1
Sebelumnya pernah periksa ke dokter dan dinyatakan kolesterolnya tinggi.
3. Riwayat Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama
dengan pasien. Tidak ada keluarga yang menderita penyakit serupa.
4. Riwayat Pekerjaan : Pasien bekerja serabutan
5. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik : Pasien tidak pernah berolahraga, tidak
merokok sejak 5 tahun terakhir
6. Pemeriksaan Fisik : TD 130/80 mmHg, Nadi 120 x/menit, RR 60x/menit, T 36,30 C
7. Pemeriksaan penunjang :
Daftar Pustaka :
Alwi Idrus, 2006. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. Dalam: Sudoyo AW,
Setiohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata MK, Setiati Siti, 2006. Ilmu penyakit dalam: Edisi ke
4. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 1615-
1625.
Antman EM, Anbe DT, Armstrong PW et al, ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients
With ST-Elevation Myocardial Infarction A Report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee to Revise
the 1999 Guidelines for the Management of Patients With Acute Myocardial Infarction).
Circulation 2004;110:588-636
2
penyakit dalam: Edisi ke 4. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 1606-1609.
De Luca G, Suryapranata H, Zijlstra F, et al, for the ZWOLLE Myocardial Infarction Study Group.
Symptom-onset-to-balloon time and mortality in patients with acute myocardial infarction treated
by primary angioplasty. J Am Coll Cardiol. 2003;42:991"7.
Hasil Pembelajaran :
1. STEMI (Definisi, Epidemiologi, Patofisiologi, Etiologi dan Faktor pencetus,
komplikasi, pencegahan)
2. Penegakan diagnosis STEMI
3. Tatalaksana STEMI
3
LAPORAN KASUS
Identitas pasien:
Nama : Tn. M
Usia : 55 th
Jenis Kelamin : Laki Laki
Agama/ Suku : Islam/ Jawa
Pekerjaan : Serabutan
Alamat : Dampit RT 004 RW 014 Ds. Joho, Kec Pace, Nganjuk
Tanggal Pemeriksaan : 25 November 2017
No. RM : 095055
Subjektif:
Keluhan Utama: Nyeri Dada
RPS: Pasien datang dengan keluhan nyeri dada sejak 2 hari SMRS dan semakin
hari semakin memberat. Nyeri dada dirasakan sepanjang hari, memberat tiba
tiba , tidak membaik dengan istirahat.Nyeri dada dirasakan di sisi sebelah kiri
dada pasien dan tembus ke belakang, nyeri terasa seperti diikat. Pasien juga
merasakan sesak ketika nyeri dada dan kesulitan bernafas sehingga tidak kuat
untuk berdiri. VAS score 4/10.
RPD: Pasien belum pernah menderita nyeri dada sebelumnya. Pasien
menderita diabetes mellitus sejak 4 tahun dan tidak teratur minum obat.
Pasien juga sebelumnya pernah periksa kesehatan di puskesmas dan
dikatakan kolesterolnya tinggi .
Riwayat alergi :
o Bahan injektan : disangkal
o Bahan kontaktan : disangkal
o Bahan ingestan : disangkal
o Bahan inhalan : disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak ada anggota keluarga yang mengalami
keluhan yang sama dengan pasien. Tidak ada keluarga yang menderita
penyakit diabetes.
4
Riwayat Pengobatan : Pasien berobat ke dokter umum dan diberikan obat
kolesterol , namun pasien lupa obatnya kemudian tidak pernah periksa
lagi.
Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik : Pasien suka mengkonsumsi
jeroan, santan, dan yang manis manis. Pasien dulu merokok sejak usia
18an dan berhenti sekitar 3 tahun terakhir.
