Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PRODUKSI TERNAK UNGGAS


“Pengaruh Kandungan Protein Ransum terhadap Produksi Telur”
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Produksi Ternak
Unggas yang Diampu oleh Dr. Ir. Siti Wahyuni H.S., MS.

Oleh :
Kelas : C
Kelompok : 6

Irma Sukmawati 200110150076


Fita Nur Hania 200110150088
Destyana Aulia K 200110150238
Jeffry Adi Nababan 200110150248
Eka Setiawan P.S 200110150253

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah Subhanahuwata’ala karena


atas berkah, rahmat, dan karunia-Nya penyusunan makalah mata kuliah Produksi
Ternak Unggas dalam judul “Pengaruh Kandungan Protein Ransum terhadap
Produksi Telur” ini dapat terselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Dr. Ir. Siti Wahyuni H.S., MS.
2. Teman-teman yang telah membantu pelaksanaan penyusunan makalah.
Penulis berharap makalah Pengaruh Kandungan Protein Ransum terhadap
Produksi Telur ini dapat bermanfaat bagi pembaca serta menjadi informasi ilmiah
serta penulis meminta kritik dan saran yang membangun agar tidak terjadi
kesalahan di penyusunan makalah selanjutnya.

Sumedang, April 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

BAB Halaman

KATA PENGANTAR........................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................... iii

I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................. 2
1.3 Tujuan.................................................................................................. 2

II PEMBAHASAN
2.1 Faktor Genetik...........................................................................................3
2.2 Faktor Lingkungan....................................................................................3
2.2.1 Kuantitas dan Kualitas Ransum..........................................................3
2.2.2 Sistem Perkandangan..........................................................................7
2.2.3 Program Pengendalian Penyakit........................................................11
2.3 Pengaruh Kandungan Protein Ransum terhadap Produksi Telur............13
2.3.1 Menurut Jurnal Effects of Dietary Supplementation with Red
Yeast Rice on Laying Performance, Egg Quality and Serum
Traits of Laying Hens.......................................................................13
2.3.2 Menurut Jurnal Effect of Energy and Protein on Performance
Egg Components, Egg Solids, Egg Quality, and Profits in
Molted Hy-Line W-36 Hens.............................................................15
2.3.3 Menurut Jurnal Effects of Dietary Supplementation with Red
Yeast Rice on Laying Performance, Egg Quality and Serum
Traits of Laying Hens.......................................................................16

III KESIMPULAN.......................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................18

LAMPIRAN................................................................................................21

iii
1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Telur adalah salah satu bahan pangan hewani dengan kualitas nutrisi yang
paling baik dari hasil ternak unggas yang memiliki sumber protein hewani.
Menurut sumbernya protein dibagi menjadi dua golongan yaitu protein nabati dan
hewani, protein hewani merupakan protein sempurna karena mengandung asam
amino lisin dan metionin yang diperlukan dalam pertumbuhan dan perawatan
jaringan. Protein hewani salah-satunya dapat diperoleh dari telur. Beberapa faktor
yang mempengaruhi produksi ayam petelur antara lain kemampuan genetik,
pemberian ransum, dan kualitas ransum. Kualitas ransum yang baik dapat dilihat
dari kandungan nutrient dan keseimbangannya. Protein, energi, mineral dan
kalsium menjadi acuan dalam menyusun ransum unggas, karena nutrien tersebut
sangat penting bagi pertumbuhan yang dapat menunjang produktivitas pada
periode selanjutnya.
Pemeliharaan ayam petelur periode pertumbuhan pada umur 12 – 20
minggu harus digunakan ransum dengan protein yang tinggi karena, laju
pertumbuhan secara total sudah mulai meningkat. Dengan meningkatnya kualitas
bibit ayam ras petelur maka, pertumbuhannya menjadi lebih cepat, dewasa
kelamin lebih dini dan puncak produksi dicapai lebih cepat karenanya konsep
pemberian ransum dengan kandungan protein yang tinggi. Pada saat memasuki
periode produksi (umur 20 minggu) pertumbuhan organ reproduksi harus optimal
guna mempersiapkan pertumbuhan folikel dan penimbunan material guna
pembentukkan telur serta persiapan awal produksi guna mencapai puncak
produksi yang tinggi. Oleh karena itu, pada saat pemeliharan ayam petelur harus
diberi ransum dengan kadar protein yang tinggi agar produksi telurnya akan
optimal.

1.2 Rumusan Masalah


1. Faktor genetik apa saja yang mempengaruhi produksi telur.
2

2. Faktor lingkungan apa saja yang mempengaruhi produksi telur.


3. Bagaimana pengaruh kandungan protein ransum terhadap produksi telur.

1.3 Maksud dan Tujuan


1. Untuk mengetahui faktor genetik yang mempengaruhi produksi telur.
2. Untuk mengetahui faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi telur.
3. Untuk mengetahui pengaruh kandungan protein ransum terhadap produksi
telur.
3

