Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

“Thaharah dan Implementasi dalam Ibadah Sehari-Hari”

Dosen Pembimbing :

Deni Wahyuni,S.Pd.I,M.A

Disusun Oleh Kelompok 6 :

1. Arnila Cahya Febri Mendrofa : 1701091013


2. Saif Ikbari Anwar : 1701091037
3. Rizka Putri Yulianda : 1701092002
4. Afifah Widodo Putri : 1701092007
5. Aldo Serena : 1701092011

PRODI D3 MANAJEMEN INFORMATIKA

JURUSAN TEKNOLOGI INFORMASI

POLITEKNIK NEGERI PADANG

TP 2017/2018

i
Thaharah-Kelompok 6
KATA PENGANTAR

Assalamua’alaikum wr. wb.

Puji dan suykur kita kirimkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayatnya kita
dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik sesaui dengan waktu yang ditentukan.

Shalawat dan slam kita haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga dan sahabatnya yang setia mengorbankan jiwa dan raga untuk tegakkannya syiar islam yang
berpengaruh sampai sekarang ini.

Selanjutnya makalah ini kami buat sebagai aplikasi untuk menunjang kuliah agama yang
dibimbing oleh dosen DENI WAHYUNI, S.Pd.I, M.A.

Kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun sangat kami harapkan agar makalah selanjutnya dapat menjadi lebih baik.

Akhir kata, terima kasih kami ucapkan kepada pihak-pihak yang membantu suksesnya makalah
ini. Khususnya dosen DENI WAHYUNI, S.Pd.I, M.A. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam
kehidupan sehari-hari.

Padang, 23 Oktober 2017

Penulis

ii
Thaharah-Kelompok 6
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................................................. i


KATA PENGANTAR ........................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................................... iii
BAB I .................................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................................. 1
I. LATAR BELAKANG ............................................................................................................ 1
II. RUMUSAN MASALAH ........................................................................................................ 1
III. TUJUAN PEMBELAJARAN............................................................................................. 1
BAB II ................................................................................................................................................ 2
PEMBAHASAN ................................................................................................................................ 2
1. PENGERTIAN BERSUCI ...................................................................................................... 2
2. MACAM-MACAM AIR ........................................................................................................ 2
3. MACAM_MACAM NAJIS DAN CARA MENSUCIKANNYA .......................................... 3
4. ISTINJAK ............................................................................................................................. 13
5. WUDHU’ .............................................................................................................................. 15
6. MANDI WAJIB DAN CARA MANDI WAJIB .................................................................. 19
BAB III............................................................................................................................................. 23
PENUTUP........................................................................................................................................ 23
I. KESIMPULAN ..................................................................................................................... 23
II. SARAN ................................................................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 24

iii
Thaharah-Kelompok 6
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG

Allah SWT itu bersih dan suci. Untuk menemuinya, manusia harus terlebih dahulu
bersuci atau disucikan. Allah SWT mencintai sesuatu yang bersih dan suci. Dalam hukum
Islam bersuci dan segala seluk beluknya adalah termasuk bagian ilmu dan amalan yang
penting terutama karena diantaranya syarat-syarat salat telah ditetapkan bahwa seseorang
yang akan melaksanakan salat wajib suci dari hadas dan suci pula badan, pakaian dan
tempatnya dari najis. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari sesuatu yang
kotor dan najis sehingga Thaharah dijadikan sebagai alat dan cara bagaimana mensucikan
diri sendiri agar sah saat menjalankan ibadah.

II. RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian bersuci?


2. Sebutkan macam-macam air?
3. Sebutkan macam-macam najis serta bagaimana cara mensucikannya?
4. Jelaskan tentang istinjak?
5. Jelaskan tentang Wudhu’?
6. Jelaskan tentang mandi wajib serta bagaimana cara mandi wajib?

III. TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Mempelajari tentang pengertian bersuci.


2. Mempelajari tentang macam-macam air.
3. Mempelajari tentang macam-macam najis serta bagaimana cara mensucikannya.
4. Mempelajari tentang bagaimana beristinjak yang benar.
5. Mempelajari tentang bagaimana berwudhu’ yang benar
6. Mempelajari tentang mandi wajib serta bagaimana cara mandi wajib yang benar

1
Thaharah-Kelompok 6
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN BERSUCI

Secara bahasa pengertian Thaharah berarti bersih dan suci dari kotoran. Sedangkan
secara istilah berarti menghilangkan hadats, atau menghilangkan sesuatu yang berkaitan dengan
badan yang dapat menghalangi shahnya shalat dan ibadah-ibadah lain yang serupa dengannya,
dan melenyapkan najis yang melekat di badan dan pakaian seorang muslim, serta tempat
ibadahnya.

Dalam sebuah hadist shahih, Nabi SAW. Bersabda:


‫ضأ ا‬ ‫ص اَلة ا أ ا اح ِد ُك ْم ِإذاا أاحْ دا ا‬
‫ث احتهى ايت ااو ه‬ ‫اَل اي ْق اب ُل ه‬
‫َّللاُ ا‬
“Allah tidak menerima shalat yang dilakukan tanpa bersuci.” (h.r.Muslim) 1

Bersuci dapat dilakukan dengan dua sarana yang menyucikan, yakni air atau debu yang
boleh menggantikan air dlam keadaan tertentu.

2. MACAM-MACAM AIR

Air terdiri dari dua macam :


a. Air suci, yakni air murni atau air yang memancar dari tanah atau turun dari langit (hujan).
Allah SWT. Berfirman,
‫س اماءِ اما ًء ِليُ ا‬
‫ط ِه ار ُك ْم بِ ِه‬ ‫علا ْي ُك ْم مِ نا ال ه‬
‫اويُن ِاز ُل ا‬
“Dan Allah menurunkan hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu.” (Al-
Anfal: 11)
Jenis air ini mencakup air sungai, salju,embun, dan air sumur, sekalipun mengalami
perubahan karena tidak mengalir dalam waktu yang cukup lama atau bercampur dengan
unsur lain yang suci yang tidak mungkin dihindarkan darinya.
Begitu pula air laut, karena ketika Rasulullah SAW. ditanya tentang status hukum air laut,
beliau menjawab:
‫ه اُو ه‬
ُ‫الط ُه ْو ُر اما ُؤهُ الحِ ُّل ام ْيت اـتُه‬
“Airnya thahur (suci dan menyucikan) dan bangkai (binatangnya) halal.” (h.r. Ahmad)2

Maksud air thahur disini adalah air yang suci dan menyucikan, yakni air yang dapat
menghilangkan hadats dan najis.
Apabila air suci dan menyucikan ini bercampur dengan benda-benda lain yang suci,
lalu mengubah sebagian siftanya, maka air tersebut tetap suci selama ia tetap disebut air.
Dalam hadits yang diriwayatkan Ummu Hani’ dinyatakan bahwa, “Rasulullah SAW. mandi
besar bersama Maimunah dari satu wadah, yakni tempayan yang di beberapa bagiannya
terlihat ada bekas adonan.”3
Akan tetapi, apabila percampuran dengan benda yang suci tersebut membuatnya tidak
lagi disebut air (murni), maka air tersebut tidak dapat digunakan untuk bersuci. Misalnya

1
Diriwayatkan oleh Muslim, no 224.Tarmidzi, no. 1, Nasa’i no. 139, Abu Dawal, no. 59, dan Ibnu Majah no.
273.
2
Diriwayatkan oleh Ahmad, vol. 2 hlm. 237, Abu Dawud, no. 83, Tarmidzi, no. 69, Nasa’i, vol. 1 hlm. 176, dan
Ibnu Majah, no. 386, dan masih banyak lagi yang meriwayatkan dengan sanad yang shahih.
3
Diriwayatkan oleh Nasa’i, no. 240 dan Ibnu Majah, no. 378. Sanadnya shahih.

2
Thaharah-Kelompok 6
air yang dicampur dengan teh. Setelah dicampur, air itu tidak lagi disebut air biasa,
melainkan teh, sehingga tidak boleh digunakan untuk bersuci. Begitu pula dengan air yang
berasal dari perasan benda suci, seperti air yang diperas dari bunga mawar, karena air itu
tidak dapat disebut air murni.
b. Air najis, yakni air yang bercampur dengan najis dan mengubah salah satu sifatnya.

Masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum air

 Air bekas wudhu’


Air wudhu’ yang jatuh dari anggota badan orang sedang berwudhu’ dan
semisalnya tetap suci dan boleh digunakan untuk bersuci lagi, selama tidak ada
perubahan pada bau, warna, atau rasanya karena bercampur dengan najis. Para sahabat
pernah berebut air bekas wudhu’ nabi Muhammad SAW.4
Dalam kitab Shahih Al-Bukhari dinyatakan,
“Nabi SAW. pernah mandi bersama salah seorang istrinya dari satu wadah yang
sama.” (h.r Bukhari)5
 Kesucian air tidak gugur karena keragu-raguan.
Sebab, hukum asal air adalah suci sehingga ketika terjadi keraguan, maka
dikembalikan kepada hukum asalnya yang lebih meyakinkan. Apabila tidak dapat
diyakini, baik kesucian maupun kenajisannya, maka para ulama sepakat bahwa air
tersebut tetap boleh digunakan untuk berwudhu’.

3. MACAM_MACAM NAJIS DAN CARA MENSUCIKANNYA


Najis secara bahasa adalah segala sesuatu yang dipandang kotor atau menjijikkan,
secara syar’i Najis adakalanya hakiki / hissiyah (wujudnyanya bisa terindera), seperti kencing.
Dan adakalanya hukmiyah (hadast), seperti janabat.Menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya,
fiqhus-sunah. Najis secara istilah adalah kotoran yang wajib dibersihkan oleh seorang muslim
dan dicuci apa-apa yang terkena oleh najis itu.

‫اوثِياباكا فا ا‬
‫ط ِه ْر‬
“Dan pakaianmu, bersihkanlah.” (al-Mudatstsir: 4)

‫ط هه ْرَنا فاأَْتُوه هُن مِ ْن‬ ْ ‫يض ۖ او اَل َت ا ْق اربُوه هُن احتهى اي‬
‫ط ُه ْرَنا ۖ فاِإِذاا َت ا ا‬ ِ ِ‫سا اء فِي ْال امح‬ ِ ‫يض ۖ قُ ْل ه اُو أاذًى فاا ْعت ِازلُوا‬
‫الن ا‬ ِ ِ‫ع ِن ْال امح‬ ‫او اي ْسأالُوناكا ا‬
‫َّللاا يُحِ بُّ الت ه هوا ِبينا اويُحِ بُّ ْال ُمت ا ا‬
‫ط ِه ِرينا‬ ‫اح ْيثُأ ا ام ار ُك ُم ه‬
‫َّللاُ ۚ ِإ هَن ه‬
“…Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri.” (al-Baqarah: 222)

MACAM-MACAM NAJIS

1. Mukhofafah

Najis mukhofafah adalah najis yang ringan, yang mana cara mensucikan najis
ini adalah hanya dengan memercikan air ke daerah yang terkena najis.

