Anda di halaman 1dari 25

BORANG PORTOFOLIO KASUS MEDIK

Topik : ST – Elevated Myocard Infarct


Tanggal MRS : 24 November 2017
Presenter : dr. Primadhityo
Tanggal Periksa : 25 November 2017
dr. Erika Widayanti
Tanggal Presentasi : 12 Desember 2017 Pendamping :
Lestari, MMR
Tempat Presentasi : Ruang rapat Mekah lt. 3
Objektif Presentasi :
□ Tinjauan
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran
Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa

□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia
Bumil
□ Deskripsi : Pria, 62 tahun, dengan keluhan: Nyeri Dada Sebelah Kiri
□ Tujuan : Penegakkan diagnosa dan pengobatan yang tepat dan tuntas.
Bahan
□ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit
Bahasan :
Cara
□ Diskusi □ Presentasi dan Diskusi □ E-mail □ Pos
Membahas :
Data Pasien : Nama : Tn M 55 th No. Registrasi : 095055
Telp : 0354- Terdaftar sejak : 24
Nama RS : RSM Ahmad Dahlan Kediri
773115 November 2017
Data Utama untuk Bahan Diskusi :
Diagnosis / Gambaran Klinis : Pasien datang dengan keluhan nyeri dada sejak
2 hari SMRS dan semakin hari semakin memberat. Nyeri dada dirasakan sepanjang
hari, memberat tiba tiba , tidak membaik dengan istirahat.Nyeri dada dirasakan di sisi
sebelah kiri dada pasien dan tembus ke belakang, nyeri terasa seperti diikat. Pasien
juga merasakan sesak ketika nyeri dada dan kesulitan bernafas sehingga tidak kuat
untuk berdiri.. Nyeri dirasakan terus menerus seperti ditekan, dengan VAS score 3/10.
Pasien juga mengeluh lemas seluruh tubuh dan pusing nggeliyeng semenjak mual
muntah. BAB tidak didapatkan keluhan. BAK akhir-akhir ini dirasa lebih banyak, tapi
pasien tidak ingat tepatnya berapa lama. Keluhan berat badan turun sudah dirasakan
sejak pasien terdiagnosis diabetes. Keluhan pengelihatan kabur disangkal, luka yang
sulit sembuh disangkal, keluhan panas badan disangkal.
1. Riwayat Pengobatan : Pasien berobat ke dokter umum dan pernah diberikan obat
kolesterol, namun pasien tidak rutin kontrol.
2. Riwayat Kesehatan/Penyakit: Pasien belum pernah menderita sesak sebelumnya.
Pasien menderita diabetes mellitus sejak 4 tahun dan tidak teratur minum obat.

1
Sebelumnya pernah periksa ke dokter dan dinyatakan kolesterolnya tinggi.
3. Riwayat Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama
dengan pasien. Tidak ada keluarga yang menderita penyakit serupa.
4. Riwayat Pekerjaan : Pasien bekerja serabutan
5. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik : Pasien tidak pernah berolahraga, tidak
merokok sejak 5 tahun terakhir
6. Pemeriksaan Fisik : TD 130/80 mmHg, Nadi 120 x/menit, RR 60x/menit, T 36,30 C
7. Pemeriksaan penunjang :

Daftar Pustaka :
Alwi Idrus, 2006. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. Dalam: Sudoyo AW,
Setiohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata MK, Setiati Siti, 2006. Ilmu penyakit dalam: Edisi ke
4. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 1615-
1625.

Antman EM, Anbe DT, Armstrong PW et al, ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients
With ST-Elevation Myocardial Infarction A Report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee to Revise
the 1999 Guidelines for the Management of Patients With Acute Myocardial Infarction).
Circulation 2004;110:588-636

Amman E, Braunwald E. ST elevation myocardial infarction : management In: Braunwald E, Zipes


DP, Libby P, eds. Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine. 7th ed. Philadelphia, Pa:
WB Saunders;2005:1167" 226.
Rogers WJ, Canto JG, Lambrew CT, et al. Temporal trends in the treatment of over 1.5 million
patients with myocardial infarction in the US from 1990 through 1999: the National Registry of
Myocardial Infarction 1, 2 and 3. J Am Coll Cardiol. 2000:36:2056"63.
Wiviott SD, Morrow DA, Giugliano RP, et al. Performance of thethrombolysis in myocardial
infarction risk index for early acute coronarysyndrome in the National Registry of Myocardial
Infarction: a simple risk index predicts mortality in both ST and non-ST elevation myocardial
infarction. J Am Coll Cardiol 2003;41:365A" 366A.
National Cholesterol Education Program. Third Report of the Expert Panel on Detection, Evaluation,
and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults {Adult Treatment Panel III). NIH publication
No. 02" 5125. Bethesda, Md: National Heart, Lung, and Blood Institute, 2002. Guidelines, Related
Tools, and Patient Information, available at: http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/
cholesterol/index.htm. Accessed April 12, 2003.
Eisenberg MJ, Topol EJ. Prehospital administration of aspirin in patients with unstable angina and
acute myocardial infarction. Arch Intern Med. 1996:156:1506" 10.
Fibrinolytic Therapy Trialists (FTT) Collaborative Group. Indications for fibrinolytic therapy in
suspected acute myocardial infarction: collaborative overview of early mortality and major
morbidity results from all randomized trials of more than 1000 patients. Lancet. 1994;343:3ir22.
Gruppo Italiano per lo Studio della Streptochinasi nell Infarto Miocardico (GISSI). Effectiveness of
intravenous thrombolytic treatment in acute myocardial infarction. Lancet. 1986; 1:397" 402.
The American Heart Association in collaboration with the International Liaison Committee on
Resuscitation. Guidelines 2000 for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular
Care: Part 7: the era of reperfusion: section 1: acute coronary syndromes (acutemyocardial
infarction). Circulation. 2000;102(suppl I):I-172" 1-203. Antithrombotic Trialists Collaboration.
Collaborative meta-analysis of randomized trials of antiplatelet therapy for prevention of death,
myocardial infarction, and stroke in high risk patients. BMJ. 2002;324:71"86.
Trisnohadi Hanafi B, 2006. Angina Pektoris Tak Stabil. Dalam: Sudoyo AW,
Setiohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata MK, Setiati Siti, 2006. Ilmu

2
penyakit dalam: Edisi ke 4. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 1606-1609.
De Luca G, Suryapranata H, Zijlstra F, et al, for the ZWOLLE Myocardial Infarction Study Group.
Symptom-onset-to-balloon time and mortality in patients with acute myocardial infarction treated
by primary angioplasty. J Am Coll Cardiol. 2003;42:991"7.
Hasil Pembelajaran :
1. STEMI (Definisi, Epidemiologi, Patofisiologi, Etiologi dan Faktor pencetus,
komplikasi, pencegahan)
2. Penegakan diagnosis STEMI
3. Tatalaksana STEMI

3
LAPORAN KASUS

Identitas pasien:
Nama : Tn. M
Usia : 55 th
Jenis Kelamin : Laki Laki
Agama/ Suku : Islam/ Jawa
Pekerjaan : Serabutan
Alamat : Dampit RT 004 RW 014 Ds. Joho, Kec Pace, Nganjuk
Tanggal Pemeriksaan : 25 November 2017
No. RM : 095055

Subjektif:
 Keluhan Utama: Nyeri Dada
 RPS: Pasien datang dengan keluhan nyeri dada sejak 2 hari SMRS dan semakin
hari semakin memberat. Nyeri dada dirasakan sepanjang hari, memberat tiba
tiba , tidak membaik dengan istirahat.Nyeri dada dirasakan di sisi sebelah kiri
dada pasien dan tembus ke belakang, nyeri terasa seperti diikat. Pasien juga
merasakan sesak ketika nyeri dada dan kesulitan bernafas sehingga tidak kuat
untuk berdiri. VAS score 4/10.
 RPD: Pasien belum pernah menderita nyeri dada sebelumnya. Pasien
menderita diabetes mellitus sejak 4 tahun dan tidak teratur minum obat.
Pasien juga sebelumnya pernah periksa kesehatan di puskesmas dan
dikatakan kolesterolnya tinggi .
 Riwayat alergi :
o Bahan injektan : disangkal
o Bahan kontaktan : disangkal
o Bahan ingestan : disangkal
o Bahan inhalan : disangkal
 Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak ada anggota keluarga yang mengalami
keluhan yang sama dengan pasien. Tidak ada keluarga yang menderita
penyakit diabetes.

