Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Tumor cerebellopontine angle (CPA) merupakan jenis neoplasma


terbanyak yang ditemukan di fossa posterior, merupakan 5-10% dari seluruh
angka kejadian tumor intrakranial. Kebanyakan tumor cerebellopontine angle itu
jinak, dengan lebih dari 85% menjadi vestibular schwannoma (neuroma akustik),
lipoma, malformasi vaskular, dan hemangioma. Tumor non-akustik CPA yang
paling sering adalah meningioma, epidermoid (kolesteatoma primer), dan
schwannoma n. fasialis. Angka kejadian tumor ganas atau tumor metastasis hanya
2% dari keseluruhan tumor CPA.

Sudut serebellopontin/cerebellopontine angle (CPA), yaitu suatu daerah


berbentuk segitiga pada fossa posterior yang dibatasi oleh tulang temporal,
serebellum dan pons. Pada daerah ini sering terdapat massa abnormal yang
kemudian disebut sebagai tumor CPA, sering terjadi pada orang dewasa dan
terdiri dari 5-10% dari seluruh tumor intracranial. Tumor yang tumbuh pada
daerah ini dapat menyebabkan berbagai gejala neurologis yang serius bahkan
kematian jika tumor tumbuh membesar dan menekan batang otak. Gejala yang
sering terjadi berupa kehilangan pendengaran ipsilateral, hipestesi pada wajah dan
gangguan keseimbangan. Pada gambaran imaging otak sering didapati adanya
hidrosefalus.

Jenis tumor yang sering dijumpai pada CPA adalah vestibular


schwannoma (neuroma akustik). Jenis ini merupakan yang paling banyak
ditemukan, mencapai 75% dari keseluruhan tomur pada CPA. Jenis-jenis lainnya
yang jarang terjadi adalah meningioma, kista epidermoid, kista arakhnoid,
schwannoma fasial, hemangioma, papiloma pleksus choroidalis, paragangliomas
dan tumor metastase. Angka kejadian tumor ganas pada CPA berupa metastase
hanya 1-2% dari seluruh tumor CPA. Diagnosis dan tatalaksana tumor CPA
diharapkan akan semakin baik, seiring dengan berkembangnya teknik imaging,
teknik pembedahan mikro dan radiosurgery.

1
Pada awal abad ke-20, lesi CPA ini sangat sulit untuk di diagnosis dan
jarang di eksisi dengan sempurna. Memang, tingkat kematian dari tindakan
operatif di daerah CPA mencapai 50%. Namun, kemajuan revolusioner dalam
pencitraan neurologi dan teknik bedah yang semakin canggih telah membuat
hampir seluruh lesi CPA ini dapat ditangani dengan baik. Angka morbiditas
menjadi dapat diterima dan tingkat kematian sangat rendah. Diagnosis tumor CPA
dapat dibuat berdasarkan kecurigaan yang tinggi yang mengarahkan pada uji
pemeriksaan auditory brainstem respons (respon pendengaran batang otak) dan
konfirmasi radiologi. Tumor CPA hanya dapat di lihat dengan CT-Scan kontras
dengan irisan resolusi tinggi yang tipis, selain itu MRI dapat memberikan
gambaran tumor yang lebih baik dan lebih peka dibandingkan dengan CT-Scan.

Tumor CPA dapat diangkat secara bedah melalui 3 jalur utama. Tumor
dapat direseksi dari fossa media, fossa posterior, atau menyilang labirin.
Pemilihan prosedur tertentu atau gabungan prosedur berdasarkan ukuran tumor,
kemungkinan mempertahankan pendengaran dan pengalaman bedah.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi


Cerebellopontine angle (CPA) merupakan sebuah ruangan di fossa
posterior kranialis yang didalamnya terdapat cairan serebrospinal potensial,
dan dibatasi oleh tulang temporal, serebellum, dan batang otak. CPA adalah
sebuah struktur dengan bentuk kira-kira menyerupai segitiga. Bagian atasnya
dibatasi oleh tentorium serebelli, bagian bawahnya dibatasi oleh tonsilla
serebelli dan oliva medullaris. Batas anterior adalah permukaan dura posterior
dari tulang petrous dan klivus, sedangkan batas posterior adalah permukaan
ventral dari pons dan serebellum. Batas medialnya berupa sisterna pons dan
medula, dan bagian apeksnya adalah daerah recessus lateralis ventrikel empat.
Pintu lateral dari ventrikel 4, foramen Luschka, merupakan jalan masuk ke
CPA. Nervus kranialis V-XI melintasi batas atas dan bawah CPA. Struktur di
tengah-tengah yang melintasi CPA dari dan ke kanalis auditorius interna
adalah nervus fasialis (n. VII) dan nervus vestibulokoklearis (n. VIII).
Nervus kranialis VII dan VIII ditutupi oleh myelin sentral yang
disediakan oleh sel neuroglial ketika menyebrangi CPA dan membawa bagian
lengan dura fossa posterior ke kanalis auditorius interna (internal auditory
canal = IAC). Transisi dari myelin perifer dilakukan oleh sel Schwann yang
muncul di pintu medial dari IAC. Nervus vestibulokoklearis terbagi dalam
tiga cabang, yaitu n. koklearis, n. vestibularis superior dan inferior pada sisi
lateral CPA atau medial IAC. IAC sendiri dibagi dalam empat kuadran oleh
ujung vertikal yang disebut Bill’s bar, dan ujung transversa. Nervus VII
berada di kuadran anterosuperior yang juga anterior dari n. vestibularis
superior dan superior dari n. koklearis. Sedangkan n. vestibularis inferior
berada di kuadran posteroinferior dan juga inferior dari n. vestibularis
superior sera posterior dari n. koklearis (lihat gambar 1). Arteri serebellaris
anteroinferior merupakan vaskularisasi utama CPA juga sebagai sumber dari
arteri labirintine. Arteri labirintine melalui IAC adalah end artery bagi organ-

3
organ pendengaran dan keseimbangan. Arteri serebellaris anteroinferior
memiliki hubungan variabel dengan nervus kranialis VII dan VIII serta IAC.

Gambar 1. Anatomi cerebellopontine angle

B. Patologi
1. Definisi
a) Hemiparesis adalah kondisi adanya kelemahan pada salah satu sisi
tubuh atau ketidakmampuan untuk menggerakkan anggota tubuh pada
satu sisi. Anggota tubuh yang terkena dampak biasanya otot-otot
wajah, otot-otot pernafasan di dada, lengan, tangan, tungkai bawah
pada salah satu sisi. Bisa terjadi pada sebelah kanan saja atau sebelah
kiri saja. Pasien paresis masih mampu menggerakkan sisi tubuh yang
terkena dan belum benar-benar lumpuh. Hanya saja sisi tubuh yang
menglami gangguan tersebut begitu lemah dan tidak bertenaga.
Gerakan yang timbul sangat sedikit (kecil). Penyebab utama terjadinya
hemiparesis adalah adanya kerusakan pada salah satu sisi otak yang
bisa disebabkan oleh stroke, cedera otak, tumor otak atau cedera pada
sistem saraf.

4
b) Tumor serebellopontine angle adalah tumor yang mengenai daerah
sudut serebelopontin. Sudut serebellopontin / cerebellopontine angle
(CPA), yaitu suatu daerah berbentuk segitiga pada fossa posterior
yang dibatasi oleh tulang temporal, serebellum dan pons. Pada bagian
atas dan bawah dari CPA melintas beberapa nervus kranialis yaitu
n.V, n.VII dan n.VIII yang kemudian menuju Internal auditory Canal
(IAC).

Gambar 2. Cerebellopontine Angle Tumor


2. Etiologi
a) Etiologi Hemiparesis
Secara umum penyebab hemiparese adalah :
1) Tumor
Tumor otak kemungkinan disebabkan oleh : sisa sel embrional,
faktor bawaan, akibat radiasi, adanya virus dan lain-lain. Tumor
otak terdiri dari glioma, mengioma, cranio pharingoma, sarcoma
dan lain -lain. Bila tumor di lobus frontalis atau di lobus parietalis
dapat menyebabkan hemiparese kontra lateral.
2) Infeksi
Infeksi pada otak dapat disebabkan oleh bakteri, jamur dan virus.
Infeksi otak berupa encephalitis dan meningitis (terjadi radang
kuman TBC pada selaput meningen), hal ini dapat menimbulkan
hemiparese.
3) Head injury atau trauma capitis

