PEMASARAN)
Sumber:
Sarma, Ma’mun. 2013. Entrepreneurial Marketing: Untuk Keberhasilan Pemasaran bagi Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Indonesia. PT. Penerbit IPB Press, Bogor. (Halaman 7-
20).
Pedahuluan
Usaha kecil dan menengah (UKM), merupakan salah satu kekuatan pendorong
terdepan dalam pembangunan ekonomi (Bank Dunia 2005). Baik di Negara-negara maju maupun
di Negara-negara yang sedang berkembang, UKM memegang peranan penting dalam
perekonomian nasional. Piper (1997) memaparkan bahwa terdapat sekitar 62,3 persen dari jumlah
tenaga kerja di Amerika Serikat bekerja di 350.000 perusahaan yang mempekerjakan kurang dari
500 orang, yang di Negara tersebut dianggap sebagai UKM. Selain itu, seperti di AS, juga di
negara-negara industri maju lainnya yang tergabung dalam Organization for Economic
Cooperation and Development (OECD) seperti Jepang, Jerman, Perancis dan Kanada, UKM
merupakan motor penting dari pertumbuhan
ekonomi dan progres teknologi (Thornburg
1993).
Agak berbeda dengan Negara maju, di
Negara berkembang peran UKM lebih
dikhususkan kontribusinya pada aspek
penyerapan tenaga kerja dan pengentasan
kemiskinan. Urata (2000) yang telah
mengamati perkembangan UKM di Indonesia
menegaskan bahwa UKM memainkan
beberapa peran penting di Indonesia.
Beberapa perannya yaitu: (1) UKM pemain
utama dalam kegiatan ekonomi di Indonesia,
(2) penyedia kesempatan kerja, (3) pemain
Sumber: www.digplanet.com penting dalam pengembangan ekonomi lokal
dan pengembangan masyarakat, (4) pencipta
Gambar 1 Gambaran perusahaan kecil dan pasar dan inovasi melalui fleksibilitas dan
menengah di dunia sensitivitasnya serta keterkaiatan dinamis
antar kegiatan perusahaan, (5) memberikan
kontribusi terhadap peningkatan ekspor non migas. Sementara itu, Tambunan (2001) menyebutkan
bahwa UKM juga mampu mereduksi ketimpangan pendapatan (reducing income inequality)
terutama pada negara-negara berkembang.
Meskipun peran UKM sangat vital bagi pembangunan ekonomi regional, namun
kesenjangan pertumbuhan UKM di beberapa daerah di Indonesia (antara Jawa dan Luar Jawa)
masih terjadi. UKM di Indonesia memiliki keunggulan dalam hal jumlah unit usaha yang relatif
banyak, sehingga pada akhirnya
berhubungan dengan kemampuan
penyerapan tenaga kerja yang cukup
besar. Akan tetapi, kontribusi UKM
terhadap penciptaan nilai tambah
bagi Produk Domestik Bruto (PDB)
masih jauh dibawah Usaha Besar
(UB). Masih banyak UKM yang
tidak memiliki kapabilitas, kekuatan
pemasaran, dan sumber daya seperti
yang dimiliki oleh perusahaan besar
dan multinasional. Hal ini terjadi
karena mayoritas UKM di Indonesia
masih mengalami kendala alamiah
dalam perkembangannya.
Berdasarkan prioritasnya, BPS
merangkum beberapa kelemahan
dan permasalahan yang dihadapi
UKM, antara lain: (a) minimnya
permodalan, (b) kesulitan dalam
pemasaran, (c) persaingan usaha
Sumber: newsletter.marsindonesia.com yang ketat, (d) kesulitan bahan baku,
Gambar 2 Perkembangan industri UKM di Indonesia (e) minimnya teknis produksi dan
keahlian, (f) minimnya keterampilan
manajerial (SDM) dan (g) minimnya
pengetahuan dalam masalah manajemen khususnya bidang keuangan dan akuntansi. Namun
demikian, UKM cenderung lebih bersifat entrepreneurial, fleksibel, dan inovatif. Kelebihan inilah
yang membuat UKM dapat beradaptasi dengan niche market dan responsif terhadap kebutuhan
pelanggan.
Pemasaran merupakan bidang yang menjadi masalah mendasar pada pengusaha skala kecil.
