Abstrak:
Islam adalah pedoman hidup yang harus dipelajari dan dipahami untuk
diamalkan dalam kehidupan duniawi. Ketika agama ini sempurna bersama al-
Qur‘an dan dijelaskan oleh hadits atau sunnah Rasulullah SAW, maka kewajiban
pemahaman selanjutnya ada di tangan para ulama, mulai dari generasi sahabat
sampai generasi ulama masa kini. Dengan kualitas akal dan kapasitas keilmuan
yang tidak sama, pasti akan lahir hasil analisis dan pemikiran yang berbeda di
kalangan muslimin. Inilah yang disebut ikhtilaf dalam tataran pemikiran keagamaan
dalam Islam. Namun, Islam tidak membiarkan ikhtilaf boleh terjadi tanpa batas,
dalam arti setiap orang bebas memahami dan menjelaskan ajaran berdasarkan selera
dan kemampuan akalnya belaka. Maka, demikian kesepakatan ulama salaf dan
khalaf, hanya orang-orang yang berderajat mujtahid yang memiliki kebolehan dan
otoritas untuk ber-ikhtilaf. Tidak semua ulama bisa diakui sebagai mujtahid, kecuali
harus memiliki syarat-syarat ijtihad. Di samping akidah dan syariah yang benar
dan kuat, ada beberapa alat dan cabang ilmu yang harus dikuasai secara mumpuni.
Syarat-syarat ijtihad yang membolehkan ikhtilaf telah ditetapkan, namun
kanyataannya selalu ada ikhtilaf yang terpuji dan bermanfaat dan ada pula yang
tercela membawa mudarat, yang terjadi di berbagai masa dan tempat. Dalam konteks
inilah, ulama yang berpotensi ber-ikhtilaf harus menahan diri dan berhati-hati,
tidak seharusnya mengeluarkan pendapat tanpa ilmu yang mumpuni dan komit
kepada etika ikhtilaf yang diajarkan oleh Nabi dan dijunjung tinggi oleh sahabat,
tabi‘in, dan tabi‘ al-tabi‘in. Ikhtilaf dan perbedaan pendapat serta pemikiran sudah
terjadi sejak zaman Nabi, terus berlanjut dari generasi ke genasai, sampai masa
kini. Maka umat harus bijak, berhati-hati, dan selektif menghadapi hasil ikhtilaf
dan perbedaan pendapat yang terus terjadi.
hak inilah, barangkali, yang menjadi salah Sudah pasti, ketika perbedaan
satu faktor yang memperkaya khazanah dihadapi dengan subjektivitas individual
ilmiah dengan aneka ragam dan corak atau aliran dan fanatik mazhab secara
pemikiran dalam Islam. Namun, di sisi ekstrem atau berlebihan, maka persatuan
lain, kebebasan yang longgar dan tanpa dan ukhuwah muslimin akan menjadi
batas dapat berakibat munculnya taruhan. Adalah fenomena, bahwa ada
pemahaman oleh orang-orang yang tidak kelompok muslimin yang tidak siap
mempunyai kapasitas dan otoritas. berbeda dan dengan mudah mencela
Terlepas dari sisi positif dan negatif, bahkan mengkafir-fasikkan saudara
yang pasti sejak perkembangannya yang seiman seagama, yang bisa menjadi
mula-mula, dinamika pemikiran dalam petaka. Ada kelompok atau individu yang
Islam telah berkembang sedemikian rupa mengklaim diri sebagai yang paling benar
dan melahirkan aneka ragam pendapat dan menuduh kelompok lain salah.
yang berbeda, yang pada gilirannya Akhirnya, terjadi suasana saling
masing-masing pendapat mengkristal menyalahkan dan terjadi permusuhan
menjadi mazhab atau aliran. Ikhtilaf dan berkepanjangan.
