Anda di halaman 1dari 15

PROSES PELAKSANAAN KARIA

Tradisi karia dianggap sebagai acara yang paling penting bagi anak

perempuan di Kabupaten Muna ketika memasuki usia dewasa. Wanita yang

memenuhi syarat untuk masuk kariya maka wajib hukumnya bagi orang tua

untuk memingit anak perempuan mereka. Jika tidak dipingit maka orang tua

akan menanggung dosa dari anak perempuan mereka. Hal ini telah mendarah

daging pada masyarakat Muna. Untuk itu, mereka akan mngusahakan untuk

agar anak gadisnya dikaria. Jika belum mampu dari segi ekonomi maka

mereka menempel atau bekerja sama dengan keluarga lain yang mengadakan

acara pingitan. Sebagaimana yang dikatakan oleh La Dini, Seorang tokoh

masyarakat bahwa : “Orang tua memingit anak perempuan mereka sudah

kewajiban bagi mereka. Jika tidak dilaksanakan maka dosa dari sang anak

perempuan akan menjadi tanggungan mereka. Jadi kalau sudah saatnya dikaria

wajib hukumnya untuk dikariya”.

Hal senada juga diatakan oleh La Ane, orang tua gadis yang dipingit

bahwa : “Karia merupakan pembersihan diri bagi anak perempuan sebelum

memasuki pernikahan. Jadi kami akan merasa berdosa apabila anak perempuan

kami menikah sebelum mengikuti acara karia”.

Jadi pelaksanaan adat Karia bagi masyrakat suku Muna merupakan

kewajiban orang tua yang harus dilaksanakan. Sebab alasan ekoomi keluarga

adalah bukan hambatan dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan Kariya atau

pingitan ada beberapa tahapan yang harus dilakukan. Tahapan-tahapan tersebut

adalah sebagai berikut :


1. Tahap Persiapan

Tahap persiapan merupakan langkah awal yang dilakukan oleh keluarga

yang akan mengadakan acara karia. Sebagaimana yang diungkapkan oleh La

Ane, orang tua gadis yang dikaria bahwa :

Tahap persiapan merupakan tahapan awal dalam proses karia dimana


dalam tahapan ini diadakan musyawarah terlebih dahulu dengan pihak
keluarga, kerabat dekat, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan kepala desa
setempat. Tujuannya untuk membicarakan segala sesuatu yang berkaitan
dengan pelaksanaan acara karia termasuk menentukan hari dan tanggal
yang baik.

Sejalan dengan pendapat diatas, La Dini salah satu tokoh masyarakat

bahwa “

pada tahap persiapan diadakan musyawarah terlebih dahulu. Dalam


musyawarah ini dibahas tentang waktu untuk dilaksanakan acara karia.
Penentuan hari baik ini dilakukan denga menghitung kalender dan
mengamati gejala-gejala alam oleh orang tua yang dituakan dikampung.
Disamping itu, pihak keluarga juga meminta kesediaan tokoh adat
perempuan (pomantoto) dan tokoh adat laki-laki (imam) untuk
menangani selama proses karia berlangsung, Serta membahas mengenai
perlengkapan yang akan digunakan selama acara karia berlangsung.

Selanjutnya La Saba, seorang tokoh adat di Kabangka menyatakan

bahwa :

Pada tahap persiapan dilakukan musyawarah terlebih dahulu dengan

keluarga, kerabat dekat, tokoh agama, tokoh masyarakat, kepala desa

setempat. Tujuannya untuk membicarakan segala sesuatu yang berkaitan

dengan pelaksanaan upacara karia (pingitan) termasuk menentukan hari dan

tanggal yang dianggap baik, meminta kesediaan pamantoto untuk

menangani selama pelaksanaan berlangsung dan lebe (imam) untuk

memimpin dan membaca doa dalam acara karia, serta beberapa


perlengkapan diantaranya Kaalano oe kaghombo (pengambilan air pingit,

Kaalano bhansa (pengambilan mayang), dan perlengkapan-perlengkapan

lain.

a) Kaalano oe kaghombo (pengambilan air pingit)

Oe kaghombo (air pingit) merupakan salah satu unsur penting dalam

acara karia. Pengambilan air dilakukan dengan dengan cara-cara tertentu.

