Disusun Oleh:
Anindya Anjas Putriavi
NPM 1102014027
Pembimbing:
dr. Sri Sunarmiasih, Sp.An, KIC
Jakarta
Disusun oleh:
1102014027
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…............................................................................................1
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3
KATA PENGANTAR .............................................................................................. 4
BAB I ...................................................................................................................... 5
PENDAHULUAN................................................................................................... 5
BAB II ..................................................................................................................... 6
LAPORAN KASUS ................................................................................................ 6
BAB III.................................................................................................................. 19
TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................ 19
3.1. Intensive Care Unit (ICU) ......................................................................... 19
3.2. Trias Kematian .......................................................................................... 25
3.3. Syok Hipovolemik..................................................................................... 31
BAB IV ................................................................................................................. 39
SIMPULAN .......................................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 40
3
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat
rahmat-Nya, penulis berhasil menyelesaikan penulisan presentasi kasus yang
berjudul “Pasca Histerektomi Total Safingooforektomi Bilateral dengan
Perdarahan Intraoperasi 750 mL”.
Presentasi kasus ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik di Instalasi Anestesi dan Reanimasi Rumah Sakit Pusat
Angkatan Darat Gatot Soebroto. Penulisan presentasi kasus ini tidak lepas dari
bantuan dan bimbingan berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini
penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Sri Sunarmiasih, Sp.An,
KIC, selaku pembimbing dalam penyusunan presentasi kasus ini yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan ilmunya dan teman-teman sekelompok
kepaniteraan.
Dalam penulisan presentasi kasus ini penulis menyadari bahwa masih jauh
dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun
dari segi isi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua
pihak yang bersifat membangun untuk memperbaiki presentasi kasus ini. Penulis
berharap presentasi kasus ini dapat membawa manfaat bagi semua pihak. Semoga
Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan semua pihak yang telah
membantu. Aamiin ya rabbal’alamin.
Penulis
4
BAB I
PENDAHULUAN
ICU adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri, dengan staf yang
khusus dan perlengkapan yang khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan
dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit akut, cedera atau penyulit-
penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa dengan
prognosis dubia yang diharapkan masih reversibel.
Trias of death adalah keadaan yang diakibatkan oleh hipotermia, koagulopati
dan asidosis metabolik yang saling berkaitan satu sama lain sehingga ketiga
keadaan ini membentuk suatu siklus segitiga yang dapat mengakibatkan kematian.
Keadaan ini sering terjadi pada kondisi pasien yang mengalami trauma dengan
perdarahan yang masif dengan keterlambatan penanganan.
Syok merupakan suatu keadaan dimana aliran darah tidak memadai untuk
memenuhi permintaan kebutuhan oksigen jaringan, sehingga mengakibatkan
terjadinya hipoksia jaringan dan sel. Karena hipoksia, pada syok terjadi gangguan
metabolisme sel, sehingga dapat timbul kerusakan irreversible pada jaringan organ
vital. Perdarahan merupakan keadaan darurat medis yang sering dihadapi oleh
dokter di ruang gawat darurat dan unit perawatan intensif. Kondisi ini dapat
menyebabkan hilangnya secara cepat dan signifikan volume dari intravaskular
sehingga terjadi syok hipovolemik, yang juga dikenal sebagai syok hemoragik.
5
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Keluhan Utama :
Perut yang semakin membesar sejak 5 tahun sebelum masuk rumah sakit.
C. Riwayat operasi:
Tahun 1997: operasi pengangkatan kista coklat (anestesi umum)
Tahun 2003: operasi seccio caesaria karena janin besar (anestesi spinal)
Tahun 2007: operasi seccio caesaria karena hipertensi dalam kehamilan (anestesi
spinal)
8
Pulmo
Inspeksi : retraksi (-), gerakan dada simetris kanan dan kiri
Palpasi : fremitus vokal simetris kanan dan kiri
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba
Perkusi : Batas jantung kesan tidak membesar
Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Membesar, luka operasi tertutup verband
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (+)
Genitalia : perdarahan aktif (-)
Ekstremitas
Superior : terpasang IV line pada tangan kiri, akral dingin, sianosis (-/-),
edema (-/-)
Inferior : akral dingin, sianosis (-/-), edema (-/-)
11
Radiologi
Pemeriksaan radiologi thorax proyeksi AP, dengan hasil sebagai berikut:
- Jantung kesan tidak membesar (CTR <50%)
- Aorta dan mediastinum superior tidak melebar
- Trakea ditengah. Kedua hilus tidak menebal
- Corakan bronkovaskular kedua paru baik
- Tidak tampak infiltrat maupun nodul di kedua lapangan paru
- Kedua hemidiafragma licin. Kedua sinus kostofrenikus lancip
- Tulang-tulang intak
Kesan: Tidak tampak kelainan radiologis pada jantung dan paru
USG Ginekologi
Interpretasi:
Uterus: tampak cervix normal, tampak massa di dalam uterus ukuran 11,2 x 14,5
cm berasal dari miometrium.
