Oleh :
Kelas : C
Kelompok : 6
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2017
KATA PENGANTAR
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB Halaman
KATA PENGANTAR........................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................... iii
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................. 2
1.3 Tujuan.................................................................................................. 2
II PEMBAHASAN
2.1 Faktor Genetik...........................................................................................3
2.2 Faktor Lingkungan....................................................................................3
2.2.1 Kuantitas dan Kualitas Ransum..........................................................3
2.2.2 Sistem Perkandangan..........................................................................7
2.2.3 Program Pengendalian Penyakit........................................................11
2.3 Pengaruh Kandungan Protein Ransum terhadap Produksi Telur............13
2.3.1 Menurut Jurnal Effects of Dietary Supplementation with Red
Yeast Rice on Laying Performance, Egg Quality and Serum
Traits of Laying Hens.......................................................................13
2.3.2 Menurut Jurnal Effect of Energy and Protein on Performance
Egg Components, Egg Solids, Egg Quality, and Profits in
Molted Hy-Line W-36 Hens.............................................................15
2.3.3 Menurut Jurnal Effects of Dietary Supplementation with Red
Yeast Rice on Laying Performance, Egg Quality and Serum
Traits of Laying Hens.......................................................................16
III KESIMPULAN.......................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................18
LAMPIRAN................................................................................................21
iii
1
PENDAHULUAN
II
PEMBAHASAN
Kualitas telur adalah istilah umum yang mengacu pada beberpa standar
difokuskan pada kebersihan kulit, bentuk, warna, dan keutuhna telur. Kualitas
telur internal menacu pada putih telur, kebersihan, viskositas, ukuran sel udara,
bentuk kuning telur dan kekuatan kuning telur. Penurunan kualitas interior dapat
diketahui dengan menimbang bobot telur dan memecah telur untuk diperikasa
diantaranya bangsa ayam, umur, musim, penyakit dan lingkungan, dan hal yang
utama adalah pakan yang diberikan. Kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan
sangat menentukan terhadap produksi dan kualitas telur baik secara fisik atau
kimiawi. Produksi telur akan tercapai maksimal apabila kualitas pakan yang
Suplementasi asam amino lisin sebanyak 0,10% dan 0,20% kedalam ransum basal
yang mengandung lisin 0,70%, tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap bobot
telur, indeks telur, daya tunas dan daya tetas telur (Saharai, 2012).
A. Dedak
Penggunaan dedak dalam ransum ayam buras sedang bertumbuh hingga
50% dapat dilakukan asalkan diikuti dengan suplementasi kalsium yang cukup
5
(Nataamijaya et al., 1992). Sementara itu, pada ayam buras dewasa (petelur)
pemberian hingga 60% masih dapat menghasilkan produksi telur yang cukup baik
(Gultom et al., 1989).
B. Singkong dan Hasil Ikutannya
Tepung singkong/gaplek mempunyai kandungan karbohidrat atau sumber
energi yang tinggi, hampir menyamai jagung, akan tetapi miskin kandungan
protein (sekitar 2%) dan asam amino. Daun singkong mempunyai kandungan
protein yang cukup tinggi (21-30% dari bahan kering).
Penggunaan tepung gaplek dalam ransum ayam ras sudah banyak
dilaporkan dengan rekomendasi batas penggunaan maksimum antara 20% hingga
40% untuk ransum bentuk tepung dan 50% hingga 60% untuk ransum bentuk
pelet (Ravindran dan Blair, 1991).
Karnadi dan Sulaeman (1997) melaporkan penggunaan produk fermentasi
singkong dengan Trichoderma harzianum, hingga 15% dalam ransum ayam
petelur tanpa menyebabkan penurunan produksi dan kualitas telur yang
dihasilkan. Pemberian onggok fermentasi pada tingkat yang lebih tinggi lagi,
ternyata menyebabkan penurunan dalam produksi ternak tersebut.
