Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

ILMU PENYAKIT MATA

STRABISMUS ESOTROPIA

Oleh

Huseikha Velayazulfahd

030. 08. 122

Pembimbing:

Dr. Azrief Arhamsyah Ariffin, Sp. M

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA

RUMAH SAKIT DR. MARZOEKI MAHDI BOGOR

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA

PERIODE 4 NOVEMBER 2013- 7 DESEMBER 2013


BAB I

ILUSTRASI KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : An. Z
Umur : 4 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Tenjo Jaya, Cibitung Tengah, Bogor

II. Anamnesis
Secara alloanamnesis dan autoanamnesis pada tanggal 22 November 2013 di
Poliklinik Mata RSMM Bogor

a. Keluhan Utama
Mata kanan juling ke dalam

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien anak perempuan, berumur 4 tahun datang dengan keluhan mata kanan
juling kedalam sejak 2 bulan yang lalu. Mata kanan tidak dapat melirik ke luar ke atas
maupun ke bawah. Awalnya pasien mengalami trauma, dimana pasien masih sadar dan
memberitahukan orang tuanya mengenai trauma terjatuh yang dialaminya, tangan
kanan pasien sempat bengkak, 2 hari setelah terjatuh pasien mengalami demam dan
kejang kelojotan dan langsung dibawa ke rumah sakit.
Pasien dirawat di rumah sakit dengan penurunan kesadaran dan demam selama
8 hari. Selama perawatan timbul mata kiri pasien juling ke dalam disertai kelopak mata
kiri bengkak namun mata kanan normal tidak juling. Setelah pulang dari perawatan
rumah sakit mata kiri pasien sudah membaik dan tidak juling lagi, namun sejak itu pula
mata kanan pasien menjadi juling ke dalam hingga saat ini sudah 2 bulan tidak
membaik.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi obat – obatan dan makanan, operasi mata sebelumnya, penyakit
hipertensi, diabetes mellitus disangkal pasien.
Terdapat riwayat trauma 2 bulan yang lalu, namun tidak dapat diketahui mekanisme
trauma nya.
Terdapat riwayat kejang demam.

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada yang mengalami keluhan yang sama dalam keluarganya.

III. Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : Tidak tampak sakit
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital
Nadi : 80x/menit
Suhu : Afebris
Pernafasan : 22x/menit
Kepala : Normosefali
Mata : lihat status oftalmologi
THT
Telinga : Normotia, sekret -/-, serumen -/-
Hidung : Deviasi septum (-), sekret -/-
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis
Mulut : lidah kotor (-), tonsil tidak hiperemis T1-T1
Leher : Pembesaran KGB(-), tiroid tidak teraba membesar, trakea
lurus ditengah
Thoraks
Jantung : S1 – S2 regular, murmur (-), gallop (-)
Paru – paru : Suara nafas vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)
Abdomen : Supel, Bising usus (+), Nyeri tekan (-)

Ekstremitas
Atas : akral hangat, edema (-)
Bawah : akral hangat, edema (-)

IV. Status Oftalmologi

OD OS
Visus 1,0 1,0

Kedudukan Bola Mata

Posisis Esoforia Orthoforia

Palpebra

Edema - -
Luka Robek - -
Benjolan - -

Konjungtiva

Warna Jernih + +
Injeksi - -
Pigmen - -
Penebalan - -
Benda asing - -
Sekret - -
Edema - -

Kornea

Jernih + +
Benda asing - -
Infiltrat - -
sikatriks - -
Arkus senilis - -

Camera Oculi Anterior

Isi Normal Normal


Volume Normal Normal

Iris

Warna Coklat Coklat


Kripta + +

Pupil

Bentuk Bulat Bulat


Ukuran 3 mm 3 mm
Isokoria Isokor Isokor
RCL + +
RCTL + +

Lensa

Kejernihan Jernih Jernih

Pergerakan Bola Mata

Terbatas ke arah atas, kanan, Bebas ke segala arah


dan bawah.

Pemeriksaan Penunjang

Dengan menggunakan kartu snellen ditemukan:

VOD : 0,1
VOS : 0,1

V. Resume
Seorang pasien perempuan 4 tahun datang ke poliklinik mata RSMM dengan
keluhan mata kanan juling kedalam sejak 2 bulan yang lalu. Mata kanan gerakannya
terbatas dan terfiksasi di sisi nasal. Terdapat riwayat trauma dan kejang demam 2 bulan
yang lalu. Pasien dirawat di rumah sakit dengan penurunan kesadaran dan demam
selama 8 hari. Selama perawatan, mata kiri pasien juling ke dalam disertai bengkak
pada kelopak mata kiri, namun mata kanan normal. Setelah pualng dari perawatan mata
kiri membaik dan tidak juling lagi, namun mata kanan juling ke dalam hingga saat ini
sudah 2 bulan tidak membaik.