Adneksa kanan dan kiri: sulit diidentifikasi
Kesan: mioma uteri
2.5. PENATALAKSANAAN
a. Medikamentosa
12
IVFD RD5% 60 mL/jam
IVFD Asering 60 mL/jam (bila RD5% habis)
Epidural Rupivacain 0,3% 5 mL/jam
Transfusi PRC 500 mL
Obat: Ampicillin Sulbactam 4x1,5 gr iv
Ketorolac 3x30 mg iv
Ranitidin 2x50 mg iv
Ramipril 1x5 mg po
Concor 1x2,5 mg po
b. Non Medikamentosa:
Head up 45o
Observasi KU, TTV dan Balans Cairan per jam
Cegah infeksi dan nyeri
Lab lengkap
Transfusi PRC dan periksa darah lengkap 6 jam post transfusi
2.6. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia
Ad sanactionam : dubia ad bonam
13
2.7. FOLLOW UP
Tanggal Catatan Instruksi
23/04/2019 S: Pasien mengeluh masih lemas, pandangan IVFD Asering 60
22.00 WIB sudah tidak berbayang dan terasa nyeri luka mL/jam
operasi (VAS 2) Inj. Ampicillin
O: Sulbactam 4x1,5 gr
Keadaan umum : tampak sakit sedang Inj. Ketorolac 3x30
Kesadaran : GCS 15 (E4 M6 V5) mg
Tanda vital : Inj. Ranitidin 2x50
TD : 101/54 mmHg mg
HR : 92 x/menit Ramipril 1x5 mg
RR : 16 x/menit
Concor 1x2,5 mg
T : 36oC (per axilla)
Head up 45o
Status Generalis Observasi KU, TTV
Kepala: normocephal dan Balans Cairan
Kulit: pucat per jam
Mata: konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik Cegah infeksi dan
(-/-), pupil isokor
Hidung: terpasang nasal kanul, oksigen 3 LPM nyeri
Mulut: bibir sianosis (-), mukosa basah (+) Periksa darah
Toraks: bentuk normal lengkap post
Pulmo: vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing transfusi
(-/-)
Cor: suara jantung I-II normal, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen: luka operasi tertutup verband,
rembesan (-), nyeri tekan (+)
Genitalia: perdarahan aktif (-)
Ekstremitas: akral hangat, edema (-/-)
14
Kulit: pucat Observasi KU, TTV
Mata: konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik dan Balans Cairan
(-/-), pupil isokor per jam
Hidung: terpasang nasal kanul, oksigen 3 LPM
Mulut: bibir sianosis (-), mukosa basah (+) Cegah infeksi dan
Toraks: bentuk normal nyeri
Pulmo: vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing Ajukan darah PRC
(-/-) 300 mL
Cor: suara jantung I-II normal, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen: luka operasi tertutup verband,
rembesan (-), nyeri tekan (+)
Genitalia: perdarahan aktif (-)
Ekstremitas: akral hangat, edema (-/-)
15
24/03/2019 S: Pasien mengeluh lemas berkurang, belum IVFD Asering 60
15.30 WIB banyak bergerak, nyeri luka operasi (VAS 2) mL/jam
Inj. Ampicillin
O:
Sulbactam 4x1,5 gr
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : GCS 15 (E4 M6 V5) Inj. Ketorolac 3x30
Tanda vital : mg
TD : 118/72 mmHg Inj. Ranitidin 2x50
HR : 69 x/menit mg
RR : 20 x/menit Ramipril 1x5 mg
T : 36,7oC (per axilla)
Concor 1x2,5 mg
Status Generalis Head up 45o
Kepala: normocephal Observasi KU, TTV
Kulit: pucat dan Balans Cairan
Mata: konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik per jam
(-/-), pupil isokor Cegah infeksi dan
Hidung: terpasang nasal kanul, oksigen 3 LPM
nyeri
Mulut: bibir sianosis (-), mukosa basah (+)
Toraks: bentuk normal Transfusi PRC 300
Pulmo: vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing mL
(-/-) Lapor DPJP untuk
Cor: suara jantung I-II normal, murmur (-), pindah ruang rawat
gallop (-)
Abdomen: luka operasi tertutup verband,
rembesan (-), nyeri tekan (+)
Genitalia: perdarahan aktif (-)
Ekstremitas: akral hangat, edema (-/-)
17
Status Hemodinamik
140
120
100
80
60
40
20
0
16.00 17.00 18.00 19.00 20.00 21.00 22.00 23.00 00.00
Status Hemodinamik
140
120
100
80
60
40
20
0
01.00 02.00 03.00 04.00 05.00 06.00 07.00 08.00 09.00 10.00 11.00 12.00 13.00
18
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
21
b) Pasien dalam keadaan vegetatif permanen.
