Anda di halaman 1dari 12

LIMBAH ELEKTRONIK (E-WASTE),

SISI LAIN KEMAJUAN TEKNOLOGI

Dosen Pengampu :

Dr. Ing Sudarno

Disusun Oleh:

Irene Natalia Siahaan

30000118420030

MAGISTER ILMU LINGKUNGAN


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Perkembangan industri teknologi elektronik yang sangat cepat tidak hanya
menawarkan berbagai macam pilihan produk tetapi juga pilihan harga, yang
memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memiliki barang-barang
elektronik di rumahnya. Situasi ini mendorong perkembangan industri elektronik di
Indonesia menjadi sangat cepat. Percepatan pertumbuhan tersebut dikombinasi
dengan produk yang cepat usang karena produk generasi yang lebih baru sudah
muncul lagi.
Menurut Osibanjo et al, (2006), barang-barang elektronik
biasanya tidak digunakan lagi meskipun masih dapat beroperasi untuk kemudian
digantikan dengan yang baru karena konsumen menginginkan fitur-fitur baru atau
yang lama tidak memadai untuk layanan terbaru dari operator, atau hanya karena
ingin berganti saja. Pada akhirnya barang-barang elektronik yang sudah tidak terpakai ini
menjadi sampah yang sering disebut sebagai Electronic Waste (e-waste)
dan mengalami peningkatan yang sangat cepat. e-waste
memiliki karakteristik yang berbeda dengan sampah-sampah lain. Hal ini
disebabkan definisi terhadap e-waste sangat bergantung dari perspektif tiap orang (Sutarto E,
2008).
Dalam penelitiannya Jesica et al (2011) menuliskan bahwa Indonesia pada tahun 2007
diproduksi lebih dari 3 milyar unit peralatan elektronik rumah tangga dan
perlengkapan IT. Disebutkan juga bahwa Indonesia adalah
sebagai salah satu konsumen terbesar dari peralatan elektronik rumah tangga di
Asia. Dari data tersebut dapat dibayangkan pada tahun-tahun mendatang Indonesia akan
mengalami booming e-waste.
Sementara negara berkembang, termasuk di Indonesia, belum ada kesepakatan
mengenai definisi yang standar atau berlaku umum. Hasil
penelitian Fishbein (2002); Scharnhorst et al (2005) yang disitasi oleh Jang et al
(2010), didalam komponen penyusun barang-barang elektronik ditemukan bahan
toksik antara lain arsenik, berilium, kadmium dan timah yang diketahui sangat presisten
dan sebagai substansi bioakumulasi. Apabila selama proses perbaikan dan daur
ulang e-waste tidak terkendali, maka beberapa bahan kimia tersebut dapat
terlepas ke lingkungan. Karena bentuknya yang relatif kecil sehingga untuk dampak
pembuangannya diabaikan. Namun dengan pertumbuhannya yang sangat cepat,
maka dampak yang ditimbulkan sangat signifikan terhadap kesehatan dan
lingkungan.
Secara formal karena e-waste adalah termasuk limbah B3 Indonesia sudah
melarang melakukan impor e-waste namun pada kenyataannya secara ilegal masih
dapat masuk (Sukandar, 2011). Sedangkan menurut Triwiswasra (2009) di negara-negara
berkembang termasuk di Indonesia, terdapat kegiatan perbaikan dan
penggunaan kembali barang-barang elektronik bekas dalam jumlah yang tinggi.
Toko reparasi dapat ditemukan di sektor secondhand. Para pekerja di toko tersebut
mencari komponen-komponen yang rusak atau tidak terpakai dan menggantinya
dengan komponen yang baru buatan lokal. Komponen yang rusaknya sudah parah
dan tidak dapat digunakan kembali, masih memiliki nilai jual karena masih dapat
didaur ulang.
Menurut Widyarsana (2011), daur ulang e-waste di Indonesia berlangsung
secara unik, dimana fokus perhatian adalah terhadap komponen e-Product yang
sangat tinggi sehingga life time komponennya bertambah lama atau end-of-life
menjadi panjang. Pemanfaatan kembali yang tidak terkontrol yang dilakukan oleh
sektor informal dapat menimbulkan dampak terhadap kesehatan dan lingkungan.
Dalam rangka untuk mengatasi masalah tersebut, saat ini bukan hanya
memerlukan teknologi daur yang canggih, namun juga langkah-langkah pengelolaan
yang relevan dengan kebijakan pencegahan lingkungan. Dibandingkan dengan aspek
teknis, kebijakan pengelolaan e-waste menjadi lebih penting dan mendesak untuk
situasi yang spesifik ini, sehingga tidak hanya menerapkan pengelolaan yang sudah
dilakukan di negara lain. Dalam tulisan ini berusaha memperkenalkan kondisi dan
kebijakan pengelolaan e-waste yang ada di Indonesia saat ini serta alternatif
teknologi daur ulang e-waste yang berhubungan dengan kebijakan pengelolaan e-waste yang
terpadu sektor formal dan informal.

