Lapkas Kegawatdaruratan - Hipoglikemi (Dr. Ade Irwan Yantomi)
Lapkas Kegawatdaruratan - Hipoglikemi (Dr. Ade Irwan Yantomi)
HIPOGLIKEMI
Oleh
Pembimbing
RS BHAYANGKARA
PEKANBARU
2018
LEMBAR PENGESAHAN
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul Hipoglikemi +
Low Intake.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat menyelesaikan Program Internsip
Dokter Indonesia di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Riau.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada supervisor kami dr. Dani
Rosdiana Sp.PD, dr. Chunin Widyaningsih dan AKBP dr. Khodijah MM yang telah meluangkan
waktu dan memberi masukan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga penulis dapat
menyelesaikannya dengan baik.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan.Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan dalam penulisan
laporan kasus selanjutnya.Semoga laporan kasus ini bermanfaat.Akhir kata penulis mengucapkan
terima kasih.
Penulis
3
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI........................................................................................................ 4
4
DAFTAR GAMBAR
5
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN :
Nama : Tn.W
Usia : 63 tahun
RMK : 00.64.14
B. ANAMNESIS
Pasien datang ke IGD RS Bhayangkara karena lemas dan berkeringat sejak 2 jam SMRS.
Sebelumnya pasien diketahui merasa pusing dan tidak nafsu makan sejak beberapa hari
terakhir. Mual(-), muntah (-) GDS 38 gr/dl setelah 30 menit di cek ulang GDS 95 gr/dl. BAB
dan BAK normal. Dari penuturan keluarganya beberapa hari terakhir pasien hanya makan
sedikit. Dua hari sebelumnya pasien dirawat di RS Bhayangkara karena keluhan lemas yang
berkepanjangan, dan didiagnosa mengalami hipoglikemia.
Pasien pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya dan dirawat di RS Bhayangkara.
Riwayat pengobatan :
6
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Apatis
Tanda vital:
Nadi : 90x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 35,1 oC
Antropometri
BB : 65kg
TB : 166 cm
IMT : 23
Status generalis:
Kepala : Normocephal,
Hidung : Mukosa hipertrofi (-/-), hiperemis (-/-), sekret (-/-), Konka inferior eutrofi
7
Pulmo :
Jantung :
Auskultasi : Bunyi jantung I & II murni, regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen:
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+), tidak teraba adanya benjolan, hepar dan lien
tidak teraba.
Perkusi : timpani
Ekstremitas :
Ekstr. Atas : Akral dingin, RCT< 2 detik, edema (-/-), ikterik (-)
Ekstr. Bawah : Akral dingin, RCT< 2 detik, edema (-/-), ikterik (-)
8
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Cor-membesar kearah lateral kiri dengan apek tertanam pada diafragma, pinggir jantung
mendatar.
Pulmo : DBN
9
2/3-2018 05.00 181
17.00 159
3/03- 06.00 174
2018
116
Nilai
PEMERIKSAAN 28/02-18 Satuan
Rujukan
4.300 –
Leukosit 6700 /L
10.400
10
E. RESUME
Pasien laki-laki 63 tahun datang dengan lemas sejak 2 jam SMRS, pasien merupakan
penderita DM tipe II . Sebelumna diketahui pasien tidak nafsu makan selama 1 hari sebelumnnya
Demam (-) mual (-), muntah (-), BAB dan BAK (t.a.k.). Dua hari sebelumnya pasien dirawat di
RS Bhayangkara di diagnosis Hipoglikemi.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien yang menurun disertai dengan
disorientasi. Nyeri tekan epigastrium (+), edema tungkai (-),
Nadi : 80x/menit
Respirasi : 22 x/menit
Suhu : 35,51 oC
IMT : 23
FOLLOW UP
Tanggal S O A P
28 Kesadaran Sens : apatis Hipoglikemi IVFD D10% :
Maret menurun, TD: 120/80 mmhg + Low Intake D5% :
2018 Nafsu S : 35,6 C 2A(tergantung
makan RR : 22 x/mnt gds)
menurun, N : 98 x/mnt
lemas(+) GDS Inj Odn 4mg/8jam
BAB (-) 01.00=78 mg/dl
07.00=77mg/dl Inj omz /24 jam
11
01 Kesadaran Kes: Apatis Hipoglikemi
Maret menurn TD:120/80 mmhg + Low Intake IVFD D10% :
2018 namun S : 35,2C D5% :
lebih baik RR : 21 x/mnt 2A(tergantung
disbanding N : 80 x/mnt gds)
kemarin,
lemas(+) GDS Inj Odn 4mg/8jam
06.00=86mg/dl
11.00=169mg/dl Inj omz /24 jam
17.00=174mg/dl
Thoraks: Cek gds / 12jam
Vesikuler(+/+), Ronkhi
(-/-)
Abdomen:
BU (+) normal
Ekstremitas:
Akral hangat (+),
CRT<2’’
12
03 Maret Kesadaran Kes: composmentis Hipoglikemi - Aff Infus
2018 membaik, TD : 110/80 mmhg + Low intake
- Pasien berobat
Lemas (-) S : 36,9 C
RR : 20 x/mnt jalan
N : 80 x/mnt
GDS
01.00=130mg/dl
06.00=174mg/dl
Thoraks:
Vesikuler(+/+), Ronkhi
(-/-)
Abdomen:
BU (+) normal
Ekstremitas:
Akral hangat (+),
CRT<2’’
Prognosis
13
F. ASSESMENT
1. Hipoglikemia,
Hipoglikemia pada pasien ini ditegakkan berdasarkan data yang didapatkan dari
anamnesis. Pasien datang dengan keluhan lemas dan berkeringat, setelah di cek GDS 38
mg/dl. Keluarga pasien juga mengatakan 2 hari seblumnya pasien baru pulang dari RS
Bhayangkara dengan diagnosis Hipoglikemi.