c) Pasien yang telah dipastikan mengalami mati batang otak namun hanya
karena kepentingan donor organ, maka pasien dapat dirawat di lCU.
Tujuan perawatan di lCU hanya untuk menunjang fungsi organ sebelum
dilakukan pengambilan organ untuk donasi.1
Selain indikasi dari skala prioritas, terdapat juga indikasi dari kriteria lainnya.
Hal tersebut sebagai berikut:
1. Kriteria berdasarkan Sistem Organ
a) Penilaian Sistem Kardiovaskular
Acute myocard infark dengan komplikasi, Syok kardiogenik, Complex
arrhythmia yang memerlukan pengawasan ketat dan intervensi, Gagal
jantung akut dengan gagal nafas dan atau memerlukan bantuan
hemodinamik, Hipertensi emergensi, Unstable angina, yang disertai
aritmia, hemodinamik yang tidak stabil, atau nyeri dada yang presisten,
Pasca pemulihan setelah henti jantung, Tamponade jantung dengan
hemodinamik yang tidak stabil, Diseksi aneurisma aorta, Blok jantung
total, Laju jantung <50 kali/menit atau >150 kali/menit dengan instabilitas,
Gagal jantung kronis dekompensata yang membutuhkan pemantauan
intensif.
b) Penilaian Sistem Respirasi
Gagal nafas akut yang memerlukan ventilator, Emboli paru dengan kondisi
hemodinamik yang tidak stabil, Pasien ruang perawatan High Care Unit
yang menunjukkan perburukan pada sistem pernapasan, Hemoptisis
massif, Gagal nafas dengan memerlukan intubasi
c) Penilaian Sistem Gastrointestinal
Perdarahan saluran cerna yang disertai hipotensi terus-menerus, Gagal hati
fulminant, Pankreatitis berat, Perforasi esofagus dengan atau tanpa
mediastinitis, Abdomen yang tegang dengan pertimbangan adanya
hipertensi
22
d) Penilaian Sistem Endokrin
Ketoasidosis diabetikum dengan instabilitas hemodinamik, perubahan
status mental, insufisiensi pernapasan, Krisis tiroid dengan instabilitas
hemodinamik, Hiperosmolar status dengan koma dan atau instabilitas
hemodinamik, Gangguan endokrin lainnya seperti krisis adrenal dengan
instabilitas hemodinamik, Hiperkalemia berat dengan perubahan status
mental yang memerlukan monitoring hemodinamik, Hipo atau
hipernatremia dengan kejang, perubahan status mental, Hipo atau
hipermagnesemia dengan kegagalan hemodinamik, Hipo atau
hiperkalemia dengan aritmia atau kelemahan otot, Hipofosfatemia dengan
kelemahan otot
e) Penilaian Sistem Renal
Gagal ginjal yang baru didiagnosisdengan azotemia berat (ureum >200
mg/dL), Produksi urin <0.5 ml/kgbb/jam selama >3jam dan ada
pertimbangan hemodinamik yang tidak membaik, Penurunan akut
bersihan kreatinin <30 ml, Membutuhkan terpi pengganti ginjal
f) Penilaian Sistem Saraf Pusat
Stroke akut dengan perubahan status mental, Koma: metabolik, toksik,
atau anoksik, Perdarahan intracranial yang berpotensi terjadi herniasi,
Perdarahan subarachnoid akut, Meningitis dengan perubahan status mental
atau gangguan pernapasan, Sistem saraf pusat dan neurumuskular disorder
dengan disorientasi saraf dan fungsi paru, Status epileptikus, Pasien mati
batang otak atau berpotensi mati batang otak dengan status pendonor
organ, Pasien dengan cedera kepala berat
g) Penilaian Sistem Hematologi