5
Cedera kepala akibat benturan kepala dengan benda keras dapat
mengakibatkan terjadinya perlukaan pada kulit, otot dan tendon
kepala, pendarahan subgaleal (pendarahan dibawah kulit kepala).
Terjadi fraktur tulang tengkorak. Terjadinya trauma capitis dapat
menimbulkan gejala neurologis yang berupa hemiparese.
4) Congenital
Congenital atau kelainan bawaan juga dapat menyebabkan
hemiperese seperti cerebral palsy (kelumpuhan pada otak),
hidrocepalus dan lain-lain.
5) Stroke
Stroke disebabkan karena adanya penyumbatan (non haemorrage)
atau karena pendarahan otak (haemorrage).
Stroke non hemoragik berdasarkan etiologinya disebabkan
oleh karena :
- Kekurangan suplai oksigen yang menuju otak,
- Pecahnya pembuluh darah di otak karena kerapuhan
pembuluh darah otak,
- Adanya sumbatan bekuan darah di otak (Batticaca, 2008).
b) Etiologi Tumor Cerebellopontine Angle
Penyebab dari tumor CPA belum sepenuhnya diketahui.
Diduga erat tumor tersebut mempunyai kaitan dengan
Neurofibromatosis tipe 2 (NF2) dan hal ini berkaitan dengan proses
molekuler. Dari berbagai penelitian, adanya NF2 pada penderita tumor
CPA menunjukkan berbagai variasi. Dari suatu penelitian, dari 33
kasus 61% diantaranya mempunyai NF2. Sementara pada literatur
lain, tumor yang sporadik terjadi mencapai 95% dan 5% sisanya
berkaitan dengan NF2. Neurofibromatosis dapat terjadi dalam dua
bentuk. Bentuk pertama biasanya melalui saraf seluruhb tubuh,
terutama pada kulit dan tipe ke-2 menyebabkan tumor akustik pada
kedua sisi. NF2 juga berkaitan dengan terjadinya meningioma dan

6
sekitar 20% dari penderita meningioma mempunyai bentuk dai
neurofibromatosis.
Etiologi tumor neuroma akustik merupakan defek pada
kromosom 22 dan jarang sekali akan berubah menjadi maligna, akan
tetapi jika tumor berkembang menjadi cukup besar sehingga dapat
menekan batang otak yag akan membawa kematian. Neuroma akustik
juga sering ditemui pada pasien neurofibromatosis 2, suatu defek gen
pada kromosom 22, yang juga menimbulkan pembentukan tumor
intraserebral lainnya.
3. Proses Patologi Gangguan Gerak dan Fungsi
Neuroma Akustik merupakan istilah tradisional, dimana
sebenarnya tumor ini berasal dari divisi vestibularis dari saraf kranial
kedelapan. Tumor ini muncul dari kanalis auditori internus yang
berhubungan dengan anatomi saraf ke delapan dan produksi mielin. Pada
waktu keluar dari batang otak, bagian proksimal saraf ke delapan secara
histologis lebih mirip dengan jaringan saraf sentral. Mielin diproduksi
oleh sel oligodendroglial di bagian distal, komposisinya lebih mirip
dengan saraf perifer, dimana mielin diproduksi oleh sel Schwann. Zona
transisi di antara mielin sentral dan perifer atau glial Schwannian junction
dikenal dengan Obersteiner-Redlich zone. Secara tradisional dikatakan
bahwa Vestibular Schwannoma berasal dari daerah ini kemungkinan
karena tingginya densitas sel Schwann pada lokasi ini. Literatur terbaru
menyatakan bahwa Vestibular Schwannoma muncul di bagian lateral dari
zona tersebut dan bukan berasal dari sel Schwann pada zona transisi
tersebut.
Penelitian terbaru telah meningkatkan pengetahuan molekular
vestibular Schwannoma. Vestibular Schwannoma muncul sebagai hasil
mutasi tumor supressor protein, merlin, berlokasi pada kromosom 22q12.
Merlin adalah protein sitoskeletal dan dapat mengontrol proliferasi sel
dengan mengatur perbanyakan, lokasi, dan pergantian cell-surface
receptor. Terbentuknya Vestibular Schwannoma memerlukan mutasi dari

7
penggandaan gen merlin. Fungsi gen merlin adalah untuk mencegah
terbentuknya Vestibular Schwannoma. Mutasi somatik pada penggandaan
gen merlin terdapat pada Vestibular Schwannoma yang sporadis.
Sebaliknya, Vestibular Schwannoma familial muncul pada NF2 hanya
membutuhkan satu kejadian mutasi somatik. Orang dengan NF2 memiliki
satu gen merlin yang bermutasi dan satu gen merlin normal. Satu mutasi
pada alel normal menyebabkan Vestibular Schwannoma bilateral pada
umur 20 tahun. NF2 adalah bentuk utama dari neurofibromatosis, yang
mengenai pasien yang memiliki tumor sistem saraf pusat, termasuk
schwannoma, meningioma dan glioma.
4. Gambaran Klinis
a) Gambaran umum dari hemiparesis adalah :
 Kehilangan keseimbangan
 Kesulitan berjalan
 Kesulitan berbicara
 Kesulitan menelan
 Mati rasa, kesemutan, kehilangan sensasi pada satu sisi tubuh
 Kesulitan menggenggam objek
 Berkurangnya presisi gerakan
 Kelelahan otot
 Kurangnya koordinasi
b) Gejala yang terjadi pada tumor CPA sangat bervariasi tergantung dari
ukuran, lokasi dan perkembangan dari tumor. Gejala khas Vestibular
Schwannoma yang klasik adalah tuli sensorineural asimetris progresif,
tinitus dan gangguan keseimbangan (disequilibrium), klinisi harus
waspada sebab lesi ini dapat muncul dengan berbagai macam gejala
atau symptom. Gejala klinis Vestibular Schwannoma tergantung
pertumbuhan dan ukuran tumor. Tumor intrakanalikular memberi
gejala gangguan pendengaran, tinitus, disfungsi vestibular (termasuk
vertigo). Bila tumor tumbuh di CPA, gangguan pendengaran
memburuk dan muncul disequilibrium. Bila tumor menekan batang