II

PEMBAHASAN

2.1. Faktor Genetik yang Mempengaruhi Produksi Telur


Faktor genetik yang mempengaruhi produksi telur adalah umur masak
kelamin seperti yang disebutkan Apriyantono (1997) bahwa faktor genetik
merupakan faktor yang menentukan kemampuan produksi, semakin cepat ayam
memasuki umur masak kelamin maka semakin lama dan semakin tinggi
produktivitasnya. Sehingga dalam pemeliharaan ternak unggas untuk
mendapatkan produski telur yang tinggi perlu dilakukan penyeleksian agar dapat
memilih ternak dari keturunan yang mempunyai produksi telur yang tinggi pula.
Selain itu faktor genetik ditentukan oleh jenis strain ternak yang
dipelihara. Pemilihan strain merupakan salah satu langkah awal yang harus
ditentukan agar pemeliharaan berhasil. Di Indonesia ayam yang sering diternakan
adalah strain Isa Brown dan Lohman. Menurut PT. Charoen Pokphand Jaya Farm
Indonesia (2006), kelebihan strain Isa Brown adalah produktivitas tinggi (selain
produksi telur juga produksi daging), konversi ransum rendah, kekebalan dan
daya hidup tinggi, dan pertumbuhan yang baik. Ayam betina strain Lohman
memiliki umur awal produksi pada 19-20 minggu dan pada umur 22 minggu
produksi telur mencapai 50 %. Selain itu juga, berat tubuh strain Lohman pada
umur 20 minggu sekitar 1,6-1,7 kg dan akhir produksi 1,9-2,1 kg. Puncak
produksi strain Lohman mencapai 92-93 %, dengan FCR sebesar 2,3-2,4 serta
tingkat kematiannya sampai dengan 2-6 %.

2.2 Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Produksi Telur

2.2.1 Kualitas dan Kuantitas Ransum

Kualitas telur adalah istilah umum yang mengacu pada beberpa standar

yang menentukan baik kualitas internal dan eksternal. Kualitas eksternal


4

difokuskan pada kebersihan kulit, bentuk, warna, dan keutuhna telur. Kualitas

telur internal menacu pada putih telur, kebersihan, viskositas, ukuran sel udara,

bentuk kuning telur dan kekuatan kuning telur. Penurunan kualitas interior dapat

diketahui dengan menimbang bobot telur dan memecah telur untuk diperikasa

kondisi di dalamnya (North dan Bell, 1990).

Komposisi fisik dan kualitas telur dipengaruhi oleh beberapa faktor

diantaranya bangsa ayam, umur, musim, penyakit dan lingkungan, dan hal yang

utama adalah pakan yang diberikan. Kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan

sangat menentukan terhadap produksi dan kualitas telur baik secara fisik atau

kimiawi. Produksi telur akan tercapai maksimal apabila kualitas pakan yang

diberikan mencakupi sesuai umur dan tatalaksana pemeliharaan yang baik

Suplementasi asam amino lisin sebanyak 0,10% dan 0,20% kedalam ransum basal

yang mengandung lisin 0,70%, tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap bobot

telur, indeks telur, daya tunas dan daya tetas telur (Saharai, 2012).

Berbagai penelitian yang dilakukan dalam pengujian bahan pakan


umumnya adalah dengan menggunakan ayam ras, karena ayam ras lebih seragam
penampilannya dan lebih sensitif terhadap perubahan kualitas pakan dibandingkan
ayam buras. Oleh karena itu, apa yang dikemukakan dalam makalah ini lebih
banyak merupakan hasil pengujian pada ayam ras. Prinsip umum yang dapat
digunakan dalam penggunaan bahan pakan untuk ayam buras adalah batas yang
aman pada ayam ras adalah aman bagi ayam buras.

Terdapat banyak ransum yang dapat mempengaruhi produksi telur,


Diambil yang sangat berpengaruh dan berasal dari pakan lokal diantaranya :

A. Dedak
Penggunaan dedak dalam ransum ayam buras sedang bertumbuh hingga
50% dapat dilakukan asalkan diikuti dengan suplementasi kalsium yang cukup
5

(Nataamijaya et al., 1992). Sementara itu, pada ayam buras dewasa (petelur)
pemberian hingga 60% masih dapat menghasilkan produksi telur yang cukup baik
(Gultom et al., 1989).
B. Singkong dan Hasil Ikutannya
Tepung singkong/gaplek mempunyai kandungan karbohidrat atau sumber
energi yang tinggi, hampir menyamai jagung, akan tetapi miskin kandungan
protein (sekitar 2%) dan asam amino. Daun singkong mempunyai kandungan
protein yang cukup tinggi (21-30% dari bahan kering).
Penggunaan tepung gaplek dalam ransum ayam ras sudah banyak
dilaporkan dengan rekomendasi batas penggunaan maksimum antara 20% hingga
40% untuk ransum bentuk tepung dan 50% hingga 60% untuk ransum bentuk
pelet (Ravindran dan Blair, 1991).
Karnadi dan Sulaeman (1997) melaporkan penggunaan produk fermentasi
singkong dengan Trichoderma harzianum, hingga 15% dalam ransum ayam
petelur tanpa menyebabkan penurunan produksi dan kualitas telur yang
dihasilkan. Pemberian onggok fermentasi pada tingkat yang lebih tinggi lagi,
ternyata menyebabkan penurunan dalam produksi ternak tersebut.

