Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS

PASCA HISTEREKTOMI TOTAL SAFINGOOFOREKTOMI


BILATERAL DENGAN PERDARAHAN INTRAOPERASI 750 ML

Disusun Oleh:
Anindya Anjas Putriavi
NPM 1102014027

Pembimbing:
dr. Sri Sunarmiasih, Sp.An, KIC

KEPANITERAAN KLINIK INSTALASI ANESTESI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI JAKARTA
RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO
PERIODE 8 APRIL – 11 MEI 2019
LEMBAR PENGESAHAN
KOORDINATOR KEPANITERAAN KLINIK
DEPARTEMEN ANESTESI DAN REANIMASI

PRESENTASI KASUS DENGAN JUDUL

PASCA HISTEREKTOMI TOTAL SAFINGOOFOREKTOMI


BILATERAL DENGAN PERDARAHAN INTRAOPERASI 750 ML

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di


Bagian

Departemen Anestesi dan Reanimasi

Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto

Jakarta

Disusun oleh:

Anindya Anjas Putriavi

1102014027

Telah disetujui oleh Pembimbing

dr. Sri Sunarmiasih, Sp.An, KIC

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…............................................................................................1
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3
KATA PENGANTAR .............................................................................................. 4
BAB I ...................................................................................................................... 5
PENDAHULUAN................................................................................................... 5
BAB II ..................................................................................................................... 6
LAPORAN KASUS ................................................................................................ 6
BAB III.................................................................................................................. 19
TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................ 19
3.1. Intensive Care Unit (ICU) ......................................................................... 19
3.2. Trias Kematian .......................................................................................... 25
3.3. Syok Hipovolemik..................................................................................... 31
BAB IV ................................................................................................................. 39
SIMPULAN .......................................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 40

3
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.,

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat
rahmat-Nya, penulis berhasil menyelesaikan penulisan presentasi kasus yang
berjudul “Pasca Histerektomi Total Safingooforektomi Bilateral dengan
Perdarahan Intraoperasi 750 mL”.

Presentasi kasus ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik di Instalasi Anestesi dan Reanimasi Rumah Sakit Pusat
Angkatan Darat Gatot Soebroto. Penulisan presentasi kasus ini tidak lepas dari
bantuan dan bimbingan berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini
penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Sri Sunarmiasih, Sp.An,
KIC, selaku pembimbing dalam penyusunan presentasi kasus ini yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan ilmunya dan teman-teman sekelompok
kepaniteraan.

Dalam penulisan presentasi kasus ini penulis menyadari bahwa masih jauh
dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun
dari segi isi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua
pihak yang bersifat membangun untuk memperbaiki presentasi kasus ini. Penulis
berharap presentasi kasus ini dapat membawa manfaat bagi semua pihak. Semoga
Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan semua pihak yang telah
membantu. Aamiin ya rabbal’alamin.

Wassalammualaikum Wr. Wb.

Jakarta, 27 April 2019

Penulis
4
BAB I
PENDAHULUAN

ICU adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri, dengan staf yang
khusus dan perlengkapan yang khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan
dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit akut, cedera atau penyulit-
penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa dengan
prognosis dubia yang diharapkan masih reversibel.
Trias of death adalah keadaan yang diakibatkan oleh hipotermia, koagulopati
dan asidosis metabolik yang saling berkaitan satu sama lain sehingga ketiga
keadaan ini membentuk suatu siklus segitiga yang dapat mengakibatkan kematian.
Keadaan ini sering terjadi pada kondisi pasien yang mengalami trauma dengan
perdarahan yang masif dengan keterlambatan penanganan.
Syok merupakan suatu keadaan dimana aliran darah tidak memadai untuk
memenuhi permintaan kebutuhan oksigen jaringan, sehingga mengakibatkan
terjadinya hipoksia jaringan dan sel. Karena hipoksia, pada syok terjadi gangguan
metabolisme sel, sehingga dapat timbul kerusakan irreversible pada jaringan organ
vital. Perdarahan merupakan keadaan darurat medis yang sering dihadapi oleh
dokter di ruang gawat darurat dan unit perawatan intensif. Kondisi ini dapat
menyebabkan hilangnya secara cepat dan signifikan volume dari intravaskular
sehingga terjadi syok hipovolemik, yang juga dikenal sebagai syok hemoragik.

5
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. HY
Nomor RM : 930***
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 10 September 1975
Usia : 43 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Berat Badan : 62 kg
Tinggi Badan : 151 cm
Alamat : Jalan Mayjen Sutoyo RT 19/RW 10, Ketapang
Masuk ICU : 23 April 2019 pukul 16.00 WIB

A. Keluhan Utama :
Perut yang semakin membesar sejak 5 tahun sebelum masuk rumah sakit.

B. Riwayat penyakit Sekarang :


Pasien berobat ke RSPAD dengan rujukan dari RS Fatimah Ketapang
karena perutnya membesar sejak 5 tahun yang lalu. Pasien mengatakan sudah
USG dan dinyatakan memiliki kista pada tahun 2014 namun tidak ingin
mengobatinya hingga perutnya semakin membesar seperti hamil 6-7 bulan dan
sekitar 1 bulan yang lalu pasien sering sesak dan sulit melakukan aktivitas
sehari-hari. Pasien mengatakan siklus haidnya 28 hari namun durasi haidnya
memanjang dibanding sebelum ada keluhan yaitu sekitar 7-10 hari dan
mengganti pembalut >4 kali sehari dan tetap banyak di hari haid terakhir.
Keluhan nyeri haid disangkal. Pasien juga memiliki riwayat penyakit hipertensi
namun hanya konsumsi Amlodipin 5 mg bila gejala nyeri kepala dan tengkuk
dirasakan. Pada persiapan operasi pasien memiliki Hb 9,4 g/dL dan di poli
anestesi disarankan untuk transfusi darah terlebih dahulu sebelum jadwal operasi
namun ditunda dan direncanakan transfusi darah saat operasi.
6
Pasien dilakukan tindakan histerektomi total salfingooforektomi bilateral
pada 23 April 2019 pukul 11.15-14.00 dengan anestesia umum. Pada
intraoperasi terjadi perdarahan hingga ±750 mL.

27 Maret Hari pertama haid terakhir (durasi haid 7 hari)


4 April Hb 9,4 g/dL (modal Hb operasi)
23 April Pukul 13.30: Transfusi PRC 196 mL
Pukul 16.25: Hb 7,4 g/dL
Pukul 17.00: Transfusi PRC 207 mL
24 April Hb 9,2 g/dL

Catatan Anastesi selama operasi:


Midazolam 2 mg Pembedahan selama 2 jam 45 menit
Fentanyl 200 mcg Pembiusan selama 3 jam 25 menit
Propofol 100 mg Jumlah cairan masuk selama operasi:
Notrixum 70 mg  Kristaloid: Asering 1.500 mL
Ranitidin 50 mg  Koloid: Gelofusin 500 mL
Paracetamol 1000 mg  Darah: 196 mL
Asam Tranexamat 1000 mg Perdarahan: ±750 mL
Ampicillin Sulbactam 1,5 gr Urin: ±250 mL
SA:Prostigmin 0,5:1 mg

C. Riwayat operasi:
Tahun 1997: operasi pengangkatan kista coklat (anestesi umum)
Tahun 2003: operasi seccio caesaria karena janin besar (anestesi spinal)
Tahun 2007: operasi seccio caesaria karena hipertensi dalam kehamilan (anestesi
spinal)

D. Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien mengaku memiliki hipertensi sejak kehamilan kedua tahun 2007 dan
berobat hanya bila bergejala. Pasien memiliki riwayat kista coklat dan sudah
diangkat tahun 1997. Riwayat diabetes mellitus, asma, penyakit sistemik lainnya
ataupun alergi disangkal.
7
E. Riwayat Penyakit Keluarga:
Ibu pasien memiliki riwayat hipertensi. Riwayat keluarga dengan keluhan pada
organ reproduksi serupa disangkal.