Trombositopenia (<70.000) dengan bukti perdarahan, Koagulopati (INR >
2.5 atau APTT >40-50 detik) dengan bukti perdarahan aktif, Bukti
hemolisis aktif dengan penurunan hematocrit, Leukosit >100.000/mcl, dan
terutama dengan fungsi organ target
h) Pembedahan
Pasien post operasi yang memerlukan pengawasan
hemodinamik/dukungan ventilator atau perawatan intensif
23
i) Gangguan Lainnya
Syok septik dengan instabilitas hemodinamik, Pengawasan hemodinamik,
Trauma lingkungan (listrik, hipotermi, hipertermi)
2. Model Parameter Objektif
a) Tanda Vital
1. Nadi <40 atau >150 kali/menit
2. Tekanan darah sistolik <80 mmHg atau 20 mmHg dibawah tekanan
darah biasa pasien
3. Mean arterial pressure <60 mmHg
4. Tekanan diastolik >120 mmHg
5. Respiratory rate >35 kali/menit
b) Laboratorium
1. Serum natrium <110 mEq/L atau >170 mEq/L
2. Serum kalium <2.0 mEq/L atau >7.0 mEq/L
3. PaO2 <50 mm Hg
4. pH <7.1 atau >7.7
5. Serum glukosa >800 mg/dL
6. Serum kalsium >15 mg/dL
b. Kriteria Keluar
Prioritas pasien dipindahkan dari ICU berdasarkan pertimbangan medis oleh
kepala lCU dan atau tim yang merawat pasien, antara lain:
1. Penyakit atau keadaan pasien telah membaik dan cukup stabil, sehingga tidak
memerlukan terapi atau pemantauan yang intensif lebih lanjut.
2. Secara perkiraan dan perhitungan terapi atau pemantauan intensif tidak
bermanfaat atau tidak memberi hasil yang berarti bagi pasien. Apalagi pada
waktu itu pasien tidak menggunakan alat bantu mekanis khusus (seperti
ventilasi mekanis). Contoh golongan pasien demikian, antara lain pasien yang
menderita penyakit stadium akhir (misalnya ARDS stadium akhir). Sebelum
dikeluarkan dari ICU sebaiknya keluarga pasien diberikan penjelasan alasan
pasien dikeluarkan dari ICU.
3. Pasien atau keluarga menolak dirawat lebih lanjut di ICU (keluar paksa).
24
4. Pasien hanya memerlukan observasi secara intensif saja, sedangkan ada
pasien lain yang lebih gawat yang memerlukan terapi dan observasi yang
lebih intensif. Hendaknya diusahakan pindah ke ruang HCU.1
C. Jenis-Jenis ICU
1. Intensive Coronary Care Unit
Merupakan unit perawatan intensif untuk penyakit jantung, terutama penyakit
jantung koroner, serangan jantung, gangguan irama jantung yang berat dan gagal
jantung.
2. Neonatal Intensive Care Unit
NICU adalah unit perawaran intensif yang khusus merawat bayi baru lahir yang
sakit atau prematur.
3. Pediatric Intensive Care Unit
PICU adalah unit perawaran intensif yang khusus merawat bayi yang sakit kritis,
anak-anak, dan remaja.
4. Post Anesthesia Care Unit
PACU adalah unit perawatan intensif pasca operasi dan stabilisasi pasien setelah
operasi bedah dan anestesi. Pasien biasanya berada dalam PACU untuk waktu
terbatas dan harus memenuhi kriteria sebelum di transfer kembali ke bangsal. 3
26
tindakan pembedahan darurat terlebih memperoleh tambahan suhu dingin dari
ruang operasi yang dingin. Keadaan hipotermia ini nantinya akan menganganggu
sistem sirkulasi, darah, metabolisme dan respiratorik yang nantinya akan
menyebabkan keadaan asidosis dan koagulopati6.
