Anda di halaman 1dari 30

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

1. Nama : Tn. AK

2. Umur : 20 Tahun

3. Jenis Kelamin : laki- laki

4. Alamat : Benteng

5. Pengantar : Ibu Kandung

6. Agama : Kristen Protestan

7. Status Pernikahan : Belum menikah

8. Tanggal masuk RS : 08 April 2019

9. Tanggal Keluar RS : -

10. Tanggal Pemeriksaan : 08 April 2019

II. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama

Nyeri pada perut.

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke RSUD Dr. M. Haulussy Ambon diantar oleh ibunya

dengan keluhan nyeri pada perut sejak satu hari yang lalu. Nyeri

disertai mual serta muntah setiap kali makan dan minum. Pasien juga

1
mengeluhkan sesak napas serta pusing. BAB dan BAK normal. Pasien

tidak merasakan demam.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Satu hari sebelum masuk RSUD Dr. M. Haulussy Ambon mengalami

kecelakaan motor dimana perut pasien terpukul pada setir motor.

4. Riwayat Pengobatan

Pasien sempat menjalani pengobatan saat kecelakaan. Namun tetap

merasakan keluhan yang sama. Pasien mengaku diberikan obat anti

nyeri, namun pasien lupa nama obat yang diberikan pada RS

sebelumnya.

5. Riwayat Penyakit dalam Keluarga

Tidak ada.

III. PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan Umum : Tampak sakit berat

2. Kesadaran : Kompos mentis

3. Tanda-tanda vital

a. Tekanan darah : 130/80 mmHg

b. Nadi : 148 x/menit

c. Pernafasan : 28 x/menit

d. Suhu : 36.7oC

e. SpO2 : 97%

2
4. Status Generalis

a. Kepala : Normocephal

b. Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

c. Telinga : Ottorehea -/-

d. Hidung : Rhinore -/-

e. Tenggorokan : T1/T1, Hiperemis (-)

f. Mulut : Bibir kering (+), sianosis (-), pucat (-)

g. Leher : Pembesaran kelenjar getah bening -/-

pembesaran kelenjar tiroid -/-

5. Thorax

a. Paru

1) Inspeksi : Simetris

2) Palpasi : Teraba focal fremitus diseluruh lapang

paru.

3) Perkusi : Sonor

4) Auskultasi : Vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing

(-/-)

b. Jantung

1) Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

2) Palpasi : Ictus Cordis teraba pada ICS V

3) Perkusi : Redup

4) Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni – regular, murmur

(-), gallop (-)

3
6. Abdomen

a. Inspeksi : Distensi (+)

b. Palpasi : Defanse muscular (+), nyeri tekan (+)

seluruh kuadran

c. Perkusi : Pekak hepar menghilang, timpani

d. Auskultasi : Bising usus (+) ↓ 4x/menit

7. Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

8. Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-)

9. Rectal toucher : Tonus muskulus sfingter ani menurun,

ampula rekti kolaps, nyeri tekan pada

daerah jam 11.00

IV. STATUS LOKALIS

Abdomen

1. Inspeksi : Distensi (+)

2. Palpasi : Defanse muscular (+), nyeri tekan (+)

seluruh kuadran

3. Perkusi : Pekak hepar menghilang, timpani

4. Auskultasi : Bising usus (+) ↓ 4x/menit

4
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium : 08 April 2019

HEMATOLOGI
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Eritrosit 3.3.5 106/mm3 3.5 – 5.5
Hemoglobin 10.8 g/dL 14 – 18
Hematokrit 30.4 % 40 – 52
MCV 91 um3 80 – 100
MCH 32.2 pg 27 – 32
MCHC 35.4 g/dL 32 – 36
RDW 13.2 % 11 – 16
Trombosit 286 103/mm3 150-400
MPV 7.9 um3 6 – 11
PCT 0.227 % 0.150 – 0.500
PDW 12.5 % 11 – 18
Leukosit 20.1 103/mm3 5.0 – 10.0
KIMIA KLINIK
Glukosa Sewaktu 156 mg/dL <140
Ureum 46 mg/dL 10 – 50
Kreatinin 1.5 mg/dL 0.7 – 1.2
SGOT 30 u/L <33
SGPT 26 u/L <50
Albumin 3.7 mg/dL 3.5 – 5.0

