Anda di halaman 1dari 17

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...............................................................................................................2
BAB I ................................................................................................................................................ 3
PENDAHULUAN............................................................................................................................. 3
1.1 LATAR BELAKANG ....................................................................................................... 3
1.2 RUMUSAN MASALAH ..................................................................................................... 3
1.3 TUJUAN .............................................................................................................................. 4
BAB 2 ............................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ............................................................................................................................... 5
2.1 FILSAFAT KETUHANAN ISLAM ................................................................................. 5
2.2 PEMBUKTIAN WUJUD TUHAN ....................................................................................... 9
2.3 PROSES TERBENTUKNYA IMAN ............................................................................... 11
2.4 KEIMANAN DAN KETAKWAAN ................................................................................. 11
BAB 3 ............................................................................................................................................. 17
PENUTUP ....................................................................................................................................... 17
3.1 KESIMPULAN .............................................................................................................. 17
3.2 SARAN .......................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 18

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Dalam sejarah peradaban Yunani, tercatat bahwa pengkajian dan


kontemplasi tentang eksistensi Tuhan menempati tempat yang khusus dalam
bidang pemikiran filsafat. Contoh yang paling nyata dari usaha kajian filosofis
tentang eksistensi Tuhan dapat dilihat bagaimana filosof Aristoteles menggunakan
gerak-gerak yang nampak di alam dalam membuktikan adanya penggerak yang
tak terlihat.
Tradisi argumentasi filosofis tentang eksistensi Tuhan, sifat dan
perbuatan-Nya ini kemudian secara berangsur-angsur masuk dan berpengaruh ke
dalam dunia keimanan Islam. Tapi tradisi ini, mewujudkan semangat baru di bawah
pengaruh doktrin-doktrin suci Islam dan kemudian secara spektakuler melahirkan
filosof-filosof seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina, dan secara riil, tradisi ini juga
mempengaruhi warna pemikiran teologi dan tasawuf dalam penafsiran Islam.
Perkara tentang Tuhan secara mendasar merupakan subyek
permasalahan filsafat. Ketika kita membahas tentang hakikat alam maka
sesungguhnya kita pun membahas tentang eksistensi. Filsafat tidak mengkaji suatu
realitas yang dibatasi oleh ruang dan waktu atau salah satu faktor dari ribuan faktor
yang berpengaruh atas alam. Pencarian kita tentang Tuhan dalam koridor filsafat
bukan seperti penelitian terhadap satu fenomena khusus yang dipengaruhi oleh
faktor tertentu.
Tuhan yang hakiki adalah Tuhan yang disampaikan oleh para Nabi dan
Rasul yakni, Tuhan hakiki itu bukan di langit dan di bumi, bukan di atas langit,
bukan di alam, tetapi Dia meliputi semua tempat dan segala realitas wujud.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah dari makalah ini yaitu:


1. Apa itu Filsafat Ketuhanan Dalam Islam ?
2. Bagaimana Pembuktian Wujud Tuhan Dalam Islam ?

3
3. Bagaimana Proses Terbentuknya Iman?
4. Apa yang dimaksud Keimanan dan Ketakwaan ?

1.3 TUJUAN

Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu:


1. Untuk mengetahui Filsafat Ketuhanan Dalam Islam.
2. Untuk mengetahui pembuktian Wujud Tuhan Dalam Islam.
3. Untuk mengetahui Proses Terbentuknya Iman.
4. Untuk mengetahui apa itu Keimanan dan Ketakwaan.