2.2. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan dilakukan di ruang ICU tanggal 23 April 2019 di ruang ICU pada
pukul 18.00 WIB
 Keadaan umum : Tampak sakit sedang (VAS 2)
 Kesadaran : GCS 15 (E4M6V5)
 Tanda vital :
 TD : 99/49 mmHg
 HR : 68 x/menit
 RR : 16 x/menit
 Suhu : 36,3oC (per axilla)
 Status gizi
BB: 62 kg TB: 151 cm
BMI = 62/(1,51)2 = 27,19 (overweight)
 Head to toe
Kepala : kesan normocephal, rambut berwarna hitam, distribusi merata dan
tidak mudah dicabut
Kulit : Pucat
Mata : mata cekung (-/-), konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-),
pupil isokor, ukuran 3 mm/3 mm, RCL +/+, RCTL +/+
Hidung : terpasang nasal kanul dengan oksigen 3 LPM, sekret (-/-),
epistaksis (-/-)
Mulut : bibir sianosis (-), gusi berdarah (-), skor Mallampati 1
Tenggorok : tonsil T1/T1, deviasi uvula (-), post nasal drip (-)
Telinga : normotia, sekret (-/-)
Leher : tidak tampak pembesaran tiroid dan KGB. Jarak thyroid-mental 3
jari, jarak hyoid-thyroid 2 jari
Toraks : bentuk normal

8
 Pulmo
Inspeksi : retraksi (-), gerakan dada simetris kanan dan kiri
Palpasi : fremitus vokal simetris kanan dan kiri
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
 Cor
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba
Perkusi : Batas jantung kesan tidak membesar
Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Membesar, luka operasi tertutup verband
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (+)
Genitalia : perdarahan aktif (-)
Ekstremitas
Superior : terpasang IV line pada tangan kiri, akral dingin, sianosis (-/-),
edema (-/-)
Inferior : akral dingin, sianosis (-/-), edema (-/-)

2.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium
4 April 2019
Hemoglobin 9,4 11.5-15.5 g/dL
Hematokrit 30 35-45%
Eritrosit 3,8 4.0 – 5.2 juta/uL
Leukosit 6.240 4,500 – 13,500/uL
Trombosit 420.000 150,000 – 400,000/uL
HITUNG JENIS
Basofil 0 0-1%
Eosinophil 3 1-3%
Batang 2 2-6%
Segmen 55 50-70%
Limfosit 35 20-40%
Monosit 3 2-8%
9
MCV 78 77– 95 fL
MCH 25 25 – 33 pg
MCHC 31 31 – 37 g/dL
RDW 16,20% 11,5-14,5 %
KOAGULASI
11,1 Detik
PT
10,3 9.3 – 11.8 detik
24,0 Detik
APTT
23,4 23.4 – 31.5 detik
KIMIA KLINIK
SGOT 8 <35 u/I
SGPT 9 <40 u/I
Albumin 3,8 3,5-5 g/dL
Ureum 17 20 – 50 mg/dl
Kreatinin 0,9 0,5 – 1,5 mg/dl
eGFR 72,63 mL/mnt/1,73m3
GDS 95 <140 mg/dL
GD2PP 109 70-140 mg/dL
Natrium (Na) 145 135 – 147 mg/dL
Kalium (K) 4,4 3,5 – 5,0 mg/dL
Klorida (Cl) 102 95 – 105 mg/dL
IMUNOSEROLOGI
HBsAg (Rapid) Non reaktif Non reaktif
Anti HIV penyaring
- Metode 1 Non Reaktif Teagen Vikia Non reaktif
- Metode 2 Tidak dikerjakan Non reaktif
- Metode 3 Tidak dikerjakan Non reaktif
Kesimpulan Non Reaktif
23 April 2019
Hemoglobin 7,4 11.5-15.5 g/dL
Hematokrit 22 35-45%
Eritrosit 2,9 4.0 – 5.2 juta/uL
Leukosit 13.400 4,500 – 13,500/uL
Trombosit 345.000 150,000 – 400,000/uL
MCV 77 77– 95 fL
MCH 26 25 – 33 pg
MCHC 34 31 – 37 g/dL
KOAGULASI
11,2 Detik
PT
11,8 9.3 – 11.8 detik
24,4 Detik
APTT
21,6 23.4 – 31.5 detik
KIMIA KLINIK
Albumin 2,3 3,5-5 g/dL
Ureum 26 20 – 50 mg/dl
Kreatinin 0,7 0,5 – 1,5 mg/dl
eGFR 97,07 mL/mnt/1,73m3
10
GDS 212 70-140 mg/dL
Kalsium (Ca) 7,6 8,6-10,3 mg/dL
Magnesium (Mg) 1,69 1,8-3,0 mEq/L
Natrium (Na) 140 135 – 147 mg/dL
Kalium (K) 4,0 3,5 – 5,0 mg/dL
Klorida (Cl) 106 95 – 105 mg/dL
ANALISA GAS DARAH
pH 7,461 7,35-7,45
PCO2 25,8 33-44 mmHg
PO2 162,5 71-104 mmHg
Bikarbonat (HCO3) 18,5 22-29 mmol/L
Kelebihan Basa (BE) -4,3 (-2) – 3 mmol/L
Saturasi O2 98,3 94-98%
Laktat 1,40 0,55-2,2 mmol/L
24 April 2019
Hemoglobin 9,2 11.5-15.5 g/dL
Hematokrit 29 35-45%
Eritrosit 3,6 4.0 – 5.2 juta/uL
Leukosit 9.230 4,500 – 13,500/uL
Trombosit 364.000 150,000 – 400,000/uL
HITUNG JENIS
Basofil 0 0-1%
Eosinophil 0 1-3%
Neutrofil 82 50-70%
Limfosit 14 20-40%
Monosit 4 2-8%
MCV 81 77– 95 fL
MCH 26 25 – 33 pg
MCHC 32 31 – 37 g/dL
RDW 15,70 11,5-14,5 %
KOAGULASI
11,2 Detik
PT
10,9 9.3 – 11.8 detik
24,4 Detik
APTT
25,3 23.4 – 31.5 detik
KIMIA KLINIK
Albumin 3,0 3,5-5 g/dL
Ureum 30 20 – 50 mg/dl
Kreatinin 0,79 0,5 – 1,5 mg/dl
eGFR 84,42 mL/mnt/1,73m3
GDS 119 70-140 mg/dL
Kalsium (Ca) 8,5 8,6-10,3 mg/dL
Magnesium (Mg) 1,94 1,8-3,0 mEq/L
Natrium (Na) 143 135 – 147 mg/dL
Kalium (K) 4,8 3,5 – 5,0 mg/dL
Klorida (Cl) 102 95 – 105 mg/dL

11
Radiologi
Pemeriksaan radiologi thorax proyeksi AP, dengan hasil sebagai berikut:
- Jantung kesan tidak membesar (CTR <50%)
- Aorta dan mediastinum superior tidak melebar
- Trakea ditengah. Kedua hilus tidak menebal
- Corakan bronkovaskular kedua paru baik
- Tidak tampak infiltrat maupun nodul di kedua lapangan paru
- Kedua hemidiafragma licin. Kedua sinus kostofrenikus lancip
- Tulang-tulang intak
Kesan: Tidak tampak kelainan radiologis pada jantung dan paru

USG Ginekologi

Interpretasi:
 Uterus: tampak cervix normal, tampak massa di dalam uterus ukuran 11,2 x 14,5
cm berasal dari miometrium.
 Adneksa kanan dan kiri: sulit diidentifikasi
Kesan: mioma uteri

2.4. DIAGNOSIS KERJA


 Post HTSOB, adhesiolisis, appendektomi atas indikasi kista endometriosis
bilateral dan adenomiosis
 Hipertensi Grade I

2.5. PENATALAKSANAAN
a. Medikamentosa
12
IVFD RD5% 60 mL/jam
IVFD Asering 60 mL/jam (bila RD5% habis)
Epidural Rupivacain 0,3% 5 mL/jam
Transfusi PRC 500 mL
Obat: Ampicillin Sulbactam 4x1,5 gr iv
Ketorolac 3x30 mg iv
Ranitidin 2x50 mg iv
Ramipril 1x5 mg po
Concor 1x2,5 mg po

b. Non Medikamentosa:
Head up 45o
Observasi KU, TTV dan Balans Cairan per jam
Cegah infeksi dan nyeri
Lab lengkap
Transfusi PRC dan periksa darah lengkap 6 jam post transfusi

c. Tambahan setelah ada hasil darah lengkap


Albumin 25% 100 mL iv
Ca glukonas 3 x 1 gr iv
MgSO4 3 x 1 gr iv

2.6. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia
Ad sanactionam : dubia ad bonam

13
2.7. FOLLOW UP
Tanggal Catatan Instruksi
23/04/2019 S: Pasien mengeluh masih lemas, pandangan  IVFD Asering 60
22.00 WIB sudah tidak berbayang dan terasa nyeri luka mL/jam
operasi (VAS 2)  Inj. Ampicillin
O: Sulbactam 4x1,5 gr
 Keadaan umum : tampak sakit sedang  Inj. Ketorolac 3x30
 Kesadaran : GCS 15 (E4 M6 V5) mg
 Tanda vital :  Inj. Ranitidin 2x50
 TD : 101/54 mmHg mg
 HR : 92 x/menit  Ramipril 1x5 mg
 RR : 16 x/menit
 Concor 1x2,5 mg
 T : 36oC (per axilla)
 Head up 45o
 Status Generalis  Observasi KU, TTV
Kepala: normocephal dan Balans Cairan
Kulit: pucat per jam
Mata: konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik  Cegah infeksi dan
(-/-), pupil isokor
Hidung: terpasang nasal kanul, oksigen 3 LPM nyeri
Mulut: bibir sianosis (-), mukosa basah (+)  Periksa darah
Toraks: bentuk normal lengkap post
 Pulmo: vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing transfusi
(-/-)
 Cor: suara jantung I-II normal, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen: luka operasi tertutup verband,
rembesan (-), nyeri tekan (+)
Genitalia: perdarahan aktif (-)
Ekstremitas: akral hangat, edema (-/-)

