
yang akhirnya berdampak kinerja karyawan naik yang menyebab-
kan outcomes terlihat meningkat. Kepuasan dan ketidakpuasan
kerja merupakan variabel moderator yang secara nyata akan
mempengaruhi karyawan atau SDM suatu organisasi akan loyal
melalui komitmen yang telah disepakati bersama.

20
Loyalitas merupakan ukuran untuk melihat apakan seorang
karyawan memiliki komitmen yang kuat atau tidak terhadap
organisasi perusahaan. Komitme adalah suatu keadaan dimana
seorang karyawan memihak pada suatu organisasi yang berarti
setuju dengan aturan yang telah ditetapkan, nilai-nilai, tujuan-
tujuan serta kepentingan organisasi, serta berniat memelihara
keanggotaan dalam organisasi tersebut (Blau dan Boal, 1987).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wijayantie (2010) di RSI
Hidayatullah Yogyakarta, dari sampel sejumlah 55 subyek
penelitian, mereka yang menyatakan dan hasil yang diterima bahwa
kepuasan kerja dan komitmen organisasi saling berpengaruh adalah
sejumlah 40,7% terhadap intense yang keluar. Dengan demikian,
59,3% dipengaruhi oleh sebab-sebab lain. Walaupun hasil
penelitian ternyata pengaruh ke dua variabel tersebut terhadap
intense keluar ternyata nihil, akan tetapi berdasarkan hasil
perhtungan statistic terbukti signifikan (dengan signifikansi
kepuasan kerja sebesar 0,003 (p value < 0,05), tingkat signifikan
variabel komitmen organisasional = 0,004 (p value < 0,05). Jadi
temuan tersebut secara statistic tetap bermakna. Pada penelitian ini
juga terungkap bahwa sebagian besar perawat yang menjadi
responden (62,22%) memiliki tingkat kepuasan sedang, hanya
37,38% responden yang sudah memiliki tingkat kepuasan kerja
yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kepuasan kerja perawat
masih sangat perlu ditingkatkan. Dari aspek sifat pekerjaan, secara
umum (68,89%) responden sudah merasa puas, tapi sebagian
(31,11%) responden hanya merasa cukup puas. Sebagian responden
tersebut merasa pekerjaannya terlalu rutin, membosankan, kurang
memberi perasaan berprestasi.
Aspek perilaku atasan, terdapat 44,45% responden yang
memiliki tingkat kepuasan tinggi, 53,33% responden memiliki

21
tingkat kepuasan sedang, dan 2,22% responden memiliki tingkat
kepuasan rendah. Mereka menilai perilaku atasannya antara lain
kurang bijaksana, kurang menghargai prestasi mereka, emosional,
sangat kaku (kurang fleksibel), kurang memberi masukan. Dari
aspek perilaku rekan kerja, 66,67% responden memiliki tingkat
kepuasan tinggi dan sisanya (33,33%) hanya menilai cukup
memuaskan. Dari aspek gaji/kompensasi, 66,67% responden
memiliki tingkat kepuasan rendah, 24,44% responden tingkat
kepuasannya sedang, dan hanya 8,89% responden yang sudah
merasa sangat puas. Sebagian besar responden menilai gaji yang
diberikan antara lain kurang adil, rendah, kurang bagus jika
dibandingkan instansi sejenis yang lain.
Dilihat dari sisi komitmen organisasional, para responden.
40%-nya tinggi, 60% lainnya sedang. Masih banyak perawat yang
menilai antara lain pihak rumah sakit dalam pencapaian tujuannya
kurang memerhatikan kepentingan mereka, sehingga hal ini
memengaruhi persepsi atau pemihakan mereka terhadap RSI
Hidayatullah. Perlu disadari bahwa adanya intensi keluar pada
perawat, walaupun belum benar-benar terwujud menjadi tindakan
keluar, tentulah sedikit banyak berpengaruh pada motivasi kerja
bahkan kinerja mereka yang berakibat mengganggu keefektifan
organisasi. Pada penelitian ini terdapat 40% responden yang
memiliki tingkat intensi keluar berkategori sedang, 60% lainnya
berkategori rendah. Perawat yang memiliki intensi keluar yang
cukup kuat sulit diharapkan akan memberikan sepenuh
kemampuannya, secara fisik maupun secara mental dalam bekerja.
Besar kemungkinan sambil bekerja mereka masih memikirkan
peluang-peluang lain untuk berpindah kerja. Jika mereka
menemukan peluang yang cukup menarik, besar kemungkinan
mereka akan benar-benar keluar untuk pindah ke rumah sakit lain
atau pekerjaan lain. Karena intensi keluar merupakan prediktor

22
yang kuat untuk terjadinya tindakan nyata keluar, maka langkah-
langkah manajemen untuk menekan timbulnya intense keluar perlu
dilakukan.
Dengan demikian, karena terbukti dari penelitian yang
mendukung teori di atas, maka kepuasan dan ketidakpuasan kerja
akan mempengaruhi komitmen kerja yang secara tidak langsung
akan mempengaruhi laoyalitas karyawan untuk komit dengan
organisasi dimana ia bekerja. Sehingga perlu memperhatikan
kepentingan dua arah agar tujuan organisasi dapat terwujud.
Caranya adalah dengan mengakomodasikan ke dua kepentingan
antara karyawan dan organisasi, seperti tunjangan saat organisasi
diuntungkan dan gaji serta bonus termasuk penghargaan saat tujuan
organisasi terwujud.