4
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 FILSAFAT KETUHANAN ISLAM

Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta,
dan kata Sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti
cinta terhadap ilmu atau hikmah. Menurut al-Syaibani, filsafat bukanlah hikmah
itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya,
memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya.
Selanjutnya ia menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti mencari hakikat
sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan
pengalaman-pengalaman manusia.
Sementara itu, A. Hanafi, M.A. mengatakan bahwa pengertian filsafat
telah mengalami perubahan-perubahan sepanjang masanya. Pitagoras (481-411
SM), yang dikenal sebagai orang yang pertama yang menggunakan perkataan
tersebut. Dari beberapa kutipan di atas dapat diketahui bahwa pengertian filsafat
dari segi kebahasan atau semantik adalah cinta terhadap pengetahuan atau
kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang
menempatkan pengetahuan atau kebikasanaan sebagai sasaran utamanya.
Jadi, filsafat Ketuhanan dalam Islam bisa diartikan juga yaitu
kebijaksanaan Islam untuk menentukan Tuhan, dimana Ia sebagai dasar
kepercayaan umat Muslim.

A. Siapakah Tuhan itu?


Perkataan ilah, yang diterjemahkan “Tuhan”, dalam Al-Quran dipakai
untuk menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia,
misalnya dalam QS : 45 (Al-Jatsiiyah) : 23, yaitu:
َ ‫َّللاُ َعلَى ِع ْل ٍم َو َخت ََم َعلَى‬
‫س ْم ِع ِه‬ َّ ُ‫ضلَّه‬
َ َ ‫َاوةً فَ َم ْن أَفَ َرأَيْتَ َم ِن ات َّ َخذَ إِلَ َههُ ه ََواهُ َوأ‬ َ َ‫َوقَ ْلبِ ِه َو َجعَ َل َعلَى ب‬
َ ‫ص ِر ِه ِغش‬
)٢٣( َ‫َّللاِ أَفَال تَذَ َّك ُرون‬ َّ ‫يَ ْهدِي ِه ِم ْن بَ ْع ِد‬
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah

5
telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
Dalam QS : 28 (Al-Qashash) : 38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk
dirinya sendiri:
َ ‫ين فَاجْ َع ْل ِلي‬
‫ص ْر ًحا‬ ِّ ِ ‫َوقَا َل ِف ْر َع ْونُ َيا أَيُّ َها ْال َمأل َما َع ِل ْمتُ لَ ُك ْم ِم ْن ِإلَ ٍه َغي ِْري فَأ َ ْوقِدْ ِلي َيا هَا َمانُ َعلَى‬
ِ ‫الط‬
)٣٨( َ‫ظنُّهُ ِمنَ ْالكَا ِذبِين‬
ُ ‫سى َوإِنِِّي أل‬ َ ‫ط ِل ُع إِلَى إِلَ ِه ُمو‬ َّ َ ‫لَعَ ِلِّي أ‬
dan berkata Fir'aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui Tuhan
bagimu selain aku. Maka bakarlah Hai Haman untukku tanah liat kemudian
buatkanlah untukku bangunan yang Tinggi supaya aku dapat naik melihat
Tuhan Musa, dan Sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa Dia Termasuk
orang-orang pendusta".
Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah
bisa mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi)
maupun benda nyata (Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja).
Perkataan ilah dalam Al-Quran juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad:
ilaahun), ganda (mutsanna: ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun). Derifasi
makna dari kata ilah tersebut mengandung makna bahwa ‘bertuhan nol’ atau
atheisme adalah tidak mungkin. Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan
atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika Al-Quran sebagai berikut:
Tuhan (Ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh
manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai
oleh-Nya. Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di
dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat
memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang
ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.
Atas dasar definisi ini, tuhan bisa berbentuk apa saja, yang
dipentingkan manusia. Yang pasti, manusia tidak mungkin atheis, tidak
mungkin tidak ber-tuhan. Berdasarkan logika Al-Quran, setiap manusia pasti
ada sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan begitu, orang-orang komunis pada
hakikatnya ber-tuhan juga. Adapun tuhan mereka ialah ideologi atau
angan-angan (utopia) mereka.
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “laa ilaaha illa Allah”. Susunan
kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian
baru diikuti dengan penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang
muslim harus membersihkan diri dari segala macam Tuhan terlebih dahulu,
sehingga yang ada dalam hatinya hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah SWT.