4
 Riwayat Pengobatan : Pasien berobat ke dokter umum dan diberikan obat
kolesterol , namun pasien lupa obatnya kemudian tidak pernah periksa
lagi.
 Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik : Pasien suka mengkonsumsi
jeroan, santan, dan yang manis manis. Pasien dulu merokok sejak usia
18an dan berhenti sekitar 3 tahun terakhir.

Objektif:
PEMERIKSAAN FISIK (25-11-2017)
 Keadaan Umum: pasien sesak
 Status gizi: kesan gizi cukup, BB 70kg , TB 160cm , BMI 27.35
 Vital sign
o TD : 130/80
o Nadi : 120 x/menit
o RR : 30 x/menit
o Temp ax : 36,3°C
 Kepala leher:
o AICD -/-/-/-
o pembesaran KGB (-)
 Thorax:
o Pulmo:
 Inspeksi : simetris, normochest, penggunaan otot bantu
pernapasan-, purse lip breathing -, pelebaran ics+
 Palpasi : ekspansi dinding dada simetris, fremitus simetris
 Perkusi : sonor/sonor
 Auskultasi: ves /ves, rh ---/---, wh---/---
o Cor:
 Inspeksi: hemithorax bulging –, ictus cordis -
 Palpasi: fremisment – ictus cordis kuat angkat
 Perkusi: batas jantung normal
 Auskultasi: s1 s2 tunggal m- g-
 Abdomen:

5
o Inspeksi: flat
o Auskultasi: Bu + normal
o Palpasi: soefl, nyeri tekan- epigastrium, H/L/R ttb, Turgor normal
o Perkusi: tympani, shifting dullness –
 Ekstrimitas : dingin basah merah, CRT<2 detik

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan Laboratorium (30-4-2017)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Hemoglobin 14,8 11- 15

Hematokrit 42,0 36 – 42

Hitung Eritrosit 5,46 3,8 – 5,4

Hitung Leukosit 11.730 3.000 - 11.000

Hitung Trombosit 339.000 150.000 - 450.000

Gula Darah Sewaktu 474 70-160

SGOT 9 <36

SGPT 23 <40

Kolesterol Total 175 <200

LDL 118 <100

BUN 22 5-15

Serum Creatinine 0,9 0,4-1,0

Natrium 131 135 – 145

Kalium 4,9 3,48 - 5,5

Klorida 98 96 – 106

GD 2JPP 228 80-125

Urin Lengkap (26-11-2017)


Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

pH 6,0 5,0-8,5

Protein - -

Reduksi - -

Urobilin - -

6
Bilirubin - -

Blood - -

Keton - -

Nitrit - -

Sedimen eritrosit 0 -

Sedimen lekosit 1-2/lpb -

Sedimen Kristal - -

Sedimen Bakteri - -

Lain-lain - -

EKG : ST Elevasi pada lead II, III, AV F

Foto Thorax AP
Jaringan Lunak Normal
Tulang Garis Fraktur -
Trakhea Di Tengah
Diafragma D/S Normal
Cor CTR 53%
Pulmo Corakan Bronkhovaskular normal,
Infiltrat -
Sudut Costophrenicus D/S Lancip
Kesimpulan Foto Thorax Normal

Assesment:
Working Diagnosis: ST Elevasi Myocard Infarct Segmen Inferior + Diabetes
Mellitus Tipe II
Gejala STEMI yang ditemukan pada pasien ini :

7
Anamnesis : Nyeri dada sebelah kiri yang mendadak dan terasa seperti diikat, tidak
menghilang dengan istirahat. Riwayat Diabetes Melitus dan Kolesterol Tinggi
Pemeriksaan fisik :
 RR 30x/menit
Pemeriksaan penunjang :
 EKG ST Elevasi pada lead II, III, avF
 GDA 474
 GD 2 jam post prandial 288
Planning:
1. Planning therapy:
 IVFD NS 14 tpm
 RCI 3x4 IU, lanjut maintenance Actrapid 3x 10 IUs.c
 Injeksi Ranitidine 2x50 mg i.v.
 PO Aspilet 4x80mg (dikunyah)
 PO Clopidogrel 4x75mg
 MRS
2. Planning monitoring:
 Keluhan subyektif
 Tanda vital
 EKG
 Cek lab serial GDA, Kolesterol
3. Edukasi:
 Mengenai kondisi terkini pasien, tatalaksana apa yang akan
dilakukan, komplikasi yang mungkin terjadi
 Setelah pengobatan di RS pasien disarankan untuk rutin kontrol ke
dokter dan mengecek kolesterol dan rekam jantung. Pasien disarankan
rutin minum obat diabetes walaupun tidak ada keluhan.
 Selain itu pasien disarankan segera memeriksakan diri apabila
terdapat keluhan, karena kondisinya saat ini mudah dipicu oleh
stressor.

8
PEMBAHASAN

I. Definisi
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan spektrum manifestasi akut dan
berat yang merupakan keadaan kegawatdaruratan dari koroner akibat
ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dan aliran darah (Kumar,
2007). Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu istilah atau terminologi yang
digunakan untuk menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan proses penyakit
yang meliputi angina pektoris tidak stabil/APTS (unstable angina/UA), infark
miokard gelombang non-Q atau infark miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST
elevation myocardial infarction/ NSTEMI), dan infark miokard gelombang Q atau
infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST elevation myocardial
infarction/STEMI) (Antman EM, et al 2004).

