Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

TUBERCULOSIS PARU DAN DRUG INDUCED

PEMBIMBING :
dr. Yunita Sp.P

Disusun Oleh :
dr. Marlene Harmon Kamil

INTERNSHIP
RSUD LAWANG
PERIODE FEBRUARI- AGUSTUS 2022
MALANG

i
DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PENGESAHAN...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1
BAB II KASUS................................................................................................................................2
I. IDENTITAS PASIEN.....................................................................................................2
II. ANAMNESIS.................................................................................................................2
III. PEMERIKSAAN FISIK.................................................................................................4
A. Status Tanda Vital........................................................................................................4
B. Status Generalis............................................................................................................4
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG....................................................................................6
X. PENATALAKSANAAN..............................................................................................10
XI. PROGNOSIS................................................................................................................11
BAB III TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................12
BAB IV ANALISIS KASUS.........................................................................................................13
BAB V KESIMPULAN................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................15

i
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Hingga saat ini, tuberkulosis masih menjadi penyakit infeksi menular yang
paling berbahaya di dunia. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa
sebanyak 1,5 juta orang meninggal karena TB (1.1 juta HIV negatif dan 0.4 juta HIV
positif) dengan rincian 89.000 laki-laki, 480.000 wanita dan 140.000 anak-anak.(1)
Saat ini beberapa Obat Anti Tuberkulosis (OAT) digunakan dalam bentuk
gabungan atau kombinasi untuk pengobatan TB. Obat Anti Tuberkulosis mempunyai 2
tingkatan, yaitu OAT utama (first line) dan obat TB lain (second line). Obat Anti
Tuberkulosis utama adalah rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol dan streptomisin
setiap hari selama 6-9 bulan. Meskipun obat anti TB (OAT) memiliki kemampuan
bakteriosidik dan bakteriostatik terhadap Mycobacterium tuberculosis, namun OAT juga
menginduksi berbagai efek samping, termasuk hepatotoksis, reaksi kulit, gangguan
gastrointestinal dan gangguan neurologis. Drug-induced liver injury (DILI) atau jejas hati
imbas OAT merupakan salah satu efek samping utama yang penting dan serius yang
hampir mencapai angka 7% dibandingkan efek samping yang lain. Selain itu, DILI dapat
menurunkan efektivitas terapi TB, menyebabkan penurunan kepatuhan minum obat, dan
akan mengarah pada kegagalan terapi, timbulnya kekambuhan, dan timbulnya resistensi
obat.(2)
Drug-induced liver injury adalah kerusakan hati yang berkaitan dengan gangguan
fungsi hati yang disebabkan oleh terpajan obat. The Food and Drug Administration (FDA)
dan The Center for Biologics Evaluation and Research (CBER) mendefinisikan drug-
induced hepatitis sebagai kerusakan hati yang ditandai dengan peningkatan level alanin
aminotransferase (ALT/SGPT) lebih dari tiga kali batas atas nilai normal dan peningkatan
level alkali fosfatase (ALP) lebih dari dua kali dari batas atas nilai normal atau
peningkatan level bilirubin total lebih dari dua kali dari batas atas nilai normal jika
berkaitan dengan peningkatan alanin aminotransferase atau alkali fosfatase.
Penatalaksanaan drug-induced liver injury dengan cara menghentikan obat penyebab
terjadinya kerusakan hati, diikuti monitoring kondisi klinis dan indikator kerusakan hati
secara laboratorium. Beberapa penulis menyarankan menghentikan obat-obatan
hepatotoksik jika ALT meningkat tiga kali atau lebih dibandingkan dengan normal.(3)

1
BAB II
KASUS

Nama : Marlene Harmon Kamil


Pembimbing : dr.Yunita Sp.P

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. E Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 26 tahun Suku Bangsa : Jawa
Tempat/Tanggal Lahir : Malang, 28-03-1996 Agama : Islam
Pendidikan : SMA Status pasien : BPJS
Alamat : Sumberngepoh, Lawang No. RM : 117227

II. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis
Lokasi : Poliklinik RSUD Lawang
Tanggal Berkunjung : 23 Maret 2022
Keluhan utama : Mual dan muntah sejak 2 hari SMRS

Keluhan tambahan :
- Muntah saat makan sejak 2 hari SMRS
- Badan terasa lemas dan pusing sejak 5 hari SMRS
- Penurunan nafsu makan sejak 5 hari SMRS

2
A. Riwayat Penyakit Sekarang
Ny. E, usia 26 datang ke poli RSUD lawang pada tanggal 23 maret 2022
dengan keluhan mual dan muntah berisi makanan dan air sejak 2 hari SMRS
karena merasakan rasa pahit di mulut. Pasien juga mengalami penurunan nafsu
makan sejak saat itu, sehingga pasien makan hanya sedikit-sedikit dan sering
minum air saja. Nyeri perut dirasakan pada regio epigastrik. Pasien sudah
mengkonsumsi obat anti mual, tetapi mual tetap dirasakan. Sebelumnya pasien
merasakan lemas dan pusing sejak 5 hari SMRS. BAK dan BAB dalam batas
normal.
Saat ini pasien sedang menjalani pengobatan Tuberkulosis Paru aktif. Saat ini
pasien merasakan mual, tetapi tidak ada muntah. Pasien mengkonsumsi Obat
levofloxacin, Rifampisin, INH, Etambutol,PZA, Heparin.
B. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan mempunyai riwayat LBP dengan pengobatan yang belum
tuntas. Selain itu pasien tidak memiliki riwayat Diabetes Mellitus, Hipertensi
dan Hepatitis sebelumnya.

C. Riwayat Kebiasaan dan Pengobatan


Pasien tidak merokok, tidak mengkonsumsi alkohol, dan jarang berolahraga

D. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien merupakan pasien BPJS. Pasien bekerja sebagai Karyawan Swasta.
Kebutuhan sehari-hari dipenuhi oleh pasien itu sendiri.

3
III. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis

A. Status Tanda Vital


 Keadaan Umum
Kesan Sakit : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
 Tanda Vital
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 94 x/menit
Suhu : 36,9°C
Pernapasan : 20 x/menit
Berat badan : 52 kg

B. Status Generalis
 Kepala :
Normocephali, rambut berwarna hitam, dan tidak mudah dicabut.
 Mata :
Pupil bulat isokor, refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak
langsung (+/+), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
 Hidung :
Bentuk normal, septum deviasi (-), rgani (-), nafas cuping hidung (-)
 Telinga :
Normotia, nyeri tekan (-/-)
 Mulut :
Bibir merah, simetris, sianosis (-), trismus (-), sariawan (-)
 Lidah :
Normoglossia, warna merah muda, lidah kotor (-), deviasi (-)
 Uvula :
Letak di tengah, hiperemis (-)
 Tonsil :
T1/T1, hiperemis (-), kripti melebar (-), detritus (-)
 Tenggorokan :

4
Arkus faring simetris, dinding faring posterior hiperemis (-), post nasal drip (-),
penebalan jaringan limfoid (-)
 Leher :
Bentuk simetris, hiperemis (-), penonjolan vena jugularis (-), massa (-) KGB
tidak membesar, kelenjar tiroid tidak membesar, trakea letak normal
 Thoraks (Paru & Jantung) :
 Inspeksi : Bentuk dada normal, simetris pada saat statis dan dinamis,
deformitas dinding dada (-), jaringan parut (-), bekas luka operasi (-),
pulsasi abnormal (-), gerak napas simetris, precordial bulging (-)
 Palpasi : pergerakan toraks simetris saat statis dan dinamis, massa (-), nyeri
tekan (-), vocal fremitus simetris, ictus cordis tidak terlihat
 Perkusi : Sonor di semua lapang paru, batas jantung normal
 Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-, Bunyi Jantung
S1 normal, S2 normal, regular, murmur (-). Gallop (-)
 Abdomen
 Inspeksi : Tidak terdapat luka bekas operasi
 Auskultasi : Bising usus (+)
 Palpasi : Nyeri Tekan pada daerah epigastrium (+)
 Ekstremitas
 Atas : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-), sianosis (-)
 Bawah : Akral hangat, CRT <2 detik, sianosis (-), deformitas (-)