6
B. Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan

1. Pemikiran Barat
Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia
adalah konsep yang didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui
pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian
rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal
teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari
kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi
sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max Muller,
kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan
Javens. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori
evolusionisme adalah sebagai berikut:
a. Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah
mengakui adanya kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan.
Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada benda.
Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh
positif dan ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada
benda disebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti mana (Melanesia),
tuah (Melayu), dan syakti (India).
b. Animisme
Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang
aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai
sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang apabila kebutuhannya
dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek
negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan roh.
Saji-sajian yang sesuai dengan saran dukun adalah salah satu usaha untuk
memenuhi kebutuhan roh.
c. Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak
memberikan kepuasan, karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan
pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian disebut dewa. Dewa
mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada
dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang membidangi
masalah air, ada yang membidangi angin dan lain sebagainya.

7
d. Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan, terutama terhadap kaum
cendekiawan. Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan
seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama.
Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif
(tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan
Tuhan, namun manusia masih mengakui tuhan (ilah) bangsa lain.
Kepercayaan satu tuhan untuk satu bangsa disebut dengan Henoteisme
(Tuhan Tingkat Nasional).
e. Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk Henoteisme melangkah menjadi
Monoteisme. Dalam Monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk
seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk Monoteisme ditinjau
dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham, yaitu: deisme, panteisme,
dan teisme.
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap adanya monoteisme
dalam masyarakat primitif. orang-orang yang berbudaya rendah juga sama
monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai
kepercayaan pada wujud yang agung dan sifat-sifat yang khas terhadap
tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.

2. Pemikiran Umat Islam


Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu
Kalam, atau Ilmu Ushuluddin di kalangan umat Islam, timbul beberapa
periode setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Yakni pada saat
terjadinya peristiwa tahkim antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan
kelompok Mu’awiyyah. Secara garis besar, ada aliran yang bersifat liberal,
tradisional, dan ada pula yang bersifat di antara keduanya. Sebab
timbulnya aliran tersebut adalah karena adanya perbedaan metodologi
dalam memahami Al-Quran dan Hadis dengan pendekatan kontekstual
sehingga lahir aliran yang bersifat tradisional. Sedang sebagian umat Islam
yang lain memahami dengan pendekatan antara kontektual dengan tektual
sehingga lahir aliran yang bersifat antara liberal dengan tradisional.
Aliran-aliran tersebut yaitu :
a. Mu’tazilah
Merupakan kaum rasionalis di kalangan muslim, serta
menekankan pemakaian akal pikiran dalam memahami semua ajaran dan

8
keimanan dalam Islam. Dalam menganalisis ketuhanan, mereka memakai
bantuan ilmu logika Yunani, satu sistem teologi untuk mempertahankan
kedudukan keimanan. Mu’tazilah lahir sebagai pecahan dari kelompok
Qadariah, sedang Qadariah adalah pecahan dari Khawarij.
b. Qodariah
Berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam
berkehendak dan berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki apakah ia
akan kafir atau mukmin dan hal itu yang menyebabkan manusia harus
bertanggung jawab atas perbuatannya.
c. Jabariah
Berteori bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam
berkehendak dan berbuat. Semua tingkah laku manusia ditentukan dan
dipaksa oleh Tuhan. Aliran ini merupakan pecahan dari Murji’ah
d. Asy’ariyah dan Maturidiyah
Hampir semua pendapat dari kedua aliran ini berada di antara
aliran Qadariah dan Jabariah. Semua aliran itu mewarnai kehidupan
pemikiran ketuhanan dalam kalangan umat Islam periode masa lalu. Pada
prinsipnya aliran-aliran tersebut di atas tidak bertentangan dengan ajaran
dasar Islam. Oleh karena itu umat Islam yang memilih aliran mana saja
diantara aliran-aliran tersebut sebagai teologi mana yang dianutnya, tidak
menyebabkan ia keluar dari Islam. Menghadapi situasi dan perkembangan
ilmu pengetahuan sekarang ini, umat Islam perlu mengadakan koreksi
ilmu berlandaskan al-Quran dan Sunnah Rasul, tanpa dipengaruhi oleh
kepentingan politik tertentu.