8
otak, saraf kranial kelima akan terlibat (midface hypesthesia). Bila
kompresi lebih luas lagi akan mengalami hydrocephalus,
menyebabkan sakit kepala dan gangguan penglihatan.
C. Pendekatan Intervensi Fisioterapi
1. Infra Red
Infra red merupakan pancaran gelombang elektromagnetik dengan
panjang gelombang 7.700 – 4 juta Amstrong. Adapun pengaruh
fisiologis sinar infra merah jika diabsorpsi oleh kulit akan
meningkatkan temperatur suhu tubuh dan pengaruh lainnya antara lain
:
a. Meningkatkan proses metabolisme
b. Vasodilatasi pembuluh darah
c. Pigmentasi
d. Pengaruh terhadap urat saraf sensorik
e. Pengaruh terhadap jaringan otot
2. Electrical Stimulation
Electrical stimulation (ES), adalah salah satu jenis terapi dalam
bidang Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi yang menggunakan
aliran listrik dengan berbagai macam jenis frekuensi, amplitudo dan
karakteristik aliran listrik tertentu yang dialirkan melalui kulit dengan
perantaraan pad (elektroda dengan lapisan gel di atasnya atau elektroda
tertentu dengan bahan tertentu) atau dengan elektroda transduser
khusus (berbentuk seperti pulpen) untuk tujuan terapi dalam bidang
rehabilitasi muskuloskeletal. Electrical stimulation akan
mempengaruhi muatan listrik di permukaan kulit, saraf atau otot
sehingga dapat menimbulkan efek terapi tertentu sesuai dengan tujuan
terapi yang diinginkan.
Indikasi ES yaitu :
- Penguatan otot.
- Re-edukasi otot, mencegah kelemahan otot atau atrofi otot.
- Pemendekan otot atau spasme otot.

9
- Menghilangkan nyeri.
- Kelemahan otot karena gangguan saraf.
- Menghilangkan bengkak atau edema.
- Menyembuhkan peradangan karena suatu trauma atau sehabis
operasi.
- Menyembuhkan luka dan perbaikan jaringan.
- Membantu memasukkan obat-obat topikal sehingga obat-obat
tersebut akan masuk lebih dalam mencapai target terapi dan efektif.
Terapi stimulasi listrik jenis ini disebut Iontophoresis.
3. Passive Exercise
Pemberian terapi latihan berupa gerakan pasif sangat bermanfaat
dalam menjaga sifat fisiologis otot dan sendi. Jenis latihan ini dapat
diberikan sedini mungkin untuk menghindari adanya komplikasi akibat
kurang gerak, seperti adanya kontraktur, kekakuan sendi, dan lain-lain.
4. Assisted Active Movement
Pasien melakukan gerakan secara disadari / mengikuti aba-aba dan
terapismemberi bantuan. Efek yang terjadi setelah diberikan latihan
active movement adalah:
 Mengurangi nyeri
 Menambah lingkup Luas Gerak Sendi (LGS)
 Meningkatkan kekuatan dan ketahanan fisik
 Meningkatkan kekuatan otot

10
BAB III

PROSES FISIOTERAPI

A. Identitas Umum Pasien


1. Nama : Ny. AM
2. Umur : 29 Tahun
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Alamat : Pangkep
5. Tanggal masuk : 03 Mei 2019
6. Nomor rekam medik : 874 288
7. Diagnosa Medis : Tumor Cerebellopontine Angle
8. Ruangan : HCU bed 4