Koagulopati adalah gangguan pembekuan darah yang mengakibatkan
perdarahan yang berlebihan. Koagulopati adalah proses patologis yang
menyebabkan kegagalan hemostasis atau mekanisme untuk menghentikan dan
mencegah perdarahan4.
A. Hipotermia
Suhu tubuh manusia normal adalah 35,6-37,8oC dengan hipotermia
didefinisikan sebagai suhu inti <35oC. Dalam satu penelitian, ditemukan bahwa
hampir setengah dari pasien trauma yang diangkut EMS memiliki suhu <36oC
pada saat kedatangan. Penting untuk dicatat adalah bahwa tidak ada hubungan
antara musim tahun dan frekuensi hipotermia. Pada risiko tertinggi adalah pasien
yang lebih tua dari 65 tahun dan mereka yang terperangkap. Selain itu,
hipotermia pada trauma dikaitkan dengan peningkatan mortalitas yang
signifikan dibandingkan dengan pasien dengan suhu tubuh yang sama dari
paparan lingkungan saja. Dalam sebuah penelitian terhadap 71 korban trauma,
suhu inti <32oC dikaitkan dengan kematian 100% independen dari adanya syok,
tingkat keparahan cedera atau volume resusitasi cairan. Karena hipotermia pada
pasien trauma memprediksi hasil yang buruk, sistem klasifikasi tradisional
hipotermia telah direvisi untuk digunakan pada populasi pasien yang rentan.
27
Perhatian khusus efek hipotermia pada sistem koagulasi. Sistem koagulasi
adalah serangkaian reaksi yang tergantung suhu dan pH dari reaksi enzimatik
kompleks yang mengakibatkan pembentukan bekuan darah untuk menghentikan
baik pendarahan internal maupun eksternal.
Coagulopathy adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
sekelompok besar keadaan penyakit di mana ada gangguan kemampuan sistem
koagulasi ini untuk mensintesis gumpalan darah. Telah berulang kali ditunjukkan
bahwa ketika suhu inti pasien menurun, begitu juga kemampuan tubuh untuk
menghentikan perdarahan. Hasil dari gangguan fungsi trombosit, penghambatan
faktor pembekuan, dan aktivasi gangguan bekuan yang tidak tepat.
Hipotermia pada pasien trauma disebabkan oleh banyak faktor. Syok
hemoragik, cedera otak traumatis, dan keracunan alkohol merusak kemampuan
tubuh untuk mengatur suhu inti. Selain itu, pasien pada usia ekstrem dan mereka
yang memiliki kondisi medis tertentu seperti diabetes atau penyakit tiroid berisiko
lebih tinggi untuk mengalami hipotermia setelah trauma. Selanjutnya, pasien-
pasien dengan paparan lingkungan yang berkepanjangan seperti selama pelepasan
dan mereka dengan luka bakar yang parah beresiko untuk kehilangan panas yang
cepat menyebabkan hipotermia yang mendalam.
Akhirnya, pertimbangan perawatan penting untuk pasien trauma adalah
suhu cairan dan produksi darah yang kita infus sebagai terapi yang bermaksud baik.
Suhu kamar normal saline (20-25 oC) hipotermik relatif terhadap suhu tubuh normal
yang diinginkan. Dengan demikian, resusitasi volume besar bahkan dengan cairan
suhu kamar IV dapat berkontribusi secara signifikan pada trias mematikan.
B. Asidosis
Tingkat pH merupakan ukuran keasaman darah pada skala 0-14; air
memiliki pH “netral” 7,0. Individu yang sehat mempertahankan pH normal
fisiologis 7,35-7,45 melalui keseimbangan kompleks ion hidrogen (asam) dan
penyangga didominasi dikendalikan oleh paru-paru dan sistem ginjal.
Asidosis didefinisikan sebagai pH arteri <7,35 dan dapat dihasilkan dari
berbagai keadaan penyakit. Namun, pada pasien trauma, kontributor utama
adalah perfusi yang buruk pada jaringan. Anemia dari kehilangan darah akut,
vasokonstriksi perifer sebagai respons terhadap hipotermia dan kehilangan
28
darah, dan keseluruhan penurunan curah jantung sangat merusak pengiriman
oksigen ke jaringan. Ini menghasilkan permintaan oksigen jaringan jauh
melebihi pengiriman oksigen. Jadi, untuk membuat energi fungsional, sel-sel
tubuh dipaksa untuk menggunakan metabolisme anaerobik daripada
metabolisme aerobik normal, yang menghasilkan produksi asam laktat sebagai
produk samping. Ketika perfusi pasien trauma memburuk, asam laktat
terakumulasi dengan cepat di jaringan. Ini menyebabkan pH tubuh menurun,
sehingga terjadi asidosis metabolik yang parah. Penting untuk dicatat bahwa
proses ini sering terjadi di hadapan tanda vital normal atau hanya sedikit
abnormal.
