Anda di halaman 1dari 15

Referat

ANESTESI INTRAVENA

Oleh:
ANNISA BELLA FRISKA
DHANY FEBRIANTARA
ELSI SRIHASTI WAHYUNI
RAHMI MULYANI

Pembimbing :

dr. Dino Irawan, SpAn

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RUMAH SAKIT UMUM ARIFIN ACHMAD
PROVINSI RIAU
2019
BAB I

PENDAHULUAN

Anestesia adalah suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara yang
diakibatkan oleh pemberian obat-obatan anestesi. Analgesia adalah pemberian obat
untuk menghilangkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien. Terdapat 3
(tiga) komponen anestesi (trias anestesi), yaitu analgesia dan hipnotik dan relaksasi
otot. Anestesi juga harus dipantau jalan nafas dengan pemantauan fungsi vital tubuh
selama prosedur anestesi berlangsung. Beberapa tahapan prosedur anestesi adalah
premedikasi, induksi, rumatan dan pemulihan. Metode tersebut dapat dilakukan
dengan cara intravena, intramuscular, rectal dan inhalasi. Pada referat ini akan
dibahas mengenai anestesi intravena.

Anestesi intravena adalah suatu teknik anestesi dimana obat-obat anestesi


diberikan secara parenteral melalui jalur intravena. Pemberian dengan metode ini
dapat untuk obat yang menghasilkan efek analgetik, hipnotik maupun sebagai
relaksasi otot. Anestesi diharapkan adalah anestesi yang bekerja secara cepat dan baik
serta dapat memulihkan kesadaran dengan cepat setelah pemberian obat dihentikan,
tidak ada atau minimal efek samping terhadap fungsi respirasi maupun
kardiovaskular, mempunyai efek analgesia dan efek amnesia pasca operasi. Selain itu
dipilih juga obat yang memiliki batas keamanan pemakaian yang tinggi dan
mempunyai efek yang samping yang minimal. Kombinasi obat-obat anestesi mungkin
akan berpotensi atau menghasilkan efek dari salah satu obat dan dapat menutupi
pengaruh obat lain. Teknik serta obat-obatan anestesi intravena penting digunakan
pada pembedahan di ruang operasi dan juga dapat menenangkan pasien dalam
keadaan gawat darurat.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Anestesi Intravena

Anestesi intravena adalah teknik anestesi di mana obat-obat anestesi diberikan


melalui jalur intravena yang berfungsi sebagai analgetik, hipnotik maupun relaksasi
otot.1,2

2.2 Tujuan Pemberian Anestesi Intravena3

a. Induksi anestesi.
b. Induksi dan pemeliharaan anestesi pada tindak bedah singkat.
c. Menambah efek hipnosis pada anestesi atau analgetik lokal.
d. Menimbulkan sedasi pada tindak medik.

2.3 Anestesi Intravena yang Ideal3

a. Mempunyai efek analgesia.


b. Cepat menghasilkan hipnotik.
c. Menimbulkan amnesia pasca-anestesi.
d. Efek sampingnya dapat dihilangkan oleh antagonisnya.
e. Cepat dieliminasi oleh tubuh
f. Tidak atau sedikit mendepresi fungsi respirasi dan kardiovaskular.
g. Pengaruh farmakokinetiknya tidak bergantung pada disfungsi organ.

2.4 Pembagian Anestesi Intravena

A. Anestesia Umum Intravena

Anestesia umum intravena adalah salah satu teknik anestesi umum yang
dilakukan dengan memasukkan obat anestesia parenteral langsung ke dalam
pembuluh darah vena. Terdapat suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara
yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri diseluruh tubuh akibat pemberian obat
anestesia.2

Rees dan Gray membagi anestesia menjadi 3 (tiga) komponen, yaitu:2

1. Hipnotika : pasien kehilangan kesadaran


2. Anestesia : pasien bebas nyeri
3. Relaksasi : pasien mengalami kelumpuhan otot rangka
Terdapat beberapa variasi anestesia intravena :

1. Anestesia Intravena Klasik

 Indikasi : pada operasi kecil dan sedang yang tidak memerlukan relaksasi
lapangan operasi yang optimal dan berlangsung singkat, dengan
pengecualin pada operasi di daerah jalan nafas dan intraokuler.