Sebagaimana dijelaskan oleh Wa Aku bahwa :

Pengambilan air di sungai untuk persiapan air mandi bagi para peserta
karia menggunakan dua buah tombola (wadah yang terbuat dari bambu).
Cara pengambilannya dengan menenggelamkan tombola tersebut
mengahadap searah dengan arus air (tidak melawan arus). Maknanya
agar si gadis yang akan dikaria hatinya merasa tenang. Air yang diambil
ini diguakan untuk memandikan gadis-gadis yang dipingit.

Lebih lanjut, La Saba juga menyatakan bahwa “Pengambilan air pingit

ini dilakukan oleh delegasi yang berpengalaman dan memahami cara

pengambilan air tersebut. Air pingit ini tidak diambil dari dari dalam rumah

maupun air sumur tetapi diambil dari kali atau sungai menggunakan tombola

(wadah yang terbuat dari bambu)”

Lebih lanjut, Wa Aku menjelaskan bahwa “pengambilan air

menggunakan wadah tombola (bambu) tersebut dengan harapan bahwa para

gadis yang dipingit akan mempunyai sifat seperti bambu yang semakin lama,

akarnya semakin kuat dan batangnya semakin menunduk”.

b) Kaalano bhansa (pengambilan mayang)

Sebelum memasuki proses pelaksanaan karia, terlebih dahulu harus

mempersiapkan mayang (bhansa) sebagai salah satu unsur penting dalam acara

karia. Seperti halnya pengambilan air pingit, pengambilan mayang juga


dilakukan dengan cara-cara tertentu. Hal ini berdasarkan wawancara dengan La

Saba bahwa :

Pengambilan mayang ini harus dirahasiakan. Orang yang ditugasi


mengambil mayang harus memilih waktu atau jam-jam tertentu yang
kira-kira tidak diketahui oleh orang lain, seperti jam-jam 5 sore atau
selepas sholat maghrib. Menurut aturan adat masyarakat Muna, orang
yang ditugasi tersebut tidak boleh menoleh ke kiri dan ke kanan,
walaupun ada yang mengajak bicara.

Selanjutnya menurut La Dini bahwa :

Pengambilan mayang dilakukan oleh delegasi yang berpengalaman yang


diberi kepercayaan oleh pomantoto. Menurut aturan pengambilannya,
delegasi tidak diperbolehkan menoleh ke kiri dan ke kanan, sehingga
walaupun diajak cerita atau ada orang bertanya maka tidak boleh
menjawab. Mayang ini tidak boleh jatuh ke tanah karena harus terhindar
dari najis atau kotoran yang berada di tanah dan terjaga kecusiannya.

Pengambilan mayang yang akan digunakan dalam acara karia dilakukan

dengan cara-cara tertentu sesuai kepercayaan masyarakat Muna. Adapun

makna mayang dijelaskan oleh Wa Aku sebagai berikut : mayang merupakan

kuncup bunga pinang yang baru mekar, sehingga diibaratkan gadis yang

dipingit ini seperti kuncup bunga yang baru mekar tersebut dan siap menjadi

anggota masyarakat yang berguna bagi keluarga dan masyarakatnya.

2. Tahap Pelaksanaan

Tahap pelaksanaan ini merupakan kegiatan inti dari acara karia yang

terdiri atas kafoluku, kabhansule, kalempangi, kafosampu, katandano wite,

linda, kahapui.

a) Kafoluku
Dalam pelaksanaan acara karia, yang pertama dilakukan adalah kafoluku.