Penyebab tambahan asidosis pada pasien
trauma adalah resusitasi berlebihan menggunakan
larutan kristaloid tidak seimbang seperti saline
normal. Dengan pH sekitar 5,5, saline normal jauh
lebih asam daripada pH darah normal yang
diinginkan. Dalam resusitasi volume besar, normal
saline dapat diduga menyebabkan asidosis
metabolik sendiri sebagai akibat dari kandungan
klorida yang tinggi. Asidosis metabolik
hiperkloremik ini hanya berfungsi untuk
membentuk asidosis laktik yang ada. Selain itu, ada bukti bahwa penggunaan
salin normal berlebihan dengan kandungan klorida yang tinggi dapat
meningkatkan inflamasi jaringan sistemik. Dengan demikian berkontribusi
trauma pada koagulopati. Laktat Ringers (LRs) adalah substitusi yang tidak
sempurna: Meskipun pH-nya adalah 6.5, LR mengandung laktat dan tidak sesuai
dengan banyak obat dan produksi darah.
Terakhir, pasien trauma mungkin juga memiliki asidosis pernapasan. Ini
merupakan hasil dari hipoventilasi karena depresi pernafasan atau obstruksi
yang mengakibatkan hiperkapnia (peningkatan kadar CO2). Penyebab umum
asidosis respiratorik pada trauma termasuk penggunaan narkotika atau alkohol,
cedera otak traumatis, cedera dada atau kondisi medis yang sudah ada
sebelumnya seperti penyakit paru obstruktif kronik.
29
C. Koagulopati
Koagulopati dapat terjadi karena sejumlah alasan. Namun, terlepas dari
penyebab spesifik, koagulopati menghasilkan potensi perdarahan lanjutan pada
pasien trauma perdarahan. Koagulopati pada trauma adalah kejadian yang
umum, terjadi pada hampir satu dari empat pasien yang terluka parah yang tiba
di ruang gawat darurat. Lebih lanjut, keberadaannya dikaitkan dengan
peningkatan empat kali lipat mortalitas. Koagulopati trauma terjadi bukan hanya
karena hipotermia dan asidosis seperti yang telah dibahas sebelumnya, tetapi
juga sebagai akibat kehilangan faktor pembekuan melalui hemoragia dan
hemodilusi, dan penggunaan tubuh dan deplesi selanjutnya dari kedua trombosit
dan faktor pembekuan.
Koagulopati dilusional terjadi ketika kita menyadarkan pasien trauma
perdarahan dengan cairan atau produk darah yang tidak mengandung faktor
pembekuan yang sama yang hilang di seluruh darah yang perdarahan akut.
Kristalloid seperti salin normal dan sel darah merah dikemas mencairkan faktor
pembekuan yang tersisa beredar di darah korban trauma. Selanjutnya, pada luka
kritis, melalui serangkaian reaksi enzimatik yang kompleks, kaskade pembekuan
dapat menjadi abnormal diaktifkan, menyebabkan pembentukan bekuan berlebih
dan kerusakan berikutnya (fibrinolisis) di luar proporsi terhadap cedera.
Pengaktifan sistem koagulasi abnormal dan berlebihan ini cepat mengkonsumsi
faktor pembekuan tubuh yang tersisa, yang mengakibatkan defisiensi lebih lanjut
dari faktor esensial yang diperlukan untuk mencapai kontrol perdarahan.
Terakhir, penyedia EMS harus menyadari pasien trauma yang memiliki
koagulopati awal karena kondisi medis yang sudah ada sebelumnya. Contohnya
termasuk pasien pada terapi antikoagulan seperti Warfarin (Coumadin) atau
antikoagulan oral baru seperti dabigatran untuk pencegahan stroke dalam
pengaturan fibrilasi atrium. Pasien-pasien ini dan mereka dengan gagal hati atau
ginjal kronis memiliki peningkatan risiko mengembangkan koagulopati dan
perdarahan yang benar-benar mengancam jiwa setelah trauma.6
30
3.3. Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik disebut juga sebagai preload syok yang ditandai dengan
menurunnya volume intravaskular, baik karena perdarahan maupun hilangnya
cairan tubuh. Penurunan volume intravaskular ini menyebabkan penurunan volume
interventrikuler kiri pada akhir diastol yang akhirnya menyebabkan berkurangnya
kontraktilitas jantung dan menurunnya curah jantung. Syok hipovolemik
disebabkan oleh:
- Kehilangan darah, misalnya perdarahan.