4
Diriwayatkan oleh Bukhari, no. 189
5
Diriwayatkan oleh Bukhari, no. 264. Hadits yang mirip diriwayatkan oleh Imam Muslim, no. 296, dan perawi-
perawi lainnya.

3
Thaharah-Kelompok 6
Contoh dari najis ini adalah : Air kencing bayi laki-laki yang belum berumur 2
tahun dan belum memakan makanan lain selain air susu ibu.

Kemudian contoh berikutnya adalah madzi, yaitu air yang keluar dari
kemaluan akibat terangsang oleh sesuatu, namun keluar tidak dengan cara memuncrat
dan tidak menyebabkan lemas setelah mengeluarkannya.

Untuk membersihkan kedua najis diatas cukup dengan memercikan air ke


daerah yang terkenanya.

2. Mutawasithah

Najis mutawasithah adalah najis yang sedang, yang mana cara mensucikan
najis ini adalah dengan membasuh atau mencuci bagian yang terkena najis sampai
hilang rasa, bau, dan warnanya.

Contoh dari najis ini adalah : Kotoran manusia, bangkai ( kecuali bangkai
hewan laut dan belalang ), kotoran hewan yang haram untuk dimakan, dan masih
banyak lagi.

Maka jika kita ingin membersihkan sesuatu dari najis ini, kita harus mencuci
dan membasuhnya sampai warna, bau, dan rasanya telah hilang.

3. Mughollazhoh

Najis mughollazhoh adalah najis yang berat, yang mana cara mensucikannya
memiliki tata cara tersendiri yang dijelaskan oleh syariat.

Contoh najis ini adalah : Air liur anjing.

Macam-Macam Najis yang Telah disepakati Ulama

1. Daging babi

Daging babi adalah najis, walaupun disembelih secara syar’i. Karena najis ‘ain (najis
secara zat), pengharamannya berdasarkan al-Qur’an. Jadi, daging dan semua bagiannya seperti
bulu, kulit dan tulangnya meskipun disamak adalah najis.

‫ط اع ُمهُ ِإ هَل أ ا َْن اي ُكوَنا ام ْيتاةً أ ا ْو دا ًما ام ْسفُو ًحا أ ا ْو لا ا‬ْ ‫طاع ٍِم اي‬ ُ
‫س‬ ٍ ‫حْم خِ ْن ِز‬
ٌ ْ‫ير فاِإِنههُ ِرج‬ ‫علاى ا‬ ‫ي ُم اح هر ًما ا‬ ‫قُ ْل اَل أ ا ِجدُ فِي اما أوحِ ا‬
‫ي إِلا ه‬
‫ور ارحِ ي ٌم‬ ٌ ُ‫غف‬ ‫عا ٍد فاِإ ِ هَن اربهكا ا‬ ‫غي اْر بااغٍ او اَل ا‬ ُ
‫ضط هر ا‬ ‫أ ا ْو فِ ْسقًا أ ُ ِهله ِلغاي ِْر ه‬
ْ ‫َّللاِ بِ ِه ۚ فا ام ِن ا‬

Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir atau daging babi –karena sesungguhnya semua itu kotor– atau
binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa
sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al An’am : 145)

4
Thaharah-Kelompok 6
Menurut Malikiyah, babi yang masih hidup adalah suci, karena tidak adanya dalil yang
jelas yang menyatakan najisnya dalam keadaan hidup.

2. Darah

Yaitu semua jenis darah, baik itu yang dialirkan seperti dari penyembelihan, maupun
bukan seperti darah haidh, kecuali darah manusia karena perang (syahid), darah kucing, ikan
dan darah yang mengental dari asalnya, yaitu hati dan limpa atau darah yang tersisa pada urat-
urat hewan setelah disembelih yang tidak mengalir.

‫ير او اما أ ُ ِه هل ِلغاي ِْر ه‬


‫َّللاِ بِ ِه‬ ِ ‫علا ْي ُك ُم ْال ام ْيتاةُ اوالده ُُم اولاحْ ُم ْالِخِ ْن ِز‬
‫ُح ِر امْتْ ا‬

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al Maidah : 3)

Cara membersihkan darah haidh menurut Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah,


dengan menyiramnya dengan air hingga hilangnya sifat-sifatnya dari rupa, bau dan rasanya,
dan tidak mengapa tertinggal bekas salah satu sifat najis tadi.

Dari Abu Hurairah bahwasanya Khaulah binti Yasar datang kepada Nabi saw. pada
waktu haji atau umrah, lalu ia berkata; “Hai Rasulullah, saya tidak mempunyai pakaian kecuali
selembar yang kupakai sedang saya berhaidh”. Jawab Nabi saw.: “jika kamu telah bersih dari
haidl, maka cucilah tempat yang kena darah, lalu shalatlah dengan pakaian itu.”Kemudian
Khaulah menanya pula, “Hai Rasulullah, bagaimana jika bekas darah tadi tidak hilang?” Jawab
Nabi saw.: “Cukup bagimu dengan memakai air, dan tidak mengapa akan bekas darah tadi.”
(HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi)

‫ُصيبُ ث ا ْو اب اها مِ ْن دا ُِم ْال اح ْي ا‬


‫ض ِة اكي ا‬
‫ْف‬ ِ ‫سله ام فاقاالاْتْ إِحْ دااناا ي‬ ‫علا ْي ِه او ا‬ ‫صلهى ه‬
‫َّللاُ ا‬ ‫ع ْن أ ا ْس اما اء اقا الْتْ اجا اءتْ ا ْم ارأاة ٌ ِإلاى النه ِبي ِ ا‬ ‫ا‬
‫صلِي فِي ِه‬ ُ ‫صهُ بِ ْال اماءِ ث ُ همت ا ْن ا‬
‫ض ُحهُ ث هم َت ُ ا‬ ُ ‫صنا ُع بِ ِه قاالات ا ُحتُّهُ ث ُ هم َت ا ْق ُر‬
ْ ‫َت ا‬

Dari Asma berkatalah ia: “Datang kepada Nabi saw. Seorang wanita berkata:
Seorang dari pada kami pakaiannya terkena darah haidh, bagaimana harusnya dilakukan?
Maka bersabda Nabi saw. Supaya dia menghilangkan dan mencuci pakaian itu dengan air,
kemudian disiramnya lalu di pakai shalat.“6

3. Muntah, kencing dan kotoran manusia

Kencing, kotoran dan muntah hewan yang tidak dimakan dagingnya adalah najis. Tidak
ada satu dalil pun yang menajiskan muntah, namun hukumnya najis menurut kesepakatan para
ulama, kecuali jika kadarnya sedikit, maka dapat dimaafkan.

Menurut Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, cara beristinja, bisa dengan air,
dengan tiga batu atau dengan yang lainnya selain tulang dan kotoran.

6
Diriwayatkan oleh imam Enam

5
Thaharah-Kelompok 6
ُ ‫سلَّ َم يَ ْد ُخ ُل ْالخ َََل َء فَأَحْ ِم ُل أَنَا َو‬
‫غ ََل ٌم نَحْ ِوي‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َّ ‫سو ُل‬
َ ِ‫َّللا‬ َ ‫سمِ َع أَن‬
ُ ‫َس بْنَ َمالِكٍ يَقُو ُل َكانَ َر‬ َ ُ‫طاءِ ب ِْن أَبِي َم ْي ُمونَةَ أَنَّه‬ َ ‫ع‬
َ ‫ع ْن‬
َ
ْ ْ َ
(‫ (متفق عليه‬. ِ‫عنَزَ ة فيَ ْستَن ِجي بِال َماء‬ ً ْ ً
َ ‫إِدَ َاوة مِ ن َماءٍ َو‬

Dari ‘Atha bin Abi Maimunah, bahwa ia mendengar Anas bin malik berkata:
“Rasulullah s.a.w. masuk ke jamban, maka aku bersama anak yang sebaya denganku
membawa tempat air dan tongkat, lalu beliau beristinja’ dengan air. (Muttafaq ‘Alaih)

ُ ‫سله ام يا ْد ُخ ُل ْالِخ ااَل اء فاأاحْ ِم ُل أاناا او‬


ً ‫غ اَل ٌُم ناحْ ِوي ِإدا ااوة‬ ‫علا ْي ِه او ا‬ ‫صلهى ه‬
‫َّللاُ ا‬ ‫سو ُل ه‬
‫َّللاِ ا‬ ‫سمِ اع أان ا‬
ُ ‫اس بْنا امالِكٍ ياقُو ُل اكاَنا ار‬ ‫طاءِ ب ِْن أ ا ِبي ام ْي ُموناةا أانههُ ا‬‫ع ا‬
‫ع ْن ا‬ ‫ا‬
ْ
)‫ (متفق عليه‬. ِ‫عنازا ة ً فايا ْست ا ْن ِجي بِال اماء‬ ‫مِ ْن اماءٍ او ا‬

Dari Salman, berkata: “Rasulullah saw. telah melarang kami menghadap kiblat saat
buang air besar, kencing, istinja’ dengan tangan kanan, istinja’ dengan kurang dari tiga batu,
beristinja’ dengan kotoran atau tulang.” (HR. Muslim)

4. Khamr

Menurut Jumhur khamar mencakup setiap yang cair lagi memabukan. Kebanyakan
fuqaha berpendapat bahwa khamar adalah najis. Sebagian ahli hadis berpendapat bahwa
barangnya sendiri tidaklah najis, melainkan suci.

Hal ini sama kedudukannya dengan candu, uang dari hasil riba, alat-alat berjudi dan
sebangsanya, yang semuanya itu bila dilihat dari bendanya adalah suci, sedang yang haram
adalah memakan, meminum dan memakannya.

‫اَن فااجْ تانِبُوهُ لا اعله ُك ْم َت ُ ْف ِلحُوَنا‬


ِ ‫ط‬ ‫ش ْي ا‬
‫ع ام ِل ال ه‬
‫س مِ ْن ا‬ ‫ايا أايُّ اها الهذِينا آ امنُوا ِإنه اما ْال اِخ ْم ُر او ْال ام ْيس ُِر او ْاْل ا ْن ا‬
ٌ ‫صابُ او ْاْل ا ْز اَل ُُم ِر ْج‬

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,


(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (al-
Maidah: 90)

Makna najis dalam ayat tersebut searti dengan najis yang terdapat dalam surat al-Hajj
ayat 30 :

ِ ‫س مِ نا ْاْل ا ْوث ا‬
‫اَن‬ ِ ‫فااجْ تانِبُوا‬
‫الر ْج ا‬

“Hendaklah kamu jauhi najis yang bernama berhala”. (Al-Hajj :30)

5. Wadi dan madzi

Wadi adalah air yang berwarna putih, kental, sedikit berlendir yang keluar mengiringi
keluarnya air kencing dikarenakan kelelahan. Sedang madzi adalah air yang berwarna putih
juga, bergetah, yang keluar karena kuatnya dorongan syahwat, akan tetapi keluarnya air itu
tidak disertai dengan perasaan apa-apa.