1. Angina Pektoris Tak Stabil


Angina pektoris adalah nyeri dada intermitten yang disebabkan oleh iskemia
miokardium yang reversibel dan sementara. Diketahui terbagi atas tiga varian utama
angina pektoris: angina pektoris tipikal (stabil), angina pektoris prinzmetal (varian),
dan angina pektoris tak stabil. Angina pektoris tak stabil ditandai dengan nyeri
angina yang frekuensi nya meningkat. Serangan cenderung di picu oleh olahraga
yang ringan, dan serangan menjadi lebih intens dan berlangsung lebih lama dari
angina pektoris stabil. Angina tak stabil merupakan tanda awal iskemia miokardium
yang lebih serius dan mungkin ireversibel sehingga kadang-kadang disebut angina
pra infark(Antman EM, et al 2004).
2. Infark Miokard tanpa ST-elevasi (NSTEMI)
Angina tidak stabil dikelompokkan bersama-sama NSTEMI dimana
NSTEMI ditemukan bukti kimiawi yang menunjukkan adanya nekrosis miokard.
3. Infark Miokard Dengan Elevasi ST (STEMI/ IMA)
Infark adalah area nekrosis koagulasi pada jaringan akibat iskemia lokal,
disebabkan oleh obstruksi sirkulasi ke daerah itu, paling sering karena trombus atau
embolus (Rogers WJ, 2003). Iskemia terjadi oleh karena obstruksi, kompresi, ruptur
karena trauma dan vasokonstriksi.
Infark miokardium menunjukan terbentuknya suatu daerah nekrosis
miokardium akibat iskemia total. MI akut yang dikenal sebagai “serangan jantung”,
merupakan penyebab tunggal tersering kematian diindustri dan merupakan salah satu
diagnosis rawat inap tersering di negara maju (Antman EM, et al 2004)..
Pada pasien dengan MI akut, alasan mengapa gelombang Q atau menjadi
oklusi koroner, berhubungan dengan durasi oklusi, sejauh mana daerah infark
menjaga kelangsungan hidup selama oklusi, serta letak pembuluh darah yang
menentukan ukuran infark. Arteriografi koroner dilakukan pada 60-85% kasus,
dalam periode akut NSTEMI menunjukkan bahwa infark arteri yang terkait tidak
tersumbat (Rogers WJ, 2003)

9
II. Epidemiologi

Penyakit jantung koroner sampai saat ini merupakan salah satu


penyakit yang memerlukan perhatian khusus, dimana menurut hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2007 penyakit jantung koroner
menempati peringkat ke-3 penyebab kematian setelah stroke dan hipertensi.
Prevalensi penyakit jantung koroner menurut Riskesdas dan Kementerian
Kesehatan 2007 sebanyak 7,2% (Zahrawardani, 2013). Pada tahun 2009
penyakit jantung koroner merupakan penyebab kematian peringkat pertama
di Indonesia dengan persentase kematian sebesar 11,06% (Kemenkes,
2010). Menurut Riset Kesehatan Dasar (2013) untuk wilayah Jawa Timur
yang didiagnosis oleh dokter sebesar 0,5%, sedangkan yang terdiagnosis
dokter dengan gejala sebesar 1,3 % (Riskedas, 2013). Data menurut CDC
menyebutkan 1 dari 5 orang setiap harinya tidak sadar telah memiliki penyakit
jantung koroner. Penyakit Jantung Koroner membunuh sekitar 370.000 setiap
tahunnya, merupakan angka kematian tertinggi untuk kematian yang disebabkan oleh
penyakit jantung.

III. Etiologi
Penyebab PJK secara umum dibagi atas dua, yakni menurunnya asupan oksigen
yang dipengaruhi oleh aterosklerosis, tromboemboli, vasopasme, dan meningkatnya
kebutuhan oksigen miokard. Dengan perkataan lain, ketidak seimbangan antara
kebutuhan oksigen miokardium dengan masukannya. Dikenal 2 keadaan
ketidakseimbangan masukan terhadap kebutuhan oksigen itu, yaitu hipoksemia
(iskemia) yang ditimbulkan oleh kelainan vaskuler (arteri koronaria) dan hipoksia
(anoksia) yang disebabkan kekurangan oksigen dalam darah. Perbedaannya ialah
pada iskemia terdapat kelainan vaskuler sehingga perfusi ke jaringan berkurang dan
eliminasi metabolit yang ditimbulkannya (misal asam laktat) menurun juga sehingga
gejalanya akan lebih cepat muncul (Wiviott SD, et al 2003).
Ruptur dari plak aterosklerosis dianggap penyebab terpenting dari angina pektoris
tidak stabil (APTS) sehingga tiba-tiba terjadi oklusi (sumbatan) subtotal atau total
dari arteri koronaria yang sebelumnya mempunyai penyumbatan/penyempitan
minimal. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang
normal. Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi, dan agregasi platelet dan
menyebabkan aktivasi timbulnya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah
100% akan menyebabkan infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus
tidak menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi
angina tak stabil (Wiviott SD, et al 2003).

IV. Faktor Resiko


Faktor risiko penyakit jantung koroner (PJK) terdiri dari dua yaitu faktor
yang risiko tidak dapat diubah dan faktor risiko yang dapat diubah. Faktor risiko
yang tidak dapat diubah antara lain usia, jenis kelamin, dan riwayat keluarga
menderita PJK usia muda (Bethesda, Md, 2002).
A. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi:
a. Jenis Kelamin
Dari sisi jenis kelamin, pria lebih sering terkena serangan jantung
dibanding perempuan. Tetapi setelah menopause, frekuensinya sama antara
pria dan wanita. Hal ini kemungkinan karena peranan hormon estrogen dan
feritin yang keluar dari tubuh wanita setiap bulan (Bethesda, Md, 2002)..

10
b. Umur
Makin bertambah usia, makin mudah kena serangan jantung. Kalau pria
harus berhati-hati setelah usia 45 tahun, wanita setelah usia 55 tahun. Ada
jeda waktu 10 tahun wanita lebih terlindungi dari PJK. Hal ini kemungkinan
karena peranan hormon estrogen dan feritin yang keluar dari tubuh wanita
setiap bulan (Bethesda, Md, 2002)..
a. Riwayat keluarga yang menderita PJK
Pada keluarga (orangtua, paman, bibi) yang jika pria di bawah usia 55
tahun dan perempuan di bawah usia 65 tahun, dikatakan tergolong usia muda
untuk sakit PJK. Oleh karena itu, anak-anaknya maupun keponakannya harus
waspada karena 3-5 kali lebih sering terkena serangan jantung dibanding
keluarga yang jantungnya sehat. Penyakit keturunan hiperkolesterolemia
familiar diduga sebagai salah satu penyebab (Bethesda, Md, 2002).

B. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi:


Faktor risiko yang dapat diubah dengan cara berperilaku sehat sehari-hari, antara
lain merokok, hipertensi, kolesterol tinggi, kelebihan berat badan, DM, dan aktivitas fisik
yang kurang.
Faktor risiko mayor:
- Merokok - Lemak jenuh
- Diabetes Melitus - Obesitas
- Hipertensi - Lemak total
- Diet tinggi kalori - Garam dan kolesterol
- Hiperlipidemia
Faktor risiko minor:
- Diet (kopi, alkohol) - Tekanan psikososial
- Kontrasepsi oral - Golongan darah A
- Hiperurikemia - Sedentary life (gaya hidup kurang sehat)
- Corak kepribadiaan - Iklim, dan sebagainya.

