PRIANGAN 1862-1942
SKRIPSI
Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana
pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran
NPM 180310140061
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2018
KATA PENGANTAR
menyebut nama Allah swt., dan mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad
saw, penulis memanjatkan puji serta syukur karena skripsi berjudul Filantropi
Teh 1862-1942 dapat diselesaikan. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat
FIB Unpad yaitu Bapak Yuyu Yohana Risagarniwa, Ph.D beserta Wakil Dekan
itu, penulis ucapkan terimakasih kepada Ketua Prodi Sejarah Unpad yaitu Dr.
Studi Sejarah.
Ibu Prof. Dr. Nina Herlina, M.S selaku pembimbing utama yang telah
memberikan ide, arahan, nasihat, motivasi dan sumber untuk penulisan skripsi ini.
Terima kasih kepada Bapak Budi Gustaman, M.A selaku co-pembimbing yang
telah memberikan ide, movitasi, arahan, nasihat, pengetahuan, dan sumber untuk
penulisan skripsi ini serta berbagi pengalaman hidup kepada penulis. Kemudian
penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dosen wali Dr. Widyonugrahanto
M.Si serta seluruh dosen program studi Sejarah dan Fakultas Ilmu Budaya yang
i
telah memberikan ilmu pengetahuan selama penulis kuliah di Universitas
Padjadjaran. Selain itu, terima kasih istimewa kepada para informan Direktur
Utama PTPN VIII, Bapak Bagya Mulyanto, serta Kepala Bidang Pariwisata,
Agrowisata N8, Bapak Hikmat Eka Karyadi, Pendiri Komunitas Aleut, Bapak
Rizky Wiryawan, dan Komunitas Kedai Preanger yang telah membantu dalam
pencarian sumber.
perkuliahan. Terakhir, terima kasih istimewa kepada Haris Setiawan yang telah
skripsi ini.
bidang sejarah. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
mahasiswa program studi Sejarah khususnya dan bagi semua masyarakat pada
umumnya.
ii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................................ v
ABSTRACT ...................................................................................................................... vi
iii
2.2 Perkebunan di Priangan: Dari Kopi hingga Munculnya Heeren van de Thee... 32
iv
ABSTRAK
v
ABSTRACT
vi
DAFTAR ISTILAH
Firma : Badan usaha yang terdiri dari dua orang atau lebih
dengan nama bersama dan tanggung jawabnya
terbagi rata tidak terbatas pada setiap pemiliknya
vii
Kerepus : Topi dari Turki
viii
DAFTAR TABEL
Halaman
Bandung
vii
DAFTAR GRAFIK
Halaman
1870-1930
viii
DAFTAR BAGAN
Halaman
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Karel Frederik Holle 51
Gambar 2.2 Karel Frederik Holle di masa tua 56
Gambar 2.3 Monumen Karel F. Holle di Alun-Alun 56
Perkebunan Teh Cisaruni Garut
Gambar 2.4 Rumah Rudolf E. Kerkhoven di Gambung, 66
Bandung
Gambar 2.5 K.A.R Bosscha 71
Gambar 2.6 Rumah Administratur K.A.R Bosscha di 71
Malabar
Gambar 2.7 Rumah K.A.R Bosscha di Malabar pada 72
2017
Gambar 2.8 Makam K.A.R Bosscha di Pangalengan 73
Gambar 2.9 Pusara K.A.R Bosscha 73
Gambar 3.1 Bangunan Technische Hoogere School 1920 80
x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
xi
BAB I
PENDAHULUAN
melakukan uji coba penanaman komoditi baru, yaitu teh. Namun, penanaman teh
mengontrak dalam jangka waktu 20 tahun (Lubis, 2003: 359). Pengontrak pemula
pada 1862, yaitu Adriaan Walraven Holle di Parakan Salak, dan Albert Holle di
1
Pada 1870, UU Gula (21 Juli, S 136) menyatakan berakhirnya Sistem Tanam Paksa, sementara
UU Agraria 1870 dan Dekrit Agraria (KB 20 Juli 1870, S 118) berisi memudahkan hibah tanah
jangka panjang bagi perusahaan Eropa dan sebuah ketentuan tentang pemilikan tanah pribumi
yang sesuai dengan hak atas tanah pra-1800. Dengan demikian, Undang-Undang Agraria 1870
merupakan titik awal dari liberialisasi ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial dan
memberi peluang untuk perusahaan swasta. (Boomgard, 2004: 64)
1
2
membuka perkebunan mereka. Hal ini disebabkan Priangan telah memiliki sarana
dan prasarana seperti jalan, dan transportasi kuda yang pada masa itu telah
menunjang aktivitas perkebunan dibanding daerah lainnya (Bosscha, t.t: 9). Selain
itu, Priangan memiliki suhu udaranya lebih sejuk karena berada pada ketinggian
kurang lebih 500 sampai 1000 meter lebih di atas permukaan laut. Menurut para
pemilik modal, Priangan cocok untuk komoditas perkebunan (Suganda, 2014: 2).
interaksi sosial antara pemilik perkebunan, para pekerja, aristrokrat lokal, dan
2
Wilayah Priangan pada abad ke-19 terdiri dari Cianjur, Bandung, Sumedang, Parakan Muncang,
Limbangan, dan Sukapura (Muhsin, t.t: 4). Wilayah Priangan sangat subur karena merupakan
daerah vulkanis yang dibentuk oleh gunung berapi dengan ketinggian antara 1.800-3.000 m dpl.
Juga terdapat sungai-sungai besar yang telah memiliki pelabuhan dari masa kerajaan. (Lubis,
1998:25)
3
Hans van de Wall menyebutkan tiga kelompok planters yang terdapat di Hindia Belanda, yakni
pemilik perkebunan di Priangan (Preanger Planters), pemilik perkebunan tebu di wilayah Jawa
Tengah (Suiker Planters), serta pemilik perkebunan tembakau di Deli (Kunto, 1984:32). Preanger
Planters adalah sebutan pengusaha perkebunan di wilayah Priangan. (Kunto, 1985:27) Sebutan ini
lebih identik dengan keluarga Kerkhoven, keluarga Holle, dan keluarga Bosscha.
4
Selama 1900-1913 terjadi lonjakan ekspor (hkg) produksi teh sebagai salah satu komoditi utama
meningkat pesat. Pada 1900 produksi teh berada pada tingkat 4.196 (hkg) 13 tahun kemudian
melonjak di angka 21.543, terdapat selisih sejumlah 17.347
(Furnivall, 2009: 356).
5
Lingkungan perkebunan itu terdiri dari kesatuan lahan penanaman tanaman, komoditi
perdagangan, pusat pengolahan produksi (pabrik), dan komunitas pemukiman penduduk. (Sartono,
dkk, 1991:7)
3
sosial preanger planters adalah kelompok orang-orang terhormat. Hal itu didasari
bumiputera semakin dekat. Kedekatan ini diceritakan oleh Hella S Haase 7 sebagai
berikut
Tempoe Doeloe (1986: 29) menuturkan bahwa tidak semua para pengusaha
6
A.Sobana Hardjasapura dalam disertasi yang berjudul Perubahan Sosial di Bandung 1810-1908
menyebutkan bahwa tingkatan pengusaha perkebunan berada di bawah pejabat kolonial. Dengan
demikian, preanger planters yang merupakan pengusaha perkebunan di wilayah Priangan dapat
digolongkan sebagai pemilik status sosial di bawah pejabat kolonial.
7
Hella S. Haasse adalah penulis novel Heren van de Thee (Sang Juragan Teh) dengan
menggunakan arsip-arsip keluarga Kerkhoven.
8
Rudolf E. Kerkhoven adalah pemilik perkebunan di Gambung. Dalam novel sang juragan teh Ia
adalah tokoh utama yang diceritakan penulis.
4
“Seorang pria yang sangat kaya, yang menyimpan harta berupa emas dan
batu-batu berharga di rumahnya, namun Ia meninggal tanpa
memberitahukan tempat penyimpanan harta tersebut. Para ahli waris
mencari ke mana-mana dan membongkar lantai di balik dinding.
Akhirnya, tidak ada satu hartapun yang dapat ditemukan. Pada akhirnya
ahli waris menjual rumah tersebut. Pemilik baru rumah tersebut tiba-tiba
menjadi orang kaya mendadak.” (Haase, 2015: 37-38).
Dari kisah ini, Nenek Kerkhoven menanamkan pesan moral kepada cucu-
menggantungkan diri pada harta warisan, atau menurut bahasa kiasan yang Ia
Orang harus bekerja keras dan hidup sederhana membangun kehidupan yang baik
untuk mereka dan keluarga mereka. Kekayaan yang telah didapatkan harus diatur
terlihat dari pencapaian yang dilakukan oleh Karel F. Holle sebagai sahabat petani
di Garut, K.A.R Bosscha sebagai warga kehormatan kota Bandung, 9 dan Keluarga
9
Istilah K.A.R Bosscha dikenang sebagai warga kehormatan kota atas jasa-jasanya pertama kali
dipopulerkan oleh Harian Rotterdamsch Nieuwsblad, tanggal 28 Desember 1928.
10
Keluarga Kerkhoven terbagi di dua tempat, yaitu di Bandung dan di Sukabumi. Kerkhoven di
Bandung diawali dengan pembukaan perkebunan di Arjasari oleh R.Albert Kerkhoven. Sementara
Kerkhoven di Sukabumi melanjutkan perkebunan yang dibuka pertama kali oleh G.L.J van der
Hucht, yaitu Eduard Kerkhoven. Kerkhoven di Sukabumi yaitu Adriaan Kerkhoven memprakasai
pendirian venatoria yang mengubah hutan di wilayah Priangan Selatan menjadi hutan lindung
untuk perburuan (Gustaman, 2013: 78)
5
mereka hingga saat ini dikenang oleh masyarakat melalui beberapa monumen-
bukan hanya eksploitasi. Adapun sisi positif sebagai pembelajaran yang dapat
diambil dari kedatangan preanger planters ini. Selain itu, pengangkatan tema ini
Dalam penyusunannya skripsi ini dibatasi oleh aspek spasial dan aspek
temporal. Priangan dipilih menjadi aspek spasial karena sejak VOC Priangan
pemilihan skripsi ini adalah aspek temporal. Aspek temporal dalam skripsi ini
adalah 1862. Tahun ini terjadi pengalihan seluruh perkebunan teh di Pulau Jawa
akhir temporal dari penelitian ini adalah 1942 karena masa itu adalah batas akhir
11
Contoh monumen Karel F. Holle di Garut yang berdiri di alun-alun, serta makam K.A.R
Bosscha di wilayah Pangalengan.
6
ke-19?
planters?
Skripsi ini memiliki tujuan umum dan tujuan khusus serta manfaat praktis
yang didapat. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan-
planters.
Selain itu, ada tujuan umum yang akan dicapai. Pertama, untuk menambah
diperlukan banyak sudut pandang untuk memperlihatkan sisi lain. Serta, kajian
sejarah yang terdiri dari empat tahap, yaitu tahap heuristik, tahap kritik, tahap
interpretasi dan tahap historiografi (Herlina, 2011: 15). Heuristik adalah proses
menemukan dan menghimpun informasi, jejak masa lampau atau sumber sejarah
(Herlina, 2011: 15). Dalam penelitian sejarah terdapat beberapa klasifikasi sumber
yaitu sumber tertulis, sumber lisan dan sumber benda (Gottschalk, 1975: 35-36
hingga saat ini baru ditemukan berupa majalah yang berjudul De Preanger Bode
pada tanggal 8 Juli tahun 1926 yang menyebutkan mengenai lembaga kanker yang
8
didanai oleh Bosscha. Sumber yang ditemukan di perpustakaan ini juga mengenai
roman sejarah Sang Juragan Teh karya Hella S Haase yang menceritakan
Jln. Ganesa No. 10 Bandung yang mana menemukan sebuah buku berjudul dari
finansial.
den Daag voor Nederlandsch Indie tanggal 14 November 1906 mengenai lembaga
buta bandung dan tanggal 17 November 1919 mengenai ulasan laporan tahunan
ke-18 lembaga buta Bandung. Selanjutnya, dalam Indische Courant 12 Juni 1941
Lembaga Buta, Lembaga Bisu dan Tuli, dan Technische Hoogere School.
9
Proses kedua dalam tahapan metode sejarah adalah kritik. Kritik adalah
tahapan atau kegiatan meneliti sumber, informasi atau jejak tersebut secara kritis,
yang terdiri atas kritik intern dan kritik ekstern (Herlina, 2015: 15). Kritik internal
bertugas menjawab jawaban “Apakah kesaksian yang diberikan oleh sumber itu
kredibel dan dapat dipercaya?”. Kritik internal menguji kredibilitas sumber dan
terdiri dari sumber primer lemah atau sumber sezaman, dan sumber sekunder.
Sumber primer lemah yaitu buku mengenai biografi Karel F. Holle ditulis oleh
C.W Janssen pada tahun 1888 dan pidato mengenang sejarah perusahaan-
perusahaan teh pada tahun 1924. Sumber-sumber sezaman lainnya yaitu majalah
dan koran serta jaarverslag (Laporan Tahunan) lembaga, ataupun organisasi yang
didirikan oleh preanger planters. Adapun sumber sekunder yang digunakan yaitu
berupa buku-buku kontemporer yang ditulis dengan berkaitan dengan tema yang
dibahas.