 Kontraindikasi pada pasien yang rentan terhadap obat-obat


simpatomimetik, misalnya pada penderita diabetes mellitus, hipertensi,
tirotoksikosis; pasien yang menderita hipertensi intrakranial; pasien yang
menderita glaucoma dan pada operasi intraokuler.

2. Anestesia Intravena Total

 Indikasi : Pada operasi yang memerlukan lapangan operasi yang


optimal.
 Kontraindikasi : Tidak ada kontraindikasi yang absolut.

3. Anestesia-Analgesia Neuroleptik
 Indikasi : Tindakan diagnostik endoskopi, sebagai suplemen
tindakan anestesi lokal.
 Kontraindikasi : Penderita Parkinson, penderita penyakit paru
obstruktif, bayi dan anak-anak (kontraindikasi relatif).2

B. Blok Analgesia Regional Intravena

Blok analgesia reginal intravena adalah blok yang dilakukan dengan cara
menyuntikkan obat anestetik lokal ke dalam vena yang telah diekangunasi secara
tertutup baik pada ekstremitas superior maupun pada ekstremitas inferior.
 Indikasi : untuk operasi di daerah siku dan lengan bawah, operasi di daerah
lutut dan tungkai bawah.
 Kontraindikasi : pasien yang tidak kooperatif, pasien menolak dan pasien
dengan gangguan faal hemostasis.
 Penyulit : angka kegagalan tinggi, pasien tidak kooperatif, intoksikasi obat
(reaksi sistemik), paresis nervus aksilaris dan nyeri torniket.2
2.5 Obat-obat Anestesi Intravena

Beberapa obat digunakan secara intravena dalam anestesia atau untuk


membuat tidur pasien yang menggunakan respirator. Obat ini meliputi golongan
barbiturate (thiopental, tiomilal, metoheksital), propofol, etomidat, ketamin,
droperidol, benzodiazepine (midazolam, diazepam, lorazepam), dan beberapa anestesi
intravena yang lebih berefek analgetik misalnya fentanil, meperidin, dan morfin.3

Teknik yang disebut sebagai anestesia berimbang (balance anesthesia) obat-


obat ini mungkin digunakan tunggal atau dalam kombinasi sebagai adjuvant untuk
anestesi inhalasi, yaitu agar induksi anestesia segera dicapai. Untuk tindakan bedah
tertentu, anestesi intravena saja sudah memadai dan pemulihan terjadi cukup cepat
misalnya, thiopental dan propofol sehingga dapat digunakan pada rawat jalan.
Fentanil digunakan sebagai adjuvant untuk anestesi inhalasi karena sifat sedatifnya,
menimbulkan analgetik kuat dan menstabilkan kardiovaskular, sedangkan
benzodiazepine digunakan untuk menidurkan pasien dan membuatnya tidak ingat
akan apa yang dialami sebelum anestesia.

1. Propofol

Propofol adalah suatu zat berupa minyak, pada suhu kamar zat ini sebagai emulsi
1%. Propofol IB 1,5-2,5 mg/KgBB menimbulkan induksi anestesia secepat
thiopental, tetapi dengan pemulihan yang lebih cepat dan pasien segera “merasa lebih
baik” dibanding setelah penggunaan anestesi lain. Nyeri kadang terasa terjadi di
tempat suntikan, tetapi jarang disertai flebitis atau thrombosis. Anestesia kemudian
dipertahankan dengan infus propofol dikombinasi dengan opiate, N2O dan/atau
anestesi inhalasi lain.1

Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 30% tetapi efek ini lebih
disebabkan oleh vasodilatasi perifer ketimbang penurunan curah jantung. Tekanan
darah sistemik kembali normal dengan intubasi trakea. Propofol tidak menimbulkan
aritmia atau iskemia otot jantung, tetapi terjadi sensitisasi jantung terhadap
katekolamin. Efek propofol terhadap pernapasan mirip dengan efek thiopental
sesudah pemberian intravena yakni terjadi depresi napas sampai apnea selama 30
detik. Hal ini diperkuat bila digunakan opioid sebagai medikasi pra anestesi.1,4,5