1.2. TUJUAN DAN SASARAN


1.2.1. Tujuan
1. Untuk melakukan identifikasi jenis-jenis limbah elektronik.
2. Untuk memperoleh informasi mengenai kondisi limbah elektronik di Indonesia.
3. Untuk mengetahui upaya-upaya pencegahan dan pengelolaan limbah elektronik.

1.2.2. Sasaran
1. Teridentifikasinya jenis-jenis limbah elektronik.
2. Teridentifikasinya kondisi limbah elektronik di Indonesia.
3. Teridentifikasinya upaya-upaya pencegahan dan pengelolaan limbah elektronik.

BAB II

PEMBAHASAN
2.1. Definisi limbah elektronik/ e-waste

Sampah elektronik didefinisikan sebagai peralatan listrik dan elektronik yang telah
rusak dan tidak dipakai lagi oleh pemiliknya. Dapat juga didefinisikan sebagai komputer
dibuang, peralatan elektronik kantor, perangkat hiburan elektronik, ponsel, televisi dan lemari
es . Definisi ini mencakup elektronik bekas yang ditakdirkan untuk digunakan kembali, dijual
kembali, penyelamatan, daur ulang, atau dibuang. Lainnya mendefinisikan ulang usables
(elektronik bekerja dan diperbaiki) dan skrap sekunder (tembaga , baja , plastik , dll) menjadi
“komoditas”, dan cadangan istilah “sampah” untuk residu atau bahan yang dibuang oleh
pembeli daripada didaur ulang, termasuk residu dari penggunaan kembali dan daur ulang
operasi.

Sampah elektronik (e-waste) adalah limbah yang berasal dan peralatan elektronik
yang telah rusak, bekas dan tidak dipakai lagi oleh pemiliknya. Sampah elektronik
merupakan jenis limbah yang pertumbuhannya paling tinggi tiap tahunnya Dalam setiap
sampah elektronik terkandung material dan logam berharga disamping juga mengandung
bahan berbahaya dan beracun (B3) yang dapat menyebabkan pencemaran dan kerusakan
lingkungan jika sampah elektronik tidak dikelola dengan baik. Karena sifatnya tersebut,
terjadi banyak kasus pengiriman sampah elektronik dan negara maju ke negara berkembang.
Paper ini bertujuan untuk mengetahui mengenai pengaturan tentang sampah elektronik dan
pandangan negara dalam kacamata hubungan Internasional. Sampah elektronik memiliki
karakteristik yang berbeda dengan Iimbah pada umumnya. Selain berbagai bahan berbahaya,
limbah elektronik juga mengandung banyak bahan yang berharga dan bernilai. Bahkan
hingga 60 elemen dari tabel periodik dapat ditemukan dalam elektronik yang kompleks.
Menggunakan komputer pribadi (PC) sebagai contoh – Cathode Ray Tube normal (CRT)
monitor komputer berisi banyak yang berharga tetapi juga banyak zat beracun. Salah satu zat
beracun kadmium (Cd), yang digunakan dalam baterai isi ulang komputer dan kontak dan
switch pada monitor CRT tua.

Kadmium dapat bio-menumpuk di lingkungan dan sangat beracun bagi manusia,


khususnya ginjal dapat mempengaruhi dan tulang. Hal ini juga salah satu dari enam zat
beracun yang telah dilarang di Eropa tentang Pembatasan Hazardous Substances (RoHS)
Directive. Selain monitor CRT, plastik, termasuk polyvinyl chloride (PVC) kabel digunakan
untuk papan sirkuit cetak, konektor, sampul plastik dan kabel. Ketika dibakar atau tanah-diisi,
rilis PVC ini dioxin yang memiliki efek yang merugikan pada sistem reproduksi dan
kekebalan tubuh manusia. Merkuri (Hg), yang digunakan dalam perangkat pencahayaan
dalam display layar datar, bisa menyebabkan kerusakan pada sistem saraf, ginjal dan otak,
dan bahkan dapat diteruskan kepada bayi melalui ASI. Barang-barang elektronik
mengandung berbagai zat beracun lainnya seperti timbal (Pb), berilium (Be), brominated
flame dan polychlorinated biphenyls (PCB).