Dalam skripsi ini proses kritik pada salah satu sumber utama yaitu Novel
Sang Juragan Teh karya Hella S Haase. Kritik eksternal dalam novel ini
Arsip ini dikelola oleh Stichting Indisch Thee- En Familie- Archief van der Hucht
C.S yaitu sebuah yayasan yang khusus mengelola arsip keluarga dari Van Der
Hucht. Seperti yang telah diketahui bahwa Kerkhoven, Holle, Bosscha adalah
ketiga sepupu dari garis keturunan Van der Hucht. Yayasan ini didirikan di
fakta-fakta yang diperoleh (Herlina, 2015: 15). Pada tahapan ketiga ini, proses
dengan beberapa faktor, yaitu bahasa, perbendaharaan kata, tata bahasa dan
skripsi ini merupakan sumber arsip kolonial. Arsip kolonial berupa Bahasa
pengetahuan tata bahasa dan konteks agar dapat ditafsirkan dari Bahasa Belanda
ke Bahasa Indonesia.
planters kajian ini menggunakan roman sejarah Sang Juragan Teh yang ditulis
oleh Hella S Haasse. Selain novel tersebut berisi data yang disusun berdasarkan
pada masa nya. Pemakaian novel dalam rekonstruksi bisa menggambarkan jiwa
zamannya. Selain itu, imajinasi dalam novel dapat menjadi penghubung antar
tahapan kegiatan penulisan. Hasil penafsiran atas fakta-fakta itu kita tuliskan
11
menjadi suatu kisah sejarah yang selaras. Disini kita berada pada persoalan
teh di Priangan belum ada yang membahas secara khusus. Sumber-sumber yang
Namun, ada beberapa kajian yang menjadi rujukan dan tinjauan dalam penulisan
diteliti. Kajian pustaka yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Sebuah buku berjudul Kisah Para Preanger planters yang ditulis oleh
Her Suganda dan diterbitkan Kompas pada tahun 2014. Buku tersebut
wilayah perkebunan dengan ciri khas masing masing, yakni di wilayah Bogor,
Ketidak-kronologis ini terlihat dalam uraian-uraian yang ditulis. Namun, buku ini
Tuna Netra di Jawa (1901-1942) karya Taufik Rachman pada tahun 2011, Jurusan
bagaimana pemerintah Hindia Belanda dalam menangani kasus tuna netra di Jawa
yang pada akhir abad ke-19 terdapat 300.000 kasus. Hal ini menghubungkan
Perbedaan kajian skripsi ini dengan skripsi yang dikaji penulis adalah skripsi ini
mengkaji kasus tuna netra di seluruh Jawa pada 1901-1942. Adapun penulis
tuna netra.
Nurfebri Rifanti dari Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas
tahun 1920 hingga 1959 setelah Obsevatorium Bosscha ini menjadi bagian dari
ITB (Institut Teknologi Bandung). Dalam skripsi ini, pembahasan mengenai peran
perbedaan mengenai kajian skripsi. Jika pada skripsi Obsevatorium Bosscha lebih
astronomi. Sementara itu, penulis mengkaji apa yang menjadi sumbangan atau
ditulis oleh Nina Herlina Lubis terbit pada 1998 oleh Pusat Informasi dan
Kebudayaan Sunda, Bandung menjadi tinjauan dalam skripsi ini. Buku ini
ménak adalah golongan pejabat asli Priangan. Buku ini membahas pula
dengan skripsi yang akan ditulis adalah topik pembahasan, dalam buku ini belum
disebutkan secara rinci mengenai apa saja bentuk-bentuk apa saja yang
besar terutama bagi sub-bab hubungan sosial di Priangan. Buku ini menggunakan
ménak di Priangan.
Sebuah buku berjudul Wajah Bandoeng Tempoe Doeloe yang ditulis oleh
Haryoto Kunto pada tahun 1984 diterbitkan oleh PT.Granesia menjadi tinjauan
atas studi terdahulu dalam penelitian ini. Dalam buku tersebut, Haryoto Kunto
14
Bandung dari sebuah kampung kemudian menjadi kota kolonial yang baru.
skripsi ini. Selain itu, buku ini menyumbangkan sedikitnya pemaparan mengenai
Bosscha. Dalam buku ini, K.A.R Bosscha disebut sebagai “the thee-jonkers” atau
“pangeran teh”. Adapun kekurangan dari buku ini adalah bahasa yang digunakan
pengkajian skripsi ini adalah bahwasanya skripsi yang ditulis ini akan
Bosscha yang dieditori oleh Ridwan Hutagalung dan terbit pada 2014. Buku
tersebut merupakan sebuah kumpulan tulisan yang ditulis oleh komunitas sahabat
juga kesejahteraan masyarakat. Hal ini terlihat pada K.A.R Bosscha menjadi
donatur dalam Blinden instituut dan Doofstommen Instituut. Kekurangan buku ini
sumber-sumber buku ini berasal dari sumber sekunder, dengan penulisan sumber
atau daftar pustaka yang kurang lengkap. Sumber primer dinilai kurang dalam
15
menggunakan metode sejarah. Namun, kelebihan buku ini ialah bahwa bahasa
skripsi penulis dengan buku ini ialah penggambaran serta metode yang digunakan
oleh penulis. Sementara itu, skripsi penulis akan meneliti preanger planters
Tinjauan selanjutnya adalah skripsi yang ditulis oleh Titi Ratnawati yang
Sastra Unpad tahun 1990. Skripsi ini berisi mengenai sejarah perusahaan teh
swasta di wilayah Priangan yang mulai dibuka secara masif pada tahun 1862.
Adapun skripsi ini lebih membahas sosial ekonomi masyarakat yang pada masa
itu berubah dari penanaman paksa yang dikelola oleh pemerintah menjadi
Selain itu, disebutkan pula juragan teh yang terkenal di wilayah Priangan yaitu
Karel F. Holle, Eduard Julius Kerkhoven dan K.A.R Bosscha. Kelebihan dari
skripsi ini adalah sumber primer baik bacaan maupun arsip yang digunakan.
Perbedaan dengan kajian skripsi ini menekankan pada sumbangan dan gagasan
yang dilakukan oleh preanger planters sebagai bentuk perhatian mereka pada
masyarakat bumiputera.
16
naratif kurang memuaskan. Hal tersebut disebabkan oleh sejarah tidak memiliki
teori-teori untuk dapat menjelaskan suatu peristiwa. Oleh karena itu, dibutuhkan
filantropis yang ditunjukan oleh preanger planters. Adanya sikap ini tidak
terlepas dari pengalaman masa lalu mereka –sebagai keluarga preanger planters-
yang mengadu nasib ke Hindia sehingga mereka menjadi orang kaya baru di
perkebunan. Oleh karena itu, dalam skripsi ini digunakan suatu konsep sikap,
terhadap orang lain, kepada semua objek atau situasi yang terkait dengannya.
Dalam hal ini, suatu sikap individu dipengaruhi oleh pengalaman dari individu itu
sendiri (Adi, 1994: 178). Keluarga preanger planters bermula pergi ke Hindia
untuk mengadu nasib mereka. Hal ini tidak terlepas dari pengaduan nasib kakek
kemiskinan sebagai masa lalu keluarga ini membentuk suatu sikap yang
17
ditanamkan dalam keluarganya secara turun temurun. Hal ini digambarkan pada
adalah aktivitas yang dilakukan orang untuk melakukan kebaikan publik atau
munculnya mereka sebagai orang kaya baru di Priangan. Oleh sebab itu, mereka
Dunham, usaha kesejahteraan sosial adalah upaya yang terorganisasi dan berujuan
untuk meningkatkan kualitas hidup manusia ke arah kehidupan sosial yang lebih
baik. Peningkatan kualitas itu sendiri dapat dilakukan melalui kehidupan anak dan
sosial, pemanfaatan waktu luang, standar hidup, dan relasi sosial (Notowidagdo,
Wujud filantropi ini termasuk dalam kohesi sosial antara pengusaha perkebunan
dengan masyarakat bumiputera karena mereka berada dalam satu tempat tinggal
yang sama.
dengan pengantar pemikiran agar penelitian lebih terarah. Bab I terdiri dari Latar
dari sub bab ini mengenai situasi politik sosial ekonomi masyarakat Priangan.
hingga eksistensi raja teh priangan, yang terbagi menjadi tiga sub subbab. Ketiga
sub subbab tersebut adalah Karel F. Holle sebagai saudara lelaki yang dihormati,
Kerkhoven sebagai juragan teh Priangan, serta K.A.R Bosscha sebagai raja teh
Priangan.
19
Bab III terbagi menjadi tiga sub bab, masing-masing sub bab membahas
pertama membahas sumbangan dalam bidang pendidikan. Adapun sub bab kedua
Bab IV dalam penelitian ini berupa simpulan. Dalam bab ini, penulis
merupakan pembuktian atas konsep pemikiran teoritis atas ilmu sosial dan fakta
sejarah.
BAB II
berada sebagai negara vassal dari Mataram. Pada abad ke-19, kehidupan
terdapat tiga golongan yaitu golongan ménak, santana, dan somah. Golongan
tertinggi ditempati oleh ménak, sementara itu golongan terendah ditempati oleh
somah. Tiap-tiap golongan ini, menuruti perintah para kepala pribumi (ménak)
kaya baru dari gunung, mereka memiliki kedekatan dengan ménak, pengusaha
perkebunan dari daerah lain, bahkan dengan pejabat kolonial. Mereka yang
Bab II ini mengkaji situasi politik sosial ekonomi di Priangan, pada masa
keruntuhan Pajajaran, kedatangan VOC dan berdirinya Hindia Belanda. Selain itu,
20
21
sebagai kerajaan vassal dari Mataram dengan bernama Priangan dan dipimpin
oleh seorang Bupati Wedana. Adanya peralihan kekuasaan ini mengubah tatanan
sosial di Priangan.
Adapun sistem sosial tradisional yang ada di Priangan yakni terdapat tiga
golongan besar, yaitu golongan ménak14, golongan santana, dan golongan cacah
atau somah. Golongan santana berada satu tingkatan di bawah golongan ménak .
Golongan cacah atau somah dimasukkan sebagai golongan rakyat biasa. Mereka
12
Runtuhnya kerajaan Sunda-Pajajaran disebabkan kekuasaan Hindu di kerajaan tersebut tidak
ingin dilakukan Islamisasi baik secara politik, ekonomi, sosial, budaya. Tetangga Kerajaan Sunda-
Pajajaran yaitu Kesultanan Banten dan Cirebon telah menjadi Kerajaan Islam terlebih dahulu. Dari
sisi geografis, Kerajaan Sunda-Pajajaran diapit oleh Kerajaan-Kerajaan Islam disekitarnya.
Kerajaan Sunda-Pajajaran bersekutu dengan Portugis yang merupakan musuh dari kerajaan
kerajaan islam. Namun, kerajaan Sunda-Pajajaran dan Portugis dapat dikalahkan oleh serangan
dari kerajaan Mataram. Setelah itu, terdapat kerajaan vassal yaitu Sumedang Larang yang
“merdeka” dan merasa bekas wilayah Kerajaan Sunda-Pajajaran adalah miliknya. Akan tetapi,
Raja Kerajaan Sumedang Larang Raden Suria diwangsa telah diultimatum oleh utusan Mataram
bahwa bekas kerajaan Sunda-Pajajaran adalah milik mataram kecuali Banten dan Cirebon. Raden
Suria Diwangsa mengakui kebesaran Mataram. Akhirnya, Kerajaan Sumedang Larang menjadi
kerajaan vassal dibawah Mataram dengan nama wilayah “Prayangan” (tulus-ikhlas) yang
kemudian menjadi Priangan. Kedatangan VOC (Belanda) menambah pertentangan kubu tersebut
semakin panas. (Muhsin, 2011: 11-16)
13
Raden Suria Diwangsa bergelar Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata (Rangga
Gempol I) karena penghormatannya atas pengakuan Kerajaan Mataram, sekaligus Ia diangkat
sebagai Bupati Sumedang, dan Koordinator Bupati di wilayah Priangan dengan sebutan Bupati
Wedana. (Muhsin, 2011: 16)
14
Kaum ménak adalah sebutan bagi bangsawan (aristokrat lokal) di Priangan. Ménak terdiri dari
para bupati, para bawahan bupati dan sanak kerabat mereka. Ménak juga kaum elite politik yang
menempati strata tertinggi di kalangan masyarakat Sunda. Bupati sebagai elite politik tertinggi
memiliki hak istimewa terbanyak sekaligus yang paling kaya di kabupatennya. Kedudukannya di
mata rakyat dianggap sama dengan kedudukan raja, dan seorang panutan yang dianggap sebagai
dewa. (Lubis, 1998:1-3)
22
dapat menjadi ménak, apabila Ia menikah dengan golongan ménak. Seorang cacah
pangreh praja (Lubis, 1998: 69). Keadaan tersebut menjadikan kaum ménak
kekayaan yang sangat besar. Mereka meniru gaya hidup seperti seorang raja.
penghasilan yaitu hasil tanah, pajak, dan tanaga kerja wajib. Bupati dapat
meminta sebesar apapun yang ingin dimilikinya (Lubis, 1998: 79). Keadaan ini
beberapa hal berikut. Pertama, pada masa struktur pemerintahan Mataram, garis
atas prinsip pelimpahan kekuasaan menyeluruh. Oleh karena itu, bupati dapat
mengatur wilayahnya sendiri kecuali dalam hukum mati yang merupakan hak
prerogatif raja. Kedua, kondisi Priangan yang jauh dari pusat kekuasaan sehingga
26-27). Dalam kondisi tersebut, Priangan yang jauh dari pusat kekuasaan mudah
dipengaruhi oleh kekuasaan lain yang lebih dekat, yaitu VOC di Batavia. VOC
Kekuasaan kaum ménak atau elit tradisional (bupati) pada masa Deandles
sebagai pegawai pemerintah yang diberi gaji dan berada dibawah prefek. Hak-hak
bupati atas tanah, pemungutan hasil bumi, dan kerja wajib dihapuskan dan
sebutan para bupati sebagai abdi Raja Belanda dan memberikan pangkat
grote posweg didasarkan atas loyalitas rakyat kepada bupati juga bupati dapat
menggerakan rakyatnya (Hardjasaputra, 2004: 39). Hal ini kurang disadari oleh
tradisional settnempat.
daerahnya. Raffles membentuk asisten residen yang setara dengan jabatan prefek
bupati. Para pendamping bupati ini sering berpendapat bahwa jabatan bupati tidak
berguna sama sekali (Lubis, 1998: 75). Adanya sistem direct rule dari Raffles
nyatanya tidak berlangsung lama. Hal ini terjadi akibat Traktat London serta
pemerintah Hindia Belanda menentukan jalan keluar untuk menambah kas negara
Pada masa Gubernur Jendral selanjutnya, yaitu Baron van der Capellen
menyadari adanya bupati adalah sebagai penguasa tunggal di wilayahnya 15. Oleh
karena itu, Van der Capellen mengembalikan kekuasaan para bupati berdasarkan
besluit tanggal 1 Februari 1820. Namun, Van der Capellen membuat peraturan-
Dalam peraturan baru tersebut, pemberian gelar dan penghormatan dicampuri oleh
Meskipun demikian, pengangkatan ini disambut baik oleh elit tradisional terutama
oleh kaum ménak, karena mereka mendapatkan kembali gaya hidup mereka
sebelumnya.
bupati, apabila rakyat tidak merasa terlindungi maka rakyat atau cacah pindah
tempat untuk mencari perlindungan dari bupati lain. Adanya pengabdian ini
15
Setelah hengkangnya Raffles dari Hindia-Belanda proses pemerintahan dilaksanakan oleh
Komisi Jendral yaitu G.A.G Ph. Baron van der Capellen, C. Th. Elout, dan A.A du Bus (Buykes).
