Anda di halaman 1dari 5

A.

Bauksit
Bauksit (bahasa Inggris: bauxite) adalah biji utama aluminium terdiri dari hydrous aluminium oksida
dan aluminium hidroksida yakni dari mineral gibbsite Al (OH) 3, boehmite γ-ALO (OH), dan diaspore α-
ALO (OH), bersama-sama dengan oksida besi goethite dan bijih besi, mineral tanah liat kaolinit dan
sejumlah kecil anatase TiO2 . Pertama kali ditemukan pada tahun 1821 oleh geolog bernama Pierre
Berthier pemberian nama sama dengan nama desa Les Baux di selatan Prancis.
Bauksit merupakan material dasar untuk memproduksi alumina. Di Indonesia, bauksit pertama kali
ditemukan pada tahun 1924 di Kijang, pulau Bintan, di provinsi Kepulauan Riau. Bauksit yang berasal
dari Bintan telah ditambang dan diekspor sejak tahun 1935. Pada tahun 1968, pengelolaan tambang
diserahkan kepada ANTAM. Hal ini menjadikan ANTAM sebagai perusahaan produsen bauksit tertua di
Indonesia.

B. Alumina
Aluminium oksida (alumina) adalah senyawa kimia dari aluminium dan oksigen, dengan rumus kimia
Al2O3. Secara alami, alumina terdiri dari mineral korondum, dan memiiki bentuk kristal seperti
ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur kristal mineral korondum alumina

Senyawa ini diketahui merupakan insulator listrik yang baik, sehingga digunakan secara luas sebagai
bahan isolator suhu tinggi, karena memiliki kapasitas panas yang besar. Sifat lain dari alumina yang
sangat mendukung aplikasinya adalah daya tahan terhadap korosi dan titik lebur yang tinggi, yakni
mencapai 2053- 2072 oC.
Pemurnian Alumina dari Bauksit dilakukan dengan menggunakan proses Bayer. Bijih bauksit
mengandung 50-60% Al2O3 dan bercampur dengan zat-zat pengotor terutama Fe2O3 dan SiO2. Untuk
memisahkan Al2O3 dari zat-zat yang tidak dikehendaki, makan dapat memanfaatkan sifat amfoter dari
Al2O3. Berikut ini tahapan dalam pemurnian Alumina dari bauksit.
1. Bijih Bauksit yang diperoleh dari tambang, kemudian bijih bauksit tersebut dihancurkan atau
dihaluskan secara mekanik.
2. Impurities (pengotor) dihilangkan dengan cara memanaskan serbuk bauksit dalam udara sehingga
logam-logam lain teroksidasi. Misalnya besi teroksidasi menjadi Fe2O3
3. Kemudian, serbuk bijih yang telah dipanaskan direaksikan dengan soda kaustik atau larutan
Natrium hidroksida (NaOH) pekat dan diproses di pabrik penggilingan untuk menghasilkan
lumpur (suspensi berair) yang mengandung partikel-partikel bijih yang sangat halus.
4. Suspensi tersebut kemudia dipompa ke digester, yaitu sebuah tangki yang berfungsi seperti panci
presto. Larutan ini diproses pada suhu dan tekanan yang tinggi untuk melarutkan alumina dalam
bijih. Larutan dipanaskan sampai 230-520 ° F (110-270 ° C) dan dengan tekanan 50 lb / dalam 2
(340 kPa). Kondisi ini, dilakukan selama sekitar setengah jam atau hingga beberapa jam. Pada
prosesnya penambahan NaOH dilakukan untuk memastikan bahwa seluruh senyawa aluminium
yang terkandung terlarut. Proses ini akan memisahkan bijih dari kotoran yang tidak larut seperti
senyawa silika, besi dan titanium.
5. Larutan panas dilewatkan melalui serangkaian tangki.
6. Larutan kemudian dipompa ke dalam tangki pengendapan. Larutan SiO32- dan[Al(OH)4]-
akan ditampung. Ketika suspensi berair berada di dalam tangki ini, pengotor yang tidak larut
dalam NaOH akan mengendap di bagian bawah tangki. Residu (disebut "red mud" atau “lumpur
merah”) yang terakumulasi di dasar tangki terdiri dari pasir halus, oksida besi, dan oksida dari
unsur lain seperti titanium. Al2O3 dan SiO2 akan larut, sedangkan Fe2O3 dan pengotor lainnya
tidak larut (mengendap).