Kafoluku merupakan kegiatan memasukan para gadis pingitan kedalam kamar

atau bilik pingit, sebagaimana yang disampaikan oleh Wa Aku bahwa :

“Kafoluku adalah proses dimasukkannya para gadis yang akan menjalani acara

karia kedalam kamar atau bilik pingit. Tahapan ini merupakan analogis bahwa

manusia berada dialam arwah yaitu tempat yang sangat gelap, hanya Tuhan

yang dapat mengetahuinya”.

Sejalan dengan pendapat diatas, tokoh adat laki-laki yang bernama La

Saba juga menyatakan bahwa : “kafoluku yaitu kegiatan dimana para gadis

peserta karia dimasukan kedalam kamar pingitan yang telah disiapkan. Hal ini

mengandaikan anak manusia kembali ke alam arwah yang gelap gulita. Setelah

dimasukan terlebih dahulu dimandikan dengan dua jenis air yang telah

dibacakan doa”.

Dari uraian diatas diketahui bahwa kafoluku merupakan kegiatan

memasukan para gadis yang akan dipingit kedalam kamar atau bilik pingit

yang gelap gulita, yang mengandaikan bahwa para gadis kembali kealam

arwah. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan selama dalam

pingitan dimandikan dulu dengan dua jenis air yaitu oe modaino dan oe

metaano. Sebagaimana disampaikan oleh Wa Aku bahwa :

Sebelum dimasukan kedalam kamar atau bilik pingit, para gadis terlebih
dahulu dimandikan dengan dua jenis air yang telah didoakan oleh tokoh
adat. Dua jenis air ini disebut oe modaino dan oe metaano sebagai
analogi untuk menolak bala (keburukan) yang tidak menutup
kemungkinan akan menimpa para gadis yang akan dipingit. Air kedua
adalah oe metaano sebagai analogi untuk memohon kepada tuhan agar
mendapat ridho.
Lebih lanjut, La Saba mengatakan sebagai berikut :

Oe modaino yang dibacakan bertujuan untuk menolak segala bentuk


keburukan yang mungkin akan terjadi selama pingitan. Adapun doa yang
dibaca pada saat pembuatan air ini yaitu :
A wa laisal ladzi khalakas samaawatiiwal ardha biqaadirin a laa ay
yakhluka mitslahum, balaa wahuwal khallaaqul’alim, innama amruhuu
idzaa araada syai-an, ay yaquula lahuu kun fayakun, fa subhaanal ladzi
bi yadihii, malakuutu kulli syai-iw wa ilaihi turjau’un.
Artinya:
Dan bukanlah Tuhan yang telah menciptakan langit dan bumi berkuasa
menciptakan serupa dengan ini? Benar, dia pencipta lagi maha
mengetahui, sesungguhnya apabila dia menghendaki sesuatu, dia berkata
kepadanya jadi, maka terjadilah. Maka maha cusi di tangannya
kekuasaan atas segala sesuatu dan kepadanya lah kamu dikembalikan.

Sedangkan oe metaano yang dibacakan oleh Imam adalah sebagai berikut


:
Bismillahir rahmaanir rahiim, Allahuma inna nas-aluka
salaamatanfiddin, wa’aafiyatan fil jasadi wa ziyadatan fil’ilmi, wa
barakatan firfiqi, wa taubatan qablal maut, warahmatan’indal maut, wa
maghfiratan ba’dal maut, allahuma hawwin ‘alainaa fii sakaratil maut,
wannaajaata minannar, wal afwaindal hisab. Rabbanaa la tazigh
quluubanaa ba’da idza daitanaa wa hab lunaa miltadun karahmatan
innaka antal wahhaab, rabbana aatinaa fidunya hasanataw, wa fill
akhiratii hasanataw, wa fill akhirati hasanataw waqina adzabannar. Wa
shallallahu ‘ala syaidinna Muhammad wa ‘alaa alihi washahbii wa
salam. Amin.
Artinya :
Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Ya Allah
aku mohon kepada engkau, keselamatan dalam agama, kesehatan dalam
tubuh, bertambah ilmu, keberkahan dalam rezeki, tobat sebelum mati,
rahmat ketika mati dan ampunan sesudah mati. Ya Allah mudahkanlah
kami ketika sekarat, lepaskanlah dari api neraka, dan mendapat kemaafan
ketika dihisab. Ya Allah, janganlah engkau goncangkan (bimbangkan)
hati kami setelah mendapat petunjuk. Berilah kami rahmat dari sisi
engkau, sesungguhnya engkau maha pemberi. Ya Allah berikan kami
kebajikan didunia, kebajikan diakhirat, dan peliharalah kami dari azab
api neraka dan semoga salawat selalu dilimpahkan kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW keluarga, serta sahabatnya. Kabulkanlah doa
kami.