Setelah dilakukan observasi selama 30 menit dilakukan pengecekan gula darah, didapatkan
GDS 95 mg/dl..
Rencana perawatan :
- Ruang perawatan biasa
- Oksigenasi kanul 2 liter/menit
- Hidrasi dengan D40% 1kolf + D10% maintenence
- Lakukan protocol penanganan hipoglikemia
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
15
Klasifikasi
Pada diabetes, hipoglikemia juga didefinisikan sesuai dengan gambaran klinisnya.
Hipoglikemia akut menunjukkan gejala dari Triad Whipple merupakan panduan klasifikasi klinis
hipoglikemia yang bermanfaat. Triad tersebut meliputi : 1,2
a. Keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa darah yang rendah.
b. Kadar glukosa darah yang rendah (< 3 mmol/L, hipoglikemia pada diabetes).
c. Hilangnya secara cepat keluhan-keluhan sesudah kelainan biokimia dikoreksi.
Akan tetapi pada pasien diabetes dan insulinoma dapat kehilangan kemampuannya untuk
menunjukkan atau mendeteksi keluhan dini hipoglikemia. Dengan menambah kriteria klinis pada
pasien diabetes yang mendapat terapi, hipoglikemia akut dibagi menjadi hipoglikemia ringan,
sedang dan berat (tabel 1).1
Tabel 1. Klasifikasi Klinis Hipoglikemia Akut.1
Ringan Simtomatik, dapat diatasi sendiri, tidak ada
gangguan aktivitas sehari-hari yang nyata.
Sedang Simtomatik, dapat diatasi sendiri,
menimbulkan gangguan aktivitas sehari-
hari yang nyata.
Berat Sering (tidak selalu) tidak simtomatik,
karena ganguan kognitif pasien tidak
mampu mengatasi sendiri.
II. 2 Epidemiologi
Karena definisi yang digunakan berbeda perbandingan kekerapan kejadian hipoglikemia
dari berbagai studi harus dilakukan dengan hati-hati. Sangat bermanfaat untuk mencatat
kekerapan kejadian hipoglikemia agar pengaruh berbagai regimen terapi terhadap timbulnya
hipoglikemia dan ciri-ciri klinik yang menyebabkan pasien beresiko dapat dibandingkan. Dalam
The Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) yang dilaksanakan pada pasien diabetes
tipe 1, kejadian hipoglikemia berat tercatat pada 60 pasien/tahun pada kelompok yang mendapat
terapi insulin intensif dibandingkan dengan 20 pasien/tahun pada pasien yang mendapat terapi
konvensional. Sebaliknya dengan kriteria yang berbeda kelompok the Dusseldorf mendapat
16
kejadian hipoglikemia yang berat didapatkan pada 28 dengan terapi insulin intensif dan 17
dengan terapi konvensional.1
Walaupun tidak menyenangkan, hipoglikemia yang ringan seringkali hanya dianggap
sebagai konsekuensi terapi menurunkan glukosa yang tidak dapat dihindari. Walaupun demikian,
hipoglikemia ringan tidak boleh diabaikan karena potensial dapat diikuti kejadian hipoglikemia
yang lebih berat.1
II. 3 Etiologi
Pada pasien diabetes hipoglikemia timbul akibat peningkatan kadar insulin yang kurang
tepat, naik sesudah penyuntikan insulin subkutan atau karena obat yang menyebabkan
meningkatkan sekresi insulin seperti sulfonilurea. Oleh sebab itu dijumpai saat-saat dan keadaan
tertentu dimana pasien diabetes mungkin mengalami kejadian hipoglikemia. Sampai saat ini
pemberian insulin masih belum sepenuhnya dapat menirukan pola sekresi insulin yang fisiologis.