perbedaan pendapat bak pisau bermata
dua, bisa membawa rahmah dan bisa pula Keniscayaan Pemahaman
menimbulkan musibah bagi Islam dan Allah menurunkan agamaNya, Islam,
muslimin. sebagai petunjuk dan pedoman hidup
Ketika sumber ajaran Islam yang manusia, yang dengan melaksanakan
berbahasa Arab tersebut dipahami dan ajarannya manusia mencapai kebahagiaan
dianalisis oleh umat melalui daya akal atau di dunia dan akhirat. Maka ajaran Islam
nalar, sudah barang pasti keanekaragaman yang mesti diaplikasikan dalam kehidupan
dan perbedaan terjadi. Semakin jauh tersebut harus diketahui maksud dan
zaman berjarak dengan masa Rasulullah tujuan akidah serta tatacara ibadahnya
dan sahabat serta tabi‘in, maka melalui pemahaman. Dalam konteks
kemungkinan terjadinya perbedaan inilah Imam al-Syafi‘i berkata: Ilmu
pemahaman di kalangan muslimin mendahului amal. Pemahaman, sudah
semakin terbuka. Lebih-lebih di era barang tentu hanya bisa diupayakan dan
modern dewasa ini, perbedaan paham dilakukan oleh orang yang berakal dan
dan pendapat di kalangan muslimin berpikir. Dalam konteks inilah Khalifah
semakin mudah terjadi dan rawan Umar berkata: Agama Islam itu akal, tidak
menyimpang dari prinsip pemahaman ada kewajiban beragama bagi orang yang
yang telah ditetapkan oleh generasi tidak berakal.
terbaik masa lalu, dan sangat rawan Objek pemahaman yang paling awal
melahirkan pertentangan yang bisa adalah Wahyu Allah al-Qur‘an, yang hasil
berujung perpecahan. pemahamannya disebut tafsir. Rasulullah
SAW sebagai penerima wahyu adalah al- gigih pula upaya para sahabat untuk
mufassir al-awwal al-wahid, penafsir pertama memahami dan menjelaskan titah syariah
dan tunggal.1 Penafsiran dan penjelasan kepada umat. Upaya memahami ajaran
Rasulullah ini kemudian dikenal sebagai Islam yang bersumber pada al-Qur‘an dan
al-hadits atau al-Sunnah. al-Sunnah ini sudah dilakukan oleh para
Di samping menafsirkan atau sahabat ketika Sang Rasul masih bersama
menjelaskan kandungan dan pesan ayat- mereka. Sejak itu pula biasa terjadi
ayat al-Qur‘an, Rasulullah SAW juga perbedaan pendapat, namun setiap
menyampaikan titahnya sendiri sebagai perbedaan yang terjadi di antara sahabat
penguat dan atau menambahkan sesuatu tersebut segera disampaikan kepada
ajaran yang tidak disampaikan secara Rasulullah SAW untuk dijelaskan dan
tegas oleh al-Qur‘an. Peran al-Sunnah diklarifikasi oleh Sang Nabi. Apa pun
sebagai penjelas dan penguat adalah yang disampaikan oleh Rasulullah SAW,
disepakati, kecuali peran menambah atau itulah yang diterima bulat oleh para
membawa hukum yang baru yang masih sahabat dan perbedaan di antara mereka
diperselisihkan oleh ulama.2 Namun, apa pun telah tiada.
