Anda di halaman 1dari 31

Material Flow Cost Analysis

Studi Kasus CV. Hilal Furniture

Disusun untuk Memenuhi Tugas


Akuntansi Manajemen Lanjutan

Oleh:

Amalia Dwi Infani

Heppy Wulandari

Imra As Saleh

Universitas Trilogi

2016
PENDAHULUAN

Industri furniture/mebel merupakan salah satu industri yang mengalami

perkembangan yang pesat tiap tahunnya. Kebutuhan terhadap produk-produk dari

industri mebel terus mengalami peningkatan karena dinilai sebagai perabotan rumah

tangga yang memberikan desain interior dan nilai artistik yang memberikan

kenyamanan dalam berbagai aktifitas. Banyaknya permintaan terhadap produk industri

mebel menyebabkan munculnya pemain baru dalam industri ini sehingga

menyebabkan persaingan industri mebel menjadi lebih tinggi. Industri mebel juga

memberikan kontribusi yang besar bagi pendapatan negara dikarenakan peminat

produk tidak hanya dalam negeri, tetapi juga luar negeri. Perkembangan teknologi saat

ini menyebabkan kemajuan bagi produk-produk yang dihasilkan oleh industri mebel,

dimana produk yang dihasilkan dapat lebih berkualitas dan bernilai jual tinggi.

Furniture merupakan perabot rumah tangga yang berfungsi sebagai tempat

penyimpan barang, tempat duduk, tempat tidur, tempat mengerjakan sesuatu dalam

bentuk meja atau tempat menaruh barang di permukaannya. Misalnya furniture sebagai

tempat penyimpan biasanya dilengkapi dengan pintu, laci dan rak, contoh lemari

pakaian, lemari buku dll. Furniture dapat terbuat dari kayu, bambu,logam, plastik dan

lain sebagainya. Furniture sebagai produk artistik biasanya terbuat dari kayu pilihan

dengan warna dan tekstur indah yang dikerjakan dengan penyelesaian akhir yang halus.

Industri pengolahan kayu dibagi menjadi dua kelompok antara lain kelompok
industri pengolahan kayu hulu dan kelompok industri pengolahan kayu hilir. Kelompok
industri pengolahan kayu hulu merupakan industri pengolahan kayu primer yaitu

2
industri yang mengolah kayu bulat/log menjadi berbagai sortimen kayu. Kelompok
industri pengolahan kayu hilir merupakan industri yang menghasilkan produk-produk
kayu diantaranya dowel, moulding, pintu, jendela, wood-flooring, dan sejenisnya
(Kementrian Perindustrian, 2011).

Dalam penerapan MFCA, peneliti melakukan penelitian dengan mengambil


objek penelitian pada CV. Hilal Furniture yang salah satu produknya adalah lemari
pakaian berbahan dasar kayu jati tipe A2. CV. Hilal Furniture merupakan salah satu
usaha kecil dan menengah yang dimiliki oleh Bapak H. Bahruddin yang terletak di
kawasan industri Pulogadung. Usaha ini merupakan usaha turun-temurun yang telah
berdiri selama kurang lebih 25 tahun.

LANDASAN TEORI

3
Material Flow Cost Analysis (MFCA) adalah salah satu alat utama untuk
pengelolaan akuntansi lingkungan dan mengajukan peningkatan transparansi dari
praktek penggunaan bahan baku dari pengembangan model aliran bahan baku yang
bisa menelusuri dan menghitung aliran dan persediaan bahan baku dalam sebuah
organisasi secara fisik dan unit moneter. MFCA bisa digunakan disemua jenis industri
yang menggunakan bahan baku dan energi, semua jenis dan ukuran, dengan atau tanpa
tempat sistem pengelolaan lingkungan.
MFCA mengukur aliran dan persediaan semua bahan baku pada proses
manufaktur baik secara moneter maupun fisik. Bahan baku termasuk bahan baku
utama/langsung, bagian-bagian, dan komponen-komponen. Analisis MFCA
menyediakan sebuah perbandingan persamaan biaya-biaya terkait dengan produk-
produk dan biaya-biaya terkait dengan kerugian bahan baku, contohnya, limbah, emisi
udara, limbah air, dsb. Pada banyak kasus, sebuah organisasi tidak memberikan
perhatian secara luas pada biaya aktual dari kerugian bahan baku karena data pada
kerugian bahan baku dan biaya-biaya terkait seringkali sulit untuk ditelusuri dari
informasi konvensional, akuntansi, dan sistem pengelolaan lingkungan. MFCA
menghubungkan organisasi untuk mengidentifikasi penggunaan bahan baku dan aliran
bahan baku dengan sebuah proses produksi dan menempatkan biaya-biaya pada semua
bahan baku.
MFCA mengidentifikasi kuantitas setiap bahan baku dan biaya-biaya (termasuk
bahan baku, proses, dan biaya penanganan limbah). Dengan informasi ini, organisasi
bisa mengidentifikasi biaya-biaya kerugian karena limbah dan emisi lainnya, produk
cacat, dan mengkalkulasi kuantitas dan sumber-sumber yang digunakan pada setiap
proses dan biaya-biaya terkait dengan proses.