Pemeriksaan fisik : status generalis dalam batas normal

Oculus Dexter Oculus Sinister


1,0 VISUS 0,1
- KOREKSI -
Jernih KORNEA Jernih
Isi normal, Volume normal COA Isi normal, Volume normal
Coklat, Kripta (+) IRIS Coklat, Kripta (+)
Bulat, central, regular, PUPIL Bulat, central, regular,
d: 3mm, RCL/RCTL + d: 3mm, RCL/RCTL +
Jernih LENSA Jernih

VI. Diagnosis

OD Strabismus Esotropia

VII. Terapi

Non Farmakologis

 Edukasi
- Menjelaskan tentang penyakitnya, jelaskan kepada orang tua, bahwa penyakit
anaknya harus di terapi segera, karena dapat mengganggu sistem sensorik mata
dan prose belajar serta tumbuh kembang anak, selain itu menegaskan bahwa
kemungkinan diperlukan terapi secara pembedahan

Farmakologis : Vitamin dan nutrisi mata

Protagenta eye drop 4 tetes/hari ODS

Flumetholon eye dro 4 tetes/ hari OD

Prednison II/C

Optimax plus Syr 3x1/2

VIII. Prognosis

Ad Vitam : Ad bonam

Ad Sanationam : Dubia ad bonam ODS

Ad Visam : Dubia ad bonam


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan
Juling (strabismus) adalah suatu nama yang diberikan untuk ketidaksejajaran mata yang
biasanya persisten atau regular. Penderita strabismus tidak hanya terlihat penampilannya yang
jelek, gangguan visual yang berhubungan dengan juling kadang-kadang menjadi beban yang
sangat besar. Juling tidak hanya suatu cacat, tapi sering suatu gangguan visual yang berat.(1,2)
Esotropia merupakan juling ke dalam atau strabismus konvergen manifes dimana
sumbu penglihatan mengarah ke arah nasal. Esotropia akuisita dapat terjadi pada usia 1-8 tahun
dan tidak selalu respons dengan penggunaan kacamata jauh. Esotropia akuisita biasanya
muncul usia 2-5 tahun dan sering dihubungkan dengan penyakit penyebabnya.(3,4)
Esotropia akuisita terjadi 10,4% Dari seluruh esotropia di dunia. Adanya kelainan
organik sering menimbulkan strabismus. Hasil penelitian akhir-akhir ini menyatakan 11,52%
pasien dengan strabismus ada kelainan di segmen posterior matanya. Diagnosis yang banyak
adalah Toxoplasma khorioretinitis, morning glory anomaly, Toxocara retinopati, retinopati
premature, dan Coats disease.(4)
Esotropia diterapi dengan non bedah dan bedah. Pengobatan non bedah hanya untuk
memperbaiki kelainan refraksi dan mengatasi ambliopianya. Pembedahan dilakukan apabila
dengan pengobatan non bedah ambliopia masih tersisa deviasi yang cukup besar.(5)

A. Definisi
Strabismus atau juling merupakan keadaan tidak sejajarnya kedudukan kedua bola mata
karena tidak normal penglihatan binokuler atau anomali kontrol neuromuskuler gerakan
okuler. Strabismus dapat horizontal, vertikal, torsional, atau kombinasi Dari ketiganya.(1,2,5)
Esotropia adalah suatu penyimpangan sumbu penglihatan yang nyata dimana salah satu
sumbu penglihatan menuju titik fiksasi sedangkan sumbu penglihatan lainnya menyimpang
pada bidang horizontal ke arah medial.(2,5)
Esotropia adalah jenis strabismus yang paling sering ditemukan. Strabismus ini dibagi
menjadi dua tipe : paretik (akibat paresis atau paralysis satu atau lebih otot ekstraokular) dan
nonparetik (komitan). Esotropia nonparetik adalah tipe tersering pada bayi dan anak. Tipe ini
dapat akomodatif, nonakomodatif, atau akomodatif parsial. Strabismus paretik jarang dijumpai
pada anak tetapi merupakan penyebab tersering kasus baru strabismus pada orang dewasa.
Esotropia akuisita pada orang dewasa umumnya paretik yang disebabkan oleh kelemahan otot
rektus lateral akibat cedera saraf kranial keenam.(4)