2.2 PEMBUKTIAN WUJUD TUHAN

Adanya alam organisasinya yang menakjubkan dan rahasianya yang


pelik, tidak boleh memberikan penjelasan bahwa ada sesuatu kekuatan yang telah
menciptakannya, suatu akal yang tidak ada batasnya. Setiap manusia normal
percaya bahwa dirinya “ada” dan percaya pula bahwa alam ini “ada”. Dengan
dasar itu dan dengan kepercayaan inilah dijalani setiap bentuk kegiatan ilmiah dan
kehidupan.
Jika percaya tentang eksistensi alam, maka secara logika harus
percaya tentang adanya Pencipta Alam. Pernyataan yang mengatakan: percaya
adanya makhluk, tetapi menolak adanya Khaliq adalah suatu pernyataan yang
tidak benar. Belum pernah diketahui adanya sesuatu yang berasal dari tidak ada

9
tanpa diciptakan. Segala sesuatu bagaimanapun ukurannya, pasti ada penyebabnya.
Oleh karena itu bagaimana akan percaya bahwa alam semesta yang demikian
luasnya, ada dengan sendirinya tanpa pencipta ?
Dalam al-Quran, penggambaran tentang pengakuan akan eksistensi
Tuhan dapat ditemukan dalam Q.S al-Ankabut, 29: 61-63. Dalam ayat 61-63
dijelaskan bahwa: “bangsa arab yang penyembah berhala tidak menolak eksistensi
pencipta langit dan bumi.
Berdasarkan kandungan ayat ini, dapat dipahami bahwa bangsa arab
sesungguhnya telah memahami dan meyakini akan eksistensi Tuhan sebagai
pencipta langit dan bumi serta pengaturnya. Namun menurut al-Quran, ada
segelintir anak manusia yang menolak eksistensi tuhan, seperti penggambaran
al-Quran dalam Q.S. al-Jasyiah (45): 24. Ayat ini menegaskan bahwa: “mereka
berkata: “ kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan didunia saja, kita mati dan
kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” Penolakan akan
eksistensi tuhan oleh sebagian kecil manusia itu, hanya didasarkan pada dugaan
semata dan tidak didasarkan pada pengetahuan yang meyakinkan seperti
ditegaskan dalam klausa penutup ayat 24 tersebut, yaitu:”mereka sekali kali tidak
mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga
saja.
Banyak sekali ayat yang terkandung dalam Al-Quran yang
menjelaskan tentang keberadaan Allah sebagai tuhan semesta alam seperti yang
terkandung dalam surah Ali-Imran ayat 62 yang artinya “sesungguhnya ini adalah
kisah yang benar. Tidak ada Tuhan selain Allah, dan sungguh Allah Maha
Perkasa , Maha Bijaksana.
Keesaan Allah SWT adalah mutlak. Ia tidak dapat didampingi atau
disejajarkan dengan yang lain. Sebagai umat Islam, yang mengikrarkan kalimat
syahadat Laa ilaaha illa Allah harus menempatkan Allah SWT sebagai prioritas
utama dalam setiap tindakan dan ucapannya.
Banyak sekali bukti-bukti yang dapat digunakan untuk menunjukkan
bahwa Tuhan adalah Wujud (ada). Bukti klasik yang sering digunakan adalah
tentang adanya alam semesta. Setiap sesuatu yang ada tentu diciptakan dan
pencipta adalah Allah SWT Tuhan pencipta alam semesta. Pembuktian dengan
pendekatan seperti diatas sebenarnya bukanlah hal baru lagi. Jauh sebelum umat
Islam menggunakan pembuktian semacam itu, Plato telah mengemukakan teori
dalam bukunya Timaeus yang mengatakan bahwa tiap-tiap benda yang terjadi
mesti ada yang menjadikan.