Objektif:
PEMERIKSAAN FISIK (25-11-2017)
Keadaan Umum: pasien sesak
Status gizi: kesan gizi cukup, BB 70kg , TB 160cm , BMI 27.35
Vital sign
o TD : 130/80
o Nadi : 120 x/menit
o RR : 30 x/menit
o Temp ax : 36,3°C
Kepala leher:
o AICD -/-/-/-
o pembesaran KGB (-)
Thorax:
o Pulmo:
Inspeksi : simetris, normochest, penggunaan otot bantu
pernapasan-, purse lip breathing -, pelebaran ics+
Palpasi : ekspansi dinding dada simetris, fremitus simetris
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi: ves /ves, rh ---/---, wh---/---
o Cor:
Inspeksi: hemithorax bulging –, ictus cordis -
Palpasi: fremisment – ictus cordis kuat angkat
Perkusi: batas jantung normal
Auskultasi: s1 s2 tunggal m- g-
Abdomen:
5
o Inspeksi: flat
o Auskultasi: Bu + normal
o Palpasi: soefl, nyeri tekan- epigastrium, H/L/R ttb, Turgor normal
o Perkusi: tympani, shifting dullness –
Ekstrimitas : dingin basah merah, CRT<2 detik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium (30-4-2017)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hematokrit 42,0 36 – 42
SGOT 9 <36
SGPT 23 <40
BUN 22 5-15
Klorida 98 96 – 106
pH 6,0 5,0-8,5
Protein - -
Reduksi - -
Urobilin - -
6
Bilirubin - -
Blood - -
Keton - -
Nitrit - -
Sedimen eritrosit 0 -
Sedimen Kristal - -
Sedimen Bakteri - -
Lain-lain - -
Foto Thorax AP
Jaringan Lunak Normal
Tulang Garis Fraktur -
Trakhea Di Tengah
Diafragma D/S Normal
Cor CTR 53%
Pulmo Corakan Bronkhovaskular normal,
Infiltrat -
Sudut Costophrenicus D/S Lancip
Kesimpulan Foto Thorax Normal
Assesment:
Working Diagnosis: ST Elevasi Myocard Infarct Segmen Inferior + Diabetes
Mellitus Tipe II
Gejala STEMI yang ditemukan pada pasien ini :
7
Anamnesis : Nyeri dada sebelah kiri yang mendadak dan terasa seperti diikat, tidak
menghilang dengan istirahat. Riwayat Diabetes Melitus dan Kolesterol Tinggi
Pemeriksaan fisik :
RR 30x/menit
Pemeriksaan penunjang :
EKG ST Elevasi pada lead II, III, avF
GDA 474
GD 2 jam post prandial 288
Planning:
1. Planning therapy:
IVFD NS 14 tpm
RCI 3x4 IU, lanjut maintenance Actrapid 3x 10 IUs.c
Injeksi Ranitidine 2x50 mg i.v.
PO Aspilet 4x80mg (dikunyah)
PO Clopidogrel 4x75mg
MRS
2. Planning monitoring:
Keluhan subyektif
Tanda vital
EKG
Cek lab serial GDA, Kolesterol
3. Edukasi:
Mengenai kondisi terkini pasien, tatalaksana apa yang akan
dilakukan, komplikasi yang mungkin terjadi
Setelah pengobatan di RS pasien disarankan untuk rutin kontrol ke
dokter dan mengecek kolesterol dan rekam jantung. Pasien disarankan
rutin minum obat diabetes walaupun tidak ada keluhan.
Selain itu pasien disarankan segera memeriksakan diri apabila
terdapat keluhan, karena kondisinya saat ini mudah dipicu oleh
stressor.
8
PEMBAHASAN
I. Definisi
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan spektrum manifestasi akut dan
berat yang merupakan keadaan kegawatdaruratan dari koroner akibat
ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dan aliran darah (Kumar,
2007). Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu istilah atau terminologi yang
digunakan untuk menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan proses penyakit
yang meliputi angina pektoris tidak stabil/APTS (unstable angina/UA), infark
miokard gelombang non-Q atau infark miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST
elevation myocardial infarction/ NSTEMI), dan infark miokard gelombang Q atau
infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST elevation myocardial
infarction/STEMI) (Antman EM, et al 2004).
9
II. Epidemiologi
III. Etiologi
Penyebab PJK secara umum dibagi atas dua, yakni menurunnya asupan oksigen
yang dipengaruhi oleh aterosklerosis, tromboemboli, vasopasme, dan meningkatnya
kebutuhan oksigen miokard. Dengan perkataan lain, ketidak seimbangan antara
kebutuhan oksigen miokardium dengan masukannya. Dikenal 2 keadaan
ketidakseimbangan masukan terhadap kebutuhan oksigen itu, yaitu hipoksemia
(iskemia) yang ditimbulkan oleh kelainan vaskuler (arteri koronaria) dan hipoksia
(anoksia) yang disebabkan kekurangan oksigen dalam darah. Perbedaannya ialah
pada iskemia terdapat kelainan vaskuler sehingga perfusi ke jaringan berkurang dan
eliminasi metabolit yang ditimbulkannya (misal asam laktat) menurun juga sehingga
gejalanya akan lebih cepat muncul (Wiviott SD, et al 2003).
Ruptur dari plak aterosklerosis dianggap penyebab terpenting dari angina pektoris
tidak stabil (APTS) sehingga tiba-tiba terjadi oklusi (sumbatan) subtotal atau total
dari arteri koronaria yang sebelumnya mempunyai penyumbatan/penyempitan
minimal. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang
normal. Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi, dan agregasi platelet dan
menyebabkan aktivasi timbulnya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah
100% akan menyebabkan infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus
tidak menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi
angina tak stabil (Wiviott SD, et al 2003).
10
b. Umur
Makin bertambah usia, makin mudah kena serangan jantung. Kalau pria
harus berhati-hati setelah usia 45 tahun, wanita setelah usia 55 tahun. Ada
jeda waktu 10 tahun wanita lebih terlindungi dari PJK. Hal ini kemungkinan
karena peranan hormon estrogen dan feritin yang keluar dari tubuh wanita
setiap bulan (Bethesda, Md, 2002)..
a. Riwayat keluarga yang menderita PJK
Pada keluarga (orangtua, paman, bibi) yang jika pria di bawah usia 55
tahun dan perempuan di bawah usia 65 tahun, dikatakan tergolong usia muda
untuk sakit PJK. Oleh karena itu, anak-anaknya maupun keponakannya harus
waspada karena 3-5 kali lebih sering terkena serangan jantung dibanding
keluarga yang jantungnya sehat. Penyakit keturunan hiperkolesterolemia
familiar diduga sebagai salah satu penyebab (Bethesda, Md, 2002).