- Kehilangan plasma, misalnya luka bakar.
- Dehidrasi, cairan yang masuk kurang (misalnya puasa lama), cairan yang keluar
banyak (misalnya diare, muntah-muntah, fistula, obstruksi usus dengan
penumpukan cairan di lumen usus).7
32
pembentukan asam laktat dan kemudian berkembang menjadi asidosis metabolik.
Apabila syok terjadi berkepanjangan dan penyampaian substrat untuk pembentukan
ATP tidak memadai, maka membran sel tidak dapat lagi mempertahankan
integritasnya dan gradien elektrik normal hilang.
33
ada) urine yang keluar, penurunan status mental (kehilangan kesadaran), dan
kulit dingin dan pucat.
Jumlah perdarahan ini akan mengancam kehidupan secara cepat.¹
Derajat Perdarahan
d. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diarahkan kepada diagnosis cedera yang mengancam jiwa dan
meliputi penilaian dari ABCDE. Mencatat tanda vital awal penting untuk memantau
respon penderita terhadap terapi. Yang harus diperiksa adalah tanda-tanda vital,
produksi urin dan tingkat kesadaran. Pemeriksaan penderita yang lebih rinci akan
menyusul bila keadaan penderita mengijinkan.
1. Airway dan Breathing
Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan cukupnya
pertukaran ventilasi clan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen untuk
mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95%.
34
2. Sirkulasi kontrol perdarahan
Termasuk dalam prioritas adalah mengendalikan perdarahan yang jelas terlihat,
memperoleh akses intravena yang cukup, dan menilai perfusi jaringan.
Perdarahan dari luka luar biasanya dapat dikendalikan dengan tekanan langsung
pada tempat perdarahan. Cukupnya perfusi jaringan menentiikan jumlah cairan
resusitasi yang diperlukan. Mungkin diperlukan operasi untuk dapat
mengzndalikan perdarahan internal.
3. Disability-pemeriksaan neurologi
Dilakukan pemeriksaan neurologi singkat untuk menentukan tingkat kesadaran,
pergerakan mata dan respon pupil, fungsi motorik dan sensorik. informasi ini
bennanfaat dalam menilai perfusi otak, mengikuti perkembarigan kelainan
neurologi dan meramalkan pemulihan. Perubahan fungsi sistem saraf sentral
tidak selalu disebabkan cedera intrakranial tetapi mungkin mencerminkan
perfusi otak yang kurang. Pemulihan perfusi dan oksigenasi otak harus dicapai
sebelum penemuan tersebut dapat dianggap berasal dari cedera ititrakranial.
4. Exposure-pemeriksaan lengkap
Setelah mengurus prioritas-prioritas untuk menyelamatkan jiwanya, penderita
harus ditelanjangi dan diperiksa dari "ubun-ubun sampai ke jari kaki" sebagai
bagian dari mencari cedera. Bila menelanjangi penderita, sangat penting
mencegah hipotermia.
5. Pemasangan kateter urin
Kateterisasi kandung kencing memudahkan penilaian urin akan adanya
hematuria dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau produksi urin.
35
baik. Jumlah cairan dan darah yang diperlukan untuk resusitasi sukar diramalkan
pada evaluasi awal penderita.
Pada tabel di bawah, dapat dilihat cara menentukan jumlah cairan dan darah
yang mungkin diperlukan oleh penderita. Perhitungan kasar untuk jumlah total
volume kristaloid yang secara akut diperlukan adalah mengganti setiap mililiter
darah yang hilang dengan 3 ml cairan kristaloid, sehingga memungkinkan resusitasi
volume plasma yang hilang ke dalam ruang interstitial dan intraseluler. Ini dikenal
dengan sebagai hukum "3 untuk 1" Namun, lebih penting untuk menilai respon
penderita kepada resusitasi cairan dan bukti perfusi dan oksigenasi end- organ yang
memadai, misalnya keluaran urin, tingkat kesadaran dan perfusi perifer.