23
Bab IV
Loyalitas dan Kekuatan Organisasi

Suatu fenomena atau atau keadaan yang berhubungan dengan


waktu, menjadikan suatu organisasi tumbuh. Masa atau waktu
pertumbuhan organisasi atau sering disebut dengan Organization
Life cicle. Organisasi yang bertumbuh dan berkembang tidak dapat
dilepaskan dari peran para karyawan yang merupakan bagian dari
faktor internal organisasi dan faktor eksaternal. Walaupun sumber
daya manusia sudah dikelola secara maksimal oleh menajemen,
akan tetapi SDM hanya merupakan bagian dari faktor internal
tersebut. Sehingga variabel atau bagian lainnya antara lain
kepemimpinan, kebijakan, yang sewaktu-waktu dapat berubah
karena adanya tuntutan dari dalam maupun dari luar organisasi.

24
Berdasarkan hasil penelitian oleh Fortune 500 maupun Fortun
1000 yang telah disebutkan pada BAB III, memberi gambaran
kepada kita bahwa realita tersebut meyakinkan dan mendorong
untuk mempertanyakan mengapa kita harus loyal pada organisasi
dalam arti organisasi apapun dimana kita menjadi anggota.
Kesadaran bahwa loyalitas tidak selamanya langka, kemudian
dihayati oleh para karyawan hingga sampai pada tataran pimpinan.
Kesadaran muncul betapa loyalitas menjadi dan tergantung pada
seringnya SDM menghitung-hitung atas apa dan berapa yang
didapat pada jangka pendek. Sementara SDM telah berjuang,
berpikir dan menjalankan tugas organisasi. Bagi karyawan yang
smart, tentunya memiliki terjemahan atas keahlian dan loyalitas,
sehingga loyalitas tidak kaku. Di beberapa organisasi perusahaan
yang profesional, mengembangkan rasa loyalitas justru melalui
sikap yang lebih agresif, seperti “going the extra mile”, dengan
lebih membuka wawasan, sehingga bisa merasakan kompetisi di
pasaran dan mengembangkan kesiagaan untuk bertindak sejalan
dengan harapan menajemen perusahaan.
Dari sisi perusahaan, sudah tidak jamannya untuk memberi
harapan garansi “employment” seumur hidup. Perusahaan justru
perlu mengekspresikan ‘loyalitas’ pada karyawan dengan cara loyal
pada prinsip-prinsip pengembangan talenta atau empowerment,
terutama bagi karyawan yang memang menampakkan ambisinya
untuk mengembangkan diri. Dengan demikian, fenomena karyawan
bertahan selama puluhan tahun di perusahaan tidak berarti bertahan
secara pasif, namun aktif mengembangkan diri dan mendorong
pertumbuhan perusahaan.
Sebuah perusahaan kurir dunia bahkan secara terbuka
mengumumkan, “In my business ... and in your business ... loyalty
means caring enough to correct a bad situation.” Pandangan ini

25
adalah dari sudut pandang loyalitas konsumen dan karyawan dalam
rangka menanamkan brand image dan organization image. Bila
timbul masalah dalam hubungan pelanggan atau karyawan dengan
perusahaan, bukan berarti harus ‘patah arang’. Kita bisa
mengembangkan rasa percaya bahwa masalah akan ditangani
secara serius. Kita lihat loyalitas bukan musnah, tetapi berubah
bentuk menjadi lebih realistis.

A. Membangkitkan spirit untuk Membangun


Loyalitas

1. Studi Kasus di PT Astra, Tbk.


Loyalitas dapat terbentuk karena adanya motivator dari pihak
manajemen organisasi perusahaan. Spirit para karyawan yang
dibangun secara bersama-sama dengan pihak pengelola organisasi
justru akan lebih besar hasilnya dibandingkan dengan hanya
sekadar memotivasi. Semangat itulah yang diharapkan menjadi
jantung yang berdegup setiap berada di organisasi atau perusahaan.
Contoh yang dapat menjadi gambaran bagi pengelola SDM
adalah bagaimana PT Astra International Tbk. Menjadi selalu
terdepan (Sudarmadi, 2011). Presiden direktur yang selalu focus
akan komitmen untuk mengelalo SDM dengan maksimal. Presiden
direktur Astra sadar betul bahwa mengelola SDM tidak mudah dan
tidak hanya membalikkan tangan, akan tetapi memiliki strategi
sehingga agar perusahaan tersebut tetap menjadi besar.
Prijono Sugiarto yang merupakan Presiden Direktur PT Astra
Tbk. (Dorimulu dkk., 2011) mengemukakan bahwa ia bergabung
dengan PT Astra sejak 21 tahun silam bukan sekadar berupaya
meningkatkan kualitas SDM, akan tetapi lebih pada memelihara
dan meningkatkan spirit di kalangan karyawan. “Spirit menjadi

26
yang terbaik tak boleh luntur. Di bisnis apapun, kami ingin
berjuang menjadi yang terbaik,” ujar peraih gelar Dipl Ing Teknik
Mesin dari University of A Sc Konstanz, Jerman, dan Dipl
Wirtschaftsing bidang Administrasi Bisnis dari University of A Sc
Bochum, Jerman, tersebut.Yang pasti, meski Grup Astra dianggap
sudah sukses, Prijono merasa pencapaian kelompok usaha yang
dirintis William Soerjadjaja ini belum lengkap. “Hasil yang dicapai
Astra, menurut saya, belum full,” tuturnya. Rupanya, Prijono juga
punya obsesi besar untuk emiten berkapitalisasi pasar terbesar di
Bursa Efek Indonesia (BEI) itu. “Saya ingin Astra menjadi
kebanggaan bangsa ini,” tegas dia.
Berdasarkan kronologis karir Prijono tersebut, selanjutnya
setelah lulus kuliah di Jerman, ia bekerja di Mercedes Benz, di
Jerman, kemudian di Mercedes Benz Indonesia sebagai sales
engineering manager. Pada 1990, Prijono pindah ke Astra dan
memegang divisi BMW. Pada 2000, saya diminta menjadi anggota
direksi. Setelah 10 tahun menjadi anggota direksi, ia diangkat
menjadi presiden direktur di Astra International. Sudah 21 tahun ia
di Astra. Kemudian Prijono tertarik di karena Astra merupakan
perusahaan swasta nasional yang terkenal dengan empat hal, yakni
reputasi, integritas, good corporate governance, dan profesional.
Astra juga menjunjung tinggi human resources sebagai aset yang
begitu berharga. Saya coba bangun SDM secara maksimal.

