Anda di halaman 1dari 26

Case Report Session

Respiratory Distress

Oleh :
Insaniah Mumtaz Nandihati 1740312258
Irfan Ghani Nasution 1740312431
Ridwan Fajri 1740312623

Preseptor :
dr. Rahmiyetti, Sp.A

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUD ACHMAD MOCHTAR
BUKITTINGGI
2018
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan ekstrauterin merupakan
suatu kondisi yang kritis bagi neonatus baru lahir. Semua sistem tubuh mengalami
perubahan fisiologis yang kompleks saat proses persalinan. Perubahan yang
sangat penting bagi kelangsungan hidup neonatus adalah adaptasi dari paru-paru.
Saat intrauterin janin mendapatkan suplai oksigen melalui plasenta dan pembuluh
darah umbilikus. Paru-paru dipenuhi oleh cairan yang disekresikan oleh sel epitel
organ respirasi yang berfungsi untuk merangsang pertumbuhan paru-paru.1
Saat proses bernafas yang terjadi segera setelah lahir alveolar akan terisi
dengan udara untuk memulai pertukaran gas esktrauterin; secara simultan tekanan
pembuluh darah paru akan menurun sehingga meningkatkan aliran darah ke paru-
paru dan reabsorpsi cairan di paru. Pada neonatus prematur yang lahir <37
minggu sering mengalami ganggguan adaptasi karena paru yang masih imatur.
Sedangkan neonatus dengan late prematur (≦32 minggu) dan extreme premature
(≦28 minggu) harus beradaptasi dengan kondisi alveolus yang tidak berkembang
dengan adekuat yang umunya terjadi setelah usia gestasi lebih 32 minggu.1
Sebuah penelitian yang dilakukan di Italia menunjukkan bahwa 2,2% dari
semua neonatus baru lahir mempunyai komplikasi untuk gangguan respirasi,
sedangkan di India diperkirakan mencapai angka 6,7%. Masalah respirasi adalah
alasan utama untuk dirawatnya neonatus di unit neonatal baik neonatus aterm
maupun preterm. Insiden yang terjadi bervariasi 30% neonatus preterm, 20%
neonatus post-term dan 4% neonatus lahir aterm.2 Sebuah hasil penelitian
menunjukkan bahwa 33,3% dari semua neonatus yang berumur >28 minggu
dirawat dengan masalah respirasi sebagai keluhan utama. Penelitian lain
menemukan bahwa 20,5% dari semua neonatus yang dirawat mnenunjukkan
tanda-tanda distres napas. Data-data yang ada menunjukkan bahwa meningkatnya
angka rawatan pada bayi dengan masalah respirasi seiring dengan meningkatnya
angka kelahiran dengan sectio caesarea.1
Trasnsient tacypneu of the newborn (TTN) merupakan temuan tersering
yang menyebabkan distres napas, diikuti oleh aspirasi mekonium, penyakit
membran hialin, sepsis, dan asfiksia.2
Di Indonesia, sepertiga dari kematian bayi terjadi pada bulan pertama
setelah kelahiran dan 80% diantaranya terjadi pada minggu pertama dengan
penyebab utama kematian diantaranya adalah infeksi pernafasan akut dan
komplikasi perinatal. Pada suatu studi kematian neonatal di daerah Cirebon tahun
2006 disebutkan pola penyakit kematian neonatal 50% disebabkan oleh gangguan
pernapasan meliputi asfiksia bayi baru lahir (38%), respiratory distress (4%) dan
aspirasi (8%).3,4Meskipun angka-angka tersebut masih tinggi,Indonesia
sebenarnya telah mencapai tujuan keempat dari MDG, yaitu mengurangi tingkat
kematian anak. Dengan pencegahan dan penatalaksanaan yang tepat, serta sistem
rujukan yang baik, kematian neonatus khususnya akibat gangguan pernafasan
diharapkan dapat terus berkurang.3
1.2 Batasan Masalah
Case report ini membahas tentang definisi, etiologi, patogenesis, diagnosis
dan penatalaksanaan respiratory distress.
1.3 Tujuan Penulisan
Mengetahui definisi, etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan
respiratory distress.
1.4 Metode Penulisan
Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang
merujuk dari berbagai literatur.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Respiratory distress adalah suatu keadaan meningkatnya usaha pernapasan
yang ditandai dengan takipnea, retraksi dinding dada, napas cuping hidung,
merintih atau grunting, sianosis atau apnea. Jenis respiratory distress yang paling
sering adalah transient tachypnea of the newborn (TTN), respiratory distress
syndrome (RDS) atau hyaline membrane disease (HMD) dan displasia
bronkopulmonar.5
Transient tachypnea of the newborn (TTN) merupakan salah satu jenis
respiratory distress, yang disebabkan oleh kerterlambatan reabsorpsi dan
pembersihan cairan paru. Respiratory distress syndrome (RDS) atau hyaline
membrane disease (HMD) merupakan jenis respiratory distress yang terjadi pada
neonatus prematur dengan usia gestasi kurang dari 34 minggu yang disebabkan
oleh defisiensi surfaktan dan immaturitas paru. Displasia bronkopulmonar
merupakan ketergantungan terapi oksigen yang persisten melebihi 28 hari
kehidupan neonatus.5,6,7
Penyebab respiratory distress lainnya adalah sindrom aspirasi mekonium
dan pneumonia neonatal. Sindrom aspirasi mekonium adalah tersumbatnya jalan
napas oleh mekonium yang mencemari cairan amnion. Pneumonia neonatal
merupakan infeksi parenkim paru yang terjadi pada bayi baru lahir yang
disebabkan oleh transmisi bakteri melalui plasenta atau aspirasi bakteri yang
terdapat di dalam cairan amnion.6,7
2.2 Epidemiologi
Gangguan respirasi pada masa perinatal yang paling sering ditemukan
adalah TTN yang merupakan 40% dari kejadian respiratory distress setelah lahir.
Insidennya didapatkan berkisar antara 4 hingga 11 kasus dalam 1000 kelahiran
hidup. Dalam sumber lain didapatkan bahwa TTN terjadi pada 5 atau 6 per 1000
kelahiran hidup.6,7