Disamping membacakan doa untuk mandi para peserta karia. Imam juga

membaca doa haroa. Makanan yang dibaca saat haroa akan dimakan oleh para
gadis sebelum pingitan. Sebagaimana disampaikan oleh La Dini bahwa :

“Rangkaian kafoluku dalam acara karia ini juga ditandai dengan pembacaan

doa haroa oleh Imam. Makanan yang dibaca saat ritual ini akan diberikan

kepada para gadis, masing-msing sesuai dengan takaran yang telah ditentukan

oleh pomantoto, yaitu satu buah ketupat dan satu biji telur”.

Hal senada pula diungkapkan oleh Yasni, gadis yang mengikuti acara

karia bahwa “sebelum memasuki kamar atau bilik pingitan, para gadis diberi

makan terlebih dahulu yaitu satu biji ketupat dan satu butir telur seta minuman

yang telah dibacakan doa. Setelah diberi makan, kemudian disuruh berdoa dan

meminta maaf kepada orang tua agar rangkaian acara karia berjalan dengan

lancar”.

Pemberian makan dan minum yang dibatasi serta pembacaan doa

dilakukan agar para gadis tidak buang air besar selama dalam pingitan

sebagaimana yang disampaikan oleh Wa Aku bahwa :

Makanan dan minuman yang akan diberikan kepada para gadis yang
dibacakan doa terlebih dahulu oleh pomantoto dengan doa kakunsi agar
para gadis tidak buang air besar selama dalam pingitan. Adapun bunyi
doa kakunsi adalah sebagai berikut :
Alhamdulillahi rabbilaalamiin, arrahmananir rahiim, maalikiyaumiddin,
iiyakana’budu wa iyyaakanasta’iin, ihdinash shiraathal mustaqiim,
shiraathal ladziina an’amta alaihim ghairil maghdhuubi’alaihim wa
ladhdaalliin a kunsi barakunsi kunsi alam, kunsi barakati, bilmillah.
Allahumma saydinna muhammad wa alaali saydina muhammad
Artinya :
Segala puji bagi allah, tuhan semesta alam. Maha pemurah lagi maha
penyayang. Yang menguasai hari pembalasan. Hanya kepada engkaulah
kami menyembah dan hanya kepada engkaulahkami memohon
petolongan. Tunjukkanlah kami jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang
yang engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan orang-
orang yang engkau murkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat. A
kunsi barakunsi, kunsi alam, kunsi barakati, bismillah. Allahumma
saydinna muhammmad wa alaali saydinna muhammad
Dari uraian diatas, diketahui bahwa kafoluku meruakan kegiatan

memasukan para gadis pingit kedalam kamar atau bilik pingit. Namun sebelum

para gadis dimasukan ke dalam kamara pingitan, terlebih dahulu mereka

dimandikan dengan dua jenis air yang telah dibacakan doa oleh tokoh adat laki-

laki (Imam) yaitu oe modaino yang dianalogikan untuk menolak bala

(keburukan) dan oe metaano yang dianalogikan untuk mendapatkan ridho dari

Tuhan penguasa alam. Disamping itu, pada kegiatan kafoluku ini juga makanan

yang akan dimakan oleh para gadis yang akan dipingit juga dibacakan doa

kakunsi oleh tokoh adat agar para gadis tidak buang air besar selama dalam

pingitan. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat Muna sangat meyakini akan

keberadaan tuhan dalam kehidupannya sebagai tempat memohon dan meminta.

