LAPORAN MAGANG
LAMPUNG TIMUR
DISUSUN OLEH
Menyetujui
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan akhir magang dalam
rangka memenuhi syarat dari Taman Nasional Way Kambas setelah menyelesaikan magang di
Pusat Latihan Gajah Taman Nasional Way Kambas.
Penulis menyadari bahwa selama dalam mempersiapkan, melaksanakan, dan
menyelesaikan laporan ini banyak menerima bantuan serta dukungan dari berbagai pihak dalam
wujud material maupun spiritual, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima
kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu dalam wujud material
maupun spiritual.
Akhirnya, segala upaya telah dilakukan untuk menyempurnakan laporan ini, namun
tidak mustahil apabila dalam pembuatan makalah ini masih terdapat kekurangan serta
kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat dijadikan
masukan dalam penyempurnaan laporan ini.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
3
DAFTAR ISI
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan
1. Untuk meningkatkan pengetahuan dalam bidang manajemen konservasi
satwa dilindungi di Taman Nasional Way Kambas.
2. Untuk meningkatkan pengetahuan tentang tingkah laku (behavior) satwa
yang ada di Taman Nasional Way Kambas
3. Untuk meningkatkan pengetahuan Manajemen kesehatan hewan yang
diterapkan di Taman Nasional Way Kambas
1. Mengetahui jenis satwa liar yang ada di Taman Nasional Way Kambas
2. Mempelajari tentang manajemen konservasi hewan di Taman NasionalWay
Kambas
3. Mempelajari tentang manajemen kesehatan satwa yang diterapkan di Taman
Nasional Way Kambas
4. Mempelajari tingkah laku (behavior) satwa yang ada di Taman Nasional Way
Kambas
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Taman Nasional Way Kambas adalah satu dari dua kawasan konservasi
yang berbentuk taman nasional di Propinsi Lampung selain Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan (TNBBS). Yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 670/Kpts-II/1999 tanggal 26 Agustus 1999, kawasan TNWK
mempunyai luas lebih kurang 125,631.31 ha.
Pada tahun 1978 Suaka Margasatwa Way Kambas diubah menjadi Kawasan
Pelestarian Alam (KPA) oleh Menteri Pertanian dengan Surat Keputusan Menteri
Pertanian Nomor 429/Kpts-7/1978 tanggal 10 Juli 1978 dan dikelola oleh Sub Balai
Kawasan Pelestarian Alam (SBKPA).
Kawasan Pelestarian Alam diubah menjadi Kawasan Konservasi Sumber Daya
Alam (KSDA) yang dikelola oleh SBKSDA dengan luas 130,000 ha. Pada tahun 1985
dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 177/Kpts-II/1985 tanggal 12
Oktober 1985. Pada tanggal 1 April 1989 bertepatan dengan Pekan Konservasi
Nasional di Kaliurang Yogyakarta, dideklarasikan sebagai Kawasan Taman Nasional
Way Kambas berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 444/Menhut-
II/1989 tanggal 1 April 1989 dengan luas 130,000 ha.
Kemudian pada tahun 1991 atas dasar Surat Keputusan Menteri Kehutanan
nomor 144/Kpts/II/1991 tanggal 13 Maret 1991 dinyatakan sebagai Taman Nasional
Way Kambas, dimana pengelolaannya oleh Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam
Way Kambas yang bertanggungjawab langsung kepada Balai Konsevasi Sumber Daya
Alam II Tanjung Karang. Dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
185/Kpts-II/1997 tanggal 13 maret 1997 dimana Sub Balai Konsevasi Sumber Daya
Alam Way Kambas dinyatakan sebagai Balai Taman Nasional Way Kambas.