4
Respiratory distress syndrome (RDS) memiliki insiden sebanyak 91% pada
usia gestasi 23-25 minggu, 88% pada usia gestasi 26-27 minggu, 74% pada usia
gestasi 28-29 minggu dan 52% pada usia gestasi 30-31 minggu. Insiden penyakit
ini mengalami penurunan setelah meningkatnya penggunaan steroid masa
antenatal pada beberapa tahun ini. Penggunaan surfaktan yang semakin meningkat
juga menurunkan kejadian kematian akibat penyakit ini, yaitu menjadi kurang dari
6% seluruh kematian neonatus. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada laki-laki
kulit putih dan neonatus yang lahir dari ibu dengan diabetes mellitus.6,7
Pencemaran cairan amnion oleh mekonium terjadi pada 8 hingga 20% dari
seluruh persalinan. Ekskresi mekonium menggambarkan maturitas janin sehingga
keadaan pencemaran cairan amnion oleh mekonium berbanding lurus dengan
lamanya usia gestasi. Didapakan sebanyak 30% kasus pencemaran cairan amnion
oleh mekonium pada usia gestasi 42 minggu ke atas yang berbanding dengan 1,6%
pada usia gestasi 34 hingga 37 minggu. Sindrom aspirasi mekonium hanya terjadi
sebanyak 5% dari kejadian pencemaran cairan amnion oleh mekonium. Sumber
lain menyebutkan bahwa insiden sindrom aspirasi mekonium hanya sebesar 1%.6,7
Displasia bronkopulmonar jenis respiratory distress yang jarang terjadi.
Kejadian displasia bronkopulmonar dipengaruhi oleh banyak faktor risiko, dengan
faktor risiko terpenting adalah maturitas paru. Insiden dari penyakit ini meningkat
pada neonatus dengan berat lahir rendah, didapatkan terjadi sebanyak 30% pada
bayi dengan berat lahir di bawah 1000 gram.7
2.3 Patofisiologi
2.3.1 Perkembangan Paru Normal
Paru berasal dari embryonic foregut yang dimulai dengan perkembangan
bronkus utama pada usia 3 minggu kehamilan. Pertumbuhan paru berjalan ke arah
kaudal menuju mesenkim sekitar, pembuluh darah, otot halus, tulang rawan dan
komponen fibroblas. Diikuti secara endodermal epitelium mulai membentuk
alveoli dan saluran pernapasan.5
Terdapat 4 stadium perkembangan paru, yaitu:5
A. Pseudoglandular (5-17 minggu)
Terjadi perkembangan percabangan bronkus dan tubulus asiner.

5
B. Kanalikuler (16-26 minggu)
Terjadi proliferasi kapiler dan penipisan mesenkim serta diferensiasi
pneumosit alveolar tipe II sekitar usia 20 minggu.
C. Sakuler (24-38 minggu)
Terjadi perkembangan dan ekspansi rongga udara dan merupakan awal
pembentukan septum alveolar.
D. Alveolar (36 minggu-lebih 2 tahun setelah lahir)
Penipisan septum alveolar dan pembentukan kapiler baru.
Surfaktan dibentuk oleh sel epitel yang disebut pneumosit alveolar tipe II
dimulai pada usia kehamilan 24-28 minggu. Setelah diproduksi, surfaktan akan
disimpan dalam badan lamellar dari pneumosit alveolar tipe II dan akan
disekresikan ke dalam alveolus. Komponen utama surfaktan ini adalah fosfolipid
(75%), sebagian besar terdiri dari dipamitylphosphatidylcholine (DPPC).
Surfaktan berfungsi untuk mengurangi tegangan permukaan dan menjaga ekspansi
dinding alveolus pada fase ekspirasi sehingga tidak kolaps pada akhir pernafasan
sehingga dapat menjaga sisa volume paru. Tanpa surfaktan alveoli akan kolaps
setiap saat setelah akhir setiap pernafasan yang menyebabkan sulit bernafas.
Produksi surfaktan juga akan menurun pada kasus hiperinsulinemia.5,7
2.3.2 Transient Tachypnea of the Newborn
Mekanisme utama dari TTN adalah keterlambatan resorpsi cairan dari paru-
paru. Adanya cairan tersebut menghambat pertukaran gas sehingga dikompensasi
dengan adanya usaha berlebih untuk bernapas. Faktor-faktor yang berperan dalam
keterlambatan resorpsi cairan paru-paru tersebut adalah:6,7
A. Kontraksi uterus
Proses resorpsi cairan paru diawali oleh perpindahan cairan di dalam
alveolus ke jaringan interstisial paru. Peristiwa ini dipengaruhi oleh adanya
tekanan transpulmoner. Tekanan transpulmoner adalah tekanan yang dihasilkan
pada saat proses inspirasi. Pada saat akhir inspirasi tekanan didalam alveolus
menjadi positif sehingga mampu mendorong cairan alveolus secara pasif ke
jaringan interstisial. Cairan ini akan diabsorpsi secara perlahan oleh pembuluh
darah dan pembuluh limfe. Tekanan transpulmoner ini akan meningkat pada saat
adanya kontraksi uterus. Hal inilah yang menyebabkan bayi-bayi yang dilahirkan