pun perbedaan yang ada, ulama sepakat Bermula dari upaya pemahaman dan
bahwa Rasulullah SAW tidak akan penafsiran para sahabat inilah muncul
bersabda atas dasar nafsu manusiawinya, institusi ijtihad yang kemudian disepakati
melainkan sepenuhnya atas dasar sebagai sumber ajaran Islam di samping
petunjuk wahyu. 3 Maka pada masa al-Qur‘an dan al-Sunnah. Sumber atau
Rasulullah SAW ini sumber hukum atau institusi ijtihad inilah yang berperan
sumber ajaran Islam menjadi dua, al- mendorong dan mempercepat pesatnya
Qur‘an dan al-Sunnah. perkembangan dan mewarnai dinamika
Sepeninggal Rasulullah SAW, tugas pemikiran dalam Islam, dari zaman ke
dan fungsi pemahaman ini dilanjutkan zaman. Dengan institusi ijtihad ini, maka
oleh para sahabat, yang tidak hanya hak dan kewajiban memahami serta
memahami dan menjelaskan pesan al- menafsirkan ajaran sudah dibatasi kepada
Qur‘an tetapi juga pesan al-Hadits atau orang-orang yang memenuhi syarat
al-Sunnah. Semakin banyak kesempatan mujtahid. Syarat dimaksud, antara lain, 1)
untuk memahami dan semakin banyak ahli bahasa Arab dengan segala ilmunya,
persoalan umat yang dihadapi, semakin 2) Mengetahui ulum al-Qur‘an, 3)
Mengetahui ilmu al-Sunnah, 4)
1
lihat Q.S. 16: 44 dan 64.
Mengetahui tentang yang sudah menjadi
2
Lihat Muhammad Abu Zahw, al-Hadits wa al- Ijma dan yang masih diperselisihkan, 5)
Muhadditsun, ‘Inayat al-Ummat al-Islamiyyat bi al-Sunnat Memahami ilmu Qiyas, 6) mengetahui
al-Nabawiyyat (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1984),
hlm. 40.
maksud hukum, 7) pemahaman yang
3
Lihat Q.S. 53: 2-3. benar dan cerdas, 8) Niat dan akidah yang
Perbedaan di Kalangan Tabi‘in dan Tabi‘ Kendati antara kedua aliran yang
Tabi‘in menggunakan ra‘yu dalam bentuk qiyas
Dibanding generasi sahabat, generasi dan yang ketat berpegang pada nash dan
Tabi‘in lebih beragam dan tersebar di atsar ini sering berbeda, serta biasa saling
berbagai wilayah yang sangat luas dan mengkritik satu sama lain, namun
dengan tatanan masyarakat yang lebih perbedaan atau ikhtilaf di antara mereka
kompleks. Persoalan khilafiah yang terjadi tetap tidak keluar dari batas etika ikhtilaf,
tidak terbatas pada masalah hukum tidak pernah terjadi saling mengkafirkan,
fiqhiyah lagi, melainkan sudah merambat atau menuduh fasik, atau menuduh bid‘ah
ke persoalan politik yang sarat satu sama lain.17
kepentingan, yang dapat membawa Seperti telah dikemukakan, pada
perbedaan kepada pertentangan dan periode Tabi‘in ini wilayah ikhtilaf
perpecahan, permusuhan dan merambah ke persoalan politik, yang
peperangan. Seperti diungkapkan oleh al- merambat kepada masalah akidah,
Syahrastani, perselisihan yang paling besar sehingga muncul di antara mereka
di kalangan umat adalah perselihan kelompok fanatik ekstrem menuduh yang
politik, masalah imamah, di mana tidak lain sebagai kafir, fasik, dan bid‘ah.
pernah pedang terhunus karena Ber mula dari ikhtilaf politik yang
perselisihan masalah agama seperti yang memanfaatkan akidah untuk menuduh
terjadi dalam perselisihan politik di lawan inilah yang mengakibatkan
sepanjang zaman dan di segala tempat.15 persaudaraan umat putus dan persatuan
Pada generasi ini, para tokohnya sudah berubah menjadi permusuhan. Lebih dari
terpolarisasi kepada kecenderungan atau itu, ikhtilaf politik sampai kepada tindakan
corak dan manhaj tertentu dalam menodai kemurnian akidah dan syariah
komunitas tertentu, yang berpusat di Irak dengan munculnya hadits-hadits palsu
(Kufah dan Bashrah) dan yang berpusat yang sengaja dibuat untuk kepentingan
di Hijaz (madinah). Kelompok Irak dikenal aliran kalam dan kelompok politik
dengan sebutan Ahl al-Ra‘yi, mereka tertentu.