Kedatangan mereka memperlakukan bupati dengan peraturan-peraturan. Setelah van der Capellen
menjadi Gubernur Jendral pada 1819, Ia menyadari bahwa kurang puasnya bupati terhadap
pemerintah Hindia Belanda. Para pejabat Belanda tidak mungkin untuk mengganti kedudukan dan
posisi para bupati. Ia juga menuliskan surat pada Menteri Jajahan (9 Mei 1920) untuk mengambil
tindakan yang bijaksana dengan mengembalikan hak-hak bupati. (Hardjasaputra, 2014:45)
16
Peraturan tersebut sering disebut juga dengan Verplichtingen, Titels, en Rangen der Regenten op
het Eiland Java (Peraturan tentang Kewajiban-kewajiban, gelar-gelar, dan pangkat-pangkat para
bupati di Pulau Jawa). Peraturan ini menyebutkan bahwa para bupati adalah “saudara muda”
residen dan harus diikutsertakan dalam musyawarah urusan pemerintahan. Para bupati juga
mendapatkan pangkat kehormatan seperti raden berpangkat letnan kolonel, tumenggung
berpangkat mayor, dan ngabehi berpangkat kapten. Selain itu, peraturan ini mengatur hak-hak dan
kewajiban kaum ménak (Lubis, 1998:76).
25
gaya hidup mewah. Setiap para kepala bumiputera mengadakan pesta, rakyat
2014: 278). Hal ini menunjukan bahwa ketentraman kaum elit tradisional adalah
salah satu beban rakyat. Selain itu, rakyat harus bekerja untuk pemerintah Hindia
Belanda, dan rakyat pun dibebani pengabdiannya terhadap bupati. Keadaan ini
Belanda.
di Belanda. Kaum liberal menuntut sejumlah hak tanah hingga pada akhirnya
menyeluruh.
produksi kopi, teh, gula, dan hasil pertanian lainnya, juga hubungan orang
reorganisasi Priangan pada 1871. Hal ini membalikkan keadaan kekayaan para
kaum ménak. Para bupati atau kaum ménak ini mendapatkan gaji dari pemerintah
dengan besaran sesuai penyerahan hasil kopi. Selain itu, hak bupati juga dicabut
baik secara sosial maupun ekonomi. Apabila dilihat dalam konteks sosial, secara
dua lapisan, yaitu lapisan asing dan pribumi. Lapisan asing umumnya menempati
golongan pertama. Lapisan ini memiliki pendapatan yang tinggi, menjabat sebagai
kedua yaitu bumiputera menempati kelompok pekerja kasar dengan upah rendah.
: memiliki keterikatan
Sumber; diolah dari Lubis, Nina H. 1998. Kehidupan Kaum Ménak Priangan
1800-1942. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda dan Hardjasaputra, A.
Sobana . 2004. Bupati di Priangan: dan kajian lainnya mengenai Budaya Sunda.
Bandung: PT Kiblat Buku Utama
rakyat atau somah. Pengusaha perkebunan adalah mitra atau kerabat bagi
bawahan yang diberi perintah atau acuan dari para bupati maupun pengusaha
dengan bupati dan dapat menuntut hak perlindungan dari bupati setempat.
(preanger planters).
Moesa melakukan hal sebaliknya. Ia terkenal dengan pemikiran yang terbuka akan
Islam.
hidup mereka yang sama, yaitu berburu (bubujeng). Perburuan yang dilakukan
oleh ménak memiliki caranya sendiri. Bupati Bandung berburu dengan membawa
rombongan dan orang yang membawa tembakau, kursi, kuda, cerutu, senapan,
17
Hoofdpenghulu atau Penghulu Kepala adalah jabatan islam tertinggi di tingkat Kabupaten.
Pemerintah Hindia Belanda mengambil alih tanggung jawab dari para sultan pra Hindia Belanda
untuk mengangkat seseorang menduduki jabatan tersebut dan memberikan gaji tetap (Steenbrink,
2017: 127).
29
perayaan lainnya setiap tahun. Perayaan ini memerlukan kebutuhan dan biaya
besar. Adapun kebutuhan biasanya disokong oleh pengabdian rakyat atau cacah
Priangan 1871, ménak masih memiliki penghasilan besar yang mampu menutupi
kebutuhan pesta. Namun, setelah itu adanya kebijakan pemangkasan hak bupati
Perayaan pesta maupun upacara merupakan salah satu gaya hidup kaum
preanger planters mengundang para ménak dalam kegiatannya. Dalam hal ini
18
Perayaan pesta maupun upacara kaum ménak terdiri dari upacara penobatan, ulang tahun
penobatan, dan perayaan-perayaan peristiwa penting dalam karier. Selain itu, adapula upacara
yang menyangkut daur kehidupan manusia seperti upacara kelahiran, ulang tahun kelahiran,
khitanan, perkawinan, dan kematian. Adapula upacara mengenai keagamaan seperti Hari Raya
Idul Fitri, Maulid Nabi, dan Isra Mi‟raj (Lubis, 1998:194-195)
30
pejabat seperti Raden Wedana Banjaran, Camat Cisondari, Lurah, dan para tukang
dan mandor, para penduduk gambung, serta sanak famili (Haase, 2014: 382).
menjadikan pribumi sebagai pekerja mereka dalam perkebunan. Oleh karena itu,
mereka dapat melihat secara langsung keadaan masyarakat pribumi. Untuk dapat
“Dengar, Rudolf [Eduard Kerkhoven].. sejak aku tiba di sini selagi masih
anak-anak, melihat betapa bertolak belakangnya antara kesuburan negeri
yang indah ini dengan kemiskinan rakyatnya. Orang-orang kecil, petani,
sungguh sangat menyakitkan bagiku, lebih dari yang bisa kukatakan.
Tanah sunda adalah daerah yang terabaikan, didominasi selama berabad-
abad oleh para raja dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka kehilangan
budaya merek sendiri. Penduduk Sunda berbeda. Ini yang tidak pernah
terpikir oleh para pemegang kekuasaan.. tidak di Batavia, dan juga di Den
Haag dan yang terakhir ini sudah tidak perlu disebut lagi” (Haase, 2014:
107)
kecil, para petani tidak dapat menikmati keadaan alam Priangan yang sangat
keadaan tersebut luput dari perhatian baik dari pemerintah di Batavia maupun di
antar pekerja dan pemilik tidak hanya berbatas pada kehidupan di perkebunan.
warga sekitar untuk membantu pria di kampung yang terserang penyakit seperti
31
tersebut, tak lama kemudian pria itu sembuh dari rasa sakitnya. Melalui
perkebunan tidak selalu membawa keluarga mereka, bahkan adapula yang masih
bujang. Para bujang itu tidak selalu kawin dengan wanita Eropa. Tidak jarang,
kehidupan sosial mereka sebelumnya. Kondisi ini memaksa para kepala pribumi
(ménak) untuk dapat bekerja sama dengan pemerintah Hindia-Belanda. Selain itu,
pribumi itu sendiri. Hal ini disebabkan pula oleh munculnya golongan baru
Thee
“Kebijakan agraria baru pemerintah pasti akan berefek pada hubungan kita
dengan rakyat. Semua orang bisa melihat itu! Dan kita harus mengambil
tindakan yang sesuai! Orang-orang itu bukan hanya bekerja untuk kita;
kita juga bekerja bersama mereka. Membuat teh hijau akan berarti bahwa
kita juga memasok pasar lokal. Itu akan menstimulasi semangat kerja
sekaligus mengangkat tingkat kesejahteraan hidup, dan itu yang dari dulu
kita inginkan” ujar Karel F Holle kepada Rudolf E. Kerkhoven. (Haase,
2014: 107)
agraria baru pemerintah Hindia Belanda harus mendorong tumbuhnya pasar lokal.
Dalam hal ini, sebagai seorang “Belanda” Ia mencari penerapan yang sesuai untuk
adalah sistem perladangan, sistem persawahan, dan sistem kebun. Sistem kebun
ini berbeda dengan sistem kebun (perkebunan) yang terjadi setelah kedatangan
Pada abad ke-15, Priangan yang memiliki potensi besar untuk pertanian,
Mataram dan VOC. Namun, kekuasaan Mataram lah yang mampu melegitimasi
jumlah penyerahan wajib dan memperkenalkan sistem budidaya kopi yang tidak
wajib menanam kopi dengan jumlah dan harga penjualan ditetapkan oleh pihak
VOC. Kopi pertama kali diperkenalkan pada 1707 oleh VOC. Hal ini bertujuan
menguasai wilayah-wilayah dengan potensi kopi yang besar untuk dapat bersaing
dalam hasil preanger stelsel ini. Pemberlakuan sistem ini berada di seluruh
wilayah Priangan yaitu Priangan Barat dan Priangan Timur (Kesultanan Cirebon).
19
Perjanjian VOC dan Mataram mengenai penguasaan wilayah Priangan terjadi dalam dua tahap
yaitu pada tanggal 19-20 Oktober 1677 dengan penyerahan Priangan Timur, dan tahap kedua yaitu
5 Oktober 1705 menyerahkan Priangan Tengah dan Priangan Barat (Van Rees, 1869: 50-55 dalam
Muhsin, 2011:17).
20
Latar belakang diberlakukannya sistem ini adalah permintaan kopi yang tinggi di pasaran Eropa
pada akhir abad ke-17. Semula VOC mengangkut kopi dari negara Yaman, seiring dengan
bertambahnya persaingan antara negara Belanda, Inggris dan Prancis harga kopi semakin tinggi
dan menyulitkan VOC mendapatkan keuntungan. Oleh karena itu Dewan Tujuh Belas di Negeri
Belanda pada 1707 memerintahkan kepada petinggi VOC untuk melakukan penanaman kopi di
tanah jajahan (Kartodirjo, Djoko Suryo, 1991: 35). Priangan telah berada di bawah kekuasaan
VOC sejak 1677. Keadaan abad -18, diuraikan oleh De Haan merupakan akibat dari pengaruh
Belanda. Kopi telah diperkenalkan sebagai tanaman paksa pada awal tahun 1700-an ditakar oleh
satuan cacah (Boomgard, 2004: 34).
34
kepada VOC. Pada 1725 produksi kopi mencapai 3.150.000 pon, dengan daerah
penghasil kopi terbesar adalah Kabupaten Cianjur (Kartodirjo, dkk. 1991: 35).
Adapun hasil produksi kopi di Priangan pada 1796-1810 dapat dilihat sebagai
berikut.
Grafik. 2.1
Produksi Kopi di Priangan, Batavia, dan Sekitarnya tahun 1796-1810
(dalam pikul)
120000
100000
80000
60000 Hasil
Produksi
40000 Kopi
20000
0
1796 1797 1798 1799 1800 1807 1808 1809 1810
Sumber: diolah dari Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di
Indonesia. (Yogyakarta: Aditya Medika)
penurunan drastis pada 1799. Penurunan ini disebabkan pula adanya kebangkrutan
dari VOC. Kemudian, pada 1808 hasil produksi kopi meningkat kembali setelah
pasaran dunia. Kebijakan preanger stelsel ini hanya mewajibkan menanam kopi
khusus di dataran tinggi yang lahannya tidak pernah digarap, dan mereka menjual
35
hasilnya kepada pemerintah VOC dengan harga yang telah ditetapkan. Mereka
juga dibebaskan dari pajak kepada pemerintah (Muhsin, 2011: 12). Pemberlakuan
sistem ini turut serta dalam kestabilan kondisi sosial ekonomi masyarakat
Priangan. Dalam hal lain, kestabilan ini dapat menekan adanya perlawanan besar
mengalami kerugian besar setelah perang yang terjadi, baik di Negeri Belanda
Sementara itu, para kepala pribumi memberikan ketentuan pajak yang tinggi
untuk petani. Harga pasaran kopi sebesar 40 gulden per pikul sementara petani
Priangan hanya mendapat 6,5 gulden. Ini berarti terdapat pajak sebesar 33,5
21
Kericuhan di Priangan terdengar di wilayah Cianjur pada tahun 1726 yang dikenal juga dengan
perlawanan pusparaja. Pusparaja adalah salah seorang tokoh perlawanan yang merasa tidak puas
akan pembayaran hasil kopi. Ia menuduh bayaran hasil kopi telah diselewengkan oleh bupati
Cianjur saat itu, yaitu Aria Wiratanud. Akhirnya, Aria Wiratanu dibunuh. Namun yang sebenarnya
terjadi adalah adanya penurunan harga kopi di pasaran sehingga menurunkan bayaran hasil kopi
kepada masyarakat Priangan. (Kartodirjo, dkk 1991:37)
22
Sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) dicetuskan oleh Van Den Bosch yang lebih diminati oleh
Raja Willem I (Kunto, 1984:22). Tanam paksa terdiri dari lima pokok aturan yang terlihat tidak
terlalu berat (Drs. Soeroto, 1976 dalam Kunto, 1984: 22). Dari beberapa jenis tanaman yang
diwajibkan seperti tembakau, gula, nila, kayu manis, kopi dan teh. Sementara itu, di Wilayah
Priangan paling banyak menghasilkan kopi dan teh. Menurut Catatan, hasil “tanam paksa” selama
40 tahun 1831-1970, Pemerintah Kolonial Belanda telah menarik keuntungan sebanyak 823 juta
gulden. (Kunto, 1984: 23).