C. Bungkil Kelapa
Scott et al. (1982) dan Panigrahi (1989) mengemukakan bahwa
penggunaan bungkil kelapa hingga 40% dalam ransum ayam broiler atau petelur
dapat dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan asam amino dalam
ransum. Menurut Ravindran dan Blair (1992), batas penggunaan bungkil kelapa
dalam ransum ayam adalah 20%, meskipun ada yang melaporkan pemberian
hingga 40% dengan hasil yang cukup baik pada ayam petelur.
D. Ampas Tahu
Dalam ransum ayam ras, penggunaan ampas tahu kering biasanya tidak
lebih dari 5%. Akan tetapi, setelah ampas tahu diolah (fermentasi dengan
menggunakan ragi tempe), dapat digunakan hingga 12% dalam ransum ayam
pedaging tanpa mengganggu pertumbuhan (Nur et al., 1997). Penggunaan ampas
tahu segar untuk ransum ayam buras sudah diujicobakan oleh peternak di
Kalimantan Timur dengan hasil yang memuaskan (Winarti dan Bariroh, 1998).
6
Jumlah ampas tahu segar yang diberikan untuk anak ayam adalah 30 g/ekor/hari
dan untuk ayam petelur 75 g/ ekor/hari.
E. Limbah Sawit
Tingginya kadar serat kasar (16-27%) dan kadar abu (13-25%) dalam
lumpur sawit, di samping ketersediaan asam amino yang rendah, menjadi faktor
pembatas dalam pemanfaatannya untuk bahan pakan ternak monogastrik. Yeong
dan Azizah (1987) mengemukakan bahwa batas penggunaan lumpur sawit dalam
ransum ayam pedaging dan ayam petelur, masing-masing adalah 15% dan 10%.
Hasil penelitian di Sumatera Utara melaporkan bahwa penggunaan lumpur sawit
kering hingga 10% dalam ransum ayam buras masih menghasilkan pertumbuhan
yang cukup bagus (Scott dkk., 1982).
F. Kepala Udang
Penelitian Rahardjo (1985) menunjukkan bahwa pemberian tepung kepala
udang hingga 30% dalam ransum itik petelur menghasilkan produksi telur dan
efisiensi yang lebih baik dari kontrol. Di samping itu, adanya pigmen astaxanthin
dalam tepung kepala udang menjadikan warna kuning telur lebih baik (kuning-
kemerahan). Penggunaan 37,5% cangkang udang kering dalam ransum ayam
yang cukup baik. Sementara itu, untuk anak ayam buraspemberian 5,2% dalam
ransum dapat memberikan pertumbuhan yang cukup baik, yaitu dengan berat 669
g pada umur 8 minggu (Kompiang et al., 1994).
G. Bekicot atau Keong
Bekicot cukup banyak dijumpai di sawah atau tanaman yang cukup basah
dan sering dianggap sebagai hama tanaman. Bekicot dapat diolah menjadi
makanan ternak karena mengandung protein yang cukup tinggi dan dapat
digunakan sebagai pengganti tepung ikan. Bekicot dapat diolah menjadi tepung
atau silase bekicot. Tepung bekicot mengandung protein 44- 62%, sedangkan
silase bekicot mengandung protein 18,7%. Penggunaan tepung bekicot (Achatina
fulica) hingga 22,6% atau silase bekicot hingga 32% dalam ransum tidak
menyebabkan gangguan produksi ayam petelur (Kompiang, 1984).
7
Harmentis et al. (1998) telah mencoba membuat tepung daging keong mas
(Pomacea canadiculata) untuk pakan ayam. Tepung daging keong Mas dibuat
dengan terlebih dahulu direndam dalam larutan kapur 5% selama 60 menit dan
kemudian dikeringkan dengan sinar matahari. Tepung keong Mas ini mempunyai
kandungan protein kasar 46,2%, metionin 0,3%, lisin 1,37%, lemak 5,15%, serat
kasar 1,43%, kalsium 2,98%, dan fosfor 0,35% serta dapat digunakan dalam
ransum ayam broiler sebanyak 4%.