Al2O3 (s) + 2OH- (aq) + 3H2O  2Al(OH)4- (aq)

SiO2 (s) + 2OH- (aq)  SiO32- (aq) + H2O

7. Setelah pengotor telah diendapkan, masih ada larutan yang tersisa (filtrat) yang kemudian
dipompa melalui serangkaian filter (penyaring). Setiap partikel-partikel halus dari pengotor yang
masih ada dalam larutan juga akan tersaring.
8. Larutan yang telah disaring akan dipompa melalui serangkaian tangki pengendapan.
9. Larutan itu kemudian direaksikan dengan asam encer, yaitu larutan HCl. Ion silikat tetap larut,
sedangkan ion aluminat akan diendapkan sebagai Al(OH)3.
AlO2- (aq) + H+ (aq)  Al(OH)3 (s)
Atau dengan cara dialirkan CO2 ke dalam larutan tersebut sehingga ion aluminat akan diendapkan
sebagai Al(OH)3.
AlO2- (aq) + CO2 (g)  Al(OH)3 (s)
10. Endapan kristal atau Al(OH)3 (s) (mengendap di bagian bawah tangki) sedangkan SiO32- tetap
larut.
11. Kemudian endapan Al(OH)3 disaring dan diambil.
12. Setelah dicuci, endapan Al(OH)3 dipindahkan ke pengering untuk dilakukan
proseskalsinasi (pemanasan untuk melepaskan molekul air yang secara kimiawi terikat
pada molekul alumina). Suhu 2.000 ° F (1.100 ° C) akan mendorong lepasnya molekul
air, sehingga hanya tinggal Kristal alumina anhidrat. Setelah meninggalkan tungku
pengering, kristal akan melewati pendingin.
13. Setelah itu, maka terbentuklah serbuk Al2O3 murni (korundum).
2Al(OH)3 (s)  Al2O3 (s) + 3H2O (g)

C. Alumunium
Aluminium adalah logam yang memiliki kekuatan yang relatif rendah dan lunak. Aluminium
merupakan logam yang ringan dan memiliki ketahanan korosi yang baik, hantaran listrik yang baik dan
sifat - sifat lainnya. Umumnya aluminium dicampur dengan logam lainnya sehingga membentuk
aluminium paduan. Material ini dimanfaatkan bukan saja untuk peralatan rumah tangga, tetapi juga
dipakai untuk keperluan industri, kontsruksi, dan lain sebagainya.
Serbuk alumina murni yang telah diperoleh dari pemurnian alumina dari bauksit selanjutnya di
elektrolisi untuk mendapatkan alumunium murni. Proses pemurnian aluminium ini menggunakan proses
Hall-Heroult. Pada proses elektrolisis, Al2O3 dicampur dengan CaF2 dan 2-8% kriolit (Na3AlF6) yang
berfungsi untuk menurunkan titik lebur Al2O3 (titik lebur Al2O3 murni mencapai 2000oC), campuran
tersebut akan melebur pada suhu antara 850-950oC. Anode dan katodenya terbuat dari grafit. Reaksi yang
terjadi sebagai berikut:

Al2O3(l)  2Al3+(l) + 3O2- (l)

Anode (+): 3O2- (l)  3/2 O2 (g) + 6e−

Katode (-): 2Al3+(l) + 6e-  2Al (l)

Reaksi sel: 2Al3+(l) + 3O2- (l)  2Al (l) + 3/2 O2 (g)

Peleburan alumina menjadi aluminium logam terjadi dalam tong baja yang disebut pot reduksi
atau sel elektrolisis. Bagian bawah pot dilapisi dengan karbon, yang bertindak sebagai suatu elektroda
(konduktor arus listrik) dari sistem. Secara umum pada proses ini, leburan alumina dielektrolisis, dimana
lelehan tersebut dicampur dengan lelehan elektrolit kriolit dan CaF2 di dalam pot dimana pada pot
tersebut terikat serangkaian batang karbon dibagian atas pot sebagai katoda. Karbon anoda berada
dibagian bawah pot sebagai lapisan pot, dengan aliran arus kuat 5-10 V antara anoda dan katodanya
proses elektrolisis terjadi. Tetapi, arus listrik dapat diperbesar sesuai keperluan, seperti dalam keperluan
industri.

Alumina mengalami pemutusan ikatan akibat elektrolisis, lelehan aluminium akan menuju
kebawah pot, yang secara berkala akan ditampung menuju cetakan berbentuk silinder atau lempengan.
Masing – masing pot dapat menghasilkan 66.000-110.000 ton aluminium per tahun(Anonymous,2009).
Secara umum, 4 ton bauksit akan menghasilkan 2 ton alumina, yang nantinya akan menghasilkan 1 ton
alumunium.

Berikut ini tahapan elektrolisis alumina menjadi aluminium.