KARAKTERISTIK MFCA

 Perbedaan Antara MFCA dan Akuntansi Biaya Konvensional. Pada akuntansi


biaya konvensional data yang digunakan untuk mndeterminasi apakah biaya-
biaya yang terjadi telah dipulihkan dari penjualan. Hal tersebut tidak

4
memerlukan apakah bahan baku telah diubah menjadi produk, atau dibuang
menjadi limbah. Jika pad akuntansi biaya konvensional limbah dicatat pada
kuantitas, biaya-biaya produksi (kerugian bahan baku) termasuk sebagai bagian
dari total biaya yang dikeluarkan. Sedangkan MFCA, berfokus pada identifikasi
dan membedakan antara biaya-biaya terkait dengan produk dan kerugian bahan
baku. Dalam hal ini, kerugian bahan baku dievaluasi sebagai kerugian ekonomi,
yang mana mendorong manajemen untuk mencari jalan untuk mengurangi
kerugian bahan baku dan meningkatkan efisiensi bisnis.
 Perbedaan antara MFCA dan akuntansi biaya konvensional tidak bemaksud
bahwa MFCA tidak bisa diterapkan pada semua organisasi yang menggunakan
bahan baku dan energi. Dengan kata lain, MFCA tidak meminta banyak
persyaratan khusus pada tipe produk, pelayanan, ukuran, struktur, atau lokasi.

CAKUPAN, TERMS & DEFENISI

1. Bahan Baku
Bahan baku bisa berarti setiap bahan baku utama, bahan baku pendukung,
komponen, katalisator, atau bagian yang digunakan untuk memproduksi
produk. Setiap bahan baku yang tidak menjadi bagian akhir produk
dipertimbangkan sebgai kerugian bahan baku. Pada setiap proses, limbah dan
sumber yang hilang pada setiap tahapan proses yang berbeda, termasuk:
 Kerugian bahan baku selama proses, produk cacat
 Bahan baku sisa pada pengaturan peralatan manufaktur
 Bahan baku pendukung seperti bahan pelarut, deterjen untuk mencuci
peralatan, air
 Bahan baku utama yang tidak bisa digunakan dengan berbagai alasan
2. Flow/aliran
MFCA menelusuri semua input bahan baku pada aliran proses produksi dan
ukuran produk dan kerugian bahan baku (limbah) secara unit fisik,

5
menggunakan persamaan berikut: 𝐼𝑛𝑝𝑢𝑡 = 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘 +
𝑀𝑎𝑡𝑒𝑟𝑖𝑎𝑙 𝑙𝑜𝑠𝑠 (𝑤𝑎𝑠𝑡𝑒)
3. Akuntansi Biaya
MFCA, aliran dan persediaan dari bahan baku dengan sebuah organisasi telah
di telusuri dan di ukur secara unit fisik (contoh: massa, volume) dan kemudian
menempatkan biaya-biaya terkait. Pada MFCA ada 4 tipe biaya yang diukur,
yaitu:
 Biaya bahan baku
 Biaya energi
 Biaya system
 Biaya pengelolaan limbah

TUJUAN & DASAR-DASAR MFCA

1. Memahami Aliran Bahan Baku & Penggunaan Energi


2. Menghubungkan Data Fisik dan Moneter, proses pembuat keputusan yang
berhubungan dengan lingkungan bisa dihubungkan kepada informasi keuangan
melalui model aliran bahan baku, dengan menyediakan pemahaman yang lebih
baik pada biaya nyata bahan baku dan energi yang digunakan serta hasil dari
pengembangan proses pembuat keputusan.
3. Memastikan Akurasi, Kelengkapan, dan Membandingkan dengan Data Fisik,
semua data diverifikasi bahwa semua input dan output diidentifikasi dan diukur.
4. Estimasi & Menempatkan Biaya pada Kerugian Bahan Baku, biaya
sesungguhnya harus ditempatkan pada semua kerugian bahan baku dan produk.

ELEMEN DASAR MFCA

1. Pusat Kuantitas
Dalam pusat kuantitas, keseimbangan bahan baku akan dihitung dalam unit
fisik maupun moneter. Pusat kuantitas dapat terdiri dari satu atau beberapa
proses tergantung jumlah kerugian secara material yang diidentifikasi pada unit

6
produksi. Pusat kuantitas dalam MFCA didasarkan pada ketersediaan informasi
manajemen produksi, pencatatan pusat biaya, dan informasi lainnya.
2. Keseimbangan Bahan Baku
Dalam MFCA, semua bahan baku yang masuk ke dalam pusat kuantitas dan
hasil produk dari pusat kuantitas yang dihasilkan harus seimbang. Oleh karena
itu, diperlukan konfirmasi untuk input bahan baku, persediaan awal dan akhir
dalam pusat kuantitas, serta jumlah output (produk atau material losses). Selain
itu, dilakukan perbandingan apakah total kuantitas bahan baku dan persediaan
awal telah sesuai dengan total kuantitas persediaan akhir dan output yang
dihasilkan. Adanya perbedaan pada jumlah persediaan akan dijadikan sebagai
dasar untuk dilakukan perbaikan kemudian. Untuk masing-masing pusat
kuantitas, jumlah input dan output harus diukur dalam unit fisik. Semua unit
fisik harus dikonversi untuk satu unit standar (misalnya, massa) sehingga
keseimbangan bahan baku dapat dilakukan untuk masing-masing pusat
kuantitas.
3. Perhitungan Biaya
Dengan MFCA, keseimbangan bahan baku dari input dan output yang terkait
dengan unit moneter akan dibebankan atau dialokasikan biayanya ke semua
produk dan kerugian bahan baku. Empat tipe biaya yang menjadi pertimbangan
MFCA yaitu:
a. Biaya material
b. Biaya energi
c. Biaya sistem
d. Biaya manajemen waste
4. Model Aliran Bahan Baku
Model ini merupakan representasi visual dari siklus dimana bahan baku
diproses, disimpan, dan digunakan. Berikut merupakan contoh model aliran
bahan baku:

7
TAHAPAN IMPLEMENTASI MFCA

Kompleksitas analisis MFCA akan tergantung pada ukuran organisasi, sifat kegiatan
organisasi dan produk, jumlah proses, dan pusat-pusat kuantitas yang dipilih untuk
analisis. Kondisi ini membuat MFCA sebagai alat yang fleksibel digunakan dalam
berbagai organisasi terlepas ukuran atau adanya sistem manajemen lingkungan, namun
proses pelaksanaan MFCA dapat lebih cepat dan lancar apabila organisasi tersebut
telah memiliki sistem manajemen lingkungan karena data yang terkait dengan bahan
baku dan limbah telah dikumpulkan dalam membuat sistem manajemen lingkungan
sehingga memudahkan untuk proses analisis. Penggunaan MFCA biasanya disertai
dengan pertimbangan keputusan keuangan dalam menetapkan tujuan dan target.
Pengetahuan terhadap dampak keuangan dan potensi dampak lingkungan dapat
meningkatkan kualitas evaluasi, dan juga memberikan informasi yang berguna untuk
pengambilan keputusan organisasi.

a. Implementation Step 1: Engaging Management And Determining Roles


And Responsibilities
Keberhasilan pelaksanaan MFCA dapat tercapai apabila manajemen
perusahan mengerti manfaat dari MFCA dalam mengelola lingkungan
perusahaan dan membuat target keuangan. Untuk diimplementasikan secara
efektif, sangat disarankan bahwa manajemen puncak memimpin dalam
implementasi MFCA dengan menetapkan peran dan tanggung jawab, termasuk
mendirikan tim implementasi MFCA, menyediakan sumber daya, memantau
kemajuan, meninjau hasil, dan menentukan langkah-langkah perbaikan
berdasarkan hasil MFCA. Umumnya, manajemen harus terlibat dalam semua
tahap implementasi MFCA dimana pelaksanaannya didukung dengan
pendekatan yang dikenal dengan bottom-up approach.
Selain itu, keberhasilan pelaksanaan MFCA membutuhkan kerjasama
antara departemen yang berbeda dalam organisasi. Hal ini dikarenakan
berbagai sumber informasi diperlukan dari setiap departemen untuk kemudahan

8
dan kelancaran analisis MFCA. Berikut ini adalah contoh khas dari keahlian
yang diperlukan untuk keberhasilan pelaksanaan MFCA:
 Keahlian pada aliran masukan bahan dan penggunaan energi pada
seluruh proses sasaran.
 Keahlian teknis pada bahan yang berhubungan dengan implikasi dari
proses, termasuk pembakaran dan reaksi kimia lain.
 Keahlian kontrol kualitas tentang berbagai masalah, seperti frekuensi
produk gagal, penyebabnya, serta proses ulang, pemeliharaan, dan data
jaminan kualitas lain.
 Keahlian untuk mengidentifikasi dampak lingkungan.
 Keahlian akuntansi dalam mengolah data akuntansi biaya.
b. Implementation Step 2: Scope And Boundary Of The Process And
Establishing A Material Flow Model

Berdasarkan aliran data material yang dikumpulkan, batas MFCA perlu


ditentukan untuk memahami dengan jelas skala aktivitas MFCA. Selama
pelaksanaan, biasanya dianjurkan untuk fokus pada produk tertentu atau proses di
awal dan kemudian memperluas implementasi untuk produk lainnya. Dengan
menerapkan MFCA dalam langkah-langkah, analisis disederhanakan dan hasil
yang lebih baik dapat dicapai.

Batas dapat terbatas pada proses tunggal, beberapa proses, seluruh fasilitas,
atau rantai pasokan. Disarankan bahwa proses atau proses yang dipilih untuk
pelaksanaan awal menjadi orang-orang dengan dampak lingkungan dan ekonomi
berpotensi signifikan. Setelah menentukan batas, proses harus diklasifikasikan di
pusat-pusat kuantitas menggunakan informasi proses dan catatan pengadaan.
Dalam MFCA, pusat kuantitas adalah bagian dari proses di mana input dan output
yang diukur. Dalam kebanyakan kasus, pusat kuantitas merupakan bagian dari
proses di mana bahan diubah. Jika aliran material antara dua proses adalah sumber

9
kerugian material yang signifikan, aliran dapat diklasifikasikan sebagai aliran
material yang terpisah.

Setelah menentukan batas dan kuantitas pusat, jangka waktu untuk


pengumpulan data MFCA perlu ditentukan. Sementara MFCA tidak menunjukkan
periode dimana data yang harus dikumpulkan untuk analisis, itu harus cukup lama
untuk memungkinkan data yang berarti harus dikumpulkan dan untuk
meminimalkan dampak dari setiap proses variasi yang signifikan yang dapat
mempengaruhi keandalan dan kegunaan dari data, seperti fluktuasi musiman.
Beberapa proyek MFCA sejarah menunjukkan bahwa periode pengumpulan data
yang tepat dapat sesingkat bulan, dengan setengah tahun atau satu tahun
pengumpulan data yang paling umum.