Dari jenis satwa tersebut, sampai dengan saat ini keberadaannya masih terjaga
dengan baik, antara lain yang dikenal dengan The Big Five mammals yaitu tapir
(Tapirus indicus), gajah Sumatera (Elephant maximus sumatranus), harimau Sumatera
(Panthera tigris), badak Sumatera (Diserohinus sumatranus) dan beruang madu
(Helarctos malayanus)
6
2.3 Morfologi dan Taksonomi
Gajah Sumatera mempunyai ukuran tinggi badan sekitar 1,7-2,6 meter. Ukuran
Gajah Sumatera lebih kecil apabila dibandingkan dengan Gajah Afrika dan Gajah Asia
lainnya. Beratnya mencapai 4-6 ton dengan panjang badan 5,5-7,3 meter. Ciri khas dari
Gajah Sumatera yang membedakannya dengan spesies gajah lain adalah bentuk telinga
yang relatif berbentuk segitiga dan lebih kecil dibandingkan Gajah Afrika. Gading
Gajah Sumatera betina ukurannya lebih kecil dari jantan, sedangkan Gajah Afrika baik
betina maupun jantan mempunyai gading yang ukurannya sama panjang. Taksonomi
gajah sumatra menurut Temminck (1758) didalam Muryani (2008):
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Subkelas : Theria
Superordo : Subungulata
Ordo : Proboscidae
Famili : Elephantidae
Genus : Elephas
Species : Elephas maximus
Subspecies : Elephas maximus sumatranus
7
BAB III
8
BAB IV
Taman Nasional Way Kambas memiliki unit kerja yaitu Pusat Latihan Gajah,
secara resmi didirikan pada tanggal 27 Agustus 1985. Latar belakang didirikannya
Pusat Latihan Gajah karna banyaknya konflik yang muncul antara gajah sumatera dan
warga transmigran yang hidup dan bermukim di sekitar habitat gajah. Gajah liar yang
berhasil ditangkap setelah konflik dengan warga di wilayah tersebut akan dipindahkan
ke PLG untuk dilatih disana agar tidak menyebabkan konflik lagi dengan masyarakat.
Pemanfaatan gajah antara kaun untuk membantu penanganan konflik antara gajah dan
manusia, penyelamtan gajah, patrol pengamanan dan pengendalian kebakaran hutan.
Pusat Latihan gajah dikategorikan sebagai pusat latihan satwa khusus, diatur
menurut Peraturan Menteri Kehutan No.P.31/Menhut-II/2012 Tentang Lembaga
Konservasi Pusat Latihan satwa khusus adalah tempat melatih satwa khusus spesies
gajah agar terampil sehingga dapat dimanfaatkan. Fasilitas yang terdapat di PLG sudah
memenuhi kriteria pusat latihan satwa khusus menurut Peraturan Menteri Kehutanan
No.P.31/Menhut-II/2012 tentang lembaga konservasi. Beberapa fasilitas di PLG
TNWK yaitu kandang gajah yang terdapat 2 kandang yang berukuran besar dan kecil,
tempat minum gajah juga terdapat beberapa ada tempat air minum utama, dan tempat
air minum kecil disetiap kandang, tempat kolam pemandian gajah, area
penggembalaan, dan Rumah Sakit Gajah (RSG) Prof. Dr. Ir. Rubini Atmawidjaja.
- VISI
“Mewujudkan Kawasan Taman Nasional Way Kambas Sebagai Habitat Ideal bagi
Satwa Liar Sumatera yang Dilindungi”. Visi tersebut diharapkan mendukung
pelestarian satwa liar khas Sumatera yang dapat dijumpai di kawasan TNWK yang
didukung oleh keberadaan dan keutuhan ekosistem unik seperti hutan tropis dataran
rendah dan rawa air tawar.
- MISI
Misi yang diemban oleh Taman Nasional Way Kambas dalam rangka mewujudkan
visinya adalah:
10
4.5 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit Gajah TNWK
Rumah Sakit Gajah ini didirikan untuk menangani kesehatan gajah yang ada di
TNWK atau di sekitarnya. Kehadiran RSG juga bisa dimanfaatkan untuk satwa lainnya,
sehingga membantu dalam penguatan unit pengelolaan PLG dan upaya penyelamatan
(rescue) bagi satwa-satwa yang memerlukan penanganan/perawatan kesehatan.