Propofol segera dimetabolisme di hati (lebih cepat daripada eliminasi thiopental)


tetapi klirens totalnya ternyata lebih besar dari aliran darah hati yang menunjukkan
bahwa ada eliminasi ekstrahepatik. Sifat ini menguntungkan untuk pasien dengan
gangguan metabolisme hati. Dilaporkan adanya kejang atau gerakan involunter
selama induksi. Kelebihan propofol adalah bekerja lebih cepat daripada thiopental,
konfusi pascabedah minimal, dan kurang menyebabkan mual-muntah pascabedah.1,4,5

 Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja propofol dalam menginduksi anestesi umum berkaitan dengan
fasilitasi neurotransmisi inhibitor yang dimediasi oleh GABA.1,4,5

 Farmakokinetik
Absorpsi
Propofol diberikan secara intravena untuk induksi anestesi umum dan untuk
sedasi menengah sampai dalam.

Distribusi
Tingkat solubilitas lipid yang tinggi sehingga menghasilkan onset kerja yang
sangat singkat, seperti thiopental. Pemulihan kesadaran dari dosis bolus tunggal juga
cepat karena waktu paruh distribusi inisial yang sangat singkat (2-8 menit).

Biotransformasi
Metabolisme propofol terjadi di hati (lebih cepat dibandingkan eliminasi
thiopental) tetapi klirens totalnya ternyata lebih besar dari aliran darah hati yang
menunjukkan bahwa ada eliminasi ekstra hepatik. Sifat ini menguntungkan untuk
pasien dengan gangguan metabolisme hati. Kecepatan klirensnya sangat tinggi,
akibatnya pemulihan segera berlangsung setelah infus selanjutnya.

Eksresi
Metabolit propofol diekskresikan melalui ginjal, tetapi gagal ginjal kronik tidak
mempengaruhi klirens obat utama.4

 Farmakodinamik

Sistem Saraf Pusat

Dosis induksi menyebabkan pasien kehilangan kesadaran dengan cepat akibat


ambilan obat lipofilik yang cepat oleh SSP, dimana dalam dosis yang kecil dapat
menimbulkan efek sedasi tanpa disertai efek analgetik. Pada pemberian dosis induksi
(2 mg/KgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Propofol dapat menyebabkan
penurunan aliran darah ke otak dan konsumsi oksigen otak sehingga dapat
menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan intraokular sebanyak 35%.3-5
Sistem Kardiovaskular

Induksi bolus 2-2,5 mg/KgBB dapat menyebabkan depresi pada jantung dan
pembuluh darah dimanan tekanan dapat turun. Hal ini disebabkan oleh efek dari
propofol yang menurunkan resistensi vascular sistemik sebanyak 30%. Namun
penurunan tekanan darah biasanya tidak disertai dengan peningkatan denyut nadi.
Pernafasan spontan (dibanding nafas kendali) serta pemberian drip melalui infus
(dibandingkan dengan pemberian melalui bolus) mengurangi depresi jantung,
sedangkan usia berbanding lurus dengan efek depresi jantung.3-5

Sistem Pernafasan

Apnoe paling banyak didapatkan pada pemberian propofol. Umumnya


berlangsung selama 30 detik namun dapat memanjang dengan pemberian opioid
sebagai premedikasi atau sebelum induksi dengan propofol. Dapat menurunkan
frekuensi pernafasan dan volume tidal. Efek ini biasanya bersifat sementara namun
dapat memanjang pada penggunaan dosis yang melebihi dari rekomendasi atau saat
digunakan bersamaan dengan respiratory depressants.4

Sistem Organ lainnya

Tidak menimbulkan depresi sintesa hormone steroid adrenal dan tidak


menimbulkan pelepasan histamin, baik pada tempat suntikan maupun sistemik.3

2. Tiopental (Barbiturat)

Tiopental (pentotal, topenton) dikemas dalam bentuk tepung atau bubuk berwarna
kuning, berbau belerang, biasanya dalam ampul 500 mg atau 1000 mg. sebelum
digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5% (1 ml=25 mg).1