Keberadaanya yang penting bagi perkembangan suatu bisnis, acap kali kurang diperhatikan oleh
pengusaha skala kecil. Masalah di bidang pemasaran yang dihadapi pengusaha kecil pada
umumnya terfokus pada tiga hal, yaitu: (1) masalah persaingan pasar dan produk, (2) masalah
akses terhadap informasi pasar, dan (3) masalah kelembagaan pendukung usaha kecil (Hadiyati,
2009). Pemasaran sering dianggap sebagai suatu pemborosan sumber daya, karena pengetahuan
mereka tentang pemasaran hanya terbatas pada promosi penjualan yang memerlukan biaya tinggi.
Hasil penelitian Stokes (2000) menyatakan bahwa para pelaku UKM selama ini beranggapan
bahwa konsep pemasaran adalah sesuatu yang hanya dilakukan perusahaan besar. Pemikiran ini
muncul karena buku teks pemasaran yang tersebar di pasaran, umumnya membahas studi kasus
hanya pada perusahaan-perusahaan besar.
Sebagian besar dari pengusaha kecil sebenarnya telah melakukan praktek pemasaran pada
bisnisnya, namun banyak diantara mereka yang justru tidak menyadari hal tersebut. Kondisi ini
menunjukkan bahwa faktanya para pengusaha kecil juga telah melakukan praktek pemasaran, akan
tetapi dengan cara yang berbeda dari buku teks pemasaran konvensional yang selama ini hanya
berfokus pada perusahaan besar. Hal ini memberi gambaran bahwa keberadaan konsep pemasaran
yang lebih sesuai dengan karakteristik UKM yang notabene memiliki keterbatasan sumber daya
dan permasalahan khusus, sangatlah dibutuhkan.
Entrepreneurial marketing
Sumber: ocw.mit.edu
Pada buku ini, ruang lingkup entrepreneurial marketing lebih difokuskan dalam kaitannya
dengan usaha skala kecil dan menengah (UKM). Hal ini sesuai dengan pandangan Kotler dalam
Bjerke dan Hultman (2002) yang mengkategorikan kewirausahaan pemasaran sebagai pemasaran
dalam tahap perkembangan awal sebuah bisnis, di mana tingkat kewirausahaan cenderung tinggi
dan tingkat formalisasi praktik pemasaran rendah, sehingga praktek pemasaran ini dapat
mencerminkan kepribadian pemilik dan tujuan usaha. Pernyataan tersebut didukung oleh Bjerke
dan Hutltman (2002), dalam bukunya yang berjudul “Entrepreneurial marketing: The Growth of
small firms in the new economic era”, yang mendefinisikan entrepreneurial marketing sebagai
konsep pemasaran perusahaan retailer yang tumbuh melalui kewirausahaan. Hill dan Wright
(2000) juga termasuk dalam peneliti yang mendukung konsep entrepreneurial marketing pada
UKM, di mana didefinisikan bahwa entrepreneurial marketing sebagai sebuah aliran baru
penelitian yang menggambarkan orientasi pemasaran perusahaan retailer yang memanfaatkan
ilmu entrepreneurial marketing untuk memasarkan produknya. Konsep ini erat kaitannya dengan
inovatif dan penciptaan nilai tambah, yang mana keduanya merupakan hal mutlak yang ada pada
jiwa entrepreneurship. Lebih mendalam, Stokes (2000) memfokuskan konsep entrepreneurial
marketing pada elemen inovasi dan pengembangan ide-ide sesuai dengan perkembangan pasar,
sebagai kunci untuk kelangsungan hidup, pengembangan dan keberhasilan usaha kecil atau usaha
baru. Sehingga, dari beberapa definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa entrepreneurial
marketing merupakan sebuah ilmu baru dalam penelitian pemasaran yang merupakan refleksi dari
sikap proaktif pelaku usaha dalam mengidentifikasi dan mengeksploitasi berbagai peluang untuk
mendapatkan dan mempertahankan pelanggan melalui berbagai pendekatan inovatif, pengelolaan
resiko, pengoptimalan sumberdaya, penciptaan nilai tambah, hingga menjaga hubungan dengan
stakeholder melalui berbagai karakteristik wirausaha sebagai konsep dasarnya.
Meskipun entrepreneurial marketing merupakan area baru dalam pemasaran, namun
keberadaanya bukan sebagai pengganti atau subtitutor dari konsep pemasaran konvensional.
Pendekatan entreprenurial marketing diposisikan sebagai pelangkap atau kompementer dari teori
yang sudah ada (Bjerke dan Hutlman 2002), di mana pendekatan ini menjadi sebuah pendekatan
kontingensi yang lebih sesuai ditinjau dari keterbatasan sumber daya dan permasalahan yang ada
pada UKM (Stokes 2000).