5
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium tanggal 12 Juni 2019 (Pukul 06.11 WIB)

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Hematologi Rutin
Hemoglobin g/dL 12.0 – 16.0
Hematokrit % 37.0 – 43.0
Eritrosit μL 4.00 – 5.00
Jumlah Leukosit / μL 5.00 – 10.00
Jumlah Trombosit / μL 150000 – 450000
Hitung Jenis
Basofil % 0-1
Eosinofil % 0-3
Neutrofil % 50-70
Limfosit % 20-40
Monosit % 2-8
Kimia Klinik
AST (SGOT) U/l <35
ALT (SGPT) U/l <55
Bilirubin Total mg/dL 0,10-1,20
Bilirubin Direk mg/dL <0,5
Bilirubin Indirek mg/dL <0,7

Pemeriksaan laboratorium tanggal 13 Juni 2019 (Pukul 05.41 WIB)

KIMIA KLINIK
AST (SGOT) U/I <35
ALT (SGPT) U/I <55

6
V. FOTO RONTGEN

7
VI. FOLLOW UP

Tgl 23 Maret 2022 29 Maret 2022 7 April 2022

S Lemas (+), Pusing (+) Lemas (+), pusing (-) Mual (-), muntah
berputar, nafsu makan menetap dan kepala terasa (-),mual(-), nyeri
menurun (+), sesak (-) berat, muntah (-) isi kepala(-), nyeri perut(-)
makanan, nyeri perut (-)
O KU= compos mentis, KU= compos mentis, KU= compos mentis,
tampak sakit sedang. tampak sakit sedang. tampak sakit sedang.
TTV= TTV= TTV=
HR: 88 x/menit; HR: 88 x/menit; HR: 80x/menit;
RR: 20 x/menit; RR: 20 x/menit; RR: 20x/menit;
T: 36,6 ºC; T: 37,2ºC; T: 36,7ºC;
SpO2: 98% SpO2: 99% SpO2: 99%
TD: 120/80 mmHg TD: 120/70 mmHg TD: 110/80 mmHg
Kepala: normosefali Kepala: normosefali Kepala: normosefali
Mata:CA -/-, SI -/- Mata: CA -/-, SI +/+ sub Mata: CA -/-, SI -/-
Hidung: napas cuping ikterik Hidung: napas cuping
hidung (-) Hidung: napas cuping hidung (-)
Leher: pembesaran KGB hidung (-) Leher: pembesaran
(-), pembesaran tiroid (-) Leher: pembesaran KGB KGB (-), pembesaran
Thorax: (-), pembesaran tiroid (-), tiroid (-),
Paru: SNV +/+, rhonki Thorax: Thorax:
-/-, wheezing -/- Paru: SNV +/+, rhonki Paru: SNV +/+, rhonki
Jantung: S1S2 regular, -/-, wheezing -/- -/-, wheezing -/-,
murmur (-),gallop (-) Jantung: S1S2 regular, Jantung: S1S2 regular,
Abdomen: BU (+), nyeri murmur (-), gallop (-) murmur (-), gallop (-)
tekan (+) Abdomen: BU (+), nyeri Abdomen: BU (+),
tekan (-) nyeri tekan (-)
Ekstremitas: oedeme (-), Ekstremitas: oedeme (-), Ekstremitas: : oedeme
akral hangat pada keempat akral hangat pada keempat (-), akral hangat pada
ekstremitas, CRT<2” ekstremitas, CRT<2” keempat ekstremitas,
CRT<2”