36
gulden (Breman, 2014: 288). Sistem ini menggunakan tanah-tanah terutama dari
kepala pribumi tinggi dan rendahan, pemuka agama, haji, dan kalangan mampu
yang diduga dari para kepala cacah sebelumnya (Breman, 2014: 290). Di Banten
dan Priangan, elit tradisional mempunyai hak atas tanah milik secara bebas. Di
daerah sekitar Batavia dan Bogor, orang-orang asing mempunyai hak atas tanah
secara mutlak. Pada 1800-1850 pemilikan tanah bebas oleh kaum tani (hak milik
tanah atas kemauan sendiri di daerah sekitar Batavia berkembang menjadi sewa-
percobaan mengenai teh di tahun 1824. Percobaan teh dilakukan di Wanayasa dan
Krawang. Namun, hasil yang didapat belum sempurna. Pada tahun 1833 Jacobson
mendatangkan biji-biji baru dari Cina untuk diuji coba di wilayah Bandung.
23
Setelah Jacobson diangkat menjadi Inspektur Budidaya Teh Pemerintah, Ia meneruskan
percobaannya ke 14 tempat di Jawa yakni Tegal, Pekalongan, Semarang, Kedu, Banyumas,
Bagelen, Jepara, Surabaya dan Besuk i. Hasil daripada percobaan ini tidak meninggalkan bekas.
(Pidato Bernard pada 1924 dalam Kamarijani, 1978: 7).
24
Masuknya teh ke Hindia-Belanda berawal pada 1824, P.F von Siebold membawa tanaman teh
dari Jepang atas permintaan C.L Blume, Direktur Kebun Raya Bogor. Biji teh itu ditanam di
Kebun Raya Bogor dan di Cisurupan, Kabupaten Garut. Selama sepuluh tahun dibudidayakan dan
disebar di Pulau Jawa, yang paling baik kualitasnya berasal dari Priangan. Pembukaan
perkebunan-pun terdapat dua fase, yaitu fase perkebunan pemerintah dan fase perkebunan swasta.
37
Pemerintah membuka terlebih dahulu kebun-kebun itu, setelah teh tumbuh dengan
baik, perkebunan ditawarkan kepada pihak swasta untuk diolah. Hasil perkebunan
swasta ini kemudian dibeli oleh pemerintah. Dengan demikian, para pengusaha
dibuka pada 1838. Namun, hal inipun mengandung permasalahan yakni akses dan
transportasi dari kebun hingga pabrik sulit dijangkau hingga menjadikan teh gagal
untuk dipanen.
perkebunan untuk swasta pada 1842 yaitu di Djatinangor, Sinagar, dan Parakan
Salak (Kern, 1938: 51). Pada 1844, Parakan Salak dikontrak oleh G.L.J Van der
dalam hal ini, yang dimaksud adalah fase perkebunan yang dikelola oleh pemerintah (Kartodirjo,
Djoko Suryo, 1991: 10 ).
38
kepada pihak swasta selama 20 tahun (Lubis dkk, 2003: 359). Adanya peraturan
baru ini membebaskan pihak swasta mengelola teh secara mandiri untuk
pajak dan penanaman modal. Hal ini juga didasari oleh pertumbuhan kapitalisme
ini sekaligus menjadi tonggak awal perubahan ekonomi kolonial dari eksploitasi
menuju swastanisasi.25
lain Bolang, Cikopo, Ciogreg, dan Pondok Gedeh. Adapun grafik berikut
25
Swastanisasi adalah peralihan dari Sistem Tanam Paksa ke Sistem Perusahaan Swasta sejajar
dengan beralihnya kebijaksanaan politik kolonial dari tangan kaum konservatif ke tangan kaum
liberal (Kartodirjo, Djoko Suryo, 1991: 72).
26
Dr. Ch. Bernard adalah Direktur Balai Penelitian Teh. Hal tersebut disampaikan pada ceramah
pembukaan Kongres Teh di Bandung pada tanggal 23 Juni 1924. Dalam sebuah kumpulan sejarah
perusahaan-perusahaan teh yang diterbitkan oleh Balai Penelitian Teh dan Kina Gambung,
Bandung 1978.
39
Grafik 2.2
Tanah di Jawa yang Dibuka Untuk Perkebunan 1900-1930 (ribuan ha)
600
500
400
300 Erfpacht
Tanah Disewa Petani
200
100
0
1900 1915 1920 1930
1900-an. Hal ini diiringi dengan pemberlakuan UU Agraria 1870 mengenai hak
peningkatan penyewaan tanah ini berdampak pada hasil dari pengolahan tanah
perkebunan.
Priangan. Hal ini menunjukan adanya perkembangan yang baik dalam penanaman
teh dan kina. Pertumbuhan perkebunan juga dibantu oleh pengembangan balai-
perkebunan ini juga tidak jarang mendatangkan ahli-ahli dari Belanda untuk
Grafik 2.3
Perkembangan Perkebunan Teh dan Kina di Hinda Belanda 1902 (dalam
satuan)
120
100
80
60 Kina
40 Teh
20
0
Perkebunan di Perkebunan di Perkebunan di
Hindia Priangan Luar Priangan
Sumber: diolah dari Kosoh dkk, 1979 dalam Kunto, 1984: 27.
Awal abad ke-20 teh menjadi komoditas utama dengan tingginya produksi
dan jumlah ekspor ke berbagai negara di Eropa (Gustaman, t.t: 6). Adapun
Grafik. 2.4
Nilai Ekspor Komoditas Hindia-Belanda 1870-1930
70000
60000
50000
40000
30000 Nilai Ekspor (hkg)
20000
10000
0
1870 1880 1890 1900 1913 1920 1925 1930
Sumber: Gustaman, Budi. t.t. Preanger Planters: Dari Perburuan Hingga Gagasan
Konservasi Satwa Liar. Jurnal (data diolah dari Grafik nilai ekspor komoditas
Hindia-Belanda. J.S Furnivall, Hindia-Belanda; Studi tentang Ekonomi Majemuk,
Jakarta: Freedom Institute 2009, hlm. 356)
41
Dalam grafik 2.4 terjadi lonjakan ekspor komoditas yang signifikan selama 13
tahun dari 1900-1913 dan lonjakan pada 1920-1925 dalam kurun waktu lima
tahun dan mencapai puncaknya pada titik 63.620 di tahun 1925. Ekspor teh yang
preanger planters. Seiring dengan itu, keuntungan yang didapatkan dari penjualan
ini-pun meningkat. Oleh karena itu, golongan mereka disebut “orang kaya” baru.
Tingginya ekspor juga tidak terlepas dari perkembangan budidaya dan pengolahan
teh.
dan Van Heeckeren Van Wallen. Pengusaha tersebut utamanya membuka lahan
dengan tanaman teh. Dari ke-delapan pengusaha teh tersebut, hanya tiga nama
yang terkenal. Ketiga nama tersebut adalah Karel F. Holle di Perkebunan Teh
keluarga. Keluarga tersebut masih merupakan keturunan dari trah G.L.J Van der
berasal dari satu keturunan merupakan tokoh yang dibahas dalam penelitian ini.
Ketiga sepupu itu adalah Kerkhoven, Holle, dan Bosscha. Pertalian darah serta
42
Belanda sebagai usaha mencari peruntungan 29. G.L.J. Van der Hucht sebenarnya
berasal dari keluarga terpandang. Hal ini disebutkan dalam riwayat hidup yang
ayahnya, dan ibu nya (Baroness van Wijnwergen) jatuh miskin karena suatu hal,
G.L.J Van der Hucht berusaha membela kehormatan keluarga almarhum ayahnya
dengan kerja keras (Suganda, 2014: 17). Sumber lain menyebutkan, ayah G.L.J
Van der Hucht meninggal dalam Perang Rusia. Lalu Ia berusaha untuk
perjalanannya, G.L.J Van der Hucht mendidik dirinya sendiri sebagai pedagang
yang pantang menyerah untuk singgah ke Hindia (Uker, 1935: 127). Setelah
G.L.J W. Van der Hucht tiba di Batavia pada 23 Februari 1844. Perjalanan
27
Selanjutnya akan disebut G.L.J W. Van der Hucht.
28
Guillaume Louis Jaques (Willem) van der Hucht berlayar bersama istri dan Albertine (anak
keduanya) dengan keluarga kakaknya, yaitu Alexandrine Albertine dan suaminya Pieter Holle.
Pelayarannya menggunakan kapal Sara Johana yang dinahkodai oleh dirinya. Pelayaran ini disertai
anak laki-laki Pieter Holle, yaitu Karel Frederik Holle, Adriaan Walvaren Holle, Albert Holle,
Herman Holle, serta dua anak perempuannya, yaitu Albertine Holle dan Caroline Holle yang tiba
di Batavia pada tahun 1844. Setibanya di Batavia, Pieter Holle, istri dan dua anak perempuannya
meninggal. Kemudian, anak-anak Holle diasuh oleh Van der Hucht dengan pendidikan privat yang
didapat dari Gubernur Jendral J.J Rochussen (Lubis, 1998: 116-117).
43
Jannetje Pen jatuh sakit dan meninggal. Kemudian, anak keduanya Albertine
menyusul ibunya. G.L.J W. Van der Hucht menikah lagi dengan seorang wanita
asal Inggris Mary Pryce. Wanita ini adalah putri dari John Pryce seorang importir
perusahaan John Pryce & Co yang mana Willem menjadi pemegang sahamnya.
Sementara itu, Pieter Holle, sepupunya meninggal dunia di Parakan Salak. Karena
itu, Ia harus menjadi tulang punggung dalam keluarganya (Suganda, 2014: 17).
Parakan Salak. Di Parakan Salak, Ia menanam tanaman teh, kina dan karet.
untuk beristirahat. Ia kembali ke Belanda dengan keadaan yang cukup kaya raya.
Belanda. Pada saat itu, Ia menjadi anggota parlemen yang dipandang ahli dalam
30
Adriaan W. Holle adalah seorang pekebun yang ulet, sehingga tempat usahanya sering mendapat
kunjungan tamu-tamu yang terdiri dari orang-orang Belanda. Ia membangun tempat pertemuan
yang disebut dengan “patamon” dalam Bahasa sunda yang berarti tempat tamu. A.W Holle
memiliki minat yang besar pada kesenian Sunda. Ia memiliki seperangkat gamelan hadiah dari
Bupati Sukabumi RAA Soeria Danoe Ningrat yang menjadi sahabat setianya dikala buruh-buruh
perkebunan mengerjakan pelayuan dan pengeringan pucuk-pucuk teh. Berbeda dengan Eduard J.
Kerkhoven yang memiliki hobi memelihara binatang. Ruang makannya dihiasi kulit ular piton
sepanjang tujuh meter. Di bawahnya terdapat “kolotok” yang digantungkan di leher binatang, bisa
sapi, kerbau, kambing, atau biri-biri (Suganda, 2014:20-21).
44
perkebunan Sinagar. Pada masa itu, tanaman yang dibudidayakan masih seputar
teh, kina, dan karet. Penanaman teh di Priangan baru pesat pada 1878 setelah bibit
teh assam. Bibit teh tersebut didatangkan oleh Adriaan W. Holle, Karel F. Holle,
2014: 107). Bibit teh assam berhasil didatangkan oleh bantuan John Peet, co.
adanya pernikahan antara G.L.J W. Van der Hucht dengan Mary Pierce, putri dari
John Peet. Selain itu, perusahaan ini dimiliki oleh seorang berkebangsaan Inggris,
1935: 120).
wilayah Talun pada 1902 dan Malabar pada 1899, di Pangalengan, Bandung.
Bosscha, yaitu Dr. Johannes Bosscha dan K.A.R Bosscha. Setelah adanya
Dalam grafik 2.5 menunjukan bahwa teh sangat laku di pasaran. Rata-rata
ekpor teh per tahun pada rentang 1895-1904 ekspor teh mencapai 13.310.000 kg.
bagi pengusaha teh, sebelum terjadinya malaise di awal 1930-an. Pengusaha teh
45
seperti emas permata dalam strata baru tatanan masyarakat priangan. Mereka
memiliki pendapatan luar biasa besar yang didapatkan dari hasil penjualan teh
mereka. Adapun hasil rata-rata ekspor teh dalam rentang 1885-1914 dapat dilihat
Grafik 2.5
Rata-Rata Produksi dan Ekspor Teh di Indonesia Tahun 1885-1914
(per kg)
30000
25000
20000
Sumber modal perkebunan berasal dari sebuah firma bernama John Peet
hasil penjualan, Hal ini tidak terlepas dari peranan K.A.R Bosscha sebagai
kekuatan dan warnanya yang baik untuk dicampur dengan teh aromatis dari
Srilangka dan India. Hasil setiap ha semakin besar, setiap bau dapat mencapai
2.000 hkg. Pada 1910, keadaan budidaya semakin hari bertambah baik.