11
pertama setelah berhenti merokok dan kembali seperti yang tidak merokok setelah
berhenti merokok 10 tahun. Dall & Peto 1976 mendapatkan resiko infark akan turun
50 % dalam waktu 5 tahun setelah berhenti merokok (The American Heart
Association, 2000).
Merokok diupayakan agar seseorang berhenti merokok untuk selama-
lamanya. Segera berhenti jika memungkinkan, tapi boleh juga sedikit demi sedikit
mengurangi jumlah rokok yang diisap sampai akhirnya berhenti total. Disebabkan
nikotin akan menyebabkan debaran yang lebih cepat dan gas CO akan mengikat
butir darah merah (hemoglobin) lebih kuat dibanding oksigen sehingga oksigenisasi
jantung relatif berkurang (The American Heart Association, 2000).
2. Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama untuk terjadinya PJK.
Penelitian di berbagai tempat di Indonesia (1978) mendapatkan prevalensi hipertensi
untuk Indonesia berkisar antara 6-15 %, sedangkan di negara-negara maju seperti
misalnya Amerika National Health Survey menemukan frekuensi yang lebih tinggi
yaitu mencapai 15-20 %. Lebih kurang 60 % penderita hipertensi tidak terdeteksi,
20% dapat diketahui tetapi tidak diobati atau tidak terkontrol dengan baik,
sedangkan hanya 20 % dapat diobati dengan baik. Adapun Klasifikasi Hipertensi
menurut JNC VII terdapat pada tabel 1 .
Tekanan darah
Klasifikasi
Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal <120 <80
Pre-Hipertensi 120 – 139 80 – 90
Hipertensi Stage I 140 – 159 90 – 99
Hipertensi Stage II ≥ 160 ≤ 100
12
penderita hipertensi dibandingkan orang normal. Tekanan darah sistolik diduga
mempunyai pengaruh yang lebih besar.
Kejadiannya PJK pada hipertensi sering ditemukan dan secara langsung
berhubungan dengan tingginya tekanan darah sistolik. Penelitian Framingham
selama 18 tahun terhadap penderita berusia 45-75 tahun mendapatkan hipertensi
sistolik merupakan faktor pencetus terjadinya angina pektoris dan miokard infark,
juga pada penelitian tersebut didapatkan penderita hipertensi yang mengalami
miokard infark mortalitasnya 3 kali lebih besar daripada penderita yang normotensi
dengan miokard infark (Bethesda, Md, 2000).
Tekanan darah yang normal merupakan penunjang kesehatan yang utama
dalam kehidupan dan ada hubungannya dengan faktor keturunan, perilaku dan cara
kehidupan, kebiasaan merokok dan alkoholisme, diet serta pemasukan natrium &
kalium yang seluruhnya adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan pola kehidupan
seseorang. Kesegaran jasmani juga berhubungan dengan tekanan darah sistolik,
seperti yang didapatkan pada penelitian Fraser dkk, orang-orang dengan kesegaran
jasmani yang optimal tekanan darahnya cenderung lebih rendah. Penelitian di
Amerika Serikat melaporkan pada dekade terakhir ini telah terjadi penurunan angka
kematian PJK sebanyak 25 %. Keadaan ini mungkin akibat hasil dari deteksi dini
dan pengobatan hipertensi pemakaian beta-bloker dan bedah koroner serta
perubahan kebiasaan merokok (Eisenberg MJ,et al 1996).
Bagi mereka yang hipertensi, ada baiknya mengukur tekanan darah setiap ke
dokter atau satu sampai dua kali setahun jika tubuh dalam keadaan sehat. Tetapi, jika
mengidap hipertensi, harus diet rendah garam, menurunkan berat badan bagi yang
berlebihan, minum obat, dan kontrol ke dokter sesuai dengan anjuran.
3. Diabetes Mellitus
DM terbukti merupakan faktor risiko yang kuat untuk semua manifestasi
klinik penyakit aterosklerotik. Mortalitas dan morbiditas PJK pada penderita DM 2-
3 kali lipat dibandingkan dengan yang non DM. Pada penderita DM dewasa 75-80
% akan meninggal karena komplikasi ini (Eisenberg MJ,et al 1996).
Berdasarkan Standards of Medical Care in Diabetes 2010, beberapa kriteria
dan monitoring untuk diabetes tersebut yakni, A1C > 6,5 %, FPG > 126 mg/dL (7
mmol/L), puasa didefinisikan tidak adanya ambilan kalori sedikitnya selama 8 jam,
2 jam glukosa plasma > 200 mg/dL (11,1 mmol/L) selama OGTT dengan asupan
glukosa sebanding dengan 75 glukosa anhydrous yang dilarutkan.