Dalam MFCA, produksi, daur ulang, dan sistem lain diwakili oleh model
visual yang menggambarkan MFCA batas dan beberapa pusat kuantitas dimana
bahan yang ditebar, digunakan, atau diubah, serta gerakan dari bahan antara pusat-
pusat kuantitas.

c. Implementation Step 3: Cost Allocation

MFCA membagi biaya ke dalam kategori berikut:

• Biaya Bahan: Biaya untuk zat yang masuk dan / atau meninggalkan pusat
kuantitas

• Biaya Energi: biaya untuk listrik, bahan bakar, uap, panas, dan udara
terkompresi

• Biaya Sistem: Biaya tenaga kerja, biaya penyusutan dan pemeliharaan, dan
biaya transportasi

• Biaya pengelolaan limbah: biaya penanganan sampah yang dihasilkan di pusat


kuantitas

10
Biaya bahan baku, biaya energi, dan biaya sistem ditugaskan atau
dialokasikan untuk baik produk atau kerugian materi di setiap pusat kuantitas
berdasarkan proporsi input bahan yang mengalir ke dalam produk dan kerugian
material. Biaya bahan untuk setiap aliran input dan output yang diukur dengan
mengalikan jumlah fisik dari aliran material dengan biaya unit material selama
periode waktu yang dipilih untuk analisis. Ketika mengukur biaya bahan untuk
produk dan kerugian material, biaya bahan yang terkait dengan perubahan
dalam persediaan bahan dalam pusat kuantitas juga harus diukur. Berbeda
dengan biaya bahan, energi, dan sistem yang ditugaskan untuk produk dan
kerugian material secara proporsional, 100% dari biaya pengelolaan sampah
yang dikaitkan dengan kerugian material, karena biaya merupakan biaya
pengelolaan kerugian material ini.

d. Implementation Step 4: Interpreting And Communicating Mfca Results

Pelaksanaan MFCA memberikan informasi seperti kerugian material


selama proses berlangsung, penggunaan bahan yang tidak menjadi produk,
biaya keseluruhan, dan energi dan sistem biaya yang terkait dengan kerugian
material. Informasi ini membawa beberapa dampak dengan meningkatkan
kesadaran operasi perusahaan. Manajer yang sadar biaya yang berkaitan dengan
kerugian material maka dapat mengidentifikasi peluang untuk meningkatkan
efisiensi dalam penggunaan material dan meningkatkan kinerja bisnis.

Melalui identifikasi masalah MFCA yang menyebabkan kerugian


material, organisasi memiliki kesempatan untuk mengidentifikasi kerugian
ekonomi yang dihasilkan, yang biasanya diabaikan ketika hanya mengandalkan
akuntansi biaya konvensional.

Sementara sebagian besar organisasi memonitor tingkat yield yang


terkait dengan bahan yang digunakan dalam proses, ruang lingkup umum
pemantauan tersebut hanya mencakup utama bahan, proses, atau kerugian dalam

11
banyak kasus. Mereka sering mengontrol bahan utama tanpa pemantauan
jumlah penggunaan atau kerugian pada bahan pembantu atau operasi. On-site
operator dapat melihat bahan yang hilang, sedangkan manajer dari manufaktur,
teknik produksi, dan departemen desain produk tidak menyadari kerugian
tersebut. Hal ini terjadi karena praktik manajemen konvensional organisasi
hanya fokus pada penanganan sampah ketika ada biaya yang terkait dengan
manajemen. Dalam kasus tersebut, MFCA membantu organisasi menyoroti
kerugian material yang tidak terkendali.

Setelah analisis MFCA selesai, hasilnya harus dikomunikasikan kepada


semua pihak terkait. Selain itu, manajemen dapat menggunakan informasi
MFCA untuk mendukung berbagai jenis keputusan yang bertujuan untuk
meningkatkan baik kinerja lingkungan dan keuangan. Mengkomunikasikan
hasilnya kepada karyawan organisasi dapat berguna dalam menjelaskan proses
atau organisasi perubahan dan mendapatkan komitmen penuh dari seluruh
anggota organisasi.

e. Implementation Step 5: Improving Production Practices And Reducing


Material Loss Through Mfca Results

Setelah analisis MFCA telah membantu organisasi untuk memahami


besarnya, konsekuensi, dan driver penggunaan material dan kerugian, organisasi
dapat meninjau data MFCA dan mencari peluang untuk meningkatkan kinerja
lingkungan dan keuangan. Langkah-langkah yang diambil untuk mencapai
perbaikan ini dapat mencakup substitusi bahan; modifikasi proses, lini produksi,
atau produk; dan intensif kegiatan penelitian dan pengembangan yang berkaitan
dengan efisiensi material dan energi.

Dengan menerapkan MFCA, biaya keuangan seperti pengolahan dan


bahan kerugian diidentifikasi. Dalam banyak kasus, skala biaya diidentifikasi
lebih signifikan dari sebelumnya diasumsikan. Pada saat yang sama, MFCA

12
menyajikan target utama untuk insinyur: "biaya kerugian nol material," yang
dapat mendorong organisasi untuk membuat terobosan dalam pengakuan
tentang perlunya untuk perbaikan. Kerugian khas diidentifikasi oleh MFCA
meliputi berikut ini:

1. Biaya pengolahan limbah untuk kerugian material;


2. Biaya Pengadaan kerugian materi dijual ke kontraktor daur ulang
eksternal;
3. Biaya Sistem kerugian materi (tenaga kerja, penyusutan, bahan
bakar, utilitas dan biaya lainnya);
4. Biaya Sistem diperlukan untuk daur ulang internal bahan; dan
5. Bahan dan sistem biaya untuk di-saham produk, bahan kerja-in-
progress, bahan yang dibuang karena beralih ke model yang lebih
baru, penurunan kualitas, atau untuk penuaan saham.

Melalui pelaksanaan MFCA di beberapa perusahaan industri dan


ukuran yang berbeda, telah ditemukan bahwa hanya beberapa perusahaan
mengontrol bahan pembantu secara korporasi. bahan pembantu dan operasi
sering dikelola pada proses atau peralatan dasar, dan jumlah bahan masukan
(rugi) untuk masing-masing model jarang diperhitungkan. Dalam beberapa
kasus, jumlah tersebut dikelola di unit lot produksi. Biaya pengolahan
limbah secara keseluruhan umumnya dikelola secara pabrik dengan jenis
sampah. Namun, beberapa perusahaan mengidentifikasi biaya tersebut
dengan jenis bahan, model produk, dan jenis proses. Selain itu, perusahaan
seringkali tidak menyadari kerugian yang terkait dengan limbah didaur
ulang karena limbah tersebut digunakan kembali sebagai sumber daya dan
kadang-kadang dijual sebagai bahan berharga untuk daur ulang eksternal.