Agama dan kepercayaan merupakan salah satu potensi dalam

membangun moral dan mental spiritual yang dapat lebih memperkuat

kehidupan masyarakat. Tuntutan terhadap nilai-nilai agama dalam kehidupan

sehari-hari lebih pada pemenuhan kebutuhan rohaniah yang bersandar pada

filosofi religi. Untuk itu, tradisi karia memiliki nilai yang dapat diketahui oleh

masyarakat pendukungnya melalui bacaan doa-doa oleh tokoh adat seperti

yang diuraikan diatas. Sebagaimana dinyatakan oleh La Saba sebagai berikut :

“pada rangkaian kafoluku, ketika para gadis dimandikan dengan oe modaino

dan oe metaano menggambarkan kepercayaan masyarakat Muna bahwa hal-hal

yang baik akan didapat dan hal-hal yang buruk dapat dicegah dengan berdoa

kepada Tuhan”.
Selanjutnya, La Dini juga mengatakan bahwa : “nilai religius dalam

kafoluku ini dapat dilihat dari doa-doa yang dibaca oleh tokoh adat pada saat

memandikan para peserta karia, dan doa ketika akan memberikan makan

kepada para gadis. diyakini bahwa dengan berdoa hal-hal yang baik akan

didapat dan hal-hal yang buruk dapat dicegah”.

b) Kabhansule

Dalam proses pelaksanaan karia, setelah kafoluku maka kegiatan

selanjutnya adalah kabhansule. Kabhansule merupakan proses perubahan

posisi para gadis yang dikaria. Hal ini sesuai dengan pernyataan Asmi bahwa :

“kabhansule merupakan perubahan posisi dimana setelah memasuki paruh

waktu pertama, maka yang pada awalnya posisi kepala berada disebelah barat,

dengan berbaring ke kanan selanjutnya posisinya dibalik yaitu kepala kearah

timur dan kedua tangan dibawah kepala menindis bagian kiri’.

Selanjutnya La Dini menjelaskan bahwa :

kabhansule yaitu proses perubahan posisi para gadis yang di karia,


awalnya posisi ke[ada sebelah barat dengan berbaring mirig ke kanan
selanjutnya posisinya dibalik yaitu kepala sebelah timur dan kedua
tangan dibawah kepala menindis bagian kiri. Perubahan posisi ini
dimaksudkan sebagai perpindahan dari alam arwah ke alam aj’san.
Perubahan posisi ini diibaratkan bayi yang dalam handungan ibunya yang
senantiasa berubah dan berpindah arah atau posisi. Dalam kaghombo,
pomantoto menyalakan padhamara (lampu tradisional masyarakat Muna)
dan sebuah cermin lalu mengelilingi para gadis sebanyak tujuh kali.

Kemudian Wa Aku menjelaskan bahwa

Proses kabansule yaitu proses perubahan posisi yang di pingit, awalnya


posisi kepala sebelah barat dengan baring menindis kanan selanjutnya
posisi dibalik kepala kearah timur, kedua tangan di bawah kepala tindis
kiri. Mengawali proses perpindahan itu ada kegiatan yang di lakukan
oleh para peserta yaitu Semua peserta karia (pingitan) di kelilingkan
lampu padjamara dan cermin kekiri dan kekanan sebanyak tujuh kali
(tujuh kali ke kanan dan tujuh kali ke kiri). Padhamara dan cermin
merupakan simbol dari kehidupan yang mereka akan jalani agar nantinya
mendapatkan kehidupan yang lebih terang benderang seperti cahaya lampu
dan cermin, sekaligus sebagai simbol keluasan hati dan kesungguhan
dalam menghadapi masalah.