Makan akan meningkatkan glukosa darah dalam beberapa menit dan mencapai puncak sesudah 1
jam. Bahkan insulin yang bekerjanya paling cepat, bila diberikan subkutan belum mampu
menirukan kecepatan peningkatan kadar puncak tersebut dan berakibat menghasilkan puncak
konsentrasi insulin 1-2 jam sesudah disuntikan. Oleh sebab itu pasien rentan terhadap
hipoglikemia sekitar 2 jam sesudah makan sampai waktu makan yang berikutnya. Oleh sebab itu
waktu dimana resiko hipoglikemia paling tinggi adalah saat menjelang makan berikutnya dan
malam hari.1
Hampir setiap pasien yang mendapat terapi insulin dan sebagian besar pasien yang
mendapat sulfonilurea, pernah mengalami keadaan dimana kadar insulin di sirkulasi tetap tinggi
sementara kadar glukosa darah sudah dibawah normal. Untuk menghindari timbulnya
hipoglikemia pada pasien perlu diajarkan bagaimana menyesuaikan penyuntikan insulin dengan
waktu dan jumlah makanan (karbohidrat), pengaruh aktivitas jasmani terhadap kadar glukosa
darah, tanda-tanda dini hipoglikemia dan cara penanggulangannya. Resiko hipoglikemia terkait
dengan penggunaan sulfonilurea dan insulin.1
Pada pasien diabetes tipe 2 kejadian hipoglikemia berat jauh lebih sedikit. Dari the United
Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS), pada kadar HbA1c yang setara dengan DCCT
dalam 10 tahun pertama kejadian hipoglikemia berat dengan terapi klorpropamid timbul pada
17
0,4%, glibenklamid 0,6% dan insulin 2,3%. Kejadian hipoglikemia berat juga meningkat dengan
penggunaan insulin yang makin lama.1
18
II. 4 Proteksi Fisiologi Melawan Hipoglikemia
Mekanisme kontra regulator. Glukagon dan epinefrin merupakan 2 hormon yang disekresi
pada kejadian hipoglikemia akut. Glukagon hanya bekerja dihati. Glukagon mula-mula
meningkatkan glikogenolisis dan kemudian glukoneogenesis. Epineferin selain meningkatkan
glikogenolisis dan glukoneogenesis dihati juga menyebabkan lipolisis dijaringan lemak serta
glikogenolisis dan proteolisis diotot. Gliserol, hasil lipolisis, serta asam amino merupakan bahan
baku glukogenesis.1
Epinefrin juga meningkatkan glukoneogenesis di ginjal yang pada keadaan tertentu
merupakan 25% produksi glukosa tubuh. Pada keadaan hipoglikemia yang berat, walaupun kecil
hati juga menunjukkan kemampuan otoregulasi.1
Kortisol dan growth hormone berperan pada keadaan hipoglikemia yang berlangsung lama,
dengan cara melawan kerja insulin dijaringan perifer serta meningkatkan glukoneogenesis.
Defisiensi growth hormone dan kortisol pada individu menimbulkan hipoglikemia yang
umumnya ringan.1
Bila sekresi glukagon dihambat secara farmakologis, pemulihan kadar glukosa setelah
hipoglikemia yang diinduksi insulin berkurang sekitar 40%. Bila sekresi glukagon dan epinefrin
dihambat sekaligus pemulihan glukosa tidak terjadi.1
Sel β pankreas terhadap hipoglikemia adalah dengan menghambat sekresi insulin dan
turunnya kadar insulin didalam sel β berperan dalam sekresi glikagon oleh sel α. Studi
eksperimental pada hewan menunjukkan bahwa respon fisiologi utama terhadap hipoglikemia
terletak dineuron hipotalamus ventromedial (VMH). Neuron-neuron di VMH responsive
terhadap glukosa, sebagian responsive terhadap hipoglikemia.1
Neuron-neuron tersebut diproyeksi kearea yang berkaitan dengan aktivitas pituitary adrenal
dan system simpatis. Tampaknya respon fisiologiutama terhadap hipoglikemia terjadi sesudah
neuron-neuron di VMH yang sensitive terhadapglukosa teraktivasi dan kemudian mengaktifkan
system saraf otonomik dan melepaskan hormone-hormon kontra regulator.1
19
II. 5 Keluhan dan Gejala Hipoglikemi
Faktor utama mengapa hipoglikemia menjadi penting dalam pengelolaan diabetes adalah
ketergantungan jaringan saraf terhadap asupan glukosa yang terus menerus. Gangguan asupan
glukosa yang berlangsung beberapa menit menyebabkan gangguan system saraf pusat, dengan
gejala gangguan kognisi, bingung, dan koma. Seperti jaringan yang lain, jaringan saraf dapat
memanfaatkan sumber energy alternative, yaitu keton dan laktat. Pada hipoglikemia yang
disebabkan oleh insulin, konsentrasi keton di plasma tertekan dan mungkin tidak mencapai kadar
yang cukup di SSP, sehingga tidak dapat dipakai sebagai sumber energy alternative.1
Pada individu yang mengalami hipoglikemia, respon fisiologi terhadap glukosa darah tidak
hanya membatasi makin parahnya metabolisme glukosa, tetapi juga menghasilkan berbagai
keluhan dan gejala yang khas. Petugas kesehatan, pasien dan keluarganya belajar mengenai
keluhan dan gejala tersebut sebagai episode hipoglikemia dan dapat segera melakukan tindakan-
tindakan koreksi dengan memberikan glukosa oral atau bentuk karbohidrat “refined” yang lain.