Penanaman teh oleh rakyat berkembang, karena harga dipasaran bagus. Oleh
sebab itu, Priangan hampir sempat kehabisan lahan untuk penanaman sehingga
dibutuhkan lahan lain diluar wilayah Priangan. Dengan demikian, produksi teh di
Teh kemudian menjadi salah satu komoditi usaha yang paling diminati
oleh preanger planters. Pada 1924, 19.000 hektar tanah di Hindia Belanda yang
ditanami teh oleh 280 pengusaha teh. Pada 1936, pengusaha teh bertambah
Jawa, dan sejumlah 223 pengusaha teh berada di wilayah Priangan (Kuswandi,
2010: 35).
ini lah yang secara langsung atau tidak langsung ikut memperkenalkan budaya
barat (Lubis, 1998: 28). Hal ini dapat dilihat dengan kebiasaan mereka pergi
menghabiskan waktu akhir pekannya ke wilayah kota. Ketika akhir pekan datang
mereka mendapat hiburan dari budaya eropa mereka. Setelah lelah bekerja di
47
perkebunan pada hari Senin-Jum‟at, pada hari Sabtu malam, mereka turun dari
Rekreasi yang paling sering mereka lakukan adalah dengan menonton atau
berkumpul dengan sesama pekebun dari berbagai wilayah di sekitar Bandung. Hal
tersebut ditunjang pula oleh gedung pertemuan (Societeit Concordia) dan toko-
Layaknya orang-orang kaya baru dari gunung yang pergi ke kota yang dihiasi
dengan tatanan kota bergaya eropa. Toko-toko khas eropa dipenuhi dengan barang
mewah yang sekaligus menjadi tolok ukur kekayaan mereka. Mereka pergi ke
kota menggunakan kendaraan milik mereka. Salah satunya adalah bendi yang
merupakan kendaraan tunggangan para ménak, orang kaya golongan “pasar” dan
planters seperti Ir. Kerkhoven, K.A.R Bosscha, mereka disebut sebagai warga
teladan kota Bandung atas sikap filantropi nya dalam membangun sarana
rakyat umumnya seperti Karel Frederik Holle, Eduard J. Kerkhoven, dan Karel
Albert Rudolf Bosscha (Ratnawati, 1990: 133). Berikut ini adalah tiga pengusaha
perkebunan di Priangan.
48
merupakan anak dari Pieter Holle dan Alexandrine Van der Hucht. Karel F. Holle
merupakan salah satu anak yang pergi berlayar bersama G.L.J W. Van der Hucht.
Ia berusia sangat muda yaitu 14 tahun ketika ikut ke Hindia. Ayahnya, Pieter
(Bogor). Semasa muda, Karel F. Holle telah merasakan ditinggal oleh saudara-
pamannya yaitu G.L.J W. Van der Hucht dengan Gubernur Jendral, Karel F. Holle
Bogor. Karel F. Holle belajar hingga berumur 18 tahun lalu bekerja di Residen
Ia bekerja di kantor asisten residen Cianjur. Hal ini menarik perhatian Karel F.
Perjalanan dinas tersebut telah membuat Karel F. Holle memikirkan lebih banyak
mengenai orang Sunda. Karel F. Holle mempelajari bahasa dan budaya setempat
untuk dapat lebih mengenal orang Sunda. Karel F. Holle belajar mengenai cara
pertanian dari masyarakat. Selain itu, Ia mendorong pemuda untuk belajar lebih
Sunda dengan orang lain yang Ia temui dalam perjalanan dinasnya. Karel F. Holle
Eropa dan orang Sunda tidak peka terhadap kemajuan. Namun, Karel F. Holle
31
C.W Janssen adalah seorang penulis biografi mengenai Karel F. Holle. Biografinya berjudul
Karel F. Holle: Wat een Nederlander doen in Indie. Buku ini menjadi rujukan utama dalam
mengetahui mengenai Karel F. Holle. Buku ini ditulis pada 1888, buku ini dapat dikatakan sebagai
50
kunjungi. Tak jarang Ia meneliti dan menerjemahkan prasasti dan manuskrip serta
agama Islam dan kekuasaan-kekuasaan sultan dari timur- Jawa, monopoli VOC,
serta masuknya para pengusaha swasta diantara mereka. Oleh sebab itu, Karel F.
terhadap orang sunda. Secara fisik, hal ini sangat terlihat ketika Ia telah menjadi
semacam jas akan tetapi bagian bawahnya menggunakan sarung dan kerepus
(tutup kepala yang berasal dari Turki) (Suganda, 2014: 73-74). Penampilan Karel
sumber primer dan se-zaman karena C.W Janssen merasakan langsung bagaimana keadaan
priangan pada masa itu. C.W Janssen juga hidup pada se-zaman dengan Karel F. Holle.
51
F. Holle secara fisik ini mampu menarik perhatian bagi masyarakat dan tokoh
Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl
disebut “Tuan Hola”. Masyarakat juga memanggil Ia dengan nama baru yaitu Said
Muhammad Ben Holle. Hal ini dikaitkan dengan dukungannya terhadap agama
Islam. Suatu ketika pembukaan Perkebunan Teh Arjasari, sebelum acara makan
dilakukan Ia berdoa seperti orang islam, tidak memakan daging serta minuman
keras (Lubis, 1998: 118). Kedekatannya terhadap agama Islam ini tidak terlepas
pribumi agar usahanya dapat berjalan dengan lancar. Dalam novel roman sejarah
“Sang Juragan Teh” Hella S Haase sebagai berikut “hargailah adat istiadatnya
dan pelajarilah bahasanya”. Oleh karena itu, Karel F. Holle dapat berteman baik
permasalahan di Priangan.
masyarakat dan pemerintah dalam reorganisasi di Priangan. Pada 1870, isu bahwa
adanya reorganisasi telah diketahui oleh para bupati, wedana, dan R H Moehamad
Nopember 1870 Gubernur Jendral menerima telegram dari Menteri Koloni bahwa
Priangan. Hal tersebut diketahui oleh residen, bupati, para wedana, dan
Priangan merupakan kesempatan bagi penduduk untuk diberikan harga kopi yang
tidak diselenggarakan segera, maka bisa saja akan adanya perlawanan dari
pemerintah. Atas saran Karel F. Holle ini, Gubernur Jendral Mijer mengirimkan
telegram kepada Menteri Koloni. Pada Maret 1871, Menteri Koloni P.P van
tahun 1880-an (Lubis dkk, 2013b: 203-204). Saran Karel F. Holle menunjukan
pemerintah untuk mengikuti kemauan dari rakyat setempat. Apabila tidak diikuti,
mengeluarkan bayaran tambahan untuk penduduk dari uang miliknya. Hal ini
yang dijanjikan pemerintah. Dalam hal ini, pertentangan antara dirinya dengan
dirinya dengan pemerintah sering kali mendapat sindiran oleh orang eropa
Dalam cerita ini disindir mengenai kehidupan Karel F. Holle yakni dukungannya
pemberontakan (Lubis, 1998:118). Hal ini juga diulas oleh Haase dalam kutipan
sebagai berikut.
harus diinterogasi atas aktivitasku. Belum lagi tuduhan dalam harian Java
Bode. Tuduhan yang paling aktual bahwa aku mendukung Islam untuk
memberontak kepada pemerintah. Bayangkan, sekolah-sekolahku, toko-
toko bahan pangan, bengkel kerja kerajinan rakyat dianggap sebagai
sarang-sarang pemberontakan. Apakah mereka lupa, tidakkah mereka lihat
bahwa semua tergantung pada sikap kita sendiri” ujar Karel F Holle
(Haase, 2014: 108)
Belanda. Berdasarkan hal ini, mungkin benar bila Karel F. Holle adalah seorang
filantrop yang menginginkan kemajuan bagi rakyat Priangan (Lubis, 1998: 119).
Sindiran lain untuk Karel F. Holle dari orang-orang Belanda, Pada 1861,
itu bukan bahasa”. Jadi, dalam hal ini kaum ménak merendahkan bahasa sunda itu
sendiri (Lubis, 2000: 118). Sikap Karel F. Holle ini berupaya untuk
Namun, kaum ménak nyatanya tidak bangga akan budaya asli mereka sendiri.
Holle. Pada 1891 Albertine Holle meninggal lebih dulu delapan tahun sebelum
rumahnya. Hal ini membuat kedua putri tersebut tinggal lebih lama disana (Berge,
1978: 269). Tidak diketahui sumber mengenai Karel F. Holle pernah menikah
atau memiliki anak. Hal ini diselaraskan dengan masa tua Karel F. Holle yang
tinggal sendirian. Meskipun sebagai Pangeran Teh dari Garut, masa tua Karel F.
Ketenaran Karel F. Holle atas jasa nya kepada Hindia diberitakan oleh
berbagai media. Setelah kematiannya pada 1890, dibentuk komisi untuk Jawa
petani bumiputera di Alun-Alun Garut (Het Nieuws van Den Dag voor
Nederlandsch Indie, 1897: 18). Tulisan kenangan untuk Karel F. Holle lainnya
bumiputera (Bataviaasch Nieuwsblad, 1897: 1). Sikap Karel F. Holle ini seperti
berada pada dua ujung tombak. Adapun beberapa masyarakat pribumi menilai Ia
adalah mata-mata kolonial. Namun, bagi pihak kolonial Karel F. Holle patut
dicurigai apabila suatu saat melakukan perlawanan. Namun, Karel F. Holle tetap
dengan berbagai sindiran kegiatan filantrop, serta usaha yang dilakukan oleh
Karel F. Holle bersama keluarganya datang dari Negeri Belanda, mereka bukanlah
setelah kebangkrutan yang dialami oleh ayah G.L.J Van der Hucht di parlemen.
Adanya kesamaan nasib yaitu kemiskinan membawa Karel F. Holle untuk dapat
kekayaan mereka. Kebiasaan bekerja keras dan hidup sederhana membawa sikap
yang cukup besar. Kerkhoven bersama Keluarga Holle dan Bosscha turut serta
der Hucht pada 1843. Ketika Ia pergi, Ia masih berumur belasan tahun. Setelah
Kerkhoven memiliki minat yang tinggi terhadap satwa. Eduard J. Kerkhoven juga
buruannya. Lantainya dilapisi kulit harimau. Ruang tamunya dihiasi dengan kulit
ular piton sepanjang tujuh meter. Di bawahnya terdapat “bel kayu” yang biasa
digantungkan di leher binatang. Bel kayu itu sebelumnya milik kambing yang
peucang (kancil), burung merak, dan berbagai jenis burung lain (Suganda, 2014:
22).
oleh keluarga lain, dari hubungan tersebut Eduard memiliki dua orang anak, salah
32
Rudolf Albert Kerkhoven yang lahir tahun 1820 dan merupakan ayah dari Rudolf Eduard
Kerkhoven (lih. Lampiran1).
60
23).
adalah anak ke-14 dari dinasti The Hunderian34. Ia menikah dengan Aleida
Catharina Van Delden pada 4 Juni 1846 dikaruniai lima orang anak. Rudolf A.
33
Arjasari saat ini merupakan sebuah kecamatan di wilayah Kabupaten Bandung. Wilayah
Arjasari pada saat itu adalah hutan belantara. Saat ini, desa Arjasari terletak di ketinggian kurang
lebih 700 – 1.000 Meter diatas permukaan laut dengan suhu rata – rata 28 derajat Celcius dengan
curah hujan rata – rata 3.560 mm/tahun (http://arjasari-bandung.desa.id/ diakses 26-11-2017)
34
The Hunderian adalah sebuah dinasti/trah keluarga dari kakek-nenek Kerkhoven di Twello,
Belanda. Keluarga The Hunderian merupakan suatu keluarga besar yang berasal dari Johannes
Kerkhoven dan pernikahannya dengan Cecilia Jacoba Bosscha dan Anna Jacoba van der Hucht.
Dari kedua pernikahan ini, keturunanya terdapat 14 orang anak dan bertempat tinggal di Hunderen.
Hunderen adalah sebuah pedesaan yang terletak di Twello, Gelderland. (Suganda, 2014: 34-35)
61
Sebagai seorang pekebun yang sukses dan memiliki relasi dengan ménak
Vereeniging tot nut van Bandoeng en Omstrekken pada 189935, Pemerintah Kota
karena itu perkumpulan itu dibentuk salah satunya untuk memajukan kota.
Perkumpulan ini diketuai langsung oleh Asisten Residen Pieter Sijthoff (Kunto,
1984: 71-72). Usaha yang dilakukan oleh Rudolf A. Kerkhoven dapat dikatakan
35
Kongres pengusaha gula yang diadakan selama tiga hari di Bandung tahun 1896 memberi
pengalaman baru sekaligus pembelajaran bagi pemuka masyarakat Belanda yang menyadari
kekurangan tata kotanya. Setelah Kongres pengusaha gula selesai, Sijthoff mengumpulkan pemuka
masyarakat Belanda yang ada di Bandung. Sijthoff-pun mengundang Bupati Bandung untuk
menghadiri pertemuan tersebut. dalam kesempatan itu, Sijthoff mengusulkan ide agar warga Kota
Bandung menghimpun diri dalam suatu wadah partisipasi guna membangun kota dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. (Kunto, 1984: 70)
62
sebagai berikut.
Overijssel, Belanda. Bahkan, Willem van der Hucht menyebut tindakan Rudolf A.
bidang usaha baik di Belanda maupun di Hindia Belanda memang tidak seperti
Instituut. Dalam susunan Vereeniging tot Verbatering van het Lot der Blinden in
Nederlandsch Oost Indie (tabel 3.2) Augustus E. Kerkhoven sebagai salah satu
karakter berhati lembut. Mungkin benar, Ia –yang berhati lembut ini- mengadopsi
seorang anak perempuan campuran tersebut. Pada masanya, seorang yang lahir
sebagai keturunan campuran dianggap lebih rendah status sosialnya. Untuk itu,
untuk tetap membela sikapnya mengadopsi anak perempuan tersebut. Hal ini
Kutipan diatas adalah bentuk penyudutan dari Julius Kerkhoven kepada Rudolf E.
bumiputera. Oleh karena itu, Julius yang diingatkan oleh Rudolf E. Kerkhoven
menuduh Rudolf E. Kerkhoven sebagai orang yang keras dan berhati dingin
persiapan sebelum pergi ke Hindia telah Ia lakukan. Setelah lulus dari Politeknik
Delft sebagai insinyur sipil, dan magang pada perusahaan De Atlas, Rudolf E.
sebagai anak muda dengan sikap disiplin yang ketat. Hidupnya sangat berprinsip
adik iparnya Joan Henny, yang merupakan seorang analis keuangan (Suganda,
2014: 35-37).
orang tuanya d Arjasari. Namun, semuanya telah diatur oleh seorang paman yaitu
Karel F. Holle. Bahwasanya Rudolf E. Kerkhoven harus belajar mengenai teh dan
65
Arjasari.