Di sisi lain, dampak besar peralatan listrik dan elektronik terhadap sumber daya
berharga logam tidak boleh diabaikan. Sebuah misalnya ponsel dapat mengandung lebih dari
40 unsur termasuk logam dasar (tembaga (Cu), timah (Sn), ..), logam khusus (cobalt (Co),
indium (Dalam), antimon (Sb), ..), dan logam mulia (perak (Ag), emas (Au), paladium (Pd).
Logam yang paling umum adalah tembaga (9g), sedangkan kandungan logam mulia di urutan
hanya miligram: 250 mg perak, 24 mg emas dan 9 mg paladium. Selain itu, baterai lithium-
ion mengandung sekitar 3,5 gram kobalt. Hal ini tampaknya cukup marjinal tetapi dengan
leverage 1,2 miliar ponsel yang dijual secara global pada tahun 2007 ini menyebabkan
permintaan logam signifikan. Perhitungan serupa dapat dibuat untuk komputer atau
elektronik kompleks lainnya dan meningkatkan fungsi produk peralatan listrik dan elektronik
sebagian besar dicapai dengan menggunakan sifat unik dari logam berharga dan istimewa.
Misalnya 80% dari permintaan dunia menggunakan indium untuk layar LCD, lebih dari 80%
dari ruthenium digunakan untuk hard disk dan 50% dari permintaan di seluruh dunia untuk
antimon digunakan untuk flame retardants. Dengan mempertimbangkan tingkat pertumbuhan
peralatan listrik dan elektronik yang sangat dinamis, jelas bahwa mereka adalah penggerak
utama untuk pengembangan permintaan dan harga logam tertentu. Karena komposisi
kompleks zat berharga dan berbahaya khususnya, seringkali metode “berteknologi tinggi”
yang diperlukan untuk memproses e-waste dilakukan dengan cara yang memaksimalkan
pemulihan sumber daya dan meminimalkan potensi bahaya terhadap manusia atau
lingkungan. Sayangnya, penggunaan metode khusus ini jarang terjadi, dengan banyaknya e-
waste dunia yang diperdagangkan, terutama ke negara-negara berkembang, di mana teknik
tradisional sering digunakan untuk mengekstrak bahan mulia atau mendaur ulang bagian-
bagian yang dapat digunakan lebih lanjut. Teknik ini menimbulkan bahaya bagi pekerja dan
lingkungan setempat. Selain itu, mereka sangat tidak efisien dalam hal pemulihan sumber
daya sebagai daur ulang dalam hal ini biasanya berfokus pada elemen berharga beberapa
seperti emas dan tembaga (dengan hasil daur ulang), sementara kebanyakan logam lain yang
dibuang dan pasti hilang. Perubahan yang cepat dalam teknologi, perubahan dalam media
(kaset, software, MP3), penurunan harga, dan usang direncanakan telah menghasilkan surplus
yang berkembang pesat dari limbah elektronik di seluruh dunia. Unit display (CRT, LCD,
LED monitor), Prosesor (CPU, GPU, atau chip APU), memori (DRAM atau SRAM), dan
komponen audio memiliki masa manfaat yang berbeda. Prosesor yang paling sering keluar-
tanggal (oleh perangkat lunak tidak lagi dioptimalkan) dan lebih mungkin untuk menjadi e-
waste, sementara unit display yang paling sering diganti saat bekerja tanpa upaya perbaikan,
karena perubahan selera bangsa akan tampilan baru teknologi.

Diperkirakan 50 juta metriks ton e-waste yang diproduksi setiap tahun. Amerika
membuang 30 juta komputer setiap tahun dan 100 juta ponsel yang dibuang di Eropa setiap
tahun. The Environmental Protection Agencymemperkirakan bahwa hanya 15-20% dari e-
waste yang didaur ulang, sisa elektronik ini langsung ke tempat pembuangan sampah dan
insinerator.