Kemampuan mengenali gejala awal sangat penting bagi pasien diabetes yang mendapat terapi
insulin yang ingin mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah normal atau mendekati
normal. Terdapat keluhan yang menonjol diantara pasien maupun pada pasien itu sendiri pada
waktu yang berbeda. Walaupun demikian pada umumnya keluhan biasanya timbul dalam pola
tertentu, sesuai komponen fisiologis dan respon fisiologis yang berbeda.1
Tabel 3. Keluhan dan gejala hipoglikemia akut yang sering dijumpai pada pasien diabetes.1.3
Otonomik Neuroglikopenik Malaise
Berkeringat Bingung Mual
Jantung berdebar Mengantuk Sakit kepala
Tremor Sulit berbicara
Lapar Inkoordinasi
Perilaku yang berbeda
Gangguan visual
Parestesi
20
Pada pasien diabetes yang masih relative baru, keluhan dan gejala yang terkait dengan
system saraf otonomik seperti palpitasi, tremor, atau berkeringat yang lebih menonjol dan
biasanya mendahului keluhan dan gejala disfungsi serebral yang disebabkan oleh
neuroglikopeni, seperti gangguan konsentrasi atau koma. Sakit kepala dan mual mungkin bukan
merupakan keluhan malaise yang khas. Pada pasien diabetes yang lama intensitas keluhan
otonomik cenderung berkurang atau menghilang. Hal tersebut menunjukkan kegagalan yang
progresif aktivasi system saraf otonomik. 1
Pengenalan hipoglikemia
Respon pertama pada saat kadar glukosa turun di bawah normal adalah peningkatan akut
sekresi hormone caunter-regulatory (glukosa dan epinefrin): batas glukosa tersebut adalah 65-68
mg% (3,6-3,8 mmol/L). Lepasnya epinefrin menunjukkan aktivasi system simpatoadrenal. Bila
kadar glukosa tetap turun sampai 3,2 mmol/L, gejala aktivasi otonomik mulai tampak. Fungsi
kognisi, yang diukur dengan kecepatan reaksi dan berbagai fungsi psikomotor yang lain, mulai
terganggu pada kadar glukosa 3 mmol/L, pada individu yang masih mempunyai kesiagaan
(awareness) hipoglikemia, aktivasi system simpatoadrenal terjadi sebelum disfungsi serebral
21
yang bermakna timbul pasien-pasien tersebut tetap sadar yang mempunyai kemampuan kognitif
yang cukup untuk melakukan tindakan koreksi yang diperlukan.1
22
Pada diagnose DM dibuat, respon glukosa terhadap hipoglikemia umumnya normal. Pada
pasien DMT 1 mulai turun sesudah menderita diabetes 1-2 tahun dan sesudah 5 tahun hampir
semua pasien mengalami gangguan atau kehilangan respon. Penyebabnya sampai saat ini belum
diketahui pasti tetapi tampaknya tidak berkaitan dengan neuropati otonomik atau kendali glukosa
darah yang ketat. Sel alfa secara selektif gagal mendeteksi adanya hipoglikemia dan tidak dapat
menggunakan hipoglikemia sebagai rangsangan untuk mensekresi glukagon, walaupun sekresi
yang glukagon masih dapat dirangsang oleh perangsang lain seperti alanin. Hipotesis yang paling
meyakinkan adalah gangguan tersebut timbul akibat terputusnya paracrine-insulin cross-talk
didalam islet cell, akibat produksi insulin endogen yang turun.1
Pada diabetes yang sudah lama sering dijumpai respon simpatoadrenal yang berkurang
walaupun dengan tingkat gangguan yang bervariasi. Respon epinefrin terhadap rangsangan yang
lain, seperti latihan jasmani tampaknya normal. Seperti pada gangguan respon glukagon,
kelainan tersebut merupakan kegagalan mengenal hipoglikemia yang selektif.1
Pasien diabetes dengan respon glukagon dan epinefrin yang berkurang paling rentan
terhadap hipoglikemia. Hal tersebut terkait dengan hipoglikemia yang tidak disadari karena
hilangnya glucose counter regulation dan gangguan respon simpatoadrenal.1
23
Tabel 4. Keadaan klinis yang terkait dengan hipoglikemia yang tidak disadari (Heller,
2003)
Keadaan klinis Kemungkinan mekanisme
Diabetes yang lama Tidak diketahui
Hipoglikemia yang berulang
merusak neuron glukosensitif
Kendali metabolic yang ketat Regurgitasi transport glukosa
neuronal yang meningkat
Peningkatan kortisol dengan akibat
gangguan jalur utama transmisi
neuron
Alcohol Penekanan respon otonomi respon
Gangguan kognisi
Episode nocturnal Tidur menyebabkan gejala awal
hipoglikemia tidak diketahui
Posisi berbaring mengurangi respon
simpatoadrenal
Kemampuan abstrak belum cukup
Usia muda (anak)
Perubahan perilaku
Gangguan kognisi
Usia lanjut
Respon otonomik berkurang
Sensitivitas adrenergic berkurang
3. Alkohol
Pasien dan kerabatnya harus diberi informasi tentang potensi bahayanya alkohol. Alkohol
meningkatkan kerentanan tehadap hipoglikemia awareness. Episode hipoglikemia sesudah