B. Anamnesis Khusus (History Taking)


1. Keluhan Utama : Kelemahan lengan dan tungkai kanan
2. Lokasi Keluhan : Lengan dan tungkai kanan
3. Riwayat Perjalanan Penyakit : Lemah separuh badan sebelah kanan
dialami sejak 6 bulan yang lalu. Awalnya pasien merasakan kram pada
badan sebelah kanan disertai nyeri kepala, mual, dan muntah. Keluhan
kembali dirasakan 1 hari yang lalu. Keluhan disertai batuk berlendir. Saat
ini pasien dalam keadaan hamil anak ke-3 dengan usia kehamilan ± 27
minggu. Riwayat dilakukan pemasangan PV Shunt pada tahun 2017.
Riwayat dilakukan CT Scan pada Januari 2019 dengan hasil massa
inferior cerebellopontine angle.
4. Riwayat Penyakit Penyerta : Pneumonia
5. Pemeriksaan Vital Sign
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Denyut Nadi : 100 kali / menit
Pernapasan : 18 kali / menit
Suhu : 36°C

11
C. Inspeksi/Observasi
1. Statis
 Pasien terbaring di atas bed
 Warna kulit pucat
 Pasien terlihat cemas dan tidak bersemangat
2. Dinamis
 Pasien sulit menggerakkan lengan dan tungkai kanan
 Pasien belum mampu berdiri dan berjalan

D. Pemeriksaan Spesifik dan Pengukuran Fisioterapi


1. Tes Kognitif : Pasien di ajak bicara dengan beberapa pertanyaan
Hasil : Pasien merespon dengan baik
2. Tes Tonus Otot menggunakan Skala Asward
Fisioterapi menggerakan persendian pada lengan dan tungkai disertai
melakukan palpasi pada otot
Grade Keterangan
O Tidak ada peningkatan tonus otot
1 Ada peningkatan sedikit tonus otot, di tandai dengan terasanya
tahanan minimal pada akhir ROM pada waktu sendi di gerakan
fleksi atau ekstensi
2 Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan adanya
pemberhentian gerakan pada pertengahan ROM dan di ikuti
dengan adanya tahanan minimal sepanjang sisa ROM
3 Kenaikan tonus otot lebih nyata sebagian besar ROM, tapi sendi
masih mudah di gerakan
4 Peningkatan tonus otot sangat nyata sepanjang ROM, gerakan
pasif sulit di lakukan
5 Sendi yang terkena kaku atau rigit dalam gerakan fleksi atau
ekstensi

12
Hasil : 1 (Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan adanya
pemberhentian gerakan pada pertengahan ROM dan di ikuti dengan
adanya tahanan minimal sepanjang sisa ROM)
3. Pemeriksaan Kekuatan Otot (MMT)
Pemeriksaan kekuatan otot ini dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosa fisioterapi dan jenis latihan yang diberikan, dan dapat
menentukan prognosis pasien serta dapat digunakan sebagai bahan
evaluasi. Maka pemeriksaan kekuatan otot dianggap penting. Parameter
yang digunakan untuk mengetahui nilai kekuatan otot adalah pemeriksaan
kekuatan otot secara manual atau manual muscle testing (MMT) dengan
ketentuan sebagai berikut :
No Nilai Keterangan
Nilai 0 Otot benar-benar diam pada palpasi atau inspeksi
1.
visual (tidak ada kontraksi)
2. Nilai 1 Otot ada kontraksi, baik dilihat secara visual atau
palpasi, ada kontraksi satu atau lebih dari satu otot
3. Nilai 2 Gerak pada posisi yang meminimalkan gaya
gravitasi. Posisi ini sering digambarkan sebagai
bidang horizontal gerakan tidak full ROM
4. Nilai 3 Gerak melawan gravitasi dan full ROM
5. Nilai 4 Resistance Minimal
6. Nilai 5 Resistance Maksimal
Hasil :
- Extremitas dextra : nilai 1
- Extremitas Sinistra : nilai 5
4. Pemeriksaan Sensory Integrity
Sensory Integrity adalah suatu pemrosesan kortikal sensorik yang
meliputi :
a. Exteroception Test
1) Sensasi Taktil