Faktor resiko mayor antara lain :


1. Merokok
Pada saat ini merokok telah dimasukkan sebagai salah satu faktor risiko utama
PJK di samping hipetensi dan hiperkolesterolemia. Orang yang merokok lebih 20
batang perhari dapat mempengaruhi atau memperkuat efek dua faktor utama resiko
lainnya. Penelitian Framingham mendapatkan kematian mendadak akibat PJK pada
laki-laki perokok 10 kali lebih besar daripada bukan perokok dan pada perempuan
perokok 4 kali lebih besar daripada bukan perokok. Rokok dapat menyebabkan 25 %
kematian PJK pada laki-laki dan perempuan umur di bawah 65 tahun atau 80 %
kematian PJK pada laki-laki umur di bawah 45 tahun. Efek rokok adalah
menyebabkan beban miokard bertambah karena rangsangan oleh katekolamin dan
menurunnya konsumsi oksigen akibat inhalasi CO atau dengan perkataan lain dapat
menyebabkan takikardi, vasokonstruksi pembuluh darah, merubah permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merubah 5-10 % Hb menjadi carboksi-Hb. Di samping
itu rokok dapat menurunkan kadar HDL kolesterol tetapi mekanismenya belum
jelas. (Bethesda, Md, 2000).
Makin banyak jumlah rokok yang diisap, kadar HDL kolesterol makin
menurun. Perempuan yang merokok penurunan kadar HDL kolesterolnya lebih besar
dibandingkan laki-laki perokok. Merokok juga dapat meningkatkan tipe IV
hiperlipidemi dan hipertrigliserid, pembentukan platelet yang abnormal pada
diabetes disertai obesitas dan hipertensi sehingga orang yang perokok cenderung
lebih mudah terjadi proses aterosklerosis daripada yg bukan perokok. Apabila
berhenti merokok penurunan resiko PJK akan berkurang 50 % pada akhir tahun

11
pertama setelah berhenti merokok dan kembali seperti yang tidak merokok setelah
berhenti merokok 10 tahun. Dall & Peto 1976 mendapatkan resiko infark akan turun
50 % dalam waktu 5 tahun setelah berhenti merokok (The American Heart
Association, 2000).
Merokok diupayakan agar seseorang berhenti merokok untuk selama-
lamanya. Segera berhenti jika memungkinkan, tapi boleh juga sedikit demi sedikit
mengurangi jumlah rokok yang diisap sampai akhirnya berhenti total. Disebabkan
nikotin akan menyebabkan debaran yang lebih cepat dan gas CO akan mengikat
butir darah merah (hemoglobin) lebih kuat dibanding oksigen sehingga oksigenisasi
jantung relatif berkurang (The American Heart Association, 2000).
2. Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama untuk terjadinya PJK.
Penelitian di berbagai tempat di Indonesia (1978) mendapatkan prevalensi hipertensi
untuk Indonesia berkisar antara 6-15 %, sedangkan di negara-negara maju seperti
misalnya Amerika National Health Survey menemukan frekuensi yang lebih tinggi
yaitu mencapai 15-20 %. Lebih kurang 60 % penderita hipertensi tidak terdeteksi,
20% dapat diketahui tetapi tidak diobati atau tidak terkontrol dengan baik,
sedangkan hanya 20 % dapat diobati dengan baik. Adapun Klasifikasi Hipertensi
menurut JNC VII terdapat pada tabel 1 .

Tabel 1 Klasifikasi Hipertensi menurut JNC VII.

Tekanan darah
Klasifikasi
Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal <120 <80
Pre-Hipertensi 120 – 139 80 – 90
Hipertensi Stage I 140 – 159 90 – 99
Hipertensi Stage II ≥ 160 ≤ 100

Penyebab kematian akibat hipertensi di Amerika adalah kegagalan jantung 45


%, miokard infark 35 %, cerebrovascular accident 15 % dan gagal ginjal 5 %.
Komplikasi yang terjadi pada hipertensi esensial biasanya akibat perubahan struktur
arteri dan arterial sistemik, terutama terjadi pada kasus-kasus yang tidak diobati.
Mula-mula akan terjadi hipertrofi dari tunika media diikuti dengan hialinisasi
setempat dan penebalan fibrosis dari tunika intima dan akhirnya akan terjadi
penyempitan pernbuluh darah. Tempat yang paling berbahaya adalah bila mengenai
miokardium, arteri dan arterial sistemik arteri koroner dan serebral serta pembuluh
darah ginjal. Komplikasi terhadap jantung akibat hipertensi yang paling sering
terjadi adalah kegagalan ventrikel kiri, PJK seperti angina pektoris dan miokard
infark (Bethesda, Md, 2000).
Dari beberapa penelitian didapatkan ± 50 % penderita miokard infark
menderita hipertensi dan 75 % kegagalan ventrikel kiri penyebabnya adalah
hipertensi. Perubahan hipertensi khususnya pada jantung disebabkan karena :
1. Meningkatnya tekanan darah
Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk jantung,
sehingga menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri (faktor miokard). Keadaan ini
tergantung dari berat dan lamanya hipertensi(Bethesda, Md, 2000).

2. Mempercepat timbulnya aterosklerosis


Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma
langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria, memudahkan
terjadinya aterosklerosis koroner (faktor koroner). Hal ini menyebabkan angina
pektoris, insufisiensi koroner dan miokard infark lebih sering didapatkan pada

12
penderita hipertensi dibandingkan orang normal. Tekanan darah sistolik diduga
mempunyai pengaruh yang lebih besar.
Kejadiannya PJK pada hipertensi sering ditemukan dan secara langsung
berhubungan dengan tingginya tekanan darah sistolik. Penelitian Framingham
selama 18 tahun terhadap penderita berusia 45-75 tahun mendapatkan hipertensi
sistolik merupakan faktor pencetus terjadinya angina pektoris dan miokard infark,
juga pada penelitian tersebut didapatkan penderita hipertensi yang mengalami
miokard infark mortalitasnya 3 kali lebih besar daripada penderita yang normotensi
dengan miokard infark (Bethesda, Md, 2000).
Tekanan darah yang normal merupakan penunjang kesehatan yang utama
dalam kehidupan dan ada hubungannya dengan faktor keturunan, perilaku dan cara
kehidupan, kebiasaan merokok dan alkoholisme, diet serta pemasukan natrium &
kalium yang seluruhnya adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan pola kehidupan
seseorang. Kesegaran jasmani juga berhubungan dengan tekanan darah sistolik,
seperti yang didapatkan pada penelitian Fraser dkk, orang-orang dengan kesegaran
jasmani yang optimal tekanan darahnya cenderung lebih rendah. Penelitian di
Amerika Serikat melaporkan pada dekade terakhir ini telah terjadi penurunan angka
kematian PJK sebanyak 25 %. Keadaan ini mungkin akibat hasil dari deteksi dini
dan pengobatan hipertensi pemakaian beta-bloker dan bedah koroner serta
perubahan kebiasaan merokok (Eisenberg MJ,et al 1996).
Bagi mereka yang hipertensi, ada baiknya mengukur tekanan darah setiap ke
dokter atau satu sampai dua kali setahun jika tubuh dalam keadaan sehat. Tetapi, jika
mengidap hipertensi, harus diet rendah garam, menurunkan berat badan bagi yang
berlebihan, minum obat, dan kontrol ke dokter sesuai dengan anjuran.
3. Diabetes Mellitus
DM terbukti merupakan faktor risiko yang kuat untuk semua manifestasi
klinik penyakit aterosklerotik. Mortalitas dan morbiditas PJK pada penderita DM 2-
3 kali lipat dibandingkan dengan yang non DM. Pada penderita DM dewasa 75-80
% akan meninggal karena komplikasi ini (Eisenberg MJ,et al 1996).
Berdasarkan Standards of Medical Care in Diabetes 2010, beberapa kriteria
dan monitoring untuk diabetes tersebut yakni, A1C > 6,5 %, FPG > 126 mg/dL (7
mmol/L), puasa didefinisikan tidak adanya ambilan kalori sedikitnya selama 8 jam,
2 jam glukosa plasma > 200 mg/dL (11,1 mmol/L) selama OGTT dengan asupan
glukosa sebanding dengan 75 glukosa anhydrous yang dilarutkan.
Pasien dengan keluhan klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia dengan
glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL (11,1 mmol/L) atau dengan riwayat konsumsi
obat DM secara teratur. Intoleransi terhadap glukosa sejak dulu telah diketahui
sebagai predisposisi penyakit pembuluh darah. Penelitian menunjukkan laki-laki
yang menderita DM resiko PJK 50 % lebih tinggi daripada orang normal, sedangkan
pada perempuan resikonya menjadi 2 kali lipat. Mekanismenya belum jelas, akan
tetapi terjadi peningkatan tipe IV hiperlipidemidan hipertrigliserid, pembentukan
platelet yang abnormal dan DM yang disertai obesitas dan hipertensi. Mungkin juga
banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhinya (Eisenberg MJ,et al 1996).
Diusahakan berolahraga 3-5 kali seminggu, dengan durasi 30-60 menit setiap
berolahraga. Untuk kelebihan berat badan, agar dikendalikan dengan kisaran indeks
massa tubuh 21-25 kilogram/meter persegi (Lancet. 1994).