Tahapan Perlakuan terhadap Karyawan PT Astra, Tbk.


Pertama masuk, karyawan diberi training tentang Astra.
Kemudian, ketika yang fresh graduate naik ke posisi manajer, ada
program Astra Middle Management Program. Yang dari posisi
middle manager akan naik menjadi senior manager, harus
mengikuti Astra Senior Management Program. Naik lagi ke

27
general manager atau executive, ada Astra General Management
Program. Ada juga Astra Executive Program dan Astra Advance
Executive Program. Jadi, mendidik manusia Astra harus continue
dari pertama masuk hingga menjadi top talent, sampai top
executive.
Di Astra seorang Direktur Utama dibantu delapan direksi.
Setiap hari tak dimungkiri pasti ada masalah. Tapi, ia berprinsip
untuk menyelesaikan setiap masalah dengan kepala dingin. Take it
easy !. Misalnya, ketika terjadi tsunami di Jepang, itu menjadi
masalah bagi Astra, tapi ia dan semua jajaran direksi mencoba
mengatasinya dengan baik. Prinsipnya adalah selalu
mengedepankan teamwork.
Ada Tiga “W” sebagai kunci sukses Astra, antara lain :
1. Winning concept, artinya sebelum masuk bisnis harus punya
konsep yang baik.
2. Winning system, artinya setelah konsep dibuat bagus,
selanjutnya adalah menjalankan bisnis dengan sebuah sistem
yang bisa mengontrolnya.
3. Winning team, artinya pertama-tama Anda harus kasih
kepercayaan pada tim yang kuat. Apapun yang dibuat, berharap
selalu ingin menjadi yang terbaik.

Gambaran Organisasi PT.Astra Tbk.


Sejak 1984, Om Willem (pendiri Astra, William Soerjadjaja)
dan direksi mempunyai pedoman yang disebut dengan Catur
Dharma yang sampai kini tidak pernah kami tinggalkan, yaitu :
1. Menjadi aset yang bermanfaat bagi bangsa dan negara.
2. Memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan.
3. Menghargai individu dan membina kerja sama.
4. Berusaha mencapai yang terbaik.

28
Spirit tersebut menjadi yang terbaik, tidak pernah dan tidak
boleh lepas. Spirit ini harus menjadi jantung perusahaan. Di bisnis
apapun, sepakat bahwa berjuang untuk yang terbaik. Bahwa pada
semester I tahun 2011 kinerja perusahaan menjadi bagus, ini hasil
proses yang begitu panjang. Revenue kami tumbuh 23%, profit
kami Rp 8,6 triliun, tumbuh 33%, tersebut dari hasil proses.
Sepuluh tahun lalu, mungkin Astra 85% di otomotif, tapi by
design Astra melakukan diversifikasi agar menjadi perusahaan
yang punya kekuatan non-otomatif yang nantinya bisa mempunyai
operasional excellence di bidang otomatif. Dalam perjalanannya,
otomotif tetap atraktif, dan hal tersebut dianggap suatu berkah. Jika
Astra memegang pangsa pasar 55% roda empat (mobil) dan 51%
roda dua (sepeda motor), hal tersebut juga syukuri.
Tapi, Astra juga ingin divisi-divisi lain berkembang. Harus ada titik
keseimbangan, katanya. Sekarang otomotif 50%, finansial 18%,
United Tractors (alat berat dan batubara) 16%, Astra Agro Lestari
(perkebunan sawit) 11%, sisanya infastruktur dan mata rantai
logistik. Ke depan, Astra menginginkan dalam hal otomotif dan
non-otomotif seimbang 50:50, hal ini bukan berarti Astra akan
tinggalkan otomotif.
Otomotif Astra tetap, kini lokalisasi (local content) di otomotif
sudah 85%, bahkan di sepeda motor 95%. Berapa banyak nilai
tambah yang Astra hasilkan melalui lokalisasi? First tier supplier
Astra itu ada 150 perusahaan, second tier 850 perusahaan. Sekitar
1.000 perusahaan terlibat, Data tersebut belum bicara tier ketiga
dan keempat. Sehingga, automotive value chain tersebut dari hulu
ke hilir, dari mulai pembuatan komponen, menjadi assembling,
distributor, main dealer, dealer, sampai ke financing Astra Credit
Company, FIF untuk dua roda, hingga Asuransi Astra Buana untuk
asuransi. Engine, casting sudah diproduksi di Indonesia. Ada