C. Bungkil Kelapa
Scott et al. (1982) dan Panigrahi (1989) mengemukakan bahwa
penggunaan bungkil kelapa hingga 40% dalam ransum ayam broiler atau petelur
dapat dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan asam amino dalam
ransum. Menurut Ravindran dan Blair (1992), batas penggunaan bungkil kelapa
dalam ransum ayam adalah 20%, meskipun ada yang melaporkan pemberian
hingga 40% dengan hasil yang cukup baik pada ayam petelur.
D. Ampas Tahu
Dalam ransum ayam ras, penggunaan ampas tahu kering biasanya tidak
lebih dari 5%. Akan tetapi, setelah ampas tahu diolah (fermentasi dengan
menggunakan ragi tempe), dapat digunakan hingga 12% dalam ransum ayam
pedaging tanpa mengganggu pertumbuhan (Nur et al., 1997). Penggunaan ampas
tahu segar untuk ransum ayam buras sudah diujicobakan oleh peternak di
Kalimantan Timur dengan hasil yang memuaskan (Winarti dan Bariroh, 1998).
6

Jumlah ampas tahu segar yang diberikan untuk anak ayam adalah 30 g/ekor/hari
dan untuk ayam petelur 75 g/ ekor/hari.
E. Limbah Sawit
Tingginya kadar serat kasar (16-27%) dan kadar abu (13-25%) dalam
lumpur sawit, di samping ketersediaan asam amino yang rendah, menjadi faktor
pembatas dalam pemanfaatannya untuk bahan pakan ternak monogastrik. Yeong
dan Azizah (1987) mengemukakan bahwa batas penggunaan lumpur sawit dalam
ransum ayam pedaging dan ayam petelur, masing-masing adalah 15% dan 10%.
Hasil penelitian di Sumatera Utara melaporkan bahwa penggunaan lumpur sawit
kering hingga 10% dalam ransum ayam buras masih menghasilkan pertumbuhan
yang cukup bagus (Scott dkk., 1982).
F. Kepala Udang
Penelitian Rahardjo (1985) menunjukkan bahwa pemberian tepung kepala
udang hingga 30% dalam ransum itik petelur menghasilkan produksi telur dan
efisiensi yang lebih baik dari kontrol. Di samping itu, adanya pigmen astaxanthin
dalam tepung kepala udang menjadikan warna kuning telur lebih baik (kuning-
kemerahan). Penggunaan 37,5% cangkang udang kering dalam ransum ayam
yang cukup baik. Sementara itu, untuk anak ayam buraspemberian 5,2% dalam
ransum dapat memberikan pertumbuhan yang cukup baik, yaitu dengan berat 669
g pada umur 8 minggu (Kompiang et al., 1994).
G. Bekicot atau Keong
Bekicot cukup banyak dijumpai di sawah atau tanaman yang cukup basah
dan sering dianggap sebagai hama tanaman. Bekicot dapat diolah menjadi
makanan ternak karena mengandung protein yang cukup tinggi dan dapat
digunakan sebagai pengganti tepung ikan. Bekicot dapat diolah menjadi tepung
atau silase bekicot. Tepung bekicot mengandung protein 44- 62%, sedangkan
silase bekicot mengandung protein 18,7%. Penggunaan tepung bekicot (Achatina
fulica) hingga 22,6% atau silase bekicot hingga 32% dalam ransum tidak
menyebabkan gangguan produksi ayam petelur (Kompiang, 1984).
7

Harmentis et al. (1998) telah mencoba membuat tepung daging keong mas
(Pomacea canadiculata) untuk pakan ayam. Tepung daging keong Mas dibuat
dengan terlebih dahulu direndam dalam larutan kapur 5% selama 60 menit dan
kemudian dikeringkan dengan sinar matahari. Tepung keong Mas ini mempunyai
kandungan protein kasar 46,2%, metionin 0,3%, lisin 1,37%, lemak 5,15%, serat
kasar 1,43%, kalsium 2,98%, dan fosfor 0,35% serta dapat digunakan dalam
ransum ayam broiler sebanyak 4%.
Dalam hal ini, kualitas dan kuantitas ransum sangatlah mempengaruhi
produksi telur. Dari segi kualitas ransum dapat dilihat di jurnal Penggunaan
Bahan Pakan Lokal Dalam Pembuatan Ransum Ayam Buras oleh A. P. Sinurat,
menyatakan banyak perbedaan pengaruh bahan pakan lokal yang diberi kepada
ayam dibandingkan dengan bahan pakan yang sudah diolah secara modern dan
diikuti dengan bertambahnya zat-zat ilmiah yang sangat penting terhadap ayam
tersebut.

2.2.2 Sistem perkandangan

Upaya untuk membuat ternak nyaman tidak hanya didasarkan pada sains,

tetapi juga pada nilai manusiawi dan etika. Penyediaan ruang kandang pada ayam

petelur yang nyaman menyebabkan peningkatan jumlah telur, menekan kematian,

menekan cekaman, dan berkurangnya rasa takut. Ketidak nyamanan ruang gerak

menyebabkan ayam menurunkan konsumsi pakan. Pada kondisi lingkungan yang

kurang sehat, ayam dapat menderita luka akibat gesekan dengan sisi kandang dan

saling patuk sesama. Secara ekonomis, ruang yang disediakan dalam sistem

pemeliharaan ayam secara intensif harus dihitung seefisien mungkin. Penyediaan

ruang yang terlalu sempit meskipun lebih murah, dalam jangka panjang menekan

produktifitas, sebagai akibat kekurang-nyamanan (Craig dan Milliken, 1989).

a. Pada Kandang Litter


8

Menurut Setiawati (2016), Kandang Sistem Litter bobot telur baik pada

suhu 18o C dan suhu 30o C tidak berbeda secara statistik, meskipun bobot telur

pada suhu 18o C lebih rendah dibandingkan dengan bobot telur pada suhu 30 o C.