meminum alkohol mungkin lebih lama dan berat dan mungkin karena dianggap mabuk
hipoglikemia tidak dikenali oleh pasien atau kerabatnya.1
24
4. Usia muda dan usia lanjut
Pasien diabetes anak, remaja dan usia lanjut rentan terhadap hipoglikemia. Anak umumnya
tidak mengenal atau melaporkan keluhan hipoglikemia dan kebiasaan yang kurang teratur serta
aktivitas jasmani yang sulit diramalkan menyebabkan hipoglikemia menjadi masalah yang besar
bagi anak. Otak yang sedang tumbuh sangat rentan terhadap hipoglikemia. Episode hipoglikemia
yang berulang terutama yang disertai kejang dapat mengganggu kemampuan intelektual anak di
kemudian hari.1
Keluhan hipoglikemia pada usia lanjut sering tidak diketahui, dan mungkin dianggap
sebagai keluhan-keluhan pusing atau serangan iskemia yang sementara. Hipoglikemia akibat
sulfonilurea tidak jarang, terutama sulfonilurea yang bekerja lama seperti glibenklamide. Pada
usia lanjut respon otonomik cenderung turun dan sensitifitas perifer epinefrin juga berkurang.
Pada otak yang menua gangguan kognitif mungkin terjadi pada hipoglikemia yang ringan.1
Pada anak dan usia lanjut sasaran kendali glikemia sebaiknya tidak terlalu ketat dan oleh
sebab itu dosis insulin perlu disesuaikan. Lebih lanjut disarankan agar sulfonilurea yang bekerja
lama tidak digunakan pada pasien DMT 2yang berusia lanjut.1
Obat penghambat β (β-blocking agent) yang tidak selektif sebaiknya tidak digunakan
karena menghambat lepasnya glukosa hati yang dimediasi oleh reseptor β2, penghambat β yang
selektif dapat digunakan dengan aman.1
25
2. Stadium lanjut (koma hipoglikemi atau tidak sadar + curiga hipoglikemi)
a. Berikan larutan dextrose 40% sebanyak 2 flakon (= 50 ml) bolus intravena
b. Diberikan cairan dextrose 10% per infuse. 6 jam per kolf
c. Periksa GD sewaktu, kalau memungkinkan dengan glukometer.
Bila GDs < 50 mg/dl, bolus dextrose 40% 50 ml IV
Bila GDs < 100 mg/dl, tambah bolus dextrose 40% 25ml IV
d. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian dextrose 40% :
Bila GDs < 50 mg/dl , tambah bolus dextrose 40% 50 ml IV
Bila GDs < 100 mg/dl, bolus dextrose 40% 25 ml IV
Bila GDs 100-200 mg/dl, tanpa bolus dextrose 40%
Bila GDs >200 mg/dl, pertimbangkan menurunkan kecepatan drip dextrose 10%.
e. Bila GDs >100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 2 jam,
dengan protocol sesuai diatas. Bila GDs > 200mg/dl, pertimbangkan mengganti
infuse dextrose 5% atau NaCl 0,9%.
Glukosa oral
Sesudah diagnosa hipoglikemia ditegakkan dengan pemeriksaan glukosa darah kapiler, 10-
20 g glukosa oral harus segera diberikan. Idealnya dalam bentuk tablet, jelly atau 150-200 ml
minuman yang mengandung glukosa seperti jus buah segar dan non diet cola. Sebaiknya coklat
manis tidak diberikan karena lemak dalam coklat dapat menghambat absorpsi glukosa. Bila
belum ada jadwal makan dalam 1-2 jam perlu diberikan tambahan 10-20 g karbohidrat
kompleks.1
Bila pasien mengalami kesulitan menelan dan keadaan terlalu gawat, pemberian madu atau
gel glukosa lewat mukosa rongga mulut mungkin dapat dicoba.1
26
Glukagon intramuscular
Glukagon 1 mg intramuscular dapat diberikan oleh tenaga professional yang terlatih dan
hasilnya akan tampak dalam 10 menit. Kecepatan kerja glukagon tersebut sama dengan
pemberian glukosa intravena. Bila pasien sudah sadar pemberian glukagon harus diikuti dengan
pemberian glukosa oral 20 g dan dilanjutkan dengan pemberian 40 g karbohidrat dalam bentuk
tepung untuk mempertahankan pemulihan. Pada keadaan puasa yang panjang atau hipoglikemia
yang diinduksi alkohol, pemberian glukagon mungkin tidak efektif. Efektivitas glukagon
tergantung dari stimulasi glikogenolisis yang terjadi.1
Glukosa intravena
Glukosa intravena harus diberikan dengan hati-hati. Pemberian glukosa dengan konsentrasi
50% terlalu toksik untuk jaringan dan 75-100 ml glukosa 20% atau 150-200 ml glukosa 10%
dianggap lebih aman. Ekstravasi glukosa 50% dapat menimbulkan nekrosis yang memerlukan
amputasi.1
27
B. DIABETES MELITUS
1. Defnisi
Diabetes mellitus, DM (bahasa Yunani: diabaínein, tembus atau pancuran air) (bahasa
Latin: mellitus, rasa manis) yang juga dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit kencing gula
adalah kelainan metabolis yang disebabkan oleh banyak faktor, dengan simtoma berupa
hiperglisemia kronis dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein.