5
2. Pemeriksaan Radiologi : 08 April 2019

VI. DIAGNOSIS KERJA

Suspek Peritonitis + Retensi urin ec. Post Trauma Tumpul Abdomen

6
VI. DIAGNOSIS BANDING

Ileus Obstruktif

VII. PLANNING

1. IVFD RL 20 TPM

2. Ranitidin 2 x 50 mg/IV

3. Imipenem 33 x 1 gr/IV

4. Ketorolac 3 x 30 mg/IV

5. Ondansentron 2 x 1 amp/IV

6. Ceftriaxon 2 x 1 gr/IV

7. Pasang kateter (pasien puasa)

7
FOLLOW UP

S (subjective); O (objective);
Tanggal/jam Planning
A (assesment)
S : Nyeri abdomen, BAB (-) a. Diet lunak
09 April O : Vital sign dalam batas normal. b. IVFD RL 14 tpm
2019 Distensi abdomen c. Ceftriaxone 2x1 gr (IV)
A : Trauma tumpul abdomen d. Ketorolac 3x30 mg (IV)

a. Diet lunak
S : Nyeri abdomen, BAB (-) b. IVFD RL 14 tpm
10 April
O : Peristalti usus (+) meningkat c. Ceftriaxone 2x1 gr (IV)
2019
A : Obstipasi d. Ketorolac 3x30 mg (IV)
e. Dulcolax supp II

S : Nyeri abdomen menurun,


a. Aff Infus
11 April BAB (+)
b. Aff Kateter
2019 O : Vital sign dalam batas normal.
c. Ceftriaxone 2 x 500 mg (PO)
A : Trauma tumpul abdomen

8
TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI & KLASIFIKASI

Peritonitis sendiri didefinisikan sebagai adanya peradangan pada peritoneum

baik lokal atau difus (generalisata) dari lokasinya, akut atau kronik dari natural

history, dan infectious atau aseptik dari patogenesisnya.1 Peritonitis umumnya

dikategorikan menjadi primary peritonitis (primer), secondary peritonitis

(sekunder) , dan tertiary peritonitis (tersier).1,2,3 Peritonitis primer merupakan

peradangan pada peritoneum yang penyebabnya berasal dari ekstraperitoneal dan

umumnya dari hematogenous dissemination.4 Peritonitis sekunder adalah

peritonitis akibat hilangnya integritas dari traktus gastrointestinal yang umumnya

disebabkan perforasi traktus gastrointestinal karena organ intra-abdomen yang

terinfeksi.3,4 Adanya peritonitis persisten atau rekuren setelah penanganan yang

adekuat terhadap peritonitis primer atau sekunder dinamakan dengan istilah

peritonitis tersier.4

Pembahasan mengenai peritonitis seringkali tidak terlepas dari istilah yang

disebut sebagai intra-abdominal infections (IAI) dan abdominal sepsis.4 Intra-

abdominal infections dibagi menjadi dua bagian besar, antara lain uncomplicated

IAI yang didefinisikan sebagai proses infeksi hanya mengenai organ tunggal

(organ viscera) dan complicated IAI yang adalah proses infeksi yang lebih lanjut,

tidak hanya melibatkan organ tunggal tersebut dan menyebabkan peradangan

peritoneum lokal maupun difus,3 sedangkan abdominal sepsis didefinisikan

9
sebagai manifestasi sistemik (tanda sepsis) akibat dari peradangan peritonitis yang

berat.4

2. ANATOMI & FISIOLOGI PERITONEUM

2.1. Anatomi Peritoneum

Peritoneum merupakan membran serosa transparan yang terbesar di dalam

tubuh manusia dan terdiri dari 2 lapisan yang berkesinambungan, antara lain

peritoneum parietal yang melapisi bagian internal dari dinding abdominopelvis

dan peritoneum visceral yang melapisi organ-organ abdomen.5,6 Hubungan

peritoneum dan organ-organ dalam kavitas intra abdomen dikelompokkan

menjadi, antara lain organ intraperitoneal yang terlapisi seluruhnya dengan

peritoneum, dan retroperitoneal (duodenum, kolon asendens, colon desendens,

dan rectum) yang tidak terlapisi maupun terlapisi hanya sebagian peritonum.