13
- Gunakan gumpalan kapas, dimana ujungnya diupayakan
sekecil mungkin untuk memperoleh respon sensasi taktil
sebagai media stimuli.
- Instruksikan kepada pasien, “Beritahukan kepada saya dengan
menjawab ya setiap kali anda merasakan sentuhan, dan di area
tubuh mana anda merasakannnya. Saya akan menguji anda
dengan mata anda tertutup”.
- Sentuhkan media stimuli yang telah dipersiapkan secara ringan
dan lembut pada area wajah, punggung, dan ekstremitas
pasien.
2) Sensasi nyeri
- Gunakan jarum pentul atau peniti (sejenis jarum dengan salah
satu ujungnya tajam dan tumpul) untuk memperoleh respon
sensasi nyeri sebagai media stimuli.
- Instruksikan kepada pasien agar menjawab “tajam” atau
“tumpul” dalam keadaan mata tertutup untuk setiap kali jarum
pentul atau peniti disentuhkan.
- Sentuhkan salah satu media stimuli yang telah dipersiapkan
secara ringan dan lembut pada jari tangan, lengan, tungkai, dan
area punggung pasien.
3) Sensasi suhu
- Gunakan tabung reaksi yang masing-masing berisi air dingin
(suhu kurang dari 5o C) dan air panas (di atas suhu 45o C)
untuk memperoleh respon sensasi suhu yang berbeda sebagai
media stimuli.
- Instruksikan kepada pasien agar menjawab “panas” atau
“dingin" dalam keadaan mata tertutup untuk setiap kali tabung
reaksi berbeda disentuhkan ke kulit pasien.
- Sentuhkan salah satu media stimuli yang telah dipersiapkan
secara ringan dan lembut pada area lengan, tungkai, dan area
punggung pasien.

14
b. Cortical Sensation Testing, adalah tes yang memerlukan analisis dari
sensasi individu melalui lobus parietal untuk memberikan diskriminasi.
1) Test Two Point Discrimination, adalah kemampuan untuk
mengenali rangsangan simultan melalui titik berbeda. Diukur
melalui jarak antara kedua titik yang diperlukan untuk respon.
- Dengan mata tertutup, sentuhkan sepasang kapiler atau ujung
jepitan kertas pada tungkai pasien dengan satu atau dua titik
pada jarak yang berbeda – beda.
- Jarak yang normal di mana dua titik dapat dibedakan pada
berbagai bagian tubuh.
- Mintalah kepada pasien untuk menyebutkan jumlah titik yang
dirasakannya.
- Pastikan tangan anda tidak menyentuh area tubuh pasien yang
akan dites pada saat pemeriksaan dilakukan. Sebab, dapat
mengaburkan atau menyebabkan hasil pemeriksaan tidak
akurat.
- Bandingkan antara bagian tubuh yang kanan dan kiri.
5. Tes Koordinasi
- Nose to finger
Cara : pasien dan fisioterapis duduk berhadap-hadapan. Pasien
diminta untuk menyentuh ujung hidungnya dan ujung jari fisioterapis
menggunakan jari telunjuknya secara bergantian.
Hasil : tidak bisa dilakukan
- Finger to terapist finger
Cara : pasien dan terapis duduk berhadap-hadapan, jari telunjuk
fisioterapis diluruskan menunjuk ke atas di hadapan pasien.
Selanjutnya pasien diminta untuk menyentuhkan ujung jari
telunjuknya ke ujung jari fisioterapis. Selama pemeriksaan
berlangsung posisi jari fisioterapis diubah-ubah dengan tujuan untuk
memeriksa kemampuan merubah jarak, arah maupun kekuatan
gerakan.

15
Hasil : tidak bisa dilakukan
- Heel to knee
Posisi pasien tidur terlentang, selanjutnya minta pasien
menempatkan tumitnya pada tungkai yang lainnya dan bergerak ke
bawah menelusuri sepanjang tulang kering, dorsum pedis sampai ibu
jari kaki. Pada gangguan cerebellum menyebabkan gerakan sentakan
goyang sepanjang tulang kering.
Hasil : tidak bisa dilakukan
6. Index Barthel

Nilai Skor
No Saat
Fungsi Skor Keterangan Sebelum Minggu I Minggu Saat
. Masuk di
Sakit di RS II di RS Pulang
RS

Tak terkendali/tak
0 teratur (perlu
1
Mengendalikan bantuan)
rangsang 2 2
defeksasi Kadang – kadang
1 1
tak terkendali
2 Mandiri
Tak
0 terkendali/pakai
Mengendalian kateter
2 rangsang Kadang – kadang 2 2
berkemih 1 tak terkendali
(1X24 jam)
2 Mandiri

Membersihkan Butuh pertolongan


diri (seka muka, 0
3 orang lain 1 0
sisir rambut,
sikat gigi) 1 Mandiri
Tergantung
0 pertolongan orang
lain
Perlu pertolongan
pada beberapa
Penggunaan kegiatan tetapi
4 jamban, masuk dapat 2 1
dan keluar 1
mengerjakan
sendiri kegiatan
lain

2 Mandiri

5 Makan 0 Tidak mampu 2 1

16
Perlu di tolong

1 memotong
makanan

2 Mandiri
0 Tidak mampu
Perlu banyak
bantuan untuk
1
Berubah sikap bisa duduk
6 dari baring ke 3 3
(2orang)
duduk
Bantuan minimal
2
2 orang