8
A -Drug-Induced TB on OAT TB on OAT
-TB on OAT

P - Levofloxacin 1x500mg - LevofloxacinSTOP - Ganti FDC


- Rifampisin 1x600mg - Rifampisin 1x600mg - 4 FDC 1x4
- INH - INH 1x300mg (2 jam pc malam)
1x1/41x1/21x1 - Etambutol 1x1000mg - Heparin 2x1
- Heparin 3x1mg - PZA 1x ¼ 1x ½ - BC 2x1
- Etambutol 1x1000mg 1x11x1 ½1x2
- BC 2x1 - Heparin 3x1
- BC 2x1

VII. DIAGNOSIS KERJA


- TB paru
- Drug Induced

VIII. DIAGNOSIS BANDING


-

IX. PEMERIKSAAN ANJURAN


- Pemeriksaan Darah Lengkap
- Pemeriksaan SGOT/SGPT
- Pemeriksaan Bilirubin
- Foto Rontgen Thorax PA

X. PENATALAKSANAAN
- 4 FDC 1x4
- Heparin 2x1
- BC 2x1
XI. PROGNOSIS

9
a. Ad vitam : dubia ad bonam
b. Ad fungsionam : dubia ad bonam
c. Ad sanationam : dubia ad bonam

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Tuberkulosis
3.1.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis yang merupakan kuman berbentuk batang (basil), kuman ini pertama kali
ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882. Infeksi Tuberkulosis dapat menyerang
berbagai organ, terutama paru-paru. Jika penyakit ini tidak diobati atau tidak diobati secara
tuntas, maka komplikasi berbahaya ataupun kematian dapat terjadi. Hingga saat ini,
tuberkulosis masih menjadi penyakit infeksi menular yang paling berbahaya di dunia.

3.1.2 Epidemiologi
World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa sebanyak 1,5 juta orang
meninggal karena TB (1.1 juta HIV negatif dan 0.4 juta HIV positif) dengan rincian
89.000 laki-laki, 480.000 wanita dan 140.000 anak-anak. Pada tahun 2014, kasus TB
diperkirakan terjadi pada 9,6 juta orang dan 12% diantaranya adalah HIV-positif. (1) Pada
tahun 2015, jumlah penemuan kasus TB di Indonesia adalah 330.910 kasus. Jumlah
tersebut meningkat dari tahun 2014, yaitu sebanyak 324.539 kasus. Kasus terbanyak
dilaporkan di provinsi dengan jumlah penduduk besar, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan
Jawa Tengah (38% dari keseluruhan kasus di Indonesia). Berdasarkan jenis kelamin,
jumlah kasus pada laki-laki adalah 1,5 kali dibandingkan pada perempuan. Berdasarkan
kelompok umur pada tahun 2015, terdapat 18,65% penderita berumur 25-34 tahun, 17,33%
penderita berumur 45-54 tahun, dan 17,18% penderita berumur 35-44 tahun.(3,4)

3.1.3 Patogenesis
Tuberkulosis Primer

Penularan Tuberkulosis paru dari orang ke orang terjadi karena kuman dibatukkan
atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini
dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar
ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap
kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terisap
oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas, atau jaringan paru. Partikel dapat
masuk ke alveolar bila ukuran parikel < 5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali

11
oleh neutrofil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau
dibersihkan oleh makrofag keluar percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia
dengan sekretnya3.

Bila kuman menetap dijaringan paru, berkembang biak di dalam sitoplasma


makrofag. Disini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang
di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang
primer atau efek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap
bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman
dapat juga masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit,
terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke
seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, dan tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka
akan terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier3.

Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis
regional). Sarang primer limfangitis lokal bersama-sama limfadenitis regional dikenal
sebagai kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu.
Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi3:

1) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.
2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5
mm dan ±10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang
dormant
3) Berkomplikasi dan menyebar secara :
a) Perkontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya.
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan
bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar
sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan
akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus
yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan
pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis6.

12
b) Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru yang
disebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah
sehingga menyebar ke usus
c) Secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya
tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat
sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat,
penyebaran ini akan menimbulkan keadaan yang cukup gawat seperti TB
milier, meningitis TB, typhobachillosis Landouzy6.
Semua kejadian diatas tergolong dalam perjalanan Tuberkulosis primer3.