6
dengan cara seksio sesarea berisiko untuk mengalami TTN. Pada bayi yang
dilahirkan dengan cara seksio sesarea, bayi tidak mengalami fase fleksi pada saat
melewati jalan lahir. Kondisi ini menyebabkan bayi tidak mendapatkan tekanan
transpulmoner yang cukup karena tidak mendapatkan stress dari kontraksi uterus.
Kontraksi uterus juga akan meningkatkan tekanan tekanan intraabdominal yang
membantu mengeluarkan cairan paru melalui hidung dan mulut.
B. Kanal natrium sensitif amilorid yang inaktif atau immatur
Selama kehamilan epitel paru secara aktif mensekresikan cairan dan klorida
ke dalam alveoli. Pada saat persalinan, sejumlah katekolamin (adrenalin,
glukokortikoid) janin dilepaskan yang membuat peralihan dari sekresi aktif
klorida dan cairan menjadi absorpsi natrium. Pada persalinan dengan seksio
sesarea, janin kurang terpapar dengan kondisi stress sehingga pelepasan
katekolamin tidak sama dengan persalinan pervaginam. Kondisi kanal natrium
yang immatur atau inaktif karena sekresi katekolamin yang tidak maksimal
menyebabkan kegagalan penghambatan masuknya kembali cairan dari interstisial
paru ke dalam alveolus.
C. Immaturitas paru
Paru yang immatur ditandai oleh tidak adanya fosfatidilgliserol dan
defisiensi surfktan. Suatu studi menemukan bahwa defisiensi surfaktan relatif
menjadi salah satu penyebab terjadinya TTN. Hal ini disebabkan karena selain
fungsi surfaktan untuk menurunkan komplians paru, surfaktan juga berfungsi
untuk mencegah kembalinya cairan ke dalam alveoli.
D. Predisposisi genetik
Diduga terdapat faktor genetik yang berperan dalam terjadinya TTN karena
adanya riwayat TTN pada keluarga di beberapa kasus. Beberapa penelitian
menyebutkan adanya hiporesponsif dan polimorfik dari reseptor beta adrenergik
yang berperan dalam terjadinya TTN.
Faktor risiko lain yang diduga berperan pada terjadinya TTN adalah ibu
dengan diabetes dan asma. Peranan faktor ibu dengan diabetes adalah karena
tingginya angka persalinan seksio sesarea pada kelompok ini atau karena
penurunan pembersihan cairan dari paru janin.6,7

7
2.3.3 Respiratory Distress Syndrome
Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama dari RDS. Defisiensi
surfaktan akan menyebabkan kolapsnya alveolus pada fase ekspirasi yang akan
berlanjut menjadi atelektasis. Kerusakan sel akan terjadi secara progresif sehingga
menyebabkan terjadinya eksudasi material berisi protein dan debris-debris sel
yang menumpuk di dalam saluran napas. Hal ini akan mengurangi kapasitas total
paru secara langsung. Faktor lainnya yang berperan adalah kelemahan dinding
dada. Dinding dada pada bayi prematur bersifat lemah. Kondisi kolapsnya
alveolus menyebabkan usaha yang lebih dari bayi untuk bernapas sehingga
dikompensasi dengan adanya retraksi dinding dada. Hal ini akan menyebabkan
deformitas pada dinding dada sehingga akan menurunkan komplians paru. Selain
dua faktor di atas, bayi prematur dengan usia gestasi di bawah 30 minggu juga
memiliki masalah yang lain, yaitu ketidakmampuan untuk menciptakan tekanan
intrathoraks yang dibutuhkan untuk mengembangkan paru.5,6,7
2.3.4 Aspirasi Mekonium
Mekonium terdiri atas sel epitel, rambut janin, mukus, empedu dan
komponen proinflamasi. Pasase mekonium bergantung pada hormonal dan
maturitas saraf parasimpatik. Mekanisme pasti terjadinya pasase mekonium di
dalam rahim belum diketahui, tetapi dicurigai terdapat 2 faktor yang
mempengaruhinya yaitu fetal distress dan stimulasi vagal. Setelah terjadinya
pasase mekonium intrauterin, respirasi yang dalam dan ireguler atau gasping yang
terjadi sebagai kompensasi dari hipoksia janin baik di dalam rahim, saat
persalinan atau setelah lahir akan menyebabkan aspirasi dari mekonium yang
telah mencemari cairan amnion. Pada prenatal, aspirasi mekonium tidak
menimbulkan masalah karena mekonium tersebut terhalangi oleh cairan paru yang
belum diresorpsi. Dampak dari aspirasi mekonium akan terlihat setelah bayi lahir
berupa obstruksi saluran napas, menurunnya komplians paru dan meningkatkan
resistensi saluran napas besar.6,7
Mekonium yang tebal dapat menyumbat saluran napas atas secara total atau
parsial. Pada obstruksi parsial akan terjadi hiperekspansi alveolar karena air
trapping. Pada obstruksi yang total akan menyebabkan atelektasis asimetris dan
menyebabkan hipoksia. Mekonium juga akan merangsang pelepasan mediator-