Bobot telur dalam hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya konsumsi

pakan, hen day production dan massa telur. Egg mass menunjukkan hasil yang

tidak berbeda antara kedua suhu (18o C dan 30o C). Hal tersebut dikarenakan

bobot telur pada suhu 18o C lebih rendah dibandingkan dengan suhu 30o C. Nilai

egg mass yang diperoleh dari perkalian HDP dan bobot telur menunjukkan hasil

tidak berbeda. Kualitas interior berhubungan dengan karakteristik fungsional telur.

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas interior yaitu pebedaan suhu

selama pemeliharaan. Suhu tinggi menyebabkan ayam melakukan panting

sehingga terjadi penurunan konsentrasi CO2 di dalam darah. CO2 yang

dikeluarkan pada saat panting bersamaan dengan air dan panas tubuh.

Berkurangnya CO2 dalam darah mempengaruhi proses pembentukan kerabang.

Terbentuknya kerabang karena adanya ion kalsium dan ion karbonat. Ion karbonat

terbentuk karena adanya CO2 dalam darah sebagai hasil metabolisme sel yang

terdapat pada uterus. Adanya H2O merombak kedua ion tersebut dibantu oleh

enzim carbonic anhydrase yang dihasilkan oleh sel mukosa uterus menjadi ion

bikarbonat dan selanjutnya menjadi ion karbonat setelah hidrogen lepas. Selain

itu, proses metabolisme di dalam tubuh ayam pun berubah (Roberts dan Ball

1998). Rataan tebal kerabang pada suhu 18o C sama dengan suhu 30o C. Suhu

tinggi belum menunjukkan pengaruh nyata terhadap tebal kerabang.

b. Pada Kandang Cage


9

Bobot telur pada suhu 18o C dan suhu 30o C menunjukkan hasil yang

berbeda secara statisik. Bobot telur pada suhu 18o C lebih tinggi dibandingkan

dengan suhu 30o C. Bobot telur dan produksi telur berkorelasi negatif terhadap

suhu. Penurunan produksi telur dan bobot telur yang terjadi disebabkan oleh suhu

tinggi. Suhu diatas 27o C memberikan pengaruh negatif terhadap konsumsi pakan

dan bobot telur. Suhu lingkungan yang tinggi membutuhkan energi yang lebih

banyak untuk pengaturan suhu tubuh, sehingga mengurangi penyediaan energi

untuk produksi telur (Latipudin dan Mushawwir 2011). Indeks telur tidak

dipengaruhi oleh suhu atau sistem perkandangan. Kerabang telur sebagian besar

disusun oleh kalsium. Rataan tebal kerabang pada suhu 18 o C dan 30o C tidak

berbeda secara statistik meskipun rataan tebal kerabang pada suhu 18o C lebih

tinggi. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Grieve (2004) bahwa pada lingkungan

yang panas, ayam bereaksi dengan meningkatkan laju pernapasan (panting) untuk

mengeluarkan panas tubuh. Hal ini menyebabkan penurunan CO2 dalam darah dan

pH darah menjadi basa. Barbosa dkk (2006) menyatakan, semakin tinggi pH

darah maka jumlah kalsium dalam darah yang digunakan untuk pembentukan

kerabang semakin berkurang, akibatnya kerabang menjadi lebih tipis. Nilai Haugh

Unit pada kandang cage dengan suhu 18o C lebih tinggi dibandingkan dengan

suhu 30o C meskipun secara statistik tidak berbeda. Keduanya masih termasuk

dalam kategori AA menurut USDA (1964), karena nilai HU >72. Telur pada

kandang cage lebih bersih karena telur ayam tidak jatuh ke bedding, melainkan ke

tempat telur di bagian depan kandang cage. Telur pada penelitian ini termasuk

dalam kategori AA, karena pengukuran kantung udara dilakukan pada saat telur

masih segar dan belum tersimpan lama dalam ruang. Kantung udara mulai

terbentuk ketika telur disimpan pada suhu ruang.


10

Berdasarkan hipotesis awal, ayam petelur yang dipelihara pada suhu

lingkungan 30o C memiliki performa produksi dan kualitas telur yang lebih

rendah. Hal tersebut tidak sejalan dengan hasil penelitian ini. Hasil penelitian

menunjukkan performa produksi dan kualitas telur hampir sama antara suhu 18 o C

dan 30o C, baik pada sistem kandang litter maupun cage. Masing-masing sistem

kandang yaitu litter dan cage memiliki kekurangan dan kelebihan. Ditinjau dari

segi kesejahteraan ternak, ayam pada sistem litter akan lebih sejahtera karena

ruang gerak ayam yang lebih luas. Namun kekurangan sistem ini yaitu telur yang

langsung terletak pada alas (bedding) akan lebih mudah terkontaminasi oleh

bakteri, mengingat ayam pada kandang litter akan membuang kotorannya di

sekitar alas. Tetapi hal ini dapat diatasi dengan penambahan sarang untuk ayam

bertelur, sehingga kemanan dan kebersihan telur dapat terjaga. Kandang cage

merupakan kandang yang populer digunakan peternak ayam petelur di Indonesia,

tetapi pada peternakan pembibitan (breeder) ayam pada kandang cage tidak dapat

bebas bergerak karena keterbatasan ruang dan hal ini bertentangan dengan

kesejahteraan ternak. Performa produksi ayam pada sistem cage lebih baik karena

penggunaan pakan difokuskan untuk menghasilkan telur (Setiawati, 2016)