I.3.B. Tuberkulosis Pasca Primer ( Tuberkulosis Sekunder)

Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun


kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (Tuberkulosis post primer
= TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis
sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alcohol, penyakit maligna,
diabetes, AIDS, dan gagal ginjal. Tuberkulosis sekunder ini dimulai dengan sarang dini
yang berlokasi di regio atas paru (bagian apical-posterior lobus sduperior atau inferior).
Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru3.

Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10
minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel
Histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-
sel limfosit dan berbagai jaringan ikat3.

Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya, dan imunitas pasien, sarang dini ini
dapat menjadi3:

1) Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.


2) Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan
jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan
perkapuran.
3) Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan
jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi
lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar

13
terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama
dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan firbroblas dalam jumlah besar,
sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkijuan dan kavitas
adalah karena adanya hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang
diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan TNF-nya.
Bentuk perkijuan lain yang jarang terjadi adalah cryptic disseminate TB yang
terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut. Disini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri
sangat banyak. Kavitas dapat menjadi3:

a) Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas ini
masuk dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB milier. Dapat juga
masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk lambung dan selanjutnya ke usus
menjadi TB usus. Sarang ini selanjutnya mengikuti perjalanan seperti yang
disebutkan diatas. Bisa juga terjadi TB endobronkial dan TB endotrakeal atau
empiema bila ruptur ke pleura,
b) Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi) sehingga menjadi tuberkuloma.
Tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali
menjadi cair dan jadi kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas ini adalah
kolonisasi oleh fungus seperti Aspergillus dan kemudian menjadi mycetoma,
c) Bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity. Dapat juga meyembuh
dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang berakhir dengan
kavitas yang terbungkus, menciut, dan berbetuk seperti bintang yang disebut
stellate shape.

Klasifikasi

American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru yang diambil berdasarkan


aspek kesehatan masyarakat2:

1) Kelas 0 : Tidak pernah terpajan TB, tidak terinfeksi. Orang-orang pada kelas
ini tidak mempunyai riwayat terpajan dan tes kulit tuberkulin menunjukkan
hasil negatif (jika dilakukan)
2) Kelas 1 : Terpajan TB, tidak ada bukti terinfeksi. Orang-orang pada kelas ini
mempunyai riwayat terpajan tuberkulosis, tetapi tes tuberkulin menunjukkan
hasil negative. Tindakan yang diambil untuknya tergantung pada derajat dan
kebaruan paparan M. tuberculosis, serta kekebalan tubuhnya. Jika terpapar

14
secara signifikan selama 3 bulan, tes tuberculin lanjutan harus dilakukan 10
minggu setelah paparan terakhir, dan sementara itu pengobatan terhadap infeksi
tuberculosis laten harus dipertimbangkan terutama pada anak-anak berusia
kurang dari 15 tahun dan penderita infeksi HIV.
3) Kelas 2 : Infeksi TB laten, tidak timbul penyakit. Orang-orang pada kelas 2
menunjukkan hasil tes tuberculin positif, pemeriksaan radiologi dan
bakteriologi negatif.
4) Kelas 3 : Tuberkulosis, aktif secara klinis. Kelas 3 mencakup semua pasien
dengan TB aktif secara klinis dengan prosedur diagnostik telah selesai. Jika
diagnosis masih tertunda, orang tersebut harus diklasifikasikan sebagai
tersangka tuberkulosis (kelas 5). Untuk masuk ke kelas 3, seseorang harus
memiliki bukti klinis, bakteriologis, dan/atau radiografi TB saat ini. Hal ini
dipastikan dengan isolasi M. tuberkulosis. Seseorang yang menderita TB di
masa lalu dan juga yang saat ini memiliki penyakit aktif secara klinis termasuk
dalam kelas 3. Seseorang tetap di kelas 3 sampai pengobatan untuk episode
penyakit saat ini selesai.
5) Kelas 4  : TB tidak aktif secara klinis. Ditemukan radiografi yang abnormal
atau tidak berubah, dan reaksi tes kulit tuberkulin positif, dan tidak ada bukti
klinis.
6) Kelas 5  : Tersangka TB (diagnosis tertunda). Seseorang termasuk dalam
kelas ini ketika diagnosis TB sedang dipertimbangkan. Seseorang seharusnya
tidak tetap di kelas ini selama lebih dari 3 bulan. Ketika prosedur diagnostik
telah selesai, orang tersebut harus ditempatkan pada salah satu kelas
sebelumnya.