Menurut sebuah laporan oleh UNEP, jumlah e-waste yang dihasilkan termasuk ponsel
dan komputer bisa naik sebanyak 500 persen selama dekade berikutnya di beberapa negara,
seperti India. Amerika Serikat adalah pemimpin dunia dalam memproduksi limbah
elektronik, melempar jauh sekitar 3 juta ton setiap tahun. Cina sudah menghasilkan sekitar
2,3 juta ton (perkiraan 2010) dalam negeri, kedua setelah Amerika Serikat . Dan, meski telah
melarang impor e-waste, Cina tetap menjadi tempat pembuangan e-waste utama bagi negara-
negara maju. Limbah listrik mengandung bahan berbahaya tetapi juga berharga dan langka.
Sampai dengan 60 elemen dapat ditemukan dalam elektronik yang kompleks. Di Amerika
Serikat, diperkirakan 70% dari logam berat di tempat pembuangan sampah berasal dari
elektronik yang dibuang. Meskipun ada kesepakatan bahwa jumlah perangkat elektronik
dibuang meningkat, ada perselisihan pendapat tentang risiko relatif (dibandingkan dengan
memo mobil, misalnya), dan perselisihan yang kuat apakah membatasi perdagangan
elektronik yang digunakan akan memperbaiki kondisi, atau membuat mereka lebih buruk.
Dalam hal ini dapat menunjukkan bahwa efisiensi sumber daya merupakan dimensi lain yang
penting dalam diskusi e-waste di samping ekologi, keamanan manusia, aspek ekonomi dan
sosial. Sebagai salah satu negara berkembang di Asia, Indonesia pun tidak luput dan
pengiriman sampah elektronik.

Produksi Limbah Elektronik (e-waste) Dunia

2.2 Dasar Hukum

Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 pasal 1 ayat 20 ditulis limbah adalah sisa
suatu usaha dan/ atau kegiatan. Limbah elektronik umumnya dipahami sebagai peralatan
elektronik dan elektrik yang tidak dipakai dan atau tidak berfungsi atau tidak diinginkan lagi
karena telah menjadi barang yang kedaluarsa dan perlu dibuang, baik itu dalam bentuk utuh
maupun bagian. Berdasarkan sistem perundangan di Indonesia, saat ini belum ada definisi
yang spesifik limbah elektronik.

2.3 Dampak limbah elektronik bagi kesehatan

Banyak perangkat elektronik yang mengandung bahan beracun seperti timah, barium,
kadmium, dan merkuri, yang membuat mereka berbahaya bila dibuang.
1. Kadmium : mengakibatkan gangguan pernapasan , merusak paru dan menyebabkan
kematian
2. Timah : menyerang sistem saraf
3. Timbal : menymenyerang sistem saraf ebabkan anemia, kerusakan ginjal, sakit perut
parah, kelemahan otot dan kerusakan otak yang cukup parah untuk membunuh
anak.

Timbal merupakan neurotoksin (racun penyerang saraf) yang bersifat akumulatif dan
menggangu pertumbuhan otak. Penyerapan timbal ke dalam darah manusia terutama melalui
saluran pencernaan dan saluran pernapasan. Timbal dianggap sebagai penyebab turunnya
Intellectual Quotient (IQ).Dan berdasarkan penelitian, ketika dibakar, sampah elektronik
yang mengandung logam berat ini menimbulkan polusi udara (pencemaran timbal) yang
sangat berbahaya. Jika dibuang, akan menghasilkan lindi (cairan yang berasal dari
dekomposisi sampah dan infiltrasi air eksternal dari hujan). Cairan yang sangat konduktif ini
masuk ke dalam tanah dan dapat menyebabkan pencemaran air tanah.

Logam berat memiliki sifat beracun, karsinogenik (menyebabkan kanker), dan


mutagenik (menyebabkan cacat bawaan).
• Logam merkuri (Hg) dikenal dapat merusak sistem saraf otak, dan menyebabkan
cacat bawaan seperti yang terjadi pada kasus Teluk Minamata, Jepang.
• Logam berat timbal (Pb) sangat buruk dampaknya bagi kesehatan. Gejala awal
kontak dengan logam berat tersebut adalah anorexia, otot sakit, malaise, dan sakit
kepala. Sementara itu, dalam jangka panjang dapat menyebabkan penurunan
intelegensi, gangguan sistim syaraf dan pada kadar yang tinggi dapat mengakibatkan
kerusakan otak dan kematian.
• Khromium (Cr) dapat dengan mudah terabsorpsi ke dalam sel sehingga
mengakibatkan berbagai efek racun, alergi, dan kerusakan DNA. Lantas kadmium
adalah logam beracun yang merusak ginjal.
• Dioksin atau PCDD/F bersifat persisten, terakumulasi secara biologis, dan bersifat
karsinogen. Selain itu dioksin juga mengganggu sistim hormon, mempengaruhi
pertumbuhan janin, menurunkan kapasitas reproduksi, dan sistim kekebalan tubuh.
Sementara itu PBDE, suatu senyawa yang digunakan untuk mengurangi tingkat panas
(flammability) pada bagian produk elektronik diduga dapat merusak sistem endokrin
dan mereduksi level hormon tiroksin sehingga perkembangan tubuhnya menjadi
terganggu.
Dampak eksternalnya juga tidak kalah mengerikan yaitu berupa degradasi kualitas
lingkungan dan kesehatan masyarakat yang bermukim di sekitarnya. Tanah, air dan udara di
sekitar lokasi pemrosesan limbah elektronik pun umumnya telah tercemar logam berat dan
senyawa- senyawa beracun seperti PCB, PCDD/F, PAH, PBDE, BFR dan logam berat.