A: Post HTSOB, adhesiolisis, appendektomi atas


indikasi kista endometriosis bilateral dan
adenomiosis, Hipertensi Grade I
24/03/2019 S: Pasien mengeluh lemas berkurang, tidur  IVFD Asering 60
06.00 WIB nyaman, mulai duduk-duduk perlahan, nyeri luka mL/jam
operasi (VAS 2)  Inj. Ampicillin
O: Sulbactam 4x1,5 gr
 Keadaan umum : tampak sakit sedang  Inj. Ketorolac 3x30
 Kesadaran : GCS 15 (E4 M6 V5) mg
 Tanda vital :  Inj. Ranitidin 2x50
 TD : 107/61 mmHg mg
 HR : 82 x/menit  Ramipril 1x5 mg
 RR : 20 x/menit
 Concor 1x2,5 mg
 T : 36,1oC (per axilla)
 Head up 45o
 Status Generalis
Kepala: normocephal

14
Kulit: pucat  Observasi KU, TTV
Mata: konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik dan Balans Cairan
(-/-), pupil isokor per jam
Hidung: terpasang nasal kanul, oksigen 3 LPM
Mulut: bibir sianosis (-), mukosa basah (+)  Cegah infeksi dan
Toraks: bentuk normal nyeri
 Pulmo: vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing  Ajukan darah PRC
(-/-) 300 mL
 Cor: suara jantung I-II normal, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen: luka operasi tertutup verband,
rembesan (-), nyeri tekan (+)
Genitalia: perdarahan aktif (-)
Ekstremitas: akral hangat, edema (-/-)

A: Post HTSOB, adhesiolisis, appendektomi


atas indikasi kista endometriosis bilateral dan
adenomiosis, Hipertensi Grade I
24/03/2019 S: Pasien mengeluh lemas berkurang, tidur  IVFD Asering 60
12.10 WIB nyaman, mulai duduk-duduk perlahan, nyeri luka mL/jam
operasi (VAS 2)  Inj. Ampicillin
O: Sulbactam 4x1,5 gr
 Keadaan umum : tampak sakit sedang  Inj. Ketorolac 3x30
 Kesadaran : GCS 15 (E4 M6 V5) mg
 Tanda vital :  Inj. Ranitidin 2x50
 TD : 105/70 mmHg mg
 HR : 69 x/menit  Ramipril 1x5 mg
 RR : 20 x/menit
 Concor 1x2,5 mg
 T : 36,5oC (per axilla)
 Head up 45o
 Status Generalis  Observasi KU, TTV
Kepala: normocephal dan Balans Cairan
Kulit: pucat per jam
Mata: konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik  Cegah infeksi dan
(-/-), pupil isokor
nyeri
Hidung: terpasang nasal kanul, oksigen 3 LPM
Mulut: bibir sianosis (-), mukosa basah (+)  Transfusi PRC 300
Toraks: bentuk normal mL di ruangan
 Pulmo: vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing  Lapor DPJP untuk
(-/-) pindah ruang rawat
 Cor: suara jantung I-II normal, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen: luka operasi tertutup verband,
rembesan (-), nyeri tekan (+)
Genitalia: perdarahan aktif (-)
Ekstremitas: akral hangat, edema (-/-)

A: Post HTSOB, adhesiolisis, appendektomi


atas indikasi kista endometriosis bilateral dan
adenomiosis, Hipertensi Grade I

15
24/03/2019 S: Pasien mengeluh lemas berkurang, belum  IVFD Asering 60
15.30 WIB banyak bergerak, nyeri luka operasi (VAS 2) mL/jam
 Inj. Ampicillin
O:
Sulbactam 4x1,5 gr
 Keadaan umum : tampak sakit sedang
 Kesadaran : GCS 15 (E4 M6 V5)  Inj. Ketorolac 3x30
 Tanda vital : mg
 TD : 118/72 mmHg  Inj. Ranitidin 2x50
 HR : 69 x/menit mg
 RR : 20 x/menit  Ramipril 1x5 mg
 T : 36,7oC (per axilla)
 Concor 1x2,5 mg
 Status Generalis  Head up 45o
Kepala: normocephal  Observasi KU, TTV
Kulit: pucat dan Balans Cairan
Mata: konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik per jam
(-/-), pupil isokor  Cegah infeksi dan
Hidung: terpasang nasal kanul, oksigen 3 LPM
nyeri
Mulut: bibir sianosis (-), mukosa basah (+)
Toraks: bentuk normal  Transfusi PRC 300
 Pulmo: vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing mL
(-/-) Lapor DPJP untuk
 Cor: suara jantung I-II normal, murmur (-), pindah ruang rawat
gallop (-)
Abdomen: luka operasi tertutup verband,
rembesan (-), nyeri tekan (+)
Genitalia: perdarahan aktif (-)
Ekstremitas: akral hangat, edema (-/-)

A: Post HTSOB, adhesiolisis, appendektomi


atas indikasi kista endometriosis bilateral dan
adenomiosis, Hipertensi Grade I
25/03/2019 S: Pasien mengeluh lemas dan pusing berkurang,  IVFD Asering 20
12.15 WIB nyeri luka operasi (VAS 2) tetes per menit
 Aff kateter
O:
 Keadaan umum : tampak sakit ringan  Aff epidural
 Kesadaran : GCS 15 (E4 M6 V5) (anestesi)
 Tanda vital :  Mobilisasi bertahap
 TD : 122/70 mmHg  Bactesyn 2 x 375
 HR : 102 x/menit mg
 RR : 20 x/menit  Asam Mefenamat 3
 T : 37,2oC (per axilla)
x 500 mg
 Status Generalis  SF 1 x 300 mg
Kepala: normocephal
Kulit: pucat
Mata: konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik
(-/-), pupil isokor
Hidung: terpasang nasal kanul, oksigen 3 LPM
Mulut: bibir sianosis (-), mukosa basah (+)
Toraks: bentuk normal
16
 Pulmo: vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing
(-/-)
 Cor: suara jantung I-II normal, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen: luka operasi tertutup verband,
rembesan (-), nyeri tekan (+)
Genitalia: perdarahan aktif (-)
Ekstremitas: akral hangat, edema (-/-)

A: POD II post HTSOB, adhesiolisis,


appendektomi atas indikasi kista endometriosis
bilateral dan adenomiosis
26/03/2019 S: Pasien tidak mengeluh lemas, mobilisasi ke  IVFD Asering 20
12.30 WIB toilet tidak sempoyongan, pusing bila berubah tetes per menit
posisi cepat, nyeri luka operasi berkurang (VAS  Ganti verband
1), belum BAB setelah operasi
 Mobilisasi bertahap
O:  Lapor DPJP untuk
 Keadaan umum : tampak sakit ringan rawat jalan
 Kesadaran : GCS 15 (E4 M6 V5)  Bactesyn 2 x 375
 Tanda vital : mg
 TD : 120/76 mmHg  Asam Mefenamat 3
 HR : 86 x/menit
x 500 mg
 RR : 20 x/menit
 T : 36,8oC (per axilla)  SF 1 x 300 mg
 Microlax 1 x 1 supp
 Status Generalis
Kepala: normocephal
Kulit: pucat
Mata: konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik
(-/-), pupil isokor
Mulut: bibir sianosis (-), mukosa basah (+)
Toraks: bentuk normal
 Pulmo: vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing
(-/-)
 Cor: suara jantung I-II normal, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen: luka operasi tertutup verband,
rembesan (-), nyeri tekan (+)
Genitalia: perdarahan aktif (-)
Ekstremitas: akral hangat, edema (-/-)

A: POD III post HTSOB, adhesiolisis,


appendektomi atas indikasi kista endometriosis
bilateral dan adenomiosis

17
Status Hemodinamik
140

120

100

80

60

40

20

0
16.00 17.00 18.00 19.00 20.00 21.00 22.00 23.00 00.00

Nadi Sistol Diastol Suhu

Status Hemodinamik
140

120

100

80

60

40

20

0
01.00 02.00 03.00 04.00 05.00 06.00 07.00 08.00 09.00 10.00 11.00 12.00 13.00

Nadi Sistol Diastol Suhu

18
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Intensive Care Unit (ICU)