3 Mandiri

0 Tidak mampu

Bisa (pindah)
1
dengan kursi
Berpindah/Berjal
7 3 1
an Berjalan dengan
2
bantuan 1 orang

3 Mandiri
Tergantung orang
0
lain

Sebagian dibantu

8 Memakai baju (misalnya 2 1


1
memasang
kancing)

2 Mandiri

0 Tidak mampu
Butuh
Naik-turun
9 1 2 1
tangga pertolongan

2 Mandiri

0 Tergantung
10 Mandi 1 0
1 Mandiri

Total Skor : 20 12

Keterangan Skor Barthel Index


0-4 : Ketergantungan total
5-8 : Ketergantungan berat

17
9-11 : Ketergantungan sedang
12-19 : Ketergantungan ringan
20 : Mandiri
Hasil : 12 (Ketergantungan ringan)
7. Pemeriksaan Penunjang
a. CT-Scan Kepala

Hasil :
- Skull defect pada regio parietalis dextra disertai PV Shunt terpasang
dan bermuara pada ventrikel lateral kanan

18
- Massa pada aspek inferior CPA sinistra, batas tegas, kesan solid,
ukuran 2,5 × 2,5 cm, yang insointens pada T1WI, hiperintens pada
T2WI dan Flair. Tampak massa meng-encase A. Vertebralis sinistra
mendesak medulla oblongata ke dextra
- Kedua hemisfer cerebri dalam batas normal. Tidak tampak lesi
intensitas patologik
- Sisternae baik. Tak tampak deviasi struktur midline
- Sulci serebri dan fissura Sylvii kesan normal
- Fissure interhemisfer di midline
- Basal ganglia, kapsula interna dan thalamus baik
- Hippocampus baik, tidak tampak sklerotik
- Hipofise dan chiasma opticum baik
- Sinus kavernosus tak tampak lesi patologis
- Bulbus okuli dan n.opticum baik. Muskulus okuli kanan dan kiri baik,
tak tampak lesi patologis
- Pons, CPA, dan Cerebellum baik
- Sinus paranasalis dan mastoid kiri dan kanan tak tampak kelainan
- Tulang-tulang intak

Kesan :
- Skull defect pada regio parietalis dextra disertai PV Shunt terpasang
dan bermuara pada ventrikel lateral kanan
- Massa pada aspek inferior CPA sinistra, batas tegas, kesan solid,
ukuran 2,5 × 2,5 cm, yang meng-encase A. Vertebralis sinistra dan
mendesak medulla oblongata ke sisi dextra, sugestif Lymphoma

19
E. Algoritma Assessment Fisioterapi
Algoritma assessment fisioterapi pada Gangguan Aktivitas Fungsional
Akibat Hemiparese Dextra et Causa Tumor Cerebellopontine Angle
History Taking :
Lemah separuh badan sebelah kanan dialami sejak 6 bulan yang lalu.
Awalnya pasien merasakan kram pada badan sebelah kanan disertai
nyeri kepala, mual, dan muntah. Keluhan kembali dirasakan 1 hari yang
lalu. Keluhan disertai batuk berlendir. Saat ini pasien dalam keadaan
hamil anak ke-3 dengan usia kehamilan ± 27 minggu. Riwayat dilakukan
pemasangan PV Shunt pada tahun 2017. Riwayat dilakukan CT Scan
pada Januari 2019 dengan hasil massa inferior cerebellopontine angle.

Inspeksi :
Statis : Pasien terbaring di atas bed, warna kulit pucat, pasien terlihat cemas dan
tidak bersemangat
Dinamis : pasien sulit menggerakan lengan dan tungkai kanan, pasien belum mampu
berdiri dan berjalan

Pemeriksaan fisik

Tes Kognitif : normal Pemeriksaan Kekuatan Index Barthel


Tes Sensory Integrity Otot (MMT) Hasil : 12
Tes Koordinasi Tes Tonus Otot (skala (ketergantungan
Asward) ringan)

Diagnosa :
Gangguan Aktivitas Fungsional Akibat
Hemiparese Dextra et Causa Tumor
Cerebellopontine Angle

F. Diagnosa Fisioterapi
“Gangguan Aktivitas Fungsional Akibat Hemiparese Dextra et Causa
Tumor Cerebellopontine Angle”

20
G. Problematik Fisioterapi

PROBLEMATIK FISIOTERAPI

Anatomical / Functional Activity Limitation


Impairment Participation Retriction
1. Kesulitan menggerakkan
1. Kelemahan lengan dan lengan dan tungkai kanan 1. Sulit melakukan
tungkai kanan aktivitas sehari - hari
2. Tidak mampu berdiri dan
2. Gangguan ADL (berdiri, berjalan secara mandiri 2. Adanya hambatan
dan berjalan) melakukan aktivitas sosial
antara pasien dengan
3. Gangguan Koordinasi masyarakat.