Penanganan gajah di rumah sakit ini bukan hanya sebatas gajah jinak saja, tapi juga
bagi gajah liar yang ditemukan terluka dan terkena penyakit di hutan TNWK maka tim
medis dari RSG akan menuju lokasi gajah liar yang membutuhkan pertolongan tersebut.
Penanganan yang diberikan bagi gajah itu seperti perawatan, pencegahan penyakit,
pengobatan serta rehabilitasi gajah. Sejumlah kasus penyakit gajah yang sering
ditangani di RS ini, seperti kasus luka dan gangguan pencernaan, luka-luka, dehidrasi,
kekurangan nutrisi dan gajah dalam kondisi lemah, serta pemberian obat cacing setiap
3 bulan sekali untuk mencegah gajah tersebut mengalami cacingan.
11
BAB V
Kandang gajah PLG berupa padang rumput luas dan terdapat patok-patok
yang berguna untuk mengikat gajah, dan juga ada bak-bak minum kecil yang tebuat
dari beton dan terdapat di sekitaran kandang, namun kebanyaka dari tempat minum
tersebut sudah rusak oleh karena itu hanya bak air minum besar saja yang digunakan
dan terdapat di dekat pintu masuk.
PLG memiliki 2 jenis kandang, yaitu kandang untuk gajah dewasa, didalam
kandang gajah dewasa setiap gajah diberi jarak satu sama lain untuk mencegah
terjadinya perkelahian antar gajah dan satu kandang lainnya diperuntukkan gajah induk
dan anaknya serta gajah dengan usia dibawah 10 tahun. Pembagian area kandang
tersebut dimaksudkan agar gajah anakan tidak terserang penyakit EEHV (Elephant
Endotheliotropic Herpes Virus) akibat tertular dari gajah dewasa.
Sanitasi dari kandang gajah di PLG sangat terjaga karna sisa feses dari gajah
selalu dibersihkan dan dikeluarkan dari kandang untuk mencegah timbulnya agen
penyakit dari tumpukan feses, kemudian sisa pakan gajah akan dibakar, selain itu
kandang akan ditaburi kapur, cara tersebut merupakan usaha PLG untuk menjaga
sanitasi kandang di PLG.
Saat sore hari, gajah akan dibawa kembali ke kandang kemudian diberi pakan
tambahan berupa rumput gajah. Khusus untuk gajah yang sedang bunting, sakit, dan
menyusui diberi pakan dua kali lipat dari pakan normal. Hal ini bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi tiap gajah. Gajah juga akan memakan gumpalan
tanah/lumpur saat merasa tubuhnya memerlukan pasokan mineral, seperti
kalsium,kalium, dan magnesium (Maharani 2012).
12
Dalam sebulan, diadakan kegiatan angon bersama, dimana kegiatan ini
bertujuan agar gajah mendapatkan makanan yang lebih variatif. Ada kalanya gajah
akan diberikan supplement tambahan supplement tersebut berguna untuk
meningkatkan asupan nutrisi kepada gajah.
- Dedak 2 kg
- Beras 1 kg
- Kacang hijau 1 kg
- Gula merah 1 kg
- Jagung giling 1 kg
- Bubuk mineral 20 gr
Kegiatan ini dilakukan setiap tiga bulan sekali. Dengan jenis obat cacing yang
berbeda tiap 3 bulan, untuk pemberian obat cacing pada Hari Senin 17 Juli 2019 obat
cacing yang digunakan adalah Lagantor berbentuk bolus dengan kandungan
albendazol, selain itu obat cacing sering dibiasanya diberikan adalah febantel dan
ivermectin. Sebelum obat cacing diberikan kepada gajah, obat tersebut akan
dimasukkan kedalam pisang yang berguna untuk mempermudah pemberian obat
kepada gajah.