Proses kabhansule ini bagi masyarakat Muna adalah

Nilai yang terkandung dalam kegiatan ini yaitu

c) Kabhalengka

Hari terakhir, para peserta dikeluarkan dengan membuka pintu kaghombo

(tempat pingitan) yang dikenal dengan nama kabhalengka. Wa Aku

menjelaskan sebagai berikut :

Kabhalegka yaitu proses membukan pintu kamar pingitan. Kegiatan ini


diibaratkan proses perpindahan dari alam aj’san ke alam insani sehingga
gadis-gadis ini diibaratkan bayi yang baru lahir dari kandungan Ibunya.
Setelah dimandikan, mereka dirapikan rambut dan keningnya atau biasa
disebut dengan kabhindu.

Pendapat tersebut dibenarkan oleh Asmi bahwa :

d) Kafosampu

Pada malam harinya, setelah dikabhindu, maka kegiatan berikutnya

adalah kafosampu. Kafosampu yakni proses pemindahan peserta karia dari atas

rumah ke panggung yang dilakukan pada malam harinya. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Wa Aku bahwa :

Pada hari terakhir, diadakanlah acara kafosampu. Kafosampu adalah


kegiatan mengeluarkan para gadis dari rumah kesuatu tempat yang telah
dibuat biasanya disebut bhawono koruma. Pada proses pemindahan inin,
para gadis tidak boleh menyentuh tanah, sehingga biasanya dipikul atau
dipapa oleh dua orang laki-laki yang berasal dari lingkaran keluarga yang
orang tuanya masih hidup”.

Selanjutnya ..... juga mengatakan bahwa

kafosampu merupakan Pemindahan peserta karia dari rumah ke pan-


ggung) Pada hari keempat menjelang maghrib, para gadis pingitan siap
dikeluarkan dari rumah atau ruang pingitan ke tempat tertentu yang
disebut bhawono koruma (panggung). Pada waktu mereka diantar ke
panggung tidak boleh menginjak atau menyentuh tanah.

Selanjutnya ..... juga menyatakan bahwa

Pada hari terakhir saat menjelang magrib para gadis pingitan siap
dikeluarkan dari ruang pingitan ketempat tertentu yang disebut bhawono
Koruma (panggung). Pada waktu mereka diantar ke panggung tidak
boleh injak tanah selama perjaanan menuju panggung yang dikariya tidak
boleh membuka mata. Di depan Bhawano koruma telah menunggu
gadis-gadis lain yang telah di pilih dan di beri tanggung jawab duduk
berjejer dalam keadaan bersimpuh. Jumlahnya tergantung jumlah peserta
yang dipingit, gadis- gadis itu harus yang masih hidup kedua orang
tuannya. Mereka memegang sulutaru (semacam pohon terang yang
terbuat dari kertas warna- warni dan di puncaknya di pasangkan lilin
yang menyala)

Proses kafosampu ini dalam masyarakat Muna mempunyai makna


bahwa

Adapun nilai yang terkandung dari proses kafosampu ini adalah

e) Katandano wite

pada saat peserta yang dikaria (dipingit) sudah sampai dipanggung, maka

dilakukanlah katandano wite. Katandano wite adalah proses penyentuhan tanah

oleh Imam kepada para peserta karia. Sebagaimana pernyataan Yasni bahwa:

katandano wite yaitu sentuhan tanah pada ubun-ubun, dahi, dan


selanjutnya seluruh persendian hingga pada telapak kaki para peserta
karia. Proses ini dilakukan dimulai dari gadis yang berada disebelah
kanan yang biasanya anak tertua dari tuan rumah. Penyentuhan tanah ini
dilakukan oleh imam dari ubun-ubun turun ke dahi dengan
menggambarkan huruf alif.

Pendapat diatas dibenarkan oleh La Saba bahwa :

Katandano wite merupakan proses penyentuhan tanah oleh Imam kepada

para gadis yang dipingit dimulai dari dari ubun-ubun turun ke dahi dengan

menggambarkan huruf Alif. Huruf alif merupakan rahasia tuhan yang tersimpul

pada manusia

huruf alif ini sebagai isyarat bahwa mereka telah diisi secara

sempurna terutama yang berkaitan dengan kehidupan berumah tangga

dan pengenalan diri secara utuh. menjadi simpul dari ungkapan: “rahasia

Tuhan ada pada manusia, rahasia manusia ada pada Tuhan, rahasia laki-

laki ada pada perempuan dan rahasia perempuan ada pada laki-laki.