1. Di dalam pot reduksi (sel elektrolisis), kristal alumina dilarutkan dalam pelarut lelehan kriolit
(Na3AlF6) cair dan CaF2 pada suhu 1.760-1.780°F (960-970°C) untuk membentuk suatu larutan
elektrolit yang akan menghantarkan listrik dari batang karbon (Katoda) menuju Lapisan-Karbon
(Anoda).
2. Sebuah arus searah (5-10 volt dan 100.000-230.000 ampere) dilewatkan melalui larutan. Reaksi yang
dihasilkan akan memecah ikatan antara aluminium dan atom oksigen dalam molekul alumina.
Oksigen yang dilepaskan tertarik ke batang karbon, di mana ia membentuk karbon dioksida. Atom-
atom aluminium dibebaskan dan mengendap di bagian bawah pot sebagai logam cair.
3. Proses peleburan dilanjutkan, dengan penambahan alumina pada larutan kriolit untuk menggantikan
senyawa yang terdekomposisi. Arus listrik konstan tetap dialirkan. Panas yang berasal dari aliran
listrik menjaga agar isi pot tetap berada pada keadaan cair.
4. Lelehan aluminium murni terkumpul dibawah pot.
5. Lelehan yang sudah terkumpul ini dipindahkan ke tungku penyimpanan dan kemudian dituangkan ke
dalam cetakan sebagai batangan atau lempengan.
6. Ketika logam diisi ke dalam cetakan, bagian luar cetakan didinginkan dengan air, yang menyebabkan
aliminium menjadi padat.
7. Logam murni yang padat dapat dibentuk dengan penggergajian sesuai dengan kebutuhan.
8. Dengan proses Hall-Heroult ini, aluminium diproduksi secara massal dan murah.
Gambar 2. Flow Diagram Proses Bayer dan Hall-Heroult di Industri Aluminium.

D. Coal Tar
Coal tar atau yang juga dikenal sebagai crude tar, adalah produk samping yang dihasilkan selama
proses karbonisasi batubara bersuhu tinggi untuk produksi kokas metalurgi di by-product coke ovens.
Coal tar berbentuk cairan hitam, kental, terkadang semi-padat, berbau aneh, yang terkondensasi bersama-
sama dengan 'gas-liquor' (cairan amoniak), ketika produk volatil dari karbonisasi batubara kokas
didinginkan. Coal tar bersifat asam di alam dan tidak larut dalam air. Coal tar terdiri lebih dari 348 tipe
komponen kimia. Gambar 3 menunjukkan komponen-komponen kimia yang terdapat dalam coal tar.

Gambar 3. Komponen-komponen kimia dalam coal tar


E. Coal Tar Pitch (CTP)
Coal tar pitch adalah residu hasil distilasi coal tar, sebagai produk samping dari proses pirolisis spserti
proses pembuatan kokas dan grafit. Oleh karena sifat kelengketan dan kadar karbon yang tinggi,
menyebabkan coal tar pitch sangat ideal sebagai perekat pada pembuatan anoda (elektroda penghantar
listrik). Pada suhu kamar coal tar pitch berupa padatan. Coal tar pitch terdiri terdiri dari campuran
kompleks dari banyak hidrokarbon aromatik dan heterosiklik yang dominan, dan menunjukkan rentang
pelunakan yang luas daripada suhu leleh yang ditentukan.

Industri CTP terdiri dari distilasi bertingkat (terfraksinasi) dari coal tar yang suhunya mendekati
400°C (Gambar 4) pada tekanan atmosferik. Dengan prosedur ini, coal tar menghasilkan serangkaian
fraksi cair yang cocok untuk aplikasi industri yang berbeda dan residu yang padat pada suhu kamar, yang
disebut coal tar pitch atau CTP. Dua jenis CTP yang berbeda biasanya diproduksi: binder and
impregnating-grade. Perbedaan utama antara pitch-pitch ini terletak pada kandungan yang tidak larut
quinoline (jauh lebih rendah dalam CTP impregnasi) dan pada titik pelunakan (~ 110 ° C, untuk binder
dan ~ 90 ° C, untuk impregnating grade). Fraksi distilasi coal tar terberat yang terdistilasi antara ~ 270-
400 ° C adalah anthracene oil. Gambar 5 menunjukkan proses flow diagram dalam proses produksi coal
tar pitch.

Gambar 4. Ilustrasi skematis untuk produksi pitch tar-batubara dan pitch berbasis anthracene oil

Gambar 4. proses flow diagram dalam proses produksi coal tar pitch

Anda mungkin juga menyukai