2.4 Upaya pengelolaan limbah elektronik

Oleh karena dampaknya yang buruk bagi kesehatan dan lingkungan, serta
peredaran ilegal lintas batas negara, limbah elektronik telah mendapatkan perhatian
internasional. Umumnya negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, belum memiliki
regulasi khusus yang mengatur pengelolaan limbah elektronik. Akibatnya, sistem
pengelolaan yang baik tentang limbah elektronik yang meliputi pengumpulan dan
transportasi, pemretelan (dismantling), daur ulang, dan pemrosesan akhir masih belum
berjalan baik. Mengingat dampak buruk yang diakibatkan oleh sektor informal dalam
pengelolaan limbah elektronik, diperlukan langkah yang tegas dan terarah. Industri
pengelolaan limbah elektronik seharusnya berdiri sebagai bagian dari industri pengelola
limbah B3. Industri tersebut harus memiliki lisensi pengumpulan dan pengangkutan,
pemanfaatan dan pengolahan.
Di negara maju, kegiatan pengelolaan limbah elektronik diatur dengan ketat dan regulasi
yang jelas. Namun, biaya investasi dan O&M-nya tinggi karena mengoperasikan teknologi
yang ramah lingkungan. Karena pembiayaannya mahal, maka tidak jarang beberapa industri
nakal melakukan ekspor limbah elektronik ke negara lain secara ilegal seperti ke Ghana,
Nigeria, India, Cina, Thailand dan Indonesia. Negara-negara tersebut menjadi sasaran
‘pembuangan’ limbah beracun dan berbahaya. Kegiatan ekspor-impor limbah elektronik
dilarang dalam Konvensi Basel, Kovensi Stokholm dan juga UU No. 32 tahun 2009. Namun
walaupun dilarang, kegiatan tersebut masih terjadi dengan memanfaatkan keteledoran
pengawasan dan celah hukum.
Hal tersebut misalnya terjadi di Kawasan Industri di Jawa Timur, Batam dan Pare-pare.
Impor ilegal limbah elektronik di Jawa Timur berasal dari Amerika Serikat dan di Batam
berasal dari Singapura dan Malaysia. Barang elektronik bekas diimpor dalam dokumen
impor limbah logam (scrap metal) untuk industri baja atau peralatan kantor.
Sebagian produk-produk tersebut kemudian direkondisi dan diekspor ke Cina, Taiwan
dan Hongkong serta dipasarkan di dalam negeri. Sebagian lagi didaur ulang dan di-recovery
material berharganya sedangkan residu limbahnya dan ditimbun atau dibakar.

Permasalahan Bahan Baku Industri Pengelolaan Limbah Elektronik di Indonesia


Di Indonesia jumlah Industri yang mengantongi ijin pemanfaatan (dismantling, daur
ulang dan recovery) masih sedikit. Operasinya pun belum dapat maksimal karena kesulitan
jumlah bahan baku (limbah elektronik) yang mencukupi untuk mengoperasikan peralatannya.
Bahan baku masih terbatas dari sektor industri elektronik. Sebagai contoh, sebuah unit mesin
canggih pengolahan papan sirkuit elektronik (printed circuit board) yang bernilai milyaran di
PT Teknotama Lingkungan Internusa di Majalengka belum dapat dioperasikan secara
kontinyu karena sedikitnya bahan baku yang terkumpul dan biaya pengoperasiannya.
Semestinya, industri pengolah limbah elektronik selain mendapatkan bahan baku dari sektor
industri juga mendapatkan bahan bakunya dari rumah tangga. Namun limbah elektronik dari
sektor rumah tangga hampir seluruhnya diserap oleh sektor informal karena mereka berani
membayarnya dengan harga tinggi dan belum terciptanya sistem pengumpulan dan
pengangkutan limbah elektronik yang terarah. Mereka mampu membayarnya dengan harga
tinggi karena mampu menekan biaya daur ulang limbah elektroniknya dengan tidak
mempedulikan faktor keselamatan lingkungan dan keselamatan kerja, tidak membayar pajak,
tidak membayar biaya pengumpulan dan pengangkutan, dan residu limbah dibuang secara
ilegal. Sementara itu, sektor formal sangat terikat pada prinsip perlindungan lingkungan
sehingga memerlukan biaya ekstra pada setiap langkah pengelolaannya.