Peritoneum visceral yang membungkus atau menunjang organ-organ bersama-

sama dengan jaringan ikat disekitarnya dalam kavitas peritoneum, dikenal dengan

istilah ligamen peritoneum, omentum atau mesenterium.6 Mesenterium

merupakan dua lapis peritoneum yang terjadi akibat invaginasi peritoneum karena

suatu organ dan berfungsi melekatkan organ tersebut dengan dinding posterior

abdomen (mesenterium dari usus halus dan transverse mesokolon).5,6 Ligamen

peritoneum terdiri dari dua lapis peritoneum yang menghubungkan organ satu

dengan lainnya atau dengan dinding abdomen (falciform ligament yang

menghubungkan liver dengan dinding abdomen anterior).5 Berbeda dengan

ligamen peritoneum dan mesenterium, greater omentum terdiri dari 4 lapisan

10
peritoneum (karena peritoneum melipat sehingga terdiri dari 4 lapisan) dengan

sejumlah jaringan adiposa dan terdiri dari 3 bagian, antara lain gastrophrenic

ligament, gastrosplenic ligament, dan gastrocolic ligament, sedangkan lesser

omentum terdiri dari hepatogastric dan hepatoduodenal ligament.5,6

Gambar 1. Potongan sagittal dari abdomen yang memperlihatkan peritoneum parietal dan
visceral
Gambar dikutip dari: Standring S. Chapter 64. Peritoneum and Peritoneal Cavity. In: Standring
S. Gray’s Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice. 40 th Edition. Churchill
Livingstone El Sevier. 2008.

11
Gambar 2. Ligamen peritoneum dan omentum
Gambar dikutip dari: Moore KL, Agur AMR. Chapter 2. Abdomen. In: Moore KL, Agur AMR.
Essential Clinical Anatomy. 3rd Edition. Lippincott & Williams Wilkins. 2007. p. 118-204

Peritoneum parietal dipersarafi dari cabang saraf somatis eferen dan aferen

yang mempersarafi otot-otot dan kulit dari dinding abdomen,6 sedangkan

peritoneum visceral dipersarafi dari cabang saraf visceral aferen yang juga

memberikan suplai saraf otonom pada organ visceral tersebut (Gambar 5).7

Adanya persarafan yang berbeda ini mengakibatkan perbedaan respon sensasi

apabila terjadi kondisi patologis yang menstimulasi peritoneum visceral atau

parietal. Nyeri yang terlokalisir terjadi akibat stimulus mekanik, termal, atau

kimiawi pada reseptor nyeri (nociceptor) di peritoneum parietal. Sensasi nyeri

umumnya terjadi di satu atau dua level dermatom pada setiap lokasi peritoneum

12
parietal yang terstimulasi. Saraf somatis tersebut selain menghantarkan sensasi

nyeri terlokalisir, juga menghantarkan refleks kontraksi otot apabila terjadi iritasi

dari parietal peritoneum. Refleks inilah yang menyebabkan localized

hypercontractility (muscle guarding) dan perut papan (rigidity of abdominal

wall).6 Di sisi lain, iritasi dari peritoneum visceral tidak memberikan sensasi nyeri

dan refleks otot yang serupa seperti pada iritasi peritoneum parietal. Ketika saraf

visceral peritoneum visceral terstimulasi sensasi nyeri akan dialihkan ke salah satu

daerah dari tiga lokasi, antara lain lokasi epigastrium (struktur foregut), periumbilikal (struktur

midgut), dan suprapubik (struktur hindgut).6,7

Gambar 3. Jalur medulla spinalis untuk sensasi visceral


Gambar dikutip dari: Neurobiology of Visceral Pain. International Association for the Study of
Pain 2012. Accessed in: http://www.iasp-
pain.org/AM/Template.cfm?Section=Fact_Sheets5&Template=/CM/ContentDisplay.cfm&Content
ID=16194

13
2.2. Mekanisme pertahanan peritoneum

Peritoneum terdiri dari selapis sel-sel mesothelium yang berdiri dibawah

membran basalis, dan sekumpulan jaringan ikat yang dibentuk dari sel adiposa,

makrofag, fibroblast, limfosit, dan jaringan ikat elastik kollagen.4 Total luas

permukaan peritoneum sekitar 1,7 m2. Dalam kondisi normal, peritoneum sifatnya

steril dan berisi sekitar 50 mL cairan kekuningan yang berisikan makrofag, sel

mesotelium, dan limfosit. Membran peritoneum memiliki sifat difusi

semipermeabel untuk air dan zat-zat terlarut tertentu sehingga terjadi difusi secara

terus-menerus dari cairan peritoneum dengan cairan interselullar. Tidak seperti

cairan dan zat-zat terlarut lainnya, partikel yang lebih besar dieliminasi lewat

orifisum yang dibentuk oleh sel-sel mesotelium terspesialisasi yang terletak di

permukaan subdiafragma dalam rongga peritoneum menuju sirkulasi limfatik.4

Eliminasi ini difasilitasi oleh pergerakan diafragman dan tekanan thorako-

abdominal. Proses eliminasi ini merupakan salah mekanisme pertahanan tubuh

untuk menjaga peritoneum tetap steril.