8
mediator inflamasi yang akan berkembang menjadi edema dan apoptosis sehingga
akan menyebabkan hipoksia. Dampak lainnya dari mekonium yang teraspirasi
adalah mekonium akan melepaskan ikatan surfaktan pada permukaan alveolus
karena tegangan permukaan mekonium yang lebih tinggi disebabkan oleh
kandungan asam lemak bebas dalam mekonium. Mekonium juga akan
mempengaruhi produksi surfaktan dengan mempengaruhi metabolisme
fosfatidilkolin.7
2.3.5 Pneumonia Kongenital
Pneumonia kongenital dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, virus maupun
jamur. Penyebarannya dapat melalui plasenta atau melalui aspirasi cairan amnion
yang terinfeksi. Penyebaran melalui plasenta terjadi apabila ibu mengalami infeksi
sistemik, seperti rubella, sitomegalovirus, Treponema pallidum, Listeria
monositogen, tuberkulosis dan HIV. Infeksi sistemik ini dapat berlangsung secara
asimtomatik pada ibu. Pneumonia kongenital akibat infeksi cairan amnion diawali
oleh penjalaran infeksi secara asenden dari jalan lahir pada kasus ketuban pecah
dini. Kejadiannya diawali oleh kondisi asfiksia janin sehingga menyebabkan
gasping pada janin dan mengalami aspirasi cairan amnion yang terinfeksi.
Peristiwa ini dibuktikan oleh adanya temuan debris cairan amnion dan leukosit
ibu pada paru janin melalui pemeriksaan histopatologi.8,9
2.4 Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang timbul adalah gejala meningkatnya usaha bernapas,
yaitu:5
1. Takipnea: frekuensi napas > 60-80x/menit
2. Retraksi: cekungan atau tarikan kulit antara iga (interkostal) dan atau di
bawah sternum (substernal) selama inspirasi
3. Napas cuping hidung: kembang kempis lubang hidung selama inspirasi
4. Merintih atau grunting terdengar merintih atau menangis saat inspirasi
5. Sianosis sentral: warna kebiruan pada bibir
6. Apnea atau henti napas
7. Dalam jam pertama sesudah lahir, empat gejala respiratory distress
(takipnea, retraksi, napas cuping hidung dan grunting) kadang juga
dijumpai pada BBL normal tetapi tidak berlangsung lama. Gejala ini

9
disebabkan karena perubahan fisiologis masa transisi dari sirkulasi fetal ke
sirkulasi neonatal.
8. Bila takipnea, retraksi, napas cuping hidung dan grunting menetap pada
beberapa jam setelah lahir, ini merupakan indikasi adanya gangguan napas
atau respiratory distress yang harus dilakukan tindakan segera.
Derajat beratnya respiratory distress dapat dinilai dengan menggunakan
skor Downes. Skor Downes merupakan sistem skoring yang lebih komprehensif
dan dapat digunakan pada semua usia kehamilan seperti yang terlihat pada tabel
2.1 di bawah ini.
Tabel 2.1 Evaluasi Gawat Napas dengan skor Downes5
Pemeriksaan Skor
0 1 2
Frekuensi napas < 60 /menit 60-80 /menit > 80/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak ada Sianosis hilang Sianosis menetap
sianosis dengan 02 walaupun diberi
O2
Air entry Udara masuk Penurunan ringan Tidak ada udara
udara masuk masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar Dapat didengar
dengan stetoskop tanpa alat bantu

Keterangan:
0-4: Distress nafas ringan; membutuhkan O2 nasal atau headbox
4-7: Distress nafas sedang; membutuhkan nasal CPAP
>7 : Distress nafas berat; ancaman gagal nafas; membutuhkan intubasi.
2.5 Diagnosis
2.5.1 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara teliti meliputi onset gejala, riwayat kehamilan,
riwayat persalinan, riwayat maternal. Berdasarkan data-data tersebut dapat
ditentukan jenis respiratory distress yang dialami oleh pasien yang dapat dilihat
pada tabel 2.2 di bawah ini:6

10
Tabel 2.2 Diagnosis banding respiratory distress6
Penyebab Gestasi Onset Faktor risiko
TTN Semua Segera hingga 2 Ibu asma, jenis kelamin
jam setelah laki-laki, makrosomia,
lahir ibu diabetes mellitus,
seksio sesarea
RDS Preterm Segera Jenis kelamin laki-laki,
ras kulit putih, ibu
diabetes
Sindrom aspirasi Aterm atau Segera Cairan amnion yang
mekonium postterm tercemari mekonium
Pneumonia Semua Early onset: PPROM, ibu demam,
kongenital usia 1-3 hari kolonisasi Streptococcus
grup B
Transisi yang Aterm atau Segera Persalinan lama
terlambat postterm