29
beberapa item kalau dilokalkan tidak feasible dan skala
keekonomiannya kurang. Misalnya lebih baik impor baut daripada
membuat pabriknya akan tetapi tidak ada nilai tambah. Kalau
karburator roda dua sudah bisa dibuat di Indonesia.
Pada tahun 1970-an, pemerintah meng-introduce kendaraan
bermotor yang namanya KBMS atau dikenal dengan nama Kijang,
kondisi tersebut adalah asal muasalnya mereka menggunakan
penalti, dan apabila dilokalkan maka kena penalti. Selanjutnya,
sejak akhir 1990- an pemerintah mengubah system insentif,
sekarang, apapun yang dilokalkan harus dengan cost penalty di
bawah satu. Sehingga, kalau setir dilokalkan harus lebih murah dari
impor. Astra membuat lokalisasi bukan sekadar memenuhi
peraturan pemerintah, tapi karena memang jauh lebih murah.
Sekarang engine block semua dilakukan di Karawang. Alih
teknologi sudah terjadi, bahkan Toyota Group sudah menunjuk
Indonesia sebagai export base Daihatsu Group untuk mobil-mobil
kecil. Toyata memiliki 51% di Astra Daihatsu Motor.
Toyota juga sudah menetapkan rekayasa dilakukan di
Indonesia. Kami berharap pada 2014-2015 minor change sudah
bisa dilakukan putra-putri Indonesia dan pada 2018 major change
sudah bisa dilakukan di Karawang. Kami di sana ada lahan 190
hektare. Ini adalah salah satu dari 19 proyek yang dicanangkan
Presiden SBY. Jadi, assembling di Jepang akan pindah ke
Indonesia. Untuk teknologi medium, orang Indonesia tidak kalah.
Bahkan, ada satu produk yang akan dikeluarkan Toyota, adalah
karya orang-orangnya Astra dari Daihatsu Motor.
Astra sadari, otomotif Astra merupakan kemitraan strategis
dengan Jepang, dan tidak bisa lepas dari Isuzu, Toyota, dan
Daihatsu. Kalau menginginkan menjadi pemain global, harapan
Astra bukan dari otomotif. Untuk menjadi pemain global harus jadi

30
natural owner. Astra menjadi eksportir saja sudah bangga. Tapi,
kalau akan memainkan bisnis lain seperti batubara, Astra
menganggap menjadi global player. Prinsipal Astra sebagai satu
strategic partner yang baik. Bukan hanya pandai menjual, tapi juga
pandai bermain di hulu. Melalui Astra Otoparts, banyak pemain
Jepang yang masuk ke Indonesia. Misalnya di Denso kami punya
26%, di Akebono 50%, Kayaba 50%. Dengan adanya musibah
tsunami, mereka semakin melirik Indonesia. Kalau mereka masuk,
kepercaya mereka akan melirik Astra. Prijono berharap bahwa
mereka yakinbahwa sasarannya adalah Indonesia, bukan negara
Asia Tenggara lainnya. Tiongkok, India, dan Indonesia yang
mereka pilih, karena politik terjamin, kurs stabil, hanya masalah
dikeluhkan infrastruktur yang menjadi keluhan. Mudah-mudahan
ada perbaikan infrastruktur.
Gambaran di atas menjadikan suatu contoh nyata , bahwa
dengan pengelolaan sistem manajemen yang mumpuni, maka
sumberdaya manusia juga akan lebih tertata, dihargai, serta
memiliki spirit untuk menunjang loyalitas. Sehingga dalam jangka
panjang akan mendukung dinamika organisasi.
Dengan adanya gambaran kasus Astra Tbk. Tersebut
menyadarkan semua pemerhati organanisasi, bahwa yang utama
sebenarnya adalah komitmen yang dibangun adalah justru berasal
dari pimpinan terlebih dahulu. Apabila seorang pimpinan sudah
memiliki komitmen yang jelas untuk mengembangkan organisasi
dengan segenap penjelasan secara rinci mengenai apa yang harus
dilakukan baik oleh organisasi, manajemen, maupun oleh
karyawannya, maka visi yang ditetapkan akan lebih mudah
dipahami oleh semua anggota organisasi tersebut, tak terkecuali
para manajer bahkan pemiliknya sekalipun.

31
2. Kasus pada PT Bank DKI
Contoh kasus lain kaitannya dengan loyalitas SDM adalah
pada PT Bank DKI (Wisesa, 2008). Dalam penelitian tersebut
dikemukakan bahwa karyawan merupakan aset terbesar dalam
perusahaan sehingga banyak atasan yang tidak ingin kehilangan
karyawannya yang berkualitas. Tetapi kesempatan berkarir yang
semakin luas belakangan ini ditunjangdengan perkembangan arus
informasi yang begitu cepat sehingga sulit bagiatasan untuk
menahan karyawannya yang ingin mengejar karir lebih baik
di perusahaan lain. Untuk itu diperlukannya loyalitas seorang
karyawan kepada atasan guna mengurangi atau mencegah hal
tersebut.
Penelitian tersebut diikuti oleh lebih dari 8.000 responden dari
46 perusahaan yangmewakili 14 bidang industri di Indonesia.PT.
Bank DKI merupakan salah satu perusahaan yang bergerak
di bidang perbankan khususnya Bank Regional yang bersifat Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) yang ada di DKI Jakarta. Dalam
perkembangannya perusahaan tersebut membutuhkan Sumber
Daya Manusia yang handal dan memiliki loyalitas guna bersaing di
dunia perbankan. Untuk mengelolaSumber Daya Manusia tersebut
maka dibutuhkan seorang pemimpin atau pengendali yang mampu
menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dilingkungan
kerjanya. Dengan adanya penelitian di PT. Bank DKI,diharapkan
dapat menambah pengetahuan dan gambaran mengenai
perilakuorganisasi terutama mengenai hubungan dari gaya
kepemimpinan denganloyalitas bawahan kepada atasan dalam suatu
organisasi bisnis di bidang perbankan.
Semenjak tahun 1992, PT. Bank DKI berubah status menjadi
Bank Devisa melalui lisensi yang diberikan oleh Bank Indonesia.
Perubahan pun terjadi dalam manajemen perusahaan dimana