Diabetes melitus merupakan suatu sindrom dengan terganggunya metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein yg disebabkan oleh berkurangnya sekresi insulin Tu penurunan
sensitivitas jaringan tehadap insulin.
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes melitus merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. (ADA. 2010)
Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan sesuatu
yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum dapat
dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari
sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi
insulin.
Klasifikasi DM ( Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011)
28
2. Epidemiologi
Tingkat prevalensi dari DM adalah tinggi, diduga terdapat sekitar 10 juta kasus diabetes
di USA dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus baru serta 75 % penderita DM
akhirnya meninggal karena penyakit vaskuler. Penyakit ini cenderung tinggi pada negara
maju dari pada negara sedang berkembang, karena perbedaan kebiasaan hidup. Dampak
ekonomi jelas terlihat akibat adanya biaya pengobatan dan hilangnya pendapatan.
Disamping konsekuensi finansial karena banyaknya komplikasi seperti kebutaan dan
penyakit vaskuler. Perbandingan antara wanita dan pria yaitu 3 : 2, hal ini kemungkinan
karena faktor obesitas dan kehamilan.
Menurut WHO prevalensi DM diperkirakan akan meningkat dari 8,4 juta tahun 2000
menjadi 21,2 juta lebih pada tahun 2030
3. Patofisiologi
a. DM Tipe I
Pada Diabetes tipe I terdapat ketidak mampuan pankreas menghasilkan insulin karena
hancurnya sel-sel beta pulau langerhans. Dalam hal ini menimbulkan hiperglikemia
puasa dan hiperglikemia post prandial.
Dengan tingginya konsentrasi glukosa dalam darah, maka akan muncul glukosuria
(glukosa dalam darah) dan ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit
yang berlebihan (diuresis osmotic) sehingga pasien akan mengalami peningkatan
dalam berkemih (poliurra) dan rasa haus (polidipsia).
Defesiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak sehingga terjadi
penurunan berat badan akan muncul gejala peningkatan selera makan (polifagia).
Akibat yang lain yaitu terjadinya proses glikogenolisis (pemecahan glukosa yang
disimpan) dan glukogeonesis tanpa hambatan sehingga efeknya berupa pemecahan
lemak dan terjadi peningkatan keton yangdapat mengganggu keseimbangan asam
basa dan mangarah terjadinya ketoasidosis.
29
b. DM Tipe II
Terdapat dua masalah utama pada DM Tipe II yaitu resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Normalnya insulin akan berkaitan pada reseptor kurang dan meskipun
kadar insulin tinggi dalam darah tetap saja glukosa tidak dapat masuk kedalam sel
sehingga sel akan kekurangan glukosa. Mekanisme inilah yang dikatakan sebagai
resistensi insulin. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya
glukosa dalam darah yang berlebihan maka harus terdapat peningkatan jumlah insulin
yang disekresikan. Namun demikian jika sel-sel beta tidak mampu mengimbanginya
maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadilah DM tipe II.
4. Manifestasi Klinik
a. Poliuria
Kekurangan insulin untuk mengangkut glukosa melalui membrane dalam sel
menyebabkan hiperglikemia sehingga serum plasma meningkat atau hiperosmolariti
menyebabkan cairan intrasel berdifusi kedalam sirkulasi atau cairan intravaskuler, aliran
darah ke ginjal meningkat sebagai akibat dari hiperosmolariti dan akibatnya akan terjadi
diuresis osmotic (poliuria).
b. Polidipsia
Akibat meningkatnya difusi cairan dari intrasel kedalam vaskuler menyebabkan
penurunan volume intrasel sehingga efeknya adalah dehidrasi sel. Akibat dari dehidrasi
sel mulut menjadi kering dan sensor haus teraktivasi menyebabkan seseorang haus terus
dan ingin selalu minum (polidipsia).
c. Poliphagia
Karena glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat dari menurunnya kadar insulin maka
produksi energi menurun, penurunan energi akan menstimulasi rasa lapar. Maka reaksi
yang terjadi adalah seseorang akan lebih banyak makan (poliphagia).
30
5. Diagnostik
Langkah-Langkah Diagnostik DM (Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2
di Indonesia 2011)
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis
tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM,
pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (wholeblood),
vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka
kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan
pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler.