B. Epidemiologi
Esotropia akuisita dapat terjadi pada usia 1-8 tahun dan tidak selalu respons dengan
penggunaan kacamata jauh. Esotropia akuisita biasanya muncul usia 2-5 tahun dan sering
dihubungkan dengan penyakit penyebabnya.(3,4)
Esotropia akuisita terjadi 10,4% Dari seluruh esotropia di dunia. Adanya kelainan
organik sering menimbulkan strabismus. Hasil penelitian akhir-akhir ini menyatakan 11,52%
pasien dengan strabismus ada kelainan di segmen posterior matanya. Diagnosis yang banyak
adalah Toxoplasma khorioretinitis, morning glory anomaly, Toxocara retinopati, retinopati
premature, dan Coats disease.(4)

C. Etiologi
Penyebab Esotropia adalah(3,6) :
 Faktor refleks dekat, akomodatif esotropia
 Hipertoni rektus medius konginetal
 Hipotoni rektus lateralis akuisita
 Penurunan fungsi penglihatan satu mata pada bayi dan anak

D. Gejala Klinis
a. Gejala Subjektif : mata juling ke dalam, bisa satu mata, bisa dua mata bergantian(6)
b. Gejala objektif : posisi bola mata menyimpang ke arah nasal(6)

Gambar 1. Gambar Esotropia4


E. Klasifikasi
Esotropia nonakomodatif
a. Esotropia infantilis (kongenital)
"Bawaan" berarti dari lahir dan, menggunakan definisi yang ketat, sebagian besar bayi
dilahirkan dengan mata yang tidak selaras saat lahir. Hanya 23% bayi dilahirkan dengan mata
lurus. Pada kebanyakan kasus, satu mata atau yang lain benar-benar berubah ke luar selama
periode neonatal. Dalam tiga bulan pertama mata secara bertahap datang ke penyelarasan
konsisten lebih sebagai koordinasi dari dua mata bersama sebagai sebuah tim berkembang.
Hal ini umum bagi bayi untuk tampil seolah-olah mereka telah esotropia, atau berbelok
ke dalam mata, karena jembatan hidung belum sepenuhnya dikembangkan. Ini penampilan
palsu atau simulasi dari balik batin dikenal sebagai epicanthus. Selama bayi tumbuh, dan
jembatan menyempit sehingga sclera terlihat di sisi dalam, mata akan tampak lebih normal.(4,7)
Esotropia bawaan yang benar adalah berbalik ke dalam dengan jumlah yang besar, dan
terjadi pada anak-anak dengan jumlah sedikit, tetapi bayi tidak akan tumbuh dari giliran ini.
Esotropia kongenital biasanya muncul antara usia 2 dan 4 bulan(4,7)
Hampir separuh dari semua kasus esotropia termasuk dalam kelompok ini. Pada
sebagian besar kasus, penyebabnya tidak jelas. Deviasi konvergen telah bermanifestasi pada
usia 6 bulan. Deviasinya bersifat comitant, yakni sudut deviasi kira-kira sama dalam semua
arahpandangan dan biasanya tidak dipengaruhi akomodasi. Dengan demikian, penyebab tidak
berkaitan dengan kesalahan refraksi atau bergantung pada paresis otot ekstraokular. Sebagian
besar kasus mungkin disebabkan oleh gangguan kontrol persarafan, yang mengenai jalur
supranukleus untuk konvergensi dan divergensi serta hubungan sarafnya ke fasikulus
longitudinal medialis. Sebagian kecil kasus disebabkan oleh variasi anatomik misalanya
anomali insersi otot-otot yang bekerja horizontal, ligamentum penahan abnormal atau berbagai
kelainan fasia lainya(2).
Juga terdapat banyak bukti bahwa strabismus dapat diturunkan secara genetis. Esoforia
dan esotropia sering diwariskan sebagai sifat dominan autosom. Saudara kandung mungkin
mengalami deviasi mata yang sama. Sering terdapat unsur akomodatif pada esotropia comitant,
yakni koreksi kesalahan refraksi hiperopik berkurang tetapi tidak menghilangkan semua
deviasi(2).
Deviasi itu sendiri sering besar (≥40o) dan biasanya comitant. Abduksi mungkin
terbatas, tetapi dapat terjadi. Setelah usia 18 bulan, dapat diamati ada deviasi vertikal. Yakni,
kerja berlebihan otot-otot oblikus atau disosiasi deviasi vertikal. Mungkin dijumpai nistagmus,
mansfestasi maupun laten. Kesalahan refraksi yang paling sering dijumpai adalah hipertropia
sedang(2).
Mata yang tampak lurus adalah mata yang digunakan untuk melakukan fiksasi. Hampir
selalu, mata tersebut adalah mata yang memiliki penglihatan yang lebih baik atau kesalahan
refraksi yang lebih rendah (atau keduanya). Apabila terdapat anisometropia, mungkin juga
terdapat ambliopia. Apabila dalam waktu yang berlaianan mata yang digunakan untuk fiksasi
berbeda-beda, pasien dikatakan memperlihatkan fiksasi berselang seling spontan; dalam hal
ini, penglihatan kedua mata mungkin samaatau hampi sama. Pada sebagian kasus, preferensi
mata ditentukan oleh arah pandangan. Misalnya, pada esotropia skala besar, terdapat
kecenderungan pasien menggunakan mata kanan sewaktu memandang ke kiri dan mata kiri
untuk memandang ke kanan (fiksasi silang)(2)
Esotropia infantilis diterapi secara bedah. Terapi awal non bedah dapat diindikasikan
untuk memastikan hasil terbaik yang dapat dicapai. Perlu ditekankan bahwa amblioplia harus
diterapi secara penuh sebelum dilakukan tindakan bedah. Pada kesalahan refraksi hipertropik
3 D atau lebih harus dicoba penggunaan kacamata untuk menentukan apakah penurunan
akomodasi menimbulkan efek positif terhadap deviasi. Sebagai alternatif untuk penggunaan
kacamata, dapat digunakan miotika(2).
Tindakan bedah biasanya diindikasikan setelah terapi medis dan terapi ambliopia
dilakukan. Setelah dicapai perbaikan terukur, tindakan bedah harus segera dilakukan karena
terdapat banyak bukti bahwa semakin cepat mata disejajarkan hasil sensorik yang diperoleh
akan lebih baik. Banyak prosedur yang telah dianjurkan, tetapi 2 yang paling populer, yakni(2):
1. Pelemahan otot rektus medialis
2. Reseksi otot rektus medialis dan reseksi otot lateralis mata yang sama
b. Esotropia nonakomodatif yang didapat
Jenis esotropia ini timbul pada anak, biasanya setelah usia 2 tahun. Hanya sedikit atau
tidak terdapat faktor akomodatif. Sudut strabismus sering lebih kecil daripada yang terdapat
pada esotropia infantilis tetapi dapat meningkat seiring dengan waktu. Di luar hal itu, temuan
klinis sama seperti yang terdapat pada esotropia konginetal. Terapi adalah tindakan bedah dan
mengikuti petunjuk yang samaseperti untuk esotropia konginetal2.
Esotropia akomodatif
Esotropia akomodatif terjadi apabila terdapat mekanisme akomodasi fisiologik normal
disertai respon konvergensi berlebihan tetapi divergensi fusional yang relatif inufisiensi untuk
menahan mata tetap lurus. Tetapi dua mekanisme patologik yang bekerja, bersama-sama atau
tersendiri(2) :
1. Hiperopia yang cukup tinggi, yang memerlukan banyak akomodasi(dan dengan demikian
konvergensi) untuk memperjelas bayangan sehingga timbul esotropia
2. Rasio KA/A yang tinggi, yang disertai hiperopia ringan samapi sedang