Tiopental hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg dan
disuntikkan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik. Larut ini sangat alkalis
dengan pH 10-11, sehingga suntikan keluar vena akan menimbulkan nyeri hebat
apalagi masuk ke arteri akan menyebabkan vasokonstriksi dan nekrosis jaringan
sekitar. Kalau hal ini terjadi dianjurkan memberikan suntikan infiltrasi lidokain.1

Bergantung dosis dan kecepatan suntikan thiopental akan menyebabkan pasien


berada dalam keadaan sedasi, hypnosis, anestesia atau depresi napas. Thiopental
menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan intrakranial dan diduga dapat
melindungi otak akibat kekurangan O2. Dosis rendah bersifat anti-analgesi.1,3

Thiopental di dalam darah 70% diikat oleh albumin, sisanya 30% dalam bentuk
bebas, sehingga pada pasien dengan albumin rendah dosis harus dikurangi.
Thiopental dapat diberikan secara kontinyu pada kasus tertentu di unit perawatan
intensif, tetapi jarang digunakan untuk anestesia intravena total.1,3

 Efek Farmakologi

Sistem Saraf Pusat

Pada pemberian intravena, obat ini sangat cepat berdifusi ke jaringan otak dan
efeknya akan segera tampak dalam 30 detik. Karena efeknya sangat cepat, populer
disebut sebagai “ultra short acting barbiturate”. Setelah pemberian intravena, akan
beredar keseluruh jaringan tubuh dan bekerja di pusat kesadaran pada semua level.
Derajat depresinya sangat tergantung dari dosis yang diberikan, makin tinggi dosis
yang diberikan, depresinya semakin berat. Pentothal tidak mempunyai efek analgesia.
Pada dosis rendah, akan meningkatkan sensitivitas terhadap nyeri, sehingga timbul
efek hiperalgesia. Efek ini disebut dengan efek “antalgesia”.3-5

Sistem Respirasi

Pada pemberian intravena secara cepat, menimbulkan depresi pusat nafas


menyebabkan pasien henti bernafas. Derajat depresi nafas tergantung dari dosis yang
diberikan dan kecepatan pemberiannya. Pada bronkus, bisa menimbulkan spasme
karena pengaruhnya terhadap peningkatan tonus vagal.4

Sistem Kardiovaskular

Efek yang segera timbul setelah pemberian pentothal adalah penurunan tekanan
darah yang sangat tergantung dari konsentrasi obat dalam plasma. Hal ini disebabkan
karena efek depresinya pada otot jantung, sehingga curah jantung turun, dan dilatasi
pembuluh darah. Iritabilitas otot jantung tidak terpengaruh, tetapi bisa menimbulkan
disritmia bila terjadi retensi CO2 atau hipoksia.4
Penurunan tekanan darah yang bersifat ringan akan pulih normal dalam
beberapa menit tetapi bila obat disuntik secara cepat atau dosisnya tinggi, dapat
terjadi hipotensi yang berat. Hal ini terutama akibat dilatasi pembuluh darah karena
depresi pusat vasometer. Dilain pihak turunnya tekanan darah juga dapat terjadi oleh
karena efek depresi langsung obat pada miokard.4
Otot Rangka dan Uterus

Pada dosis lazim, tidak ada pengaruhnya terhadap tonus otot rangka dan uterus
yang sedang hamil. Bila dosis yang diberi tinggi, bisa terjadi penurunan tonus dan
bisa melewati barier uteroplasenta.4

Metabolisme

Menurunkan laju metabolisme sel sehingga konsumsi oksigen akan berkurang


sesuai dengan dalam anestesia.