13
PEMBAHASAN

Dalam penerapan MFCA, peneliti melakukan penelitian dengan mengambil


objek penelitian pada CV. Hilal Furniture yang salah satu produknya adalah lemari
pakaian berbahan dasar kayu jati tipe A2. CV. Hilal Furniture merupakan salah satu
usaha kecil dan menengah yang dimiliki oleh Bapak H. Bahruddin yang terletak di
kawasan industri Pulogadung. Usaha ini merupakan usaha turun-temurun yang telah
berdiri selama kurang lebih 25 tahun.

Berikut ini adalah pembahasan study kasus mengenai MCFA pada usaha yang
menggunakan bahan baku dasar kayu yang kemudian diolah menjadi lemari. Berikut
ini adalah tahapan implementasi MCFA pada CV. Hilal Furniture:

14
Tahap 1: Membangun Peran dan Tanggung Jawab Manajemen dalam
Implementansi MCFA

Tahap awal dalam merancang MFCA adalah melakukan komunikasi untuk


membangun pemahaman atas manfaat dan kegunaan dari penerapan MFCA dalam
mencapai optimalisasi proses produksi dan meminimalkan dampal produksi terhadap
pencemaran lingkungan. Komunikasi tersebut tidak hanya terhadap manajemen, tapi
juga semua bagian organisasi perusahaan. Hal ini bertujuan membangun komitmen
antara manajemen dan karyawan.

Penentuan peran dan tanggung jawab perlu dilakukan dengan membuat struktur
organisasi dalam perancangan implementasi MFCA. Pemimpin tim implementasi
yang ditunjuk bertugas memberikan pelatihan dasar kepada orang orang dilokasi pabrik
dan membimbing pelaksanaan MFCA. Penunjukan coordinator terkait dengan keahlian
yang diperlukan untuk keberhasilan pelaksanaan MFCA.

Keahlian operasional pada aliran input bahan baku dan penggunaaan energi
selama proses produksi:

a. Keahlian teknis implikasi terkait dengan material proses, termasuk


pembakaran dan reaksi kimia lainnya.
b. Keahlian kontrol kualitas, seperti frekuensi produk cacat, kegiatan
pengerjaan ulang, pemeliharaan, dan jaminan kualitas.
c. Keahlian lingkungan pada dampak lingkungan.
d. Keahlian akuntansi pada data akuntansi biaya.

Perancangan tim implementasi CV. Hilal Furniture dimana CEO ditunjuk


sebagai pemimpin puncak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan MFCA dan
berwenang atas keputusan pelaksanaan MFCA. Berikutnya pemimpin tim
implementasi, yang bertugas memberikan pelatihan dasar kepada orang-orang
dilokasi pabrik dan membimbing pelaksanaan MFCA. Selain itu, dilakukan

15
penunjukan coordinator untuk perwakilan dari masing-masing keahlian yang
dibutuhkan dalam imlementasi MFCA. Setiap coordinator bertugas memberi
informasi yang dibutuhkan terkait dengan bidang keahlian masing-masing dalam
mendukung keberhasilan MFCA.

Tahap 2: Penentuan Ruang Lingkup, Batasan Proses, dan Model Arus


Material.

Tahap ini dilakukan untuk menentukan ruang lingkup dan batasan dari
proses produksi serta mengembangkan bentuk model aliran material. berikut
merupakan gambaran dari keseluruhan tahapan proses produksi lemari:

1. Proses pembuatan desain atau pola lemari adalah desain lemari dibuat
sesuai dengan pola dan ukuran yang telah ditentukan.
2. Proses pemotongan papan kayu berdasarkan pola yang telah dibuat
sebelumnya. Proses ini dilakukan dengan bantuan mesin untuk dapat
memotong papan kayu sesuai dengan pola.
3. Proses penghalusan, papan kayu yang telah dipotong sesuai dengan pola
dihaluskan agar menghasilkan permukaan yang lebih licin, halus dan
rata. Dan juga proses penghalusan ini dapat membuat pola alami yang
ada pada papan kayu dapat terlihat lebih jelas dan lebih baik.
4. Proses pengukiran dilakukan pada bagin papan tertent yang telah
dipotong sesuai dengan pola sebelumnya. Misalnya untuk bagian pintu
dilakukan pengukiran secara manual untuk membuat suatu ukiran yang
lebih menarik, sehingga menambah warna atau corak dan membuat
produk tampil lebih menarik.
5. Proses perakitan, papan kayu yang telah dipotong menjadi beberapa
bagian seperti bagian pintu, bagian samping, bagian belakang, bagian
atas dan bawah serta beberapa bagian tambahan lainnya, dirakit sehingga

16
membentuk sebuah lemari. Dilengkapi dengan beberapa bahan
tambahan seperti paku, sekrup, engsel, dan handle pintu.
6. Proses pengampelasan dilakukan setelah lemari terbentuk dari hasil
raiktan. Pengampelasan dilakukan dengan bantuan mesin, tujuan
pengampelasan adalah untuk membuat tekstur lemari menjadi lebih rata,
licin serta untuk menghilangkan bagian-bagian tertentu seperti sisi-sisi
kayu yang runcing diamplas sehingga menjadi lebih tumpul.
7. Proses terakhir adalah pewarnaan dan finishing yaitu tahap untuk
memberikan lemari warna yang lebih mengkilap, memastikan setiap
bagian telah sesuai dengan prosedurnya.