Apabila pada waktu resusitasi jumlah cairan yang diperlukan untuk
memulihkan atau mempertahankan perfusi organ jauh melebihi perkiraan tersebut,
maka diperlukan penilaian ulang yang teliti dan perlu mencari cedera yang belum
diketahui atau penyebab lain untuk syoknya.
RESPON RESPON TANPA
CEPAT SEMENTARA RESPON
Tanda vital Kembali ke normal Perbaikan Tetap abnormal
sementara, tensi
dan nadi kembali
turun
Kehilangan Minimal (10-20%) Sedang (20-40%) Berat (>40%)
darah
Kebutuhan Sedikit Banyak Banyak
kristaloid
Kebutuhan Sedikit Sedang-banyak Segera
darah
Operasi Mungkin Sangat mungkin Emergensi
f. Terapi Kausal
Perdarahan merupakan penyebab tersering dari syok pada pasien-pasien
trauma, baik oleh karena perdarahan yang terlihat maupun perdarahan yang tidak
terlihat. Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan kuat, keeuali jika
miokard sudah mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat berkurang. Respons
tubuh terhadap perdarahan bergantung pada volume, kecepatan, dan lama
perdarahan. Bila volume intravaskular berkurang, tubuh akan selalu berusaha untuk
mempertahankan perfusi organ-organ vital (jantung dan otak) dengan
36
rnengorbankan perfusi organ lain seperti ginjal, hati, dan kulit. Akan terjadi
perubahan-perubahan hormonal melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron,
sistem ADH, dan sistem saraf simpatis. Cairan interstitial akan masuk ke dalam
pembuluh darah untuk mengembalikan volume intravaskular, dengan akibat terjadi
hemodilusi (dilusi plasma protein dan hematokrit) dan dehidrasi interstitial. Dengan
demikian, tujuan utama dalam mengatasi syok perdarahan adalah menormalkan
kembali volume intravaskular dan interstitial. Bila defisit volume intravaskular
hanya dikoreksi dengan memberikan darah maka masih tetap terjadi defisit
interstitial, dengan akibat tanda-tanda vital yang masih belum stabil dan produksi
urin yang kurang. Pengembalian volume plasma dan interstitial ini hanya mungkin
bila diberikan kombinasi cairan koloid (darah plasma, dextran) dan cairan garam
seimbang. Infus cairan tetap menjadi pilihan utama dalam menangani pasien hamil.
Bila telah jelas ada peningkatan isi nadi dan tekanan darah, infus harus dilambatkan.
Bahaya infus yang cepat adalah oedem paru, terutama pasien geriatri.
37
Perkiraan volume darah yang hilang dilakukan dengan kriteria Traumatic
Status dari Giesecke. Dalam waktu 30 sampai 60 menit susudah infusi, cairan
Ringer Laktat akan meresap keluar vaskular menuju interstitial. Demikian sampai
terjadi keseimbangan baru antara Volume Plasma/Intravascular Fluid (IVF) dan
Interstitial Fluid (ISF). Ekspansi ISF ini merupakan interstitial edema yang tidak
berbahaya. Bahaya edema paru dan edema otak dapat terjadi jika semula organ-
organ tersebut telah terkena trauma. 24 jam kemudian akan terjadi diuresis spontan.
Jika keadaan terpaksa, diuresis dapat dipercepat lebih awal dengan furosemid
setelah transfusi diberikan.
Jumlah produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif untuk perfusi
ginjal. Produksi urin yang normal pada umumnya menandakan aliran darah ginjal
yang cukup, bila tidak dimodifikasi oleh pemberian obat diuretik. Sebab itu,
keluaran urin merupakan salah satu dari pemantauan utama resusitasi dan respons
penderita. Dalam batas tertentu, produksi urin dapat digunakan sebagai pemantau
aliran darah ginjal. Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan
keluaran urin sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa, 1 ml/kgBB/jam pada
anak-anak dan 2 ml/kgBB/jam untuk bayi (di bawah umur 1 tahun). Bila kurang,
atau makin turunnya produksi urin dengan berat jenis yang naik, maka ini
menandakan resusitasi yang tidak cukup. Keadaan ini menuntut ditambahnya
penggantian volume dan usaha diagnostik.7
38
BAB IV
SIMPULAN
39
DAFTAR PUSTAKA
40