Anda di halaman 1dari 28

INFEKSI SALURAN KEMIH

I. DEFINISI
Infeksi saluran kemih atau urinary tract infection (UTI) adalah penyakit yang
terdapat pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri dalam saluran kemih14 .

II. EPIDEMIOLOGI
infeksi saluran kemih (ISK) tergantung banyak faktor; seperti usia, gender, prevalensi
bakteriuria, dan faktor predisposisi yang menyebabkan perubahan struktur saluran kemih
4
termasuk ginjal.
Sekitar 8% anak perempuan dan 2% anak laki-laki pernah menderita ISK ketika berusia
11 tahun. Setelah usia lebih dari 12 bulan, isk banyak terjadi pada anak perempuan. Saluran
uretra yang pendek merupakan factor predisposisi isk pada anak perempuan. Resiko pada bayi
laki-laki yang belum di sirkumsisi meningkat 5-12 kali lipat dibanding dengan anak laki-laki
yang telah disirkumsisi. Hambatan pada aliran urin dan statis urin merupakan factor risiko
mayor dan dapat disebabkan oleh kelainan anatomi,nefrolitiasis,tumor ginjal, kateter urin yang
terpasang terlalu lama, obstruksi pada ureteropelvic junction, megaureter, kompresi ekstrinsik
dan kehamilan. Refluks vesikoureter baik yang primer atau sekunder akibat obstruksi traktus
urinarius merupakan factor predisposisi isk kronik dan terjadinya parut ginjal. Jaringan parut
.
juga dapat terjadi tanpa refluks15

III. ETIOLOGI
Escherichia coli (E.coli) merupakan penyebab paling sering 80-90% ISK serangan
pertama disebabkan oleh kuman E. coli. Kuman lain yang tersering ditemukan antara lain
klebsiella, Alkaligenes, Staphylococcus saphrophyticus, proteus, dan Asinetobacter. Pada ISK
yang disertai kelainan structural saluran kemih sering ditemukan kuman yang virulensinya
rendah seperti pseudomonas, staphylococcus aureus, atau epidermidis, ataupun enterococcus
fecalis14 .

PATOGEN PADA ISK PATOGEN PADA ISK KOMPLEKS


SIMPLEKS
Escherichia coli Escherichia coli
Staphylococcus saprophyticus Klebsiella
Klebsiella Enterobacter fecalis
Enterococcus fecalis Serratia marcesens
Proteus mirabilis
Pseudomonas aeriginosa
Enterococcus fecalis
Group B streptococci
Sumber : Roland

IV. PATOGENESIS

Umumnya cara infeksi pada ISK adalah secara asending, artinya kuman berasal dari
daerah perineum naik ke orifisium uretra eksterna, kandung kemih, ureter dan ginjal. Pada
sebagian kecil, terutama pada neonatus infeksi terjadi secara hematogen. Ada beberapa faktor
yang berperan terhadap terjadinya ISK. Faktor yang dapat mencegah perlekatan bakteri ke
epitel saluran kemih antara lain mekanisme berkemih, protein Tamm Horsfall di tubulus ginjal,
flora normal daerah periuretral, dan mukopolisakarida di urin dan yang melapisi dinding
saluran kemih. Namun ada faktor yang mempermudah terjadinya ISK seperti ibu dengan ISK,
tidak mendapatkan ASI, gangguan pertahanan mukosa saluran kemih, adanya preputium pada
laki-laki, dan sekresi IgA yang menurun. Selain itu ada faktor lokal saluran kemih yang
menyebabkan mudah terjadi ISK misalnya kelainan bawaan duplikasi sistem kolekting, refluks
vesiko ureter (RVU), obstruksi saluran kemih, dan benda asing. Bakteri E. Coli bersifat
patogen karena memiliki kapsul dan P-fimbrae sehingga memiliki kemampuan melekat pada
sel uroepitel. E. Coli juga memproduksi aerobaktin, hemosilin, kolisin sehingga sering resisten
terhadap antibiotik. E. Coli mampu untuk tumbuh, berduplikasi dalam waktu singkat, dan
berkolonisasi

Infeksi saluran kemih terjadi ketika bakteri masuk ke saluran kemih dan menembus
pertahanan mukosa. Derajat dan perluasan infeksi dipengaruhi oleh interaksi antara faktor host,
lingkungan, dan patogenitas bakteri. Infeksi saluran kemih yang awalnya berupa sistitis dapat
meluas secara asending ke ginjal sehingga terjadi pielonefritis, urosepsis, dan pembentukan
jaringan parut. Jaringan parut dapat terjadi karena bakteri melepaskan endotoksin sehingga
terjadi agregasi granulosit, obstruksi kapiler, iskemik ginjal, kemotaksis granulosit (untuk
fagositosis), dan pelepasan enzim superoksidase. Enzim tersebut menyebabkan kematian sel
tubulus dan inflamasi interstitial.

Pada beberapa anak, predisposisi terjadinya ISK adalah karena adanya kelainan
anatomi kongenital atau yang didapat, sedangkan pada anak yang lainnya kemungkinan
kelainan itu tidak ditemukan, walaupun sudah diteliti. Pada kelompok yang terakhir ini diduga
yang menjadi faktor predisposisi adalah virulensi bakteri atau karena kelainan fungsional
1
saluran kemih.

V. MANIFESTASI KLINIK
Gejala klinik ISK pada anak sangat bervariasi, di tentukan oleh intensitas reaksi
peradangan, letak infeksi (ISK atas dan ISK bawah), dan umur pasien. Sebagian ISK pada anak
merupakan ISK asimptomatik, umumnya di temukan pada anak umur sekolah terutama anak
perempuan dan biasanya ditemukan pada uji tapis (screening programs). ISK asimptomatis
umumnya tidak berlanjut menjadi pielonefritis dan prognosis jangka panjang baik17 .
Gejala klinis pada neonates dan bayi tidak spesifik sehingga perlu ketelitian untuk
menilai hal tersebut. Demam, tidak mau minum, berat badan tidak naik (failure to thrive),
hematuria, urine bau busuk, dan icterus merupakan gejala yang dapat dijumpai pada bayi.
Icterus tanpa demam sering timbul pada anak berusia kurang dari 8 minggu.
Pada anak yang berusia antara 2 bulan sampai 2 tahun yang mengalami demam tinggi
tanpa diketahui sebabnya dapat dianggap sebagai pyelonefritis. Kemampuan neonatus
mengatasi infeksi yang belum berkembang menyebabkan mudah terjadi sepsis atau meningitis,
terutama pada neonatus dengan kelainan saluran kemih.
Pada anak yang lebih besar bisa terdapat sakit pinggang atau sakit daerah costovetebral,
menggigil, dan sakit pada penekanan daerah lain. Dapat disertai tanda gastrointestinal seperti
diare, muntah dan mual. Tanda neurologis seperti mudah terangsang dan kejang terutama pada
anak yang panas tinggi. Fokal bacterial nefritis akut merupakan bentuk pielonefritis yang parah
dan juga interstitial nefritis yang dulunya disebut nefronia. Gejala sakit pinggang dan demam
tinggi akhirnya dapat seperti keadaan “sepsis”.
Pada pielonefritis dijumpai demam tinggi disertai menggigil, gejala saluran cerna
seperti mual, muntah, diare. Tekanan darah pada umumnya masih normal, dapat ditemukan
nyeri pinggang17 .
Gejala yang bisa ditemukan pada sistitis adalah demam yang tidak tinggi (jarang
melebihi 38o C), sakit waktu berkemih, selalu berkemih, sakit didaerah suprapubic, susah
berkemih atau retensi urine, urgensi, dan enuresis16. .