a. Esotropia akomodatif hiperopia


Esotropia akomodatif akibat hiperopia biasanya mulai timbul pada usia 2-3 bulan tetapi
dapat muncul lebih dini atau lambat. Sebelum terapi, deviasi bervariasi. Kacamata disertai
refraksi sikloplegik penuh memungkinkan mata sejajar.

b. Esotropia akomodatif akiabat rasio KA/A yang tinggi


Pada esotropia akomodatif akibat rasio konvergensi akomodatif terhadap akomodasi
(rasio KA/A) yang tinggi, deviasi lebih besar pada penglihatan dekat daripada penglihatan jauh.
Kesalahan refraksinya adalah hiperopia. Terapi adalah kacamata dengan refraksi siklopegik
penuh ditambah bifokal atau miotik untuk menghilangkan deviasi berlebihan pada penglihatan
dekat(2).

Esotropia Akomodasi Parsial


Dapat terjadi suatu mekanisme campuran , sebagian ketidakseimbangan otot dan
sebagian ketidakseimbangan akomodasi/konvergensi. Walaupun terapi akomodasi
menurunkan sudut deviasi, namu esotropianya sendiri tidak menghilang. Tindakan bedah
dilakukan untuk komponen nonakomodatif deviasi dengan pilihan posedur bedah seperti
dijelaskan untuk esoropia infantilis(2).