Setelah menentukan ruang lingkup dan batasan proses produksi dalam tahap
perancangan implementasi MFCA, tahap berikutnya adalah membangun model
aliran material sehingga perlu dilakukan pusat kuantitas terlebih dahulu. Berikut ini
adalah tahapan proses produk lemari dalam model arus material:

a. Desain Lemari

Tahapan awal adalah membuat desain dari sebuah lemari kayu.


Lemari kayu dibuat dengan menggunakan bahan kayu jati kelas A2 dengan
diameter 20cm-29cm, harga per meter kubiknya sebesar Rp. 3.000.000,-.
Model lemari kayu akan dibentuk dengan ukuran lebar depan 120cm, lebar
samping 22cm, dan tinggi 2m. Bahan baku kayu jati dibeli per 1 meter kubik
log atau gelondongan dan dipotong menjadi potongan-potongan papan kayu
dimana 1 meter kubik log atau gelondongan kayu jati menghasilkan 105
buah papan kayu dengan ukuran 80cm x 8cm x 2,2m (p x l x t). Dari 105
buah papan kayu tersebut dapat dihasilkan 3 buah lemari kayu sehingga
dibutuhkan sekitar 35 buah papan kayu untuk setiap 1 buah lemari kayu.

b. Pemotongan Kayu Berdasarkan Ukuran dan Model Produk

17
Proses pemotongan papan kayu menjadi sedemikian rupa sesuai
dengan pola dan ukuran lemari yang akan dibuat. Pada proses ini tersedia
sebanyak 35 papan kayu yang menjadi bahan baku. Standar ukuran lemari
yang akan di buat adalah ukuran ukuran lebar depan 120cm, lebar samping
22cm, dan tinggi 2m. Menggunakan alat pemotong kayu berupa mesin bubut
yang menggunakan energi listrik. Energi yang diperlukan untuk
menjalankan mesin pemotong kayu sebesar 2500 watt. Lama proses
produksi pada tahap ini untuk 1 lemari sekitar 2 hari untuk mencapai
potongan kayu sesuai pola lemari, sehingga dibutuhkan waktu lebih kurang
10 jam. Proses ini dilakukan oleh 2 orang pekerja. Selama proses
pemotongan ditemukan sisa bahan baku kayu hasil dari pemotongan yang
menjadi output negative (input yang tidak terpakai/tidak menjadi produk)
yang setara dengan 3,5 papan kayu yang dapat berupa potongan-potongan
papan kayu ukuran sedang-serbuk kayu yang sebagian besar tidak dapat
digunakan lagi untuk menjadi bahan baku pembuatan lemari. Sehingga yang
menjadi input positif sebanyak 31,5 papan kayu. Penyetaraan ini dilakukan
karena adanya keterbatasan informasi dari sumber yang berkaitan serta
keterbatasan dalam penghitungan dengan menggunakan ukuran.

c. Penghalusan Komponen Produk dengan Serut dan Gergaji

Papan kayu yang telah dipotong sesuai dengan kebutuhan/pola pada


tahap sebelumnya, selanjutnya dilakukan proses penghalusan dengan
menggunakan mesin serut dan gergaji. Mesin serut yang digunakan
merupakan mesin serut dengan tipe HITACHI P20SB yang membutuhkan
konsumsi energy sebesar 600 watt. Tahap ini dilakukan selama 3 jam. Proses
ini dilakukan oleh 2 orang pekerja. Pada proses ini dihasilkan output
negative berupa serbuk kayu hasil dari penghalusan yang setara dengan 0,5
papan kayu yang digunakan.

18
d. Pengukiran

Proses untuk membuat ukiran pada bagian pintu lemari yang


dilakukan secara manual. Pada bagian ini pengukir harus teliti dan mampu
mengukir sesuai dengan pola yang telah didesain sebelumnya. Waktu untuk
proses pengukiran ini selama 45 menit. Pengukiran dilakukan oleh 1 orang
pekerja. Pada proses ini juga dihasilkan output negative berupa potongan
kayu kecil-kecil dari proses pembuatan ukiran pada kayu yang setara dengan
0,5 papan kayu.

e. Perakitan Komponen Produk sesuai dengan Desain

Proses perakitan dilakukan dengan merakit komponen-komponen


yang telah di pola menjadi kerangka lemari yang telah di desain. Perakitan
dilakukan dengan menggunakan beberapa bahan pelengkap seperti paku,
engsel, sekrup, handle pintu, dan kunci. Pada tahap ini dibutuhkan 0.5 kg
paku Rp 15.000, 4 buah engsel Rp 60.000, 1 dus kecil sekrup Rp 6.000, 2
buah handle pintu Rp 150.000, dan 1 kunci lemari Rp 35.000. Perakitan
dilakukan secara manual oleh 1 orang pekerja. Proses perakitan lemari
membutuhkan waktu selama 45 menit. Pada tahap ini dihasilkan output
positif paku 0.4 kg, 1 rol engsel, 1 dus kecil sekrup, 2 handle pintu, dan 1
kunci lemari. Sehingga pada tahap ini dihasilkan output negative sebesar 0.1
dari paku.

f. Pengampelasan dengan Mesin Amplas dan Secara Manual

Setelah komponen produk dirakit kemudikan dilakukan proses


pengampelasan dengan menggunakan mesin dan secara manual. Proses
pengampelasan menggunakan mesin dilakukan oleh 1 orang pekerja
menggunakan mesin amplas tipe POLISHER KRISBOW 7IN yang
membutuhkan konsumsi daya listrik sebesar 570 watt, kemudian dilanjutkan

19
dengan pengampelasan secara manual oleh 1 orang pekerja. Total waktu
yang dibutuhkan pada proses ini sekitar 1 jam. Pada proses pengampelasan
kembali dihasilkan output negative berupa serbuk halus kayu yang setara
dengan 0,5 papan kayu.

g. Pewarnaan dan Finishing

Pewarnaan dilakukan dengan mengecat lemari dan memberikan


sentuhan akhir pada lemari secara manual dengan menggunakan pelarut
warna dan perekat warna seperti politer atau melamine. Pada tahap ini
tersedia 1 ons pewarna Rp 10.000 yang semuanya menjadi input positif.
Waktu yang dibutuhkan pada tahap akhir ini selama 5 jam dengan bantuan
2 orang pekerja.