Pasien dengan keluhan klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia dengan
glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL (11,1 mmol/L) atau dengan riwayat konsumsi
obat DM secara teratur. Intoleransi terhadap glukosa sejak dulu telah diketahui
sebagai predisposisi penyakit pembuluh darah. Penelitian menunjukkan laki-laki
yang menderita DM resiko PJK 50 % lebih tinggi daripada orang normal, sedangkan
pada perempuan resikonya menjadi 2 kali lipat. Mekanismenya belum jelas, akan
tetapi terjadi peningkatan tipe IV hiperlipidemidan hipertrigliserid, pembentukan
platelet yang abnormal dan DM yang disertai obesitas dan hipertensi. Mungkin juga
banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhinya (Eisenberg MJ,et al 1996).
Diusahakan berolahraga 3-5 kali seminggu, dengan durasi 30-60 menit setiap
berolahraga. Untuk kelebihan berat badan, agar dikendalikan dengan kisaran indeks
massa tubuh 21-25 kilogram/meter persegi (Lancet. 1994).
4. Dislipidemia
Penyakit jantung koroner adalah penyakit dengan etiologi yang multi faktorial
diantaranya adalah dislipidemia. Dislipidemia merupakan faktor risiko yang pada
suatu penelitian yang diadakan oleh Balitbang Kesehatan tahun 2000 mempunyai
persentasi tertinggi dibanding faktor risiko yang lain seperti hipertensi, DM,
merokok, dan kepribadian Tipe A, yaitu 70,4 % (Bethesda, Md, 2000)..
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai oleh
peningkatan atau penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi utama dari
13
lipid adalah kenaikan kadar kolesterol total, Low Density lipoprotein (LDL),
trigliserida dan penurunan High Density lipoprotein (HDL). Adult Treatment Panel
(ATP) III memberi batasan dislipidemia aterogenik adalah peningkatan trigliserida,
small dense LDL dan penurunan HDL (Bethesda, Md, 2000)..
Kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) yang dikenal sebagai kolesterol
jahat dan kolesterol HDL (High Density Lipoprotein) yang dikenal sebagai
kolesterol baik. LDL membawa kolesterol dari hati ke sel, dan HDL berperan
membawa kolesterol dari sel ke hati. Kadar kolesterol LDL yang tinggi akan
memicu penimbunan kolesterol di sel, yang menyebabkan munculnya
atherosclerosis (pengerasan dinding pembuluh darah arteri) dan penimbunan plak di
dinding pembuluh darah (Bethesda, Md, 2000).
Tabel 2.3. Klasifikasi kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan
trigliserid menurut NCEP-ATP III 2001
Klasifikasi kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan trigliserid menurut
Profil lemak yang normal adalah sebagai berikut, kadar kolesterol darah
dibawah 200 mg/dl, kadar kolesterol LDL dibawah 150 mg/dl, kadar kolesterol HDL
diatas 35 mg/dl, dan kadar trigliserida dibawah 200 mg/dl, seperti yang ditunjukkan
pada tabel 1.
Hal yang juga tidak kalah pentingnya adalah rasio kolesterol LDL dan
kolesterol HDL yang kurang dari 3,5. Kadar kolesterol HDL yang rendah seringkali
dijumpai bersamaan dengan kadar trigliserida yang tinggi Jika kadar kolesterol total
kurang dari 200 mg/dl, maka seseorang dikatakan beresiko rendah terhadap penyakit
jantung. Sementara total kolesterol antara 200-239 mg/dl, maka dia beresiko
terserang penyakit jantung, dan jika total kolesterol lebih dari 240 mg/dl, maka
termasuk yang beresiko tinggi terhadap penyakit jantung.
Kolesterol low density lipoprotein cholesterol (LDL) yang merupakan
kolesterol buruk harus diturunkan kadarnya dengan diet rendah kolesterol. Hal ini
misalnya, mengurangi kuning telur, jeroan, udang, dan goreng-gorengan. Sebaliknya
kolesterol baik atau high density lipoprotein cholesterol (HDL) justru ditingkatkan
14
kadarnya dengan cara berolahraga, berhenti merokok, makan ikan laut, dan
sebagainya (Lancet. 1986).
5. Obesitas
Obesitas adalah status gizi dimana indeks massa tubuh ≥ 25 kg/m 2. Obesitas
juga dapat diartikan sebagai kelebihan jumlah lemak tubuh > 19 % pada laki-laki
dan > 21 % pada perempuan. Obesitas sering didapatkan bersama-sama dengan
hipertensi, DM dan hipertrigliserdemi. Obesitas juga dapat meningkatkan kadar
kolesterol total dan LDL kolesterol. Resiko PJK akan jelas meningkat bila berat
badan mulai melebihi 20 % dari BB ideal. Obesitas akan mengakibatkan terjadinya
peningkatan volume darah sekitar 10 - 20 %, bahkan sebagian ahli menyatakan
dapat mencapai 30 %. Hal ini tentu merupakan beban tambahan bagi jantung, otot
jantung akan mengalami perubahan struktur berupa hipertropi atau hiperplasi yang
keduanya dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pompa jantung atau lazim
disebut sebagai gagal jantung atau lemah jantung, dimana penderita akan merasakan
lekas capek, sesak napas bila melakukan aktifitas ringan, sedang, ataupun berat
(tergantung dari derajat lemah jantung) (Lancet. 1986)..