32
sebelumnya adalah milik Pemerintah Daerah menjadi Perseroan
Terbatas (PT.), hal ini dapatdiketahui melalui perubahan nama
perusahaan yang dilakukan yaitu dariBank Pembangunan Daerah
Jaya (BPD Jaya) menjadi PT. Bank DKI.Selama 16 tahun terakhir
ini, PT. Bank DKI berada pada tahap perkembangan dimana terjadi
perbaikan di semua lini, sehingga penelitianmengenai hubungan
gaya kepemimpinan dengan loyalitas karyawan kepadaatasan
dibutuhkan guna memberikan masukan dan perbaikan bagi
sistemyang telah ada khususnya dalam hal kepemimpinan.
Permasalahan yang inti dalam penelitian ini adalah bahwa aset
sumber daya manusia mensyaratkan pengelolaan yang berbeda
dengan aset berwujud (tangible asset ), sebab aset ini memiliki
pikiran, perasaan, dan perilaku, sehingga jika dikelola dengan baik
maka akan mampu memberikan sumbangan besar bagi kemajuan
perusahaan secaraaktif. Setiap orang memiliki gaya kepemimpinan
yang berbeda-beda dikarenakan banyaknya perbedaan pada setiap
individu seperti perbedaanusia, jenis kelamin, jabatan / posisi, latar
belakang pendidikan, statuskeluarga serta perbedaan status sosial
lainnya. Untuk itu diperlukan caramengelola yang berbeda. Hal
tersebut akan berhubungan dengan loyalitas para karyawan kepada
atasan dalam menerima dan melaksanakan tugas danwewenang
serta tanggung jawab di dalam pekerjaannya sehingga
akan berdampak terhadap tujuan akhir perusahaan.
Hasil penelitian yang didapat adalah bahwa berdasarkan uji
korelasi Rank Spearman, gaya kepemimpinan atas dasar
pertimbangan korelasi positif dengan nilai koefisien korelasi ®
adalah 0,622 yang masuk dalam kategori keeratan hubungan kuat
karena terletak pada interval 0,4

33
Bab V
Pembentukan SDM menjadi Sumber
Daya Insani

Menurut Tulus (1995) dalam buku “Manajemen Sumber Daya


Manusia”, dijelaskan arti penting sumber daya manusia adalah
bahwa sumber daya manusia merupakan salah satu unsur masukan
atau input yang bersama-sama dengan unsur lainnya seperti bahan
baku, modal, mesin dan teknologi, yang dapat diubah melalui
proses manajemen yang akhirnya menjadi bentuk keluaran atau
output berupa barang dan jasa dalam upaya mencapai tujuan
organisasi, sesuai dengan apa yang sudah tertuang dalam visi dan
misi organisasi.

34
Suatu organisasi apapun termasuk perusahaan, memang dapat
merubah visi dan misinya. Hal ini dimungkinkan karena ada faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap kelangsungan suatu organisasi
seperti perusahaan, mengingat adanya kebijakan dari pemerintah
yang ikut mengatur regulasi suatu perusahaan, seperti tentang
ekspor impor, batasan suatu perusahaan besar atau kecilnya usaha,
kebijakan tentang SDM kaitannya dengan penghapusan
outsourcing, serta kebijakan lain yang berkaitan dengan regulasi
perusahaan dan bidang keuangan. Upaya tersebut syah-syah saja
apabila dengan berbagai upaya dan alasan untuk mempertahankan
komitmen perusahaan maupun karyawan.
Strategi organisasi sering menjadi suatu upaya dalam rangka
mempertahankan organisasi dan kebersamaan. Ada berbagai
strategi yang sering dipakai olah organisasi atau perusahaan untuk
memenej organisasi, namun tidak serta merta dapat diterapkan
dengan leluasa, karena harus disesuaikan dengan kondisi dan
situasi serta usaha perusahaan tersebut. Jelasnya, tidak tergantung
pada keputusan mengenai strategi mana yang tepat, akan tetapi
lebih pada strategi mana yang efektif, sehingga dapat diterapkan di
perusahaan tersebut.
Ada beberapa upaya yang dilakukan oleh para pengelola
organisasi atau perusahaan, sehingga para karyawannya tidak tega
dan dengan penuh kesadaran seminimal mungkin mencegah
melakukan hal-hal yang melanggar norma, seperti :
1. Melakukan korupsi dalam bentuk apapun.
2. Melakukan pelecehan seksual.
3. Menyebarkan isu yang tidak pada tempatnya di pekerjaan.
4. Berbagai bentuk kolusi ataupun penyogokan dengan alasan
apapun, misalnya untuk upaya promosi jabatan, penerimaan
lowongan pekerjaan.

35
5. Melakukan sesuatu yang merugikan orang lain dalam konteks
pekerjaan.
6. Melakukan sesuatu yang bukan haknya atau wewenangnya,
seperti keinginatahuan tentang penilaian kerja karyawan lain
maupun tentang gaji karyawan lain.
7. Memberikan penilaian terhadap karyawan yang tidak obyektif.
8. Melakukan kegiatan pelatihan atau training dengan dasar
mencari uang tidak atas kebutuhan.
9. Memberikan informasi lamaran pekerjaan dengan
mencantumkan persyaratan agama dan ras/suku.