menggunakan qiyas ketika tidak Bermuara dari dua komunitas Tabi‘in
menemukan al-atsar. Sedangkan kelompok kelompok Irak (Basrah dan Kufah) dan
Hijaz disebut Ahl al-Hadits, yang sangat komunitas kelompok Hijaz (Madinah) ini
komit berpegang kepada nash, dan tidak kemudian lahir para tokoh mujtahidaimmatul
berkenan menggunakan qiyas atau ra‘yu.16 fuqaha yang melahirkan mazhab fikih atas
nama mereka, yang memiliki manhaj atau
metode istinbath masing-masing. Mazhab
15
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, hlm. 22.
16
Lihat Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, juz
2 (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 2001), 17
Lihat al-‘Alwani, Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam, hlm.
hlm. 271. 82.
pertentangkan soal akidah, seperti status iman dalam bilik mazhab masing-masing.
dan kufur, lebih-lebih didorong dan dibumbui Terutama pada abad keempat hijriah,
dengan interest politik. Akidah adalah masalah ketika tidak ada lagi mujtahid dan ijtihad,
yang paling sensitif dalam setiap agama, apatah masing-masing tokoh penganut mazhab
lagi Islam, sehingga banyak orang, dengan mulai ekslusif, membela pendapat
semboyan membela atau menyebarkan mazhabnya dan mencela mazhab yang
akidah, tidak merasa berdosa melakukan berbeda, walau semuanya adalah mazhab
kekerasan terhadap orang lain, terhadap Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah.
saudara seagama sekali pun. Abad keempat hijriah dipandang
Fenomena lain, ikhtilaf juga terjadi sebagai era jumud dan taqlid, para ulama
antar para tokoh ulama dari disiplin yang mazhab hanya puas berkarya meringkas
bebeda, seperti antara ahl al-Syariah dan (khulashah) atau memberi catatan atau
ahl al-Haqiqah (ulama fikih dan ulama komentar ringkas (hasyiah) terhadap karya
tasawuf), antara teolog atau mutakallim imam pendiri mazhab. Sehingga, baik
dan filosof, seperti ikhtilaf antara Ibn orang terpelajar apalagi awam, tidak
Rusyd dan al-Ghazali. Sejarah mencatat, mengenal lagi karya utama pendiri mazhab
betapa beberapa tokoh sufi menjadi mereka. Lebih dari itu, ketika taqlid dan
martir di tiang gantungan, dibunuh fanatik mazhab sudah sedemikian rupa,
karena tuduhan sesat, menyimpang umat merasa tidak perlu lagi mempelajari
bahkan menantang akidah dan syariah. al-Qur‘an dan al-Sunnah, cukup membaca
khulashah atau ikhtisar atau hasyiah yang
Perbedaan Berujung Polarisasi Mazhab dibuat oleh ulama zamannya yang tersebar
Sebagaimana telah disinggung, luas di tengah-tengah masyarakat. Suasana
perbedaan pada masa sahabat dan tabi‘in taklid dan fanatik mazhab ini jelas tidak
belum berujung pada terbentuknya menguntungkan bagi perkembangan
mazhab atau aliran, walaupun umat ilmiah dalam Islam dan berbahaya bagi
mempunyai kecender ungan lebih ukhuwwah dan persatuan umat. Bagaimana,
mengutamakan pendapat tokoh sahabat misalnya, dominasi Mazhab Maliki di
dan tabi‘in tertentu, antara yang berkiblat Andalus abad keempat, orang yang tidak
pada tabi‘in kelompok Irak dan kelompok menganut mazhab ini seakan dianggap
Hijaz. Dari dua pola pemahaman ini, telah keluar dari Islam.19
kemudian lahir mazhab fikih dari para Suasana fanatik mazhab ini, walau
tokoh Tabi‘ an-Tabi‘in. Namun, ikhtilaf semuanya adalah mazhab ahl-al-Sunnah wa
di antara tokoh pendiri mazhab fikih ini al-Jamaah, masih berlanjut sampai sekarang,
tetap dalam suasana harmoni dan saling
menghargai. 19
Lihat Sa‘id al-Afghani, Ibn Hazm al-Andalusi wa
Namun pasca ditinggalkan oleh para Risalatuh fi al-Mufadhalah bain al-Shahabah (Beirut: Dar
pendirinya, umat mulai terkotak-kotak al-Fikr, 1969), hlm. 40.