A. Definisi ICU
ICU adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri, dengan staf yang
khusus dan perlengkapan yang khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan
dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit akut, cedera atau penyulit-
penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa dengan
prognosis dubia yang diharapkan masih reversibel.1 Maupun tujuan adanya ICU di
rumah sakit antara lain:
1. Mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan spesifik terhadap penyakit
penyakit akut yang mengancam nyawa dan dapat menimbulkan kematian dalam
beberapa menit sampai beberapa hari.
2. Memberikan bantuan dan mengambil alih fungsi vital tubuh sekaligus
melakukan pelaksanaan spesifik problema dasar.
3. Melakukan pemantauan fungsi vital tubuh dan penatalaksanaan terhadap
komplikasi yang ditimbulkan oleh penyakit.1

Kebutuhan pelayanan pasien ICU adalah tindakan resusitasi jangka panjang


yang meliputi dukungan hidup untuk fungsi-fungsi vital seperti airway (fungsi jalan
napas), breathing (fungsi pernapasan), circulation (fungsi sirkulasi), brain (fungsi
otak) dan fungsi organ lain, disertai dengan diagnosis dan terapi definitif.1
Penyelengaraan pelayanan ICU di Indonesia dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Pelayanan ICU primer (pada rumah sakit tipe C)
2. Pelayanan ICU sekunder (pada rumah sakit tipe B)
3. Pelayanan ICU tersier (pada rumah sakit tipe A)2
Pelayanan ICU tersier merupakan pelayanan tertinggi, dapat mencakup
semua aspek pelayanan. Dalam hal ketenagaan, ICU tersier dipimpin oleh seorang
dokter intensivis, berbeda dengan yang dibawahnya yang dipimpin oleh dokter
spesialis anestesi atau dokter spesialis yang mengikuti pelatihan ICU. Tenaga medis
maupun non medis dan peralatan ICU tersier merupakan yang terbaik diantara
pelayanan ICU dibawahnya2.
19
Kemampuan pelayanan
No Primer Sekunder Tersier
1. Resusitasi jantung paru
2. Pengelolaan jalan nafas, intubasi trakeal dan ventilasi mekanik
3. Terapi oksigen
4. Pemantauan EKG, Pemantauan EKG, Pemantauan EKG, pulse
pulse oksimetri dan pulse oksimetri dan oksimetri, dan tekanan
tekanan darah non tekanan darah non darah on invasive, invasive,
invasive invasive dan invasive Swan Ganz, ICP dan ECHO
monitor
5. Pelaksanaan terapi secara titrasi
6. - Melakukan prosedur isolasi
7. - Melakukan hemodialisa secara
intermitten dan kontinyu

B. Indikasi Masuk dan Keluar ICU


Apabila sarana dan prasarana ICU di suatu rumah sakit terbatas sedangkan
kebutuhan pelayanan ICU yang lebih tinggi banvak, maka diperlukan mekanisme
untuk membuat prioritas. Kepala ICU bertanggung jawab atas kesesuaian indikasi
perawatan pasien di lCU.
a. Kriteria Masuk
Dalam keadaan yang terbatas, pasien yang memerlukan terapi intensif (prioritas
1) lebih didahulukan dibandingkan dengan pasien yang hanya memerlukan
pemantauan intensif (prioritas 3). Penitaian objektif atas berat dan prognosis
penyakit hendaknya digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan
prioritas masuk ke lCU.
1. Golongan pasien prioritas satu
Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, tidak stabil yang memerlukan
terapi intensif dan tertitrasi, seperti: dukungan/bantuan ventilasi, alat
penunjang fungsi organ/sistem yang lain, infus obat-obat vasoaktif/inotropik,
obat anti aritmia, serta pengobatan lain-lainnya secara kontinyu dan tertitrasi.
Sebagai contoh antara lain: pasien pasca bedah kardiotorasik, sepsis berat,
gangguan keseimbangan asam basa dan elektrorit yang mengancam nyawa.
Institusi setempat dapat juga membuat kriteria spesifik yang lain seperti
derajat hipoksemia, hipotensi dibawah tekanan darah tertentu. Terapi pada
golongan pasien prioritas 1 demikian, umumnya tidak mempunyai batas.
20
2. Golongan pasien prioritas dua
Golongan pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih di lCU,
sebab sangat berisiko bila, tidak mendapatkan terapi intensif segera, misalnya
pemantauan intensif menggunakan pulmonary arterial catheter. Sebagai
contoh antara lain pasien yang menderita penyakit dasar jantung-paru, gagal
ginjal akut dan berat atau pasjen yang telah mengalami pembedahan mayor.
Terapi pada golongon prioritas 2 tidak mempunyai batas, karena kondisi
mediknya senantiasa berubah.
3. Golongan pasien prioritas tiga
Pasien golongan ini adalah pasien sakit kritis, yang tidak stabil status
kesehatan sebelumnya, yang disebabkan oreh penyakit yang mendasarinya,
atau penyakit akutnya, secara sendirian atau kombinasi. Kemungkinan
sembuh dan atau manfaat terapi di ICU pada golongan ini sangat kecil.
Sebagai contoh antara lain pasien dengan keganasan metastatic disertai
penyakit infeksi, pericardial tamponade, sumbatan jalan napas, atau pasien
penyakit jantung, penyakit paru terminal disertai komplikasi penyakit akut
berat. Pengelolaan pada pasien golongan ini hanya sampai melakukan
intubasi atau resusitasi jantung paru.
4. Pengecualian
Dengan pertimbangan luar biasa dan atas persetujuan Kepala ICU, indikasi
masuk pada beberapa golongan pasien bias dikecualikan, dengan catatan
bahwa pasien-pasien golongan demikian sewaktu-waktu harus bisa
dikeluarkan dari ICU agar fasilitas ICU yang terbatas tersebut dapat
digunakan untuk pasien prioritas 1, 2, 3. Pasien yang tergolong demikian
antara lain:
a) Pasien yang memenuhi kriteria masuk tetapi menolak terapi tunjangan
hidup yang agresif dan hanya demi "perawatan yang aman” saja. lni tidak
menyingkirkan pasien dengan perintah "DNR (Do Not Resuscitate)”.
Sebenarnya pasien-pasien ini mungkin akan mendapat manfaat dari
tunjangan canggih yang tersedia di lCU untuk meningkatkan kemungkinan
survivalnya.

21
b) Pasien dalam keadaan vegetatif permanen.
c) Pasien yang telah dipastikan mengalami mati batang otak namun hanya
karena kepentingan donor organ, maka pasien dapat dirawat di lCU.
Tujuan perawatan di lCU hanya untuk menunjang fungsi organ sebelum
dilakukan pengambilan organ untuk donasi.1

Selain indikasi dari skala prioritas, terdapat juga indikasi dari kriteria lainnya.
Hal tersebut sebagai berikut:
1. Kriteria berdasarkan Sistem Organ
a) Penilaian Sistem Kardiovaskular
Acute myocard infark dengan komplikasi, Syok kardiogenik, Complex
arrhythmia yang memerlukan pengawasan ketat dan intervensi, Gagal
jantung akut dengan gagal nafas dan atau memerlukan bantuan
hemodinamik, Hipertensi emergensi, Unstable angina, yang disertai
aritmia, hemodinamik yang tidak stabil, atau nyeri dada yang presisten,
Pasca pemulihan setelah henti jantung, Tamponade jantung dengan
hemodinamik yang tidak stabil, Diseksi aneurisma aorta, Blok jantung
total, Laju jantung <50 kali/menit atau >150 kali/menit dengan instabilitas,
Gagal jantung kronis dekompensata yang membutuhkan pemantauan
intensif.
b) Penilaian Sistem Respirasi
Gagal nafas akut yang memerlukan ventilator, Emboli paru dengan kondisi
hemodinamik yang tidak stabil, Pasien ruang perawatan High Care Unit
yang menunjukkan perburukan pada sistem pernapasan, Hemoptisis
massif, Gagal nafas dengan memerlukan intubasi
c) Penilaian Sistem Gastrointestinal
Perdarahan saluran cerna yang disertai hipotensi terus-menerus, Gagal hati
fulminant, Pankreatitis berat, Perforasi esofagus dengan atau tanpa
mediastinitis, Abdomen yang tegang dengan pertimbangan adanya
hipertensi