VI. KLASIFIKASI
ISK pada anak dapat dibedakan berdasarkan gejala klinis, lokasi infeksi dan kelainan
saluran kemih.
1. Berdasarkan gejala 3
 Asimptomatik
ISK asimptomatik adalah bakteriuria bermakna tanpa gejala.
 Simptomatik
ISK simptomatik yaitu terdapatnya bakteriuria bermakna disertai gejala dan tanda
klinik.
 ISK non spesifik
ISK yang sulit digolongkan ke dalam pielonefritis atau sistitis baik berdasarkan
gejala klinik maupun pemeriksaan penunjang.
2. Berdasarkan lokasi infeksi
 ISK atas atau pielonefritis
Gejalanya disertai demam dan nyeri punggung. Pemeriksaan urin didapatkan
silinder leukosit, konsentrasi ginjal menurun, mikroglobulin beta 2 urin meningkat
dan ditemukan ACB.

1. Pielonefritis akut (PNA) adalah radang akut dari ginjal, ditandai primer oleh
radang jaringan interstitial sekunder mengenai tubulus dan akhirnya dapat
mengenai kapiler glomerulus, disertai manifestasi klinik dan bakteriuria tanpa
19,20
ditemukan kelainan radiologik . PNA ditemukan pada semua umur dan jenis
kelamin walaupun lebih sering ditemukan pada wanita dan anak-anak. Pada laki-
20
laki usia lanjut, PNA biasanya disertai hipertrofi prostat . Gejala dan tanda klinis
pada pielonefritis akut, temasuk demam, menggigil, sakit, mual dan muntah,
sepsis, insufisiensi pernafasan dan gejala yang konsisten dengan sistitis. Diagnosis
perlu dikonfirmasikan dengan biakan urine. Biakan urine setelah pengobatan
dengan antibiotika, hasilnya menjadi negatif. Ditemukannya 1, 2 bakteri per
lapangan pandang besar pada urine dari kateterisasi, 20 bakteri dari penampungan
urine atau 100,000 cfu /ml dari biakan urine adalah bermakna18,19,21 .

2. Pielonefritis Kronik (PNK) adalah kelainan jaringan interstitial (primer) dan


sekunder mengenai tubulus dan glomerulus, mempunyai hubungan dengan infeksi
bakteri (immediate atau late effect) dengan atau tanpa bakteriuria dan selalu
disertai kelainan-kelainan radiologi21 .

 ISK bawah (sistitis dan urethritis)


Gejalanya lebih ringan berupa dysuria, polakisuria, kencing mengedan atau urgensi
1. Sistitis akut adalah radang selaput mukosa kandung kemih (vesika urinaria) yang
timbulnya mendadak, biasanya ringan dan sembuh spontan (self-limited disease) atau
berat disertai penyulit ISKA (pielonefritis akut). Sistitis akut termasuk ISK tipe
sederhana (uncomplicated type). Sebaliknya sistitis akut yang sering kambuh (recurrent
urinary tract infection) termasuk ISK tipe berkomplikasi (complicated type), ISK jenis
ini perlu perhatian khusus dalam pengelolaannya. Diagnosis pada penderita sistitis dapat
ditegakkan dengan adanya keluhan disuria, hematuria, sering miksi atau merasa tidak
enak pada daerah suprapubik.
2. Sistitis kronik adalah radang kandung kemih yang menyerang berulang-ulang (recurrent
attact of cystitis) dan dapat menyebabkan kelainan-kelainan atau penyulit dari saluran
kemih bagian atas dan ginjal. Sistitis kronik merupakan ISKB tipe berkomplikas, dan
memerlukan pemeriksaan lanjutan untuk mencari faktor predisposis.
3. Sindrom uretra akut (SUA) adalah presentasi klinis sistitis tanpa ditemukan
mikroorganisme (steril), sering dinamakan sistitis bakterialis karena tidak dapat diisolasi
mikroorganisme penyebabnya. Penelitian terkini menunjukkan bahwa SUA disebabkan
oleh MO anaerobic.

3. Berdasarkan kelainan anatomi


 ISK kompleks (complicated UTI) adalah ISK yang disertai kelainan anatomic atau
fungsional saluran kemih yang menyebabkan statis ataupun aliran balik (refluks)
urin. Kelainan saluran kemih berupa Refluks VesikoUreter, batu saluran kemih,
obstruksi, anomaly saluran kemih, buli-buli neurogenic, benda asing dan sebgainya.
 ISK simpleks (uncomplicated UTI)adalah ISK tanpa kelainan structural maupun
fungsional saluran kemih3 .

VII. FAKTOR RESIKO


 Factor resiko ISK bergantung pada jenis kelamin, usia, factor kolonisasi periuretra, daya
tahan tubuh, gangguan kemampuan mengontrol kandung kemih dan pola berkemih.
 Kelainan genitalia seperti fimosis, hipospadia, epispadia pada anak laki-laki atau sinekia
vagina pada anak wanita merupakan factor resiko ISK pada jenis kelamin tertentu.
 Pemakaian bubble buth, pakaian dalam terlalu sempit, pemakaian deodorant yang iritatif
(khususnya pada anak perempuan), konstipasi dan preputium belum di sirkumsisi.
 Guideline American acamedy of pediatrics (AAP) ISK pada bayi laki-laki dan
perempuan usia 2-24 bulan dengan demam berdasar atas jumlah factor risiko seperti ras
kulit putih, usia kurang dari 12 bulan, temperature tubuh lebih atau sama dengan 39o C,
demam berlangsung sedikitnya 2 hari pada bayi perempuan atau 24 jam pada bayi laki-
laki, dan ketiadaan sumber infeksi yang lain ditemui14 .
VIII. DIAGNOSIS
Infeksi saluran kemih diteggakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium yang dipastikan dengan biakan urin17 .