Dosis obat cacing yang digunakan tergantung berat badan, dengan cara rumus
sebagai berikut :
BB x 10 / 2500(untuk albendazole)
Pengukuran berat badan pada gajah berguna sebagai tolak ukur kesehatan
dari gajah tersebut, selain itu pengukuran berat badan juga merupakan dasar sebelum
14
diberikan obat kepada gajah. Cara pengukuran berat badan gajah adalah mengukur
lingkar dada dan tinggi bahu pada untuk mengetahui berat badannya.
Dengan rumus:
2
(LD) x TB x 0,93 x konstanta (gajah jantan)
(LD)2 x TB x 0,98 x konstanta (gajah betina)
(LD)2 x TB x 1 ( gajah anakan)
Ket :
LD = Lingkar Dada
TB = Tinggi Badan
BB = Berat Badan
Saleb Kulit
Bahan-bahan yang digunakan
Vaselin
Amoxicillin (bentuk bubuk)
Levartraan
Peru Balsem
Saleb mata
Bahan-bahan yang digunakan
Antibiotik Ketokonazole
Chloramphenicol
Water Injeksi
Pot saleb
Pembuatan saleb mata dan saleb kulit ini merupakan cara yang dilakukan agar
luka pada mata ataupun kulit pada gajah tidak terjadi infeksi.
Cara pembuatan saleb mata :
1. Tumbuk hingga halus antibiotik ketoconazole hingga halus sebanyak 25 gr
2. Kemudian setelah halus masukkan chloramphenicol sebanyak 13 tube hingga
memiliki tekstur seperti saleb
3. Setelah itu tambahkan water injeksi sebanyak 1 ampul agar saleb tidak terlalu
kental
4. Setelah sudah merata dan tidak terlalu kental, masukkan saleb ke dalam pot
saleb yang sudah disediakan
15
Pemeriksaan Feses Gajah Pasca Pemberian Obat Cacing
Penularan penyakit parasit disebabkan oleh tiga faktor yaitu sumber infeksi,
cara penularan dan adanya hospes yang ditulari. Efek gabungan dari faktor ini
menentukan penyebaran dan menetapnya parasit pada waktu dan tempat tertentu.
Penyakit yang disebabkan oleh parasit dapat bersifat menahun disertai dengan sedikit
atau tanpa gejala.
Pada kesempatan ini gajah yang diperiksa adalah Hariyono, pemeriksaan feses
dilakukan sebelum pemberian obat cacing dan sesudah pemeriksaan obat cacing.
Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu metode natif, metode
apung, dan metode endapan. Pada pemeriksaan feses sebelum pemberian obat cacing
dilakukan dengan metode natif, sedangkan sesudah pemberian obat cacing dilakukan
dengan 3 metode yaitu metode natif, metode apung dan metode endapan.
Prosedur Kerja
Metode natif merupakan metode yang paling sederhana dalam pemeriksaan feses
gajah. Langkah pemeriksaan feses metode natif :
1. Campurkan 2gr feses gajah dan 58ml air steril sambil disaring dengan 3 jenis
saringan yang memiliki ukuran kerapatan yang berbeda.
2. Campur dengan merata dan diamkan campuran tersebut selama 10-15 menit
hingga terlihat endapan didalam tabung.
3. Ambil 3 tetes campuran feses yang sudah dibuat sebelumnya di bagian atas,
bagian tengah dan didasar endapan kemudian diletakkan diatas objek glass,
lalu tutup dengan cover glass.
4. Amati dibawah mikroskop dengan perbesaran 4x, 10x, atau 40x.
16
Metode Apung
1. Buatlah larutan NaCl jenuh dengan melarutkan garam ke dalam aquadest
2. Campurkan 2gr feses gajah dan 58ml air steril sambil disaring dengan 3 jenis
saringan yang memiliki ukuran kerapatan yang berbeda.