10
2.3 PROSES TERBENTUKNYA IMAN

Benih iman yang dibawah sejak dalam kandungan memerlukan


pemupukan yang berkesinambungan. Benih yang unggul apabila tidak disertai
pemeliharaan yang intensif, besar kemungkinan menjadi punah. Demikian pula
halnya dengan benih iman. Berbagai pengaruh terhadap seseorang akan
mengarahkan iman/kepribadian seseorang, baik yang datang dari lingkungan
keluarga, masyarakat, pendidikan, maupun lingkungan termasuk benda-benda
mati seperti cuaca, tanah , air, dan lingkungan flora serta fauna.
Pengaruh pendidikan keluarga secara langsung maupun tidak
langsung, baik yang disengaja maupun tidak disengaja amat berpengaruh terhadap
iman seseorang. Tingkah laku orang tua dalam rumah tangga senantiasa
merupakan contoh dan teladan bagi anak-anak. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda,
“Setiap anak, lahir membawa fitrah. Orang tuanya yang berperan menjadikan
anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani, atau majusi”.
Pada dasarnya, proses pembentukan iman juga demikian. Diawali
dengan proses perkenalan, kemudian meningkat menjadi senang atau benci.
Mengenal ajaran Allah SWT adalah langkah awal dalam mencapai iman kepada
Allah SWT. Jika seseorang tidak mengenal ajaran Allah SWT, maka orang
tersebut tidak mungkin beriman kepada Allah SWT.
Disamping proses pengenalan, proses pembiasaan juga perlu
diperhatikan, karena tanpa pembiasaan, seseorang bisa saja semula benci berubah
menjadi senang. Seorang anak harus dibiasakan untuk melaksanakan apa yang
diperintahkan Allah dan menjauhi hal-hal yang dilarang-Nya, agar kelak setelah
dewasa menjadi senang dan terampil dalam melaksanakan ajaran-ajaran Allah.

2.4 KEIMANAN DAN KETAKWAAN

Kata iman berasal dari Bahasa Arab, yaitu amina-yukminu-imanan


yang secara etimologi berarti yakin atau percaya. Dalam surat Al-Baqarah 165,
yang artinya “Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada
Allah”.
Iman kepada Allah berarti percaya dan cinta kepada ajaran Allah,
yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Apa yang dikehendaki Allah, menjadi
kehendak orang yang beriman, sehingga dapat menimbulkan tekad untuk

11
mengorbankan apa saja untuk mewujudkan harapan dan kemauan yang menuntut
Allah kepadanya.
Dalam hadits dinyatakan bahwa iman adalah hati membenarkan,lisan
mengucapkan dan dikerjakan dalam kehidupan sehari-hari (tashdiiqun bil qolbi
waiqroru bil lisan wa’amalu bil arkan) dan iman dalam Islam termaktub dalam
rukun iman sedang aplikasinya didalam rukun islam.
Iman itu mengikat orang islam, ia terikat dengan segala aturan hukum
yang ada dalam islam sebagaimana yang telah ditentukan oleh Allah. Oleh
karenanya, orang Islam itu harus Iman, sehingga ia meyakini ajaran Islam dan
secara totalitas mengamalkannya dalam seluruh kehidupannya.
Iman atau kepercayaan merupakan dasar utama dalam memeluk suatu
agama karena dengan keyakinan dapat membuat orang untuk melakukan apa yang
diperintahkan dan apa yang dilarang oleh keyakinannya tersebut atau dengan kata
lain iman dapat membentuk orang jadi bertaqwa.
Dalam surah Al-Baqarah 165 dikatakan bahwa orang beriman adalah
orang yang amat sangat cinta kepada Allah. Oleh karena itu beriman kepada Allah
berarti amat sangat cinta dan yakin terhadap ajaran Allah yaitu Al-Quran. Jika kita
ibaratkan dengan sebuah bangunan, keimanan adalah pondasi yang menopang
segala sesuatu yang berada diatasnya, yang kokoh tidaknya bangunan itu sangat
tergantung pada kuat tidaknya pondasi tersebut. Meskipun demikian keimanan
saja tidak cukup ia harus diwujudkan dengan amal perbuatan yang baik, yang
sesuai dengan ajaran agama yang kita anut. Keimanan tidaklah sempurna jika
hanya diyakini dalam hati tapi juga harus diwujudkan dengan diikrarkan oleh lisan
dan dibuktikan dengan tindakan dalam kehidupan sehari-hari.
Keimanan adalah perbuatan yang bila diibaratkan pohon, mempunyai
pokok dan cabang. Iman bukan hanya berarti percaya, melainkan keyakinan yang
mendorong seorang muslim berbuat amal shaleh. Seseorang dikatakan beriman
bukan hanya percaya terhadap sesuatu, melainkan mendorongnya untuk
mengucapkan dan melakukan sesuatu sesuai keyakinannya.
Berbicara masalah keimanan , kita bisa melihat takaran keimanan
seseorang dari tanda-tandanya seperti :
1. Jika menyebut atau mendengar nama Allah SWT hatinya bergetar, dan
berusaha agar
Allah SWT tidak lepas dari ingatannya.
2. Senantiasa tawakkal, yaitu bekerja keras berdasarkan keimanan
3. Tertib dalam melaksanakan shalat dan selalu melaksanakan perintahnya
4. Menafkahkan rizky yang diperolehnya di jalan Allah