H. Tujuan Fisioterapi
a. Jangka Pendek
- Meningkatkan kekuatan otot lengan dan tungkai kanan
- Memperbaiki ADL (berdiri dan berjalan)
- Memperbaiki koordinasi gerak
b. Jangka panjang
Memperbaiki kemampuan fungsional pasien yang berhubungan
dengan kegiatan menggerakkan tungkainya seperti berdiri dan berjalan
secara mandiri serta memperbaiki hubungan sosial pasien dengan
masyarakat.

I. Prosedur Intervensi Fisioterapi


1. Infra red
Dosis :
F : 3 kali / minggu
I : 45 cm
T : luminos
T : 15 menit

21
2. Electrical Stimulation
Tujuan : Menstimulasi serabut dan jaringan otot
Dosis :
F : 3 kali seminggu
I : 2 pad
T : Muscle Stimulation
T : 10 menit
3. Passive Exercise
Tujuan : untuk menghindari adanya komplikasi akibat kurang
gerak, seperti adanya kontraktur, kekauan sendi, dan lain – lain.
- Posisi Pasien : Supine Lying secara comfortable
- Posisi Fisioterapis : Berdiri disamping atau didepan pasien
- Teknik Pelaksanaan : Fisioterapis menggerakkan secara pasif
ekstremitas pasien dan diusahan untuk full ROM
- Dosis
F : Setiap hari
I : Toleransi pasien
T:
- Regio Shoulder : fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi
- Regio Elbow : fleksi, ekstensi, supinasi, pronasi
- Regio Hip : fleksi, ekstensi, rotasi, lateral fleksi
- Regio Knee : fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi
T : 4x repetisi

4. Assisted Active Movement


- Tujuan : mengurangi nyeri, menambah lingkup luas gerak sendi
(lgs), meningkatkan kekuatan dan ketahanan fisik, meningkatkan
kekuatan otot.
- Teknik : Pasien melakukan gerakan secara disadari / mengikuti
aba-aba dan terapis memberi bantuan.
Dosis :

22
F : 3x seminggu
I : toleransi pasien
T : kontak langsung
T : 4x repetisi
J. Evaluasi
Setelah dilakukan beberapa kali terapi maka diharapkan :
1. Meningkatnya kekuatan otot
2. Meningkatnya aktivitas fungsional berdiri dan berjalan
3. Meningkatnya koordinasi gerak

23
BAB IV

PENUTUP

Hemiparesis adalah kondisi adanya kelemahan pada salah satu sisi tubuh
atau ketidakmampuan untuk menggerakkan anggota tubuh pada satu sisi. Anggota
tubuh yang terkena dampak biasanya otot-otot wajah, otot-otot pernafasan di
dada, lengan, tangan, tungkai bawah pada salah satu sisi. Bisa terjadi pada sebelah
kanan saja atau sebelah kiri saja. Pasien paresis masih mampu menggerakkan sisi
tubuh yang terkena dan belum benar-benar lumpuh. Hanya saja sisi tubuh yang
menglami gangguan tersebut begitu lemah dan tidak bertenaga. Gerakan yang
timbul sangat sedikit (kecil). Penyebab utama terjadinya hemiparesis adalah
adanya kerusakan pada salah satu sisi otak yang bisa disebabkan oleh stroke,
cedera otak, tumor otak atau cedera pada sistem saraf.

Tumor serebellopontine angle adalah tumor yang mengenai daerah sudut


serebelopontin. Sudut serebellopontin / cerebellopontine angle (CPA), yaitu suatu
daerah berbentuk segitiga pada fossa posterior yang dibatasi oleh tulang temporal,
serebellum dan pons. Pada bagian atas dan bawah dari CPA melintas beberapa
nervus kranialis yaitu n.V, n.VII dan n.VIII yang kemudian menuju Internal
auditory Canal (IAC).

Adapun rencana intervensi yang diberikan pada pasien ini :


1. Infra Red
2. Electrical Stimulation
3. Passive Exercise
4. Assisted Active Movement

24
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku :

Aras, D., Ahmad, H., & Ahmad, A. (2016). The New Concept of Physical
Therapist Test and Measurement. Makassar: PhysioCare.

Sumber Internet

https://id.scribd.com/doc/38813699/Cerebellopontine-Angle-CPA-Tumor (diakses
pada 7 Mei 2019)

https://id.scribd.com/doc/316340052/Referat-Cerebellopontine-Angle-Tumor
(diakses pada 7 Mei 2019)

25

Anda mungkin juga menyukai