Dalam hal ini, kualitas dan kuantitas ransum sangatlah mempengaruhi
produksi telur. Dari segi kualitas ransum dapat dilihat di jurnal Penggunaan
Bahan Pakan Lokal Dalam Pembuatan Ransum Ayam Buras oleh A. P. Sinurat,
menyatakan banyak perbedaan pengaruh bahan pakan lokal yang diberi kepada
ayam dibandingkan dengan bahan pakan yang sudah diolah secara modern dan
diikuti dengan bertambahnya zat-zat ilmiah yang sangat penting terhadap ayam
tersebut.
Upaya untuk membuat ternak nyaman tidak hanya didasarkan pada sains,
tetapi juga pada nilai manusiawi dan etika. Penyediaan ruang kandang pada ayam
menekan cekaman, dan berkurangnya rasa takut. Ketidak nyamanan ruang gerak
kurang sehat, ayam dapat menderita luka akibat gesekan dengan sisi kandang dan
saling patuk sesama. Secara ekonomis, ruang yang disediakan dalam sistem
ruang yang terlalu sempit meskipun lebih murah, dalam jangka panjang menekan
Menurut Setiawati (2016), Kandang Sistem Litter bobot telur baik pada
suhu 18o C dan suhu 30o C tidak berbeda secara statistik, meskipun bobot telur
pada suhu 18o C lebih rendah dibandingkan dengan bobot telur pada suhu 30 o C.
Bobot telur dalam hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya konsumsi
pakan, hen day production dan massa telur. Egg mass menunjukkan hasil yang
tidak berbeda antara kedua suhu (18o C dan 30o C). Hal tersebut dikarenakan
bobot telur pada suhu 18o C lebih rendah dibandingkan dengan suhu 30o C. Nilai
egg mass yang diperoleh dari perkalian HDP dan bobot telur menunjukkan hasil
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas interior yaitu pebedaan suhu
dikeluarkan pada saat panting bersamaan dengan air dan panas tubuh.
Terbentuknya kerabang karena adanya ion kalsium dan ion karbonat. Ion karbonat
terbentuk karena adanya CO2 dalam darah sebagai hasil metabolisme sel yang
terdapat pada uterus. Adanya H2O merombak kedua ion tersebut dibantu oleh
enzim carbonic anhydrase yang dihasilkan oleh sel mukosa uterus menjadi ion
bikarbonat dan selanjutnya menjadi ion karbonat setelah hidrogen lepas. Selain
itu, proses metabolisme di dalam tubuh ayam pun berubah (Roberts dan Ball
1998). Rataan tebal kerabang pada suhu 18o C sama dengan suhu 30o C. Suhu
Bobot telur pada suhu 18o C dan suhu 30o C menunjukkan hasil yang
berbeda secara statisik. Bobot telur pada suhu 18o C lebih tinggi dibandingkan
dengan suhu 30o C. Bobot telur dan produksi telur berkorelasi negatif terhadap
suhu. Penurunan produksi telur dan bobot telur yang terjadi disebabkan oleh suhu
tinggi. Suhu diatas 27o C memberikan pengaruh negatif terhadap konsumsi pakan
dan bobot telur. Suhu lingkungan yang tinggi membutuhkan energi yang lebih
untuk produksi telur (Latipudin dan Mushawwir 2011). Indeks telur tidak
dipengaruhi oleh suhu atau sistem perkandangan. Kerabang telur sebagian besar
disusun oleh kalsium. Rataan tebal kerabang pada suhu 18 o C dan 30o C tidak
berbeda secara statistik meskipun rataan tebal kerabang pada suhu 18o C lebih
tinggi. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Grieve (2004) bahwa pada lingkungan
yang panas, ayam bereaksi dengan meningkatkan laju pernapasan (panting) untuk
mengeluarkan panas tubuh. Hal ini menyebabkan penurunan CO2 dalam darah dan