2.5.2 Pemeriksaan fisik


Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai gejala klinik gangguan napas,
berupa beberapa tanda di bawah ini:5
 Merintih atau grunting tetapi warna kulit masih kemerahan, merupakan
gejala yang menonjol
 Sianosis
 Retraksi
 Tanda obstruksi saluran napas mulai dari hidung: atresia koana, ditandai
dengan kesulitan memasukkan pipa nasogastrik melalui hidung.
 Air ketuban bercampur mekonium atau pewarnaan hijau-kekuningan pada
tali pusat, kulit berwarna seperti mekonium (sindrom aspirasi mekonium)
 Abdomen mengempis (scaphoid abdomen)
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada respiratory
distress adalah pemeriksaan gas darah, darah lengkap dengan hitung jenis, kultur
darah, glukosa darah, protein C-reaktif, rontgen thoraks dan saturasi dengan pulse
oximetry. Pemeriksaan analisa gas darah digunakan untuk menilai derajat
hipoksemia dan status asam-basa. Pemeriksaan dilakukan dengan mengambil
sampel darah dari arteri umbilikalis atau pungsi arteri. Gagal napas akut ditandai
11
dengan PaCO2 > 50 mmHg, PaO2 < 60 mmHg atau saturasi oksigen arterial <
90%.5,6
Pemeriksaan rontgen thoraks pada TTN dapat dilihat pada gambar 2.1.
Gambaran yang dapat ditemukan:7
 Hiperekspansi atau hiperinflasi
 Garis perihilar yang menebal  sistem limfatik membesar karena cairan
paru yang menumpuk
 Kardiomegali ringan hingga sedang
 Diafragma mendatar (dapat dilihat paling baik pada foto lateral)
 Cairan pada fissure minor dan mungkin cairan pada rongga pleura (efusi
pleura)
 Penebalan corakan bronkovaskuler  disebut juga fuzzy vessels atau pola
sunburst yang menandakan air trapping di perifer
 Kebocoran udara tidak ada
 Tidak ada konsolidasi

Gambar 2.1 Rontgen Thoraks TTN6


Pada RDS foto thoraks harus dilakukan pada setiap durasi. Gambaran yang
dapat ditemukan adalah pola retikulogranular yang seragam seperti gambaran
dasar gelas (ground-glass appearance) diikuti air bronchogram perifer yang
dapat dilihat pada gambar 2.2. Pada pemeriksaan rontgen serial dapat ditemukan
kebocoran udara sebagai akibat sekunder dari intervensi ventilasi mekanik. Pada
sindrom aspirasi mekonium akan ditemukan gambaran foto thoraks berupa
hiperinflasi pada lapangan paru dan diafragma yang mendatar seperti yang terlihat

12
pada gambar 2.3. Terdapat gambaran infiltrat kasar dan ireguler. Kadang-kadang
dapat ditemukan gambaran pneumothoraks atau pneumomediastinum.7

Gambar 2.2 Rontgen Thoraks RDS6

Gambar 2.3 Rontgen Thoraks Sindrom Aspirasi Mekonium6

2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Tindakan Umum
Tindakan umum merupakan tindakan yang dilakukan pada semua kasus
respiratory distress. Tindakan umum yang perlu dikerjakan dapat dilihat pada
gambar 2.4.

13
Gambar 2.4 Manajemen Respiratory Distress Neonatus6

2.6.2 Tindakan Khusus


a. TTN
Pemberian antibiotik pada TTN masih kontroversi. Sebagian pendapat
menyatakan bahwa pada TTN diberikan antibiotik spektrum luas (ampisilin-
gentamisin) selama 48 jam hingga diagnosis sepsis atau pneumonia disingkirkan.
Pendapat lainnya tidak mengindikasikan pemberian antibiotik pada TTN.6,7
Pemberian makanan pada TTN disesuaikan dengan frekuensi napas pasien.
Pada pasien dengan frekuensi napas < 60 kali/ menit dapat diberikan makanan
melalui oral. Pada frekuensi napas 60-80 kali/menit pemberian makanan harus

14
melalui nasogastric tube (NGT). Jika frekuensi napas > 80 kali/ menit maka
pemberian makanan dilakukan melalui jalur parenteral.7
Pemberian diuretik tidak dianjurkan pada TTN. Pemberian diuretik berupa
furosemide (Lasix) dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah paru yang
akan menyebabkan mismatch ventilasi-perfusi. Pemberian diuretik juga dapat
menyebabkan kehilangan berat badan dan hiponatremia sehingga pemberian
diuretik dikontraindikasikan pada TTN meskipun tedapat kelebihan cairan di
paru.6,7
b. RDS
Terapi preventif yang dapat dilakukan yaitu pemberian kortikosteroid
antenatal. Terapi ini dianjurkan pada usia gestasi 24-34 minggu pada semua
perempuan yang berisiko untuk persalinan prematur dalam 7 hari. Pada usia
gestasi 34-36 minggu, pemberian kortikosteroid tidak dianjurkan karena tidak
menurunkan morbiditas respirasi neonatus. Persalinan optimal dilakukan pada
rentang satu hingga kurang dari 7 hari setelah pemberian terapi steroid. Regimen
glukokortikoid yang dianjurkan adalah betametason yang diberikan 2 x 12 mg IM
per hari. Deksametason tidak dianjurkan karena terdapat peningkatan risiko untuk
terjadinya leukomalasia sistik periventrikuler pada bayi yang sangat prematur.7
Terapi kuratif yang diberikan adalah terapi penggantian surfaktan. Terapi
surfaktan harus segera diberikan setelah secara klinis RDS dapat didiagnosis.
Selama bayi membutuhkan dukungan ventilasi dengan O2 . 30%, surfaktan harus
segera diberikan. Surfaktan eksogen yang dapat diberikan adalah calfactant,
beractant, colfosceril dan porcine.5
c. Sindrom Aspirasi Mekonium
Dilakukan pulmonary toilet dengan cara melakukan suction. Pemberian
antibiotik tetap dilakukan karena walaupun mekonium bersifat steril, mekonium
dapat menginhibisi kemampuan bakteriostatik dari cairan amnion. Selain itu
karena sulitnya membedakan gambaran radiologis infiltrat pada aspirasi
mekonium dengan pneumonia maka terapi antibiotik spektrum luas harus
diberikan.7