Mekanisme pertahanan peritoneum lainnya adalah adanya makrofag pada

rongga peritoneum.4 Pada fase inisial hanya makrofag yang berperan terjadinya

inflamasi, namun adanya rangsangan sitokin akan memanggil neutrophil dalam 2-

4 jam dan sel-sel PMN (Polymorphonuclear) tersebut akan mendominasi dalam

48-72 jam pertama. Sel-sel PMN akan mengeluarkan sitokin, antara lain

interleukin (IL)-1, IL-6, TNF (tumor necrosis factor), leukotriene, platelet

activating factor, C3A, dan C5A yang akan membentuk terjadinya inflamasi lokal

pada daerah tersebut. Reaksi peradangan ini mengakibatkan pembentukan

14
fibrinogen pada fokus septik dan benang-benang fibrin membentuk sebuah mesh

yang secara temporer menurunkan dan menge-blok reabsorpsi cairan dari rongga

peritoneum serta menjerat bakteri dalam sebuah “perangkap”.4 Mekanisme

pertahanan inilah yang menyebabkan pembentukan sebuah abses. Selain itu,

omentum juga bermigrasi pada daerah peradangan untuk memfasilitasi

pembentukan abses lebih lanjut. Daerah yang paling umum adalah daerah

subphrenic.

Kedua mekanisme pertahanan ini (eliminasi mekanik dan pembentukan

eksudat) memiliki efek paradoks.4 Eliminasi mekanik pada mekanisme pertahanan

yang pertama sebenarnya menyebabkan bakteremia, dan apabila masif dapat

mengakibatkan shok septik dan berakhir dengan kematian. Pembentukan eksudat

dan reaksi peradangan yang kaya akan sel fagositik dan opsonin dapat

menyebabkan migrasi cairan dan protein pada “rongga ketiga”, hal ini dapat

mengakibatkan terjadinya hipovolemia dan shok karena albumin berpindah pada

rongga abdomen.

3. EPIDEMIOLOGI

Data mengenai tingkat insidensi peritonitis sangat terbatas,2 namun yang

pasti diketahui adalah diantara seluruh jenis peritonitis, peritonitis sekunder

merupakan peritonitis yang paling sering ditemukan dalam praktik klinik.2,3

Hampir 80% kasus peritonitis disebabkan oleh nekrosis dari traktus

gastrointestinal.4 Penyebab umum dari peritonitis sekunder, antara lain

appendicitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum), perforasi

kolon karena diverticulitis, volvulus, atau keganasan, dan strangulasi dari usus

15
halus.2 Terdapat perbedaan etiologi peritonitis sekunder pada negara berkembang

(berpendapatan rendah) dengan negara maju. Pada negara berpendapatan rendah,

etiologi peritonitis sekunder yang paling umum, antara lain appendisitis perforasi,

perforasi ulkus peptikum, dan perforasi tifoid.9 Sedangkan, di negara-negara barat

appendisitis perforasi tetap merupakan penyebab utama peritonitis sekunder,

diikuti dengan perforasi kolon akibat divertikulitis.10 Tingkat insidensi peritonitis

pascaoperatif bervariasi antara 1%-20% pada pasien yang menjalani laparatomi.

Pada era pre-antibiotik peritonitis primer mencakup sekitar 10% dari

seluruh akut abdomen, namun dewasa ini hanya mencakup kurang dari 1-2%.8

Penurunan yang bermakna diduga dikarenakan penemuan dari antibiotik.

Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) ditemukan terutama pada pasien sirosis

hepatis Child-Pugh class C (Pasien yang mengalami SBP, 70% merupakan Child-

Pugh class C).2 Peritonitis tersier ditemukan umumnya pada pasien

immunocompromised.

4. ETIOLOGI, PATOFISIOLOGI & MANIFESTASI KLINIS

Sesuai dengan definisinya, peritonitis secara prinsip merupakan peradangan

yang terjadi pada peritoneum akibat adanya kerusakan pada peritoneum.

Peritonitis primer dan sekunder secara prinsip memiliki etiologi yang berbeda

dalam patogenesisnya. Pada peritonitis primer, etiologi terjadinya peritonitis tidak

berasal dari traktus gastrointestinal (infeksi yang nantinya terjadi tidak

berhubungan langsung dengan gangguan organ gastrointestinal),3,8 sedangkan

16
pada sekunder ditemukan adanya kerusakan integritas traktus (perforasi) tersebut

baik akibat strangulasi maupun akibat infeksi.3

Pada peritonitis sekunder terjadi kontaminasi rongga peritoneum yang steril

terhadap mikroorganisme yang berasal dari traktus gastrointestinal.8 Dalam

keadaan fisiologis tidak ada hubungan langsung antara lumen gastrointestinal

dengan rongga peritoneum, namun apabila terjadi kerusakan integritas dari traktus

gastrointestinal hubungan tersebut tercipta. Kerusakan integritas dari traktus

gastrointestinal terjadi pada beberapa kondisi, seperti appendisitis perforasi,

perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum), perforasi colon (sigmoid)

karena diverticulitis, sampai volvulus, kanker, dan strangulasi (hernia inguinalis,

femoralis, atau obturator).2 Akibat kontaminasi tersebut, flora normal usus seperti

Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae (serta bakteri gram negatif dan

anaerobik lainnya) masuk dalam rongga peritoneum. Infeksi pada peritonitis

sekunder secara tipikal bersifat polimikrobial (gram negatif aerob dan anaerob).