Kedua cairan tersebut hukumnya najis. Sehingga kalau salah satu dari keduanya
menimpa badan hendaklah dicuci dan seandainya mengenai kain, maka cukuplah dipercikkan
air ke atasnya. Aisyah ra. mengatakan:

6
Thaharah-Kelompok 6
“Wadi itu keluar setelah kencing selesai. Maka hendaklah mencuci kemaluannya (baik
laki-laki ataupun perempuan) dan berwudhu, tidak perlu mandi.” (HR. Ibnu Mundzir)

‫ااَن ا ْبناتِ ِه فاأ ا ام ْرتُ ْالمِ ْقداادا بْنا‬


ِ ‫سله ام ِل امك‬
‫علا ْي ِه او ا‬ ‫صلهى ه‬
‫َّللا ُ ا‬ ‫علِي ٍ قاا ال ُك ْنْتُ ار ُج ًَل امذها ًء او ُك ْنْتُ أ ا ْستاحْ يِي أ ا َْن أ ا ْسأ ا ال النهبِ ه‬
‫ي ا‬ ‫ع ْن ا‬ ‫ا‬
ُ ‫سأالاه ُ فاقاا ال اي ْغ ِس ُل ذاك اارهُ او ايت ااوضهأ‬
‫ا‬ ‫ا‬ ‫ف‬ ‫د‬
ِ ‫ْ ا‬
‫ْو‬
‫س‬ ‫ا‬ ‫اْل‬

Dari Ali, ia berkata: ”Saya kerap kali mengeluarkan madzi, sedang saya sendiri malu
menanyakannya pada Rasulullah SAW, karena putrinya menjadi istriku, maka saya menyuruh
Miqdad untuk menanyakannya. Miqdad pun menanyakan kepada beliau.” Beliau menjawab
“Hendaklah ia basuh kemaluannya dan berwudhulah”. (HR. Bukhari-Muslim)

Hadis diatas menunjukan bahwa tidak wajib mandi sebab keluar madzi. Ibnu Hajar
menyebutkan dalam Fathul Bari: Pendapat itu sudah ijma’. Dan hadis itu juga menunjukkan
bahwa perintah wudhu’ karena keluar madzi itu seperti perintah wudhu’ karena kencing.

6. Bangkai hewan selain hewan air yang mengalir darahnya

Semua bangkai secara umum hukumnya najis. Namun dalam hal ini ada beberapa
macam bangkai yang dikeluarkan dari hukum najis, antara lain bangkai manusia, belalang dan
bangkai ikan. Begitu juga dengan bangkai hewan yang darahnya secara inderawi tampak
seolah-olah tidak mengalir, seperti bangkai semut, nyamuk, lebah, lalat atau sebangsanya
adalah tidak najis.

7. Daging Hewan yang tidak Dimakan

Daging hewan yang tidak dimakan adalah najis, begitu pula susunya karena berasal
dari dagingnya, maka hukumnya adalah sama.

‫سى‬‫علا ْي ِه ْم فالا هما أ ا ْم ا‬ ‫سله ام إِلاى اخ ْيبا ار ث ُ هم إِ هَن ه‬


‫َّللاا فات ا اح اها ا‬ ‫علا ْي ِه او ا‬ ‫صلهى ه‬
‫َّللاُ ا‬ ‫َّللاِ ا‬ ‫سو ِل ه‬ ُ ‫سلا امةا ب ِْن ْاْل ا ْك اوعِ قاا ال خ اارجْ ناا ام اع ار‬ ‫ع ْن ا‬ ‫ا‬
‫علاى أاي ِ ا‬
‫ش ْيءٍ َتُوقِدُوَنا‬ ‫ا‬ ُ‫اَن‬‫ِير‬
‫ا‬ ‫الن‬ ‫ه‬
ِ ‫ذ‬
ِ ‫ه‬
‫ا‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫م‬‫ه‬ ‫ل‬‫س‬
‫ُ ا ا ا ا ا‬ ‫و‬ ‫ه‬
ِ ‫ي‬
ْ ‫ا‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ه‬
‫َّللا‬ ‫ى‬ ‫ه‬ ‫ل‬‫ص‬‫ِ ا‬ ‫ه‬
‫َّللا‬ ُ
‫ل‬ ‫و‬ ‫س‬ ‫ر‬
ُ ‫ا‬ ‫ل‬
‫ا‬ ‫ا‬‫ا‬ ‫ق‬‫ا‬ ‫ف‬ ً ‫ة‬ ‫ِير‬
‫ا‬ ‫ث‬ ‫ا‬
‫ك‬ ‫ا‬ً ‫ن‬‫ا‬‫ِير‬
‫ا‬ ‫ن‬ ‫ُوا‬ ‫د‬ ‫ا‬ ‫ق‬ ‫و‬‫ا‬ ‫أ‬ ‫م‬
ْ ِْ ‫ا‬‫ه‬‫ي‬ْ ‫ا‬ ‫ل‬‫ع‬ ْ‫ْت‬ ‫ح‬‫ا‬ ‫ت‬
ِ ُ ‫ف‬ ‫ِي‬‫ذ‬ ‫ه‬ ‫ل‬‫ا‬ ‫ُم‬ ْ
‫ال ُ ا ْ ا‬
‫و‬ ‫ي‬‫ال‬ ‫اس‬ ‫ه‬ ‫ن‬
‫سل ام أ ْه ِريقُوهاا اوا ْكس ُِروهاا فاقاا ال‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫علا ْي ِه او ا‬ ‫صلى ه‬
‫َّللاُ ا‬ ‫ه‬ ‫سو ُل ه‬
‫َّللاِ ا‬ ُ ‫علاى لاحْ ِم ُح ُم ٍر إِ ْن ِسيه ٍة فاقاا ال ار‬ ُ
‫علاى أي ِ لاحْ ٍم قاالوا ا‬ ‫ا‬ ‫علاى لاحْ ٍم قاا ال ا‬ ‫قاالُوا ا‬
)‫ (رواه البِخاري ومسلم وابن ماجه‬. ‫هريقُ اها اونا ْغ ِسلُ اها قاا ال أ ا ْو ذااكا‬ ِ ُ‫َّللاِ أ ا ْو ن‬
‫ار ُج ٌل ياا ارسُو ال ه‬

Dari Salamah bin Al Akwa’, ia berkata: “Kami keluar bersama Nabi saw ke Khaibar,
kemudian Allah swt menaklukannya atas mereka, maka ketika waktu sore pada hari setelah
ditaklukannya Khaibar, mereka menyalakan api banyak, lalu Rasulullah saw. Bertanya:
Apakah api ini, untuk apa kalian menyalakannya? Mereka menjawab: untuk daging! Ia
bertanya: daging apa? Mereka menjawab: daging himar piaraan! Maka Rasulullah saw.
berkata: tumpahkanlah dan pecahkanlah! Maka seorang laki-laki bertanya: ya Rasulullah,
adakah kami menumpahkannya dan mencucinya? Maka sabdanya: ya demikianlah!” (HR.
Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah)

‫سو ال ه‬
ِ‫َّللا‬ ُ ‫َّللاِ أ ُ ِكلاْتْ ْال ُح ُم ُر ث ُ هم اجا اء آخ ُار فاقاا ال ايا ار‬ ُ ‫ع ْن أان ِاس ب ِْن امالِكٍ قاا ال لا هما اكاَنا اي ْو ُُم اخ ْي اب ار اجا اء اجاءٍ فاقاا ال ايا ار‬
‫سو ال ه‬ ‫ا‬
‫س أ ْوا‬ ْ ِ ‫ع ْن لُ ُح‬
ٌ ْ‫وُم ال ُح ُم ِر فاِإِنه اها ِرج‬ ‫سولاهُ يا ْن اهياانِ ُك ْم ا‬ ‫ط ْل احةا فانااداى إِ هَن ه‬
ُ ‫َّللاا او ار‬ ‫سله ام أاباا ا‬
‫علا ْي ِه او ا‬ ‫صلهى ه‬
‫َّللاُ ا‬ ‫أ ُ ْفنِياْتْ ْال ُح ُم ُر فاأ ا ام ار ارسُو ُل ه‬
‫َّللاِ ا‬
)‫ (متفق عليه‬.‫س‬ ٌ ‫ن ِاج‬

Dari Anas bin Malik, ia berkata, pada hari Khaibar datang seseorang, lalu ia berkata,
“wahai Rasulullah, telah dimakan keledai”, kemudian datang yang lain, lalu berkata “wahai

7
Thaharah-Kelompok 6
Rasulullah, telah dihabiskan (daging) keledai”, lalu Rasulullah saw. memerintahkan Abu
Thalhah (untuk memberitahu mereka), kemudian Abu Thalhah menyeru: “Sesungguhnya Allah
dan Rasul-Nya melarang kalian dari memakan daging keledai piaraan, karena sesungguhnya
hewan itu kotor atau najis”. (Muttafaq ‘alaih)

Asy Saukani menjadikan kedua hadis tersebut sebagai dasar atas najisnya daging
binatang yang tidak boleh dimakan, karena; pertama, adanya perintah memecahkan bejana-
bejana, kedua, untuk mencucinya, dan yang ketiga, sabda Nabi saw.: “Sesungguhnya ia adalah
kotor dan najis”.

Tetapi itu semua adalah penegasan tentang himar-himar piaraan, sedang untuk semua
binatang-binatang lain yang tidak boleh dimakan dagingnya adalah diqiaskan dengan itu karena
sama-sama tidak boleh dimakan dagingnya, dan tidak wajib (mencuci) tujuh kali.
Bagian yang terpisah atau dipotong dari hewan yang masih hidup, seperti tangan dan ekor,
kecuali rambut dan yang sejenisnya seperti bulu domba, bulu onta dan bulu burung.

‫ (رواه الحاكم وصححه‬.ٌ‫ي ام ْيت اة‬


‫ِي احيهةٌ فا ِه ا‬
‫سله ام اما قُطِ اع مِ ْن ْالبا ِهي ام ِة اوه ا‬
‫علا ْي ِه او ا‬ ‫صلهى ه‬
‫َّللا ُ ا‬ ُّ ِ‫ع ْن أابِي اواقِ ٍد قاا ال قاا ال النهب‬
‫ي ا‬ ‫ا‬
)‫ وأخرجه أبو داود والترمذي وحسنه عن ابى واقد الليثي رضي هللا عنه‬,‫على شرط الشيِخين‬

Dari Abu Waqid, bahwa Rasulullah telah bersabda : “Sesuatu yang dipotong dari
seekor binatang, sedang ia masih hidup maka (potongan hidup) itu adalah bangkai”.

Macam-Macam Najis yang Masih Dipersilisihkan Ulama

1. Air liur Anjing

Imam Syafi’i dan Ahmad berpendapat anjing adalah najis. Sedangkan menurut Abu
Hanifah, anjing bukanlah najis ‘ain, karena bisa dimanfaatkan kesetiaan dan buruannya.
Sementara menurut Imam Malik anjing adalah suci, baik itu anjing yang digunakan untuk
berburu, mengembala atau bukan.

Menurut Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, cara menghilangkan najis dari air
liur anjing ini dengan mencucinya tujuh kali, salah satunya dengan debu yang bersih.