Obesitas dapat mempercepat terjadinya penyakit jantung koroner melalui
berbagai cara, yaitu :
1. Obesitas mengakibatkan terjadinya perubahan lipid darah, yaitu peninggian
kadar kolesterol darah, kadar LDL-kolesterol meningkat (kolesterol jahat, yaitu
zat yang mempercepat penimbunan kolesterol pada dinding pembuluh darah),
penurunan kadar HDL-kolesterol (kolesterol baik, yaitu zat yang mencegah
terjadinya penimbunan kolesterol pada dinding pembuluh darah).
2. Obesitas mengakibatkan terjadinya hipertensi, akibat penambahan volume
darah, peningkatan kadar renin, peningkatan kadar aldosteron dan insulin,
meningkatnya tahanan pembuluh darah sistemik, serta terdapatnya penekanan
mekanis oleh lemak pada dinding pembuluh darah tepi .
Obesitas juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan toleransi glukosa
ataupun kencing manis. Menurut Westlund dan Nicholay Sen, obesitas sedang akan
meningkatkan resiko penyakit jantung koroner 10 kali lipat, bahkan jika berat badan
lebih besar 45 % dari berat badan standar, maka resiko terjadinya penyakit kencing
manis akan meningkat menjadi 30 kali lipat (Bethesda, Md, 2000).
Menurut hasil penelitian Skandinavia, bahwa obesitas akan mengakibatkan
terjadinya peningkatan faktor-faktor pembekuan darah, sebagaimana diketahui
bahwa faktor pembekuan darah merupakan faktor resiko untuk terjadinya serangan
jantung dan stroke. Obesitas akan meningkatkan resiko stroke 20 % dan resiko
serangan jantung sebesar 8 kali lipat dibanding mereka yang bukan obesitas. Jika
berat badan naik 20 % maka angka kematian meningkat 20 % pada pria dan 10 %
pada wanita (Bethesda, Md, 2000)..
Sebaliknya menurut studi Framingham, penurunan berat badan akan
memperpanjang usia dan dengan penurunan berat badan sampai 10 % akan menurunkan
insiden penyakit jantung koroner 20 %. Obesitas pada masa kanak-kanak biasanya akan
mempunyai efek atau pengaruh yang lebih buruk terhadap jantung dibanding jika obesitas
didapat setelah usia dewasa. Hal ini disebabkan oleh karena : efek samping obesitas
ditentukan oleh berat dan lamanya obesitas. Kerusakan atau kelainan otot jantung akibat
obesitas sering disebut sebagai penyakit otot jantung obesitas (obesity heart muscle disease)
atau kardiomiopati (Bethesda, Md, 2000).
V. Manifestasi Klinis
A. STEMI
Manifestasi Klinis Pasien yang datang dengan STEMI biasanya memiliki riwayat
angina atau penyakit jantung koroner, usia lanjut, dan kebanyakan laki-laki. Kejadian
sebagian besar timbul pada pagi hari, berhubungan dengan aktivitas neurohormonal dan
15
sistem syaraf simpatis. Presentasi klinis STEMI beragam, namun biasanya timbul timbul
nyeri dada tiba- tiba pada area prekordial atau sesak nafas. Pasien biasanya menggambarkan
sebagai sensasi dihimpit, diremas, atau ditekan pada retrosternal, dengan atau tanpa
penjalaran ke leher, rahang, bahu kiri dan lengan kiri. Nyeri dada umumnya cukup hebat
sehingga terjadi aktiviyas simpatis berupa mual, muntah dan keringat dingin hingga
membasahi pakaiannya. Harus diwaspadai pada beberapa pasien dengan gejala atipikal
seperti nyeri pada lengan atau bahu, sesak nafas akut, sinkope atau aritmia. Pasien dengan
elevasi segmen ST tanpa gejala, harus diwaspadai sebab lain elevasi ST selain cedera
miokard. Kematian sebagian besar terjadi pada jam-jam pertama setelah STEMI, oleh karena
gangguan irama ventrikular fibrilasi, kejadian ini sering terjadi sebelum pasien mencapai
fasilitas kesehatan. Tanpa adanya defibrilator maka peluang untuk mengembalikan ke
sirlukasi spontan sangat kecil (De Luca G, 2003).
B. NSTEMI
Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadang kala di epigastrium dengan
ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat
atau tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering ditemukan pada NSTEMI. Analisis
berdasarkan gambaran klinis menunjukkan bahwa mereka yang memiliki gejala dengan
onset baru angina/terakselerasi memiliki prognosis lebih baik dibandingkan dengan yang
memiliki nyeri pada waktu istirahat. Walaupun gejala khas rasa tidak enak di dada iskemia
pada NSTEMI telah diketahui dengan baik, gejala tidak khas seperti dispneu, mual,
diaforesis, sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu atas atau leher juga terjadi dalam
kelompok yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun ( De Luca G, 2003) .