3. Masukkan campuran feses tersebut hingga terbentuk miniscus
4. Letakkan cover glass diatas permukaan tabung reaksi sehingga menyentuh
permukaan larutan, hindari terbentuknya gelembung
5. Biarkan 10 menit, sampai telur cacing naik ke permukaan larutan
6. Pindahkan cover glass tersebut diatas objek glass yang bersih dan kering
7. Periksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 4x 10x atau 40x.
Metode sedimentasi
1. Campurkan 2gr feses gajah dan 58ml air steril sambil disaring dengan 3 jenis
saringan yang memiliki ukuran kerapatan yang berbeda.
2. Masukkan campuran feses tersebut ke tabung
3. Kemudian masukkan 1 tabung campuran dan 1 tabung berisi air yang berguna
untuk penyeimbang saat dimasukkan ke alat sentrifuge, atur sentrifuge dengan
kecepatan 2500 rpm selama 10 menit
4. Kemudian larutan supernatan dibuang dan endapan atau sedimen yang tersisa
diambil dan diletakkan diatas objek glass yang bersih dan kering
5. Tutup dengan cover glass lalu periksa dibawah mikroskop dengan perbesaran
4x, 10x, atau 40x
Pemeriksaan dengan metode apung tidak telur cacing paramphistomum sp. ataupun
telur cacing Strongyloides sp., tetapi diduga terdapat telur cacing Paramphistomum
spp. yang baru menetas. *lampiran
Cacing nematoda adalah parasit yang umum ditemukan di gajah dan paling
banyak terdapat di saluran pencernaan sehingga sangat merugikan. Parasit tersebut
dapat menyebabkan gastroenteropati, pada kasus yang parah dapat menyebabkan
hipoalbuminemia. Adapun gejala klinisnya dapat bersifat perakut, akut, dan kronis.
Infeksi yang berat dapat menyebabkan anemia, meskipun cacing yang menginfeksi
tidak menghisap darah (Fowler dan Mikota, 2006). Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi infeksi cacing adalah host, parasit, dan lingkungan. Faktor host meliputi
umur, tingkah laku individu, pakan dan air minum, frekuensi dan jumlah feses setiap
17
harinya, dan status reproduksi. Sementara faktor dari lingkungan itu sendiri meliputi
suhu, kelembaban, serta curah hujan (Hinget al., 2013). Cacing Strongyloides sp. ini
disebut cacing benang. Cacing dewasa dapat bersifat parasit maupun bebas. Bentuk
parasitic panjangnya 2-9 mm dan hanya cacing betina yang bersifat partenogenetik.
Bentuk bebas di temukan adanya cacing jantan dan cacing betina ,cacing ini sangat
kecil dan relative kuat, dengan esophagus rabditiform. Ekor cacing jantan pendek dan
berbentuk kerucut, sepasang spikulum pendek sama besar dan sebuah gubernakulum.
Ujung posterior cacing betina meruncing ke ujung, vulva terletak dekat pertengahan
tubuh, uterus amfidelf, dan telurnya sedikit serta telah berembrio pada waktu di
keluarkan , kadang cacing betina viviparosa ,terdapat sekitar 40 jenis cacing dalam
genis ini , kebanyakan berada pada mamalia.