SAW, beliau mendengar dua orang ke genarasi. Maka ikhtilaf itu mesti harus
sahabat berbeda dan berdebat tentang dibedakan kepada yang dibolehkan dan
satu ayat, lalu beliau keluar dengan muka yang terlarang, al-mahmud wa al-madzmum,
marah seraya bersabda: al-maqbul wa al-mardud. Yang terpuji dan
ľ ǶȀǧȐÊƬƻƢƥ ǶǰǴƦǫ ÀÈ ƢǯÈ ǺÌ ǷÈ Ǯ
È ÈǴǿÈ ƢÈŶċʤ
dibolehkan adalah ikhtilaf yang terjadi di
kalangan sahabat, tabi‘in dan al-salaf al-
§ƢƬǰdz¦ shaleh, bahwa mereka berbeda manhaj dan
Sesungguhnya umat sebelum kalian hancur, istinbath semata-mata untuk mencari ridha
karena mereka berselisih soal al-Kitab. Allah dalam upaya mencari kebenaran
agama Allah dan rasul-Nya. Mereka
Demikian, Allah dan RasulNya berikhtilaf berdasarkan ilmu yang
mengingatkan umat agar selalu menahan mumpuni tentang agama Allah yang
diri dari ikhtilaf, dan para sahabat, Tabi‘in, dipahami dari al-Qur‘an dan al-Sunnah.
dan ulama salaf menyadari bahwa ikhtilaf Mereka ikhlas dan siap menerima
lebih banyak buruknya ketimbang pendapat lain yang mempunyai dasar
baiknya. Lebih-lebih bila ikhtilaf terjadi yang lebih kuat dan jelas, atau minimal
dalam politik yang dihubungkan dengan menghargai pendapat lain yang berbeda,
akidah, maka perpecahan tidak ter dan, sejauh itu berdasarkan dalil yang jelas dan
akibatnya, umat menjadi pecah dan tidak bertentangan dengan al-Qur‘an dan
lemah: al-Sunnah. Ikhtilaf dilakukan dengan
adab atau etika yang mulia dengan bahasa
SÉ WÙÝW*VÙ SÄÃWsX=V" YXT Ä VSÀyXqXT SÄÈk°»U XT santun dan bijaksana.21 Inilah ikhtilaf
yang dapat dikategorikan rahmat dan
\ÌW% D¯ àTÈnªÕXT ×ÅÈVf®q _ \FÖkV"XT bermanfaat bagi kekayaan khazanah
Islam dan kejayaan muslimin.
§¯¨ |Úϯnª¡
Sebaliknya, yang tercela dan terlarang
Dan taatlah kepada Allah dan rasulNya adalah ikhtilaf yang dilakukan atas dasar nafsu
dan janganlah kamu berbantah-bantahan, egoistis yang tujuannya memenangkan
yang menyebabkan kamu menjadi gentar perdebatan dan merendahkan lawan,
dan hilang kekuatan dan bersabarlah. dilakukan oleh orang-orang yang kurang
Sesungguhnya bersama orang yang sabar ilmu bahkan bodoh tentang Islam. Mungkin
(al-Anfal:46). saja, mereka adalah intelektual secara
akademis, karena sarjana, tetapi bukan
Kendati Allah dan RasulNya sangat sarjana tentang ilmu keislaman. Mereka
tegas mengingatkan agar muslimin jangan adalah sarjana muslim, tapi bukan sarjana
gampang berikhtilaf atau berselisih
pendapat, namun secara alami ini terus 21
Lihat Ibn Hazm al-Andalusi, al-Ihkam fi Ushul al-
terjadi dari zaman ke zaman, dari generasi Ahkam, juz 2 (Beirut: Dari al-Fikr, 1987), hlm. 22-23.