4. Dislipidemia
Penyakit jantung koroner adalah penyakit dengan etiologi yang multi faktorial
diantaranya adalah dislipidemia. Dislipidemia merupakan faktor risiko yang pada
suatu penelitian yang diadakan oleh Balitbang Kesehatan tahun 2000 mempunyai
persentasi tertinggi dibanding faktor risiko yang lain seperti hipertensi, DM,
merokok, dan kepribadian Tipe A, yaitu 70,4 % (Bethesda, Md, 2000)..
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai oleh
peningkatan atau penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi utama dari

13
lipid adalah kenaikan kadar kolesterol total, Low Density lipoprotein (LDL),
trigliserida dan penurunan High Density lipoprotein (HDL). Adult Treatment Panel
(ATP) III memberi batasan dislipidemia aterogenik adalah peningkatan trigliserida,
small dense LDL dan penurunan HDL (Bethesda, Md, 2000)..
Kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) yang dikenal sebagai kolesterol
jahat dan kolesterol HDL (High Density Lipoprotein) yang dikenal sebagai
kolesterol baik. LDL membawa kolesterol dari hati ke sel, dan HDL berperan
membawa kolesterol dari sel ke hati. Kadar kolesterol LDL yang tinggi akan
memicu penimbunan kolesterol di sel, yang menyebabkan munculnya
atherosclerosis (pengerasan dinding pembuluh darah arteri) dan penimbunan plak di
dinding pembuluh darah (Bethesda, Md, 2000).

Lipoprotein-a diperkirakan berperan pada atherogenesis dengan mentranspor


molekul LDL dan mempengaruhi proliferasi sel otot polos vaskular, menghambat
fibrinolisis, dan mempengaruhi fungsi platelet. Hal ini dihubungkan dengan
peningkatan risiko penyakit akibat gangguan pembuluh darah seperti penyakit
jantung koroner. Sedangkan HDL dapat mengangkut kolesterol dari jaringan tepi,
termasuk plak atherosklerotik, untuk diedarkan kembali atau dibuang dalam bentuk
asam empedu, proses tersebut disebut reverse cholesterol transport. Hal ini
menunjukkan bahwa pembentukan plak atherosklerosis tidak hanya berkaitan
dengan peningkatan kadar LDL, namun juga rendahnya HDL dan
hipertrigliseridemia.

Tabel 2.3. Klasifikasi kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan
trigliserid menurut NCEP-ATP III 2001
Klasifikasi kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan trigliserid menurut

NCEP-ATP III 2001 (mg/dl)


Kolesterol total Kolesterol HDL
< 200 Optimal < 40 Rendah
200 – 239 Diinginkan > 60 Tinggi
> 240 Tinggi Trigliserid
Kolesterol LDL < 150 Optimal
< 100 Optimal 150 – 199 Diinginkan
100 – 129 Mendekati optimal 200 – 499 Tinggi
130 – 159 Diinginkan > 500 Sangat tinggi
160 – 189 Tinggi
> 190 Sangat tinggi

Profil lemak yang normal adalah sebagai berikut, kadar kolesterol darah
dibawah 200 mg/dl, kadar kolesterol LDL dibawah 150 mg/dl, kadar kolesterol HDL
diatas 35 mg/dl, dan kadar trigliserida dibawah 200 mg/dl, seperti yang ditunjukkan
pada tabel 1.
Hal yang juga tidak kalah pentingnya adalah rasio kolesterol LDL dan
kolesterol HDL yang kurang dari 3,5. Kadar kolesterol HDL yang rendah seringkali
dijumpai bersamaan dengan kadar trigliserida yang tinggi Jika kadar kolesterol total
kurang dari 200 mg/dl, maka seseorang dikatakan beresiko rendah terhadap penyakit
jantung. Sementara total kolesterol antara 200-239 mg/dl, maka dia beresiko
terserang penyakit jantung, dan jika total kolesterol lebih dari 240 mg/dl, maka
termasuk yang beresiko tinggi terhadap penyakit jantung.
Kolesterol low density lipoprotein cholesterol (LDL) yang merupakan
kolesterol buruk harus diturunkan kadarnya dengan diet rendah kolesterol. Hal ini
misalnya, mengurangi kuning telur, jeroan, udang, dan goreng-gorengan. Sebaliknya
kolesterol baik atau high density lipoprotein cholesterol (HDL) justru ditingkatkan

14
kadarnya dengan cara berolahraga, berhenti merokok, makan ikan laut, dan
sebagainya (Lancet. 1986).

5. Obesitas
Obesitas adalah status gizi dimana indeks massa tubuh ≥ 25 kg/m 2. Obesitas
juga dapat diartikan sebagai kelebihan jumlah lemak tubuh > 19 % pada laki-laki
dan > 21 % pada perempuan. Obesitas sering didapatkan bersama-sama dengan
hipertensi, DM dan hipertrigliserdemi. Obesitas juga dapat meningkatkan kadar
kolesterol total dan LDL kolesterol. Resiko PJK akan jelas meningkat bila berat
badan mulai melebihi 20 % dari BB ideal. Obesitas akan mengakibatkan terjadinya
peningkatan volume darah sekitar 10 - 20 %, bahkan sebagian ahli menyatakan
dapat mencapai 30 %. Hal ini tentu merupakan beban tambahan bagi jantung, otot
jantung akan mengalami perubahan struktur berupa hipertropi atau hiperplasi yang
keduanya dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pompa jantung atau lazim
disebut sebagai gagal jantung atau lemah jantung, dimana penderita akan merasakan
lekas capek, sesak napas bila melakukan aktifitas ringan, sedang, ataupun berat
(tergantung dari derajat lemah jantung) (Lancet. 1986)..
Obesitas dapat mempercepat terjadinya penyakit jantung koroner melalui
berbagai cara, yaitu :
1. Obesitas mengakibatkan terjadinya perubahan lipid darah, yaitu peninggian
kadar kolesterol darah, kadar LDL-kolesterol meningkat (kolesterol jahat, yaitu
zat yang mempercepat penimbunan kolesterol pada dinding pembuluh darah),
penurunan kadar HDL-kolesterol (kolesterol baik, yaitu zat yang mencegah
terjadinya penimbunan kolesterol pada dinding pembuluh darah).
2. Obesitas mengakibatkan terjadinya hipertensi, akibat penambahan volume
darah, peningkatan kadar renin, peningkatan kadar aldosteron dan insulin,
meningkatnya tahanan pembuluh darah sistemik, serta terdapatnya penekanan
mekanis oleh lemak pada dinding pembuluh darah tepi .
Obesitas juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan toleransi glukosa
ataupun kencing manis. Menurut Westlund dan Nicholay Sen, obesitas sedang akan
meningkatkan resiko penyakit jantung koroner 10 kali lipat, bahkan jika berat badan
lebih besar 45 % dari berat badan standar, maka resiko terjadinya penyakit kencing
manis akan meningkat menjadi 30 kali lipat (Bethesda, Md, 2000).
Menurut hasil penelitian Skandinavia, bahwa obesitas akan mengakibatkan
terjadinya peningkatan faktor-faktor pembekuan darah, sebagaimana diketahui
bahwa faktor pembekuan darah merupakan faktor resiko untuk terjadinya serangan
jantung dan stroke. Obesitas akan meningkatkan resiko stroke 20 % dan resiko
serangan jantung sebesar 8 kali lipat dibanding mereka yang bukan obesitas. Jika
berat badan naik 20 % maka angka kematian meningkat 20 % pada pria dan 10 %
pada wanita (Bethesda, Md, 2000)..
Sebaliknya menurut studi Framingham, penurunan berat badan akan
memperpanjang usia dan dengan penurunan berat badan sampai 10 % akan menurunkan
insiden penyakit jantung koroner 20 %. Obesitas pada masa kanak-kanak biasanya akan
mempunyai efek atau pengaruh yang lebih buruk terhadap jantung dibanding jika obesitas
didapat setelah usia dewasa. Hal ini disebabkan oleh karena : efek samping obesitas
ditentukan oleh berat dan lamanya obesitas. Kerusakan atau kelainan otot jantung akibat
obesitas sering disebut sebagai penyakit otot jantung obesitas (obesity heart muscle disease)
atau kardiomiopati (Bethesda, Md, 2000).