Anamnesis

Gambaran klisnis ISK sangat bervariasi dan sering tidak khas, dari asimptomatik
sampai gajala sepsis berat. Pada neonatus sampai usia 2 bulan, gejalanya menyerupai gejala
sepsis berat, berupa demam, apatis, berat badan tidak naik, muntah, mencret, anoreksia,
problem minum, dan sianosis. Pada bayi, gejalanya berupa demam, berat badan sukar naik,
atau anoreksia. Pada anak besar, gejalanya lebih khas, seperti sakit waktu miksi, frekuensi
miksi meningkat, nyeri perut atau pinggang, mengompol, polakisuria, atau urin yang berbau
menyengat22 .

Pemeriksaan Fisis

Gejala dan tanda ISK yang dapat ditemukan berupa demam, nyeri ketok sudut
kostovertebral, nyeri tekan suprasimfisis, kelainan pada genitalia eksterna seperti fimosis,
sinekia vulva, hipospadia, epispadia, dan kelainan pada tulang belakang seperti spina bifida22 .

Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan urinalisis dapat ditemukan proteinuria, leukosituria (leukosit


>5/LPB), hematuria (eritrosit >5/LPB). Diagnosis pasti dengan ditemukannya bakteriuria
bermakna pada kultur urin, yang jumlahnya tergantung dari metode pengambilan sampel urin
(lihat tabel 4)22 .

Pemeriksaan penunjang lain dilakukan untuk mencari faktor resiko seperti disebutkan
di atas dengan melakukan pemeriksaan ultrasonografi, foto polos perut, dan bila perlu
dilanjutkan dengan miksio-sisto-uretrogram dan pielografi intravena. Algoritme
penanggulangan dan pencitraan anak dengan ISK dapat dilihat pada lampiran. Pemeriksaan
ureum dan kreatinin serum dilakukan untuk menilai fungsi ginjal22.

DIAGNOSIS BANDING

Radang genitalia eksterna, vulvitis, dan vaginitis yang disebabkan oleh ragi (yeast), cacing
kremi (pinworm), dan agen lain dapat disertai gejala-gejala mirip sistitis. Sistitis virus dan
kimiawi harus dibedakan dari sistitis bakterial berdasarkan atas riwayat penyakit dan hasil
biakan urin. Secara radiografi, ginjal hipoplastik dan diplastik, atau ginjal kecil akibat
gangguan vaskuler, dapat tampak sama dengan pielonefritis kronis16.

IX. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Biakan urin
Biakan urin merupakan baku emas untuk diagnosis ISK dan idealnya harus bebas dari
kontaminasi. Teknik pengambilan sampel urine untuk biakan pada bayi dan anak ada 3 cara:
urine pancar tengah, kateterisasi urine dan aspirasi suprapubic.
14
Konsensus UKK Nefrologi IDAI (2011) tentang interpretasi hasil biakan urine yang
bermakna bergantung pada teknik pengambilan sampel urine. Diartikan sebagai bakteriuria
bermakna apabila:
- Biakan urine dengan aspirasi suprapubic didapatkan beberapa jumlah kuman
- Biakan urine dengan teknik kateterisasi urine didapatkan kuman dengan jumlah lebih
dari 50.000 cfu/mL
- Biakan urine dengan pancar tengah didapatkan kuman dengan jumlah lebih dari
100.000 cfu/mL
- Biakan urine dengan urine collector didapatkan kuman dengan jumlah lebih dari
100.000 cfu/mL

2. Urinalisis
Tidak dapat menggantikan culture urine untuk mendiagnosis ISK tetapi dibutuhkan untuk
digunakan bersama kultur urine. Hasil pemeriksaan urinalisis digunakan untuk menduga hasil
culture urine dan memberi peluang vagi klinisis memberikan terapi awal ISK. Pengumpulan
sampel urinalisis dengan cara urine collector. Specimen harus segar (kurang dari 1 jam sesudah
berkemih pada suhu kamar atau kurang dari 4 jam sesudah berkemih dan urine disimpan
dilemari pendingin)14 .

a. Pemeriksaan dipstick urine


Dapat mendeteksi leukosit esterase, enzim yang terdapat didalam leukosit neutrophil
yang menggambarkan banyaknya leukosit dalam urine.

Pemeriksaan lain yaitu uji nitrit merupakan pemeriksaan tidak langsung terhadap bakteri dalam
urine. Normalnya nitrit tidak terdapat dalam urine, tetapi dapat ditemukan jika nitrat diubah
menjadi nitrit oleh bakteri. Kuman gram positive dan kuman gram negative yang dapat
mengubah nitrat menjadi nitrit14 .

b. Pemeriksaan mikroskopis urine


Mikroskopis urine (Leukosituria dan bakteriuria) menjadi salah satu pemeriksaan
pendukung diagnosis ISK. Caranya dengan pemusingan urine, yaitu 10 mL urine di pusing
selama 5-7 menit dengan kecepatan sentrifugasi 400 g. pada lapangan pandang besar LPB X
40, keberadaan 1-10 mikroorganisme/LPT mengindikasikan Bakteriuria. 10 sel leukosit/LPT
mengindikasikan piuria. Leukosituria merupakan petunjuk kemungkinan terdapat bakteriuria,
tetapi tidak dipakai untuk patokan ada tidaknya ISK.
Factor pemusingan dapat menurunkan spesifitasnya. Bakteriuria dapat terjadi tanpa
leukosituria. Bakteriuria yang terjadi tanpa disertai piuria biasanya menunjukan kolonisasi
bakteri. Piuria tanpa disertai bakteriuria menunjukan keberadaan batu atau infeksi
tuberculosis14 .

c. Pemeriksaan urine lainnya


Penanda lain ISK adalan neutrophil gelatinase associated lipocalin urine (uNGAL) dan
rasio uNGAL dengan kreatinin urine (uNGAL/Cr). NGAL adalah suatu iron-carrier-protein
yang terdapat dalam granul neutrophil dan merupakan komponen imunitas innate yang
memberikan respons terhadap infeksi bakteri. Peningkatan uNGAL dan rasio Ungal/Cr >30
ng/mg merupakan tanda ISK14 .