Kondisi yang ada saat ini membuat konsumen lebih menyukai produk

peternakan dari sistem free-range, sebab diketahui bahwa ayam yang dipelihara

dari sistem free-range adalah sehat dan memproduksi produk dengan kualitas

yang tinggi. Survei terhadap tanggapan publik mengindikasikan bahwa

pemeliharaan dengan system free-range memberikan rating tertinggi diantara

berbagai sistem produksi ternak. Pemeliharaan yang lebih alami dan peningkatan

aktivitas dari ayam dapat menurunkan kadar lemak, kolesterol dan residu

antibiotik pada telur (Bell, 2002)


11

2.2.3 Program Pengendalian Penyakit

Dalam usaha peternakan komersial, pemenuhan kebutuhan akan protein

mengambil biaya terbesar dari total biaya ransum. Karena alasan inilah,

pembatasan protein dalam ransum secara sembarangan akan berakibat sangat

fatal. Kebutuhan protein harus mewakili kebutuhan semua asam amino esensial

yang juga dibutuhkan oleh ayam. Beberapa bahan baku ransum memiliki satu atau

dua kandungan asam amino yang rendah. Contohnya jagung dan dedak yang

masih rendah kandungan lysine-nya atau bungkil kedelai yang rendah asam amino

methionine. Jika kandungan protein dalam ransum tidak memenuhi kebutuhan

protein ayam, maka pertumbuhan ayam akan lambat. Gejala defisiensi asam

amino juga tidak terlihat spesifik, gejalanya hanya terlihat dari pertumbuhan

lambat, konsumsi menurun atau penurunan produksi telur dan ukuran telur. Untuk

mengefisienkan biaya, defisiensi asam amino ini dapat diatasi dengan penggunaan

suplemen yang mengandung asam amino (Top Mix). Namun kandungan protein

ransum yang melebihi kebutuhan akan dirombak menghasilkan nitrogen sebagai

cikal bakal diproduksinya asam urat untuk pembentukan amoniak (Agustina,

2009).

Upaya mengatasi stress atau cekaman ini banyak digunakan bahan pakan

herbal sebagai feed supplement untuk menghambat pertumbuhan

mikroorganisme dan membunuh mikroba patogen yang mengganggu

metabolisme tubuh, sistem pencernaan dan absorbsi nutrisi (Scott dkk., 1982).

Pemberian antibiotika pada unggas dapat meningkatkan pertumbuhan,

mengurangi penyakit, dan menghasilkan produksi telur yang tinggi

(Kartasudjana, 2006.). Salah satu bahan pakan herbal yang digunakan adalah

jahe merah. Namun metode pemberian dan taraf pemberian jahe merah pada
12

unggas terkhusus ayam kampung belum diketahui, sehingga perlu dilakukan

penelitian tentang pengaruh jahe merah dalam ransum ayam kampung periode

layer.

Melalui penambahan tepung jahe merah dalam ransum diharapkan akan

meningkatkan penyerapan nutrisi dari ransum dengan kandungan nutrien yang

seimbang dan menghambat pertumbuhan bakteri patogen sehingga metabolisme

dalam tubuh ternak berjalan dengan baik yang dapat mempengaruhi laju bobot

badan, dimana bobot badan merupakan salah satu faktor yang menentukan

pencapaian produksi telur ayam kampung. Antibakteri akan menetralisir racun

yang menempel pada dinding usus, sehingga penyerapan zat nutrisi yang penting

dalam mempengaruhi produksi telur seperti protein dan kalsium menjadi lebih

baik, sebagaimana kerja antibiotik sebagai growth promotor.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan tepung jahe merah

(Zingiber officinale var. Rubrum) dalam ransum terhadap laju bobot badan dan

produksi telur tidak berpengaruh pada ayam kampung periode layer hingga umur

(26-32 minggu).Sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan metode

pemberian dan tarafpenambahan tepung jahe merah (Zingiber officinale var.