(IPD FKUI.2009 dan Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011)
31
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke
dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung dari hasil yang diperoleh.
a. TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa
plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL (7.8-11.0 mmol/L).
b. GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5.6 – 6.9 mmol/L).
32
6. Penatalaksanaan Diabetes Melitus
(Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011)
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa
waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan
intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin.
Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung
kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya
ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria,
insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan
gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien, sedangkan
pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat
pelatihan khusus.
Pilar Penatalaksanaan DM :
a. Edukasi
b. Terapi Gizi medis
c. Latihan Jasmani
d. Intervensi Farmakologi
Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi
aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju
perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan
edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi
33
Intervensi Farmakologi
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan
pengaturan makan dan latihan jasmani.
34
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari
2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati.
C. Penghambat glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di
samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang
diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung).
Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut
dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.
D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai
efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek
samping hipoglikemia. Efek samping yangpaling sering ditemukan ialah kembung dan
flatulens.
35
Cara Pemberian OHO, terdiri dari 1:
a. OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar
glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal
b. Sulfonilurea generasi I & II : 15 –30 menit sebelum makan
c. Glimepirid : sebelum/sesaat sebelum makan
d. Repaglinid, Nateglinid : sesaat/ sebelum makan
e. Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
f. Penghambat glukosidase α (Acarbose) : bersama makan suapan pertama
g. Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.
F:1-2x/hari a.c
F:3x/hari a.c
F:1-3x/hari
p.c/bersama mkn
36
No. Golongan Mekanisme kerja Dosis dan sediaan ES-KI
F:1x sehari
F:3x bersama
suapan I
(Farmakologi FKUI.2009)
2. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
a. Penurunan berat badan yang cepat
b. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
c. Ketoasidosis diabetik
d. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
e. Hiperglikemia dengan asidosis laktat
f. Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
g. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
h. Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
i. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
j. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
37
Efek samping terapi insulin
a. Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
b. Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bab komplikasi akut DM.
c. Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
1. Waktu kerja insulin (onset), yaitu waktu mulai timbulnya efek insulin sejak disuntikan.
2. Puncak kerja insulin, yaitu waktu tercapainya puncak kerja insulin.
3. Lama kerja insulin (durasi), yaitu waktu dari timbulnya efek insulin sampai hilangnya
efek insulin.
Terdapat 4 buah insulin eksogen yang diproduksi dan dikategorikan berdasarkan puncak dan
jangka waktu efeknya. Berikut keterangan jenis insulin eksogen :
38
2. Insulin Eksogen kerja sedang.
Bentuknya terlihat keruh karena berbentuk hablur-hablur kecil, dibuat dengan
menambahkan bahan yang dapat memperlama kerja obat dengan cara memperlambat
penyerapan insulin kedalam darah. Yang dipakai saat ini adalah Netral Protamine
Hegedorn ( NPH ),MonotardÒ, InsulatardÒ. Jenis ini awal kerjanya adalah 1.5 – 2.5 jam.
Puncaknya tercapai dalam 4 – 15 jam dan efeknya dapat bertahan sampai dengan 24 jam.
3. Insulin Eksogen campur antara kerja cepat & kerja sedang (Insulin premix)
Yaitu insulin yang mengandung insulin kerja cepat dan insulin kerja sedang. Insulin ini
mempunyai onset cepat dan durasi sedang (24 jam). Preparatnya: Mixtard 30 / 40
39
Cara pemberian insulin
IV, IM, SC
Infus ( Glukosa / elektrolit )
Jangan bersama darah ( mengandung enzim merusak insulin )
Pemberian insulin secara sliding scale dimaksudkan agar pemberiannya lebih efisien dan tepat
karena didasarkan pada kadar gula darah pasien pada waktu itu. Gula darah diperiksa setiap 6
jam sekali.
40
Keto-Asidosis Diabetikum
Adalah kondisi dekompensasi metabolik akibat defisinesi insulin absolut atau relatif dan
merupakan komplikasi akut DM yang serius. Gambaran klinisnya hiperglikemia, ketosis dan
asidosis metabolik.
Diagnosis
- Keluhan poliuri, polidipsi
- Riwayat berhenti menyuntik insulin
- Demam/infeksi
- Muntah
- Nyeri perut
- Kesadaran : CM, delirium, koma
- Pernapasan Kussmaul
- Dehidrasi
- Syok hipovolemik
Kriteria diagnosis
- Kadar Glc : >250 mg/dl
- pH : <7,35
- HCO3- : rendah
- Anion gap : tinggi
- Keton serum : positif dan atau ketonuria
Pemantauan :
- Gula darah : tiap jam
- Na+, K+, Cl- : tiap 6 jam selama 24 jam, selanjutnya sesuai keadaan
- AGD : bila pH < 7 saat masuk maka diperiksa setiap 6 jam s.d.pH >7,1.
Selanjutnya setiap hari sampai pasien stabil.