3. Pemeriksaan darah
Leukositisis, peningkatan nilai absolut neutrophil, peningkatan laju endap darah (LED), C-
reactive protein (CRP) yang positif, merupakan indicator nonspesifik ISK atas. Kadar
prokalsitonin yang tinggi dapat digunakan sebagai predictor yang valid untuk pielonefritis akut
pada anak dengan ISK febris dan skar ginjal. Prokalsitonin dan sitokin proinflamatori
meningkat pada fase akut infeksi termasuk pada pielonefritis akut14 .
X. TATALAKSANA

Tata laksana ISK didasarkan pada beberapa faktor seperti umur pasien, lokasi infeksi,gejala
klinis, dan ada tidaknya kelainan yang menyertai ISK. Sistitis dan pielonefritis memerlukan
pengobatan yang berbeda. Keterlambatan pemberian antibiotik merupakan faktor risiko
penting terhadap terjadinya jaringan parut pada pielonefritis. Sebelum pemberian antibiotik,
terlebih dahulu diambil sampel urin untuk pemeriksaan biakan urin dan resistensi antimikroba.
Penanganan ISK pada anak yang dilakukan lebih awal dan tepat dapat mencegah terjadinya
7-8-9
kerusakan ginjal lebih lanjut .

Sampai saat ini masih belum ada keseragaman dalam penanganan ISK pada anak, dan
masih terdapat beberapa hal yang masih kontroversi. Beberapa protokol penanganan ISK telah
dibuat berdasarkan hasil penelitian multisenter berupa uji klinis dan meta-analisis, meskipun
terdapat beberapa perbedaan tetapi protokol penanganan ini saling melengkapi 9 .

Secara garis besar, tata laksana ISK terdiri atas: 1. Eradikasi infeksi akut, 2. Deteksi dan
tata laksana kelainan anatomi dan fungsional pada ginjal dan saluran kemih, dan 3. Deteksi dan
mencegah infeksi berulang14 .
Pengobatan sistitis akut

Anak dengan sistitis diobati dengan antibiotik per oral dan umumnya tidak memerlukan
perawatan di rumah sakit,namun bila gejala klinik cukup berat misalnya rasa sakit yang hebat,
toksik, muntah dan dehidrasi, anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi pengobatan
parenteral hingga gejala klinik membaik23,24,25 .Lama pengobatan umumnya 5 – 7 hari,
meskipun ada yang memberikan 3-5 hari, atau 7 hari26 .

Untuk sistitis akut, direkomendasikan pemberian antibiotik oral seperti trimetoprim-


sulfametoksazol, nitrofurantoin, amoksisilin, amoksisilin- klavulanat, sefaleksin, dan sefiksim.
Golongan sefalosporin sebaiknya tidak diberikan untuk menghindari resistensi kuman dan
dicadangkan untuk terapi pielonefritis25. Menurut Garin dkk., (2007), pemberian sefiksim pada
sistitis akut terlalu berlebihan26. ISK simpleks umumnya memberikan respon yang baik dengan
amoksisilin, sulfonamid, trimetoprim-sulfametoksazol, atau sefalosporin.

Pengobatan pielonefritis

pada pielonefritis akut, umumnya antibiotik diberikan selama 7-10 hari, meskipun ada
yang menuliskan 7-14 hari26 atau 10-14 hari 24
Pemberian antibiotik parenteral selama 7 - 14
hari sangat efektif dalam mengatasi infeksi pada pielonefritis akut, tetapi lamanya pemberian
parenteral menimbulkan berbagai permasalahan seperti masalah kesulitan teknik pemberian
obat, pasien memerlukan perawatan, biaya pengobatan yang relatif mahal, dan
ketidaknyamanan bagi pasien dan orangtua, sehingga dipikirkan untuk mempersingkat
pemberian parenteral dan diganti dengan pemberian oral. Biasanya perbaikan klinis sudah
terlihat dalam 24-48 jam pemberian antibiotik parenteral. sehingga setelah perbaikan klinis,
antibiotik dilanjutka

pengobatan isk pada neonatus

Pada masa neonatus, gejala klinik ISK tidak spesifik dapat berupa apati, anoreksia,
ikterus, gagal tumbuh, muntah, diare, demam, hipotermia, tidak mau minum, oliguria, iritabel,
atau distensi abdomen. Kemampuan neonatus mengatasi infeksi yang belum berkembang
menyebabkan mudah terjadi sepsis atau meningitis, terutama pada neonatus dengan kelainan
saluran kemih. Pengobatan terutama ditujukan untuk mengatasi infeksi bakteri Gram negatif.
Antibiotik harus segera diberikan secara intravena. Kombinasi aminoglikosida dan ampisilin
pada umumnya cukup memadai. Lama pemberian antibiotik pada neonatus dengan ISK adalah
10-14 hari. Pemberian profilaksis antibiotik segera diberikan setelah selesai pengobatan fase
akut.

Bakteriuria asimtomatik

Pada beberapa kasus ditemukan pertumbuhan kuman>105 cfu/mL dalam urin tanpa
gejala klinik, baik gejala klinik ISK bawah (disuria, urgency, dan frekuensi) ataupun gejala
klinik ISK atas seperti demam, menggigil, nyeri sekitar ginjal Bakteri pada bakteriuria
asimtomatik biasanya bakteri dengan virulensi rendah dan tidak punya kemampuan untuk
menyebabkan kerusakan ginjal meskipun kuman tersebut mencapai ginjal.

Secara umum disepakati bahwa bakteriuria asimtomatik tidak memerlukan terapi antibiotik,
malah pemberian antibiotik dapat menambah
risikokomplikasiantaralainmeningkatkanrekurensipada80%kasus. Kuman komensal dan
virulensi rendah pada saluran kemih dapat menghambat invasi kuman patogen, dengan
demikian kuman komensal tersebut dianggap berfungsi sebagai profilaksis biologik terhadap
kolonisasi kuman patogen.

Pengobatan suportif

Selain terapi kausal terhadap infeksi, pengobatan suportif dan simtomatik juga perlu
diperhatikan,misalnya pengobatan terhadap demam dan muntah. Terapi cairan harus adekuat
untuk menjamin diuresis yang lancar. Anak yang sudah
besardapatdisuruhuntukmengosongkankandungkemihsetiapmiksi. Higiene
perineumperluditekankanterutamapadaanakperempuan. Untukmengatasi disuria dapat
diberikan fenazopiridin HCl (Pyridium) dengan dosis 7 – 10 mg/ kgbb/hari.
Perawatandirumahsakitdiperlukanbagipasiensakitberatseperti demam tinggi, muntah, sakit
perut maupun sakit pinggang24,25.