Tahap 3: Pengalokasian Biaya

Pada tahap ini dilakukan pengalokasian biaya, dalam MFCA biaya


diklasifikasikan menjadi empat bagian, yaitu biaya bahan baku, biaya energi, biaya
operator dan, biaya pengolahan limbah.

1) Proses Alokasi Biaya Bahan Baku

Dalam proses pengalokasian biaya bahan baku, pengukuran dilakukan


dengan cara mengalikan jumlah papan kayu yang menjadi input positif. Dalam
proses pengalokasian biaya bahan baku pada usaha mebel (produk lemari) aliran
material dihitung menggunakan penyerataan dengan satuan papan kayu. Hal ini
disebabkan karena adanya keterbatasan dalam memperoleh informasi. Dari 35
papan kayu yang menjadi input sebagai bahan baku seharga (35/105 x 3 juta)
Rp 1.000.000, selama proses produksi dari proses input sampai menjadi output
dapat diperkiran jumlah papan kayu yang menjadi input positif setara dengan 30
papan kayu dan sisanya papan kayu menjadi output negative berupa potongan
kayu-kayu dan serbuk kayu setara dengan 5 papan kayu.

20
Berikut ini perhitungan alokasi untuk bahan baku kayu yang diolah menjadi
lemari (output positif):

(jumlah kayu yang terpakai / jumlah bahan baku x harga bahanbaku)

30/35 x Rp 1.000.000 = Rp 857.143

Berikut ini adalah alokasi biaya bahan baku pendukung (output positif):

Item Harga Alokasi biaya sesuai pemakaian

2 handle pintu Rp 150.000 Rp 150.000 (100%)

1 kunci Rp 35.000 Rp 35.000 (100%)

1 ons pewarna Rp 10.000 Rp 10.000 (100%)

0.5 kg paku Rp 15.000 Rp 12.000 (terpakai 0.4 kg)

1 dus kecil Rp 6.000 Rp 6.000 (100%)


sekrup
4 buah engsel Rp 60.000 Rp 60.000 (100%)

Total Rp 273.000

Berikut ini adalah penyajian alokasi biaya bahan baku untuk ouput negative
sesuia persentase dimana 5 papan kayu menjadi output negative dari 35 bahan baku
yang tersedia untuk membuat 1 lemari, dan 0.1 paku menjadi output negative dari
0.5 yang tersedia, sbb:

Item Output Harga Alokasi biaya


negative
Papan kayu 5/35 Rp 1.000.000 Rp 142.857

Paku 0.1/0.5 Rp 15.000 Rp 12.000

Total Rp 154.857

21
b. Proses Alokasi Biaya Energi

Selama proses produksi lemari, beberapa tahapan juga memerlukan


pemakaian energi untuk dapat melakukan produksi hal ini seperti kebutuhan
energi listrik untuk menjalankan mesin selama proses produksi. Sehingga perlu
dilakukan pengalokasian biaya energi untuk dapat mengetahui penggunaan
energi serta adanya kemungkinan kerugian yang muncul selama proses produksi
dengan menggunakan energi.

Alokasi biaya untuk input energi yang dilakukan dengan cara


menghitung jumlah energi yang dibutuhkan pada setiap tahap proses produksi
dikalikan dengan biaya energi per kWh. Penggunaan energi selama proses
produksi lemari juga menghasilkan output positif dan juga output negative.
Output positif dari energi adalah penggunaan energi yang mengalir ke dalam
produk atau bagian dari produk, sedangkan output negative adalah sebaliknya.
Output negative ini dapat disebabkan karena beberapa hal seperti kelalaian
pekerja dalam menggunakan mesin produksi sehingga terdapat energi yang
terbuang.

Alokasi biaya energi juga dilakukan dengan cara menghitung persentase


energi yang berhasil digunakan. Hal ini juga disebebkan karena terbatasnya
informasi dan sulitnya untuk menelusuri penggunaan energi pada setiap tahap
produksi.

Tahapan produksi Kebutuhan Kebutuhan Harga (Rp) Alokasi biaya


dengan mesin energi waktu 1 kWh/jam
(kWh) (jam/menit)
Pemotongan 2,5 10 jam Rp 1.486 Rp 37.150,- (2,5x10x1486)
Penghalusan 0.6 3 jam Rp 1.486 Rp 2.675,- (0.6x3x1486)
(mesin serut)
Penghalusan 0.57 1 jam Rp 1.486 Rp 847,- (0.57x1x1486)
(mesin ampelas)
Total Rp 40.672

22
Dengan demikian tahap awal dalam alokasi biaya output positif dan
output negative dengan menentukan persentasinya dari biaya bahan baku
yang akan digunakan untuk menghitung alokasi biaya output positif dan
negative biaya energi.