Cacing Paramphistomum spp. merupakan salah satu cacing kelas Thrematoda
dari famili Paramphistomidae. Telur Paramphistomum spp. memiliki warna yang
transparan dan operkulum yang jelas. Cacing Paramphistomum spp. menghisap
makanan berupa jaringan atau cairan dari tubuh inangnya, sehingga tingginya jumlah
Paramphistomum spp. dapat sangat merugikan inangnya. Banyaknya kasus gajah yang
terjangkit Paramphistomum spp disebabkan karena sistem dan manajemen
pemeliharaan yang kurang baik. Pada infeksi yang berat pada cacing ini dapat
menimbulkan gastroentritis yang menyebabkan kematian. Kontrol cacing
gastrointestinal dapat dilakukan dengan pengecekan feces secara rutin untuk
mengedentifikasi cacing gastrointestinal tersebut. Pengendalian tersebut mencakup
kekebalan dan nutrisi, manajemen pengembalaan, dan pemberian obat anthelmintik
yang tepat (Candra et al 2016).
Berdasarkan morfologi telur cacing di feces yang diamati, memiliki bentuk
bulat, berwarna bening, dan memiliki operculum sesuai dengan Candra et al (2016).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa telur yang didapat adalah telur dari cacing
Paramphistomum spp.
Obat cacing yang digunakan pada pemberian obat cacing kali ini adalah
Lagantor. Lagantor mengandung senyawa albendazole yang merupakan zat
anthelmintik. Albendazole termasuk dalam golongan benzimidazol yang umumnya
digunakan untuk hewan besar dalam bentuk kaplet dan diberikan secara oral.
Albendazole efektif untuk menangani kasus infeksi cacing gilik maupun cacong pita
pada saluran pencernaan. Albendazole mengatasi infeksi cacing dengan mengganggu
metabolisme energi sehingga cacing kekurangan energi yang menyebabkan kematian
cacing.
Dari hasil pemeriksaan feses dengan 3 metode terbukti bahwa gajah Hariyono
terinfeksi cacing Paramphistomum spp. Walaupun sudah diberikan obat cacing pun
tetap cacing tersebut masih ada dan bahkan bertambah banyak, hal ini dapat terjadi
karna kurangnya dosis pemberian, ataupun obat yang diberikan sudah resisten untuk
gajah tersebut, perlunya pemeriksaan lebih lanjut tentang hal tersebut.
Perilaku Reproduksi
Gajah memasuki masa birahi pertama ketika usia 18 tahun, siklus estrus pada
betina gajah asia adalah 14-18 minggu dengan lama kebuntingan 20-22 bulan. Estrus
pada betina gajah asia tidak menunjukkan adanya perubahan pada alat genital. Tidak
18
adanya perubahan genital tersebut dikarenakan betina gajah asia memiliki saluran
urogenital, ovarium dan vestibule yang panjang, serta letak vagina yang berada pada
bagian ventral tubuh gajah. Hanya ada seikit cairan yang keluar saat masa estrus.
Terdapat juga beberapa perilaku spesifik sebagai tanda bahwa gajah tersebut
mengalami estrus seperti pengarahan klitoris dan pengibasan ekor pada bagian
bawah tubuh (Thitaram 2009). Selain itu kita dapat melihat tanda estrus dari
keluarnya minyak pada bagian tulang dahi sebelah kiri.
Gajah ketika berada pada habitat alaminya gajah jantan akan mencari gajah
betina estrus dengan cara mencium feromon yang dikeluarkan oleh betina bersama
urine pada masa estrus, dengan menggunakan belalai gajah jantan akan mengendus
bagian wajah, mata, telinga, kaki belakang dan vulva dari gajah betina, gajah jantan
pun akan menaikkan kepalanya untuk mencapai bahu atau flank betina sebelum
kopulasi. Kopulasi berlangsung selama 30-60 detik dan 10-15 detik intromissi
(Thitaram 2009).
Perilaku Maternal
Gajah anakan akan tinggal dan di “angon” bersama dengan induknya selama
kurang lebih 3 tahun sebelum akan dipisah (disapih) dan kemudian akan dilatih di
Pusat Latihan Gajah. Selama 3 tahun pula gajah anakan akan menyusu dengan
induknya, jika gajah induk tidak dapat mengeluarkan susu maka gajah tersebut akan
diberikan susu formula sebagai nutrisi awal sebelum gajah anakan mendapat
makanan yang sesungguhnya.