Adanya invasi dari bakteri-bakteri tersebut menyebabkan reaksi peradangan

seperti yang mengaktifkan seluruh mekanisme pertahanan peritoneum (dari

eliminasi mekanik sampai pembentukan eksudat). Eliminasi mekanik menjadi

salah satu jalur utama bagi bakteri-bakteri masuk dalam pembuluh darah

(bakteremia) yang pada akhirnya dapat berlanjut menjadi sepsis, sepsis berat, syok

sepsis, dan MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome). Reaksi peradangan

lokal menyebabkan peningkatan permeabilitas dari pembuluh darah kapiler

sehingga terjadi perpindahan cairan ke “rongga ketiga” yang dapat berlanjut

menjadi hipovolemia. Reaksi peradangan tersebut dapat berlanjut menjadi SIRS

17
(Systemic Inflammatory Response Syndrome), dimana dapat ditemukan dua tanda

berikut, antara lain suhu >38° C atau <36° C, nadi >90 kali/menit, laju nafas >20

kali/menit, or PaCO2 <32 mmHg, WBC >12,000 sel/mm3 or <4000 sel/mm3, or

<10% imatur (neutrofil batang). Proses inflamasi akut dalam rongga abdomen

mengakibatkan terjadinya aktivasi saraf simpatis dan supresi dari peristalsis

(ileus). Absorbsi cairan dalam usus akan terganggu sehingga cairan tidak hanya

terdapat pada rongga peritoneum, tetapi juga dalam lumen usus. Selain itu, ileus

paralitik menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme yang tidak terkontrol.

Manifestasi klinis dibagi berdasarkan manifestasi lokal dan sistemik sesuai

patofisiologi terjadinya peritonitis.11 Pada manifestasi lokal ditemukan adanya

nyeri perut hebat, nyeri tekan seluruh lapang abdomen (pada peritonitis umum),

rebound tenderness, adanya muscle guarding atau rigidity (perut papan), dan

manifestasi klinis akibat ileus paralitik (distensi abdomen, penurunan bising usus),

sedangkan pada tanda klinis sistemik dapat ditemukan adanya demam, takikardia,

takipnea, dehidrasi, oliguria, disorientasi, dan syok (manifestasi SIRS).

5. DIAGNOSIS

Peritonitis merupakan sebuah diagnosis klinis, berdasarkan pada anamnesis

dan pemeriksaan fisik.2,4 Gejala utama pada seluruh kasus peritonitis adalah nyeri

perut yang hebat, tajam, dirasakan terus-menerus, dan diperparah dengan adanya

pergerakan.4 Mayoritas pasien cenderung diam terlentang di tempat tidur dengan

sedikit menekuk lutut untuk mengurangi nyeri perut (karena maneuver tersebut

mengurangi tekanan pada dinding abdomen). Adanya anoreksia, mual, dan

18
muntah seringkali pula ditemukan, namun bervariasi tergantung etiologi dari

peritonitis. Anamnesis harus pula mencari kemungkinan sumber etiologi dari

peritonitis sekunder sehingga harus ditanyakan mengenai riwayat penyakit

sekarang (riwayat dyspepsia kronis mengarahkan ke perforasi ulkus peptikum,

riwayat inflammatory bowel disease atau divertikulum mengarahkan perforasi

kolon karena divertikulitis, riwayat demam lebih dari 1 minggu disertai pola

demam dan tanda-tanda klinis khas untuk tifoid mengarahkan ke perforasi tifoid,

adanya riwayat hernia daerah inguinal (inguinalis atau femoralis) harus disuspek

kemungkinan adanya strangulasi, sedangkan nyeri mendadak tanpa disertai

adanya riwayat penyakit apapun mengarahkan ke appendisitis perforasi), riwayat

operasi abdomen sebelumnya.2 Berbeda dengan peritonitis sekunder, peritonitis

primer patut dicurigai pada pasien-pasien dengan tanda klinis asites dan riwayat

penyakit liver kronis (terutama sirosis hepatis).4,8

Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan pasien sakit berat, dengan