Esotropia paretik (Incomitant) Kelumpuhan Abducens


Pada strabismus incomitant, selalu terdapat satu atau lebih otot ekstraokular yang
paretik. Pada kasus esotropia incomitant, paresis biasanya mengenai satu atau kedua otot rectus
lateralis, biasanya akibat kelumpuhan saraf abducens. Kasus-kasus ini sering dijumpai pada
orang dewasa yang mengidap hipertensi sistemik atau diabetes, tetapi kelumpuhan saraf
abducens kadang-kadangdapat merupakan tanda awal suatu tumor atau peradangan yang
mengenai susunan saraf pusat. Karena itu, tanda-tanda neurologik terkait sangat penting
diperhatikan. Trauma kepala adalah penyebab lain kelumpuhan abducens yang terjadi(2).
Esotropia incomitan juga dijumpai pada bayi dan anak, tetapi jauh lebih jarang
dibandingkan esotropia comitant. Kasus-kasus ini terjadi akibat cedera persalinan yang
mengenai otot secara langsung, akibat cedera pada saraf, atau tang lebih jarang, akibat anomali
konginetal otot rektus lateralis atau perlekatan fasianya(2)
Apabila otot rektus lateralis mengalami paralisis total, mata tidak dapat berabduksi
melewati garis tengah. Gambaran khas esotropia lebih besar pada jarak jauh daripada jarak
dekat dan lebih besar pada sisi yang terkena. Paresis otot rektus lateralis kanan menyebabkan
esotropia yang menjadi lebih besar sewaktu memandang ke kanan dan, apabila paresisnya
ringan sedikit atau tidak terjadi deviasi sewaktu memandang ke kiri(2).
Apabila dalam 6-8 minggu setelah onset paresis tidak terdapat tanda-tanda perbaikan,
dapat diberikan suntikan toksin botulinum tipe A ke dalam otot rektus medialis antagonis yang
mungkin bermanfaat atau bahkan menyembuhkan pada kasus-kasus ringan. Pada kasus yang
lebih parah, penyuntikan akan memperkecil kemungkinan kontraktur otot antagonis. Apabila
tidak timbul perbaikan setelah 6 bulan, perlu dilakukan tindakan bedah. Apabila sedikit atau
tidak terdapat kontraktur otot rektus medialis, diindikasikan tindakan rersesi otot tersebut
disertai reseksi besar otot rektus lateralis yang paresis. Untuk paralisis abduksi total, insersi
otot rektus inferior dan superior dapat diubah ke insersi otot rektus lateralis, dan otot rektus
medialis dapat diresesi atau dilumpuhkan sementara dengan toksin Bottulinum A. Penggunaan
jahitan yang dapat disesuaikan memungkinkan bedah resesi otot dilakukan secara halus
sehingga diperoleh daerah penglihatan binokular tunggal terluas. Abduksi otot yang paretik
akan selalu terbatas(2).

F. Diagnosis
 Anamnesis
Pertanyaan yang lengkap dan cermat tentang riwayat sakit sangat membantu dalam
menentukan, diagnosis, prognosis dan pengobatan strabismus. Dalam hal ini perlu
ditanyakan(5) :

a. Riwayat keluarga : biasanya strabismus diturunkan secara autosomal dominan.

b. Umur pada saat timbulnya strabismus : karena makin awal timbulnya strabismus makin
jelek prognosisnya.

c. Timbulnya strabismus : mendadak, bertahap, atau berhubungan dengan penyakit


sistemik.

d. Jenis deviasi : bagaimana pasien menyadari strabismusnya? Bagaimana penglihatan


dekatnya? Kapan matanya terasa lelah? Apakah pasien menutup matanya jika terkena
sinar matahari? Apakah matanya selalu dalam keadaan lurus setiap saat? Apakah
derajat deviasinya tetap setiap saat?

e. Fiksasi : apakah selalu berdeviasi satu mata atau bergantian?


 Inspeksi
Dengan inspeksi sudah dapat ditentukan apakah strabismusnya konstan atau hilang timbul
(intermitten), berganti-ganti (alternan) atau menetap (nonalternan),dan berubah-ubah
(variable) atau tetap (konstan). Harus diperhatikan pula ptosis terkait dan posisi kepala yang
abnormal. Derajat fiksasi masing-masing secara terpisah atau bersama-sama. Adanya
nistagmus menunjukkan bahwa fiksasinya buruk dan tajam penglihatannya menurun.(5)

 Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan


Tajam penglihatannya harus diperiksa walaupun secara kasar untuk membandingkan tajam
penglihatan kedua mata. Kedua mata diperiksa sendiri-sendiri, karena dengan uji binokular
tidak akan bisa diketahui kekaburan pada satu mata. Untuk anak-anak yang masih sangat muda,
yang bisa dilakukan kadang-kadang hanya berusaha agar mata bisa memfiksasi atau mengikuti
sasaran (target). Sasaran dibuat sekecil mungkin disesuaikan dengan usia, perhatian, dan
tingkat kecerdasannya. Jika dengan menutup satu mata anak tersebut melawan, sedang dengan
menutup mata yang lain tidak melawan, maka mata yang penglihatannya jelek adalah yang
ditutup tanpa perlawanan. Pada uji titik (dot test), anak yang diperiksa disuruh menaruhkan
jari-jarinya pada sebuah titik yang ukurannya telah dikalibrasi. Ini adalah uji kuantitatif paling
awal yang dikerjakan secara berkala (dimulai pada umur 2-2 ½ tahun). Pada umur 2 ½ - 3
tahun anak sudah mampu mengenali dan mengerjakan uji gambar-gambar kecil (kartu Allen).
Umumnya anak umur 3 tahun sudah bisa melakukan permainan “E” (E-game) yaitu dengan
kata snellen konvensional dengan huruf E yang kakinya ke segala arah dan sianak
menunjukkan arah kaki huruf E tersebut dengan jari telunjuknya.(5)
Tajam penglihatan dan kemampuan visual bayi lainnya dapat ditentukan dengan metode
melihat apa yang disukai anak (preferential looking method), yang didasarkan pada kebiasaan
bayi yang lebih menyukai melihat lapangan yang telah dipola (diberi corak) atau melihat
lapangan yang seragam.

 Pemeriksaan Kelainan Refraksi


Memeriksa kelainan refraksi dengan retinoskop memakai sikloplegik adalah sangat penting.
Obat baku yang digunakan agar sikloplegia sempurna adalah atropine. Bisa diberikan dalam
bentuk tetes mata atau salep mata 0,5 % atau 1 % beberapa kali sehari selama beberapa hari.
Pemberian atropine pada anak-anak usia sekolah sangat tidak disukai karena sikloplegianya
berlangsung lama sampai 2 minggu sehingga mengganggu pelajaran sekolah. Pada semua umur
bisa digunakan homatropin 5 % atau siklopentolat 1 atau 2 % dan hasilnya baik.(5,7)

 Menentukan Besar Sudut Deviasi

A. Uji Prisma dan Penutupan(5)


 Uji penutupan (cover test)
 Uji membuka penutup (uncover test)
 Uji penutup berselang seling (alternate cover test)
Penutup ditaruh berselang seling didepan mata yang pertama dan kemudian mata yang lain.
Uji ini memperlihatkan deviasi total (heterotropia dan heteroforia).
 Uji penutupan plus prisma Untuk mengukur deviasi secara kuantitatif, diletakkan prisma dengan
kekuatan yang semakin tinggi dengan kekuatan satu atau kedua mata sampai terjadi netralisasi
gerakan mata pada uji penutup berselang-seling. Misalnya untuk mengukur esodeviasi penuh,
penutup dipindah-pindahkan sementara diletakkan prisma dengan kekuatan base out yang
semakin tinggi didepan salah satu atau kedua mata sampai gerakan re-fiksasi horizontal dicapai
oleh mata yang deviasi.(5)

Gambar 2 : Uji Tutup


B. Uji Objektif
Uji prisma dan uji tutup bersifat objektif, karena tidak diperlukan laporan –
laporan pengamatan sensorik dari pasien. Namun diperlukan kerjasama dan tajam penglihatan
yang utuh. Uji batang Maddox bersifat subjektif, Karena nilai akhir pelaporan berdasarkan
laporan pengamatan sensorik pasien.
Pada kasus dimana pasien dalam keadaan bingung atau tidak kooperatif,
mungkin tidak respon terhadap uji ini. Cara-cara penentuan klinis posisi mata yang tidak
memerlukan pengamatan sensorik pasien (uji objektif) jauh kurang akurat, walaupun kadang-
kadang masih bermanfaat.
Terdapat dua metode yang sering digunakan yang bergantung pada pengamatan posisi
reflek cahaya oleh kornea, yakni (5):

1. Metode Hirschberg
Pasien disuruh melihat sumber cahaya pada jarak 33 cm kemudian lihat pantulan cahaya pada
kedua kornea mata.
1) Bila letaknya ditengah berarti tidak ada deviasi
2) Bila letaknya dipinggir pupil maka deviasinya 15 º
3) Bila letaknya dipertengahan antara pupil dan limbus maka deviasinya 30 º
4) Bila letaknya dilimbus maka deviasinya 45 º

2. Metode Refleksi Prisma (modifikasi uji krimsky)


Penderita memfiksasi pada cahaya dengan jarak sembarangan. Prisma ditaruh didepan mata
sedang deviasi. Kekuatan prisma yang diperlukan agar refleksi kornea pada mata yang juling
berada ditengah-tengah pupil menunjukkan besarnya sudut deviasi.