Klasifikasi berdasarkan tipe pasien dari riwayat pengobatan sebelumnya yaitu:

1) Kasus baru : pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan untuk


tuberkulosis atau sudah mendapakan obat-obat anti tuberkulosis kurang dari
satu bulan.
2) Kasus pengobatan ulang :

15
a) Kasus kambuh (relaps) : pasien yang sebelumnya pernah
mendapatkan pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan
hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
b) Kasus gagal (smear positive failure) : pasien yang menjalani
pengobatan ulang karena pengobatan sebelumnya gagal, ditandai
dengan sputum BTA-nya tetap positif setelah mendapatkan obat anti
tuberkulosis pada akhir bulan ke 5.
c) Kasus defaulted atau drop out : pasien yang telah menjalani
pengobatan ≥ 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-
turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
3) Kasus kronik : pasien yang sputum BTA-nya tetap positif setelah pengobatan
ulang lengkap yang disupervisi dengan baik.
4) Kasus Bekas TB :
a) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan
gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif,
atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat
pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.
b) Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah
mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang
tidak ada perubahan gambaran radiologik.

Klasifikasi Tuberkulosis ekstraparu:

Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain


selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluran kencing
dan lain-lain. Tbc

Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi dari
tempat lesi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka
diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstraparu aktif. tbc

16
TB paru TB paru BTA (+)

TB
TB paru BTA (-)

TB ekstraparu

Kasus baru

Kasus kambuh

Tipe penderita Kasus Drop Out


TB paru
Kasus gagal
pengobatan

Kasus kronik

Skema klasifikasi Tuberkulosis

17
3.1.4 Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan
fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya.

A. Gejala klinik

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan
gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala
respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
1. Gejala respiratorik
a. Batuk-batuk lebih dari 2 minggu
b. Batuk darah
c. Sesak napas
d. Nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check
up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada
gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk
diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2. Gejala sistemik
a. Demam
b. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.
3. Gejala tuberkulosis ekstra paru
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar
getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada
pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang
rongga pleuranya terdapat cairan.

18
B. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang
terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur
paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)
menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior
terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2), serta daerah apeks lobus inferior
(S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik,
suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.

Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya


cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang
melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.

Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering


di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak.
Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”.

C. Pemeriksaan Laboratorium
Tes Cepat Molekuler (TCM) adalah alat diagnosis utama yang di gunakan untuk
menegakan diagnosis Tuberkulosis. Alur diagnosis TBC adalah sebabai berikut:

19
- Pemeriksaan TCM digunakan untuk mendiagnosis TBC, baik TBC paru
maupun TBC ekstra paru, baik Riwayat pengobatan TBC baru maupun
yang memiliki Riwayat pengobatan TBC sebelumnya, dan pada semua
golongan umur termasuk ODHA.
- Jumlah dahak yang di kumpulkan adalah 2 dahak yaitu sewaktu-sewaktu,
sewaktu-pagi maupun pagi-sewaktu dengan jarak 1 jam dari pengambilan
dahak pertama ke pengambilan dahak kedua. Kualitas dahal yang
digunakan adalah dahak dengan volume 3-5ml dan mukopurulen

D. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblique, CT-Scan. Pada pemeriksaan
foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).

Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :

20
 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah.
 Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opaque berawan atau
nodular
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif :


 Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
 Kalsifikasi
 Schwarte atau penebalan pleura

3.1.5 Pengobatan Tuberkulosis


Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan
fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama
dan tambahan.
A. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini pertama)
 Rifampisin
 Isoniazid
 Pirazinamid
 Etambutol
 Streptomisin
2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari :

21
 Empat obat anti-tuberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg.
 Tiga obat anti-tuberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg dan pirazinamid 400 mg.
3. Jenis obat lini kedua
 Fluoroquinolon
 Aminoglikosida
 Ethionamide/Prothionamide
 Ρ-Amino Salicylic Acid (PAS)
 Cycloserine
B. Prinsip pengobatan

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:

a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat
(PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

3.2 Drug-Induced Liver Injury


3.2.1 Definisi
Jejas hati imbas obat (drug-induced liver injury, DILI), atau hepatotoksisitas imbas
obat, merupakan jejas hati yang disebabkan oleh pajanan terhadap obat atau agen non-
infeksius. Jejas yang ditimbulkan oleh obat bervariasi, mulai dari tidak bergejala, ringan,
hingga gagal hati akut yang mengancam nyawa. Insidens hepatotoksisitas imbas obat
terbilang rendah, yaitu antara 1 dari 10.000 sampai 1 dari 100.000 pasien, tampaknya
karena sulitnya diagnosis dan angka pelaporan yang masih rendah. Kunci penting
diagnosis DILI adalah pajanan obat harus terjadi sebelum onset jejas hati dan penyakit lain
yang dapat menyebabkan jejas hati harus disingkirkan. Selain itu, jejas hati akan membaik
bila penggunaan obat tertentu dihentikan dan jejas hati dapat terjadi lebih cepat dan lebih

22
berat pada pajanan berikutnya, khususnya bila jejas hati tersebut terjadi akibat proses
imunologis.
Jejas hati imbas obat (drug-induced liver injury, DILI) merupakan salah satu masalah
kesehatan yang memiliki tantangan diagnosis tersendiri. Luputnya diagnosis DILI sering
terjadi karena DILI memiliki spektrum yang luas, mulai dari tidak bergejala sama sekali
sampai gagal hati akut yang mengancam nyawa. Karena itu, pendekatan diagnosis yang
tepat merupakan hal yang sangat penting.(5)

3.2.2 Klasifikasi
Hepatotoksisitas akibat obat secara umum dibagi menjadi dua kategori besar :
a. Hepatotoksisitas intrinsik (disebut juga hepatotoksisitas direk atau dapat
diprediksi). Contoh hepatotoksisitas intrinsik adalah hepatotoksisitas akibat
pajanan terhadap zat kimia industri maupun lingkungan atau toksin, seperti
karbon tetraklorida, fosfor, atau beberapa jenis jamur yang menyebabkan jejas
hati.
b. Hepatotoksisitas idiosinkratik (disebut juga hepatotoksisitas indirek atau tidak
dapat diprediksi). Hepatotoksisitas idiosinkratik merupakan hepatotoksisitas yang
disebabkan oleh obatobat konvensional dan produk herbal yang menyebabkan
hepatotoksisitas hanya pada sejumlah kecil resipien (1:10.000-1:100.000).

Pada tahun 2001, American Association for the Study of Liver Diseases (AASLD)
menetapkan bahwa peningkatan kadar alanin aminotransferase (ALT) lebih dari tiga kali
batas atas normal (BAN) dan peningkatan bilirubin total lebih dari dua kali BAN dapat
digunakan sebagai kriteria untuk meenentukan ada tidaknya kelainan signifikan pada
parameter laboratorik hati. Peningkatan kadar enzim hati alanin transaminase (ALT),
aspartat aminotransferase (AST), dan fosfatase alkali (ALP) dianggap sebagai indikator
jejas hati, sedangkan peningkatan bilirubin total dan terkonjugasi merupakan parameter
untuk menilai fungsi hati secara keseluruhan. Penilaian pola jejas hati sangat penting
karena obat obat tertentu cenderung menyebabkan jejas dengan pola khas pula.