temuan tanda-tanda SIRS (tanda sistemik), dan tanda-tanda lokal seperti

dijelaskan pada manifestasi klinis. Pada tanda-tanda lokal dapat dicari point of

maximal tenderness (daerah dimana terjadi iritasi maksimal dari peritoneum)

untuk menentukan lokasi proses patologis awal (etiologi dari peritonitis).2

Pemeriksaan colok dubur umumnya akan menunjukan adanya nyeri pada seluruh

lokasi. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah

lengkap dengan hitung jenis (ditemukan leukositosis, dengan shift to the left yaitu

peningkatan sel batang PMN), kimia darah dapat ditemukan kelainan seperti

peningkatan ureum dan kreatinin (tanda syok hipovolemik atau sepsis berat), dan

19
pemeriksaan ABG (arterial blood gas) dapat menunjukan adanya asidosis

metabolik, pemeriksaan urinalisis untuk menyingkirkan diagnosis dari traktus

urinarius. Selain pemeriksaan darah, pemeriksaan radiologis seperti x-ray dapat

berguna (free air under diaphragm yang terlihat pada posisi upright pada

perforasi ulkus peptikum (Gambar 6),12 tetapi jarang pada etiologi lainnya).

Pemeriksaan CT-scan umumnya tidak diperlukan dan hanya akan menunda

penanganan pembedahan (apabila peritonitis dapat ditegakkan berdasarkan

klinis).4Apabila diagnosis klinis tidak konklusif dapat dilaksanakan diagnostic

peritoneal lavage (DPL) untuk analisis cairan peritoneum,4 ditemukannya hasil

yang positif (>500 leukosit/mL) mengarahkan diagnosis peritonitis.2,4

20
Gambar 4. Pneumoperitoneum (free air under diaphragm)
Gambar dikutip dari: Baron MJ, Kasper DL. Chapter 127. Intraabdominal Infections and
Abscesses. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 18 edition. The McGraw Hill Companies. 2012. Accessed in:
http://ezproxy.library.uph.edu:2076/content.aspx?aID=9119694&searchStr=peritonitis

6. TATALAKSANA

Penanganan pada peritonitis primer mencakup pemberian antibiotik broad

spectrum, seperti sefalosporin generasi ke-3 (cefotaxime intravena 3x 2 gram atau

ceftriaxone 1x2 gram), penicillin/β-lactamase inhibitor (piperacillin/tazobactam

4x 3,375 gram pada orang dewasa dengan fungsi ginjal normal). 12 Terapi empiris

untuk bakteri anaerob tidak dibutuhkan pada pasien dengan primary bacterial

peritonitis (PBP atau SBP). Pasien peritonitis primer umumnya mengalami

perbaikan gejala dalam 72 jam pemberian antibiotik yang tepat. Antibiotik dapat

21
diberikan selama 5 hari – 2 minggu (tergantung perbaikan gejala dan kultur darah

yang negatif). Hal yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya

rekurensi pada SBP, sampai 70% pasien mengalami rekurensi dalam 1 tahun.

Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan tingkat rekurensi menjadi

<20%. Regimen yang diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal baik, antara lain

ciprofloxacin 750 mg/minggu, norfloxacin 400mg/hari, atau trimethoprim-

sulfamethoxazole.12

Pendekatan utama pada pasien peritonitis sekunder, antara lain koreksi

etiologi (source control terutama dengan tindakan pembedahan), pemberian

antibiotik sistemik, dan terapi suportif (resusitasi).2 Tidak seperti penanganan

peritonitis primer yang secara prinsip adalah tindakan non-pembedahan, sine qua

non penanganan peritonitis sekunder adalah tindakan pembedahan dan bersifat

life-saving.12 Tindakan pembedahan tidak hanya dapat “early and definitive

source control” dengan mengoreksi etiologi peritonitis sekunder, tetapi juga dapat

mengeliminasi bakteri dan toksinnya dalam rongga abdomen.13 Keterlambatan

dan tidak adekuatnya tindakan pembedahan dapat memperburuk prognosis.