12
5. Menghindari perkataan yang tidak bermanfaat dan menjaga kehormatan
6. Memelihara amanah dan menepati janji
Manfaat dan pengaruh Iman dalam kehidupan manusia :
1. Iman melenyapkan kepercayaan kepada kekuasaan benda
2. Iman menanamkan semangat berani menghadapi maut
3. Iman memberikan ketentramann jiwa
4. Iman mewujudkan kehidupan yang baik
5. Iman melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen
Demikianlah manfaat iman dalam kehidupan manusia, bukan hanya
sekedar kepercayaan yang berada dalam hati manusia, tetapi dapat menjadi
kekuatan yang mendorong dan membentuk sikap dan perilaku hidup Islami.
Apabila suatu masyarakat terdiri dan orang-orang yang beriman, akan terbentuk
masyarakat yang aman, tentram, damai, dan sejahtera.
Kata taqwa berasal dari waqa-yaqi-wiqayah, yang berati takut,
menjaga, memelihara, dan melindungi. Taqwa dapat diartikan memelihara
keimanan yang diwujudkan dalam pengamalan ajaran agama islam secara utuh
dan konsisten (istiqomah).
Hakikat takwa sebagaimana yang disampaikan oleh Thalq bin
Hubaib, “Takwa adalah engkau melakukan ketaatan kepada Allah berdasarkan nur
(petunjuk) dari Allah SWT karena mengharapkan pahala dari-Nya. Dan engkau
meninggalkan maksiat kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah karena takut
akan siksa-Nya."
Kata takwa juga sering digunakan untuk istilah menjaga diri atau
menjauhi hal-hal yang diharamkan, sebagaimana dikatakan oleh Abu Hurairah
Radhiallaahu anhu ketika ditanya tentang takwa, beliau mengatakan, “Apakah
kamu pernah melewati jalanan yang berduri?” Si penanya menjawab, ”Ya”.
Beliau balik bertanya, “Lalu apa yang kamu lakukan?” Orang itu menjawab, “Jika
aku melihat duri, maka aku menyingkir darinya, atau aku melompatinya atau aku
tahan langkah”. Maka berkata Abu Hurairah, ”Seperti itulah takwa.”

Karakteristik orang yang bertakwa secara umum dapat dikelompokkan


ke dalam 5 kategori / indikator ketaqwaan:

1. Iman kepada Allah, iman kepada Malaikat, Kitab-kitab dan para nabi, iman
kepada hari kiamat, serta qada dan qadar dengan kata lain instrumen
ketaqwaan yang pertama ini dikatakan dengan memelihara Fitrah Iman.