15
d. Pneumonia Kongenital
Terapi antibiotik yang dianjurkan oleh WHO adalah ampisilin (50 mg/kg)
tiap 12 jam dalam minggu pertama kehidupan, lalu tiap 8 jam pada usia 2-4
minggu, ditambah gentamisin dosis tunggal perhari. Alternatif utama pengganti
ampisilin adalah benzilpenisilin atau amoksisilin, sedangkan alternatif utama
pengganti gentamisin adalah tobramisin atau amikasin. Jika kuman penyebabnya
dicurigai adalah S. aureus maka antibiotik penisilin resisten penisilinase seperti
flukloksasilin atau kloksasilin digunakan sebagai pengganti ampisilin. Dosis
gentamisin yang dianjurkan adalah loading dose 8 mg/kg yang dilanjutkan
2mg/kg (BB < 2 kg) atau 4 mg/kg (BB > 2 kg) pada minggu pertama kehidupan,
lalu diikuti 4mg/kg (BB < 2 kg) atau 6 mg/kg (BB > 2 kg) pada usia 2 minggu ke
atas. Jika neonatus tidak berespon dengan antibiotik lini pertama, maka WHO
merekomendasikan penggunaan sefalosporin generasi ketiga atau kloramfenikol
(hanya jika neonatus tidak prematur dan kadar obat dapat dimonitor).8,9
2.7 Prognosis
Prognosis tergantung pada latar belakang etiologi gangguan napas. TTN
biasanya bersifat self-limited yang berlangsung selama 2-5 hari. Namun, TTN
dihubungkan dengan kejadian wheezing syndrome (bronkiolitis, bronkitis akut dan
kronik, asma) pada masa anak-anak. Pada RDS, tingkat bertahan hidup
meningkat sangat tinggi setelah penggunaan terapi kortikosteroid antenatal dan
surfaktan secara luas. Namun, kejadian sekuele pada sistem respirasi dan saraf
sangat bergantung pada berat badan lahir dan usia gestasi. Sindrom aspirasi
mekonium telah mengalami penurunan mortalitas sejak ditemukannya berbagai
modalitas terapi. Namun, aspirasi mekonium dapat menyebabkan sekuele
gangguan perkembangan saraf seperti global development delay, cerebral palsy
dan autisme.7

16
BAB 3
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : By. EY
MR : 511497
Umur/tanggal lahir : 12 jam/13 Desember 2018
Jenis Kelamin : Laki-laki
Ayah/ Ibu : ZE/EY
Anak ke :2
Suku Bangsa : Indonesia
Alamat : Tilatang Kamang
Tanggal Masuk : 4 Desember 2018
Tanggal Pemeriksaan : 4 Desember 2018

Keluarga
Ibu Ayah
Umur 26 th 26 th
Pendidikan SMK SMK
Pekerjaan IRT Wiraswasta
Perkawinan ke 1 1
Penghasilan - Rp. 2.000.000

Anamnesis
Keluhan Utama
Merintih sejak 1,5 jam setelah lahir
Riwayat Penyakit Sekarang:
- NBBLC 3100 gram, panjang badan 50 cm, lahir sectio caesarea atas indikasi
bekas sc, aterm 38-39 minggu, setelah lahir langsung menangis, Apgar Score
8/9, ketuban jernih, lahir pada pukul 19.40 WIB tanggal 3 Desember 2018 di
RS Madina Bukittinggi
- Merintih sejak 1,5 jam setelah lahir, sesak napas ada, retraksi ada

17
- Kebiruan tidak ada
- Tidak ada demam, tidak ada kejang
- Mekonium belum keluar
- BAK sudah keluar, jumlah biasa, warna kekuningan
- Injeksi vitamin K telah diberikan
- Riwayat ibu keputihan selama kehamilan dan menjelang persalinan ada,
berwarna putih, tidak berbau
- Riwayat ibu demam selama kehamilan dan menjelang persalinan tidak ada
- Riwayat ibu nyeri BAK selama kehamilan dan menjelang persalinan tidak
ada
- Riwayat ibu hipertensi dan diabetes melitus tidak ada

Riwayat Keluarga
Nama Saudara Kandung Umur Keadaan sekarang
1. Aisah 17 bulan sehat

Riwayat Kehamilan Ibu Sekarang : G2P1A0H1


Presentasi bayi : Kepala
Lama Hamil : 38-39 minggu
HPHT : Tidak ingat
Taksiran Persalinan : Tidak bisa ditentukan
Penyakit Selama Hamil : Riwayat keputihan, tidak berbau
Pemeriksaan Kehamilan : USG, kontrol spesialis kebidanan
Komplikasi Kehamilan : Tidak ada
Kebiasaan Ibu Waktu Hamil
Kualitas dan kuantitas makan cukup, tidak ada minum alkohol, merokok dan
narkoba.