‫ت‬ ‫ور ِإنااءِ أ ا اح ِد ُك ْم ِإذاا اولا اغ ِفي ِه ْالك ْالبُ أ ا َْن اي ْغ ِسلاهُ ا‬
ٍ ‫س ْب اع ام هرا‬ ُ ‫سله ام‬
ُ ‫ط ُه‬ ‫علا ْي ِه او ا‬ ‫صلهى ه‬
‫َّللاُ ا‬ ‫َّللاِ ا‬ ُ ‫ع ْن أ ا ِبي ه اُري اْرة ا قاا ال قاا ال ار‬
‫سو ُل ه‬ ‫ا‬
ُ ‫ا‬
ِ ‫وَله هُن أ ْو أ ْخ اراه هُن بِالت ُّ ارا‬
‫ب‬ ُ
‫ أ ا‬:‫ والترمذي‬.‫ أخرجه أحمد و مسلم‬.‫ب‬ ِ ‫وَله هُن بِالت ُّ ارا‬ ‫أُ ا‬

Dari Abu Hurairah: “Sucinya bejana salah seorang dari kamu sekalian, apabila
digunakan minum oleh anjing, supaya dicuci tujuh kali, permulaannya dengan debu.” (HR.
Muslim dan Ahmad). Dan Tirmidzi meriwayatkannya dengan tambahan: “Permulaannya
atau penghabisannya dengan debu.”

Menurut Abu Hanifah, mencuci najis itu sama seperti mencuci semua jenis najis, jika
ia yakin telah hilang najisnya maka telah cukup meskipun hanya sekali cuci. Sementara
menurut Malik, dicucinya najis hanya sebagai ta’abbudiyah, dan itupun hanya khusus pada
jilatannya.

8
Thaharah-Kelompok 6
Pensyarah Nailul Authar berkata, telah terjadi khilaf, apakah dicampurnya dengan
tanah itu di dalam tujuh kali atau diluarnya. Menurut dzahirnya hadist Abdullah bin Mughaffal,
bahwa debu itu di luar tujuh kali dan itulah yang lebih kuat dalilnya.

Ibnu Hajar berkata didalam kitab Fathul Bari: Riwayat yang menggunakan kata
uulaahunna (pertama kalinya dicampur dengan tanah) adalah lebih kuat sebab lebih banyak dan
lebih mahfudz, dan juga dari segi maknanya. Syafi’i menentukan, bahwa mencuci yang pertama
dengan tanah itu lebih utama.

2. Bangkai hewan air dan hewan yang tidak mengalir darahnya

Para Imam madzhab sepakat bahwa bangkai hewan air dan semisalnya dari hewan laut
itu suci.

“Telah dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah, yaitu ikan dan belalang, hati
dan limpa”

“Air laut itu suci dan halal bangkainya”

Tetapi Fuqoha berbeda pendapat tentang bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir.

Menurut Hanafiyah daging dan kulit dari bangkai hewan yang darahnya mengalir itu
najis, kecuali setelah disamak. Sedangkan untuk hewan yang darahnya tidak mengalir, jika
jatuh di air maka tidak menajiskannya, karena hewan itu sendiri suci, seperti kutu, lalat,
kumbang, kalajengking dan semisalnya.

“Apabila lalat jatuh dalam minuman salah seorang diantara kalian, maka
celupkanlah, kemudian hendaklah dibuang, karena salah satu sayapnya ada penyakit dan
sayap lainnya adalah penawarnya.”

Sedangkan menurut Syafi’iyyah bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir itu najis.
Sementara menurut Imam Ahmad suci.Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa ulat yang dilahirkan
dalam makanan, jika ia mati didalamnya maka tidak menajiskannya dan boleh dimakan
bersama makanan itu.

Sementara hewan yang hidup di air seperti kodok, jika mati di air yang sedikit, maka
menajiskannya menurut Ahmad, Malik dan Syafi’i.Menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah bahwa
bangkai hewan laut yang hidup di darat, seperti katak, buaya dan ular itu najis.

3. Bagian-bagian bangkai keras yang tidak berdarah

Menurut Hanafiyah, bagian-bagian bangkai yang keras yang tidak berdarah itu suci,
seperti tanduk, tulang, gigi, gading gajah, kuku kuda, kuku sapi, kuku unta, rambut, bulu,
karena semuanya itu bukan bangkai, sebab menurut syara’, bangkai hewan itu untuk sebutan
hewan yang hilang nyawanya dengan proses yang tidak sesuai syari’at. Sedangkan hal-hal
diatas tidak ada kehidupan didalamnya, maka itu tidak bisa disebut bangkai.

9
Thaharah-Kelompok 6
Menurut Jumhur kecuali Hanafiyah, semua bagian bangkai itu najis, dikecualikan oleh
Hanabilah, rambut dan bulunya itu suci. Ia berargumen dengan hadist dha’if:

“Tidak mengapa (menjadi suci) kulit bangkai jika telah disamak, bulu dan rambutnya
tika telah dicuci.”

Ringkasnya, Fuqaha selain Syafi’iyyah berpendapat bahwa rambut, bulu dan bulu
burung dari hewan yang mati adalah suci.

4. Kulit bangkai

Menurut Abu Hanifah, kulit bangkai itu semuanya suci dengan disamak, kecuali kulit
babi.

Pendapat yang masyhur di kalangan Malikiyah dan Hanabilah, bahwa kulit bangkai itu
najis, baik sudah disamak atau belum, karena itu bagian dari bangkai.

ِ‫السبااع‬ ‫سله ام نا اهى ا‬


ِ ‫ع ْن ُجلُو ِد‬ ‫علا ْي ِه او ا‬ ‫ص هلى ه‬
‫َّللاُ ا‬ ‫ي ا‬ ِ ‫ع ْن أابِي ْال امل‬
‫ِيح اع ْن أابِي ِه أ ا هَن النهبِ ه‬ ‫ا‬

“Dari Abil Malih bin Usamah dari ayahnya, bahwa Nabi saw. melarang
(memanfa’atkan) kulit-kulit binatang buas.” (HR Ahmad, Abu Daud dan Nasa’i)

Sedangkan menurut Syafii semua kulit bangkai itu suci jika sudah di samak, kecuali
kulit anjing, babi dan sejenisnya.

‫ط ُه ار‬ ِ ْ ‫سله ام ياقُو ُل إِذاا دُبِ اغ‬


‫الهاابُ فاقا ْد ا‬ ‫علا ْي ِه او ا‬ ‫صلهى ه‬
‫َّللاُ ا‬ ‫سو ال ه‬
‫َّللاِ ا‬ ‫هاس قاا ال ا‬
ُ ‫سمِ ْعْتُ ار‬ ٍ ‫عب‬ ‫ع ْن ا‬
‫ع ْب ِد ه‬
‫َّللاِ ب ِْن ا‬ ‫ا‬

“Dari Abdullah bin ‘Abbas, ia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah saw.
mengatakan apabila disamak kulit, maka ia telah suci.” (HR. Muslim)

‫سله ام فاقاا ال ه هاَل أ ا اخ ْذَت ُ ْم‬


‫علا ْي ِه او ا‬ ‫صلهى ه‬
‫َّللاُ ا‬ ُ ‫علاى ام ْو اَلةٍ ِل ام ْي ُموناةا بِشااةٍ فا اماَت اْتْ فا ام هر بِ اها ار‬
‫سو ُل ه‬
‫َّللاِ ا‬ ُ ُ ‫هاس قاا ال َت‬
‫صدِقا ا‬ ٍ ‫عب‬ ‫ع ْن اب ِْن ا‬ ‫ا‬
)‫ (رواه الجماعة إَل ابن ماجه‬.‫ِإهاابا اها فادابا ْغت ُ ُموهُ فاا ْنتافا ْعت ُ ْم ِب ِه فاقاالُوا ِإنه اها ام ْيت اةٌ فاقاا ال ِإنه اما اح ُر اُم أ ا ْكلُ اها‬

”Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Maula Maimunah diberi sedekah seekor kambing, lalu
kambing itu mati, kemudian lewatlah Rasul saw. Lalu ia bersabda: “Mengapa kamu tidak
mengambil kulitnya, kemudian kamu samak, lalu kamu memanfa’atkannya? Mereka
menjawab: Sesungguhnya itu bangkai. Ia bersabda: Yang diharamkan itu hanya
memakannya.” (HR Jama’ah, kecuali Ibnu Majah)

Dalil itu menunjukkan meskipun kulit bangkai itu suci dengan disamak, tapi tidak halal
dimakan.

5. Kencing bayi yang belum makan apa-apa kecuali ASI

Syafi’iyyah dan Hanabilah menetapkan bahwa sesuatu yang terkena kencing atau
muntah bayi laki-laki yang belum makan selain ASI (sebelum 2 tahun), meskipun itu najis tapi
dicukupkan dengan memercikannya. Sementara untuk bayi perempuan perlu dicuci.
Sebagaimana hadist Nabi saw.:

10
Thaharah-Kelompok 6
)‫ (رواه أحمد‬.‫ضح با ْو ِل ْالغُ اَل ُِم‬ ِ ‫س ُل با ْو ُل ْال اج‬
‫اريا ِة اويُن ا‬ ‫إِنه اما يُ ْغ ا‬

“Dicuci kencing bayi perempuan, dan diperciki kencing bayi laki-laki.” (HR. Ahmad)

Sedangkan Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah hanya menyebutkan cara


membersihkan kencing bayi laki-laki, yaitu dengan memercikinya sampai basah, berdasarkan
hadist nabi saw.:

‫سله ام فاأاجْ لا ا‬
ُ ‫سه‬ ‫علا ْي ِه او ا‬ ‫صلهى ه‬
‫َّللاُ ا‬ ‫َّللاِ ا‬ ‫اُم إِلاى ارسُو ِل ه‬ ‫ِير لا ْم ياأ ْ ُك ْل ه‬
‫الطعا ا‬ ٍ ‫صغ‬ ‫ص ٍن أانه اها أاَت اْتْ بِاب ٍْن لا اها ا‬ ‫ْت مِ حْ ا‬ ِ ‫ع ْن أ ُ ُِم قاي ٍْس بِ ْن‬
‫ا‬
ُ ‫ض احه ُ اولا ْم اي ْغ ِس ْله‬
‫ا‬ ‫ن‬
‫ا‬ ‫ا‬ ‫ف‬ ٍ‫اء‬‫م‬ ‫ب‬
‫ا ِا‬‫ا‬‫ع‬‫ا‬ ‫د‬‫ا‬ ‫ف‬ ‫ه‬
ِ ‫ب‬ ‫و‬
ِ ْ ‫ا‬ ‫ث‬ ‫ى‬‫ا‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ل‬
‫ا‬
‫ِ ا ا‬‫ا‬‫ب‬‫ا‬ ‫ف‬ ‫ه‬
ِ ‫ر‬ ْ‫ج‬ ِ‫ح‬ ‫ِي‬ ‫ف‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ل‬‫س‬
‫ا ا ا ا‬‫و‬ ‫ه‬
ِ ‫ي‬
ْ ‫ا‬ ‫ل‬‫ع‬ ُ ‫ه‬
‫َّللا‬ ‫ى‬ ‫ه‬ ‫ل‬‫ص‬‫ِ ا‬ ‫ه‬
‫َّللا‬ ُ
‫ل‬ ‫و‬ ‫س‬
ُ ‫ار‬

Dari Ummu Qais binti Muhshan ra. “bahwa ia bersama-sama anaknya laki-laki yang
masih kecil dan belum pernah makan makanan, telah datang kepada Rasulullah. Lalu Nabi
mendudukkan anak tadi di atas pangkuannya: tiba-tiba anak itu kencing pada pakaian beliau:
kemudian beliau meminta air, lalu dipercikkan dan tidak dicucinya.” (HR. jama’ah ahli
hadist)

Hanafiyah dan Malikiyah menyatakan najisnya kencing dan muntah anak kecil laki-
laki atapun perempuan, dan wajib mencucinya berdasarkan keumuman perintah hadist
membersihkan dari kencing.