C. Angina pectoris tak stabil
Didapatkan rasa tidak enak didada yang tidak selalu sebagai rasa sakit, tetapi dapat
pula sebagai rasa penuh didada, tertekan, nyeri, tercekik, atau rasa terbakar. Rasa tersebut
dapat terjadi di leher, tenggorokan, daerah antara tulang skapula, daerah rahang ataupun
lengan. Sewaktu angina terjadi, penderita dapat sesak nafas atau rasa lemah yang
menghilang setelah angina hilang. Dapat pula terjadi palpitasi, keringat dingin, pusing
ataupun hampir pingsan (De Luca G, 2003).
VI. Patofisiologi
A. Angina Pectoris tidak Stabil
1. Ruptur plak
Ruptur plak arterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina pektoris tak stabil,
sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelunya
mempunyai penyempitan yang mininal. Dua pertiga dari pembuluh yang mengalami ruptur
sebelumnya mempunyai penyempitan 50% atau kurang, dan pada 97% pasien dengan angina
tak stabil mempunyai penyempitan kurang dari 70%. Plak arterosklerotik terdiri dari inti
yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotic (fibrotic cap).Plak tidak
stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag.
Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang normal atau pada
bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada dinding plak yang paling
lemah karena adanya enzim protease yang di hasilkan makrofag dan secara enzimatik
melemahkan dinding plak (fibrous cap). Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan
agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup
pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila
trombus tidak menyumbat 100% dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi
angina tak stabil (The American Heart Association, 2000).
2. Trombosis dan agregasi trombosit
Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar terjadinya angina
tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu di sebabkan karena interaksi yang
terjadi antara lemak, sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak
berhubungan dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan
16
dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi
enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin (Trisnohadi, 2006).
3. Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak stabil. Di
perkirakan ada disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet berperan
dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang
terlokalisir seperti pada angina prinzmetal juga menyebabkan angina tak stabil. Adanya
spasme sering kali terjadi pada plak yang tak stabil dan mempunyai peran dalam
pembentukan trombus (Trisnohadi, 2006). 4. Erosi pada plak tanpa ruptur Terjadinya
penyempitan juga dapat di sebabkan karena terjadinya proliferasi dan migrasi dari otot polos
sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan bentuk dari lesi karena
bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan
keluhan iskemia (Trisnohadi, 2006).
B. STEMI
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak arterosklerosik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri
koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena
berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri
koroner terjadi secara cepat pada lokasi injury vaskular, dimana injury ini di cetuskan oleh
faktor-faktor seperti merokok,hipertensi dan akumulasi lipid (Trisnohadi, 2006).
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak arterosklerosis mengalami fisur,
ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga
terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner.
Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika
mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI
gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar
sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik (Trisnohadi, 2006).
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, efinefrin,
serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan
tromboxan A2 (vasokontriktor lokal yang poten). Selain aktivasi trombosit memicu
perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa (Trisnohadi, 2006).
Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap
sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand
(vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2
platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelets dan agregasi
(Trisnohadi, 2006).
Kaskade koagulasi di aktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak.
Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang
kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian
akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi
yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital,
spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Alwi, 2006).
C. NSTEMI
NSTEMI dapat di sebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan
kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena
trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner di
awali dengan adanya ruptur plak yang tak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya
mempunyai inti lipid yang besar, densitas otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan
konsentrasi faktor jaringan yang tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur mempunyai
konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi
17
ruptur plak dapat di jumpai sel makrofag dan limfosit T yang menunjukan adanya proses
inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti TNF α, dan IL-6.
selanjutnya IL-6 kan merangsang pengeluaran hsCRP di hati (Alwi, 2006).
VII. Diagnosis
A. Anamnesis
Pada anamnesis ditanyakan dengan cermat tentang nyeri dada, apakah nyeri dadanya
berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari
jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. juga perlu
bagaimana kriteria nyeri dada yang di alami pasien, sifat nyeri dada pada pasien SKA
merupakan nyeri dada tipikal (angina). Pada anamnesis juga ditanyakan faktor resiko seperti
hipertensi,diabetes melitus, dislipidemia, merokok, serta riwayat penyakit jantung koroner di
keluarga. Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi IMA, seperti
aktivitas fisik berat, stress, emosi, atau penyakit medis lain yang menyertai. Walaupun SKA
bisa terjadi sepanjang hari atau malam.
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien yang harus dibedakan
dengan nyeri dada lainnya, karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan
pasien SKA. Sifat nyeri dada angina sebagai berikut:
- Lokasi: substernal, retrosternal, dan prekordial.
- Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti
ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
- Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan. Nyeri membaik atau
hilang dengan istirahat, atau obat nitrat. Faktor pencetus: latihan fisik, stres emosi,
udara dingin, dan sesudah makan.
- Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin cemas dan lemas.
Diagnosis banding nyeri dada IMA antara lain Perikarditis akut, emboli paru, diseksi aorta
akut, kostokondritis dan gastrointestinal (Alwi, 2006).
B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan SKA juga perlu dilakukan, walaupun SKA tidak
begitu memberikan gejala yang khas. Sebagian besar pasien denga SKA akan merasa cemas
dan tidak bisa istirahat (gelisah), selain itu juga sering didapat ekstremitas pucat disertai
keringat dingin.
C. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium enzim jantung seperti creatine kinase (CK), CK-MB,
troponin, CPK, SGOT atau LDH. Enzim tersebut akan meningkat kadarnya pada SKA baik
STEMI mauppun NSTEMI, tapi kadarnya tetap normal pada Unstable Angina.
Pemeriksaan lipid darah seperti kolesterol, HDL, LDL, trigliserida dan pemeriksaan gula
darah perlu dilakukan untuk mencari faktor resiko seperti hiperlipidemia dan/atau diabetes
mellitus
D. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk melihat apakah ada ketidaknormalan daripada
jantung seperti pembesaran jantung, aorta sklerosis dan sebagainya. Pembesaran pada
jantung biasanya akibat dari hipertensi yang lama atau juga akibat dari infark myokard
sebelumnya. dari gambaran radiologis juga dapat menyingkirkan kemungkinan diagnosa lain
seperti cardiomyopathy, carditis dan sebagainya.
E. Pemeriksaan ekg
Pada penderita SKA, pemeriksaan EKG bisa membantu memperlihatkan abnormalitas
gerakan dinding jantung yang dihubungkan dengan iskemia akut. Namun, apabila iskemia
miokard hanya sedikit mungkin tidak cukup untuk menunjukkan adanya abnormalitas
gerakan dinding jantung. Selain itu, abnormalitas gerakan dinding jantung bisa bersifat
18
sementara dan hanya bisa dideteksi pada waktu iskemia akut. Gambaran EKG yang defenitif
untuk diagnosis IMA adalah adanya elevasi segmen-ST 1mm atau lebih pada 2 sandapan
atau lebih. IMA dengan elevasi dari segmen-ST disebut dengan stemi. Walaupun demikian
tidak adanya elevasi dari segmen-ST bukan beraarti dapat menyingkirkan diagnosis IMA,
IMA yang tidak terdapat elevasi pada segmen-ST disebut juga NSTEMI, selain NSTEMI,
pada unstable angina juga tidak terjadi elevasi dari segmen-ST.
Untuk tatalaksana yang optimal, penting bagi kita membedakan jenis PJK dari penderita
apakah STEMI, UAP, Atau NSTEMI
VIII. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan SKA berbeda-beda tergantung dari jenisnya, STEMI, NSTEMI atau
Unstable Angina, tapi pada dasarnya tata laksana awal pada SKA meliputi pemberian
morfin, oksigen, nitrat (nitrogliserin) dan aspirin atau yang dapat disingkat dengan MONA
(Alwi, 2006).
A. Morfin
sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam
tatalaksana nyeri dada pada IMA. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat
diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu
diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui
penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung
dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai dan pada
kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga
dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung
derajat tinggi, serutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi
dengan pemberian atropin 0,5 mg IV
B. Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%.
Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam
pertama
C. Nitrogliserin
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0.4 mg dan dapat
diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Sekat mengurangi nyeri dada, NTG
juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan
19
meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang
terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat
diberikan NTG intravena. NTG intravena juga diberikan untuk mengendalikan
hipertensi atau edema paru.
D. Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif
pada spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang
dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal
dengan dosis 160-325 mg diruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan
dosis 75-162 mg (Alwi, 2006).
Adapun tatalaksana pasien dengan sindroma koroner akut menurut ACLS 2015 adalah
sebagai berikut
20
Selain tatalaksana awal, mengobati penyakit penyerta juga penting. Pada pasien SKA tidak
jarang disertai dengan darah tinggi dan kadar kolestrol yang tak terkontrol. Untuk hipertensi
bisa menggunakan anti hipertensi golongan ace inhibitor dan beta blocker. Penggunaan
vasodilator seperti nitrat juga digunakan bila pasien memiliki hipertensi krisis. Obat diuretik
seperti furosemide dan spironolacton digunakan jika pada pasien terdapat edema paru akut
kardiogenik. Selain itu pemberian trombilitik pada fase awal STEMI harus diberikan untuk
mengembalikan reperfusi darah ke otot jantung, pemberian koagulan seperti aspirin untuk
mencegah terjadinya trombosis kembali juga diperlukan dalam terapi SKA.
IX. Komplikasi
- Oedema paru akut adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di rongga
interstisial maupun dalam alveoli. Oedema paru merupakan tanda adanya kongesti
paru tingkat lanjut, dimana cairan mengalami kebocoran melalui dinding kapiler,
merembes ke luar dan menimbulkan dispnu yang sangat berat. Oedema terutama
paling sering ditimbulkan oleh kerusakan otot jantung akibat MI acut.