13
2. Mengeluarkan harta yang dikasihinya kepada kerabat, anak yatim,
orang-orang miskin, orang-orang yang putus di perjalanan, Atau dengan kata
lain mencintai umat manusia.
3. Mendirikan shalat, puasa dan zakat
4. Menepati janji
5. Sabar disaat kepayahan, dan memiliki semangat perjuangan
6. Menahan amarah dan memaafkaan orang lain.

Hubungan Takwa dengan Allah SWT


Seseorang yang bertakwa (muttaqin) adalah orang yang
menghambakan dirinya kepada Allah dan selalu menjaga hubungan dengan-Nya
setiap saat. Memelihara hubungan dengan Allah terus menerus akan menjadi
kendali dirinya sehingga dapat menghindari dari kejahatan dan kemungkaran dan
membuatnya konsisten terhadap aturan-aturan Allah. Karena itu inti ketaqwaan
adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya.
Memelihara hubungan dengan Allah SWT dimulai dengan
melaksanakan tugas (ibadah) secara sungguh-sungguh dan ikhlas, dan memelihara
hubungan dengan Allah SWT dilakukan juga dengan menjauhi perbuatan yang
dilarang Allah SWT.

Hubungan Takwa dengan sesama manusia


Hubungan dengan Allah menjadi dasar bagi sesama manusia yang
bertakwa akan dapat dilihat dari peranannya ditengah-tengah masyarakat. Sikap
takwa tercermin dalam bentuk kesediaan untuk mendorong orang lain, melindungi
yang lemah dan berpihak pada kebenaran dan keadilan
Hubungan Takwa dengan Diri sendiri :
1. Sabar, yaitu sikap diri menerima apa saja yang datang kepada dirinya, baik
perintah, larangan, maupun musibah yang menimpanya. Sabar terhadap
perintah adalah menerima dan melaksanakan perintah dengan ikhlas. Dalam
melaksanakan perintah terhadap upaya untuk mengendalikan diri agar
perintah itu dapat dilaksanakan dengan baik.
2. Tawakkal, yaitu menyerahkan keputusan segala sesuatu, ikhtiar dan usaha
kepada Allah. Tawakkal bukanlah menyerah, tetapi sebaliknya usaha
maksimal tetapi hasilnya diserahkan seluruhnya kepada Allah SWT yang
menentukan.
3. Syukur, yaitu sikap berterima kasih atas apa saja yang diberikan Allah atau
sesame manusia. Bersyukur kepada Allah adalah sikap berterima kasih

14
terhadap apa saja yang telah diberikan Allah, baik dengan ucapan maupun
perbuatan. Bersyukur dengan perbuatan adalah mengucapkan hamdalah
sedangkan bersyukur dengan perbuatan adalah menggunakan nikmat yang
diberikan Allah sesuai dengan keharusannya.
4. Berani, yaitu sikap diri yang mampu menghadapi resiko sebagai
konsekuensinya dari komitmen dirinya terhadap kebenaran. Jadi berani
berkaitan dengan nilai – nilai kebenaran. Kebenaran lahir dari hubungan
seseorang dengan dirinya terutama berkaitan dengan pengendalian dari sifat
– sifat buruk yang datang dari dorongan hawa nafsunya.