V. Manifestasi Klinis
A. STEMI
Manifestasi Klinis Pasien yang datang dengan STEMI biasanya memiliki riwayat
angina atau penyakit jantung koroner, usia lanjut, dan kebanyakan laki-laki. Kejadian
sebagian besar timbul pada pagi hari, berhubungan dengan aktivitas neurohormonal dan

15
sistem syaraf simpatis. Presentasi klinis STEMI beragam, namun biasanya timbul timbul
nyeri dada tiba- tiba pada area prekordial atau sesak nafas. Pasien biasanya menggambarkan
sebagai sensasi dihimpit, diremas, atau ditekan pada retrosternal, dengan atau tanpa
penjalaran ke leher, rahang, bahu kiri dan lengan kiri. Nyeri dada umumnya cukup hebat
sehingga terjadi aktiviyas simpatis berupa mual, muntah dan keringat dingin hingga
membasahi pakaiannya. Harus diwaspadai pada beberapa pasien dengan gejala atipikal
seperti nyeri pada lengan atau bahu, sesak nafas akut, sinkope atau aritmia. Pasien dengan
elevasi segmen ST tanpa gejala, harus diwaspadai sebab lain elevasi ST selain cedera
miokard. Kematian sebagian besar terjadi pada jam-jam pertama setelah STEMI, oleh karena
gangguan irama ventrikular fibrilasi, kejadian ini sering terjadi sebelum pasien mencapai
fasilitas kesehatan. Tanpa adanya defibrilator maka peluang untuk mengembalikan ke
sirlukasi spontan sangat kecil (De Luca G, 2003).
B. NSTEMI
Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadang kala di epigastrium dengan
ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat
atau tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering ditemukan pada NSTEMI. Analisis
berdasarkan gambaran klinis menunjukkan bahwa mereka yang memiliki gejala dengan
onset baru angina/terakselerasi memiliki prognosis lebih baik dibandingkan dengan yang
memiliki nyeri pada waktu istirahat. Walaupun gejala khas rasa tidak enak di dada iskemia
pada NSTEMI telah diketahui dengan baik, gejala tidak khas seperti dispneu, mual,
diaforesis, sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu atas atau leher juga terjadi dalam
kelompok yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun ( De Luca G, 2003) .
C. Angina pectoris tak stabil
Didapatkan rasa tidak enak didada yang tidak selalu sebagai rasa sakit, tetapi dapat
pula sebagai rasa penuh didada, tertekan, nyeri, tercekik, atau rasa terbakar. Rasa tersebut
dapat terjadi di leher, tenggorokan, daerah antara tulang skapula, daerah rahang ataupun
lengan. Sewaktu angina terjadi, penderita dapat sesak nafas atau rasa lemah yang
menghilang setelah angina hilang. Dapat pula terjadi palpitasi, keringat dingin, pusing
ataupun hampir pingsan (De Luca G, 2003).
VI. Patofisiologi
A. Angina Pectoris tidak Stabil
1. Ruptur plak
Ruptur plak arterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina pektoris tak stabil,
sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelunya
mempunyai penyempitan yang mininal. Dua pertiga dari pembuluh yang mengalami ruptur
sebelumnya mempunyai penyempitan 50% atau kurang, dan pada 97% pasien dengan angina
tak stabil mempunyai penyempitan kurang dari 70%. Plak arterosklerotik terdiri dari inti
yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotic (fibrotic cap).Plak tidak
stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag.
Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang normal atau pada
bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada dinding plak yang paling
lemah karena adanya enzim protease yang di hasilkan makrofag dan secara enzimatik
melemahkan dinding plak (fibrous cap). Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan
agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup
pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila
trombus tidak menyumbat 100% dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi
angina tak stabil (The American Heart Association, 2000).
2. Trombosis dan agregasi trombosit
Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar terjadinya angina
tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu di sebabkan karena interaksi yang
terjadi antara lemak, sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak
berhubungan dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan

16
dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi
enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin (Trisnohadi, 2006).
3. Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak stabil. Di
perkirakan ada disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet berperan
dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang
terlokalisir seperti pada angina prinzmetal juga menyebabkan angina tak stabil. Adanya
spasme sering kali terjadi pada plak yang tak stabil dan mempunyai peran dalam
pembentukan trombus (Trisnohadi, 2006). 4. Erosi pada plak tanpa ruptur Terjadinya
penyempitan juga dapat di sebabkan karena terjadinya proliferasi dan migrasi dari otot polos
sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan bentuk dari lesi karena
bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan
keluhan iskemia (Trisnohadi, 2006).
B. STEMI

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak arterosklerosik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri
koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena
berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri
koroner terjadi secara cepat pada lokasi injury vaskular, dimana injury ini di cetuskan oleh
faktor-faktor seperti merokok,hipertensi dan akumulasi lipid (Trisnohadi, 2006).
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak arterosklerosis mengalami fisur,
ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga
terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner.
Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika
mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI
gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar
sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik (Trisnohadi, 2006).
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, efinefrin,
serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan
tromboxan A2 (vasokontriktor lokal yang poten). Selain aktivasi trombosit memicu
perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa (Trisnohadi, 2006).
Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap
sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand
(vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2
platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelets dan agregasi
(Trisnohadi, 2006).
Kaskade koagulasi di aktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak.
Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang
kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian
akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi
yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital,
spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Alwi, 2006).