Tindakan preoperatif meliputi, pemberian antibiotik sistemik dan resusitasi

cairan (resusitasi hemodinamik, berikan vasopressor bila dibutuhkan) untuk

mencegah terjadinya syok hipovolemik (dan syok septik) yang memperparah

disfungsi organ.2,13 Pemberian antibiotik mencakup bakteri gram positif dan

negatif serta bakteri anaerob (walaupun secara umum perforasi upper GI tract

lebih mengarah ke gram positif dan perforasi pada usus halus distal dan colon

lebih mengarah ke polimikrobial aerob dan anaerob).2,4 Beberapa pilihan regimen

22
antibiotik yang direkomendasikan, antara lain gabungan dari golongan penicillin/

β-lactamase inhibitor (ticarcilin/clavulanate 4x 3,1 gram intravena), atau

golongan fluorokuinolon (levofloksasin 1x 750 mg intravena), atau sefalosporin

generasi ketiga (ceftriaxone 1x2 gram intravena), dengan metronidazole 3x500

mg intravena (pada pasien yang masuk Intensive Care Unit dapat diberikan

imipenem 4x 500 mg intravena atau meropenem 3x 1gram intravena).12

Pemberian antibiotik dilanjutkan sampai pasien afebris dengan leukosit normal

dan hitung jenis batang < 3%.11 Resusitasi cairan dan monitoring hemodinamik

perlu untuk dilakukan, target resusitasi, antara lain mean arterial pressure >65

mmHg, dan urine output >0,5cc/kgBB/jam (bila dipasang central venous pressure

CVP antara 8-12mmHg).4 Tindakan lainnya, meliputi pemasangan nasogastric

tube (NGT) pada pasien ileus dengan distensi perut dan mual-muntah yang

dominan.13 Pada pasien penurunan kesadaran dan adanya syok septik perlu

dipertimbangkan pemasangan intubasi.

Tujuan utama tindakan pembedahan adalah eliminasi penyebab dari

kontaminasi (koreksi etiologi), mengurangi atau eliminasi inokulum bakteri, dan

mencegah sepsis.4,13 Pendekatan bedah dilakukan dengan insisi midline dengan

tujuan agar eksplorasi rongga abdomen yang adekuat dan komplit tercapai.13

Secara umum, kontrol dan koreksi etiologi tercapai bila bagian yang mengalami

perforasi di reseksi (perforasi apendiks) atau repair (perforasi ulkus).4,11 Pada

perforasi kolon lebih aman dipasangkan stoma usus secara sementara sebelum

dilakukan tindakan anastomosis usus di kemudian hari (beberapa minggu setelah

keadaan umum pasien membaik).11 Pembilasan (peritoneal lavage) menggunakan

23
cairan normal saline (>3L) hangat dilakukan hingga cairan bilasan jernih dengan

tujuan mengurangi bacterial load dan mengeluarkan pus (mencegah sepsis dan re-

akumulasi dari pus).4,11,13 Tidak direkomendasikan pembilasan dengan

menggunakan iodine atau agen kimia lainnya. Setelah selesai, maka rongga

abdomen ditutup kembali. Secara ideal, fascia ditutup dengan benang non-

absorbable dan kutis dibiarkan terbuka dan ditutup dengan kasa basah selama 48-

72 jam. Apabila tidak terdapat infeksi pada luka, penjahitan dapat dilakukan

(delayed primary closure technique). Teknik ini merupakan teknik closed-

abdomen, pada laporan kasus ini tidak akan dibahas secara mendalam mengenai

teknik open-abdomen).

7. PROGNOSIS

Tingkat mortalitas pada peritonitis umum adalah bervariasi dari dibawah

10%-40% pada perforasi kolon (Tabel 1).11 Faktor yang mempengaruhi tingkat

mortalitias yang tinggi adalah etiologi penyebab peritonitis dan durasi

penyakitnya, adanya kegagalan organ sebelum penanganan, usia pasien, dan

keadaan umum pasien.Tingkat mortalitas dibawah 10% ditemukan pada pasien

dengan perforasi ulkus atau appendicitis, pasien usia muda, kontaminasi bakteri

yang minim, dan diagnosis-penanganan dini. Skor indeks fisiologis yang buruk

(APACHE II atau Mannheim Peritonitis Index), riwayat penyakit jantung, dan

tingkat serum albumin preoperatif yang rendah merupakan pasien resiko tinggi

yang membutuhkan penanganan intensif (ICU) untuk menurunkan angka

mortalitas yang tinggi.

24
Tabel 1. Tingkat mortalitas peritonitis umum berdasarkan etiologi

Tabel dikutip dari: Doherty GM. Chapter 22. Peritoneal Cavity. In: Doherty GM, ed. CURRENT

Diagnosis & Treatment: Surgery. 13th ed. New York: McGraw-Hill; 2010.

http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=5215855. Accessed November 11, 2013.

25
DISKUSI

Dalam kasus ini pasien berusia 20 tahun yang terkena trauma

tumpul di abdomen, datang dengan keluhan sakit pada seluruh perut,

tidak bisa buang air besar, tidak bisa buang angin sejak kemarin.