Persentase output positif:

Rp 857.143 + Rp 273.000
𝑥 100% = 88%
Rp 857.143 + Rp 273.000 + Rp 154.857

Persentase output negative:

Rp 154.857
𝑥 100% = 12%
Rp 857.143 + Rp 273.000 + Rp 154.857

Sesuai dengan perhitungan tersebut maka dihasilkan persentase 88%


output positif dan 12% output negative. Maka alokasi biaya energi adalah
(88% x Rp 40.672) Rp 35.791 untuk output positif dan (12% x Rp 40.672)
Rp 4.881 untuk output negative.

c. Proses Alokasi Biaya Operator

Proses alokasi biaya operator merupakan biaya yang timbul dari operator
yang dipekerjakan disetiap tahapan proses produksi. Proses produksi akan
terhambat jika tidak ada operator yang menjalankan produksi. Sehingga perlu
dilakukan alokasi biaya operator untuk mengetahui penggunana dan kerugian
yang dihasilkan dari biaya operator.

Perhitungan untuk alokasi biaya operator dilakukan dengan menghitung


jumlah kebutuhan operator untuk setiap tahapan proses produksi yang dikalikan
dengan upah yang dibayarkan sesuai dengan waktu jam kerja operator. 1 hari
kerja sama dengan 8 jam kerja. Perhitungan alokasi biaya operator dilakukan
dengan mengikuti persentase output positif dan output negative sama dengan

23
aloksi biaya energi dengan input operator sebesar Rp 200.000, sebanyak 9 orang
dengan total Rp 1.800.000:

Alokasi biaya Operator

Produk positif 88% Rp 1.584.000

Produk negative 12% Rp 216.000

Total Rp 1.800.000

d. Proses Alokasi Biaya Pengelohan Limbah

Berdasarkan pengamatan umkm yang diamati belum memiliki


pengolahan limbah, hanya saja bisanya limbah yang ada dibuang atau diberikan
kepada orang lain.

Tahap 4 : Menafsirkan dan Mengkomunikasikan Hasil MFCA

Setelah mengalokasikan seluruh biaya terkait dengan proses produksi almari 2


pintu, tahap berikutnya adalah menyiapkan matriks aliran biaya. Semua biaya
diklasifikasikan sebagai bagian dari produk atau kerugian material. Adapun tujuan
utama matriks adalah memberikan hasil analisis MFCA dalam format tabel yang dapat
dengan mudah ditafsirkan seluruh organisasi.

Berdasarkan analisis, presentasi output positif dan output negatif yang terjadi
dalam penggunaan bahan baku adalah 95 % papan kayu, 99.9% paku dan 5% untuk
papan, 0.1% untuk paku, seperti yang ditunjukkan pada tabel Presentase tersebut juga
akan digunakan dalam aliran output positif dan output negatif untuk energi dan operator
karena output positif dan output negatife pada penggunaan energi dan operator akan
sangat sulit diperhitungkan secara nyata dan tepat. Sedangkan proporsi pengolahan
sampah yang terjadi dialokasikan 100% kedalam produk negative karena biaya
pengelolaam sampah selanjutnya terkait denga biaya kerugian material.

24
Tabel Matriks Aliran Biaya

Biaya Bahan Biaya Biaya Total


Baku/Unit Energi/Unit Operator/Unit (Rp)
(Rp) (Rp) (Rp)

Output 95% , 99.9% 94.5% 94.5% 94.7%


produk 2.860.133 31.287 1.701.000 4.592.420
positif
Output 5% , 0.1 % 5.5% 5.5% 5.3%
produk 154.867 1.821 99.000 255.688
negative
Total 3.015.000 33.108 1.800.000 4.848.108
100% 100% 100% 100%
Sumber: CV Hilal Furniture

Pada matriks aliran biaya, terlihat outout produk negative yang masi dihasilkan
oleh CV Hilal Furniture terkait dengan proses produksi almari. Output negative
tersebut memperlihatkan bajwa proses produksi yang dilakukan perusahaan masih
kurang efisien dan masih perlu diperbaiki dalam upaya optimalisasi proses produksi.

Langkah-langkah yang bisa diambil untuk mencapai perbaikan ini dapat


mencakup subtitusi bahan, modifikasi proses, serta kegiatan penelitian dan
pengembangan yang berkaitan dngan efisiensi material dan energy, seperti penggantian
mesin lama yang dianggap masih kurang efisien menjadi mesin baru.

Tahap 5 : Meningkatkan Praktik Produksi dan Mengurangi Rugi Melalui Hasil


MFCA

25
Pada tahap selanjutnya, CV.Hilal Furniture melakukan komunikasi dan koordinasi
yang bertujuan sebagai upaya optimalisasi proses produksi, khususnya pada produk
almari 2 pintu, dalam hal ini biaya bahan baku dan energi.

Awalnya tidak terdapat penanganan apa pun yang dilakukan perusahaan terhadap
output negatif bahan baku yang diasilkan dari proses produksi almari 2 pintu.
Perusahaan hanya membuang output negatife bahan baku tersebut. Padahal perusahaan
dapat menjual sisa bahan baku yang tak terpakai (output negatif) walaupun harga
jualnya akan menurun.

Selain menjual bahan baku yang tersisa, perusahaan dapat mengurangi output
negatif dengan melakukan nesting. Nesting adalah perencanaan dalam menentukan
pola potongan. Hal itu akan menjadi acuan penempatan pengambilan tindakan
perbaikan untuk mengatur posisi dan arah letak dalam pemetaan untuk mengetahui
apakah masih terdapat bagian sisa bahan baku yang dapat digunakan kembali untuk
pembuatan produk almari 2 pintu berikutnya atau upaya pemetaan dalam hal
pengurangan jumlah kebutuhan bahan baku.

KESIMPULAN

26
27
28
DOKUMENTASI

29
30
31

Anda mungkin juga menyukai