C. NSTEMI
NSTEMI dapat di sebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan
kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena
trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner di
awali dengan adanya ruptur plak yang tak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya
mempunyai inti lipid yang besar, densitas otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan
konsentrasi faktor jaringan yang tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur mempunyai
konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi

17
ruptur plak dapat di jumpai sel makrofag dan limfosit T yang menunjukan adanya proses
inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti TNF α, dan IL-6.
selanjutnya IL-6 kan merangsang pengeluaran hsCRP di hati (Alwi, 2006).
VII. Diagnosis
A. Anamnesis
Pada anamnesis ditanyakan dengan cermat tentang nyeri dada, apakah nyeri dadanya
berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari
jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. juga perlu
bagaimana kriteria nyeri dada yang di alami pasien, sifat nyeri dada pada pasien SKA
merupakan nyeri dada tipikal (angina). Pada anamnesis juga ditanyakan faktor resiko seperti
hipertensi,diabetes melitus, dislipidemia, merokok, serta riwayat penyakit jantung koroner di
keluarga. Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi IMA, seperti
aktivitas fisik berat, stress, emosi, atau penyakit medis lain yang menyertai. Walaupun SKA
bisa terjadi sepanjang hari atau malam.
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien yang harus dibedakan
dengan nyeri dada lainnya, karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan
pasien SKA. Sifat nyeri dada angina sebagai berikut:
- Lokasi: substernal, retrosternal, dan prekordial.
- Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti
ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
- Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan. Nyeri membaik atau
hilang dengan istirahat, atau obat nitrat. Faktor pencetus: latihan fisik, stres emosi,
udara dingin, dan sesudah makan.
- Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin cemas dan lemas.
Diagnosis banding nyeri dada IMA antara lain Perikarditis akut, emboli paru, diseksi aorta
akut, kostokondritis dan gastrointestinal (Alwi, 2006).

B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan SKA juga perlu dilakukan, walaupun SKA tidak
begitu memberikan gejala yang khas. Sebagian besar pasien denga SKA akan merasa cemas
dan tidak bisa istirahat (gelisah), selain itu juga sering didapat ekstremitas pucat disertai
keringat dingin.

C. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium enzim jantung seperti creatine kinase (CK), CK-MB,
troponin, CPK, SGOT atau LDH. Enzim tersebut akan meningkat kadarnya pada SKA baik
STEMI mauppun NSTEMI, tapi kadarnya tetap normal pada Unstable Angina.
Pemeriksaan lipid darah seperti kolesterol, HDL, LDL, trigliserida dan pemeriksaan gula
darah perlu dilakukan untuk mencari faktor resiko seperti hiperlipidemia dan/atau diabetes
mellitus

D. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk melihat apakah ada ketidaknormalan daripada
jantung seperti pembesaran jantung, aorta sklerosis dan sebagainya. Pembesaran pada
jantung biasanya akibat dari hipertensi yang lama atau juga akibat dari infark myokard
sebelumnya. dari gambaran radiologis juga dapat menyingkirkan kemungkinan diagnosa lain
seperti cardiomyopathy, carditis dan sebagainya.

E. Pemeriksaan ekg
Pada penderita SKA, pemeriksaan EKG bisa membantu memperlihatkan abnormalitas
gerakan dinding jantung yang dihubungkan dengan iskemia akut. Namun, apabila iskemia
miokard hanya sedikit mungkin tidak cukup untuk menunjukkan adanya abnormalitas
gerakan dinding jantung. Selain itu, abnormalitas gerakan dinding jantung bisa bersifat

18
sementara dan hanya bisa dideteksi pada waktu iskemia akut. Gambaran EKG yang defenitif
untuk diagnosis IMA adalah adanya elevasi segmen-ST 1mm atau lebih pada 2 sandapan
atau lebih. IMA dengan elevasi dari segmen-ST disebut dengan stemi. Walaupun demikian
tidak adanya elevasi dari segmen-ST bukan beraarti dapat menyingkirkan diagnosis IMA,
IMA yang tidak terdapat elevasi pada segmen-ST disebut juga NSTEMI, selain NSTEMI,
pada unstable angina juga tidak terjadi elevasi dari segmen-ST.

Untuk tatalaksana yang optimal, penting bagi kita membedakan jenis PJK dari penderita
apakah STEMI, UAP, Atau NSTEMI

VIII. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan SKA berbeda-beda tergantung dari jenisnya, STEMI, NSTEMI atau
Unstable Angina, tapi pada dasarnya tata laksana awal pada SKA meliputi pemberian
morfin, oksigen, nitrat (nitrogliserin) dan aspirin atau yang dapat disingkat dengan MONA
(Alwi, 2006).

A. Morfin
sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam
tatalaksana nyeri dada pada IMA. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat
diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu
diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui
penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung
dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai dan pada
kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga
dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung
derajat tinggi, serutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi
dengan pemberian atropin 0,5 mg IV

B. Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%.
Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam
pertama

C. Nitrogliserin
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0.4 mg dan dapat
diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Sekat mengurangi nyeri dada, NTG
juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan

19
meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang
terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat
diberikan NTG intravena. NTG intravena juga diberikan untuk mengendalikan
hipertensi atau edema paru.
D. Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif
pada spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang
dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal
dengan dosis 160-325 mg diruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan
dosis 75-162 mg (Alwi, 2006).

Adapun tatalaksana pasien dengan sindroma koroner akut menurut ACLS 2015 adalah
sebagai berikut

20
Selain tatalaksana awal, mengobati penyakit penyerta juga penting. Pada pasien SKA tidak
jarang disertai dengan darah tinggi dan kadar kolestrol yang tak terkontrol. Untuk hipertensi
bisa menggunakan anti hipertensi golongan ace inhibitor dan beta blocker. Penggunaan
vasodilator seperti nitrat juga digunakan bila pasien memiliki hipertensi krisis. Obat diuretik
seperti furosemide dan spironolacton digunakan jika pada pasien terdapat edema paru akut
kardiogenik. Selain itu pemberian trombilitik pada fase awal STEMI harus diberikan untuk
mengembalikan reperfusi darah ke otot jantung, pemberian koagulan seperti aspirin untuk
mencegah terjadinya trombosis kembali juga diperlukan dalam terapi SKA.

IX. Komplikasi
- Oedema paru akut adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di rongga
interstisial maupun dalam alveoli. Oedema paru merupakan tanda adanya kongesti
paru tingkat lanjut, dimana cairan mengalami kebocoran melalui dinding kapiler,
merembes ke luar dan menimbulkan dispnu yang sangat berat. Oedema terutama
paling sering ditimbulkan oleh kerusakan otot jantung akibat MI acut.
Perkembangan oedema paru menunjukan bahwa fungsi jantung sudah sangat tidak
adekuat.
- Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang
adekuat.
- Syok kardiogenik adalah terjadi ketika jantung tidak mampu mempertahankan
kadiak output yang cukup untuk perfusi jaringan. Hal ini biasanya muncul setelah
adanya penyakit infark miokardial.
- Efusi prekardial adalah mengacu pada masuknya cairan ke dalam kantung
pericardium.
- Rupture miokard adalah sangat jarang terjadi tetapi, dapat terjadi bila terdapat infark
miokardium, proses infeksi, penyakit infeksi, penyakit pericardium atau disfungsi
miokardium lain yang membuat otot jantung menjadi lemah.
- Henti jantung adalah bila jantung tiba-tiba berhenti berdenyut, akibatnya terjadi
penghentian sirkulasi yang efektif (Trisnohadi, 2006)..
-
X. Pencegahan
Pencegahan agar IMA tidak terjadi dapat dilakukan dengan mengurangi faktor
resiko,seperti
- Menghindari : merokok, stress mental, alkohol, kegemukan, konsumsi garam
berlebihan, obat-obatan golongan amfetamin, kokain dan sejenisnya .
- Kurangi: kolesterol, lemak dalam makanan.
- Mengkonsumsi gizi yang seimbang dan berolahraga secara teratur.