22
d) Penilaian Sistem Endokrin
Ketoasidosis diabetikum dengan instabilitas hemodinamik, perubahan
status mental, insufisiensi pernapasan, Krisis tiroid dengan instabilitas
hemodinamik, Hiperosmolar status dengan koma dan atau instabilitas
hemodinamik, Gangguan endokrin lainnya seperti krisis adrenal dengan
instabilitas hemodinamik, Hiperkalemia berat dengan perubahan status
mental yang memerlukan monitoring hemodinamik, Hipo atau
hipernatremia dengan kejang, perubahan status mental, Hipo atau
hipermagnesemia dengan kegagalan hemodinamik, Hipo atau
hiperkalemia dengan aritmia atau kelemahan otot, Hipofosfatemia dengan
kelemahan otot
e) Penilaian Sistem Renal
Gagal ginjal yang baru didiagnosisdengan azotemia berat (ureum >200
mg/dL), Produksi urin <0.5 ml/kgbb/jam selama >3jam dan ada
pertimbangan hemodinamik yang tidak membaik, Penurunan akut
bersihan kreatinin <30 ml, Membutuhkan terpi pengganti ginjal
f) Penilaian Sistem Saraf Pusat
Stroke akut dengan perubahan status mental, Koma: metabolik, toksik,
atau anoksik, Perdarahan intracranial yang berpotensi terjadi herniasi,
Perdarahan subarachnoid akut, Meningitis dengan perubahan status mental
atau gangguan pernapasan, Sistem saraf pusat dan neurumuskular disorder
dengan disorientasi saraf dan fungsi paru, Status epileptikus, Pasien mati
batang otak atau berpotensi mati batang otak dengan status pendonor
organ, Pasien dengan cedera kepala berat
g) Penilaian Sistem Hematologi
Trombositopenia (<70.000) dengan bukti perdarahan, Koagulopati (INR >
2.5 atau APTT >40-50 detik) dengan bukti perdarahan aktif, Bukti
hemolisis aktif dengan penurunan hematocrit, Leukosit >100.000/mcl, dan
terutama dengan fungsi organ target
h) Pembedahan
Pasien post operasi yang memerlukan pengawasan
hemodinamik/dukungan ventilator atau perawatan intensif

23
i) Gangguan Lainnya
Syok septik dengan instabilitas hemodinamik, Pengawasan hemodinamik,
Trauma lingkungan (listrik, hipotermi, hipertermi)
2. Model Parameter Objektif
a) Tanda Vital
1. Nadi <40 atau >150 kali/menit
2. Tekanan darah sistolik <80 mmHg atau 20 mmHg dibawah tekanan
darah biasa pasien
3. Mean arterial pressure <60 mmHg
4. Tekanan diastolik >120 mmHg
5. Respiratory rate >35 kali/menit
b) Laboratorium
1. Serum natrium <110 mEq/L atau >170 mEq/L
2. Serum kalium <2.0 mEq/L atau >7.0 mEq/L
3. PaO2 <50 mm Hg
4. pH <7.1 atau >7.7
5. Serum glukosa >800 mg/dL
6. Serum kalsium >15 mg/dL

b. Kriteria Keluar
Prioritas pasien dipindahkan dari ICU berdasarkan pertimbangan medis oleh
kepala lCU dan atau tim yang merawat pasien, antara lain:
1. Penyakit atau keadaan pasien telah membaik dan cukup stabil, sehingga tidak
memerlukan terapi atau pemantauan yang intensif lebih lanjut.
2. Secara perkiraan dan perhitungan terapi atau pemantauan intensif tidak
bermanfaat atau tidak memberi hasil yang berarti bagi pasien. Apalagi pada
waktu itu pasien tidak menggunakan alat bantu mekanis khusus (seperti
ventilasi mekanis). Contoh golongan pasien demikian, antara lain pasien yang
menderita penyakit stadium akhir (misalnya ARDS stadium akhir). Sebelum
dikeluarkan dari ICU sebaiknya keluarga pasien diberikan penjelasan alasan
pasien dikeluarkan dari ICU.
3. Pasien atau keluarga menolak dirawat lebih lanjut di ICU (keluar paksa).

24
4. Pasien hanya memerlukan observasi secara intensif saja, sedangkan ada
pasien lain yang lebih gawat yang memerlukan terapi dan observasi yang
lebih intensif. Hendaknya diusahakan pindah ke ruang HCU.1

C. Jenis-Jenis ICU
1. Intensive Coronary Care Unit
Merupakan unit perawatan intensif untuk penyakit jantung, terutama penyakit
jantung koroner, serangan jantung, gangguan irama jantung yang berat dan gagal
jantung.
2. Neonatal Intensive Care Unit
NICU adalah unit perawaran intensif yang khusus merawat bayi baru lahir yang
sakit atau prematur.
3. Pediatric Intensive Care Unit
PICU adalah unit perawaran intensif yang khusus merawat bayi yang sakit kritis,
anak-anak, dan remaja.
4. Post Anesthesia Care Unit
PACU adalah unit perawatan intensif pasca operasi dan stabilisasi pasien setelah
operasi bedah dan anestesi. Pasien biasanya berada dalam PACU untuk waktu
terbatas dan harus memenuhi kriteria sebelum di transfer kembali ke bangsal. 3

3.2. Trias Kematian

Trias kematian yaitu hipotermia, asidosis dan koagulopati telah diakui


sebagai penyebab kematian yang signifikan pada pasien dengan cedera traumatik.
Pada tahun 1982, sebuah penelitian menggambarkan "siklus kejam berdarah" di
mana perdarahan dan cedera jaringan menyebabkan trias yang dapat diprediksi dari
25
faktor-faktor rumit. Pada akhirnya, trias ini menghasilkan perdarahan yang
memburuk dan akhirnya kematian. Perawatan hipotermia, asidosis, dan koagulopati
pada trauma membutuhkan sebanyak perhatian pada manajemen luka yang
ditangani secara tradisional. Pasien trauma yang sakit kritis, semua penyedia
emergensi harus memiliki pemahaman yang kuat tentang trias mematikan.
Pemahaman ini harus berfungsi sebagai landasan untuk semua intervensi yang
diberikan kepada pasien trauma yang mengalami perdarahan. Trias of death adalah
keadaan yang diakibatkan oleh hipotermia, koagulopati dan asidosis metabolik
yang saling berkaitan satu sama lain sehingga ketiga keadaan ini membentuk suatu
siklus segitiga yang dapat mengakibatkan kematian. Keadaan ini sering terjadi pada
kondisi pasien yang mengalami trauma dengan perdarahan yang masif dengan
keterlambatan penanganan4.
Asidosis adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan asam didalam
darah sehingga terjadi gangguan keseimbangan asam basa didalam darah sehingga
menyebabkan pH darah menurun (pH < 7,35). Pada kasus trauma, jenis asidosis
yang terjadi adalah asidosis metabolik. Hal tersebut terjadi akibat adanya perubahan
metabolisme pada tingkat sel, yang pada keadaan normal dilakukan secara aerobik
namun pada kasus trauma yang diakibatkan oleh perdarahan yang masif terjadi
metabolisme anaerob akibat kurangnya perfusi oksigen ke tingkat seluler. Akibat
berlangsungnya metabolisme anaerob tersebut maka terjadilah penumpukan asam
lakat yang mengakibatkan pergesaran pH dalam darah. Keadaan asidosis ini juga
menyebabkan generasi thrombin dan mempercepat degradasi fibrinogen yang
nantinya juga akan menyebabkan keadaan koagulopati5.
Hipotermia adalah keadaan yang terjadi akibat suhu tubuh yang menurun dari
normal. Adapun klasifikasi derajat hipotermia terdiri dari hipotermia ringan (34-
36oC), hipotermia sedang (32-34oC), dan hipotermia berat (<32oC). Pada pasien
trauma, terjadi peningkatan kehilangan panas sampai 400 kkal/jam, bahkan
hipotermia ringan dapat menyebabkan morbiditas yang signifikan. Trauma dan
perdarahan dengan hipoperfusi jaringan, akan mengganggu termoregulasi sehingga
menyebabkan hipotermia. Beberapa faktor yang menyebabkan hipotermia pada
pasien trauma adalah paparan yang berkepanjangan terhadap lingkungan dingin dan
pemberian cairan intravena yang dingin. Pasien-pasien trauma yang membutuhkan

26
tindakan pembedahan darurat terlebih memperoleh tambahan suhu dingin dari
ruang operasi yang dingin. Keadaan hipotermia ini nantinya akan menganganggu
sistem sirkulasi, darah, metabolisme dan respiratorik yang nantinya akan
menyebabkan keadaan asidosis dan koagulopati6.
Koagulopati adalah gangguan pembekuan darah yang mengakibatkan
perdarahan yang berlebihan. Koagulopati adalah proses patologis yang
menyebabkan kegagalan hemostasis atau mekanisme untuk menghentikan dan
mencegah perdarahan4.

A. Hipotermia
Suhu tubuh manusia normal adalah 35,6-37,8oC dengan hipotermia
didefinisikan sebagai suhu inti <35oC. Dalam satu penelitian, ditemukan bahwa
hampir setengah dari pasien trauma yang diangkut EMS memiliki suhu <36oC
pada saat kedatangan. Penting untuk dicatat adalah bahwa tidak ada hubungan
antara musim tahun dan frekuensi hipotermia. Pada risiko tertinggi adalah pasien
yang lebih tua dari 65 tahun dan mereka yang terperangkap. Selain itu,
hipotermia pada trauma dikaitkan dengan peningkatan mortalitas yang
signifikan dibandingkan dengan pasien dengan suhu tubuh yang sama dari
paparan lingkungan saja. Dalam sebuah penelitian terhadap 71 korban trauma,
suhu inti <32oC dikaitkan dengan kematian 100% independen dari adanya syok,
tingkat keparahan cedera atau volume resusitasi cairan. Karena hipotermia pada
pasien trauma memprediksi hasil yang buruk, sistem klasifikasi tradisional
hipotermia telah direvisi untuk digunakan pada populasi pasien yang rentan.