Riwayat Persalinan
Ditolong oleh dokter di RS Madina Bukittinggi (3-12-2018), lahir sectio caesarea
atas indikasi bekas sc, ketuban jernih, A/S 8/9, berat badan 3100 gram, panjang
badan 50 cm.

18
Kondisi Bayi Saat Lahir:
Lahir tanggal : 3 Desember 2018
Jam : 19.40 WIB
Jenis kelamin : Laki-laki
Kondisi saat lahir : Hidup

Pemeriksaan Fisik:
Kesan Umum : kurang aktif
Keadaan : sadar
Berat badan : 3100 gram
Panjang badan : 50 cm
Frekuensi jantung : 144 kali per menit
Frekuensi nafas : 61 kali per menit
Sianosis : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Suhu : 36,10 C
Kulit : teraba hangat, tidak pucat, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit
kembali cepat
Kepala : bulat, simetris, normocephal, ubun-ubun besar 3,5x3 cm, ubun-
ubun kecil 0,5x0,5 cm, tidak cekung, lingkar kepala 34 cm, jejas
persalinan tidak ada
Leher : tidak ada kelainan
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Telinga : tulang rawan telinga cukup lunak, cuping telinga cepat kembali
Hidung : nafas cuping hidung ada
Mulut : sianosis sirkum oral tidak ada, mukosa mulut dan bibir basah
Thoraks : normochest
Paru
Inspeksi : simetris, retraksi epigastrium ada
Palpasi : tidak dilakukan
Perkusi : tidak dilakukan

19
Auskustasi : suara nafas bronkovesikuler, ronki tidak ada, wheezing tidak ada
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba pada LMCS RIC V
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : irama teratur, bising tidak ada
Abdomen
Permukaan : datar
Kondisi : lemas
Hepar : teraba 1/4 -1/4 permukaan licin dan rata, pinggir tajam
Lien : tidak teraba.
Tali pusat : segar
Umbilikal : tidak hiperemis
Punggung : tidak ada kelainan
Alat kelamin : tampak penis, desensus testis bilateral
Anus : anus ada
Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik, CRT <2 detik
Refleks : Moro : positif Isap : positif
Rooting : positif Pegang : positif
Ukuran : Lingkar kepala : 34 cm Panjang lengan: 16 cm
Lingkar Dada : 32 cm Panjang kaki : 20 cm
Lingkar Perut : 34 cm Kepala-simfisis: 28 cm
Simfisis-kaki : 22 cm Dll :

Pemeriksaan Laboratorium
Darah rutin (4/12/2018)
Hb : 16,1 g/dL
Eritrosit : 4.810.000/uL
Ht : 46,7%
Leukosit : 23.470/uL
Trombosit : 306.000/uL
Retikulosit : 11,9%

20
Hitung Jenis : 0/0/9/68/20/3

Kimia Klinik (4/12/2018)


Ca : 7,67 mg/dL
K : 4,44 mEq/L
Na : 137,3 mEq/L
Cl : 109,1 mEq/L
GDS : 64 mg/dL

Diagnosis Kerja
NBBLC 3100 gram
Respiratory distress e.c Transien Tachypneu of Newborn

Tatalaksana
- CPAP FiO2 21% PEEP 5
- IVFD D10% 10 gtt/i
- Inj. Ampicilin 2x150 mg IV
- Inj. Gentamisin 1x15 mg IV
- Jaga bayi tetap hangat
- Pantau vital sign

Rencana
- Rontgen thoraks
- Cek DPL
- AGD

21
Follow Up
Rabu, 5 Desember 2018
Hari rawatan ke-2
S/ Sesak napas (+)
Demam (-)
Merintih (-)
Kebiruan (-)
Kuning (-)
Mekonium (+) BAB (+) BAK (+)
O/ KU HR RR T
Kurang aktif 144x/i 64x/i 37,4oC
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : napas cuping hidung (-)
Thorax : retraksi epigastrium (+) minimal
Abdomen : supel, BU (+) Normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT<2 detik
A/ NBBLC 3100 gram
Respiratory distress ec TTN
P/ CPAP FiO2 21% PEEP 5
IVFD D10% 10 gtt/menit
Inj. Ampisilin 2x150 mg IV
Inj. Gentamisin 1x15 mg IV
Rontgen Thorax
Cek labor darah lengkap
AGD
Pantau vital sign

22
Follow Up
Kamis, 6 Desember 2016
Hari rawatan ke-3
S/ Sesak napas (-)
Demam (-)
Merintih (-)
Kebiruan (-)
Kuning (-)
BAB (+) BAK (+)
O/ KU HR RR T
Aktif 132x/i 52x/i 36,5oC
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : napas cuping hidung (-)
Thorax : retraksi (-) SN bronkovesikuler, rh -/-, wh -/-
Abdomen : supel, BU (+) Normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT<2 detik
A/ NBBLC 3100 gram
Respiratory distress ec TTN (sesak napas teratasi)
P/ Inj. Ampisilin 2x150 mg IV
Inj. Gentamisin 1x15 mg IV
Pantau vital sign