21
FOLLOW UP

Tgl Subyektif Obyektif Assessment Planning


24/11/17 Nyeri Dada TD 110/70, N 92, RR 32 STEMI + PTX :
-IVFD NS 14 tpm
ICCU Sesak+, T 36,5 DM type II
-Actrapid 3x10 IUsc
Mual+, K/L: AICD -/-/-/- pKGB – -Ranitidine 2x50 mg iv
-PO ASA 1x80mg
Tho: (P) sim ves/ves, rh-/-,
-PO Clopidogrel 1x75mg
wh---/--- sonor/sonor
(C) S1S2 tunggal m- g-
PMo :
Abd : soefl, timpani, BU +
Keluhan, Vital Sign, GDA,
normal, NT+epig
EKG
Ext : HKM, CRT< 2 detik

GDA 474
25/11/17 Nyeri Dada TD 110/70, N 88, RR 22 STEMI PTX :
-IVFD NS 14 tpm
ICCU Berkurang T 36,7 (resolved) +
-Actrapid 3x10 IUsc
Sesak- K/L: AICD -/-/-/- pKGB – DM type II -Ranitidine 2x50 mg iv
-PO ASA 1x80mg
Mual- Tho: (P) sim ves/ves, rh-/-,
-PO Clopidogrel 1x75mg
wh---/--- sonor/sonor

22
(C) S1S2 tunggal m- g- PMo :
Abd : soefl, timpani, BU + Keluhan, Vital Sign, GDA,
normal, NT+epig EKG
Ext : HKM, CRT< 2 detik

GDA 298
26/11/17 Sesak- TD 90/60, N 118, RR 24 STEMI PTX :
-IVFD NS 14 tpm
Mekkah 2 Nyeri Dada T 36,7 (Resolved)
-Actrapid 3x10 IUsc
hilang K/L: AICD -/-/-/- pKGB – + DM Type -Ranitidine 2x50 mg iv
-PO ASA 1x80mg
Tho: (P) sim ves/ves, rh-/-, II
-PO Clopidogrel 1x75mg
wh---/--- sonor/sonor
(C) S1S2 tunggal m- g-
PMo :
Abd : soefl, timpani, BU +
Keluhan, Vital Sign, GDA,
normal, NT+epig
EKG
Ext : HKM, CRT< 2 detik

GDA 229
27/11/17 Nyeri Dada TD 100/60, N 82, RR 22 STEMI PTX :
-IVFD NS 14 tpm
Mekkah 2 Hilang T 36,7 (resolved) +
-Actrapid 3x10 IUsc
Sesak- K/L: AICD -/-/-/- pKGB – DM type II -Ranitidine 2x50 mg iv
-PO ASA 1x80mg
Tho: (P) sim ves/ves, rh-/-,
-PO Clopidogrel 1x75mg
wh---/--- sonor/sonor
(C) S1S2 tunggal m- g-
PMo :
Abd : soefl, timpani, BU +
Keluhan, Vital Sign, GDA,
normal, NT+epig
EKG
Ext : HKM, CRT< 2 detik

GDA 189
28/11/17 Keluhan - TD 100/70, N 88, RR 22 STEMI PTX :
KRS
T 36,7 (resolved) +
-IVFD NS 14 tpm
K/L: AICD -/-/-/- pKGB – DM Type II -Actrapid 3x10 IUsc
-Ranitidine 2x50 mg iv
Tho: (P) sim ves/ves, rh-/-,
-PO ASA 1x80mg
wh---/--- sonor/sonor -PO Clopidogrel 1x75mg
(C) S1S2 tunggal m- g-

23
Abd : soefl, timpani, BU + PMo :
normal, NT+epig Kontrol Ke Poli IPD dan
Ext : HKM, CRT< 2 detik Kardio 3 hari kemudian

24
DAFTAR PUSTAKA
Alwi Idrus, 2006. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. Dalam: Sudoyo AW,
Setiohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata MK, Setiati Siti, 2006. Ilmu penyakit
dalam: Edisi ke 4. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta, 1615-1625.

Antman EM, Anbe DT, Armstrong PW et al, ACC/AHA Guidelines for the Management of
Patients With ST-Elevation Myocardial Infarction A Report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee
to Revise the 1999 Guidelines for the Management of Patients With Acute Myocardial
Infarction). Circulation 2004;110:588-636

Amman E, Braunwald E. ST elevation myocardial infarction : management In: Braunwald


E, Zipes DP, Libby P, eds. Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine. 7th
ed. Philadelphia, Pa: WB Saunders;2005:1167" 226.
Rogers WJ, Canto JG, Lambrew CT, et al. Temporal trends in the treatment of over 1.5
million patients with myocardial infarction in the US from 1990 through 1999: the
National Registry of Myocardial Infarction 1, 2 and 3. J Am Coll Cardiol.
2000:36:2056"63.
Wiviott SD, Morrow DA, Giugliano RP, et al. Performance of thethrombolysis in myocardial
infarction risk index for early acute coronarysyndrome in the National Registry of
Myocardial Infarction: a simple risk index predicts mortality in both ST and non-ST
elevation myocardial infarction. J Am Coll Cardiol 2003;41:365A" 366A.
National Cholesterol Education Program. Third Report of the Expert Panel on Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults {Adult Treatment Panel
III). NIH publication No. 02" 5125. Bethesda, Md: National Heart, Lung, and Blood
Institute, 2002. Guidelines, Related Tools, and Patient Information, available at:
http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/ cholesterol/index.htm. Accessed April 12, 2003.
Eisenberg MJ, Topol EJ. Prehospital administration of aspirin in patients with unstable
angina and acute myocardial infarction. Arch Intern Med. 1996:156:1506" 10.
Fibrinolytic Therapy Trialists (FTT) Collaborative Group. Indications for fibrinolytic
therapy in suspected acute myocardial infarction: collaborative overview of early
mortality and major morbidity results from all randomized trials of more than 1000
patients. Lancet. 1994;343:3ir22.
Gruppo Italiano per lo Studio della Streptochinasi nell Infarto Miocardico (GISSI).
Effectiveness of intravenous thrombolytic treatment in acute myocardial infarction.
Lancet. 1986; 1:397" 402.
The American Heart Association in collaboration with the International Liaison Committee
on Resuscitation. Guidelines 2000 for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care: Part 7: the era of reperfusion: section 1: acute coronary syndromes
(acutemyocardial infarction). Circulation. 2000;102(suppl I):I-172" 1-203.
Antithrombotic Trialists Collaboration. Collaborative meta-analysis of randomized trials
of antiplatelet therapy for prevention of death, myocardial infarction, and stroke in high
risk patients. BMJ. 2002;324:71"86.
Trisnohadi Hanafi B, 2006. Angina Pektoris Tak Stabil. Dalam: Sudoyo AW,
Setiohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata MK, Setiati Siti, 2006. Ilmu
penyakit dalam: Edisi ke 4. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 1606-1609.
De Luca G, Suryapranata H, Zijlstra F, et al, for the ZWOLLE Myocardial Infarction Study
Group. Symptom-onset-to-balloon time and mortality in patients with acute myocardial
infarction treated by primary angioplasty. J Am Coll Cardiol. 2003;42:991"7.

25

Anda mungkin juga menyukai