A. Peran Komitmen Organisasi


Komitmen organisasi (Organizational Commitment) adalah
sikap yang mencerminkan sejauh mana seseorang individu
mengenal dan terikat pada organisasi. Karyawan yang memiliki
komitmen yang tinggi kemungkinan akan melihat dirinya sebagai
anggota sejati organisasi. Seorang tokoh ilmuwan Fred Luthan
(Baron, A.R. & Greenberg, J., 2000) misalnya, mendefinisikan
komitmen organisasi sebagai suatu keinginan kuat anggota
organisasi karena peran organisasi yang juga mendukung anggota
organisasi tersebut. Dengan kata lain, komitmen organisasi
merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada
organisasi dan proses berkelanjutan dimana anggota organisasi
mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan
keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan.
Tokoh lain Woodman, Sawyer, dan Griffin (Baron, A.R. &
Greenberg, J., 2000), berpendapat bahwa komitmen organisasi
lebih pada kreativitas dalam organisasi yang merupakan kreativitas
kelompok, yang memungkinkan adanya individu-individu saling

36
bekerja sama dalam situasi atau lingkungan yang saling
mendukung.
Apabila menyoroti Komitmen organisasi memang agak
kompleks, mengingat menyesuaikan antara pihak manajemen dan
anggota organisasi merupakan kesatuan unsure yang memfasilitasi
tujuan organisasi agar dapat tercapai. Menurut L. Mathis-John H.
Jackson, keinginan untuk tinggal bersama sebagai anggota
organisasi merupakan sesuatu yang sangat berarti karena apabila
kesepakatan tersebut tidak terjadi akan berdampak pada anggota itu
sendiri yang berupa ketidakhadiran karyawan ataupun terjadinya
angka perputaran karyawan yang meningkat.
Ikatan karyawan kepada organisasi atau perusahaan,
merupakan cerminan sejauh mana seseorang individu mengenal
dan terikat dengan organisasi. Menurut Griffin, karyawan yang
memiliki komitmen tinggi kemungkinan akan melihat dirinya
sebagai anggota organisasi sejati.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komitmen
organisasi lebih pada keselarasan antara pihak organisasi dan pihak
anggota organisasi dimana pihak organisasi selalu berupaya untuk
mempertahankan anggota dalam organisasi tersebut. Peran
organisasi dalam upaya membangun komitmen tersebut tidak
hanya berat di satu sis, akan tetapi pihak organisasi harus berupaya
juga untuk memelihara komitmen tersebut. Hal-hal yang perlu
diperhatikan adalah adanya program-program khusus yang
diadakan oleh perusahaan kaitannya dengan bagaimana
meningkatkan SDM baik secara khusus maupun kaitannya dengan
fisik, dan organisasi. Karena dengan diadakannya serta perhatian
perusahaan terhadap karyawan khususnya dari sisi fisik, juga akan
mendukung kinerja yang mumpuni. Contoh saja mengenai program
kesehatan fisik maupun mental, tidak menutup kemungkinan

37
menjadi suatu yang lebih menyeluruh, karena usaha preventif
bagaimana pun juga diperlukan. Seperti kaus atau masalah yang
berkaitan dengan tekanan kerja misalnya yang dapat menimbulkan
stress kerja, akan dapat lebih tertangani apabila karyawan sudah
dibekali dengan kiat-kiat mengatasinya, dibandingkan dengan
tanpa usaha dari perusahaan untuk melakukan usaha kuratif dan
mengembangkan program-program hubungan manusiawi yang
akrab dan sehat antara karyawan dan para pimpinan (eksekutif),
juga pembinaan bidang spiritual keagamaan.

Contoh Kasus :
Seperti apa yang telah dilakukan oleh PT Tiga Pilar Sejahtera
(TPS) Food, yang kita ketahui bersama bahwa PT TPS tersebut
berdiri tahun 1959 yang produksi unggulannya adalah bihun jagung
yang terletak di Kabupaten Sukoharjo, Solo Jawa Tengah. Berawal
dari usaha tersebut, maka pada tahun 1992 perusahaan TPS tersebut
berkomitmen untuk membangun secara professional dan resmi
berdiri dan kantor pusatnya pun berpindah ke Jakarta, dan
bisnisnya tidak hanya sebatas dibidang food, akan tetapi merambah
ke dunia agribisnis, perdagangan, energy dan property.
Transformasi usaha menghasilkan secara mekanis tidak sekadar
bihun, juga memproduksi mi, biskuit, permen dan snack. Namun
secara humanistic juga diperhatikan. Hal ini dibuktikan dengan
adanya dampak human capital yang telah terbentuk. Pembelajaran
yang dilakukan oleh pihak manajemen, tidak sekadar
mengeksploitasi para karyawannya, akan tetapi lebih terintegrasi,
menanamkan good corporate governance yang terencana.
Pendekatan humanistic dengan mendirikan TPS Academiy yang
mempusisikan sebagai kawah candradimuka bagi para karyawan
agar memiliki dedikasi tinggi. Tidak sekadar membelajarkan

38
berkinerja baik, tetapi juga ber etika. Dampak dari dedikasi tersebut
akan sangat terasa hasilnya pada laba perusahaan yang cenderung
meningkat dari tahun ke tahun.
Budaya perusahaan juga mendukung tercapainya Sumber Daya
Insani yang dikehendaki, karena masing-masing perusahaan
memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Hal ini tidak saja berkaitan
dengan jenis usaha, akan tetapi juga dari sisi lingkup dan peta
SDMnya.
TPS memiliki dua budaya organisasi yang sering disebut Hard
Value, yang lebih mengutamakan kejujuran, kerja keras, dan
disiplin. Sedangkan Soft Value, lebih menekankan pada
menumbuhkan suasana kekeluargaan di tempat kerja. Selain
memiliki Budaya Organisasi, PT TPS bersama groupnya, juga
berkomitmen atas tiga pilar, yaitu product excellence, process
excellence, dan service excellence (Soetjipto, 2012)

B. Menyiapkan Manajemen Insani


Tidak ada harapan tanpa usaha. Itulah yang selalu memberi
suatu gagasan tentang bagaimana caranya membuat orang dapat
memiliki impian yang “super” seperti kata Mario Teguh dalam
tayangan di media elektronik. Namun bagaimana memulainya?
Sebagai inspirasi dari apa yang disampaikan oleh tokoh
spiritual Mahatma Gandhi (Margono, 2010):
“Your beliefs become your thoughts; your thoughts become
your words; your words become your actions; your actions
become your habits; your habits bicome your values; your
values become your destiny.”