27
Perhatian khusus efek hipotermia pada sistem koagulasi. Sistem koagulasi
adalah serangkaian reaksi yang tergantung suhu dan pH dari reaksi enzimatik
kompleks yang mengakibatkan pembentukan bekuan darah untuk menghentikan
baik pendarahan internal maupun eksternal.
Coagulopathy adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
sekelompok besar keadaan penyakit di mana ada gangguan kemampuan sistem
koagulasi ini untuk mensintesis gumpalan darah. Telah berulang kali ditunjukkan
bahwa ketika suhu inti pasien menurun, begitu juga kemampuan tubuh untuk
menghentikan perdarahan. Hasil dari gangguan fungsi trombosit, penghambatan
faktor pembekuan, dan aktivasi gangguan bekuan yang tidak tepat.
Hipotermia pada pasien trauma disebabkan oleh banyak faktor. Syok
hemoragik, cedera otak traumatis, dan keracunan alkohol merusak kemampuan
tubuh untuk mengatur suhu inti. Selain itu, pasien pada usia ekstrem dan mereka
yang memiliki kondisi medis tertentu seperti diabetes atau penyakit tiroid berisiko
lebih tinggi untuk mengalami hipotermia setelah trauma. Selanjutnya, pasien-
pasien dengan paparan lingkungan yang berkepanjangan seperti selama pelepasan
dan mereka dengan luka bakar yang parah beresiko untuk kehilangan panas yang
cepat menyebabkan hipotermia yang mendalam.
Akhirnya, pertimbangan perawatan penting untuk pasien trauma adalah
suhu cairan dan produksi darah yang kita infus sebagai terapi yang bermaksud baik.
Suhu kamar normal saline (20-25 oC) hipotermik relatif terhadap suhu tubuh normal
yang diinginkan. Dengan demikian, resusitasi volume besar bahkan dengan cairan
suhu kamar IV dapat berkontribusi secara signifikan pada trias mematikan.

B. Asidosis
Tingkat pH merupakan ukuran keasaman darah pada skala 0-14; air
memiliki pH “netral” 7,0. Individu yang sehat mempertahankan pH normal
fisiologis 7,35-7,45 melalui keseimbangan kompleks ion hidrogen (asam) dan
penyangga didominasi dikendalikan oleh paru-paru dan sistem ginjal.
Asidosis didefinisikan sebagai pH arteri <7,35 dan dapat dihasilkan dari
berbagai keadaan penyakit. Namun, pada pasien trauma, kontributor utama
adalah perfusi yang buruk pada jaringan. Anemia dari kehilangan darah akut,
vasokonstriksi perifer sebagai respons terhadap hipotermia dan kehilangan
28
darah, dan keseluruhan penurunan curah jantung sangat merusak pengiriman
oksigen ke jaringan. Ini menghasilkan permintaan oksigen jaringan jauh
melebihi pengiriman oksigen. Jadi, untuk membuat energi fungsional, sel-sel
tubuh dipaksa untuk menggunakan metabolisme anaerobik daripada
metabolisme aerobik normal, yang menghasilkan produksi asam laktat sebagai
produk samping. Ketika perfusi pasien trauma memburuk, asam laktat
terakumulasi dengan cepat di jaringan. Ini menyebabkan pH tubuh menurun,
sehingga terjadi asidosis metabolik yang parah. Penting untuk dicatat bahwa
proses ini sering terjadi di hadapan tanda vital normal atau hanya sedikit
abnormal.
Penyebab tambahan asidosis pada pasien
trauma adalah resusitasi berlebihan menggunakan
larutan kristaloid tidak seimbang seperti saline
normal. Dengan pH sekitar 5,5, saline normal jauh
lebih asam daripada pH darah normal yang
diinginkan. Dalam resusitasi volume besar, normal
saline dapat diduga menyebabkan asidosis
metabolik sendiri sebagai akibat dari kandungan
klorida yang tinggi. Asidosis metabolik
hiperkloremik ini hanya berfungsi untuk
membentuk asidosis laktik yang ada. Selain itu, ada bukti bahwa penggunaan
salin normal berlebihan dengan kandungan klorida yang tinggi dapat
meningkatkan inflamasi jaringan sistemik. Dengan demikian berkontribusi
trauma pada koagulopati. Laktat Ringers (LRs) adalah substitusi yang tidak
sempurna: Meskipun pH-nya adalah 6.5, LR mengandung laktat dan tidak sesuai
dengan banyak obat dan produksi darah.
Terakhir, pasien trauma mungkin juga memiliki asidosis pernapasan. Ini
merupakan hasil dari hipoventilasi karena depresi pernafasan atau obstruksi
yang mengakibatkan hiperkapnia (peningkatan kadar CO2). Penyebab umum
asidosis respiratorik pada trauma termasuk penggunaan narkotika atau alkohol,
cedera otak traumatis, cedera dada atau kondisi medis yang sudah ada
sebelumnya seperti penyakit paru obstruktif kronik.

29
C. Koagulopati
Koagulopati dapat terjadi karena sejumlah alasan. Namun, terlepas dari
penyebab spesifik, koagulopati menghasilkan potensi perdarahan lanjutan pada
pasien trauma perdarahan. Koagulopati pada trauma adalah kejadian yang
umum, terjadi pada hampir satu dari empat pasien yang terluka parah yang tiba
di ruang gawat darurat. Lebih lanjut, keberadaannya dikaitkan dengan
peningkatan empat kali lipat mortalitas. Koagulopati trauma terjadi bukan hanya
karena hipotermia dan asidosis seperti yang telah dibahas sebelumnya, tetapi
juga sebagai akibat kehilangan faktor pembekuan melalui hemoragia dan
hemodilusi, dan penggunaan tubuh dan deplesi selanjutnya dari kedua trombosit
dan faktor pembekuan.
Koagulopati dilusional terjadi ketika kita menyadarkan pasien trauma
perdarahan dengan cairan atau produk darah yang tidak mengandung faktor
pembekuan yang sama yang hilang di seluruh darah yang perdarahan akut.
Kristalloid seperti salin normal dan sel darah merah dikemas mencairkan faktor
pembekuan yang tersisa beredar di darah korban trauma. Selanjutnya, pada luka
kritis, melalui serangkaian reaksi enzimatik yang kompleks, kaskade pembekuan
dapat menjadi abnormal diaktifkan, menyebabkan pembentukan bekuan berlebih
dan kerusakan berikutnya (fibrinolisis) di luar proporsi terhadap cedera.
Pengaktifan sistem koagulasi abnormal dan berlebihan ini cepat mengkonsumsi
faktor pembekuan tubuh yang tersisa, yang mengakibatkan defisiensi lebih lanjut
dari faktor esensial yang diperlukan untuk mencapai kontrol perdarahan.
Terakhir, penyedia EMS harus menyadari pasien trauma yang memiliki
koagulopati awal karena kondisi medis yang sudah ada sebelumnya. Contohnya
termasuk pasien pada terapi antikoagulan seperti Warfarin (Coumadin) atau
antikoagulan oral baru seperti dabigatran untuk pencegahan stroke dalam
pengaturan fibrilasi atrium. Pasien-pasien ini dan mereka dengan gagal hati atau
ginjal kronis memiliki peningkatan risiko mengembangkan koagulopati dan
perdarahan yang benar-benar mengancam jiwa setelah trauma.6

30
3.3. Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik disebut juga sebagai preload syok yang ditandai dengan
menurunnya volume intravaskular, baik karena perdarahan maupun hilangnya
cairan tubuh. Penurunan volume intravaskular ini menyebabkan penurunan volume
interventrikuler kiri pada akhir diastol yang akhirnya menyebabkan berkurangnya
kontraktilitas jantung dan menurunnya curah jantung. Syok hipovolemik
disebabkan oleh:
- Kehilangan darah, misalnya perdarahan.
- Kehilangan plasma, misalnya luka bakar.
- Dehidrasi, cairan yang masuk kurang (misalnya puasa lama), cairan yang keluar
banyak (misalnya diare, muntah-muntah, fistula, obstruksi usus dengan
penumpukan cairan di lumen usus).7