- Pemeriksaan lain sesuai indikasi : kultur darah, kultur urin, kultur pus.
Terapi
Akses iv 2 jalur, salah satunya dicabang dengan 3 way
I. Cairan :
41
- NaCl 0,9% diberikan kurang lebih 1-2 L pada 1 jam pertama, lalu kurang lebih 1 L pada
jam kedua, lalu ± 0,5 L pada jam ketiga dan keempat, dan ± 0,25 L pada jam kelima dan
keenam, selanjutnya sesuai kebutuhan
- Jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar 5 L
- Jika Na + > 155 mEq/L maka ganti cairan dengan NaCl 0,45 %
- Jika GD < 200 mg/dl maka ganti cairan dengan Dextrose 5 %
II. Insulin (reguler insulin = Rl )
- Diberikan setelah 2 jam rehidrasi cairan
- Rl bolus 180 mU/KgBB IV dilanjutkan
- Rl drip 90 mU/kgBB/jam dalam NaCL 0,9 %
- Jika GD < 200 mg/dl : kecepatan dikurangi maka Rl drip 45 mU/kgBB/jam dalam NaCl
0,9 %
- Jika GD stabil 200-300 mg/dl selama 12 jam maka Rl drip 1-2 U/jam IV, disertai sliding
scale setiap 6 jam
- GD RI
(mg/dl) (unit, subkutan)
<200 0
200-500 5
250-300 10
300-350 15
>350 20
- Jika kadar GD ada yang <100 mg/dl : drip Rl dihentikan
- Setelah sliding scale tiap 6 jam, dapat diperhitungkan kebutuhan insulin sehari maka
dibagi 3 dosis sehari subkutan, sebelum makan (bila pasien sudah makan)
III. Kalium
- Kalium (K Cl) drip dimulai bersamaan dengan drip Rl, dosisb50 mEq/6 jam. Syarat :
tidak ada gagal ginjal, tidak ditemukan gelombang T yang lancip dan tinggi pada EKG,
dan jumlah urin cukup adekuat
- Bila kadar K+ pada pemeriksaan elektrolit kedua :
<3,5 : drip KCl 75 mEq/6 jam
3,0-4,5 : drip KCl 50 mEq/6 jam
42
4,5-6,0 : drip KCl 25 mEq/6 jam
>6,0 : drip dihentikan
- Bila sudah sadar, diberikan K+ oral selama seminggu
IV. Natrium Bikarbonat
Drip 100 mEq bila pH <7,0, disertai KCl 26 mEq drip
50 mEq bila pH 7,0-7,1, disertai KCl 13 mEq drip
Juga diberikan pada asidosis laktat dan hiperkalemi yang mengancam.
V. Tatalaksana Umum
- Oksigen bila PO2 < 80 mmHg
- Antibiotika adekuat
- Heparin : bila ada KID atau hiperosmolar ( >380 mOsm/L) terapi disesuaikan dengan
pemantauan klinis
- Tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, temperatur setiap jam
- Kesadaran setiap jam
- Keadaan hidrasi (turgor, lidah) setiap jam
- Produksi urin setiap jam, balans cairan
- Cairan infus yang masuk setiap jam\
Dan pemantauan labpratorik (lihat pemeriksaan penunjang)
43
KESIMPULAN
44
DAFTAR PUSTAKA
2. Canadian acquired pneumonia working group. 2000. Canadian guidelines for the initial
management of community acquired pneumonia and evidence based up date by the
canadian thoracic society. Clin Infect Dis;31: 383-421
3. Fauci. 2009. Harrison’s manual of Medicine 17th ed:Pneumonia. North America: Mc Graw
Hill
4. Gerberding JL, Sande MA. 2000. Infection Diseases of the lung:Textbook of respiratory
medicine. Philadelphia:WB Saunders Co
6. Infectious Disease Society of America (IDSA). 2000. Practice guidelines for management
community-acquired pneumonia in adults. Clin Infect Dis;31:347-82
8. Nathwani D. 1998. Sequential switch therapy for lower respiratory tract infections.
Chest;113:211s-218s
9. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). 1995. Badan Litbang Depkes RI. Jakarta
10. Sabatine, Marc S. 2008. Pocket medicine 3rd ed:Pneumonia. Philadelphia: Lippincott &
Wilkins
11. Sylvia A, Loraine M. patofisiologi : Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit vol. 2 ed. 6.
Jakarta : EGC, 2005
12. Zul, Dahlan. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II ed. IV:Pneumonia.
Jakarta:FKUI
13. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2003. Pneumonia Komuniti. Jakarta:FKUI
45
- Lily ismudiati rilanto dkk, (2001). Buku Ajar Kardiologi, penerbit Fakultas Kedokteran
Unversitas Indonesia, Gaya Baru Jakarta.
- Arthur C. Guyton, dkk. 2006. “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”. Edisi 9. Jakarta : EGC
- Sylvia A. Price, dkk. 2006. “Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit”. Edisi 6.
Volume 2. Jakarta : EGC
46