“dengar Rudolf [Eduard] Kerkhoven, orang orang disini sangat peka bila
menyangkut harga diri. Kau harus memperlakukan mereka dengan
tenggang rasa, dan terutama menghormati adat istiadat mereka. Begitu
mereka menerima kewenanganmu, mereka patuh dan setia. Pengendalian
diri merupakan hal yang amat penting. Jangan mengamuk, dan terutama
jangan melakukan hukuman fisik!....... Kau sebaiknya sesegera mungkin
belajar bahasa mereka”-Karel F Holle (Haase, 2014: 108)
dan Munjul, Rudolf mendapat banyak saran. Saran diberikan oleh para
pendahulunya, terutama oleh Karel F. Holle yang sedang berkunjung. Saran Karel
F. Holle adalah tidak lain untuk mempelajari bagaimana bahasa dan adat istiadat
wilayah Gambung, Bandung. Pembukaan ini menjadi titik awal karir Rudolf E.
merupakan cicit dari Deandles. Ayah Jenny adalah wakil ketua Mahkamah
Priangan.
66
ketua banyak hal hal yang harus pertimbangkan, utamanya adalah biaya.
balap kuda tahunan merupakan hari yang termahal baginya (Haase, 2014: 303).
kas-kas yang ia miliki. Sikap nya ini berbanding terbalik dengan istrinya, Jenny
E. Kerkhoven mencapai puncak kejayaan. Oleh sebab itu, pada acara balap kuda
tahunan yang pertama didatangi oleh mereka, merupakan balap kuda tahunan
yang terakhir kalinya bagi Jenny, seorang istri dari raja teh Priangan. (Suganda,
2014: 44)
Anak dari Rudolf E. Kerkhoven, yaitu Rudolph Albert Kerkhoven36 yang telah
itu, Rudolph Albert Kerkhoven turut serta dalam pembangunan sekolah atau
lembaga bisu dan tuli di Kota Bandung. Rudolph Albert Kerkhoven menjadi
anggota dalam pembangunan sekolah tersebut. Karel Felix Kerkhoven, dan Emilia
Hubertus Kerkhoven yang merupakan adik dari Rudolph Albert Kerkhoven [Ru],
Teh dan Kina, administratur wilayah ini adalah Dr. J. Bosscha. Sepeninggal
mengelola Malabar yang telah ditinggalkan K.A.R Bosscha pada 1928. Emilius
Negla (Uker, 1935: 128). Anak-anaknya melanjutkan karir ayah dan kakeknya
36
Rudolph Albert Kerkhoven generasi kedua merupakan anak dari Rudolf E. Kerkhoven.
Namanya sama seperti kakeknya yaitu Rudolf Albert Kerkhoven. Dalam novel Sang Juragan Teh,
Rudolph Albert Kerkhoven disebut juga Ru kecil.
68
perkebunan di wilayah Negla yang dibeli oleh ayahnya pada 1898. Tanah itu
dibeli seluas 1.100 ha. Pada 1919, Karel Felix Kerkhoven mulai menjadi
Felix Kerkhoven tumbuh menjadi perkebunan teh besar dan Karel Felix
harus menguasai bahasa dan adat istiadatnya. Dalam jaarverslag 1925, Karel
Pembuatan kincir ini berlangsung hingga peresmian pada 1927. Pada 1927,
Acara ini biasanya dirumuskan oleh masyarakat setempat di Negla, atau menurut
perhitungan Karel Felix Kerkhoven. Perhitungan ini didasarkan atas baik atau
slametan merupakan upacara atau ritual yang penting bagi masyarakat setempat.
Hal ini menunjukan bahwa adat istiadat dipertimbangkan oleh Karel Felix
Selain acara slametan, perayaan lain yang diadakan di Negla adalah Hari
Ratu yang diperingati setiap tanggal 31 Agustus. Dalam perayaan ini bukan hanya
setempat turut hadir serta merayakan perayaan ini. Setiap tanggal penting dari
pernikahan Putri Juliana dan Pangeran Bernhard dituliskan oleh Karel Felix
keesokan harinya para pekerja diizinkan mendapat libur (Kerkhoven, 2009: 52-
setempat.
adalah anak dari Prof. Johannes Bosscha (1831). Ayahnya adalah seorang Guru
Besar Fisika pada Akademi Militer di Breda dan Direktur Sekolah Politeknik
tugas akhir (Suganda, 2014: 53). Mula-mula K.A.R Bosscha pergi ke Hindia
Bosscha. Hal ini disebabkan golongan sosial keduanya dianggap berbeda. Juga
pernikahan antara orang pribumi dan orang Eropa akan memunculkan stigma
usahanya dalam bidang ini tampak gagal. Hal ini disebabkan keadaan transportasi
di Kalimantan belum cukup memadai. serta tenaga kerja tidak mudah didapatkan.
Oleh karena itu, Ia menutup usahanya ini. Setelah usahanya diketahui bangkrut
oleh keluarga di Jawa, K.A.R Bosscha kembali ke Jawa pada 1892. Sementara itu
37
Janiah R. Soeripto adalah seorang pribumi jawa yang bertemu dengan K.A.R Bosscha semasa
perjalannannya ke Kalimantan. Keterangan ini didapat dalam buku Bosscha: Leven en Dood,
Komen Zonder te Gaan yang ditulis oleh cicitnya bernama R.N.J Bosscha. Selama ini keluarganya
tinggal di Kalimantan tanpa pernah ke Pulau Jawa. Dikabarkan pula bahwa Bosscha menamai
Gunung Nini di Malabar terinspirasi oleh istrinya yaitu Janiah, yang sering disebut Nini.
71
Pangalengan.
Gambar 2.5
K.A.R Bosscha
Gambar 2.7
Rumah K.A.R Bosscha di Malabar pada 2017
Kabupaten Bandung. Di dalam rumah ini terdapat beberapa kamar tidur, ruang
makan, ruang keluarga, serta sebuah piano yang telah berada disana pada 1887.
Pemerintah Indonesia, yang dikelola langsung oleh Badan Usaha Milik Negara
bangunannya dikelola oleh perusahaan milik negara tersebut. Rumah ini pernah
K.A.R Bosscha dikelola oleh Agrowisata N8 serta dijadikan tempat wisata bagi
pengunjung lokal maupun internasional. Selain itu, rumah ini termasuk dalam
Gambar 2.8
Makam K.A.R Bosscha di Pangalengan
Gambar 2.9
Pusara K.A.R Bosscha
pengetahuan, lembaga sosial, rumah sakit, bahkan donatur bagi pameran besar,
orang-orang kaya baru yang berasal dari gunung. Sebagai pemilik perkebunan,
mereka tinggal dengan masyarakat bumiputera setempat. Oleh sebab itu, mereka
di wilayah Priangan.
BAB III
bentuk kepedulian sosial didasari oleh nasib kemiskinan yang pernah dialami oleh
kakek-buyut preanger planters, yaitu G.L.J Van der Hucht. Pengalaman tersebut
dibagikan kepada anak cucu mereka untuk berusaha sebesar mungkin, serta tidak
tamak pada harta. Oleh karenanya, nasihat yang diturunkan secara turun temurun,
untuk negara melainkan untuk kebaikan bersama yang tidak dibiayai pemerintah
75
76
Priangan, Jawa dan Madura. Selain itu, Priangan yang berada dalam kekuasaan
pembangunan sekolah ini tidak terlepas dari dukungan Karel F. Holle melalui
bahasa Jawa dan Madura tidak relevan dengan keadaan di Sunda. Saat ini, gedung
(Koeswandi, t.t: 63). Peresmian bangunan ini ditandai dengan perayaan megah
Gubernur Jendral Loudon, Residen Priangan C. van der Moore, Bupati Bandung,
“Jika dalam hati teman-teman, tidak ada lagi yang memuliakan manusia
selain dari ilmu. Manusia yang tidak ada sekali ilmunya hampir sama
dengan hewan atau seperti anak kecil. Tidak bisa memilih mana baik
buruknya. Ilmu itu ada di dalam tubuh manusia seperti halnya dengan
matahari di dunia. Oleh ilmu, bisa diketahui baik dan buruknya, oleh ilmu,
semua akan bisa seperti hitam dan putih oleh cahaya matahari. Seperti
semua yang hidup, hidup oleh hangatnya matahari”.
Dalam hal ini, Karel F. Holle melakukan sebuah penyadaran kepada masyarakat
dalam. Tindakan ini tentu saja merupakan tindakan altruisme terhadap sesama
bersama Adriaan W. Holle. Tulisan ini dibukukan dan diterbitkan oleh penerbit
sunda. Ide penulisan buku sunda ini tidak terlepas dari pemikiran Karel F. Holle.
sunda. Hal itu disebabkan bahasa sunda adalah kebudayaan asli orang sunda.
Oleh sebab itu, buku ini merupakan pelopor buku pegangan siswa di Jawa Barat.
keduanya dapat saling membantu menyusun buku bacaan sunda dan memberikan
ilmunya di bidang bahasa dan puisi (Moriyama, 2005: 97). Hal ini merupakan
Ayahnya adalah seorang Guru Besar Fisika di Politeknik Delft. Kakaknya, Prof.
Jan Bosscha adalah seorang geolog (Suganda, 2014: 53). Hal tersebut menunjukan
bahwa K.A.R Bosscha berada pada lingkungan akademisi. Oleh karena itu, di
dalam diri K.A.R Bosscha tertanam kecintaannya pada aspek ilmu pengetahuan.
79
Malabar pada 1906. Pembangunan Sekolah Malabar ditujukan untuk para pekerja
membaca dan menulis. Saat ini, bekas sekolah terebut berkembang bangunannya
kondisi global pada waktu itu yang disebabkan oleh Perang Dunia ke-II.
Sekolah Tinggi teknik yang berada pada pengawasan langsung oleh Politeknik
ilmu pasti terapan dan mekanika Politeknik Delft bernama Prof. Ir. J. Klopper
oleh Ijzerman. Bantuan ini didukung dengan pembangunan gedung agar lebih
39
Perkembangan ilmu pengetahuan di Hindia-Belanda tidak terlepas dari perubahan yang terjadi
di Parlemen Belanda. Seorang tokoh Van Deventer mengemukakan trilogy van deventer salah
satunya adalah misi pendidikan. Rakyat Bumiputra harus mendapatkan pendidikan. Pada akhirnya,
Parlemen mengesahkan hal ini dan dibentuklah pendidikan-pendidikan di Hindia. Dalam
penentuan pembangunan pendidikan tinggi di Hindia-Belanda ternyata mendapatkan pertentangan.
Pendidikan tinggi dianggap belum dapat disesuaikan dengan penduduk Bumiputra. Hal ini terlihat
pada 1910, kalangan orang Belanda dan orang Indonesia pada umumnya masih beranggapan
Indonesia belum matang untuk memiliki perguruan tinggi. Akan tetapi, C.Th. van Deventer yang
dipandang berpikiran maju, dalam rapat umum Perhimpunan Hindia-Belanda di Den Haag tanggal
1 Februari 1910 mengungkapkan bahwa di masyarakat di Hindia-Belanda seperti masyarakat maju
lainnya memerlukan pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi diperlukan untuk membentuk staf
penyelidik ilmiah yang harus menjadi pemimpin terpelajar dari bangsanya; agar dapat memperoleh
orang-orang terdidik yang cukup ilmiah untuk memangku jabatan dan pekerjaan yang tinggi. Pada
saat itu, pendidikan tinggi di Hindia-Belanda masih belum memadai. Oleh karenanya, Van
Deventer mengharapkan kepada pemuda Hindia-Belanda untuk mengikuti pendidikan tinggi di
Negeri Belanda. (Sakri, 1979:5)
80
Gambar 3.1
Bangunan Technische Hoogere School 1920
Gambar 3.2
Bangunan ITB pada 2018 tampak samping barat
Gambar 3.3
Laboratorium Fisika ITB (Lab Bosscha)
fisika di ITB, hal ini dapat dilihat pada gambar 3.14. Sebagai administratur
Bosscha juga menghadapi kemajuan dalam proses produksi dari pucuk daun teh
pabrik dan tenaga ahli mesin untuk di Hindia-Belanda. Oleh karena itu Bosscha
sangat mendukung adanya sekolah tinggi teknik ini yang akan melahirkan para
insiyur (Bosscha, t.t: 18). Dengan berkembangnya sekolah tinggi teknik ini,
pergi ke Belanda.
82
bahwa perlunya sebuah penelitian dan budidaya teh. Kemajuan usaha teh tidak
terlepas dari kemajuan teknologi pada masa itu. Pada mulanya perkebunan
usaha perkebunan pada 1881 di Sukabumi, kemudian pada 1893 didirikan Balai
karena itu, dibentuklah perkumpulan ini untuk saling berbagi mengenai kehidupan
40
Adapun pekebun tersebut terdiri dari 11 orang, yaitu Eduard J. Kerkhoven dari Sinagar, Adriaan
W. Holle dari Munjul, G.Mundt dari Parakan Salak, W.R de Greve dari Sindangsari, F. Zeper can
83
kepentingan mereka, memutuskan untuk membentuk ikatan yang lebih kuat serta
sekretaris G.Mundt. Rapat pertama dilakukan pada Maret 1882, dihadiri oleh 23
orang. Jumlah anggota terus bertambah hingga 68 orang, pada 1906 anggota telah
tentang peningkatan kualitas produk, yang pembicaraan antara Dr. Treub dan
Bogor. Ini adalah cikal bakal dari Theeproefstation (Balai Penelitian Teh) yang
lahir pada tahun 1894. Pendanaan balai penelitian teh ini dikelola oleh suatu
panitia yang diamanahkan oleh SLV, dan diketuai oleh Eduard J. Kerkhoven.
Balai penelitian telah disusun ulang pada 1916, kemudian memisahkan diri dari
sebagai pengurus mandiri yang diketuai oleh K.A.R Bosscha sejak 1917. Namun,
kerja sama dengan SLV masih terus berjalan (Bernard, 1924: 17-19).
adalah Joan George Erardus Gijabert Voute. Sementara itu, untuk melancarkan
Aardenburg, B.B.J Crone dari Tejo Ayu, C.J Hausmann dari Cikembang, D. Berger dari Gunung
Melati, G.A Ort dari Bungamelur, T.C Philippeau dari Cisalak dan G.W Eckhout dari Pasir
Telagawarna (Bernard, 1973:.