Gambar 3: Uji Refleks Prisma Krimsky


 Duksi (rotasi monokular)
Satu mata ditutup dan mata yang lain mengikuti cahaya yang digerakkan kesegala arah
pandangan, sehingga adanya kelemahan rotasi dapat diketahui. Kelemahan seperti ini bisa
karena paralisis otot atau karena kelainan mekanik anatomik.
 Versi (gerakan Konjugasi Okular)
Uji untuk Versi dikerjakan dengan mata mengikuti gerakan cahaya pada jarak 33 cm dalam 9
posisi diagnosis primer – lurus kedepan; sekunder – kekanan, kekiri keatas dan kebawah;
dan tersier – keatas dan kekanan, kebawah dan kekanan, keatas dan kekiri, dan kebawah
dan kekiri. Rotasi satu mata yang nyata dan relative terhadap mata yang lainnya
dinyatakan sebagai kerja-lebih (overreaction) dan kerja –kurang (underreaction).
Konsensus : pada posisi tersier otot-otot obliq dianggap bekerja-lebih atau bekerja-kurang
berkaitan dengan otot-otot rektus pasangannya. Fiksasi pada lapangan kerja otot paretik
menyebabkan kerja-lebih otot pasangannya, karena diperlukan rangsangan yang lebih
besar untuk berkontraksi. Sebaliknya, fiksasi oleh mata yang normal akan menyebabkan
kerja-kurang pada otot yang paretik.
 Pemeriksaan Sensorik
1) Uji stereopsis
Digunakan kaca sasaran Polaroid untuk memilahkan rangsangan. Sasaran yang dipantau secara
monokular hampir-hampir tidak bisa dilihat kedalamannya. Stereogram titik-titik acak
(random stereogram) tidak memiliki petunjuk kedalaman bila dilihat monocular.
Lapangan titik-titik secara acak (A field of random dots) terlihat oleh mata masing-masing
tetapi hubungan titik ke titik yang sesuai antara 2 sasaran adalah sedemikian rupa sehingga
bila ada stereopsis akan tampak suatu bentuk yang terlihat stereoskopis(5).
2) Uji supresi
Adanya supresi bisa ditunjukkan dengan uji 4 titik Worth. Gagang pencoba dengan 4 lensa
merah didepan satu mata dan lensa hijau didepan mata yang lain. Ditunjukkan senter
dengan bulatan-bulatan merah, hijau dan putih. Bulatan-bulatan berwarna ini adalah tanda
untuk persepsi mata masing-masing dan bulatan putih yang bisa dilihat kedua mata dapat
menunjukkan adanya diplopia. Pemilahan bulatan-bulatan dan jaraknya Dari mata,
menentukan luasnya retina yang diperiksa. Daerah fovea dan daerah perifer dapat
diperiksa dengan jarak dekat atau jauh(5).
3) Uji kelainan Korespondensi retina
Kelainan korespondensi retina dapat ditentukan dengan dua cara(5) :
1. dengan menunjukkan bahwa salah satu fovea tidak tegak lurus didepannya
2. dengan menunjukkan bahwa titik retina perifer pada satu mata dan fovea mata lainnya
mempunyai arah yang bersamaan.

4) Uji kaca beralur Bagolini


Uji ini merupakan uji metode yang kedua. Kaca bening dengan alur-alur halus yang arahnya
berbeda tiap-tiap mata ditempatkan didepan mata. Kondisi uji sedapat mungkin mendekati
penglihatan normal. Terlihat sebuah titik sumber cahaya dan seberkas sinar tegak lurus
pada arah alur. Jika unsur retina perifer mata yang berdeviasi menunjuk berkas cahaya
melalui titik sumber cahaya maka berarti ada kelainan korespondensi retina(5).