Program Extended Producer Responsibility (EPR)


EPR adalah tanggung jawab produsen yang diperluas pada mata rantai produksi
secara fisik dan pembiayaannya hingga pada tahap setelah penggunaannya. Sayangnya
wacana EPR yang bersifat wajib (mandatory) masih belum diterima oleh Gabungan
Pengusaha Elektronik Indonesia dengan alasan akan membebani biaya produksi barang
elektronik, ketatnya persaingan pemasaran produk-produk elektronik, dan beragamnya skala
produksi industri elektronik.
Namun bagi industri elektronik transnasional seperti Dell Computer, Hewlett Packard, dan
Nokia, pelaksanaan EPR disambut baik karena akan meningkatkan imej masyarakat sebagai
industri hijau. Di beberapa negara Asia Tenggara, perusahaan-perusahaan tersebut sedang
mengembangkan program Take Back yaitu pengambilan kembali produk elektronik yang
telah menjadi limbah.
Beberapa negara di Asia dan Eropa yang telah menerapkan EPR adalah Jepang, Korea, dan
Taiwan. Di Jepang, pengangkutan dan daur ulang limbah elektronik dibayar oleh konsumen.
Sedangkan di Korea dan Taiwan daur ulang limbah elektronik dibiaya oleh produsen. Di
Swiss, organisasi yang mengelola limbah elektronik adalah organisasi gabungan yang
dibentuk oleh para produsen atau importir barang elektronik yang kemudian pengolahannya
diserahkan kepada industri daur ulang berlisensi.

BAB III

PENUTUP

Sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan gaya hidup, limbah elektronik semakin
meningkat jumlahnya dan semakin beragam jenisnya. Umumnya, limbah elektronik
dikategorikan sebagai limbah B3 sehingga dapat mencemari lingkungan hidup dan
membahayakan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.

Pengelolaan limbah elektronik yang tidak memperhatikan tata kelola lingkungan akan
mengakibatkan pencemaran logam berat dan senyawa beracun yang tidak terkendali yang
bersifat lintas batas negara. Untuk itu berbagai upaya global dan lokal telah dan sedang
dilakukan untuk mencegah terjadinya degradasi lingkungan yang semakin buruk.

Berdasarkan ketentuan dalam tentang Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang


Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan peraturan pelaksanaan pengelolaan
sampah elektronik di Indonesia pada dasarnya dapat diberlakukan berdasarkan prinsip EPR.
Meskipun belum ada peraturan pelaksanaannya, pengelohaan sampah elektronik berdasarkan
prinsip EPR seharusnya dapat diberlakukan. Pada kenyataannya banyak terjadi kasus sampah
elektronik yang melanggar ketentuan dalam Pasal 60 dan 69 Undang- Undang No. 32 lahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan peraturan
pelaksanaannnya.

DAFTAR PUSTAKA

Alfian, M.(2007). Kota dan Permasalahannya. Makalah dipresentasikan pada Diskusi Sejarah
yang diselenggarakan oleh Badan Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta.
Diambil 6 November 2012, dari http://www.javanologi.info/main/th
emes/images/pdf/JogyakartaMeli.pdf 373

Rachmawati, R. (2011). Perubahan Pola Spasial Pergerakan Penduduk dan Lokasi Pelayanan
Ekonomi Yang Tersubstitusi Oleh Teknologi Informasi dan Komunikasi (Studi Kasus
Perkotaan Yogyakarta).

Tengku-Hamzah, Tengku,Adeline,Adura (2011) Making Sense of Environmental


Governance:A Study of E-waste in Malaysia, Durham theses, Durham University
Widyarsana, I. M. (2011) Studi Kasus Kota Bandung) “Tantangan dan Strategi Pengelolaan
Limbah Elektronik (E-Waste) di Indonesia”. Disertasi Doktor. Institut Teknologi Bandung.

Anda mungkin juga menyukai