2. Deteksi kelainan anatomi dan fungsional serta tata laksananya

Deteksi kelainan anatomi atau fungsional ginjal saluran kemih dilakukan untuk mencari
faktor predisposisi terjadinya ISK dengan pemeriksaan fisik dan pencitraan. Dengan
pemeriksaan fisik saja dapat ditemukan sinekia vagina pada anak perempuan, fimosis,
hipospadia, epispadia pada anak laki-laki. Pada tulang belakang, adanya spina bifida atau
dimple mengarah ke neurogenic bladder.
Pemeriksaan pencitraan sangat penting untuk melihat adanya kelainan anatomi maupun
fungsional ginjal dan saluran kemih, yang merupakan faktor risiko terjadinya ISK berulang
dan parut ginjal. Berbagai jenis pemeriksaan pencitraan antara lain ultrasonografi (USG),
miksio-sistouretrografi (MSU), PIV (pielografi inravena), skintigrafi DMSA (dimercapto
succinic acid), CT-scan atau magnetic resonance imaging (MRI). Dulu, PIV merupakan
pemeriksaan yang sering digunakan, tetapi belakangan ini tidak lagi rutin digunakan pada ISK
karena berbagai faktor antara lain efek radiasi yang multipel, risiko syok anafilaktik, risiko
nekrosis tubular akut, jaringan parut baru terlihat setelah beberapa bulan atau tahun, tidak dapat
memperlihatkan jaringan parut pada permukaan anterior dan posterior. PIV digunakan untuk
kasus tertentu, misalnya untuk melihat gambaran anatomi jika tidak jelas terlihat dengan USG
dan skintigrafi DMSA, misalnya ginjal tapal kuda.

3. Deteksi dan mencegah infeksi berulang

Infeksi berulang terutama pielonefritis akut merupakan faktor yang berperan dalam
terjadinya parut ginjal. Diperkirakan 40 – 50% kasus ISK simtomatik akan mengalami infeksi
berulang dalam dua tahun pengamatan dan umumnya berupa reinfeksi, bukan relaps. Deteksi
ISK berulang dilakukan dengan biakan urin berkala, misalnya setiap bulan, kemudian
dilanjutkan dengan setiap 3 bulan. Jika terdapat ISK berulang, berikan antibiotik yang sesuai
dengan hasil biakan urin.

Beberapa faktor berperan dalam terjadinya ISK berulang, terutama pada anak
perempuan, antara lain infestasi parasit seperti cacing benang, pemakaian bubble bath, pakaian
dalam terlalu sempit, pemakaian deodorant yang bersifatiritatif terhadap mukosa perineum dan
vulva, pemakaian toilet paper yang salah, konstipasi, ketidak mampuan pengosongan kandung
kemih secara sempurna, baik akibat gangguan neurologik (neurogenic bladder) maupun faktor
lain (non neurogenic bladder), RVU, preputium yang belum disirkumsisi.

ISK berulang dapat dicegah dengan meningkatkan keadaan umum pasien termasuk
memperbaiki status gizi, edukasi tentang pola hidup sehat, dan menghilangkan atau mengatasi
faktor risiko. Asupan cairan yang tinggi dan miksi yang teratur bermanfaat mencegah ISK
berulang. Pada kasus refluks dianjurkan miksi berganda (double micturation maupun tripple
micturation). Koreksi bedah terhadap kelainan struktural seperti obstruksi, refluks derajat
tinggi, urolitiasis, katup uretra posterior, ureterokel dan ureter dupleks yang disertai obstruksi
sangat bermanfaat untuk mengatasi infeksi berulang. Indikasi tindakan bedah harus dilihat
kasus per kasus. Risiko terjadinya ISK pada bayi laki-laki yang tidak disirkumsisi meningkat
3-15 kali dibandingkan dengan bayi laki-laki yang sudah disirkumsisi. Tindakan sirkumsisi
pada anak laki-laki terbukti efektif menurunkan insiden ISK6
XI. KOMPLIKASI

ISK dapat menyebabkan gagal ginjal akut, bakteremia, sepsis, dan meningitis.
Komplikasi ISK jangka panjang adalah parut ginjal, hipertensi, gagal ginjal, komplikasi pada
masa kehamilan seperti preeklampsia. Parut ginjal terjadi pada 8-40% pasien setelah
mengalami episode pielonefritis akut. Faktor risiko terjadinya parut ginjal antara lain umur
muda, keterlambatan pemberian antibiotik dalam tatalaksana ISK, infeksi berulang, RVU dan
obstruksi saluran kemih.
XII. PROGNOSIS

ISK tanpa kelainan anatomis menpunyai prognosis lebih baik bila dilakukan pengobatan pada
fase akut yang adekuat dan disertai pengawasan terhadap kemungkinan infeksi berulang.
Prognosis jangka panjang pada sebagian besar penderita dengan kelainan anatomis umumnya
kurang memuaskan meskipun telah diberikan

pengobatan yang adekuat dan dilakukan koreksi bedah, hal ini terjadi terutama pada penderita
dengan nefropati refluks. Deteksi dini terhadap adanya kelainan anatomis, pengobatan yang
segera pada fase akut, kerjasama yang baik antara dokter, ahli bedah urologi dan orang tua
penderita sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya perburukan yang mengarah ke fase
4
terminal gagal ginjal kronis.
INFEKSI SALURAN PERNAFASAN ATAS

A. Definisi ISPA

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dibedakan menjadi dua, ISPA atas dan
bawah menurut Nelson (2002: 1456-1483), Infeksi saluran pernapasan atas adalah
infeksi yang disebabkan oleh virus dan bakteri termasuk nasofaringitis atau
common cold, faringitis akut, uvulitis akut, rhinitis, nasofaringitis kronis, sinusitis.
Sedangkan, infeksi saluran pernapasan akut bawah merupakan infeksi yang telah
didahului oleh infeksi saluran atas yang disebabkan oleh infeksi bakteri sekunder,
yang termasuk dalam penggolongan ini adalah bronkhitis akut, bronkhitis kronis,
bronkiolitis dan pneumonia aspirasi.