darah maka jumlah kalsium dalam darah yang digunakan untuk pembentukan
kerabang semakin berkurang, akibatnya kerabang menjadi lebih tipis. Nilai Haugh
Unit pada kandang cage dengan suhu 18o C lebih tinggi dibandingkan dengan
suhu 30o C meskipun secara statistik tidak berbeda. Keduanya masih termasuk
dalam kategori AA menurut USDA (1964), karena nilai HU >72. Telur pada
kandang cage lebih bersih karena telur ayam tidak jatuh ke bedding, melainkan ke
tempat telur di bagian depan kandang cage. Telur pada penelitian ini termasuk
dalam kategori AA, karena pengukuran kantung udara dilakukan pada saat telur
masih segar dan belum tersimpan lama dalam ruang. Kantung udara mulai
lingkungan 30o C memiliki performa produksi dan kualitas telur yang lebih
rendah. Hal tersebut tidak sejalan dengan hasil penelitian ini. Hasil penelitian
menunjukkan performa produksi dan kualitas telur hampir sama antara suhu 18 o C
dan 30o C, baik pada sistem kandang litter maupun cage. Masing-masing sistem
kandang yaitu litter dan cage memiliki kekurangan dan kelebihan. Ditinjau dari
segi kesejahteraan ternak, ayam pada sistem litter akan lebih sejahtera karena
ruang gerak ayam yang lebih luas. Namun kekurangan sistem ini yaitu telur yang
langsung terletak pada alas (bedding) akan lebih mudah terkontaminasi oleh
sekitar alas. Tetapi hal ini dapat diatasi dengan penambahan sarang untuk ayam
bertelur, sehingga kemanan dan kebersihan telur dapat terjaga. Kandang cage
tetapi pada peternakan pembibitan (breeder) ayam pada kandang cage tidak dapat
bebas bergerak karena keterbatasan ruang dan hal ini bertentangan dengan
kesejahteraan ternak. Performa produksi ayam pada sistem cage lebih baik karena
Kondisi yang ada saat ini membuat konsumen lebih menyukai produk
peternakan dari sistem free-range, sebab diketahui bahwa ayam yang dipelihara
dari sistem free-range adalah sehat dan memproduksi produk dengan kualitas
berbagai sistem produksi ternak. Pemeliharaan yang lebih alami dan peningkatan
aktivitas dari ayam dapat menurunkan kadar lemak, kolesterol dan residu
mengambil biaya terbesar dari total biaya ransum. Karena alasan inilah,
fatal. Kebutuhan protein harus mewakili kebutuhan semua asam amino esensial
yang juga dibutuhkan oleh ayam. Beberapa bahan baku ransum memiliki satu atau
dua kandungan asam amino yang rendah. Contohnya jagung dan dedak yang
masih rendah kandungan lysine-nya atau bungkil kedelai yang rendah asam amino
protein ayam, maka pertumbuhan ayam akan lambat. Gejala defisiensi asam
amino juga tidak terlihat spesifik, gejalanya hanya terlihat dari pertumbuhan
lambat, konsumsi menurun atau penurunan produksi telur dan ukuran telur. Untuk
mengefisienkan biaya, defisiensi asam amino ini dapat diatasi dengan penggunaan
suplemen yang mengandung asam amino (Top Mix). Namun kandungan protein
2009).
Upaya mengatasi stress atau cekaman ini banyak digunakan bahan pakan
metabolisme tubuh, sistem pencernaan dan absorbsi nutrisi (Scott dkk., 1982).
(Kartasudjana, 2006.). Salah satu bahan pakan herbal yang digunakan adalah
jahe merah. Namun metode pemberian dan taraf pemberian jahe merah pada
12
penelitian tentang pengaruh jahe merah dalam ransum ayam kampung periode
layer.