Islam. Mungkin hanya ditokohkan oleh dalam kasus ikhtilaf, setiap pendapat atau
masyarakat, dia pun merasa harus ajaran yang didengar seyogianya dihadapi
berpendapat termasuk tentang Islam. dengan hati-hati dan dicermati dengan
Adalah kenyataan bahwa sistem dan teliti.23
kurikulum pendidikan Islam sendiri saat
ini tidak terbayang mampu melahirkan Kesimpulan
alumni mujtahidmutlak dengan syarat Islam adalah agama yang haq,
minimal menguasai ulum al-Qur‘an, ulum dilaksanakan berdasarkan keimanan dan
al-Hadits, dan ushul al-Fiqh. ketakwaan yang murni, dibangun atas
Maka dalam menghadapi setiap dasar firman Allah dan sunnah Rasulullah,
perbedaan pemahaman dan pendapat dan dipelihara oleh ukhuwwah dan
keislaman yang pasti dan terus terjadi, ada keharmonisan umat yang terhormat.
beberapa prinsip etika yang seyogianya Agama ini sangat menjunjung tinggi
menjadi acuan. Ketika sebuah ikhtilaf peran akal, menghormati perbedaan
masih dalam kategori terpuji dan pendapat yang bermanfaat bagi khazanah
dibolehkan, kedua belah pihak, kalau harus ilmiah Islamiah, perbedaan yang
bertahan dengan pendapatnya, seyogianya berorientasi kepada kebenaran. Allah dan
tidak perlu menyalahkan apalagi mencela rasulNya mencela perbedaan atau ikhtilaf
pendapat yang lain. Inilah etika ikhtilaf yang berujung khilaf atau permusuhan
para sahabat, tabi‘in, dan ulama salaf, dan perpecahan, melarang ikhtilaf yang
termasuk para imam mazhab fikih yang bertujuan mencari kemenangan dan
empat dari Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah. melumpuhkan kawan seiman. Muslimin
Bagi umat, untuk menerima atau ruhama bainahum wa asyidda ‘ala al-kuffar,
menolak sebuah pendapat dalam ikhtilaf harmonis dan berkasih sayang antar
seharusnya eklektif dan selektif, harus sesama, tegas dan berani menumpas
dipertimbangkan apakah yang diikhtilafkan orang-orang kafir yang memusuhi dan
itu layak dan bermanfaat bagi Islam dan ingin menghancurkan Islam, dari luar
muslimin, apakah orang yang berpendapat maupun dalam.
tersebut memiliki kapasitas dan otoritas Muslimin seyogianya semaksimal
serta berkualitas mujtahid sesuai syarat yang mungkin menahan diri dari segala ikhtilaf
telah ditetapkan dan disepakati oleh para dan perbedaan, jangan suka berbanyak
ulama salaf dan khalaf.22 Tidak hanya tanya dan memperdebatkan masalah-
22
Saat ini, termasuk di Indonesia, banyak orang yang 23
Di Indonesia sering muncul oknum, tidak jelas
berani berpendapat bahkan berfatwa soal agama, padahal identitas dan latar belakang keilmuannya, membuat
dia secara akademis bukan ulama yang mumpuni. Umat gerakan dan membawa ajaran yang aneh, berbeda
seyogianya tidak terpengaruh dengan gelar kesarjanaan bahkan bertentangan dengan al-Qur‘an dan al-Sunnah,
dan popularitas seseorang. Ulama adalah cendikiawan, yang lazim dikenal dengan aliran sempalan yang sesat
tapi cendikiawan belum tentu ulama. dan menyesatkan.