Rubrum) untuk melihat pengaruh penambahan tepung jahe merah tersebut

terhadap laju bobot badan dan produksi telur ayam kampung

2.3 Pengaruh Kandungan Protein Ransum terhadap Produksi Telur


13

2.3.1 Menurut Jurnal Pengaruh Protein Ransum Saat Periode


Pertumbuhan Terhadap Performans Produksi Telur Saat Periode
Produksi Pada Ayam Ras Petelur Tipe Medium
Ayam petelur merupakan salah satu komoditi ternak penyumbang protein
hewani yang mampu menghasilkan produk yang bergizi tinggi. Tingkat nilai gizi
dari hasil produksi ayam petelur mengacu pada kualitas telur baik kualitas
eksternal dan internal. Kualitas telur dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
bangsa ayam, penyakit, pakan yang diberikan dan juga perlakuan terhadap telur
tersebut (Apriyantono et.al, 1997). Menurut Romanoff (1963), persentase kuning
telur, putih telur dan kerabang tidak selalu sama tetapi telur-telur dari suatu
spesies yang sama umumnya mempunyai proporsi dan komposisi yang sama
sesuai dengan ransum yang diberikan karena faktor ransum dapat mempengaruhi
proporsi komposisi telur serta kualitas telur ayam. Protein merupakan salah satu
nutrien yang perlu diperhatikan baik dalam menyusun ransum maupun dalam
penilaian kualitas suatu bahan. Protein dibutuhkan oleh ayam yang sedang
tumbuh untuk hidup pokok, pertumbuhan bulu dan pertumbuhan jaringan ( Scott
dkk., 1982 ). Hal ini juga sesuai menurut Tillman dkk., (1996) menyatakan bahwa
tubuh ternak dibangun dari zat – zat makanan yang diperoleh dari ransum yang
dikonsumsi dan komposisi tubuh ternak dipengaruhi oleh umur, jenis ternak dan
makanan yang dimakan.
Peningkatan taraf protein menjelang periode produksi mengakibatkan
meningkatnya total egg mass walaupun persentase produksi telur tidak berbeda.
(Cave, 1984; Lilburn dan Myer-Miller, 1990; Keshavarz dan Nakajima ,1995).
Pada salah satu penelitian, tampak bahwa penggunaan taraf protein ransum 12-
18% pada periode pertumbuhan (umur 12-20 minggu) tidak berpengaruh pada
rataan total persentase produksi telur selama periode produksi telur fase I (umur
21-44 minggu), taraf protein ransum yang tinggi (18 %) pada saat periode
pertumbuhan hanya berpengaruh positif terhadap persentase produksi telur,
eggmass dan konversi ransum yang lebih tinggi pada saat awal periode produksi
(umur 21-24 minggu) dibandingkan protein sedang (15 %) dan rendah (12 %).
14

Dengan demikian hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada saat periode
pertumbuhan akhir atau developer (umur 12-20 minggu) dapat digunakan taraf
protein ransum dengan kisaran yang luas untuk memperoleh performan produksi
yang memadai. Hal ini sesuai dengan pendapat Holcombe dkk., (1976) dan Scott
dkk., (1982), bahwa pada periode pertumbuhan ayam petelur dara mampu
memanfaatkan ransum dengan kisaran taraf protein yang luas untuk memperoleh
performans yang memadai pada saat periode produksi. Menurut (Keshavarz,
1984) bahwa penggunaan taraf protein tinggi pada periode pertumbuhan
memberikan keuntungan ekonomis lebih baik dibandingkan taraf protein rendah
karena meningkatnya egg mass selama periode produksi. Sedangkan taraf protein
rendah dapat memberikan keuntungan karena biaya ransum yang rendah pada saat
periode pertumbuhan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat retensi protein adalah konsumsi
protein dan energi termetabolis ransum. Konsumsi protein yang tinggi akan diikuti
dengan retensi protein yang tinggi serta akan terjadi penambahan bobot badan bila
energy dalam ransum cukup, tetapi bila energy ransum rendah tidak selalu diikuti
dengan peningkatan bobot badan. Nieto dkk., (1995) menyatakan besarnya protein
yang di retensi tergantung dari banyaknya asam amino yang diberikan dan
tergantung pada kualitas dan kuantitas dari protein ransum. Meningkatnya retensi
protein menyebabkan meningkatnya pertumbuhan. Hal ini disebabkan karena
semakin banyaknya protein yang digunakan untuk menyusun komponen tubuh
ayam. Meningkatnya retensi protein juga didukung oleh meningkatnya kandungan
energi metabolis ransum. Wahyu (1992) menyatakan bahwa tingkat retensi protein
dipengaruhi oleh konsumsi protein dan energi termetabolis ransum. Selanjutnya
Lloyd dkk., (1978) menyatakan bahwa jumlah protein yang diretensi akan
menentukan tinggi rendahnya produksi atau pertumbuhan ayam. Telur konsumsi
yang diproduksi oleh ayam merupakan deposisi nutrisi dari pakan oleh karena itu,
kualitas telur akan sangat dipengaruhi oleh kualitas nutrisi dari pakan. Oleh
karena itu, untuk memenuhi kebutuhan protein sesempurna mungkin, maka asam
15

asam amino essensial harus disediakan dalam jumlah yang tepat dalam ransum
(Anggorodi, 1985).