”Bersihkanlah diri kalian dari kencing, karena kebanyakan azab kubur itu
(disebabkan) olehnya.” (HR. Daruqutni)

Malikiyah berpendapat: Dimaafkan pakaian atau badan yang terkena kencing atau
kotoran bayi, baik itu ibunya sendiri maupun orang lain jika ia telah berhati-hati untuk
menjauhkannya. Tetapi jika kotor disunahkan mencucinya.

6. Kencing dan kotoran dari hewan yang dimakan dagingnya

Dalam hal ini ada dua pendapat: Pertama,Malikiyah dan Hanabilah berpendapat suci.
Malikiyah mengecualikan hewan yang memakan atau meminum barang yang najis, maka
kotorannya adalah najis.

Demikian juga kencingnya semua hewan, hukumnya mengikuti hukum dagingnya.


Maka kencing hewan yang haram dimakan adalah najis, kencing hewan yang halal dimakan
adalah suci, dan kencing hewan yang makruh dimakan adalah makruh.

Mereka beralasan bahwa Rasulullah membolehkan suku ‘Urainah meminum kencing


dan susu unta.

‫سله ام ِبلقاحٍ اوأ ا ام ار ُه ْم أ ا َْن اي ِْخ ُر ُجوا‬


‫علا ْي ِه او ا‬ ‫صلهى ه‬
‫َّللاُ ا‬ ُ ‫ع ْك ٍل اأوقاال ع اُر ْيناة قدموا فاجتووا ْال امدِيناةا فاأ ا ام ار لا ُه ْم ار‬
‫سو ُل ه‬
‫َّللاِ ا‬ ُ ‫طا مِ ْن‬ ً ‫ع ْن أان ٍاس أ ا هَن ار ْه‬ ‫ا‬
‫فايا ْش اربُوا مِ ْن أاب اْوا ِل اها اوأ ا ْلباانِ اها‬

“Dari Anas bin Malik, bahwa satu kaum dari suku Uklin, atau Anas mengatakan suku
Urainah, mereka datang ke Madinah lalu sakit, kemudian Nabi saw. memerintahkan mereka
membawa unta-unta perahan dan memerintahkan mereka agar keluar (dari Madinah),
kemudian minum air kencing dan air susunya.” (HR Ahmad, Bukhari dan Muslim)

11
Thaharah-Kelompok 6
‫صلُّوا فِي‬
‫البِ ِل فا ا‬ ‫ض ْالغان ِام اوأ ا ْع ا‬
ِ ْ ‫طاَنا‬ ‫ص اَلة ُ فالا ْم َت ِاجد ُوا إِ هَل ام ارابِ ا‬ ‫سله ام إِذاا اح ا‬
‫ض ارتْ ال ه‬ ‫علا ْي ِه او ا‬ ‫صلهى ه‬
‫َّللاُ ا‬ ُ ‫ع ْن أابِي ه اُري اْرة ا قاا ال قاا ال ار‬
‫سو ُل ه‬
‫َّللاِ ا‬ ‫ا‬
)‫ (رواه البِخاري‬.‫البِ ِل‬ ْ
ِ ‫اَن‬ ‫ا‬ ‫ا‬
ِ ‫صلوا فِي أ ْعط‬ ُّ ُ ‫ا‬
‫ض الغان ِام اوَل َت ا‬ْ ِ ِ‫ام اراب‬

“Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. bersabda: Apabila telah datang waktu
shalat, lalu kalian belum mendapatkan (tempat shalat) kecuali di tempat ternak kambing dan
pemberhentian unta, maka shalatlah di tempat ternak kambing, dan jangan kalian shalat di
tempat pemberhentian unta.” (HR. Bukhari)

Bolehnya shalat di tempat ternak kambing menunjukkan sucinya kotoran dan kencing
kambing. Dan dianalogikan hewan lainnya yang halal dimakan.Ibnu Taimiyah mengatakan:
“Tidak seorangpun dari para sahabat yang menyatakan kenajisan binatang yang halal dimakan
dagingnya.”

Pernyataan yang menyatakan kenajisannya merupakan pendapat baru. Sedangkan


mencuci kotoran tersebut hanyalah merupakan usaha untuk membersihkannya saja.

Kedua, Hanafiyah dan Syafi’iyyah berpendapat najis secara mutlak.

Hanya saja Hanafiyah berpendapat bahwa kencing hewan yang halal dimakan adalah
najis mukhaffafah (ringan), maka boleh shalat bagi seseorang yang terkena najis itu
seperempat pakaian. Sedangkan kotoran kuda dan sapi adalah najis mughaladzah (berat),
seperti halnya kotoran hewan yang tidak halal dimakan, karena Rasulullah saw membuang
kotoran itu dan mengatakan itu kotor atau najis.

Sebagaimana hadist dari Abu Hurairah ra.

‫ار فا او اجدْتُ اح اج اري ِْن او ْالت ا ام ْسْتُ الثهال ا‬


ُ‫ِث فالا ْم أ ا ِجدْه‬ ‫سله ام ْالغاائِ ا‬
ٍ ‫ط فاأ ا ام ارنِي أ ا َْن آَتِياهُ بِث ا اَلث ا ِة أاحْ اج‬ ‫علا ْي ِه او ا‬ ‫صلهى ه‬
‫َّللاُ ا‬ ‫ي ا‬ ُّ ِ‫أاَت اى النهب‬
)‫ (رواه البِخاري وابن ماجه وابن خزيمة‬.‫س‬ ٌ ‫الر ْوثاةا اوقاا ال اهذاا ِر ْك‬ ‫فاأ ا اخذْتُ ار ْوثاةً فاأاَت ا ْيتُهُ ِب اها فاأ ا اخذا ْال اح اج اري ِْن اوأ ا ْلقاى ه‬

Nabi SAW pernah buang air besar, lalu beliau menyuruhku membawakan tiga batu
untuk beliau. Akan tetapi, aku hanya mendapat dua batu saja. Selanjutnya aku mencari batu
yang ketiga, namun tidak juga mendapatkannya, lalu aku mengambil kotoran dan aku
membawanya kepada beliau. Maka beliau hanya mengambil dua batu saja dan membuang dua
kotoran tersebut seraya berkata: ini adalah najis.Dalam riwayat yang lain ditambahkan
dengan lafadz sebagai berikut: “Sesungguhnya itu adalah najis, karena merupakan kotoran
keledai.”

Mereka membantah tentang perintah Nabi saw. untuk minum air kencing unta, karena
itu sekedar untuk obat, sedangkan berobat dengan barang yang najis itu boleh ketika tidak ada
sesuatu yang suci.

7. Mayat dan sesuatu yang mengalir dari mulut orang yang tidur

Menurut Hanafiah, mayat itu najis, berdasarkan fatwa sebagian sahabat (Ibnu Abbas
dan Ibnu Zubair), seperti semua mayat.

Jumhur berpendapat, bahwa ia suci, karena Rasulullah saw. bersabda

12
Thaharah-Kelompok 6
ُ ‫إِ هَن ْال ُم ْسل اِم اَل يا ْن ُج‬
‫ البِخاري‬.‫س‬

“Sesungguhnya orang Islam itu tidak najis”. (HR. Bukhari)

Adapun air yang mengalir dari mulut orang yang tidur adalah suci, sebagaimana
dijelaskan Syafi’iyyah dan Hanabilah. Hanya saja Syafi’iyyah dan Malikiyah berpendapat: jika
keluar dari lambung seolah-olah berbau busuk dengan warna kuning seperti lendir yang keluar
dari lambung, maka najis. Tetapi jika bukan keluar dari lambung atau ragu apakah keluar dari
lambung atau bukan, maka suci.

Diceritakan dari Abu Hanifah bahwa sesuatu yang keluar dari lambung adalah suci.

Malikiyah menganggap yang termasuk suci adalah: Qalas (muntah), yaitu sesuatu yang
dikeluarkan lambung berupa air ketika lambung itu penuh, selagi itu belum menyerupai
perubahan salah satu sifat kotoran.

4. ISTINJAK
Istinjak adalah membersihkan kotoran yang keluar dari dua jalan, jalan depan (qubul)
dan jalan belakang (dubur), dengan menggunakan air, batu, daun, atau yang lainnya.
Berasal dari kata an-Naja’, artinya terlepas dari penyakit; arai dari an-Najwah yang
artinya: tanah tinggi; atau dari an-Najwu, artinya: suatu yang keluar dari dubur. Bersuci
semacam ini dalam syara’ disebut istinja’, karena orang yang beristinja’ berusaha melepaskan
diri dari penyakit dan berupaya menghilangkannya dari dirinya, dan pada umumnya berlindung
di balik gundukan tanah yang cukup tinggi dan semisalnya, supaya dapat menyelesaikan
pekerjaannya dengan tenang. Istinja’ hukumnya wajib, hal mana ditunjukkan oleh sabda
Rasulullah SAW, sebagaimana yang akan kita bahas nanti.
Istilah istinjak mempunyai padanan kata yang lain, seperti istijmar (karena
menggunakan batu kecil) atau istithabah (karena mengharumkan tubuhnya dengan
menghilangkan kotoran)
Istinjak dalam syariat Islam dihukumi sebagai suatu hal yang wajib. Para imam mazhab juga
sepakat akan hukum istinjak ini, kecuali Imam Abu Hanifah. Dasar yang dijadikan alasan
bahwa istinjak itu wajib adalah sabda Rasulullah SAW.
“Dan Rasulullah memerintahkan menggunakan tiga batu serta melarang
menggunakan kotoran binatang dan tulang” (HR Bukhari, Nasa’I, Abu Daud, Ibnu Majah,
dan Ahmad)
BAHAN YANG DIGUNAKAN UNTUK ISTINJAK
Bahan untuk beristinjak ialah air. Anas r.a. memceritakan; “Adalah Nabi s.a.w. apabila
keluar membuang air, aku akan bawakan untuknya satu bekas air untuk beliau beristinjak”.
Diharuskan juga menggunakan benda-benda kesat seperti batu, kertas dan sebagainya yang
boleh menanggalkan najis. Banyak hadis menceritakan Nabi s.a.w. beristinjak menggunakan
batu.
Menurut mazhab Syafi’ie, paling baik ialah menggabungkan kedua-duanya; iaitu menyapu
najis dengan benda kesat (tisu atau sebagainya), kemudian disusuli dengan membasuh dengan
air. Cara ini adalah terbaik kerana dapat menjimat air dan mengelak tangan dari terlalu banyak
menyentuh najis. Harus menggunakan salah satu cara iaitu dengan air sahaja atau dengan benda
kesat sahaja, namun beristinjak dengan air adalah lebih afdhal kerana lebih menyucikan.
Beristinjak sunat menggunakan tangan kiri. Beristinjak dengan tangan kanan adalah
makruh, kecuali tidak dapat dielakkan. Kata Nabi s.a.w.; “Sesiapa dari kamu kencing, janganlah