Sebelumnya pasien mengaku mengalami kecelakaan bermotor, dimana

perut pasien terpukul stril motor. Pasien tidak mengeluh badan panas, namun

mengeluh perut kembung, nafas terasa sesak dan tidak nafsu makandan minum.

Pasien tidak mual dan tidak muntah.pasien sebelumnya telah mendapatkan

perawatan di RS lainnya, namun gejala yang dirasakan yakni nyeri

perut dan sesak napas tidak teratasi. Padahari berikutnya pasien merasakan

nyeri yang hebat di seluruh perut dan merasakan tidak bisaflatus dan Buang

Air Besar. Pasien tidak merasakan mual dan muntah. Pasien di

diagnosis s e b a g a i P e r i t o n i t i s .

P e r i t o n i t i s m e r u p a k a n p e r a d a n g a n p a d a p e r i t o n i u m ya n g m

e r u p a k a n pembungkus visera dalam rongga perut. Pada pasien ini Peritonitis

disebabkan karena adanya perdarahan oleh karenan perforasi organ berongga

karena trauma abdomen. Peritonitis dapat juga disebabkan oleh kelainan di dalam

abdomen berupa inflamasi dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis,

perforasi tukak lambung, perforasi tifus abdominalis. Adanya darah atau

cairan dalam rongga peritonium akan memberika tanda- tanda

rangsangan peritonium.

26
Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defa

n s muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah

diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat

kelumpuhan sementara usus.

Prinsip umum terapi pada pasien ini adalah penggantian cairan dan elektrolit

yang hilangyang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai,

dekompresi salurancerna dengan penghisapan nasogastrik dan

intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks,dsb) atau penyebab radang lainnya,

bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan

nyeri

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Silen W. Chapter 300. Acute Appendicitis and Peritonitis. In: Longo DL,

Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s

Principles of Internal Medicine. 18 edition. The McGraw Hill Companies.

2012. Accessed in:

http://ezproxy.library.uph.edu:2076/content.aspx?aID=9132908

2. Daley BJ, Katz J. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Emedicine Medscape

2013. Accessed in: http://emedicine.medscape.com/article/180234-

overview#showall

3. Sartelli M. A Focus on Intra-Abdominal Infections. W J Emerg Surg

2010;5:9

4. Ordoñez CA, Puyana JC. Management of Peritonitis in the Critically Ill

Patient. Surg Clin North Am 2006; 86(6): 1323–49

5. Moore KL, Agur AMR. Chapter 2. Abdomen. In: Moore KL, Agur AMR.

Essential Clinical Anatomy. 3rd Edition. Lippincott & Williams Wilkins.

2007. p. 118-204

6. Standring S. Chapter 64. Peritoneum and Peritoneal Cavity. In: Standring S.

Gray’s Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice. 40th Edition.

Churchill Livingstone El Sevier. 2008.

7. Neurobiology of Visceral Pain. International Association for the Study of

Pain 2012. Accessed in: http://www.iasp-

28
pain.org/AM/Template.cfm?Section=Fact_Sheets5&Template=/CM/Conten

tDisplay.cfm&ContentID=16194

8. Johnson CC, Baldessarre J, Levison ME. Peritonitis: Update on

Pathophysiology, Clinical Manifestations, and Management. Clin Inf Dis

1997;24:1035-47

9. Gupta S, Kaushik R. Peritonitis - the Eastern experience. World J Emerg

Surg 2006; 1:13.

10. Malangoni M, Inui T. Peritonitis - the Western experience. World J Emerg

Surg 2006; 1(1):25.

11. Doherty GM. Chapter 22. Peritoneal Cavity. In: Doherty GM,

ed. CURRENT Diagnosis & Treatment: Surgery. 13th ed. New York:

McGraw-Hill; 2010.

http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=5215855. Accessed

November 11, 2013.

12. Baron MJ, Kasper DL. Chapter 127. Intraabdominal Infections and

Abscesses. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL,

Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18 edition. The

McGraw Hill Companies. 2012. Accessed in:

http://ezproxy.library.uph.edu:2076/content.aspx?aID=9119694&searchStr=

peritonitis

13. Peralta R, Geibel J. Surgical Approach to Peritonitis and Abdominal Sepsis.

Emedicine Medscape 2013. Accessed in:

http://emedicine.medscape.com/article/1952823-overview#showall

29
14. Siegenthaler W. Acute Abdomen. In: Siegenthaler W. Differential

Diagnosis in Internal Medicine: From Symptom to Diagnosis. Thieme.

2007. p. 257-8

15. Cartwright SL, Knudson MP. Evaluation of Acute Abdominal Pain in

Adults. Am Fam Physician 2008;77(7):971-8

30

Anda mungkin juga menyukai