39
Kata-kata Mahatma Gandhi tersebut di atas membuat inspirasi bagi
kita dan bagi orang-orang yang selalu berusaha untuk menjadi
karyawan yang inspiratif bagi dan berdedikasi tinggi.
Tidak ada orang yang lahir dengan “sempurna”, yaitu,
selain memiliki fisik yang sempurna juga perilaku yang baik yang
dapat menjadi panutan orang-orang disekelilingnya. Semua orang,
sebagai insan yang luhur, harapannya dapat menjadi apa yang
dipahami dan sesuai apa yang berlaku di lingkunannya. Namun,
tidak semua lingkungan adalah yang memiliki perilaku dan
pemahaman yang sama. Hal ini terjadi karena orang memiliki
kepribadian dan persepsi sendiri-sendiri, belum lagi lingkungan
masing-masing yang mempengaruhi.
Belum ada orang yang dapat menerjemahkan kesempurnaan
hidup yang dapat terwujud walau tidak sepenuhnya sempurna.
Pengembangan secara seimbang, masing-masing orang juga
memiliki pemukiran yg berbeda pula. Aspek fisik, intelektual,
emosi, estetika, sosial, etika, finansial dan juga spiritual.
Keseimbangan tersebutlah yang kemungkinan besar akan
membawa seseorang ke arah kesempurnaan. Namun pada
kenyatannya tidak mampu meraih harapan tersebut, mengapa?
Jawabannya adalah karena kita memiliki kemampuan yang berbeda
satu sama lain. Hal terpenting pula yang dapat menjadi pedoman
akan keberhasilan aspek-aspek terpenuhi adalah adanya niat kita
masing-masing. Ada sementara orang yang mau merubah diri
karena belajar dari pengalaman. Namun ada sementara orang yang
tidak mau merubah diri karena ada hal-hal yang berkepentingan.
Akibatnya roda kehidupan (wheel of life) menjadi tidak seimbang.
Kalau hal ini dibiarkan dalam jangka panjang, akan menyebabkan
kehidupan manusia tidak produktif dan sulit berkembang. Hal ini
dapat digambarkan seperti berikut :

40
Memang tidak mudah untuk membangun dan bahkan
mengembangkan keyakinan agar mempunyai kesempatan untuk
benar-benar memperbaiki diri. Usaha untuk dapat memperbaiki diri
menurut Margono (2010), adalah :
1. Membangun impian
Faktor utama yang dapat memunculkan atau timbulnya upaya
sukses adalah adanya impian yang kita miliki. Setiap orang
yang sukses pasti diawali dengan impian. Walt Disney,
misalnya, yang memiliki pengalaman masa lalu mengenai
cemoohan yang dia terima setelah menuturkan mengenai
impian yang tidak pernah putus untuk membangun suatu taman
impian khusus diperuntukan bagi anak-anak. Setelah berhasil
membangun Walt Disney di California tahun 1955, maka
diasmpaikan dalam pidato peresmiannya bahwa yang menjadi
sesuatu berhasil terwujud adalah adanyapenciptaan impian ke
depan.
2. Menuliskan keyakianan memberdayakan.

41
Anthony Robbins (Margono, 2010) berpendapat melalui
penelitiannya dengan membagi keyakinan dalam dua kategori
yaitu keyakinan memberdayakan dan keyakinan yang tidak
memberdayakan. Keyakinan memberdayakan tersebut akan
mengembangkan keseimbangan hidup yang kita miliki masing-
masing, sementara keyakinan tidak memberdayakan akan
membatasi perkembangan hidup kita.
3. Menggali keyakinan yang benar dari sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Sebagai manusia, perlu mempelajari keberhasilan orang lain.
Setelah itu, perlu mencari informasi sebanyak mungkin dari
media cetak atau dari elektronik untuk mencari tahu mengenai
orang-orang sukses. Tujuannya adalah untuk mencari tahu
mengenai hal-hal baru atau acuan-acuan baru, untuk
menguatkan keyakinan kita untuk lebih sukses.
4. Keuntungan memegang teguh keyakinan
Hal ini dilakukan saat seseorang mengalami drop, lelah, tak
berdaya, merasa tidak berguna, dan perasaan lain yang muncul.
Suasana hati tersebut akan melemahkan manusia apabila tidak
terselesaikan. Sehingga perlu memunculkan bayangan positif
mengenai keinginan manusia itu sendiri untuk memperkuat cara
kerja otak manusia, sehingga akan meningkatkan keyakinan
manusia, yang memberi dampak antara lain :
a. Tubuh terasa lebih fit
b. Merasakan getaran karena orang-orang mencari anda
c. Seolah-olah merasakan anda memiliki sahabat-sahabat baru
d. Merasakan adanya imej baru atas keberhasilan anda
e. Bangga dengan penghormatan oleh orang-orang
disekeliling anda
f. Merasakan adanya kebahagiaan karena dipromosikan