 Farmakokinetik
Pada pemberian intravena, segera didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh,
selanjutnya diikat oleh jaringan saraf dan jaringan lain yang kaya dengan
vaskularisasi. Secara perlahan akan mengalami difusi ke dalam jaringan lain seperti
hati, otot dan jaringan lemak. Setelah terjadi penurunan konsentrasi obat dalam
plasma, konsentrasi dalam otak juga akan menurun dan pada konsentrasi obat dalam
plasma ini terutama oleh karena redistribusi obat dari otak ke dalam jaringan lemak.3-
5

Dalam darah thiopental diikat oleh protein plasma. Pada keadaan


hipoproteinemia (malnutrisi/kaheksis), thiopental yang terikat lebih sedikit
dibandingkan bentuk bebas sehingga efek hipnotiknya lebih dalam. Jumlah thiopental
yang terikat dalam protein plasma tergantung dari pH darah, makin tinggi pH darah
makin tinggi konsentrasinya dalam plasma dan efeknya lebih efektif.3-5

Pemecahannya terutama di hati dan ekskresinya melalui urin dan feses dalam
bentuk hasil metabolit. Sangat sedikit yang diekskresikan dalam bentuk utuh. Proses
pemecahannya sangat lambat, hanya 10-15% dalam 1 jam dan sekitar 30% dari
jumlah obat yang diberikan masih ada dalam tubuh setelah 24 jam. Dengan demikian
bila dalam periode ini diperlukan dosis tambahan, maka akan terjadi efek kumulatif
sehingga dosis tambahan perlu dikurangi.3-5

Sifat anestesi dari thiopental:2

 Hipnotik yang sangat kuat.


 Induksi cepat, lancar dan tidak diikuti oleh eksitasi.
 Pola respirasi tenang dan dapat terjadi hipoventilasi.
 Tidak mempunyai khasiat analgesic.
 Tidak menimbulkan relaksasi otot.
 Pemulihan cepat, tetapi masih ada rasa ngantuk.
 Efek samping berupa mual dan muntah jarang dikeluhkan.
Indikasi penggunaan thiopental:2

 Induksi anesthesia.
 Obat tambahan pada analgetik regional atau anestesia imbang.
 Anti kejang.
 Anestesi tunggal misalnya pada tindakan reposisi.
 Hipnotik pada pasien di ruang terapi intensif.

3. Ketamin

Ketamin (ketalar) kurang digemari untuk induksi anestesia, karena sering


menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat
menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Dosis induksi 1-2
mg/kgBB intravena, 3-5 mg/kgBB intramuskular.1-2

Mekanisme Kerja

Ketamin berikatan secara non kompetitif terhadap tempat terikatnya phencyclidine


pada reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA), suatu subtipe dari reseptor glutamat,
yang berlokasi di saluran ion. Ketamin menghambat aliran ion transmembran.
Reseptor NMDA adalah suatu reseptor saluran kalsium. Agonis endogen dari reseptor
ini adalah neurotransmiter eksitatori seperti asam glutamat, asam aspartat, dan glisin.
Pengaktifan dari reseptor mengakibatkan terbukanya saluran ion dan depolarisasi
neuron.

Ketamin menghambat pengaktifan dari reseptor NMDA oleh glutamat,


mengurangi pelepasan glutamat di presinaps dan meningkatkan efek dari
neurotransmiter inhibisi GABA. Ketamin juga berinteraksi dengan reseptor μ (mu), δ
(delta) dan κ (kappa) opioid. Efek analgesi ketamin mungkin disebabkan oleh
pengaktifan reseptor ini di sentral dan spinal. Beberapa efek ketamin dapat
disebabkan karena kerjanya pada sistem katekolamin, dengan meningkatkan aktivitas
dopamin. Efek dopaminergik ini mungkin berhubungan dengan efek euforia, adiksi
dan psikotomimetik dari ketamin. Kerja dari ketamin ini juga disebabkan oleh efek
agonis pada reseptor adrenergik α dan β, efek antagonis pada reseptor muskarinik di
sistem saraf pusat, dan efek agonis pada reseptor σ.3-5

Farmakokinetik

Suatu dosis intravena 2 mg/kgBB biasanya menghasilkan anastesi bedah dalam


waktu 30s dengan efek anestesi biasanya berlangsung antara 5-10s. Ketamin diserap
cepat melalui parental. Ketamin dengan cepat didistribusikan ke jaringan tubuh,
dengan konsentrasi yang relatif cukup tinggi muncul dalam lemak tubuh, hati, paru-
paru, dan otak. Dan dapat ditemukan pada konsentrasi yang rendah di jantung,
kerangka otot, dan darah plasma. Ketamin dimetabolisme di hati dan diekskresikan
melalui urin.3