13
Thaharah-Kelompok 6
ia memegang zakarnya dengan tangan kanannya dan janganlah juga ia beristinjak dengan
tangan kanannya”.7
Namun jika hendak beristinjak dengan benda-benda kesat sahaja (tanpa menggunakan air),
mesti memenuhi syarat-syarat di bawah;
 Hendaklah dengan sekurang-kurangnya tiga kali sapuan, tidak boleh kurang darinya.
Salman r.a. menceritakan; “Nabi s.a.w. menegah kami dari beristinjak kurang dari tiga
batu (yakni tiga sapuan batu(”.[Jika tiga kali sapuan tidak mencukupi, wajib ditambah dan
sunat tambahan itu ganjil (yakni lima, tujuh dan sebagainya).
 Hendaklah najis tidak melepasi papan punggung atau hasyafah (yakni kepala zakar). Jika
najis meleleh melepasi kawasan tersebut, wajib istinjak dengan air.
 Hendaklah sebelum najis kering. Jika najis telah kering, wajib istinjak dengan air.
 Bahan yang digunakan hendaklah bersih dan kering. Sifatnya hendaklah boleh
meanggalkan najis, iaitu tidak terlalu licin atau terlalu kasar kerana tujuan intinjak ialah
untuk menanggalkan najis, maka hendaklah bahan yang digunakan boleh memenuhi
tujuan tersebut.
 Bahan yang digunakan bukan dari makanan manusia atau jin seperti tulang. Kata Nabi
s.a.w.; “Janganlah kamu beristinjak dengan tahi binatang, dan juga dengan tulang kerana
ia adalah makanan saudara kamu dari kalangan jin”.8

ADAP MEMBUANG AIR BESAR

Jangan membuka aurat sebelum masuk ke dalam tandas. Apa yang selalu atau
kadang-kadang dilakukan oleh sebahagian dari kita hari ini Yaitu menyelak atau
mengangkat kain hingga nampak aurat sebelum masuk tandas adalah menyalahi Syarak.
Hukumnya adalah haram.
 Ketika memasuki tandas dahulukan kaki kiri dan sebelum melangkah masuk, bacalah
terlebih dahulu;

 Keluar dari tandas, dahulukan kaki kanan (Riwayat Imam Abu Daud, Tirmizi dan Ibnu
Majah
 Janganlah bercakap-cakap semasa di dalam tandas kecuali tidak dapat dielakkan.
Malah Nabi s.a.w. tidak menjawab salam ketika baginda sedang buang air. Ibnu Umar
menceritakan; “Seorang lelaki telah lalu berhampiran Nabi s.a.w. yang sedang
kencing. Ia memberi salam kepada baginda, namun baginda tidak memjawab
salamnya”.9

7
Riwayat imam tarmizi

8
Riwayat imam Bukari dari Abi Qatadah r.a
9
Riwayat Imam Muslim

14
Thaharah-Kelompok 6
 Jangan membawa masuk barang-barang yang terdapat nama Allah atau ayat al-Quran
atau sebagainya yang dimuliakan oleh agama.

 Jika terpaksa membuang air di tempat yang tidak mempunyai tandas (seperti di hutan
dan sebagainya), hendaklah menjaga adab-adab berikut selain dari adab-adab di atas
tadi;
a) Hendaklah mencari tempat yang jauh dari orang ramai.

b) Jangan mengadap ke arah qiblat atau membelakanginya.


c) Hendaklah mencari tempat yang sesuai. Elakkan dari buang air di jalan lalu lalang
orang ramai, tempat berteduh mereka, laluan air, di bawah pohon yang berbuah atau
sebarang tempat yang menjadi tumpuan orang ramai. Hal tersebut amat dilarang oleh
Nabi s.a.w. kerana mengundang laknat orang terhadap pelakunya.
d( Jangan buang air di air yang tenang. Jabir r.a. berkata; “Nabi menegah kencing di
air yang tenang
d) Jangan buang air di lubang yang telah tersedia kerana ia dikhuatiri didiami oleh
binatang atau jin. Abdullah bin Sarjis r.a. berkata; “Nabi s.a.w. melarang kencing ke
dalam lubang.10

5. WUDHU’
A. Pengertian dan Dasar Hukum Wudhu
1. Pengertian Secara Bahasa
Al Imam Ibnu Atsir Al-Jazary rohimahumullah (seorang ahli bahasa)
menjelaskan bahwa jika dikatakan wadhu’ (‫)ا ا ْل اوضُو ْء‬, maka yang dimaksud adalah air

10
Riwayat Imam Abu Daud

15
Thaharah-Kelompok 6
yang digunakan berwudhu. Bila dikatakan wudhu (‫)الُوضُو ْء‬, maka yang diinginkan di
situ adalah perbuatannya. Jadi, wudhu adalah perbuatan sedang wadhu adalah air
wudhu.[1]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Asy-Syafi’iy rohimahulloh, kata wudhu terambil dari
kata al-wadho’ah / kesucian (‫)ا ا ْل اوضُو ْء‬. Wudhu disebut demikian, karena orang yang
sholat membersihkan diri dengannya. Akhirnya, ia menjadi orang yang suci.”[2]
2. Pengertian Secara Syari’at
Sedangkan menurut Syaikh Sholih Ibnu Ghonim As-Sadlan Hafishohulloh:
‫ص ٍة فِى ال ه‬
ِ‫ش ْرع‬ ُ ‫صفا ٍة ام ِْخ‬
‫ص ْو ا‬ ‫ضاءِ اَْلا ْربا اع ِة ا‬
ِ ‫علاى‬ ‫ ا ا ْستاعْمِ ُل اماءٍ ا‬: ِ‫ام ْعناى ْال ُوض ُْوء‬
‫ط ُه ْو ٍر فِى اْْل ا ْع ا‬
Artinya: mak awudhu adalah menggunakan air yang suci lagi menyucikan pada
anggota-anggota badan yang empat (wajah, tangan, kepala dan kaki) berdasarkan tata
cara yang khusus menurut syariat”.[3]
Jadi definisi wudhu bila ditinjau dari sisi syariat adalah suatu bentuk
peribadatan kepada Alloh Ta’ala dengan mencuci anggota tubuh tertentu dengan tata
cara yang khusus.
Disyari’atkan wudhu ditegaskan berdasarkan 3 macam alasan:[4]
a. Firman Alloh dalam surat Al-Maidah ayat 6
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”.

b. Sabda Rosululloh
‫صَلاة ا ا ا احدُ ُك ْم إِذاا أاحْ دا ا‬
‫ث احتهى يات ااوضها اء‬ ‫َلايا ْقبا ُل هللاا ا‬
Artinya: ”Allah tidak menerima shalat salah seorang dia nataramu bila ia
berhadats, sehingga ia berwudhu”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

c. Ijma’
Telah terjalin kesepakatan kaum muslim atas disyari’atkannya wudhu
semenjak zaman Rosululloh hingga sekarang ini, sehingga tidak dapat disangkal lagi
bahwa ia adalah ketentuan yang berasal dari agama.

B. Rukun Wudhu
Dalam kitab Fathul Mu’in disebutjkan ada 6 hal yang menjadi rukun wudhu:[5]
1. Niat fardhunya wudhu ketika pertama kali membasuh wajah
2. Membasuh wajah
3. Membasuh kedua tangan dari telapak dan lengan sampai siku
4. Membasuh sebagian kepala
5. Membasuh kedua kaki beserta jkedua mata kaki
6. Tertib
Dan terdapat perbedaan pendapat ketika menyebutkan rukun wudhu. Ada yang
menyebutkan 4 saja, sebagaimana yang tercantum dalam ayat Qur’an, namun ada juga yang
menambahinya dengan berdasarkan dalil dari sunnah.[6]
4 (empat) rukun menurut Al-Hanafiyah mengatakan bahwa rukun wudhu itu hanya ada
4 sebagamana yang disebutkan dalam Nash Qur’an.
7 (tujuh) rukun menurut Al-Malikiyah menambahkan dengan keharusan niat, ad-dalk
yaitu menggosok anggota wudhu, sebab menurut beliau sekedar mengguyur anggota wudhu
dengan air masih belum bermakna mencuci/membasuh, juga beliau menambahkan kewajiban
muwalat.

16
Thaharah-Kelompok 6
6 (enam) rukun menurut As-Syafi’iyah menambahnya dengan niat pembasuhan dan
usapan dengan urut, tidak boleh terbolak balik. Istilah yang beliau gunakan adalah harus tertib.
7 (tujuh) rukun menurut Al-Hanabilah mengatakan bahwa harus niat, tertib dan
muwalat, yaitu berkesinambungan. Maka tidak boleh terjadi jeda antara satu anggota dengan
anggota yang lain yang sampai membuatnya kering dari basahnya air bekas wudhu.