42
g. Merasakan dampak keberhasilan dengan pemenuhan
kebutuhan yang atas orang-orang yang disayangi
h. Merasakan ketenangan jiwa dalam hidup dan hilangnya
5. Kerugian dengan mempertahankan keyakinan yang tidak
memberdayakan.
Setiap orang selalu ada sisi baik dan sisiburuk, sisi kelemahan
dan sisi kekuatan, sisi kebaikan dan sisi keburukan. Oleh sebab
itu, kita sebagai manusia perlu memegang teguh keyakinan
tersebut.
6. Pentingnya menghancurkan limiting belief
Keyakinan yang tidak memberdayakan (limiting belief) adalah
mental blok yang menghalangi manusia untuk mencapai
kesuksesan yang kita harapkan. Ciri-ciri limiting belief antara
lain perasaan tidak enak hati, malas, sikap menunda-nunda
pekerjaan, motivasi yang tidak stabil, ragu, khawatir, merasa
tertekan, takut, bingung, cemas, dll.
Salah satu cara untuk mematahkan limiting belief adalah
dengan menggunakan teknik EFT (Emotional Freedom
Technique) Teknik ini diketemukan oleh Gary Craig, seorang
enginner dari Stanford University dan murid Dr. Callahan yang
menemukan Callahan Technique atau Tough Field Therapy
(TFT). EFT merupakan teknik penyembuhan tubuh dan pikiran
yang mengkombinasikan efek fisik dari perawatan meridian
dengan efek mental dalam memfokuskan pada sakit atau
permasalahan pada waktu yang sama.
7. Melakukan afirmasi
Afirmasi adalah suatu yang diproyeksikan atau dimasukan ke
dalam pikiran bawah sadar dan bersifat sugestif, biasanya
berupa kata-kata atau kalimat yang diucapkan dengan penuh
keyakinan dan berulang-ulang.

43
8. Meyakini semua hal yang mungkin terjadi
Ada sementara orang yang yang meyakini bahwa sesuatu hal
mustahil terjadi. Tetapi sebenarnya tidak ada sesuatu hal yang
tidak mungkin terjadi, selama kita meyakini hal tersebut.
Usaha manusia untuk merubah diri menjadi yang lebih baik,
perlu kesadaran dan contoh-contoh, serta upaya perubahan tersebut.
Tidak mudah menyadarkan seseorang untuk merubah dan
membangun diri menjadi yang lebih baik. Beberapa hal perlu
diketahui dengan sungguh-sungguh dari diri orang tersebut agar
mau dan mempercayai diri untuk menjadi yang lebih baik. Harapan
tersebut berdampak pada keinginan untuk membangun loyalitas
diri.
Apabila loyalitas sesuai dengan harapan, bahwa hal tersebut
dapat merubah perilaku, maka organisasi atau perusahaan menjadi
lebih solid dengan adanya karyawan yang terlahir dengan sumber
daya insani.

44
DAFTAR PUSTAKA

Armstrong, M, 1994, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta :


Alex Media Kompetindo.

Baron, A.R. & Greenberg, J., 2000, Behavior in Organization :


Understanding & Managing The Human Side of Work,
Prentice Hall International Inc. , Canada.

Blau,G.J., & Boal, K.R., 1987, Conceptualizing How Job


Involvement and Organizational Commitment Affect
Turnover and Absenteeism, Academy of Management
Review.

Buckingham, M & Coffman C., 2009, Pertama, Langgar Semua


Aturan, Hal-Hal yang Dilakukan Secara Berbeda oleh Para
Manajer Terhebat Dunia, Penterjemah : Th. Dewi
Wulansari, Azkia Publisher, Kelompok Pustaka Alvabet.

Dorimulu, dkk., Spirit Harus Jadi Jantung Perusahaan, Investor


Daily, Jakarta, Edisi 12 September 2011

Gatewood, R.D, & Field, H.S., 2000, Human Resource Selection,


The Dryden Press, Harcourt Brace College Publisher.

Gibson,J.L., Ivancevich, J.M., Donnelly, Jr., J.H., 1996, Organisasi:


Perilaku, Struktur, Proses, Alih Bahasa : Nunuk Ardiani ,
Penerbit Binarupa Aksara, Jakarta..

Greer, Charles R. Strategy and Human Resources: a General


Managerial Perspective. New Jersey: Prentice Hall, 1995.

Handoko, H.T., 2001, Manajemen Personalia dan Sumber Daya


Manusia, BPFE, Yogyakarta.

45
Hasibuan, 2000, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara,
Jakarta.

Hasibuan, 2000, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara,


Jakarta.

Lilis, 2004, Leadership, Republika

Locke, E.A., 1969, What is Job Satisfaction?, Organizational and


Human Performance, 4:309-336.

Mangkunegara, 2008, Manajemen Sumber Daya Manusia


Perusahaan, Remaja Rosdakarya, Bandung.

Margono,H., Yusuf,S., Hans,J., 2010, Manajemen Insan Sempurna,


The Real Secret To Balance Your Life, PT. Insan
SempurnaMandiri, Jakarta.

Nitisemito, 1996, Manajemen Personalia (Manajemen Sumber


Daya Manusia, Ghalia Indonesia.

Simamora, H., 1997, Manajemen Sumber Daya Manusia, STIE


YKPN, Yogyakarta.

Soetjipto, BW., 2012, Kepepetisme Dalam Transformasi Korporat,


Majalah Swa, No.25, XXVIII, 22 Nov-5Des 2012

Sudarmadi, 2011, Belajar dari para Senior, majalah Swa, Edisi 13


Oktober 2011.

Swansburg, A.C. (1996). Management and Leadership for Nurse


Managers. Jones and Bartlett Publishers International,
London England.

Tulus, M.A., 1995, Manajemen Sumber Daya Manusia, Gramedia


Pustaka Utama, Jakarta.

46
Wexley, K.N., & Yukl, G.A., 1977, Organizational Behavior and
Personal Psychology, Richard D. Irwin Inc., Homewood,
Illinois.

Wijayantie, FC., Pengaruh Kepuasan Kerja dan Komitmen


Organisasional Terhadap Keinginan Untuk Keluar (Intensi
Keluar) dari Suatu Organisasi pada Perawat di RSI
Hidayatullah, Yogyakarta.

Wisesa, Reifan., 2008, Hubungan Gaya Kepemimpinan Dengan


Loyalitas Karyawan Kepada Atasan Grup Sumber Daya
Manusia PT. Bank DKI, Skripsi, Departemen Manajemen,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB.

47

Anda mungkin juga menyukai