23
BAB 4
DISKUSI

Pada kasus ini menggambarkan seorang bayi dirujuk dengan keluhan


utama merintih sejak 1,5 jam setelah lahir. Kondisi ini juga disertai dengan sesak
napas. Pada pemeriksaan fisik juga ditemukan adanya retraksi dinding dada dan
napas cuping hidung. Kondisi ini merupakan kumpulan tanda-tanda adanya
peningkatan usaha bernapas atau disebut Respiratory Distress (RD). RD pada
neonatus didefinisikan sebagai adanya satu atau lebih tanda peningkatan usaha
bernapas, seperti takipnea, retraksi, napas cuping hidung, atau merintih.
Ada beberapa etiologi yang sering menyebabkan RD pada neonatus, yaitu
transient tachypnoe of the newborn (TTN), respiratory distress syndrome (RDS),
aspirasi mekonium, dan pneumonia neonatorum. Riwayat hamil dan persalinan
ibu (usia gestasi, cara persalinan, riwayat penyakit ibu) dapat membedakan
masing-masing etiologi. RDS atau dikenal dengan hyaline membran disease
biasanya terjadi pada usia gestasi preterm. Kondisi ini berhubungan dengan
defisiensi kandungan surfaktan di dalam paru yang belum matur. Namun RDS
dapat juga terjadi pada neonatus aterm pada ibu dengan riwayat diabetes mellitus
terkait dengan efek insulin yang menghambat produksi surfaktan. Pada ibu pasien
tidak memilki riwayat diabetes mellitus. Aspirasi mekonium merupakan penyebab
RD terbanyak pada bayi postterm. Kondisi dapat ditandai dengan ketuban yang
sudah bercampur dengan mekonium. Pada kasus ini mekonium pasien belum
keluar saat lahir dan ketuban berwarna jernih. Pneumonia neonatal disebabkan
infeksi intrauterin atau selama persalinan, umunya infeksi bakterialis. Faktor
risiko untuk pneumonia neonatal meliputi ketuban pecah dini, infeksi pada ibu,
dan prematuritas. Pada kasus ini ibu hanya memiliki riwayat infeksi minor yaitu,
riwayat keputihan saat hamil, dan persalinan dengan sectio caesarea.
TTN biasanya terjadi pada usia gestasi aterm (>37 minggu), sesuai dengan
usia gestasi pasien pada kasus ini, yaitu 38-39 minggu. Pasien dilahirkan dengan
sectio caesarea yang menjadi faktor risiko untuk terjadinya TTN terutama kasus
elektif. Persalinan akan merangsang pengeluaran katekolamin ibu yang akan
meregulasi peningkatan produksi surfaktan dan transportasi natrium transepitel

24
sehingga terjadi reabsorpsi cairan yang ada di dalam paru-paru neonatus. TTN
juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Pada saudara kandung pasien (kakak) juga
memiliki riwayat sesak napas dan merintih setelah lahir.
Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan labor rutin dengan kesan
normal. Pemeriksaan foto toraks akan sangat membantu dalam menegakkan
diagnosis. Pada TTN akan menampilkan gambaran pencitraan hiperinflasi paru
atau normal, fisura interlobaris terlihat opak karena terdapat cairan, efusi pleura,
fuzzy vessel atau densitas bergaris. Pada pasien ini belum dilakukan pemeriksaan
foto toraks.
Tatalaksana awal yang tepat dapat memperbaiki klinis dan prognosis
pasien. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain, pemberian oksigen, nutrisi,
antibitiotik, dan penjagaan suhu optimal. Oksigen dapat diberikan melalui hood
atau nasal kanul kemudian pantau saturasi. Apabila masih terdapat peningkata
usaha napas atau kebutuhan oksigen > 30% maka CPAP dapat digunakan. Untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi, dalam keadaan takipnu nutrisi tidak boleh diberikan
melalui mulut. Pada kasus TTN antibiotik sprektum luas (misal ampicillin dan
gentamicin dapat diberikan dalam 48 jam pertama. Sebelum dirujuk, pasien ini
telah mendapatkan oksigenasi dengan nasal kanul 0,5 L/menit, IVFD D10% 12
gtt/menit, dan injeksi ampicillin dan cloramfenikol. Biasanya TTN akan membaik
dalam waktu 2-5 hari dengan perbaikan frekuensi napas dan usaha pernapasan.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Gallacher DJ, Hart K, Kotecha S. Common respiratory conditions of the


newborn. Breathe 2016; 12: 30-42.
2. Chandrasekar R, Mohan MM, Vijaya LB. Clinical study of respiratory
distress in the newborn. Int J Contemp Pediatr 2016;3:910-5.
3. UNDP-Bappenas. Usaha Pencapaian MDGs di Indonesia (Diunduh 3
Desember 2018); Tersedia dari: http://www.targetmdgs.org.
4. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan. Akselerasi pelayanan
kesehatan: Peran penelitian kesehatan. 2006; (Diunduh 3 Desember 2018);
Tersedia dari: http://www.depkes.go.id.
5. Kosim MS. Gangguan Napas pada Bayi Baru Lahir. Dalam: Buku Ajar
Neonatologi. 1st ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2010. p. 126–46.
6. Hermansen CL, Mahajan A. Newborn Respiratory Distress. American
Family Physician 2015;92(11):994–1002.
7. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, penyunting. Neonatology. United
States: Mc Graw Hill Education; 2013.
8. Duke T. Neonatal pneumonia in developing countries. Arch Dis Child Fetal
Neonatal 2005;103:211–9.
9. Nissen MD. Congenital and neonatal pneumonia. Paediatric Respiratory
Reviews 2007;195–203.

26

Anda mungkin juga menyukai