2.3.2 Menurut Jurnal Effect of Energy and Protein on Performance Egg

Components, Egg Solids, Egg Quality, and Profits in Molted Hy-Line

W-36 Hens.
Menurut P. Gunawardana, D. A. Roland, Sr. M. M. Bryant (2008) protein
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap produksi telur, massa telur, asupan
pakan, konversi pakan, berat telur, persentase komponen kulit telur, warna kuning
telur, kuning telur dan albumen. Sebagai energi diet meningkat dari 0 sampai 238
kkal ME / kg dengan penambahan minyak unggas, asupan pakan menurun secara
linier. Peningkatan energi makanan juga meningkat secara signifikan pada warna
kuning telur dan kuning telur. Seiring meningkatnya energi makanan, persentase
padatan kuning telur meningkat pada 2 tingkat protein diet yang lebih besar,
sedangkan gravitasi spesifik telur menurun secara linear pada tingkat protein
17,38%. Peningkatan energi dan protein pakan secara signifikan meningkatkan
konversi pakan. Peningkatan asupan protein meningkatkan kadar albumen dan
kuning telur secara signifikan namun tidak berpengaruh pada kandungan kuning
telur, albumen. Energi makanan dan protein mewakili sekitar 85% dari total biaya
pakan. Saat ini, tingkat energy (2.685 sampai 3.100 kkal ME / kg) dan tingkat
protein (14,5 sampai 19%) digunakan oleh industri telur selama fase molt 1.
Sejumlah penyelidikan telah berfokus pada metode yang mempengaruhi
berat telur melalui manipulasi makanan selama berbagai tahap produksi.
Peningkatan kadar protein, lemak, metionin, lisin dan asam linoleat telah
menghasilkan perbaikan pada berat telur. Warna kuning telur memiliki pengaruh
yang cukup besar terhadap pemasaran telur. Studi tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi intensitas warna kuning telur adalah signifikansi ekonomi bagi
produsen telur. Warna kuning telur tergantung pada karotenoid yang larut dalam
lemak dalam makanan. Bukti eksperimental mengenai efek penambahan lemak
pada warna kuning telur memang kontradiktif. Sullivan, Holleman, Madiedo,
16

Sunde melaporkan bahwa lemak makanan tambahan tidak berpengaruh pada


warna kuning telur; Namun, Mackay dkk dan Stevans dkk melaporkan bahwa
lemak tambahan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap warna kuning telur.
Peningkatan protein diet secara signifikan meningkatkan konsumsi pakan,
produksi telur, berat telur, massa telur, dan albumen dan berat kuning telur.
Namun, peningkatan protein diet secara signifikan menurunkan berat jenis telur,
warna kuning telur, dan persentase tempurung kelapa. Konversi pakan
ditingkatkan dengan peningkatan protein makanan.
2.3.3 Menurut Jurnal Effects of Dietary Supplementation with Red Yeast
Rice on Laying Performance, Egg Quality and Serum Traits of Laying
Hens
Menurut Hong Sun, Yifei Wu, Xin Wang, Yong Liu, Xiaohong Yao,
Jianwu Tang (2015) telur ayam dikenal sebagai sumber protein, lipid, vitamin dan
nutrisi berharga lainnya yang sempurna, namun telur juga mengandung kolesterol
tinggi, yang sangat terkait dengan penyakit kardiovaskular. Tingkat yang
disarankan saat ini untuk asupan harian kolesterol kurang dari 300 mg dan orang
sering membatasi konsumsi telur mereka untuk menghindari peningkatan kadar
kolesterol darah. Suplementasi makanan yang sesuai dengan nasi ragi merah dapat
menurunkan kadar kolesterol serum dan kuning telur dan meningkatkan kualitas
telur pada ayam petelur tanpa penurunan kinerja peletakan. Dosis optimal dari
ragi merah dapat 5 g/kg dalam kondisi percobaan saat ini, walaupun penelitian
lebih lanjut masih diperlukan untuk menjelaskan pengaruh nasi ragi merah
terhadap nutrisi unggas pada tingkat tambahan yang berbeda.
17

III
KESIMPULAN

1. Faktor genetik yang mempengaruhi produksi telur adalah umur masak kelamin
dan tipe strain yang dipelihara.

2. Faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi telur adalah kualitas dan


kuantitas ransum, sistem perkandangan dan program pengendalian penyakit.

3. Pengaruh kandungan protein ransum terhadap produksi telur adalah


penggunaan taraf protein tinggi pada periode pertumbuhan memberikan
keuntungan ekonomis lebih baik dibandingkan taraf protein rendah karena
meningkatnya egg mass selama periode produksi
18

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, L dan S. Purwanti. 2009. Ilmu Nutrisi Unggas. Lembaga


Pengembangan Sumberdaya Peternakan (INDICUS). Makasar

Anggorodi, R. 1985. Kemajuan Mutakhir Dalam Ilmu Makanan Ternak Unggas.


Universitas Indonesia Press. Jakarta

Apriyantono, et.al. 1997. Kualitas Telur Ayam Omega 3. Prosiding Seminar


Teknologi Pangan. Hal. 245-250.

Barbosa JAD, Silva MAN, Silva IJO, Coelho AAD. 2006. Egg quality in layers
housed in different production systems and submitted to two environmental
conditions. Brzil (BR): Departamento de Engenharia Rural. 2: 150- 204.

Bell, D.D. 2002. Cage management for layers. In Commercial Chicken meat and
Egg Production, 5th ed. D.D. Bell and W.D. Weaver, Jr., (Eds)
KluwerAcademic Publishers, Norwell, MA.

Cave, N.A.D. 1984. Effect of high protein diet fed prior to the onset of lay on
performance of Broiler breeder pullets. Poultry Sci. 63:1823- 1827.

Craig, J.V. and G.A. Milliken. 1989. Further studies of density and group size
effects in caged hens of stocks differing in fearful behavior: Productivity and
behavior. Poult. Sci. 68: 9-16.

Grieve D. 2004. Environmental stress and amelioration in livestock production.