Proses katandano wite ini dalam masyarakat muna mempunyai

makna untuk menyadarkan dirinya bahwa keberadaannya dimuka bumi

ini hanya sementara dan nantinya akan kembali ke tanah.

Nilai yang terkandung dari proses katandano wite ini adalah

f) Linda

Setelah acara katandano wite selesai dilakukan oleh Imam, maka acara

dilanjutkan dengan pementasan tari linda. Linda merupakan tarian tradisonal

masyarakat Muna yang merupakan salah satu bagian dari tahapan karia.

Pementasan tari Linda dimulai oleh pomantoto sebagai penari pembuka yang

disusul putri tuan rumah atau putri sulung dan selanjutnya putri-putri peserta

pingitan lainya. Sebagaimana dijelaskan oleh Asmi sebagai berikut : “Setelah


rangkaian acara selesai, maka pomantoto melakukan tari linda pendahuluan

yang kemudian disusul oleh peserta karia secara berurutan yang dimulai dari

puteri tuan rumah dan seterusnya disusul oleh peserta yang lain secara

bergiliran berdasarkan urutan duduknya”.

Kemudian Wa Aku juga menyatakan sebagai berikut :

Ketika tarian linda akan dilakukan, terlebih dahulu dibuka oleh tokoh
adat, lalu putri tuan rumah menyusul puteri-puteri lain sesuai urutan
duduknya. Gerakan awal tarian ini yaitu dengan berlego (melenggang),
kemudian kedua tangan mengambil selendang yang melilit dileher dan
dipindahkan ke sebelah kiri, laksana orang sedang memetik sesuatu
bersamaan dengan gerakan kaki gerakan kaki yang digesekkan ke kiri
sambil mengayunkan kaki kanan ke arah kanan dengan perhitungan tiga
dan dibalas dengan kaki kiri dengan perhitungan empat begitupun
sebaliknya. Variasi-variasi gerakan terjadi pada saat pertukaran tempat,
permainan selendang dan lainnya. Keseluruhan gerakan terdiri atas empat
belas macam gerakan. Kemudian gerakan penutup yakni kedua tangan
digerakan ke sebelah kiri seperti orang yang sedang memetik buah lalu
kaki kiri digerakan ke kiri, kaki kanan diayunkan ke kanan, dengan
perhitungan satu dibalas dengan kiri pada perhitungan kedua.
Selanjutnya, pada hitungan ke tiga diganti dengan kaki kanan dan
seterusnya sampai pada hitungan keempat. Pada bagian akhir kedua
tangan melepaskan lilitan selendang dan disandang ke bahu sebelah
kanan.

Tarian linda ini dalam masyarakat Muna mempunyai makna bahwa

Nilai yang terkandung dalam tarian linda dalam proses karia ini adalah

Tari linda memiliki estetika, dimana gerakan kaki dan tangan yang

dimainkan oleh setiap penarinya, irama gendang yang mengiringi tari

linda memiliki harmonisasi yang tercipta dalam memadukan setiap jenis

alat pengiring orang yang mementaskan tari linda yang sekaligus


memeriahkan acara. Para penari tari linda ini menggunakan berbagai

macam aksesoris dikepala maupun di baju sehingga memberikan

g) Kahapui

Esok harinya setelah acara kafosampu diadakanlah acara kahapui, yaitu

acara ritual pemotongan pisang yang telah ditanam atau disiapkan di depan

rumah penyelenggara acara karia. Berdasarkan hasil wawancara dengan La

Dini bahwa :

Kahapui dilakukan pada esok hari untuk membersihkan kotoran yang


tertinggal. Kahapui ditandai dengan ritual pemotongan pohon pisang
yang telah ditanam di depan rumah koparapuuno (yang punya acara).
Pada acara ini dilakukan pogala yang diiringi dengan bunyi gong dan
gendang yang berirama perang. Mengawali acara pogala, pomantoto
terlebih dahulu memecahkan periuk (belanga tanah) sebagai tanda
dimulainya pogala. Penari pogala berebut untuk memotong pisang lebih
awal dan cara memotongnya diusahakan satu kali langsung putus.
Setelah itu, koparapuuno diangkat duduk di atas pohon pisang yang telah
dipotong seagai tanda rasa syukur atas keberlangsungan acara tersebut.