Syok Hipovolemik akibat Perdarahan (Hemoragik)


a. Klasifikasi syok hemoragik
 Pre syok (compensated)
Terjadi apabila perdarahan kurang dari 15 % (750 ml) volume darah. Pasien
mengeluh pusing, takikardi ringan dengan tekanan darah sistolik 90 – 100
mmHg,
 Syok ringan (compensated)
Terjadi apabila perdarahan 15 – 30 % (750 – 1500) volume darah. Timbul
penurunan perfusi jaringan dan organ non vital. Tidak terjadi perubahan
kesadaran, volume urin yang keluar normal atau sedikit berkurang, dan
mungkin (tidak selalu) terjadi asidosis metabolik. Pasien juga akan terlihat
gelisah, berkeringat dingin, haus dan tekanan darah sistolik 80 – 90 mmHg.
 Syok sedang
Sudah terjadi penurunan perfusi pada organ yang tahan terhadap iskemia
waktu singkat (hati, usus, dan ginjal). Sudah timbul oligouria (urin kurang
dari 0,5 ml/kgBB/jam) dan asisdosis metabolik, tetapi kesadaran masih baik,
dan tekanan darah sistolik antara 70 – 80 mmHg.
 Syok berat
Perfusi didalam jaringan otak dan jantung sudah tidak adekuat. Mekanisme
kompensasi vasokontriksi pada organ dan jantung. Sudah terjadi anuria dan
31
penurunan kesadaran (delirium, stupor, koma) dan sudah ada gejala hipoksia
jantung (EKG abnormal, curah jantung turun). Perdarahan masif > 40 % dari
volume darah dapat menyebabkan henti jantung. Pada stadium akhir tekanan
darah cepat menurun (sistolik 0 – 40 mmHg) dan pasien menjadi koma, lalu
disusul nadi menjadi tidak teraba, megap – megap dan akhirnya terjadi mati
klinis (nadi tidak teraba, apneu). Henti jantung karena syok hemoragik adalah
disosiasi elektromaknetik (kompleks gelombang EKG masih ada, tetapi tidak
teraba denyut nadi), fibrilasi ventrikel dapat terjadi pada pasien dengan
penyakit jantung.

b. Patofisiologi syok hemoragik


Respon dini terhadap kehilangan darah adalah dengan vasokontriksi progresif
pada kulit, otot, dan sirkulasi viseral (dalam rongga perut) untuk menjamin arus
darah ke ginajl, jantung dan otak. Vasokontriksi bertujuan untuk menaikan pre load.
Karena cedera, respon terhadap berkurangya volume darah yang akut adalah
peningkatan denyut jantung sebagai usaha untuk menjaga curah jantung. Pelepasan
kateklamin endogen meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer. Hal ini akan
meningkatkan tekanan darah diastolik dan mengurangi tekanan nadi, tetapi hanya
sedikit membantu peningkatan perfusi organ.
Hormon – hormon lain yang bersifat vasoaktif juga dilepaskan kedalam
sirkulasi sewaktu terjadinya syok, termasuk histamin, bardikinin, beta endorfin, dan
sejumlah besar prostanoid dan sitokin-sitokin lain. Substansi ini berdampak besar
pada mikrosirkulasi dan permeabilitas pembuluh darah. Pada syok perdarahan yang
masih dini, mekanisme kompensasi sedikit mengatur pengembalian darah (venous
return) dengan cara kontraksi volume darah didalam sistem vena, yang tidak
banyak membantu memperbaiki tekanan sistemik. Cara paling efektif dalam
memulihkan curah jantung dan perfusi organ adalah dengan memperbaiki
volumenya.
Pada tingkat seluler, sel dengan perfusi dan oksigenasi yang tidak adekuat
tidak mendapat substrat esensial yang diperlukan untuk metabolisme aerobik
normal dan produksi energi. Pada keadaan awal terjadi kompensasi dengan
berpindah ke metabolisme anaerobik, dimana metabolisme ini mengakibatkan

32
pembentukan asam laktat dan kemudian berkembang menjadi asidosis metabolik.
Apabila syok terjadi berkepanjangan dan penyampaian substrat untuk pembentukan
ATP tidak memadai, maka membran sel tidak dapat lagi mempertahankan
integritasnya dan gradien elektrik normal hilang.

c. Gejala klinis syok hemoragik


1. Perdarahan derajat I (kehilangan darah 0-15%)
 Tidak ada komplikasi, hanya terjadi takikardi minimal.
 Biasanya tidak terjadi perubahan tekanan darah, tekanan nadi, dan frekuensi
pernapasan.
 Perlambatan pengisian kapiler lebih dari 3 detik sesuai untuk kehilangan
darah sekitar 10%
2. Perdarahan derajat II (kehilangan darah 15-30%)
 Gejala klinisnya, takikardi (frekuensi nadi>100 kali permenit), takipnea,
penurunan tekanan nadi, kulit teraba dingin, perlambatan pengisian kapiler,
dan anxietas ringan.
 Penurunan tekanan nadi adalah akibat peningkatan kadar katekolamin, yang
menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan selanjutnya
meningkatkan tekanan darah diastolik.
3. Perdarahan derajat III (kehilangan darah 30-40%)
 Pasien biasanya mengalami takipnea dan takikardi, penurunan tekanan darah
sistolik, oligouria, dan perubahan status mental yang signifikan, seperti
kebingungan atau agitasi.
 Pada pasien tanpa cedera yang lain atau kehilangan cairan, 30-40% adalah
jumlah kehilangan darah yang paling kecil yang menyebabkan penurunan
tekanan darah sistolik.
 Sebagian besar pasien ini membutuhkan transfusi darah, tetapi keputusan
untuk pemberian darah seharusnya berdasarkan pada respon awal terhadap
cairan.
4. Perdarahan derajat IV (kehilangan darah >40%)
 Gejala-gejalanya berupa takikardi, penurunan tekanan darah sistolik, tekanan
nadi menyempit (atau tekanan diastolik tidak terukur), berkurangnya (tidak

33
ada) urine yang keluar, penurunan status mental (kehilangan kesadaran), dan
kulit dingin dan pucat.
 Jumlah perdarahan ini akan mengancam kehidupan secara cepat.¹

Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah

Derajat Perdarahan

d. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diarahkan kepada diagnosis cedera yang mengancam jiwa dan
meliputi penilaian dari ABCDE. Mencatat tanda vital awal penting untuk memantau
respon penderita terhadap terapi. Yang harus diperiksa adalah tanda-tanda vital,
produksi urin dan tingkat kesadaran. Pemeriksaan penderita yang lebih rinci akan
menyusul bila keadaan penderita mengijinkan.
1. Airway dan Breathing
Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan cukupnya
pertukaran ventilasi clan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen untuk
mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95%.

34
2. Sirkulasi kontrol perdarahan
Termasuk dalam prioritas adalah mengendalikan perdarahan yang jelas terlihat,
memperoleh akses intravena yang cukup, dan menilai perfusi jaringan.
Perdarahan dari luka luar biasanya dapat dikendalikan dengan tekanan langsung
pada tempat perdarahan. Cukupnya perfusi jaringan menentiikan jumlah cairan
resusitasi yang diperlukan. Mungkin diperlukan operasi untuk dapat
mengzndalikan perdarahan internal.
3. Disability-pemeriksaan neurologi
Dilakukan pemeriksaan neurologi singkat untuk menentukan tingkat kesadaran,
pergerakan mata dan respon pupil, fungsi motorik dan sensorik. informasi ini
bennanfaat dalam menilai perfusi otak, mengikuti perkembarigan kelainan
neurologi dan meramalkan pemulihan. Perubahan fungsi sistem saraf sentral
tidak selalu disebabkan cedera intrakranial tetapi mungkin mencerminkan
perfusi otak yang kurang. Pemulihan perfusi dan oksigenasi otak harus dicapai
sebelum penemuan tersebut dapat dianggap berasal dari cedera ititrakranial.
4. Exposure-pemeriksaan lengkap
Setelah mengurus prioritas-prioritas untuk menyelamatkan jiwanya, penderita
harus ditelanjangi dan diperiksa dari "ubun-ubun sampai ke jari kaki" sebagai
bagian dari mencari cedera. Bila menelanjangi penderita, sangat penting
mencegah hipotermia.
5. Pemasangan kateter urin
Kateterisasi kandung kencing memudahkan penilaian urin akan adanya
hematuria dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau produksi urin.

e. Terapi Awal Cairan


Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis cairan ini
mengisi intravaskuler dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume vaskuler
dengan cara menggantikar, kehilangan cairan berikutnya ke dalam ruang interstitial
dan intraseluler. Larutan Ringer Laktat adalah cairan pilihan pertama. NaC1
fisiologis adalah pilihan kedua. Walaupun NaC1 fisiologis merupakan cairan
pengganti yang baik namun cairan ini memiliki potensi untuk terjadinya asidosis
hiperkhloremik. Kemungkinan ini bertambah besar bila fungsi ginjalnya kurang