84
Tabel 3.1
Susunan Pengurus NISV
Ketua Kehormatan Letnan Jendral H.N.A Swart
Anggota Kehormatan Wakil Admiral W.J.G. Umbgrove
Ketua K.A.R Bosscha
Sekretaris Rudolph A. Kerkhoven
Anggota Dr. C. Braak
M.H Damme
J.L van Houten
Prof. J. Klopper
E.G Weselink
E.A Zeilinga
Sumber: Nederlandsch Indische Sterrenkundige Vereeniging Jaarverslag over
1920-1921)
Gambar 3.4
Observatorium Bosscha di Lembang, Bandung
pabrik Carl Zeis di Jena dan Carl Bamberg di Berlin. Zeiss menyarankan untuk
Belanda. Saat ini, Observatorium Bosscha masih digunakan untuk penelitian dan
budidaya teh sekaligus sebagai donatur. Hal ini ditunjukan dengan Ia sebagai
salah satu anggota pakar teh. Juga, Biro Pakar Asosiasi memilih kota Bandung
sebagai kantor pusat penelitian teh. Bersama dengan Mr. S.W Zeverijn, President:
86
Geo. Wehry & Co. Sekretaris dan Aset Messrs. E. H. Evans, Odo van Vlotten,
sekaligus penasihat teknis dalam pembangunan telefon sampai diambil alih oleh
pemerintah (Uker, 1935:126). Hal ini disampaikan pula pada Rapat Umum
ini juga menunjang aspek komunikasi antara masyarakat satu dengan masyarakat
Kerkhoven kepada ibunya pada Agustus 1896 dalam Sang Juragan Teh sebagai
berikut. “Telepon telah menjadi sarana yang sangat membantu dalam urusan ini.
terpujilah hari saat kawat besi tipis itu menghubungkan kami dengan “dunia”.”
adanya sekolah teknik demi membangun negeri Hindia-Belanda yang pada masa
itu sedang berada pada kondisi perang dunia ke-II. Meskipun ada anggapan bahwa
akan sumber daya perguruan tinggi itulah yang lebih besar dibanding anggapan
87
masyarakat, yakni di wilayah perkebunan. Oleh sebab itu, mereka, orang Belanda
dari jasa Karel F. Holle. Secara politis, Karel F. Holle dapat mengangkat bahasa
Sunda ke permukaan. Selain itu, Ia memiliki dana yang besar yang disediakan
oleh pemerintah Hindia Belanda. Hal ini menunjukan bahwa bahasa sunda yang
dengan teori multikausalitas bahwa sejarah tidak pernah berdiri sendiri-, meskipun
Karel F Holle didukung kekuatan dan dana, apabila situasi sedang tidak kondusif
Karel F. Holle, -seorang pecinta budaya sunda dari cara berpakaian hingga
berbahasa-, bersama Adriaan W. Holle menulis cerita fabel monyet jeung kuya.
berbahasa sunda yang ditulis langsung oleh penulis orang sunda. Buku tersebut
diproduksi oleh sekelompok kecil penulis yang tinggal dekat dengan rumah Holle
di Garut. Sekelompok penulis itu adalah Mohammad Moesa, Adi Widjadja patih
adalah Ia menuliskan sejarah Priangan yang bersumber dari Pangeran Cirebon dan
Bupati Sumedang. Selain itu, Ia juga menerjemahkan prasasti batu tulis bogor
disukai oleh masyarakat baik yang muda maupun tua (Holle, 1867:369). Selain
itu, Karel F. Holle menuliskan buku-buku berbahasa jawa dan sunda diantaranya
Vriend van de Javaanchen Landman (Mitra Noe Tani) diterbitkan tahun 1876
oleh Batavia Landsrukkerij dalam bahasa Jawa, berisi tentang cara bertanam padi.
Tentunya usaha Karel F. Holle untuk menaikkan lagi pamor bahasa sunda adalah
usaha yang baik dalam meninggikan kearifan lokal setempat. Hal ini juga
salah satunya adalah prasasti batu tulis. Karel F. Holle bersama rekannya yaitu
89
Friedrich yang mengurusi prasasti batu tulis, berharap Karel F. Holle dapat
menerjemahkan seluruh isi prasasti. Hal ini disebabkan ada beberapa tulisan yang
kurang jelas untuk dibaca. Selain itu, Ia menuliskan sejarah Priangan berdasarkan
serat dan babad-babad yang didapatkan dari rekan-rekan ménak nya yakni Bupati
tersebut, Karel F. Holle pada masa itu mengomentari harus adanya konfirmasi
Salah satu sisindiran, yang ditulis oleh Karel F. Holle adalah sebagai berikut.
Sisindiran tersebut terdiri dari cangkang yang berupa sampiran pada baris satu
dan dua, yang artinya mempertanyakan dimana burung kapinis mandi, baris kedua
menjawab, burung kapinis mandi di sungai kecil. Kemudian, pada baris ketiga dan
keempat berupa isi yaitu, janji seorang wanita cantik untuk tidak berbicara lagi
pribumi, hewan buruan dilepas di dalam areal yang dipagari, lalu mereka
mmbeli sebidang tanah di pantai selatan, sebuah alam liar dan gunung-gunung
berburu (Gustaman, 2013: 78). Adanya suatu kesadaran dari Eduard J. Kerkhoven
“...aku masih bermimpi akan bisa menyewa atau membeli sebidang tanah
besar di suatu tempat di Pantai Selatan, alam liar dengan hutan dan
gunung-gunung, dan mengubahnya menjadi wilayah konservasi bagi
hewan-hewan liar, tempat aturan-aturan berburu sebagai mana mestinya
diterapkan. Tetapi aku ragu mimpi itu menjadi kenyataan. Aku tak bisa
melihat diriku punya waktu atau uang untuk melakukan itu.” (Haase,
2014:115-116)
diletakan dasar-dasar konservasi satwa liar, yang mana mereka telah mengubah
hutan di Priangan Selatan menjadi hutan lindung, khusus untuk perburuan satwa.
Gambar 3.5
Adriaan W. Kerkhoven menangkap Banteng di Banten
humanis dan para konservasionis. Hal ini dibuktikan dengan didirikannya sebuah
perkumpulan pelestarian alam. Perkumpulan ini tidak terlepas dari donatur K.A.R
41
Pendirian venatoria menjadi cikal bakal gagasan konservasi satwa liar, khususnya di wilayah
Priangan. Pada akhir abad ke-19, diwarnai protes internasional terkait isu kepunahan cendrawasih
sebagai spesies khas wilayah timur Nusantara, juga isu kerusakan secara umum. Isu-isu ini
kemudian menginisiasi para konservasionis seperti Dr. Sijfert Hendrik Koorders untuk mendirikan
Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbescherming (Perkumpulan Pelestarian Alam
Hindia-Belanda) pada 22 Juli 1912 (Gustaman, t.t: 14).
92
Buta, Lembaga Bisu-Tuli, Lembaga Kanker, dan Rumah Sakit Bandung. Bahkan,
Pada awalnya, lembaga buta memiliki dua siswa Eropa dengan sarana dan
Bragaweg pada Mei 1902. Pembukaan gedung baru Blinden Instituut yang
Verbetering van het Lot der Blinden in Nederland en zijne Kolonien untuk
Alting, J. Bouwens, W.L.C den Hamer, Heskes, A.E Kerkhoven, dan Raden
Adipati Soeria Atmadja. (Rachman, 2011:34). Namun, tokoh tersebut tidak semua
93
ikut andil dalam membangun lembaga. Pada 6 Agustus 1901 lembaga tersebut
Agustus 1901, lembaga tersebut berdiri dengan nama Vereeniging tot Verbatering
van het Lot der Blinden in Nederlandsch Oost Indie (Kartodiwirio, 2006:128;
Tabel 3.2
Susunan Kepengurusan Vereeniging tot Verbatering van het Lot der
Blinden in Nederlandsch Oost Indie
No Nama Pekerjaan Jabatan
1. E.Th. Th. H. van Residen Priangan Ketua
Benthem van den
Bergh
2. Dr. C.H.A Westhoff Dokter Spesialis Wakil Ketua
Mata
3, E.H Carpentier Alting Notaris Bendahara
4. Ds. W. van Lingen Pendeta Sekretaris
5. Raden Adipati Soeria Bupati Sumedang Anggota
Atmadja
6. J. Bouwens Kepala Kereta Anggota
Api Daerah
operasional 2
7. W.L.C den Hamer Pengawas Anggota
Sekolah Pribumi
8. A.E Kerkhoven Pengusaha Anggota
(Augustus Eugineus) Perkebunan
Arjasari
Sumber: Het nieuws van den Dag No. 163, 20 Juli 1901 dalam Taufik Rachman,
Kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda terhadap Tuna Netra di Jawa 1901-1942.
juga dari pihak luar42. Bantuan dari pihak luar baik instansi maupun individu
sebesar f.4 per tahun untuk pemeliharaan dan Belanja (Het Nieuws van den Dag,
1901:2;Rachman, 2011:17)
Gambar 3.6
Blinden Instituut Bandung
42
Salah satu upaya Blinden Instituut dalam peningkatan nasib yang juga memiliki manfaat kepada
masyarakat adalah dengan mengadakan seminar umum dengan materi-materi seperti kesehatan
mata dan pencegahan kebutaan. C.H.A Westhoff pernah mengadakan seminar umum mengenai
kebutaan yang diadakan pada 29 Agustus 1903 di Blinden Instituut dengan harga masuk f. 0.60
setiap orangnya. Seluruh keuntungan didapatkan dari seminar diberikan kepada Blinden Instituut.
((Rachman, 2011:44) Pada 1923, Blinden Instituut tercatat sebagai salah satu peserta dari
jaarbeurs Bandung (Hamzah, 2007:41). Selain itu, upaya peningkatan nasib juga pimpinan
lembaga menginisiasi kegiatan yang diikuti oleh siswa binaan dan dapat dihadiri oleh masyarakat
secara umum. Hal tersebut diwujudkan dengan penyelenggaraan Blindenweek pada bulan Maret
atau April. Kegiatan ini bermacam-macam seperti kegiatan kesenian, hingga pameran hasil
produksi tuna netra. (Rachman, 2011:45). Dalam mengupayakan pendanaan di lembaga buta,
selain pameran adapun pemasangan iklan di media cetak. Hal tersebut bertujuan untuk
menggalang dana sekaligus mempromosikan produk-produk yang dihasilkan oleh tuna netra.
Dalam koran Het Nieuws van den Dag, Blinden Instituut secara berkala memasang iklan dalam
rangka mempromosikan lembaganya tersebut.
.
95
Lembaga tersebut adalah doofstommen instituut atau disebut juga Sekolah Tuna
Rungu. Sekolah ini pertama kali digagas oleh Ny. C.M Roelfsma, istri seorang
dokter ahli THT yang menampung anak tuli yang berasal dari pasien suaminya di
Jalan Riau No. 20, Bandung. Pengajaran yang dilakukan oleh Ny. C.M Roelfsma
ini menjadi cikal-bakal dibukanya Sekolah Tuna Rungu (Mooi Bandoeng. 12 Juni
1934 jr 1).
Roelfsma dan Tuan Bloemink, dengan kebijakan Dewan Kota Bandung, K.A.R.
tahun ke-lima Bosscha meninggal, pada tanggal 6 Mei 1933 didirikan gedung
sekolah dan asrama di atas sebidang tanah donasi K.A.R Bosscha di jalan
Cicendo.
Bantuan lain yang diberikan oleh K.A.R. Bosscha adalah kepada lembaga
kanker
96
pendukung lain
Adapun susunan kepanitiaan dari perkumpulan kanker itu sendiri ialah sebagai
berikut.
Tabel 3.3
Susunan Kepanitiaan Perkumpulan Kanker Bandung
Dageligcht Bestuur Mr. Dr. Ir. J.A.M van Buuren
Voorzitter Dr. J. M Elshout
Onder-Voorzitter Dr. W.J. Roos van den Berg
Secretaris- C. Donker van Heel
penningmeester
Allen te Bandoeng Prof. Dr. B.J van der Plaats.
Allen te Jakarta Mr. J. M Wesselink dan Dr. H.H Noosten
(saat ini disebut RSHS Bandung). Selain itu, K.A.R Bosscha memberikan hadiah
sebesar 25.000 kepada lembaga kanker dan berharap dapat memberikan lebih
pinjaman dana dari pemerintah kota pada tahun 1920 untuk perluasan
dari K.A.R Bosscha adalah Radium yang dipesan langsung dari Eropa (Het
K.A.R Bosscha yang diberitakan oleh koran, yang mana K.A.R Bosscha
Rumah Sakit Juliana. Pada tanah tersebut akan dibangun gedung yang bangunan
97
utama mencapai luas 2000 M2, dengan teras depan yang mencapai 50 M2. Pada
sisi sayap, dibangun untuk labrotaroium kimia dan serologi. Pembangunan dan
perawatan gedung-pun yang pada saat itu dibutuhkan lebih dari satu juta gulden,
akan ditanggung oleh K.A.R Bosscha (Het Nieuws van den Dag voor
Gambar 3.7
Het Electro-Radiologisch Laboratorium Te Bandoeng
dilaksanakan sebuah kongres yang terdiri dari pemerintah dan asosiasi perawatan
rencana yang pada tahun sebelumnya telah disepakati untuk membangun rumah
hal tersebut. problema ini terus mengalir dari tahun ke tahun. Hingga, ketidak-
jelasan ini menimbulkan berkurangnya anggota asosiasi. Saat itu, K.A.R Bosscha
sakit tempora mutantur.43 Desakan oleh K.A.R Bosscha menyepakati suara bulat
bahwa akan diserahkan dana sebesar f. 90.640. 39 kepada pemerintah kota dan
akan dikelola oleh Bapak Mouwen selaku bendahara. Akhirnya, K.A.R Bosscha
diberikan informasi pendirian rumah sakit umum yang modern. Rumah sakit akan
menampung 192 tempat tidur. Tetap saja, langkah pertama adalah harus
yang harus masuk sekitar f.2700. Dewan daerah (setingkat provinsi) telah diminta
untuk segera memutuskan jumlah uang yang akan diberikan oleh daerah sebagai
membantu di Panti Lepra, Plantungan Jawa Tengah. Pada tahun 1929 secara resmi
43
Suatu istilah dari bahasa latin yang berarti “akan berubah seiring waktu”. (Mirriam-Webster,
diakses 11-12-2017)
44
Peresmian kompleks rumah sakit lepra yang dikelola oleh Bala Keselamatan yakni pada tahun
1929, sementara itu K.A.R Bosscha telah lebih dahulu meninggal akibat terjatuh dari kuda yang
ditungganginya di Gunung Nini pada tahun 1928. Oleh karena itu, kekayaan Bosscha diurusi oleh
organisasi swasta yang dikhususkan untuk Bala Keselamatan.