Interaksi Obat

Obat relaksasi otot non-depolarisasi dipotensiasi oleh ketamin. Kombinasi teofilin


dengan ketamin dapat mempredisposisi pasien terhadap kejang. Diazepam
mengurangi efek stimulasi terhadap kardiovaskular dan memperpanjang waktu paruh
eliminasinya, sehingga waktu pulih sadar ketamin menjadi tertunda. Ketamin
menyebabkan depresi otot jantung ketika diberikan bersamaan dengan halotan.
Halotan memperlambat distribusi dan menghambat metabolisme hepatik ketamin,
sehingga memperpanjang efek ketamin terhadap susunan saraf pusat. N2O
mengurangi dosis ketamin dan memperpendek waktu pulih sadar ketamin. Pemberian
berulang ketamin dapat menyebabkan toleransi. Efek ini dapat terjadi secara akut
yang disebabkan oleh perubahan pada tempat ketamin bekerja daripada karena
peningkatan dalam kecepatan metabolisme, yang tampak dari terjadinya toleransi ini
setelah suntikan pertama, tanpa perubahan dalam konsentrasi plasma.3-5

Efek Samping

Efek samping yang mungkin timbul karena pemakaian ketamin yaitu mual,
muntah, efek psikomimetik seperti halusinasi, diplopia, mimpi buruk, ansietas,
euphoria. Bisa juga mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan darah sistolik dan
diastolik serta peningkatan kebutuhan oksigen serebri.3

4. Benzodiazepin (Diazepam, Midazolam, Lorazepam)

Secara kualitatif benzodiazepine memiliki efek yang hampir sama, namun secara
kuantitatif spectrum farmakodinamik serta data farmakokinetiknya berbeda. Hal ini
mendasari aplikasi klinik sangat luas golongan ini. Benzodiazepine berefek hypnosis,
sedasi, relaksasi otot, ansiolitik dan antikonvulsi dengan potensi yang berbeda-beda.3

Benzodiazepin dalam SSP mempunyai kemampuan sedasi dan anti cemas yang
bekerja pada sistem limbik dan pada ARAS serta dapat menimbulkan amnesia
anterograd. Pada dosis kecil bersifat sedatif sedangkan dosis besar sebagai hipnotik.
Dalam sistem respirasi dosis kecil pada pemberian intravena menimbulkan depresi
ringan yang tidak serius. Bila dikombinasikan dengan narkotik menimbulkan depresi
nafas yang lebih berat. Dalam sistem kardiovaskular, pada dosis kecil pengaruhnya
kecil sekali pada kontraksi maupun denyut jantung, tetapi pada dosis besar dapat
menimbulkan hipotensi oleh karena efek dilatasi pembuluh darah.2-4
Nama Obat Penggunaan Jenis Pemberian Dosis (mg/kg)
Diazepam Premedikasi Oral 0,2 - 0,5
Sedasi IV 0,04 - 0,2
Induksi IV 0,3 - 0,6
Midazolam Premedikasi IM 0,07 - 0,15
Sedasi IV 0,01 - 0,1
Induksi IV 0,1 – 0,4
Lorazepam Premedikasi Oral 0,053
IM 0,03 – 0,05
Sedasi IV 0,03 – 0,04
Tabel 1. Dosis dan Penggunaan Obat Golongan Benzodiazepin

5. Etomidat

Etomidat adalah sedatif kerja sangat singkat non barbiturat yang terutama
digunakan untuk induksi anestesi. Obat ini tidak berefek analgetik tetapi dapat
digunakan untuk anestesi dengan teknik anestesi berimbang. Etomidat mempunyai
efek minimal terhadap sistem kardiovaskular dan pernapasan. Dengan dosis induksi,
kesadaran hilang dalam beberapa detik tanpa efek ke jantung, dengan tekanan darah
yang sedikit turun dan frekuensi apnea yang rendah.3,4