Keterkaitan Antara Keimanan Dan Ketakwaan


Keimanan dan ketaqwaan tidak dapat dipisahkan dan pada hakikatnya
keduanya saling memerlukan. Artinya keimanan diperlukan manusia agar dapat
meraih ketakwaan. Karena setiap perbuatan atau amalan yang baik, akan diterima
oleh Allah tanpa didasari oleh Iman.
Semua bentuk ketakwaan seperti salat, puasa, zakat, dan haji
merupakan bagian dan kesempurnaan iman seseorang. Amal saleh tersebut
merupakan konsekuensi dari keimanan seseorang harus menterjemahkan
keyakinannya menjadi kongkret dan menjadi satu sikap budaya untuk
mengembangkan amal saleh.
Dalam Al-Qur’an ada ratusan ayat yang menggandengkan antara
“orang yang beriman” dengan “orang yang beramal saleh”. Iman dan amal saleh
atau iman dan takwa sangat dekat. Seolah hampa dan kosong iman seseorang
kalau tanpa amal saleh yang menyertainya. Yang secara kongkrit membuktikan
bahwa ada iman dalam hatinya. Iman adalah pondasi dasar seseorang hamba yang
menghendaki bangunan kesempurnaan taqwa dirinya.
Keterkaitan antara iman dan taqwa ini, juga disampaikan oleh
Rasulullah dalam sabdanya: “Al imanu’uryanun walibasuhu at-taqwa” (iman itu
telanjang dan pakaiannya adalah taqwa). Maksud hadits ini adalah iman harus
diikuti dengan melakukan amal saleh (taqwa). Iman tanpa disertai amal saleh
maka imannya masih telanjang tanpa pakaian.
Oleh karenanya, seseorang baru dinyatakan beriman dan taqwa
apabila telah punya keyakinan yang mantap dalam hati, kemudian mengucapkan
kalimat tauhid dan kemudian diikuti dengan mengamalkan semua perintah dan
meninggalkan segala larangan-Nya.

15
16
BAB 3

PENUTUP
3.1 KESIMPULAN

Berdasarkan makalah ini, kami dapat menyimpulkan bahwa konsep


Ketuhanan dapat diartikan sebagai kecintaan, pemujaan atau sesuatu yang
dianggap penting oleh manusia terhadap sesuatu hal (baik abstrak maupun
konkret). Filsafat Ketuhanan dalam Islam merupakan aspek ajaran yang
fundamental, kajian ini harus dilaksanakan secara intensif. Kata iman berasal dari
bahasa Arab, yaitu amina-yukminu-imanan, yang secara ethimologi berarti yakin
atau percaya. Sedangkan takwa berasal dari bahasa Arab, yaitu
waqa-yuwaqi-wiqayah, secara ethimologi artinya hati-hati, waspada, mawasdiri,
memelihara, dan melindungi. Pengertian Takwa secara terminologi dijelaskan
dalam Al-hadits, yang artinya menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi
segala larangan-Nya.
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh
manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya.
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “la illaha illa Allah”. Susunan kalimat
tersebut dimulai dengan peniadaan. Yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru
diikuti dengan penegasan “melainkan Allah”. Hal ini berarti bahwa seorang
muslim harus membersihkan diri dari segala macam Tuhan terlebih dahulu,
sehingga yang ada dalam hatinya hanya ada satu Tuhan yaitu Allah.

3.2 SARAN

Sebagai pemula di bangku perkuliahan, kami menyadari bahwa makalah


ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan
kritik yang bersifat membangun. Karena saran dan kritik itu akan bermanfaat bagi
kami untuk lebih memperbaiki atau memperdalam kajian ini.

17
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al Karim
Agung Sukses, Konsep Ketuhanan Dalam Islam,
http://agungsukses.wordpress.com/2008/07/24/konsep-ketuhanan-dalam-is
lam/
Kamal, Konsep Ketuhanan Dalam Filsafat Shadrian,
http://eurekamal.wordpress.com/2007/06/25/konsep-ketuhanan-dalam-fils
afat-shadrian/
Pringgabaya, Konsep Ketuhanan,
http://pringgabaya.blogspot.com/2011/01/konsep-ketuhanan.html
www.agungsukses.wordpress.com
www.qodirjae.wordpress.com/2008/05/20/keimanan-dan-ketaqwaan/
www.tafany.wordpress.com
www.wikipedia.com
www.sahabatilmu.blogspot.com
file:///C:/Users/Asus%20pc/Downloads/Filsafat%20Ketuhanan%20Dalam%20Isla
m%20_%20RUSLAN%20DARA%20SAMUEL.html
file:///C:/Users/Asus%20pc/Downloads/Pembuktian%20Wujud%20Tuhan.html

18

Anda mungkin juga menyukai