Perkembangan oedema paru menunjukan bahwa fungsi jantung sudah sangat tidak
adekuat.
- Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang
adekuat.
- Syok kardiogenik adalah terjadi ketika jantung tidak mampu mempertahankan
kadiak output yang cukup untuk perfusi jaringan. Hal ini biasanya muncul setelah
adanya penyakit infark miokardial.
- Efusi prekardial adalah mengacu pada masuknya cairan ke dalam kantung
pericardium.
- Rupture miokard adalah sangat jarang terjadi tetapi, dapat terjadi bila terdapat infark
miokardium, proses infeksi, penyakit infeksi, penyakit pericardium atau disfungsi
miokardium lain yang membuat otot jantung menjadi lemah.
- Henti jantung adalah bila jantung tiba-tiba berhenti berdenyut, akibatnya terjadi
penghentian sirkulasi yang efektif (Trisnohadi, 2006)..
-
X. Pencegahan
Pencegahan agar IMA tidak terjadi dapat dilakukan dengan mengurangi faktor
resiko,seperti
- Menghindari : merokok, stress mental, alkohol, kegemukan, konsumsi garam
berlebihan, obat-obatan golongan amfetamin, kokain dan sejenisnya .
- Kurangi: kolesterol, lemak dalam makanan.
- Mengkonsumsi gizi yang seimbang dan berolahraga secara teratur.
21
FOLLOW UP
GDA 474
25/11/17 Nyeri Dada TD 110/70, N 88, RR 22 STEMI PTX :
-IVFD NS 14 tpm
ICCU Berkurang T 36,7 (resolved) +
-Actrapid 3x10 IUsc
Sesak- K/L: AICD -/-/-/- pKGB – DM type II -Ranitidine 2x50 mg iv
-PO ASA 1x80mg
Mual- Tho: (P) sim ves/ves, rh-/-,
-PO Clopidogrel 1x75mg
wh---/--- sonor/sonor
22
(C) S1S2 tunggal m- g- PMo :
Abd : soefl, timpani, BU + Keluhan, Vital Sign, GDA,
normal, NT+epig EKG
Ext : HKM, CRT< 2 detik
GDA 298
26/11/17 Sesak- TD 90/60, N 118, RR 24 STEMI PTX :
-IVFD NS 14 tpm
Mekkah 2 Nyeri Dada T 36,7 (Resolved)
-Actrapid 3x10 IUsc
hilang K/L: AICD -/-/-/- pKGB – + DM Type -Ranitidine 2x50 mg iv
-PO ASA 1x80mg
Tho: (P) sim ves/ves, rh-/-, II
-PO Clopidogrel 1x75mg
wh---/--- sonor/sonor
(C) S1S2 tunggal m- g-
PMo :
Abd : soefl, timpani, BU +
Keluhan, Vital Sign, GDA,
normal, NT+epig
EKG
Ext : HKM, CRT< 2 detik
GDA 229
27/11/17 Nyeri Dada TD 100/60, N 82, RR 22 STEMI PTX :
-IVFD NS 14 tpm
Mekkah 2 Hilang T 36,7 (resolved) +
-Actrapid 3x10 IUsc
Sesak- K/L: AICD -/-/-/- pKGB – DM type II -Ranitidine 2x50 mg iv
-PO ASA 1x80mg
Tho: (P) sim ves/ves, rh-/-,
-PO Clopidogrel 1x75mg
wh---/--- sonor/sonor
(C) S1S2 tunggal m- g-
PMo :
Abd : soefl, timpani, BU +
Keluhan, Vital Sign, GDA,
normal, NT+epig
EKG
Ext : HKM, CRT< 2 detik
GDA 189
28/11/17 Keluhan - TD 100/70, N 88, RR 22 STEMI PTX :
KRS
T 36,7 (resolved) +
-IVFD NS 14 tpm
K/L: AICD -/-/-/- pKGB – DM Type II -Actrapid 3x10 IUsc
-Ranitidine 2x50 mg iv
Tho: (P) sim ves/ves, rh-/-,
-PO ASA 1x80mg
wh---/--- sonor/sonor -PO Clopidogrel 1x75mg
(C) S1S2 tunggal m- g-
23
Abd : soefl, timpani, BU + PMo :
normal, NT+epig Kontrol Ke Poli IPD dan
Ext : HKM, CRT< 2 detik Kardio 3 hari kemudian
24
DAFTAR PUSTAKA
Alwi Idrus, 2006. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. Dalam: Sudoyo AW,
Setiohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata MK, Setiati Siti, 2006. Ilmu penyakit
dalam: Edisi ke 4. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta, 1615-1625.
Antman EM, Anbe DT, Armstrong PW et al, ACC/AHA Guidelines for the Management of
Patients With ST-Elevation Myocardial Infarction A Report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee
to Revise the 1999 Guidelines for the Management of Patients With Acute Myocardial
Infarction). Circulation 2004;110:588-636
25