B. Etiologi
Etiologi ISPA terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan richetsia. Bakteri
penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptococcus, Staphylococcus,
Pneumococcus, Haemophylus, Bordetella dan Corinebacterium. Virus penyebab ISPA
antara lain adalah golongan Miksovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus,
Micoplasma, Herpesvirus dan lain-lain.
Etiologi Pneumonia pada Balita sukar untuk ditetapkan karena dahak biasanya
sukar diperoleh. Penetapan etiologi Pneumonia di Indonesia masih didasarkan pada
hasil penelitian di luar Indonesia. Menurut publikasi WHO, penelitian di berbagai
negara menunjukkan bahwa di negara berkembang streptococcus
pneumonia dan haemophylus influenza merupakan bakteri yang selalu ditemukan
pada dua per tiga dari hasil isolasi, yakni
73, 9% aspirat paru dan 69, 1% hasil isolasi dari spesimen darah. Sedangkan di negara
maju, dewasa ini Pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus
(Suriadi,Yuliani R,2001)
Penyebab ISPA ISPA dapat disebabkan oleh banyak hal. Antara lain :

1) Menurut Nelson (2002, 1455-1457), Virus penyebab ISPA meliputi virus


parainfluenza, adenovirus, rhinovirus, koronavirus, koksakavirus A dan B,
Streptokokus dan lainlain.

2) Perilaku individu, seperti sanitasi fisik rumah, kurangnya ketersediaan air bersih
(Depkes RI, 2005: 30).
C. KLASIFIKASI ISPA
Penyakit Infeksi akut menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas
mulai hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan aksesoris
seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni
antara lain :

1) Infeksi Infeksi merupakan masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh


manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

2) Saluran pernapasan Saluran pernapasan merupakan organ mulai dari hidung hingga
alveoli beserta organ aksesorinya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.

3) Infeksi Akut Infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari
ditentukan untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang
dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. Penyakit
ISPA secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian atas, saluran pernafasan
bagian bawah (termasuk paru-paru) dan organ aksesoris saluran pernafasan.
Berdasarkan batasan tersebut jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan
(respiratory tract). Program pemberantasan penyakit (P2) ISPA dalam 2 golongan yaitu
:

1) ISPA Non-Pneumonia Merupakan penyakit yang banyak dikenal masyarakat dengan


istilah batuk dan pilek (common cold).

2) ISPA Pneumonia Pengertian pneumonia sendiri merupakan proses infeksi akut yang
mengenai jaringan paru-paru (alveoli) biasanya disebabkan oleh invasi kuman bakteri,
yang ditandai oleh gejala klinik batuk, disertai adanya nafas cepat ataupun tarikan
dinding dada bagian bawah.

Berdasarkan kelompok umur program-program pemberantasan ISPA (P2 ISPA)


mengklasifikasikan ISPA sebagai berikut :

1) Kelompok umur kurang dari 2 bulan, diklasifikasikan atas :

a) Pneumonia berat : apabila dalam pemeriksaan ditemukan adanya penarikan yang


kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam dan adanya nafas cepat, frekuensi nafas
60 kali per menit atau lebih.

b) Bukan pneumonia (batuk pilek biasa) : bila tidak ditemukan tanda tarikan yang kuat
dinding dada bagian bawah ke dalam dan tidak ada nafas cepat, frekuensi kurang dari
60 menit.

2) Kelompok umur 2 bulan - <5 tahun diklasifikasikan atas :

a) Pneumonia berat : apabila dalam pemeriksaan ditemukan adanya tarikan dinding


dada dan bagian bawah ke dalam.
b) Pneumonia : tidak ada tarikan dada bagian bawah ke dalam, adanya nafas cepat,
frekuensi nafas 50 kali atau lebih pada umur 2 - <12 bulan dan 40 kali per menit atau
lebih pada umur 12 bulan-bulan - <5 tahun.

c) Bukan pneumonia : tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam, tidak ada
nafas cepat, frekuensi kurang dari 50 kali per menit pada anak umur 2- <12 bulan dan
kurang dari 40 permenit 12 bulan - <5 bulan.

Penyakit ISPA pada balita dapat menimbulkan bermacammacam tanda dan gejala
seperti batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, sakit telinga dan demam.
Berikut gejala ISPA dibagi menjadi 3 antara lain sebagai berikut :

1) Gejala dari ISPA ringan Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA ringan jika
ditemukan satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :
a) Batuk

b) Serak, yaitu mengeluarkan menangis)anak suara bersuara parau (pada waktu


pada berbicara)
c) Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung

d) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37°C.

2) Gejala dari ISPA sedang Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA sedang jika
dijumpai gejala dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :

a) Pernapasan cepat (fast breathing) sesuai umur yaitu : untuk kelompok umur
kurang dari 2 bulan frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih untuk umur 2-<12
bulan dan 40 kali per menit atau lebih pada umur 12 bulan - < 5 tahun.

b) Suhu tubuh lebih dari 39°C

c) Tenggorokan berwarna merah

d) Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak

e) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga

f) Pernapasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur)

3) Gejala dari ISPA Berat Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA berat jika
dijumpai gejala-gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-
gejala sebagai berikut :

a) Bibir atau kulit membiru


b) Anak tidak sadar atau kesadaran menurun

c) Pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah

d) Sela iga tetarik ke dalam pada waktu bernafas

e) Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba

f) Tenggorokan berwarna merah

D. Patofisiologi
Saluran pernafasan dari hidung sampai bronkhus dilapisi oleh membran
mukosa bersilia, udara yang masuk melalui rongga hidung disaring,
dihangatkan dan dilembutkan. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh
rambut yang terdapat dalam hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan
terjerat dalam membran mukosa. Gerakan silia mendorong membran mukosa
ke posterior ke rongga hidung dan ke arah superior menuju faring.
Secara umum efek pencemaran udara terhadap pernafasan dapat
menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan dapat
berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernafasan akibat iritasi
oleh bahan pencemar. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan
penyempitan saluran pernafasan dan makrofage di saluran pernafasan. Akibat
dari dua hal tersebut akan menyebabkan kesulitan bernafas sehingga benda
asing tertarik dan bakteri tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernafasan, hal
ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan (Mukono, 2008:
17).
Cara Penularan ISPA
Penyebaran melalui kontak langsung atau tidak langsung dari benda
yang telah dicemari virus dan bakteri penyebab ISPA (hand to hand
transmission) dan dapat juga ditularkan melalui udara tercemar (air borne
disease) pada penderita ISPA yang kebetulan mengandung bibit penyakit
melalui sekresi berupa saliva atau sputum.
E. Manifestasi Klinis

a. Tanda dan gejala dari penyakit ISPA adalah sebagai berikut:


1. Batuk
2. Nafas cepat
3. Bersin
4. Pengeluaran sekret atau lendir dari hidung
5. Nyeri kepala
6. Demam ringan
7. Tidak enak badan
8. Hidung tersumbat
9. Kadang-kadang sakit saat menelan

b. Tanda-tanda bahaya klinis ISPA


1. Pada sistem respiratorik adalah: tachypnea, napas tak teratur (apnea), retraksi
dinding thorak, napas cuping hidung, cyanosis, suara napas lemah atau hilang,
grunting expiratoir dan wheezing.
2. Pada sistem cardial adalah: tachycardia, bradycardiam, hypertensi, hypotensi
dan cardiac arrest.
3. Pada sistem cerebral adalah : gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung,
papil bendung, kejang dan coma.
4. Pada hal umum adalah : letih dan berkeringat banyak (Naning R,2002)

F. Diagnosis dan Diagnosis Banding


G. Tatalaksana
H. Pencegahan
I. Komplikasi
J. Prognosis

Cara Penularan ISPA


Penyebaran melalui kontak langsung atau tidak langsung dari benda
yang telah dicemari virus dan bakteri penyebab ISPA (hand to hand
transmission) dan dapat juga ditularkan melalui udara tercemar (air borne
disease) pada penderita ISPA yang kebetulan mengandung bibit penyakit
melalui sekresi berupa saliva atau sputum.
PIODERMA

1. Definisi
Penyakit infeksi kulit masih merupakan masalah utama penyebab tingginya angka morbiditas
Pada anak-anak terutama di negara-negara berkembang dan wilayah beriklim tropis. Penyakit
infeksi ini sering dijumpai pada anak karena daya tahan kulit terhadap invasi kuman patogen
belum sesempurna orang dewasa. Sebanyak 18 studi prevalensi populasi umum di negara
berkembang melaporkan prevalensi yang tinggi untuk penyakit infeksi
kulit (21- 87%). Gangguan yang paling umum pada anak adalah pioderma (0,2-35%) di ikuti
dengan tinea kapitis (1-19,7%), skabies (0,2-24%), dan gangguan kulit akibat virus.

Pioderma sendiri merupakan suatu infeksi bakteri kulit yang sering di derita anak-anak.
Pioderma dapat berupa impetigo, folikulitis, furunkel / karbunkel, ektima, erisipelas, selulitis,
flegmon, ulkus piogenik, abses multiple,kelenjar keringat, maupun Staphylococcal Scalded
Skin Syndrome(SSSS) Hal yang dapat menjadi faktor predisposisi untuk pioderma di antaranya
adanya kurangnya higiene, menurunnya daya tahan, atau karena sudah adanya penyakit kulit
sebelumnya. Kerusakan pada epidermis dapat mempermudah infeksi karena
sistem pelindungnya terganggu.

Pioderma dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pioderma primer dan sekunder. Pioderma primer
terjadi pada kulit yang normal, yang biasanya disebabkan oleh satu mikroorganisme.
Sementara itu, pioderma sekunder terjadi pada kulit yang sudah mengalami lesi sebelumnya.
Gambarannya pioderma ini tidak khas dan mengikuti perjalanan penyakit yang sudah ada.

Penyakit kulit yang diikuti pioderma sekunder disebut impetigenisata. Beberapa contohnya
adalah dermatitis impetigenisata, skabies impetigenisata. Tanda dari impetigenisata di
antaranya adalah pus, pustul, bula purulen, krusta kuning kehijauan, pembesaran kelenjar getah
bening regional, leukositosis, dapat pula disertai demam.

2. Epidemiologi
Epidemiologi pioderma diketahui lebih tinggi pada populasi anak-anak, dan
diperkirakan lebih tinggi pada area tropis. Sebuah penelitian yang dipublikasikan di
tahun 2015 menunjukkan bahwa prevalensi impetigo pada anak adalah 12.3%.
Sementara prevalensi selulitis di Amerika dilaporkan meningkat menjadi 37.3% dari
seluruh pasien dengan skin and soft tissue infection. Data epidemiologi pioderma masih
belum jelas.

3. Etiologi

Pioderma disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan Streptococcus B hemolyticus.


Staphylococcus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat biasanya tersusun dalam
bentuk kluster yang tidak teratur seperti anggur. Genus Staphylococcus sedikitnya memiliki
tiga puluh spesies. Tiga tipe Staphylococcus yang berkaitan dengan medis adalah
Staphylococcus aureus, Staphylococcus saprophyticus, Staphylococcus epidermidis. Pembeda
Staphylococcus aureus dengan spesies lain adalah sifatnya yang bersifat koagulase positif.
Pada kasus pioderma Staphylococcus aures adalah etiologi paling sering
3. Faktor risiko

1) Higienitas yang kurang

2) Menurunnya daya tahan

Misalnya: Kekurangan gizi, anemia, penyakit kronik, neoplasma ganas, diabetes mellitus

3) Telah ada penyakit lain di kulit

Karena terjadi kerusakan di epidermis, maka fungsi kulit sebagai pelindung akan terganggu
sehingga memudahkan terjadinya infeksi
4. Klasifikasi

Ada banyak jenis pioderma dengan berbagai cara pembagiannya. Ada yang membagi pioderma
berdasarkan lapisan kulit yang terinfeksi (pioderma superfisialis dan pioderma profunda). [3]
Ada juga yang membagi menjadi pioderma supuratif dan nonsupuratif.

Pioderma Superfisialis
Pioderma superfisialis terdiri dari:
 Impetigo. Impetigo merupakan infeksi kulit pada epidermis. Impetigo dibagi menjadi dua,
yaitu impetigo bulosa dan impetigo krustosa.
 Folikulitis. Folikulitis merupakan inflamasi pada folikel rambut yang dapat bersifat superfisial
maupun profundal.
 Furunkel. Furunkel merupakan peradangan pada area sekitar folikel yang meluas hingga
jaringan subkutan.
 Karbunkel. Karbunkel adalah kumpulan furunkel dalam satu area.
 Furunkulosis. Adanya lebih dari satu furunkel pada pasien.
 Ektima. Ektima adalah infeksi hingga dermis sehingga menimbulkan ulkus tepi meninggi
superfisial disertai krusta.