3.2.3 Mekanisme Drug-Induced Liver Injury


a. Metabolisme Obat
Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga membuat mereka mampu
menembus membran sel intestinal. Obat kemudian diubah lebih hidrofilik
23
melalui proses-proses biokimiawi di dalam hepatosit, menghasilkan produk-
produk larut air yang diekskresi ke dalam urin atau empedu. Biotransformasi
hepatik ini melibatkan jalur oksidatif utamanya melalui sistem enzim sitokrom
P-450.

Gambar 3. Metabolisme Obat(8)

b. Mekanisme Drug-Induced Liver Injury


Banyak mekanisme yang terjadi agar metabolit toksik merusak sel hati, akan
tetapi mekanisme yang paling umum terjadi adalah ikatan kovalen dan stres
oksidatif. Target utama metabolit reaktif ini adalah mitokondria. Berbagai
penelitian mendukung fakta bahwa ikatan kovalen dari metabolit reaktif ke
beberapa protein dapat memgganggu fungsinya, mengakibatkan
hepatotoksisitas.

24
BAB IV
ANALISA KASUS

Selama ini penyakit infeksi seperti TB diatasi dengan penggunaan antibiotik.


Rifampisin (RIF), Isoniazid (INH), etambutol (EMB), streptomisin dan pirazinamid (PZA)
telah dimanfaatkan selama bertahun-tahun sebagai anti-TB. Namun, banyak penderita
telah menunjukkan resistensi terhadap obat lini pertama ini. Sejak tahun 1980-an, kasus
tuberkulosis di seluruh dunia mengalami peningkatan karena kemunculan MDR-TB (Multi
Drug Resisten Tuberculosis). Bakteri penyebab MDR-TB adalah strain M. tuberculosis
yang resisten terhadap obat anti-TB first-line seperti isoniazid dan rifampisin. MDR-TB
mendorong penggunaan obat lini kedua yang lebih toksik seperti etionamid, sikloserin,
kanamisin dan kapreomisin. Namun extensively drug-resisten tuberculosis (XDR-TB)
menyebabkan bakteri TB resisten terhadap obat lini kedua.

25
BAB V
EDUKASI

a. Penyakit yang diderita adalah penyakit TB paru yang menular dan bisa sembuh
dengan pengobatan yang teratur jangan sampai putus berobat,dan tidak minum
obat.
b. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang gejala-gejala pada penyakit TB
paru dan risiko penyulit yang mungkin terjadi
c. Menganjurkan pasien agar tidak merokok.
d. Menjelaskan kepada pasien agar tekun meminum obat dan rutin memerikasan
dirinya di puskesmas Tanjung Paku, meskipun pasien sudah merasa sehat.
e. Menganjurkan pasien mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan untuk
meningkatkan daya tahan tubuh.

26
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Global Tuberculosis Control: WHO Report 2015.
Geneva: WHO Press; 2015; p.5.
2. Rifa’i A, Herlianto B, Mustika S, Pratomo B, Supriono. Insiden dan Gambaran
Klinis Hepatitis Akibat Obat Anti Tuberkulosis di Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
Saiful Anwar Malang. Jurnal Kedokteran Brawijaya. Februari 2015;28(3):238-241
3. Wincen H, Zulkarnain A, Fauzar. Tuberkulosisi Milier dan HIV-AIDS dengan
Drug-induced Hepatitis. Jurnal Kesehatan Andalas. 2018;7(3):93-95
4. PDPI. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Jakarta.
2002.
5. Loho IM, Hasan I. Drug induced liver injury-tantangan dalam diagnosis. CDK.
2014;41(3):167-70.
6. Widodo, Eddy. Upaya Peningkatan Peran Masyarakat Dan Tenaga Kesehatan
Dalam Pemberantasan Tuberkulosis. IPB, Bogor. 2004.
7. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta, 2007; 3-4.
8. Luthariana L, Karjadi TH, Hasan I, Rumende M. Faktor Risiko Terjadinya
Hepatotoksisitas Imbas Obat Antituberkulosis pada Pasien HIV/AIDS. Jurnal
Penyakit Dalam Indonesia. Maret 2017;4(1):23-28

27

Anda mungkin juga menyukai