35
baik. Jumlah cairan dan darah yang diperlukan untuk resusitasi sukar diramalkan
pada evaluasi awal penderita.
Pada tabel di bawah, dapat dilihat cara menentukan jumlah cairan dan darah
yang mungkin diperlukan oleh penderita. Perhitungan kasar untuk jumlah total
volume kristaloid yang secara akut diperlukan adalah mengganti setiap mililiter
darah yang hilang dengan 3 ml cairan kristaloid, sehingga memungkinkan resusitasi
volume plasma yang hilang ke dalam ruang interstitial dan intraseluler. Ini dikenal
dengan sebagai hukum "3 untuk 1" Namun, lebih penting untuk menilai respon
penderita kepada resusitasi cairan dan bukti perfusi dan oksigenasi end- organ yang
memadai, misalnya keluaran urin, tingkat kesadaran dan perfusi perifer.
Apabila pada waktu resusitasi jumlah cairan yang diperlukan untuk
memulihkan atau mempertahankan perfusi organ jauh melebihi perkiraan tersebut,
maka diperlukan penilaian ulang yang teliti dan perlu mencari cedera yang belum
diketahui atau penyebab lain untuk syoknya.
RESPON RESPON TANPA
CEPAT SEMENTARA RESPON
Tanda vital Kembali ke normal Perbaikan Tetap abnormal
sementara, tensi
dan nadi kembali
turun
Kehilangan Minimal (10-20%) Sedang (20-40%) Berat (>40%)
darah
Kebutuhan Sedikit Banyak Banyak
kristaloid
Kebutuhan Sedikit Sedang-banyak Segera
darah
Operasi Mungkin Sangat mungkin Emergensi

f. Terapi Kausal
Perdarahan merupakan penyebab tersering dari syok pada pasien-pasien
trauma, baik oleh karena perdarahan yang terlihat maupun perdarahan yang tidak
terlihat. Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan kuat, keeuali jika
miokard sudah mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat berkurang. Respons
tubuh terhadap perdarahan bergantung pada volume, kecepatan, dan lama
perdarahan. Bila volume intravaskular berkurang, tubuh akan selalu berusaha untuk
mempertahankan perfusi organ-organ vital (jantung dan otak) dengan
36
rnengorbankan perfusi organ lain seperti ginjal, hati, dan kulit. Akan terjadi
perubahan-perubahan hormonal melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron,
sistem ADH, dan sistem saraf simpatis. Cairan interstitial akan masuk ke dalam
pembuluh darah untuk mengembalikan volume intravaskular, dengan akibat terjadi
hemodilusi (dilusi plasma protein dan hematokrit) dan dehidrasi interstitial. Dengan
demikian, tujuan utama dalam mengatasi syok perdarahan adalah menormalkan
kembali volume intravaskular dan interstitial. Bila defisit volume intravaskular
hanya dikoreksi dengan memberikan darah maka masih tetap terjadi defisit
interstitial, dengan akibat tanda-tanda vital yang masih belum stabil dan produksi
urin yang kurang. Pengembalian volume plasma dan interstitial ini hanya mungkin
bila diberikan kombinasi cairan koloid (darah plasma, dextran) dan cairan garam
seimbang. Infus cairan tetap menjadi pilihan utama dalam menangani pasien hamil.
Bila telah jelas ada peningkatan isi nadi dan tekanan darah, infus harus dilambatkan.
Bahaya infus yang cepat adalah oedem paru, terutama pasien geriatri.

Jumlah Perdarahan Dan Penanganannya


Untuk mengetahui jumlah volume darah seseorang, biasanya digunakan
patokan berat badan. Walau dapat bervariasi, volume darah orang dewasa adalah
kira-kira 7% dari berat badan. Dengan demikian laki-laki yang berat 70 kg,
mempunyai volume darah yang beredar kira-kira 5 liter. Bila penderita gemuk maka
volume darahnya diperkirakan berdasarkan berdasarkan berat badan idealnya,
karena bila kalkulasi didasarkan berat badan sebenarnya, hasilnya mungkin jauh di
atas volume sebenarnya. Volume darah anak-anak dihitung 8% sampai 9% dari
berat badan (80-90 ml/kg).
Lebih dahulu dihitung EBV (Estimated Blood Volume) penderita, 65 – 70
ml/kg berat badan. Kehilangan sampai 10% EBV dapat ditolerir dengan baik.
Kehilangan 10%-30% EBV memerlukan cairan lebih banyak dan lebih cepat.
Kehilangan lebih dari 30%-50% EBV masih dapat ditunjang untuk sementara
dengan cairan saja sampai darah transfusi tersedia. Total volume cairan yang
dibutuhkan pada kehilangan lebih dari 10% EBV berkisar antara 2-4 x volume yang
hilang.

37
Perkiraan volume darah yang hilang dilakukan dengan kriteria Traumatic
Status dari Giesecke. Dalam waktu 30 sampai 60 menit susudah infusi, cairan
Ringer Laktat akan meresap keluar vaskular menuju interstitial. Demikian sampai
terjadi keseimbangan baru antara Volume Plasma/Intravascular Fluid (IVF) dan
Interstitial Fluid (ISF). Ekspansi ISF ini merupakan interstitial edema yang tidak
berbahaya. Bahaya edema paru dan edema otak dapat terjadi jika semula organ-
organ tersebut telah terkena trauma. 24 jam kemudian akan terjadi diuresis spontan.
Jika keadaan terpaksa, diuresis dapat dipercepat lebih awal dengan furosemid
setelah transfusi diberikan.
Jumlah produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif untuk perfusi
ginjal. Produksi urin yang normal pada umumnya menandakan aliran darah ginjal
yang cukup, bila tidak dimodifikasi oleh pemberian obat diuretik. Sebab itu,
keluaran urin merupakan salah satu dari pemantauan utama resusitasi dan respons
penderita. Dalam batas tertentu, produksi urin dapat digunakan sebagai pemantau
aliran darah ginjal. Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan
keluaran urin sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa, 1 ml/kgBB/jam pada
anak-anak dan 2 ml/kgBB/jam untuk bayi (di bawah umur 1 tahun). Bila kurang,
atau makin turunnya produksi urin dengan berat jenis yang naik, maka ini
menandakan resusitasi yang tidak cukup. Keadaan ini menuntut ditambahnya
penggantian volume dan usaha diagnostik.7

38
BAB IV
SIMPULAN

Tujuan Intensive Care Unit (ICU) yaitu mendiagnosis dan melakukan


penatalaksanaan spesifik terhadap penyakit penyakit akut yang mengancam nyawa,
memberikan bantuan dan mengambil alih fungsi vital tubuh, dan melakukan
pemantauan fungsi vital tubuh dan penatalaksanaan terhadap komplikasi yang
ditimbulkan oleh penyakit, dengan harapan dapat meningkatkan angka keselamatan
pasien. Pada pasien ini diperlukan observasi terhadap kehilangan darah intraoperasi
yang terjadi karena dengan modal Hb <10 g/dL dan perdarahan intraoperasi yang
terjadi dapat menyebabkan kehilangan volume darah dan rendahnya Hb sehingga
menyebabkan penurunan perfusi jaringan terutama ke organ-organ vital jantung dan
otak yang bila berlanjut dapat mengancam jiwa.
Trauma termasuk operasi yang menyebabkan kehilangan darah berikatan erat
dengan trias kematian yaitu asidosis, hipotermia dan koagulopati. Sebagai
pencegahan terjatuhnya pasien yang kehilangan darah pada keadaan syok maka
perlu dikaji penyebab dari kehilangan darahnya dan diatasi dengan mengganti
jumlah cairan yang hilang serta mengawasi keadaan hemodinamik pasien.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Bina Upaya Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 2011. Pedoman


Penyelengaraan Pelayanan HCU dan ICU di Rumah Sakit. Jakarta.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia nomor 1778/MENKES/SK/XII/2011 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Intensive Care Unit (ICU) di Rumah
Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
3. Indonesian Society of Intensive Care Medicine. Pedoman ICU. Diunduh dari:
https://perdici.org/wp-content/uploads/2018/03/Pedoman-ICU.pdf
4. Petunjuk Teknis Penyelengaraan Pelayanan Intensif Care Unit (ICU) Di
Rumah Sakit. Direktorat Jendral Kementrian Kesehatan RI. Jakarta. 2012
5. Gerecht, Ryan. 2014. Trauma’s Lethal Triad of Hypothermia, Acidosis &
Coagulopathy Create a Deadly Cycle for Trauma Patients. Diunduh dari:
https://www.jems.com/articles/print/volume-39/issue-4/features/trauma-s-
lethal-triad-hypothermia-acidos.html?c=1
6. Thorsen K, K. G. Ringdal, K. Strand. 2011. Clinical and Cellular Effects of
Hypothermia, Acidosis and Coagulopathy in Major Injury. British Journal of
Surgery; 98: 894–907.
7. Leksana, Ery. 2010. Terapi Cairan dan Darah; Semarang; SMF/Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif, RSUP Dr. Kariadi/Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro. Diunduh dari:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/27_177Terapicairandandarah.pdf/27_17
7Terapicairandandarah.pdf

40

Anda mungkin juga menyukai