G. Diagnosis Banding
Pseudosetropia karena epikantus yang lebar(4)

H. Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatannya adalah mengembalikan efek sensorik yang hilang karena
strabismus (ambliopia, supresi, dan hilangnya stereopsis), dan mempertahankan mata yang
telah membaik dan telah diluruskan baik secara bedah maupun non bedah. Pada orang dewasa
dengan strabismus akuisita, tujuannya adalah mengurangi deviasi dan memperbaiki
penglihatan binokular tunggal.
 Pengobatan non-bedah
a. Terapi oklusi : mata yang sehat ditutup dan diharuskan melihat dengan mata yang ambliop
b. Kacamata : perangkat optik terpenting dalam pengobatan strabismus adalah kacamata yang
tepat. Bayangan yang jelas di retina karena pemakaian kacamata memungkinkan mekanisme
fusi bekerja sampai maksimal. Jika ada hipermetropia tinggi dan esotropia, maka esotropianya
mungkin karena hipermetropia tersebut (esotropia akomodatif refraktif).
c. Obat farmakologik
1. Sikloplegik – Sikloplegik melumpuhkan otot siliar dengan cara menghalangi kerja asetilkolin
ditempat hubungan neuromuskular dan dengan demikian mencegah akomodasi. Sikloplegik
yang digunakan adalah tetes mata atau salep mata atropin biasanya dengan konsentrasi 0,5%
(anak) dan 1% (dewasa).(4)
2. Miotik – Miotik digunakan untuk mengurangi konvergensi yang berlebihan pada esotropia
dekat, yang dikenal sebagai rasio konvergensi akomodatif dan akomodasi (rasio KA/A) yang
tinggi. Obat yang biasa digunakan adalah ekotiofat iodine (Phospholine iodide) atau isoflurat
(Floropryl), yang keduanya membuat asetikolinesterase pada hubungan neuromuskular
menjadi tidak aktif, dan karenanya meninggikan efek impuls saraf.(5)
3. Toksin Botulinum – Suntikan toksin Botulinum A ke dalam otot ekstraokular menyebabkan
paralisis otot tersebut yang kedalaman dan lamanya tergantung dosisnya.
 Pengobatan Bedah
Memilih otot yang perlu dikoreksi : tergantung pengukuran deviasi pada berbagai arah
pandangan. Biasanya yang diukur adalah jauh dan dekat pada posisi primer, arah pandangan
sekunder untuk jauh, dan arah pandangan tersier untuk dekat, serta pandangan lateral ke kedua
sisi untuk dekat(4).
Reseksi dan resesi – Cara yang paling sederhana adalah memperkuat dan
memperlemah. Memperkuat otot dilakukan dengan cara yang disebut reseksi. Otot dilepaskan
dari mata, ditarik sepanjang ukuran tertentu dan kelebihan panjang otot dipotong dan ujungnya
dijahit kembali pada bola mata, biasanya pada insersi asal. Resesi adalah cara melemahkan otot
yang baku. Otot dilepaskan dari bola mata, dibebaskan dari perlekatan-perlekatan fasial, dan
dibiarkan menjadi retraksi. Kemudian dijahit kembali pada bola mata dibelakang insersi asal
pada jarak yang telah ditentukan.(4)
BAB III

3.1 Kesimpulan
1. Esotropia adalah suatu penyimpangan sumbu penglihatan yang nyata dimana salah satu sumbu
penglihatan menuju titik fiksasi sedangkan sumbu penglihatan lainnya menyimpang pada
bidang horizontal ke arah medial.
2. Penyebab Esotropia adalah faktor refleks dekat, akomodatif esotropia, hipertoni rektus
medius kongenetal, hipotoni rektus lateralis akuisita, penurunan fungsi penglihatan satu mata
pada bayi dan anak
3. Gejala klinis esotropia adalah posisi bola mata menyimpang ke arah nasal.
4. Diagnosis dapat ditegakan dengan anamnesa, inspeksi, pemeriksaan ketajaman penglihatan,
pemeriksaan kelainan refraksi, mengukur sudut deviasi.
5. Diagnosis banding yaitu Pseudosetropia.
6. Penata laksanaan esotropia yaitu pengobatan non bedah dan bedah.
DAFTAR PUSTAKA

1. Dharma S, Safwan. Juling dan hubungannya dengan berbagai macam gangguan


penglihatan pada anak. Dalam : The 4th Sumatera Ophthalmology Meeting. Padang, 4-
7 Januari 2006

2. Vaughan D, Asbury T. 1992. Oftalmologi Umum. Jilid 2. Edisi II. Yogyakarta: Widya
Medika

3. Ilyas S, Mailangkay, Hilaman T dkk. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Jakarta :
Sangung Seto, 2009.

4. Pascotto A. Acquired esotropia. E-Medicine. Internet file :


http://www.emedicine.com/OPH/topic 145.htm
5. Rusdianto. Diagnosis dan manajemen mikrostrabismus. The 4th Sumatera
Ophthalmology Meeting. Padang, 4-7 Januari 2006
6. Hamidah, Djiwatmo, Indriaswati L. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Surabaya: SMF
Ilmu Penyakit Mata RSUD Dr Soetomo, 2006

7. American Academy of Ophtalmology, Pediatric Ophtalmology and Strabismus.


Section 6. San Fransisco: American Academy of Ophtalmology, 2008.

Anda mungkin juga menyukai