Selama induksi dengan etomidat tanpa medikasi pra-anestetik dapat terjadi


gerakan otot spontan pada 60% pasien. Efek ini dihilangkan dengan pemberian
narkotik, sehingga narkotik dianjurkan untuk diberikan sebagai medikasi pra-
anestetik. Apnea ringan selama 15-20 menit dapat terjadi pada induksi dengan
etomidat, terutama pada orang usia lanjut. Apnea ini memanjang bila etomidat
diberikan bersama analgesic atau benzodiazepine. Dosis dan penggunaan untuk
induksi adalah 0,2-0,5 mg/kg yang diberikan secara intravena.3-5

6. Opioid

Fentanil, sulfentanil, alfentanil dan remifentanil adalah opioid yang lebih banyak
digunakan dibanding morfin karena menimbulkan analgetik anestesi yang lebih kuat
dengan depresi napas yang lebih ringan. Walaupun dosisnya besar, kesadaran tidak
sepenuhnya hilang dan amnesa pasca bedahnya tidak lengkap. Biasanya digunakan
pada pembedahan jantung atau pada pasien yang cadangan sirkulasinya terbatas.
Opioid juga digunakan sebagai tambahan pada anestesia dengan anestetik inhalasi
atau anestetik intravena lainnya, sehingga dosis anestetik lain ini dapat lebih kecil.
Bila opioid diberikan dengan dosis besar atau berulang selama pembedahan, sedasi
dan depresi napas dapat berlangsung lebih lama, ini dapat diatasi dengan nalokson.2,3
Fentanil yang lama kerjanya sekitar 30 menit segera didistribusi, tetapi pada
pemberian berulang atau dosis besar akan terjadi akumulasi. Dosis yang dapat
diberikan pada anestesi intraopertif adalah 2-150 μg/kg diberikan secara intravena
dan dapat diberikan dosis 0,5-1,5 μg/kg secara intravena. Dengan dosis besar (50-100
mg/KgBB), fentanil menimbulkan analgesia dan hilang kesadaran yang lebih kuat
daripada morfin, tetapi amnesianya tidak lengkap, instabilitas darah, tekanan darah
dan depresi napas lebih singkat. Oleh karena itu, fentanil lebih disukai daripada
morfin, khususnya untuk dikombinasi dengan anestetik inhalasi.2,3

Alfentanil dan sulfentanil potensinya lebih besar daripada potensi fentanil dengan
lama kerja yang lebih singkat. Keduanya lebih populer karena stabilitas
kardiovaskularnya sangat menonjol.2,3
BAB III

KESIMPULAN

Anestesi intravena adalah teknik anestesi di mana obat-obat anestesi diberikan


melalui jalur intravena, baik obat yang berfungsi sebangai analgetik, hipnotik maupun
relaksasi otot. Anestesi intravena yang ideal adalah anestesi yang cepat menghasilkan
hipnosis, mempunyai efek analgesia, menimbulkan amnesia pasca-anestesi, efek
sampingnya dapat dihilangkan oleh antagonisnya, cepat dieliminasi oleh tubuh, tidak
atau sedikit mendepresi fungsi respirasi dan kardiovaskular.

Beberapa obat digunakan secara intravena dalam anestesi atau untuk membuat
tidur pasien yang menggunakan respirator. Obat ini meliputi golongan barbiturat
(thiopental, tiomilal, metoheksital), propofol, etomidat, ketamin, droperidol,
benzodiazepine (midazolam, diazepam, lorazepam), dan beberapa anestesi intravena
yang lebih berefek analgetik misalnya fentanil, meperidin, dan morfin. Obat-obatan
yang diberikan harus diperhatikan efeknya terlebih dahulu, sebaiknya pilih obat yang
mempunyai keuntungan yang lebih besar dibandingkan kemungkinan kerugiannya
yang dapat berakibat fatal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua.
Jakarta: FKUI; 2002.
2. Mangku G, Senapathi TG. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta:
Indeks; 2010.
3. Sadikin ZD, Elysabeth. Anestetik Umum. Dalam: Farmakologi dan Terapi. Edisi
kelima. Jakarta: FKUI; 2011.
4. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. Edisi keempat.
USA: McGraw-Hill Companies, Inc; 2006.
5. Miller RD, Pardo MC. Basics of Anesthesia. Edisi keenam. Philadelphia: Elsevier;
2011.

Anda mungkin juga menyukai