Dalam entrepreneurial marketing, pelaku usaha memainkan bagian integral dalam inovasi
berkelanjutan. Kewirausahaan dikaitkan dengan perhitungan pengambilan risiko, yang berarti
upaya untuk mengidentifikasi faktor risiko untuk kemudian mengurangi risiko tersebut. Risiko
tercermin dalam berbagai keputusan alokasi sumber daya yang dibuat oleh para pelaku usaha. Jika
pada conventional marketing pandangan risiko berfokus pada minimisasi risiko dalam setiap
langkah pemasarannya, hal lain terjadi pada entrepreneurial marketing. Entrepreneurial
marketing justru menganggap bahwa kegiatan pemasaran adalah mesin untuk menghitung suatu
risiko. Fokusnya adalah pada pengelolaan risiko mulai dari identifikasi hingga mitigasi. Perbedaan
conventional marketing dan entrepreneurial marketing dirangkum pada tabel berikut.
Entrepreneurial marketing dan conventional marketing atau dikenal juga sebagai
traditional marketing memang memiliki beberapa perbedaan dalam hal sudut pandangnya.
Keberadaan keduanya jelas terlihat dalam penempatan masing-masing konsep pada skala usaha
yang digeluti. Namun, pada dasarnya perbedaan antara entrepreneurial marketing dan
conventional marketing sebenarnya bukan terletak pada konsep bauran pemasarannya, namun
lebih pada perbedaan dalam konten dan kombinasi di dalamnya. Stokes (2000) memaparkan
perbedaan keduanya dalam Tabel 2 berikut.
Tabel 2 Perbedaan prinsip pemasaran tradisional dan kewirausahaan
Meringkas perbedaan antara entrepreneurial marketing (EM) dan pemasaran tradisional
sebagai orientasi bisnis, pada tingkat strategis, tingkat taktis dan cara pengumpulan informasi pasar
– kita menyimpulkan bahwa (Stokes, 2000a):
a) Dalam hal orientasi bisnis diketahui bahwa, tidak seperti pemasaran tradisional yang
didefinisikan oleh orientasi pelanggan, EM didefinisikan oleh kewirausahaan dan orientasi
inovasi. Jika pada konsep pemasaran tradisional memerlukan penilaian kebutuhan pasar
dengan pasti sebelum mengembangkan produk, para pelaku usaha memulainya dengan
sebuah ide dan kemudian mencoba untuk menemukan pasar tersebut. Penemuan pasar
bukan berdasarkan pada analisis pasar secara pasti, namun melalui ide-ide dan perasaan
intuitif tentang sesuatu yang harus dibutuhkan. Kegiatan inovasi yang dilakukan pelaku
usaha meliputi kegiatan-kegiatan penyesuaian dalam upaya pendekatan pasar demi
mencapai keunggulan kompetitif.
b) Pada tingkat strategis, pemasaran tradisional memerlukan pendekatan top-down, yang
urutannya jelas seperti: segmentasi, targeting dan setelah itu positioning. Di sisi lain, para
pelaku usaha sukses mempraktikkan proses sebaliknya dari bawah ke atas, yaitu: pertama-
tama mengidentifikasi peluang pasar yang mungkin yang selanjutnya diuji melalui proses
trial dan error. Setelah itu, perusahaan mulai melayani kebutuhan beberapa klien, dan
kemudian memperluas dirinya sebagai pengusaha yang berkontak langsung dengan klien
untuk mengetahui preferensi dan kebutuhan mereka. Kemudian, para pelaku usaha
memperluas basis konsumen awalnya dengan mencari lebih banyak konsumen dengan
profil yang sama melalui berita pemasaran word of mouth. Seringkali proses ini
berlangsung tidak sengaja, seperti pelanggan baru yang datang sebagai hasil dari
rekomendasi pelanggan awal. Oleh karena itu, dalam entrepreneurial marketing, target
pasar dibentuk oleh proses eliminasi dan seleksi mandiri.
c) Pada tingkat taktis, EM tidak cocok dalam model 4P karena pengusaha
mengadopsi pendekatan pemasaran interaktif, mengingat preferensi mereka untuk secara
langsung berkontak pribadi dengan pelanggan. Pengusaha berinteraksi dengan pelanggan
selama personal selling dan kegiatan relationship marketing. Interaksi tersebut
ditingkatkan dengan word of mouth yang penting untuk menghasilkan arahan yang jelas.