99
harus mencari donatur untuk keberlangsungan acara tersebut. Adapun pada 1923
ketua badan tersebut adalah K.A.R Bosscha. Ia menjadi donatur dalam acara
tersebut.
Belanda lambat laun merubah suasana sosial wilayah tersebut. Dalam hal ini
45
Gagasan untuk mengadakan Jaarbeurs di Hindia Belanda pertama kali diusulkan oleh Bagian
Perdagangan dari Departemen Pertanian, Kerajinan, dan Perdagangan pada pertengahan tahun
1917. Gagasan terseut mendapat sambutan baik dari para pengusaha Belanda/Eropa di Hindia
Belanda. (Krol, 1923:446-447 dalam Gedenkboek voor Nederlandsch Indie, 1923 dalam Hamzah,
2007:13).
46
Alasan Bandung dipilih sebagai kota penyelenggara Jaarbeurs adalah letak kota Bandung yang
cukup strategis dalam arti kota itu dapat dicapai dalam satu hari perjalanan darat dari kota-kota
pusat perdagangan seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya. Kedua, Bandung memiliki udara
yang sejuk dan nyaman, sehingga pengusaha dari luar Bandung akan bersedia menghadiri
pertemuan tersebut (Hamzah, 2007:15). Kemudian, pada pertemuan tanggal 11 Januari 1919
diputuskan bahwasanya di Hindia Belanda akan dilaksanakan Jaarbeurs sekaligus menetapkan
Bandung sebagai penyelenggara Jaarbeurs. (Krol, 1923:447 dalam Gedenkboek voor
Nederlandsch Indie, 1923).
100
berubah dan terasa seperti di Eropa pada masa nya. Bahkan Bandung dijuluki
“parijs van java” yang diketahui dicetuskan pertama kali oleh Tuan Roth seorang
pemilik toko Meubel di Jl. Braga pada saat mempromosikan barang dagangannya
1984:72).
Gambar 3.8
Pembukaan Jaarbeurs pertama diselenggarakan pada 20 Mei 1920.
dorongan memajukan ekonomi dalam pasar jaarbeurs. Hal ini menunjukan sikap
perkebunan sering kali hidup dalam dunia gemerlap dan foya-foya. Akan tetapi,
K.A.R Bosscha menunjukan hal lain. Sikap ini ditunjang oleh budaya berderma
dirinya. Bahkan, setiap bulan April di lembaga kanker itu memperingati satu hari
yang dikhususkan untuk K.A.R Bosscha. Pada peringatan hari K.A.R Bosscha
tahun ke-3 di tahun 1934, berdasarkan koran yang memberitakan di peringatan itu
101
sejumlah dokter dan professor berkumpul untuk berdiskusi serta bertukar pikiran
diminta untuk mendonasikan apapun seperti yang telah dilakukan oleh K.A.R
nasihat secara turun-temurun, yakni untuk saling menolong sesama dari nenek
pemerintah.
BAB IV
SIMPULAN
yaitu, golongan atas, golongan menengah dan golongan bawah. Golongan atas
terdiri dari orang Eropa dan aristokrat bumiputera (ménak), golongan menengah
terdiri dari para pegawai perkebunan (misalnya mandor), dan golongan bawah
terdiri dari buruh atau masyarakat bumiputera. Indikator penggolongan ini terlihat
kewajiban yang dilakukan sedikit dan mendapatkan lebih banyak hak. Tingkat
bawah.
kesenjangan sosial (orang kaya dengan orang miskin). Perbedaan kelas sosial ini
diantaranya pesan moral berupa pentingnya sikap berbagi, serta pengalaman hidup
sulit. Kemunculan mereka sebagai orang kaya baru di Priangan mendukung sikap
filantropi tersebut. Sikap filantropi ini diwujudkan oleh Karel F. Holle, Keluarga
102
103
Dalam bidang politik, Karel F. Holle yang diangkat sebagai adviseur honorair
memberikan saran kepada pemerintah Hindia Belanda untuk turut serta dalam
pelajaran bahasa dan budaya tulis sunda yang merupakan bahasa asli dari
Priangan. Karel F. Holle juga mengangkat bahasa sunda agar secara tidak malu-
buku-buku untuk media belajar dan mengangkat kembali bahasa asli Priangan
pengembangan budidaya teh agar teh dari Hindia Belanda dapat bersaing di
dalam berbagai kegiatan ilmu pengetahuan dan sosial. Tidak hanya ide dalam
Huis, dan diketahui pula K.A.R Bosscha menjadi donatur dalam Panti Lepra di
keluar dari stereotip penjajah. Hal ini menjadi acuan awal bagi kajian filantropi di
planters. Private plantation business in the Preanger area started in 1848, after
period of up to 20 years. This policy was legitimized by the Agrarian Law of 1870
Dutch Indies, particularly the Preanger area. Preanger became a favorite among
planters because it had just the infrastructure and facilities needed. The Dutch
had enormous wealth to meet their needs. At that time, tea had become a main
themselves from the surrounding native communities. Not all Preanger planters,
however, lived an extravagant life. One clan of planters, the Van Der Hucht clan,
for example, had a different lifestyle from those of other rich European noble
104
Preanger Planters from the Van der Hucht clan included Holle,
Preanger planters shared the same past. It all began when ventured to the Dutch
Indies and began his business by renting a plantation area in Parakan Salak in
1844, where he later became a philantropist himself. Karel F. Holle was not only
the oldest but also the first among the three younger-generation Van der Hucht
planters to extend care for the native communities. As a member of the Heeren
van de Thee family, Karel F. Holle often advised his children and cousins to
Such an attitude had to do with the social, political and economic condition of
the Preanger people in the 19th century. The people of Priangan were categorized
in three classes, namely the ménak, santana and somah or cacah. The ménak was
administration. The santana was the middle class. It was possible for members of
this class to climb and become a ménak. The third was the somah or cacah, whose
somah or cacah class had a tradition or system called ngawula, meaning serving
the regent. Thus, as a token of their devotion, members of this class regarded a
regent not only as a high-ranking official, but also a king. This tradition often
resulted in a regent acting arbitrarily. However, a regent was also the highest
protector in the area under his regency. A regent held an economic right to a
piece of land. His people worked to fulfil their obligation under the Preanger
stelsel law imposed by the Dutch Indies administration. This became a burden
105
among the natives and information about this eventually reached the liberals in
the Dutch parliament. As a result, the Agrarian Law of 1870 was enacted to erase
the Preanger area, abolishing the right for regent to levy taxes and giving them a
salary instead.
As an indirect result of the Agrarian Law of 1870, the social system in the
Preanger area also changed, adding plurality to the community with the
planters lived in plantation areas, employing local plantation workers. This close
particularly Karel F. Holle, Kerkhoven, and K.A.R Bosscha, who had once been
also like bumiputera people in their home country. It was only in a later stage of
their life that these planters became tea kings in the Preanger area. They were
very concerned about the aspects of education, technology, health and art in the
life of native bumiputera people and they wanted to bring welfare to these people.
106
DAFTAR SUMBER
Arsip
Berge, Tom van den. 1989. Karel Frederik Holle: Thee Planter in Indie 1829-
1890. Amsterdam: Bert Bekker
Boomgard, Peter. 2004. Anak Jajahan Belanda: Sejarah Sosial Ekonomi di Jawa
1795-1880. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Breman, Jan. 2014. Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari
Tanam Paksa Kopi di Jawa, 1720-1870. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
107
Haase, Hella S. Sang Juragan Teh. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Janssen, C.W. 1888. Karel F. Holle: Wat een Nederlander doen kaan in Indie.
Amsterdam: J.H De Bussy
Kern, R.A. 1938. Geschidenis van Nederlandsch Indie. Amsterdam: Joost van den
Vondel
108
Kuswandi Md, SH, t.t. Bamboo House: The Collection of Parahyangan
Traditional Farmer Culture and Indonesian Tea History. Bandung:
Tafio Total Solusi
Latief, Hilman. 2017. Politik Filantropi Islam di Indonesia: Negara, Pasar, dan
Masyarakat Sipil. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Lubis, Nina H dkk. 2003. Sejarah Tatar Sunda jilid I. Bandung: Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas
Padjadjaran bekerja sama dengan Masyarakat Sejarawan Indonesia
Cabang Jawa Barat
Lubis, Nina H dkk. 2013a. Sejarah Provinsi Jawa Barat Jilid I. Provinsi Jawa
Barat. Yayasan Cabang Masyarakat Sejarawan Indonesia bekerja sama
dengan Bank Jabar Banten Pusat
Lubis, Nina H dkk. 2013b. Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat. Provinsi Jawa
Barat: Balai Pengelolaan Kepurbakalaan Sejarah, dan Nilai Tradisional,
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat bekerja sama
dengan Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat.
109
Sariningsih, Sri. 2013. Perkebunan Kina di Priangan 1854-1897. Skripsi.
Jatinangor: Fakultas Sastra Unpad
Steenbrink, Karel. 2017. Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-
1942). Yogyakarta: Penerbit Gading
Ukers, William H. 1935. All About Tea. New York: Kingsport Press, Inc.
Majalah
Koran
Het Nieuws van Den Dag voor Nederlandsch Indie. 21 Juni 1897. Nederland Oost
Indie
Het Nieuws van Den Dag voor Nederlandsch Indie. 14 November 1906. Blinden
Instituut.
Het Nieuws van Den Dag voor Nederlandsch Indie. 17 November 1919. Blinden
Instituut
110
Het Nieuws van Den Dag voor Nederlandsch Indie., 20 September 1920. Kanker
Instituut
Het Nieuws van Den Dag voor Nederlandsch Indie. 24 October 1925. Radium
Het Nieuws van Den Dag voor Nederlandsch Indie .27 September 1928.
Belangrijke Schenking
Jurnal
Gambar
A.R.W Kerkhoven with a banteng bull which he shot during a hunting party.
https://troppenmuseum.nl/TM-60050262 (diakses 24 Nopember 2017)
Bangunan ITB pada 2018 tampak samping barat. Dokumentasi penulis (diambil
pada 6 Maret 2018)
111
Karel Frederik Holle. KITLV 114245https://digitalcollections.universiteitleiden.nl
(diakses 23 Januari 2018)
Malabar Huis. Stichting Indisch-Thee Family Archief Van der Hucht Cs (Arsip
Keluarga Teh Hindia- Van Der Hucht) http://SITFA.nl (diakses 24 Januari
2018)
Rumah K.A.R Bosscha 2017. Arsip Agrowisata N8 PTPN VIII (diambil pada
04 Oktober 2017)
Internet
Daftar Desa, Kepala Desa, Rumah Tangga, Upeti, dan Penghasilan di Priangan
1686. 2017. https://sejarah-nusantara.anri.go.id/id/hartakarun/item/11/
(diakses 05 Nopember 2017)
112
Desa Arjasari. 2017. http://arjasari-bandung.desa.id/ tentang wilayah Desa
Arjasari, Kabupaten Bandung (diakses 26 Nopember 2017)
113
LAMPIRAN
Lampiran 1. Silsilah Preanger Planters Keluarga Holle, Kerkhoven, dan Bosscha
Karel Adriaan J. Van Herman Albert J.R van Pauline Mr. Aleida Rudolf Eduard Goey La Pauline Johannes A
F.Holle W. Holle Mottman Holle Holle Motmann Holle Hoogeven van Albert Julius Nio Emilia Bosscha
Delden Kerkhoven Kerkhoven Kerthoven
Van Bertha Rudolf Jenny Aleide Joan Augustus E. Julius Adriaan Pauline Johannes K.A.R Janiah Bertha
Santen Elisabeth Eduard Roosgarde Catharina Henny Kerkhoven Kerkhoven Kerkhoven Kerkhoven Bosscha Bosscha R. Soeripto Elisab
SUMBER LAMPIRAN
Diolah dari buku Her Suganda yang terbit pada 2014 berjudul Kisah Para
Preanger Planter. Terbit di Jakarta, oleh PT Kompas Media Nusantara, pada
halaman15-67.
.
Diolah dari kumpulan arsip surat keluarga Marga C. Kerkhoven, yang
dipublikasikan pada 2009. Arsip surat tersebut berjudul De thee van Negla:
herinneringen van Marga C. Kerkhoven. Terbit di Den Haag oleh SITFA
(Stichting Indisch Thee-en Familiearchief Van der Hucht cs).
Diolah dari buku yang ditulis oleh R.N.J Bosscha, tanpa tahun terbit.Buku
tersebut berjudul Bosscha Leven en Dood, Komen Zonder te Gaan: K.A.R
Bosscha (1865-1928); Bapak Pembangunan Ibukota. Tanpa kota terbit dan tanpa
penerbit asli.
Diolah dari roman sejarah Heeren van de Thee Karya Hella S. Haase yang terbit
pada 2014 terjemahan Indira Ismail dengan judul terjemahan Sang Juragan Teh.
Diterbitkan di Jakarta oleh PT. Gramedia Pustaka Utama.
115
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Bandung 40133
No Hp : +62-8180-981-6408
Email : syarahnurul20@gmail.com
2016
2017
116