Australian Jurnal Expo Agricultural. 34: 285-295.

Gultom, D., D. Wiloeto, dan Primasari. 1989. Protein dan Energi Rendah dalam
Ransum Ayam Buras Periode Bertelur. Pros. Seminar Nasional Tentang
Unggas Lokal. Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro. Semarang.
hal. 51-57.

Halcombe, D.J., D.A. Roland, Sr., and R.H. Harms. 1976. The ability of hens to
regulate protein intake when offered a choice of diets contain- ing different
levels of protein. Poultry Sci 55: 1731-1737.

Harmentis, Y. Martinda, dan Nuraini. 1998. Pengaruh Pemberian Tepung Daging


Keong Mas (Pomacea canadiculata) yang Diolah dengan Batu Kapur
dalam Ransum Terhadap Performa Ayam Broiler. J. Peternakan dan
Lingkungan 4:20-25.
19

Hong Sun, Yifei Wu, Xin Wang, Yong Liu, Xiaohong Yao & Jiangwu Tang. 2015.
Effects of Dietary Supplementation with Red Yeast Rice on Laying
Performance, Egg Quality and Serum Traits of Laying Hens. Italian Journal
of Animal Science, 14:3, 4059.

Kartasudjana, R. 2006. Manajemen Ternak Unggas. Fakultas Peternakan.


Universitas Padjajaran Press. Bandung.

Keshavardz, K. 1984. The effect of reducing dietary protein in the rearing and
laying periods on performance and net return of commercial strain of White
Leghorn Chicken. Poultry Sci. 63: Suplement 1 (Abstract).

Kompiang, I. P. 1984. Silase Bekicot-Onggok Singkong dalam Ransum Ayam


Petelur. Ilmu dan Peternakan 6:227- 230.

Latipudin D, Mushawwir A. 2011. Regulasi panas tubuh ayam ras petelur fase
grower dan layer. Jurnal Sains Peternakan Indonesia. 6(2): 77-82.

Mirza. 1994. Penelitian Sistem Usaha Tani Beternak Ayam Buras di Lahan
Pekarangan Petani Tanaman Pangan. Laporan Penelitian. Sub Balai
Penelitian Ternak Sei Putih. Medan.

Nataamijaya, A.G., A.P. Sinurat, A. Habibie, Yulianti, Nurdiani, Suhendar, dan


Subarna. 1992. Pengaruh Penambahan Kalsium Terhadap Anak Ayam
Buras yang Diberi Ransum Komersil Dicampur dengan Dedak Padi. Pros.
Agroindustri Peternakan di Pedesaan. Balai Penelitian Ternak. Bogor. hal.
400-406.

North, M.O dan D.D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual, 4 th
Edit. Chapman and b Hall, New York USA.

P. Gunawardana, D. A. Roland Sr and M. M. Bryant. 2008. Effect of Energy and


Protein on Performance Egg Components, Egg Solids, Egg Quality, and
Profits in Molted Hy-Line W-36 Hens. Department of Poultry Science,
Auburn University, Auburn, AL 36849

PT. Charoen Pokphand Jaya Farm Indonesia. 2006. Manual Manajemen Layer CP
909. PT. Charoen Pokphand Jaya Farm Indonesia. Lampung.

Ravindran, V. and R. Blair. 1992. Feed Resources for Poultry Production in Asia
and the Pacific. II. Plant protein sources. W. Poult. Sci. J. 48:205-231.

Robert JR, Ball W. 1998. Effect of heat stress on egg and egg shell quality in five
strains of laying hen. Proc. Aust. Poul. Sci. Sym
20

Romanoff, A. L. and A. J. Romanoff. 1963. The Avian Egg. John Wiley and Sons
Inc., New York.

Sahari, B. 2012. Manajemen Industri Ayam Ras Petelur. Masagena Press.


Makassar.

Scott, M.L., M.C. Nesheim and R.J. Young. 1982. Nutrition of the Chicken. M.L.
Scott and Assiciate. Ithaca. New York.

T. Setiawati , R. Afnan , N. Ulupi 2016 Productive Performance and Egg Quality


of Layer in Litter and Cage System with Different Temperatures Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S.


Lebdosoekojo. 1996. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.

Wang, Z., Z. Xia, J. Shi, X. Zhou, Z. Wang, and S. Chen. 1992. Studies on Effects
of Cassava Leaf Meal Used as Ingredient in Diets of Growing-finishing Pigs
and Meat Type Ducks. Procs. 6th AAAP Animal Sci. Congress. Bangkok.
pp. 190.
21

LAMPIRAN

NAMA PEMBAGIAN TUGAS


Irma Sukmawati Jurnal dan Pembahasan Pengaruh Kandungan
Protein Ransum Terhadap Produksi Telur
Fita Nur Hania Latar Belakang, Jurnal dan Pembahasan Pengaruh
Kandungan Protein Ransum Terhadap Produksi Telur
Destyana Aulia K Identifikasi masalah, maksud dan tujuan,
pembahasan faktor genetik produksi telur,
kesimpulan, editing
Jeffry Adi Nababan Jurnal dan pembahasan faktor lingkungan produksi
telur
Eka Setiawan Jurnal dan pembahasan faktor lingkungan produksi
telur, ppt.

Anda mungkin juga menyukai