dalam tubuh ternak berjalan dengan baik yang dapat mempengaruhi laju bobot
badan, dimana bobot badan merupakan salah satu faktor yang menentukan
yang menempel pada dinding usus, sehingga penyerapan zat nutrisi yang penting
dalam mempengaruhi produksi telur seperti protein dan kalsium menjadi lebih
(Zingiber officinale var. Rubrum) dalam ransum terhadap laju bobot badan dan
produksi telur tidak berpengaruh pada ayam kampung periode layer hingga umur
Dengan demikian hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada saat periode
pertumbuhan akhir atau developer (umur 12-20 minggu) dapat digunakan taraf
protein ransum dengan kisaran yang luas untuk memperoleh performan produksi
yang memadai. Hal ini sesuai dengan pendapat Holcombe dkk., (1976) dan Scott
dkk., (1982), bahwa pada periode pertumbuhan ayam petelur dara mampu
memanfaatkan ransum dengan kisaran taraf protein yang luas untuk memperoleh
performans yang memadai pada saat periode produksi. Menurut (Keshavarz,
1984) bahwa penggunaan taraf protein tinggi pada periode pertumbuhan
memberikan keuntungan ekonomis lebih baik dibandingkan taraf protein rendah
karena meningkatnya egg mass selama periode produksi. Sedangkan taraf protein
rendah dapat memberikan keuntungan karena biaya ransum yang rendah pada saat
periode pertumbuhan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat retensi protein adalah konsumsi
protein dan energi termetabolis ransum. Konsumsi protein yang tinggi akan diikuti
dengan retensi protein yang tinggi serta akan terjadi penambahan bobot badan bila
energy dalam ransum cukup, tetapi bila energy ransum rendah tidak selalu diikuti
dengan peningkatan bobot badan. Nieto dkk., (1995) menyatakan besarnya protein
yang di retensi tergantung dari banyaknya asam amino yang diberikan dan
tergantung pada kualitas dan kuantitas dari protein ransum. Meningkatnya retensi
protein menyebabkan meningkatnya pertumbuhan. Hal ini disebabkan karena
semakin banyaknya protein yang digunakan untuk menyusun komponen tubuh
ayam. Meningkatnya retensi protein juga didukung oleh meningkatnya kandungan
energi metabolis ransum. Wahyu (1992) menyatakan bahwa tingkat retensi protein
dipengaruhi oleh konsumsi protein dan energi termetabolis ransum. Selanjutnya
Lloyd dkk., (1978) menyatakan bahwa jumlah protein yang diretensi akan
menentukan tinggi rendahnya produksi atau pertumbuhan ayam. Telur konsumsi
yang diproduksi oleh ayam merupakan deposisi nutrisi dari pakan oleh karena itu,
kualitas telur akan sangat dipengaruhi oleh kualitas nutrisi dari pakan. Oleh
karena itu, untuk memenuhi kebutuhan protein sesempurna mungkin, maka asam
15
asam amino essensial harus disediakan dalam jumlah yang tepat dalam ransum
(Anggorodi, 1985).
W-36 Hens.
Menurut P. Gunawardana, D. A. Roland, Sr. M. M. Bryant (2008) protein
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap produksi telur, massa telur, asupan
pakan, konversi pakan, berat telur, persentase komponen kulit telur, warna kuning
telur, kuning telur dan albumen. Sebagai energi diet meningkat dari 0 sampai 238
kkal ME / kg dengan penambahan minyak unggas, asupan pakan menurun secara
linier. Peningkatan energi makanan juga meningkat secara signifikan pada warna
kuning telur dan kuning telur. Seiring meningkatnya energi makanan, persentase
padatan kuning telur meningkat pada 2 tingkat protein diet yang lebih besar,
sedangkan gravitasi spesifik telur menurun secara linear pada tingkat protein
17,38%. Peningkatan energi dan protein pakan secara signifikan meningkatkan
konversi pakan. Peningkatan asupan protein meningkatkan kadar albumen dan
kuning telur secara signifikan namun tidak berpengaruh pada kandungan kuning
telur, albumen. Energi makanan dan protein mewakili sekitar 85% dari total biaya
pakan. Saat ini, tingkat energy (2.685 sampai 3.100 kkal ME / kg) dan tingkat
protein (14,5 sampai 19%) digunakan oleh industri telur selama fase molt 1.
Sejumlah penyelidikan telah berfokus pada metode yang mempengaruhi
berat telur melalui manipulasi makanan selama berbagai tahap produksi.