Selanjutnya Wa Aku juga menjelaskan sebagai berikut :

Keesokan harinya diadakan acara kahapui (pembersihan). Namun


sebelum dilakukan hal tersebut, terlebih dahulu tuan rumah menanam
satu batang pohon pisang dihalaman rumah yang nantinya akan ditebas.
Saat itu, rambi (gong) mulai dibunyikan disertai tabuhan gendang
berirama perang. Pada acara ini dilakukan tari pogala atau silat ewa
wuna, pomantoto terlebih dahulu memecahkan periuk (belanga tanah)
sebagai tanda dimulainya tari pogala atau silat ewa wuna. Pemuda-
pemuda yang ikut mengambil bagian sebagai petarung melengkapi
dirinya dengan keris dan pedang untuk berebut memotong pohon pisang
yang telah ditanam. Diantara pemuda yang bertarung, ada yang berusaha
menebang dan ada yang lainnya berusaha menghalangi dan menjaganya
agar pohon pisang tersebut tetap berdiri. Orang yang berhasil
menebasnya diusahakan satu kali tebasan langsung putus. Setelah pohon
pisang tersebut putus, yang punya acara langsung duduk di atas pohon
pisang yang telah dipotong sebagai tanda rasa syukur atas
berlangsungnya acara tersebut.

Makna yang terkandung dalam proses kahapui dalam masyarakat


Muna adalah
Nilai yang terkandung dalam proses kahapui ini adalah nilai

3. Penutup

a) Kaghorono bhansa

Kaghorono bhansa sebagai penutup dari rangkaian acara karia. Pada

acara ini, bhansa (mayang) dan semua kotoran selama pigitan dihanyutkan ke

dalam sungai.. Hal ini sesuai dengan penjelasan La Saba bahwa :

Dalam proses pingitan atau karia pada masyarakat Muna dikenal istilah
kaghorono bhansa (pembuangan mayang) sebagai tahap akhir dari
rangkaian acara karia. Kahgorono bhansa merupakan prose membuang
mayang dan kotoran-kotoran selama pingitan berlangsung. Biasanya
tahapan ini dilakukan pada hari berikutnya atau dapat dilakukan pada
hari lain. Pembuangan ini menandakan bahwa segala etika buruk yang
melekat pada perempuan yang dikaria akan pergi bersama mayang.

Hal ini juga diungkapkan oleh .... sbagai berikut :

Rangkaian terakhir acara karia adalah kaghorono bhansa (pembuangan


mayang). Para gadis yang telah dikaria (dipingit) bersama-sama
pomantoto, imam, keluarga, dan kerabat serta masyarakat yang ingin
menyaksikan prosesi ini mengantar menuju kali atau sungai dengan
iringan gong dan gendang untuk mengapungkan mayang. Pembuangan
mayang ini bertujuan untuk membuang semua kotoran yang disimpan
atau digabung dengan mayang yang telah digunakan saat pingitan yang
dibantu oleh pemuda-pemuda yang ikut mengantar. Menurut
kepercayaan masyarakat bahwa segala bentuk keburukan pada diri gadis
yang dipingit akan pergi bersama dengan mayang dan semua kotoran
yang telah dibuang.

Makna yang terkandung dalam proses kaghorono bhansa ini adalah


membuang seluruh sifat-sifat buruk gadis yang dipingit.
Nilai yang terkandung dalam proses pembuanga mayang ini adalah

Anda mungkin juga menyukai