Para entrepreneur lebih menyukai pemasaran interaktif, karena mereka memiliki
kemampuan berinteraksi dengan target pasar secara langsung. Selain itu, mereka juga
memiliki preferensi yang kuat dalam kontak personal dengan konsumen dan tidak melalui
promosi massa. Mereka lebih memilih untuk menjaga hubungan pembicaraan sebagai
suatu cara untuk mendengar dan merespon suara konsumen, daripada melakukan penelitian
pasar formal. Pemasaran interaktif pada usaha kecil dan menengah (UKM) berisi tentang
reponsivitas atau kemampuan untuk mengkomunikasikan dan merespon cepat konsumen
individu.
d) Entrepreneurial marketing merupakan asepk pemasaran yang menitikberatkan pada
kebutuhan terciptanya networking yang mampu mendukung perusahaan. Hal ini terlihat
dalam hal pengumpulan informasi pasar, di mana jaringan informal lebih diminati daripada
riset pasar secara formal. Meski para pelaku UKM menyadari pentingnya pemantauan
terhadap lingkungan pemasaran, tapi mereka lebih memilih menggunakan metode informal
seperti pengamatan pribadi atau pengumpulan informasi melalui kontak jaringan mereka.
Penolakan terhadap metode penelitian formal adalah konsekuensi logis dari fakta bahwa
mereka tidak percaya pada kemampuan untuk memprediksi masa depan. Hal ini
mengejutkan, karena faktanya praktek-praktek terbaik dari pengusaha sukses sering
mengabaikan konsep pemasaran tradisional. Meski demikian, hal ini menjadi kekhawatiran
tersendiri tentang bagaimana untuk memberikan nilai jangka panjang pelanggan.
Pendekatan intuitif mereka tidak selalu logis, karena mereka "hidup" dengan kebutuhan
dan preferensi pelanggan mereka.
Dewasa ini, konsep entrepreneurial marketing semakin mengalami perkembangan.
Beberapa peneliti amat concern dalam membuat framework konsep ini, sehingga banyak diantara
mereka yang mencoba membuat klasifikasi perbedaan antara konsep pemasaran konvensional
dengan entrepreneurial marketing. Jika dilihat dari sudut pandang yang lain, pemasaran tradisional
cenderung memerlukan investasi uang yang besar, namun bagi entrepreneurial marketing,
investasi waktu, imajinasi, energi dan pengetahuan memiliki porsi yang lebih besar daripada
investasi uang. Hal ini dikarenakan konsep entrepreneurial marketing sejak awal lebih ditujukan
bagi bisnis dengan dana terbatas yang identik dengan karakteristik dari UKM.
Selanjutnya, ditinjau dari segi ukuran kunci suksesnya, entrepreneurial marketing
mengukur keberhasilannya melalui besarnya keuntungan yang didapat. Hal yang berbeda terjadi
pada konsep traditional marketing yang mana lebih sering mengukur keberhasilannya dengan
penjualan. Perusahaan besar jelas tertarik pada keuntungan, tetapi umumnya keuntungan tidak
dijadikan program tertentu dari kegiatan pemasarannya. Entrepreneurial marketing didasarkan
pada pemahaman tentang perilaku manusia. Para pelaku UKM mengetahui bahwa keputusan
pembelian dibuat dalam pikiran bawah sadar manusia, yang terus terjadi dengan pengulangan.
Oleh karenanya, mereka sering berkomunikasi dengan pelanggan secara personal melalui berbagai
media sosial. Selanjutnya, pemasaran tradisional berfokus pada pertumbuhan linier dengan cara
memperoleh satu pelanggan pada satu waktu. Sedangkan entrepreneurial marketing menemukan
cara baru untuk tumbuh secara geometris.
Beberapa cara yang dilakukan oleh pelaku usaha kecil adalah mencari aliansi yang akan
membuat aliran konstan bisnis baru melalui arahan dan dukungan, mencari cara untuk
meningkatkan ukuran dari penjualan mereka dengan up-selling dan cross-selling di setiap
kesempatan dan meningkatkan ukuran bisnis mereka dengan menawarkan produk dan layanan
back-end untuk pelanggan yang puas. Berbeda dengan pemasaran tradisional yang diposisikan
sebagai monolog yang diarahkan pelanggan, entrepreneurial marketing berbicara tentang dialog
dengan pelanggan. Pelaku UKM menganggap bahwa dengan berbicara dan mendengarkan
pelanggan, mereka akan mendapatkan ide-ide terbaik untuk peningkatan produk yang ada atau
produk baru.
Penerapan pemasaran kewirausahaan saat ini