Peningkatan kadar protein, lemak, metionin, lisin dan asam linoleat telah
menghasilkan perbaikan pada berat telur. Warna kuning telur memiliki pengaruh
yang cukup besar terhadap pemasaran telur. Studi tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi intensitas warna kuning telur adalah signifikansi ekonomi bagi
produsen telur. Warna kuning telur tergantung pada karotenoid yang larut dalam
lemak dalam makanan. Bukti eksperimental mengenai efek penambahan lemak
pada warna kuning telur memang kontradiktif. Sullivan, Holleman, Madiedo,
16
III
KESIMPULAN
1. Faktor genetik yang mempengaruhi produksi telur adalah umur masak kelamin
dan tipe strain yang dipelihara.
DAFTAR PUSTAKA
Barbosa JAD, Silva MAN, Silva IJO, Coelho AAD. 2006. Egg quality in layers
housed in different production systems and submitted to two environmental
conditions. Brzil (BR): Departamento de Engenharia Rural. 2: 150- 204.
Bell, D.D. 2002. Cage management for layers. In Commercial Chicken meat and
Egg Production, 5th ed. D.D. Bell and W.D. Weaver, Jr., (Eds)
KluwerAcademic Publishers, Norwell, MA.
Cave, N.A.D. 1984. Effect of high protein diet fed prior to the onset of lay on
performance of Broiler breeder pullets. Poultry Sci. 63:1823- 1827.
Craig, J.V. and G.A. Milliken. 1989. Further studies of density and group size
effects in caged hens of stocks differing in fearful behavior: Productivity and
behavior. Poult. Sci. 68: 9-16.
Gultom, D., D. Wiloeto, dan Primasari. 1989. Protein dan Energi Rendah dalam
Ransum Ayam Buras Periode Bertelur. Pros. Seminar Nasional Tentang
Unggas Lokal. Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro. Semarang.
hal. 51-57.
Halcombe, D.J., D.A. Roland, Sr., and R.H. Harms. 1976. The ability of hens to
regulate protein intake when offered a choice of diets contain- ing different
levels of protein. Poultry Sci 55: 1731-1737.
Hong Sun, Yifei Wu, Xin Wang, Yong Liu, Xiaohong Yao & Jiangwu Tang. 2015.
Effects of Dietary Supplementation with Red Yeast Rice on Laying
Performance, Egg Quality and Serum Traits of Laying Hens. Italian Journal
of Animal Science, 14:3, 4059.
Keshavardz, K. 1984. The effect of reducing dietary protein in the rearing and
laying periods on performance and net return of commercial strain of White
Leghorn Chicken. Poultry Sci. 63: Suplement 1 (Abstract).
Latipudin D, Mushawwir A. 2011. Regulasi panas tubuh ayam ras petelur fase
grower dan layer. Jurnal Sains Peternakan Indonesia. 6(2): 77-82.
Mirza. 1994. Penelitian Sistem Usaha Tani Beternak Ayam Buras di Lahan
Pekarangan Petani Tanaman Pangan. Laporan Penelitian. Sub Balai
Penelitian Ternak Sei Putih. Medan.
North, M.O dan D.D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual, 4 th
Edit. Chapman and b Hall, New York USA.
PT. Charoen Pokphand Jaya Farm Indonesia. 2006. Manual Manajemen Layer CP
909. PT. Charoen Pokphand Jaya Farm Indonesia. Lampung.
Ravindran, V. and R. Blair. 1992. Feed Resources for Poultry Production in Asia
and the Pacific. II. Plant protein sources. W. Poult. Sci. J. 48:205-231.
Robert JR, Ball W. 1998. Effect of heat stress on egg and egg shell quality in five
strains of laying hen. Proc. Aust. Poul. Sci. Sym
20
Romanoff, A. L. and A. J. Romanoff. 1963. The Avian Egg. John Wiley and Sons
Inc., New York.
Scott, M.L., M.C. Nesheim and R.J. Young. 1982. Nutrition of the Chicken. M.L.
Scott and Assiciate. Ithaca. New York.
Wang, Z., Z. Xia, J. Shi, X. Zhou, Z. Wang, and S. Chen. 1992. Studies on Effects
of Cassava Leaf Meal Used as Ingredient in Diets of Growing-finishing Pigs
and Meat Type Ducks. Procs. 6th AAAP Animal Sci. Congress. Bangkok.
pp. 190.
21
LAMPIRAN