Pioderma Profundal
Pioderma profundal terdiri atas :
 Erisipelas. Erisipelas merupakan infeksi pada lapisan dermis yang umumnya disertai
keterlibatan aliran getah bening. Definisi erisipelas ini tidak universal dan berbeda di berbagai
tempat. Ada sentra pendidikan yang mendefinisikan erisipelas sebagai selulitis pada wajah. Di
beberapa negara Eropa, erisipelas dan selulitis bahkan dianggap sebagai dua entitas yang
sama.
 Selulitis. Selulitis adalah infeksi kulit yang mirip dengan erisipelas, namun sudah melibatkan
jaringan subkutan.
 Flegmon. Flegmon adalah terminologi untuk selulitis yang telah mengalami supurasi.
 Hidraadenitis. Hidraadenitis adalah infeksi yang melibatkan kelenjar apokrin.
 Ulkus piogenik
 Abses kelenjar keringat [1-4]
Bentuk pioderma lainnya adalah Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS). SSSS sering
disebut juga sebagai penyakit Ritter atau dermatitis eksfoliativa neonatorum. Penyakit ini
merupakan penyakit infeksi dengan gejala berupa epidermolisis.

5. Patogenesis

Patofisiologi pioderma dimulai dari rusaknya sawar stratum korneum. Pada kulit
yang intak, flora normal, sistem imun non-spesifik, dan asam lemak akan menjadi
pertahan pertama untuk mencegah terjadinya infeksi. Namun bila sawar stratum
korneum rusak, organisme seperti Staphylococcus dan Streptococcus lebih mudah
untuk masuk dan menginvasi kulit. Selanjutnya akan terjadi kolonisasi organisme yang
diikuti dengan infeksi apabila terdapat nutrien dan kelembaban yang tepat.
Setelah organisme masuk melewati sawar epidermis, akan diikat oleh antigen
presenting cell seperti sel Langerhans, makrofag, dan dendroit dermis. Sel-sel ini akan
memproses dan mempresentasikan fragmen antigen kepada limfosit spesifik. Limfosit
kemudian akan membentuk sel inflamasi perivaskular. Kemdian, terjadi peranan
sitokin proinflamasi yang akan menghancurkan antigen dan sel yang terinfeksi, hal ini
lah yang menimbulkan gambaran peradangan pada kulit.

Kulit merupakan lini pertahanan pertama terhadap infeksi mikroba, dengan


mengeluarkan pH rendah, cairan sebasea dan asam lemak untuk menghambat
pertumbuhan patogen. Selain itu, flora normal juga berperan dalam mekanisme
pertahanan terhadap infeksi dengan cara menghalangi kolonisasi organisme patogen
lainnya. Organisme patogen dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan memicu
respon inflamasi, jika telah berhasil melakukan penetrasi kulit. Awalnya bakteri dalam
jumlah yang rendah berkolonisasi pada berbagai lapisan kulit seperti epidermis dermis,
subkutan ,jaringan adiposa, dan otot. Peningkatan jumlah bakteri akan terjadi saat
pertahanan integument terganggu, invasi oleh bakteri tersebut menyebabkan infeksi
pada kulit atau pioderma.
Infeksi pada pori pori epidermis menyebabkan folikulitis. Infeksi pada lapisan
superfisial kulit disebut erisepelas, sedangkan pada lapisan lebih dalam kulit atau
jaringan subkutan disebut selulitis. Infeksi pada lapisan paling dalam kulit
menyebabkam fasciitis dan miositis. Pada individu dengan jaringan adiposa yang tebal,
infeksi pada jaringan lemak menyebabkan pannikullitis.
Patogenesis pioderma sendiri terjadi berdasarkan perlekatan bakteri ke sel inang, invasi
jaringan dengan evasi pertahanan host dan elaborasi toksin. Toksin pada Staphyloccus
adalah epidemolin dan eksofoliatin yang sangat bersifat epidermolitik dan dapat
beredar diseluruh tubuh sampai pada epidermis sehingga menyebabkan kerusakan. Hal
ini terjadi karena epidermis merupakan jaringan yang rentan terhadap toksin ini. Fungsi
ginjal yang baik diperlukan untuk mengekskresikan epidemolin dan eksofoliatin.
6. Diagnosis dan Diagnosis Banding

Diagnosis pioderma cukup khas, dan dapat ditegakkan melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang dapat membantu menentukan organisme
penyebab.
Impetigo bulosa
Impetigo Krustosa

Impetigo umumnya diawali dengan adanya predisposisi seperti bekas gigitan serangga,
bekas garukan, atau penyakit kulit lainnya yang menganggu integritas stratum korneum
dan memberikan kesempatan bakteri untuk menginfeksi. Terdapat masa inkubasi yang
dapat mencapai 10 hari sejak paparan hingga munculnya lesi impetigo.

7. Tatalaksana

Terapi pioderma
Selulitis merupakan jenis pioderma paling banyak pada orang dewasa sebanyak 23
pasien (52,3%), diikuti folikulitis 8 pasien (18,2%), dan furunkel 7 pasien (15,9%). Selulitis
dapat terjadi di semua usia, tersering pada usia di bawah 3 tahun dan usia dekade keempat dan
kelima. Dari hasil penelitian didapatkan antibiotik terbanyak yang digunakan untuk terapi
sistemik ialah klindamisin (65,9%). Meskipun diketahui bahwa penisilin merupakan drug of
choice dalam pengobatan pioderma namun penisilin sudah tidak lagi digunakan karena bakteri
penyebab pioderma memiliki resisten yang tinggi terhadap penisilin sehingga klindamisin
digunakan sebagai obat pilihan selain penisilin. Selain klindamisin, terdapat obat pilihan
lainnya untuk terapi pioderma antara lain eritromisin, sefaleksin, nafcilin, dan doksisiklin.
Eritromisin digunakan sebagai obat alternatif untuk pasien yang mengalami alergi terhadap
penisilin. Eritromisin menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara memblokir disolasi
peptidyl t-RNA dari ribosom. Sefaleksin adalah generasi pertama sefalosporin, yang
menghambat pertumbuhan bakteri dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri. Seperti
eritromisin, sefaleksin, dan dicloxacilin dapat digunakan sebagai pilihan obat untuk
pengobatan pioderma bagi pasien yang mempunyai alergi dan resisten terhadap penisilin.

8. Komplikasi

Komplikasi pioderma yang disebabkan oleh Streptococcus diantaranya adalah


glomerulonefritis akut post-streptokokal (GNAPS). Pada infeksi Staphylococcus dapat
terjadi Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS). Komplikasi lain yang mungkin
adalah septic arthtritis, endokarditis bakterial, dan septicemia

9. Prognosis
Prognosis pioderma umumnya baik pada individu imunokompeten. Pada beberapa tipe
pioderma, terkadang dapat terjadi rekurensi dan skar

Anda mungkin juga menyukai