Perilaku Sosial
Gajah senang menyemburkan tanah ke tubuhnya hal ini bertujuan agar saat
siang hari gajah tidak kepanasan
Gajah pun terkadang memakan tanah/lumpur
Gajah dapat menghabiskan 18-20 jam waktunya untuk makan
Gajah merupakan hewan yang berkelompok
Gajah merupakan satwa nocturnal
Gajah merupakan hewan penjelah
Sebelum gajah makan rumput yang akan dimakan akan dibersihkan dengan
kaki depannya, ataupun saat di rawa gajah dapat membersihkannya di air
19
BAB VI
PENUTUP
6.1 Simpulan
20
DAFTAR PUSTAKA
Candra D, Warganegara E, Bakri S, dan Setiawan A. 2016. Identifikasi kecacingan pada satwa
liar dan ternak domestik di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Acta Veterinaria
Indonesia Vol. 4(2): 57-67.
Dephut.2007.TamanNasionalWayKambashttp://www.dephut.go.id/uploads/INFORMASI/TN
%20INDO-ENGLISH/tn_waykambas.html. diakses: Agustus 03, 2019
Elephantvoices.2018. Elephans are socially complex. http://www.elephantvoices.org/elephant-
senses-a-sociality-4/elephants-are-socially-complex.html. Diakses : Agusuts 03, 2019
Fowler ME dan Mikota SK. 2006. Biology, Medicine, and Surgery of Elephants. 1st ed. State
Avenue, Ames, Lowa : Blackwell Publishing Professional
Gandahusada.2006.Parasitologi Kedokteran.Fakultas kedokteran UI:
Hing S, Othman N, Nathan SKSS, Fox M, Fisher M, Goossens B. 2013. First Parasitological
Survey of Endangered Bornean Elephants Elephas maximus borneensis. Endangered
Species Researh. 21 : 223-230
[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2013. IUCN Red List of Threatened
Species. Version 2013.2. Diakses: Agustus 03, 2019.
Kadarsan.2010.Binatang Parasit. Lembaga Biologi Nasional-LIPI:Bogor Jakarta
Muryani A. 2008. Kecacingan pada tinja badak sumatra (Dicerorhinus sumatrensis) dan gajah
gumatera (Elephas maximus sumatranus) di Taman Nasional Way Kambas (Semi Insitu)
[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Maharani Al. 2012. Strategi Konservasi Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus
temmnick) di Suaka Margasatwa Padang Sugiha Provinsi Sumatera Selatan Berdasarkan
Daya dukung Habitatnya [Tesis]. Semarang (ID) : Universitas Diponegoro.
Thitaram C. 2009. Elephant reproduction : improvement of breeding efficiency and
development of a breeding strategy. [Thesis] Utrech (NL) : Utrech University.
21
Lampiran 1
Data Diri
Agama : Islam
Email : kingzhaq@gmail.com
Hobi : Bulutangkis
22
Lampiran 2
Foto kegiatan
Ga
23
Gambar 5. Pemberian Suplemen untuk gajah Gambar 6. Pakan Tambahan Gajah
24
Gambar 9. Treatment Gajah Hariyono
Gambar 10. Pemberian obat cacing di PLG Gambar 11. Pemberian obat cacing di ERU
Gambar 11. Pembuatan Saleb Kulit Gambar 12. Pembuatan Saleb Mata
Gambar 12. Sebelum diberikan obat cacing Gambar 13. Sebelum diberikan obat cacing
Terdapat telur cacing Paramphistomum spp.. Terdapat telur cacing Strongyloides sp.
25
Gambar 14. Setelah Pemberian Obat Cacing
Masih terdapat telur cacing Paramphistomum spp.. (metode natif)
Gambar 17. Diduga telur cacing Paramphistomum spp. yang sudah menetas
26