C. Syarat-syarat Wudhu
1. Dikerjakan dengan air mutlaq
2. Mengalirkan air di atas anggota yang dibasuh
3. Tidak ada sesuatu pada anggota yang dapat mengubah air, yaitu perubahan yang merusakkan
nama air mutlak itu
4. Pada anggota wudhu, tidak ada sesuatu yang menghalangi antara air dan anggota yang dibasuh
5. Dilakukan sesudah masuk waktu shalat bagi orang yang selalu berhadats

D. Sunah-sunah Wudhu
1. Membaca basmalah sebelum mengambil air untuk membasuh muka sambil niat berwudhu
2. Membasuh kedua telapak tangan sampai pergelangan, dicuci dengan air yang suci 3x (tiga kali)
3. Berkumur
4. Beristisyaq (menghirup air ke dalam hidung)
Dan sunnah mengeraskan berkumur dan beristinsyaq bagi yang tidak puasa, dan makruh bagi yang
puasa. Berkumur dan istinsyaq dilakukan 3x.
5. Istinsaar (membuang air dari hidung) dengan meletakkan jari telunjuk dan ibu jari tagan kiri di
atas hidung. Jika dalam hidung terdapat kotoran yang keras, hendaklah dikeluarkan dengan jari
kelingking tangan kiri.
6. Mengusap kedua telinga bagian luar atau dalam hingga gendang telinga
Dalam mengusap telinga harus menggunakan air yang babru, bukan air yang habis digunakan mengusap
kepala.
7. Merenggangkan jari-jari kedua tangan dan kaki jika menghalangi masuknya air ke sela-sela jari.
Caranya pada tangan ialah meletakkan bagian dalam pada salah satu telapak tangan di atas telapan
tangan yang lain sambil memasukkan jari tanganpada tangan lain. Dan caranya pada kaki adalah
meletakkan jari-jari tangan kiri diantara jari kaki, dimulai dari jari kelingking kaki kanan dan berakhir
pada kelingking kiri pada bagian bawah kaki.
8. Menggerakkan cincin agar air sampai pada bagian bawah jari
9. Mendahulukan anggota kanan ketika membasuh kedua tangan dan kaki
10. Memulai dengan ujung anggota yaitu membasuh wajah mulai bagian atas sampai bawah dan
membasuh kedua tangan mulai jari-jari sampai siku, mengusap kedua kepala mulai dari tempat yang
biasa ditumbuhi rambut sampai bagian atas kepala, dan membasuh kedua kaki dari ujung jari-jari
sampai kedua mata kaki
11. Melebihkan basuhan pada anggota yang wajib seperti wajah, tangan, kaki
12. Membasuh dua atau tiga kali dalam segala hal, kecuali bila sudah merata, bila merata pada basuhan
kedua, maka basuhan kedua itu dianggap kali pertama. Bila merata pada basuhan kali ketiga, maka
semua basuhan dianggap kali pertama, dan hendakllah diteruskan dengan basuhan kali kedua dan
ketiga.
13. Menghadap kiblat
14. Langsung yaitu beruntun antara anggota-anggota wudhu tidak terdapat jarak yang lama, sehingga
anggota yang telah dibasuh mengering kembali.
15. Membasuh tangan hingga pergelangan pada saat akan mulai wudhu. Ini biasa dilakukan Rosulullah
SAW, sunnah ini sangat sesuai dengan fitrah dan akal. Sebab biasanya pada tangan itu ada debu atau

17
Thaharah-Kelompok 6
yang serupa dengan debu. Maka sudah harusnya, kamu dimulai dengan membersihkannya sehingga
kemudian bisa digunakan untuk mencuci muka dan anggota tubuh lainnya.
Dan yang sangat ditekankan untuk melakukan itu adalah saat bangun dari tidur. Sesuai hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim.
.ُ‫ث فاِإِنهه ُ َلاياد ِْرى أايْنا بااَت اْتْ يادُه‬ ِ ْ‫ظ أ ا احدُ ُك ْم مِ ْن ن ْاومِ ِه فاَلا يُ ْدخِ ْل ياداهُ فِى ا‬
ً ‫النااءِ احتهى يا ْغ ِسلا اها ثاَلا‬ ‫إِذا ا ْست ا ْيقا ا‬
“Jika seorang diantara kalian bangun dari tidur, maka janganlah ia memasukkan tangannya ke dalam
wadah air hingga dia mencucinya sebanyak 3x. Sebab dia tidak tahu di tempat mana tangannya berada
sebelumnya.”
16. Menyela-nyela jenggot yang lebat
17. Memulai dari bagian kanan. Hendaknya ia mulai mencuci tangan kanan sebelum yang kiri, mencuci
kaki kanan sebelm yang kiri.
18. Irit dalam menggunakan air dan jangan sampai melakukan pemborosan, namun jangan sampai
terlalu kikir

E. Hal-hal yang Membatalkan Wudhu


1. Kencing dan Buang Air Besar
Hal yang membatalkan wudhu dan disepakati bersama adalah keluarnya kencing dan tinja dari
seseorang. Tentang batalnya wudhu karena kencing dan tinja adalah sesuatu yang sudah sangat
diketahui dan disepakati dan sudah jelas tidak memerlukan dalil untuk menjelaskannya.
2. Madzi dan Wadi
Termasuk yang membatalkan yang keluar dari kemaluan depan seorang laki-laki adalah madzi dan
wadi.
Madzi adalah sesuatu yang keluar dari penis seseorang lelaki setelah dia bercumbu, melihat atau
berpikir mengenai seks. Dia adalah air yang kental yang keluar dengan cara mengalir dan tidak
memancar laksana mani.
Sedangkan wadi adalah air berwarna putih yang keluar setelah buang air kecil.
Keduanya membatalkan wudhu laksana kencing, dan tidak ada kewajiban apa-apa lagi bagi seseorang
yang keluar madzi dan wadi kecuali istinja’ dan wudhu.
3. Keluarnya Angin dari Anus
Dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim disebutkan dari Abu Hurairah, bahwa Rosululloh SAW
bersabda:
‫ث احتهى يات ااوضها اء‬ ‫صَلاة ا ا ا احدُ ُك ْم إِذاا أاحْ دا ا‬
‫َلايا ْقبا ُل هللاا ا‬
Artinya: Alloh tidak menerima shalat salah seorang dia nataramu bila ia berhadats, sehingga ia
berwudhu”.
Abu Hurairah menafsirkan kata “hadats”, di sini ada orang bertanya kepadanya: “apa yang dimaksud
dengan hadats”? Dia berkata: kentut yang tidak ada suaranya dan kentut yang ada suaranya.
Dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Zaid dari Ashim Al-Anshari, bahwa dia
mengadukan sesuatu kepada Rosululloh tentang seseorang yang ragu merasakan sesuatu pada saat
shalat yakni dia merasakan ada angin keluar dari anusnya, maka Rosululloh SAW bersabda:
‫ص ْوَتًا أ ا ْو يا ِجدا ِر ْي ًحا‬
‫ف احتهى يا ْس ام اع ا‬ ْ ‫ص ِر‬ ‫َلايا ْنفات ِْل أ ا ْو َلا يا ْن ا‬
“Janganlah dia berhenti (berpaling( hingga dia mendengar bunyi atau dia mencium bau”.
Artinya, dia masih tetap berada dalam keadaan suci dan dalam wudhunya, karena itu adalah keyakinan,
dan keyakinan tidak hilang disebabkan keraguan, lain halnya jiak dia mendengar suara kentutnya atau
mencium baunya.
4. Tidur Berat
Hal yang disepakati membalatkan wudhu adalah tidur berat dan panjang. Sebagaimana tidurnya
seseorang yang tidur di malam hari, kemudian dia bangun pagi.
Sedangkan yang berupa kantuk, maka dia tidak membatalkan wudhu, sebab itu adalah tidur ringan.

18
Thaharah-Kelompok 6
ُ ‫ع ْهد َِِن يا ْنتاظِ ُر ْوَنا ْال ِعشاا اء احتهى َتاحْ فِقا ار ُؤ‬
‫س ُه ْم ث ُ هم‬ ‫علاى ا‬ ‫ُم ا‬.‫س ْو ُل هللاِ ص‬
ُ ‫ص احابُ ار‬ْ ‫ ( اكاَنا أ ا‬:‫ع ْنهُ قاالا‬
‫ي هللاُ ا‬ ‫ض ا‬ ِ ‫ع ْن أان ِاس اب ِْن امالِكِ ار‬‫ا‬
ُ
‫صلهُ فِو ُم ْسل ٍِم‬ ‫ا‬ ْ ُ ‫ص هح احهُ الد ا‬
ْ ‫هار قطنِى اوا‬ ْ ‫ا‬
‫ضؤَُنا (أخ ار اجهُ أب ُْو دا ُاودا او ا‬ ‫ا‬ ُّ
‫صل ْوَنا اوَل يات ااو ه‬ ‫يُ ا‬

5. Bersentuhan laki-laki dan perempuan yang boleh nikah yang sudah baligh dan berakal, dan tidak
ada penghalang keduanya.

6. Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan tanpa ada penghalang

6. MANDI WAJIB DAN CARA MANDI WAJIB


Dalam bahasa arab, mandi berasal dari kata Al-Ghuslu, yang artinya mengalirkan air
pada sesuatu. Menurut istilah, Al-Ghuslu adalah menuangkan air ke seluruh badan dengan tata
cara yang khusus bertujuan untuk menghilangkan hadast besar. Mandi wajib dalam islam
ditujukan untuk membersihkan diri sekaligus mensucikan diri dari segala najis atau kotoran
yang menempel pada tubuh manusia.
 Perkara perkara yang mewajibkan mandi :

1) Keluar mani yang disertai syahwat, baik dalam keadaan tidur maupun terjaga.

Ini sesuai dengan firman Allah SWT., (Q.S AL-MAIDAH :6)

‫اوإِ َْن ُك ْنت ُ ْم ُجنُبًا فا ه‬


‫اط هه ُروا‬
“Dan apabila kamu junub, maka bersucilah (mandi)”

Juga berdasarkan sabda Rasulullah saw.,

“Air (mani) laki-laki kental dan warnanya putih, sedangkan air (mani) wanita cair dan
warnanya kuning.” (Hr. Muslim, Nasa’I dan Ibnu Majah(

Bila mani keluar maka harus mandi wajib, tanpa memandang cara keluarnya, apakah
melalui hubungan badan (jimak), mimpi, maupun masturbasi (istimna’(. Ini merupakan
pendapat seluruh ulama fiqih. Mereka berdalil dengan hadits Rasululah saw.,

“Sesungguhnya air (mandi) itu disebabkan oleh keluarnya air (mani).” (Hr. Muslim dan
Abu Dawud)
Artinya, keluar mani mengharuskan mandi dengan air.

Ummu Salamah meriwayatkan, “Ummu Sulaim, istri Abu Thalhah, datang kepada Nabi
saw, dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu untuk menyatakan
kebenaran. Apakah wanita harus mandi karena mimpi?’ Rasulullah saw, menjawab,”Ya,
bila dia menemukan air.” (Hr. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi(

Hadits diatas menunjukkan bahwa wanita dapat bermimpi seperti laki-laki dalam arti
bermimpi melakukan hubungan badan. Jika dia bangun tidur dan melihat mani di
pakaiannya, maka dia wajib mandi.

Catatan

19
Thaharah-Kelompok 6
Pertama, bila mani yang keluar dari wanita tanpa disertai syahwat, melainkan karena sakit
dan alasan lainnya, maka dia tidak wajib mandi. Ini merupakan pendapat kebanyakan
ulama (jumhur(. Mereka tidak sependapat dengan Imam Syafi’I dan Ibnu Hazm. Dalil yang
menguatkan pendapat jumhur adalah peryataan Rasulullah kepada Ali ra.,

“Jika engkau mengeluarkan mani dengan memancar kuat, maka mandilah.”(Hr. Abu
Dawud, Nasa’I dan Ahmad(

Air mani tidak keluar dengan memancar kecuali bila disertai syahwat, seperti yang
dinyatakan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

“(Manusia) diciptikan dari air yang memancar”(Ath-Thariq:6)

Kedua, jika wanita bermimpi melakukan hubungan badan, tapi ketika bangun tidak melihat
mani, maka dia tidak wajib mandi.
Ketiga, jika wanita bangun tidur dan melihat air mani, padahal dia merasa tidak mimpi
melakukan hubungan badan, maka tetap wajib mandi.

2) Berhubungan badan walaupun tanpa disertai keluarnya mani.

Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra., bahwa nabi saw bersabda,

“Apabila seorang laki – laki telah duduk dalam posisi diantara empat anggota tubuh
wanita, lalu melakukan hubungan badan dengannya, maka wajiblah mandi” (Hr. Bukhari,
Muslim, Abu Dawud, Nasa’I dan Ibnu Majah(

‘Aisyah ra., meriwayatkan, “Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw, tentang
seorang suami yang menyetubuhi istrinya tapi tidak mengeluarkan mani (ejakulasi), apakah
keduanya wajib mandi?” Saat itu ‘Aisyah sedang duduk, Rasulullah saw menjawab, “Aku
juga pernah mengalami hal itu bersama ini (‘Aisyah(, kemudian kami mandi.” (Hr. Muslim(

Hadits-hadits diatas dan lainnya menguatkan pendapat kebanyakan ulama bahwa bila
batang kemaluan laki-laki telah masuk ke dalam kemaluan wanita, maka keduanya wajib
mandi, baik mengeluarkan mani (mengalami ejakulasi) maupun tidak.
Imam An-Nawawi menyatakan dalam kitab Syarh Muslim, vol. 1 hlm. 650, “Sekarang,
tidak ada yang berbeda pendapat tentang masalah ini. Memang pada masa lalu, sebagian
sahabat dan ulama sesudah mereka sempat berselisih, tapi kemudian terjadi ijma’
(kesepakatan( sesuai yang telah kami terangkan.”

Keterangan Tambahan
Jika seorang suami mengajak istrinya melakukan hubungan badan, maka sang istri tidak
boleh menolak dengan alasan tidak ada air untuk mandi. Dalilnya adalah sabda Rasulullah
saw.,

20
Thaharah-Kelompok 6
“Jika seorang suami mengajak istrinya melakukan hubungan badan lalu dia menolak
memenuhu ajakannya, maka para malaikat akan melaknatnya hingga pagi.” (Hr. Bukhari
dan Muslim)

Syaikhul Islam (Ibnu Tarmiyah) menyatakan dalam Majmu’ Al-Fatawa, vol 21 hlm 454,
“Wanita tidak boleh menolak ajakan suaminya untuk melakukan hubungan badan
melainkan harus menerimanya. Jika kondisi normal, maka dia harus mandi. Namun, jika
tidak ada air, maka cukup melakukan tayammum lalu shalat.”

3) Setelah berakhirnya masa haid dan nifas.

Dalilnya adalah hadits yang diriwiyatkan oleh ‘Aisyah ra, bahwa Nabi saw, berkata kepada
Fathimah binti Abu Huraisy,

“Jika masa haid tiba, maka tinggalkanlah shalat, dan jika masa haid berakhir, maka
mandilah dan kerjakanlah shalat. (Hr. Bukhari dan Muslim)

Para ulama sepakat (ijma’( bahwa hukum nifas sama dengan hukum haid.

4) Wanita kafir yang hendak masuk Islam.

Dalilnya adalah hadits yan diriwiyatkan oleh Qais bin ‘Ashim bahwa ketika dia masuk
Islam, Nabi saw. menyuruhnya mandi dengan air yang dicampur dengan daun pewangi.

5) Saat meninggal dunia (wajib dimandikan)

Niat menjadi syarat sah mandi besar, karena mandi besar adalah ibadah yang ditetapkan oleh
syariat, sehingga menjadi syarat untuk mengerjakannya.

 Rukun Mandi
Rukun mandi wajib adalah membasahi seluruh badan, karena hakikat mandi wajib adalah
menuangkan air pada seluruh bagian badan hingga mengenai rambut dan kulit. Dan, tidak
ada kewajiban selain itu. Ini berdasarkan jawaban Rasulullah saw. kepada wanita yang
bertanya apakah dia harus menguraikan rambutnya yang dikepang.

“Engkau cukup menuangkan air ke kepala tiga kali lalu membasahi seluruh badanmu dan
bersuci.”(Hr. Muslim)

 Cara Mandi Junub


Ada beberapa hadits yang menerangkan cara mandi junub. Di antaranya adalah hadits
‘Aisyah ra., “Apabila Nabi saw. mandi junub, beliau memulainya dengan membasuh kedua
tangan, dilanjutkan dengan wudhu seperti wudhu untuk shalat. Setelah itu, beliau
memasukkan jari-jari tangannya ke dalam air lalu membasahi pangkal rambut. Beliau
melanjutkan dengan menuangkan air pada kepala tiga kali lalu membasahi seluruh kulit
(tubuhnya(.” (Hr. Bukhari dan Muslim(
Dapat disimpulkan bahwa cara mandi junub yang dianjukan (mustahab) adalah seperti
berikut.

21
Thaharah-Kelompok 6
1. Membasuh kedua tangan tiga kali.
2. Membasuk kemaluan dengan tangan kiri tanpa harus memasukkan air ke dalam
kemaluan, karena seaindainya diharuskan, maka Nabi saw. pasti menerangkannya.
3. Berwudhu seperti wudhu untuk shalat. Tapi boleh mengakhirikan basuhan pada
kedua kaki hingga selesai mandi, jika menggunakan air dari bak dan semisalnya.
4. Membasahi kepala tiga kali hingga mencapai pangkal rambut. Jika rambutnya
dikepang, maka tidak perlu menguraikannya.
5. Membasahi seluruh badan dengan memulai bagian kanan dan dilanjutkan dengan
bagian kiri.

Keterangan Tambahan
Cara mandi diatas hukumnya mustahab (dianjurkan), karena diambil dari
gabungan hadits-hadits Rasulullah saw. yang berkenaan dengannya.

 Cara Mandi Setelah Haid atau Nifas


Mandi besar saat setelah haid atau nifas sama dengan mandi besar karena junub. Hanya
saja ada beberapa tambahan.
1. Dianjurkan memakai sabun dan semisalnya. Ini berdasarkan peintah Rasulullah
saw. kepada Asma’ ketika ia bertanya tentang cara mandi setelah haid, “Seorang
diantara kalian hendaknya menyiapkan air dan sidr (bahan pewangi), lalu
bersucilah dengan sebaik mungkin.” (Hr. Bukhari dan Muslim(
2. Dianjurkan menguraikan kepangan rambut saat mandi wajib setelah haid untuk
benar-bena memastikan air menyentuh akar rambut. ‘Aisyah ra. meriwayatkan
bahwa ketika dia hendak mandi setelah haid, Rasulullah saw. berkata kepadanya,
“Uraikan (kepangan) rambutmu lalu mandilah” (Hr. Ibnu Majjah)
3. Seusai mandi, dianjurkan mengambil kain yang telah diolesi minyak wangi lalu
digunakan untuk mengusap bekas darah sampai baunya hilang. Ini berdasarkan
hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah ra. bahwa ketika Nabi saw. ditanya tentang cara
mandi setelah haid, beliau menjelaskannya lalu berkata, “Lalu ambillah sikat yang
telah diolesi minyak wangi (kasturi( dan bersihkanlah dengannya.” Wanita itu
berkata, “Bagaimana caranya?” Beliau berkata lagi, “Bersihkanlah dengannya.”
Wanita itu masih juga belum mengerti, “Bagaimana caranya.” Beliau berkata lagi,
“Subhanallah, bersihkanlah dengannya.” Maka, aku menarik wanita itu dan
berkata, “Gunakan sikat itu untuk memberihkan berkas darah”

22
Thaharah-Kelompok 6
BAB III
PENUTUP
I. KESIMPULAN

Dalam hukum Islam juga disebutkan, bahwa segala seluk beluknya termasuk bagian
ilmu dan amalan yang penting. Macam – macam Thaharah ada empat yaitu pertama,
tentang wudhu yaitu menghilangkan najis dari badan. Kedua, tentang bertanyamum yaitu
pengganti air wudhu disaat kekeringan. Ketiga, mandi besar yaitu menyiram air keseluruh
tubuh disertai niat. Keempat, Istinja’ yaitu membersihkan kotoran yang keluar dari salah
satu dua pintu keluarnya kotoran itu.
Bersuci bisa juga menggunakan alat – alat bantu yang dianjurkan oleh Rasullullah
SAW yaitu Air, tanah, dan masih banyak lagi yang bisa digunakan. Macam – macam hadas
juga terbagi menjadi dua ialah hadas kecil yaitu yang disebabkan oleh keluar sesuatu dari
dubur dan kubul, sedangkan hadas besar yaitu yang disebabkan oleh keluarnya air mani
dan bersetubuh. Dan macam – macam Najis terbagi menjadi tiga yaitu Najis Mukhofafah,
Najis Mutawashitho, dan Najis Mogholladhoh.

II. SARAN

Setelah kami kelompok 6 selaku penulis mencoba sedikit menguraikan hal-hal yang
berkaitan dengan Thaharah maka dari itu kami sangat berharap dengan adanya makalah ini
para pembacaselalu diberikan rah mat oleh Allah SWT. Karena pada dasarnya hidayah
tidak akan pernah diberikan oleh Allah SWT. Kepada hambanya jika hambanya tidak mau
memiliki sifat kesadaran. Melalui kesadaran itulah seseorang akan diberikan hidayah oleh
Allah SWT.

Semoga para pembaca juga sadar akan pentingnya Thaharah, sehingga jika umat islam
sudah sadar akan pentingnya Thaharah sudah tentu mereka semua akan hidup sehat, serta
tidak asal-asalan dalam Thaharah

23
Thaharah-Kelompok 6
DAFTAR PUSTAKA

 Sobari, Asep,Lc. 2015. FIQIH SUNAH untuk WANITA. Jakarta: Al-I’tishom


Cahaya Umat.
 Drs. Fadloli. 1995. Agama Islam untuk Mahasiswa Politeknik. Bandung: Pusat
Pengembangan Pendidikan Politeknik.

[1] Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, An-Nihayah Fi Gharib Al-Hadits wa Al-Atsar,
Cet. 5 (Mesir: Jannatul Afkar, 2008), 428
[2] Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqulani, Fathul Baari Syarah Shahih Al-Bukhari, Cet I
(Jakarta Selatan, Pustaka Azam, 2001), 306
[3] Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar. Kitab Riasalah fi Al-Fiqh Al-Muyassar Cet. I
(riyadh: Madar Al-Wathoni Lin Nasyr, tt), 19
[4] Zainuddin bin Muhammad Al-Ghazaly Al Mailbary. Fatkhul Mu’in (Surabaya, Barul Al
Ilmi, tt), 5
[5] Drs. H. Ibnu Mas’ud, Drs. H. Zainal Abidin S. Fiqih Madzhab Imam Syafi’i (Bandung),
2007, 56
[6] Ibrahim Muhammad Al-Jamal. Fiqih Muslimah (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), 14-16
[7] Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Thaharoh, Jl. Cipinang Muara Raya No. 63 Jakarta Timur:
Pustaka Al-Kautsar, 2004, hal. 200-203
[8] Dr. Yusuf Al Quradhawi. Fikih Thaharah (Jln. Cipinang Muara Raya No. 63 Jakarta Timur:
Pustaka Al-Kautsar, 2004), 2007-231

24
Thaharah-Kelompok 6

Anda mungkin juga menyukai