Tindakan Kolaborasi

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 41

KOLABORASI DALAM KEPERAWATAN

A. Pendahuluan
Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk
menggambarkan suatu hubungan kerja sama yang dilakukan pihak tertentu.
Sekian banyak pengertian dikemukakan dengan sudut pandang beragam namun
didasari prinsip yang sama yaitu mengenai kebersamaan, kerja sama, berbagi
tugas, kesetaraan, tanggung jawab dan tanggung gugat. Namun demikian
kolaborasi sulit didefinisikan untuk menggambarkan apa yang sebenarnya yang
menjadi esensi dari kegiatan ini. Seperti yang dikemukakan National Joint
Practice Commision (1977) yang dikutip Siegler dan Whitney (2000) bahwa
tidak ada definisi yang mampu menjelaskan sekian ragam variasi dan
kompleknya kolaborasi dalam kontek perawatan kesehatan.
Berdasarkan kamus Heritage Amerika (2000), kolaborasi adalah bekerja
bersama khususnya dalam usaha penggambungkan pemikiran. Hal ini sesuai
dengan apa yang dikemukanan oleh Gray (1989) menggambarkan bahwa
kolaborasi sebagai suatu proses berfikir dimana pihak yang terklibat memandang
aspek-aspek perbedaan dari suatu masalah serta menemukan solusi dari
perbedaan tersebut dan keterbatasan padangan mereka terhadap apa yang dapat
dilakukan.
American Medical Assosiation (AMA), 1994, setelah melalui diskusi
dan negosiasi yang panjang dalam kesepakatan hubungan professional dokter
dan perawat, mendefinisikan istilah kolaborasi sebagai berikut ; Kolaborasi
adalah proses dimana dokter dan perawat merencanakan dan praktek bersama
sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batasan-batasan lingkup
praktek mereka dengan berbagi nilai-nilai dan saling mengakui dan menghargai
terhadap setiap orang yang berkontribusi untuk merawat individu, keluarga dan
masyarakat. (www.nursingword.org/readroom,)

1
Koaborasi (ANA, 1992), hubungan kerja diantara tenaga kesehatan
dalam memeberikan pelayanan kepada pasien/klien adalah dalam melakukan
diskusi tentang diagnosa, melakukan kerjasama dalam asuhan kesehatan, saling
berkonsultasi atau komunikasi serta masing-masing bertanggung jawab pada
pekerjaannya.
Apapun bentuk dan tempatnya, kolaborasi meliputi suatu pertukaran
pandangan atau ide yang memberikan perspektif kepada seluruh kolaborator.
Efektifitas hubungan kolaborasi profesional membutuhkan mutual respek baik
setuju atau ketidaksetujuan yang dicapai dalam interaksi tersebut. Partnership
kolaborasi merupakan usaha yang baik sebab mereka menghasilkan outcome
yang lebih baik bagi pasien dalam mecapai upaya penyembuhan dan
memperbaiki kualitas hidup.
Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan sharing
pengetahuan yang direncanakan yang disengaja, dan menjadi tanggung jawab
bersama untuk merawat pasien. Kadangkala itu terjadi dalam hubungan yang
lama antara tenaga profesional kesehatan. (Lindeke dan Sieckert, 2005). Bekerja
bersama dalam kesetaraan adalah esensi dasar dari kolaborasi yang kita gunakan
untuk menggambarkan hubungan perawat dan dokter. Tentunya ada
konsekweksi di balik issue kesetaraan yang dimaksud. Kesetaraan kemungkinan
dapat terwujud jika individu yang terlibat merasa dihargai serta terlibat secara
fisik dan intelektual saat memberikan bantuan kepada pasien.
Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau
perawat klinik bekerja dengan dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan
dalam lingkup praktek profesional keperawatan, dengan pengawasan dan
supervisi sebagai pemberi petunjuk pengembangan kerjasama atau mekanisme
yang ditentukan oleh peraturan suatu negara dimana pelayanan diberikan.
Perawat dan dokter merencanakan dan mempraktekan bersama sebagai kolega,
bekerja saling ketergantungan dalam batas-batas lingkup praktek dengan berbagi
nilai-nilai dan pengetahuan serta respek terhadap orang lain yang berkontribusi
terhadap perawatan individu, keluarga dan masyarakat.

2
B. Kolaborasi di Rumah Sakit
Kolaborasi merupakan hubungan kerja sama antara anggota tim dalam
memberikan asuhan kesehatan. Pada kolaborasi terdapat sikap saling
menghargai antar tenaga kesehatan dan saling memberikan informasi tentang
kondisi klien demi mencapai tujuan (Hoffart & Wood, 1996; Wlls, Jonson &
Sayler, 1998).
Hubungan kolaborasi di Rumah Sakit :

Dokter Perawat Ahli Gizi

Fokus
Klien/
Pasien

laboratorium dll

administrasi IPSRS
radiologi

Tim Kerja di Rumah Sakit :



Tim satu disiplin ilmu:
- Tim Perawat
- Tim dokter
- Tim administrasi
- dll

Tim multi disiplin :
- Tim operasi
- Tim nosokomial infeksi
- dll

3
 Anggota Tim interdisiplin
Tim pelayanan kesehatan interdisiplin merupakan sekolompok
profesional yang mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum dan berbeda
keahlian. Tim akan berfungsi baik jika terjadi adanya konstribusi dari anggota
tim dalam memberikan pelayanan kesehatan terbaik. Anggota tim kesehatan
meliputi : pasien, perawat, dokter, fisioterapi, pekerja sosial, ahli gizi, manager,
dan apoteker. Oleh karena itu tim kolaborasi hendaknya memiliki komunikasi
yang efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai antar sesama anggota
tim.
Pasien secara integral adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien
dalam pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu rencana
menjadi efektif. Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal hanya dapat
dicapai jika pasien sebagai pusat anggota tim.
Perawat sebagai anggota membawa persfektif yang unik dalam
interdisiplin tim. Perawat memfasilitasi dan membantu pasien untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan dari praktek profesi kesehatan lain. Perawat
berperan sebagai penghubung penting antara pasien dan pemberi pelayanan
kesehatan.
Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis, mengobati dan
mencegah penyakit. Pada situasi ini dokter menggunakan modalitas pengobatan
seperti pemberian obat dan pembedahan. Mereka sering berkonsultasi dengan
anggota tim lainnya sebagaimana membuat referal pemberian pengobatan.
Kolaborasi menyatakan bahwa anggota tim kesehatan harus bekerja
dengan kompak dalam mencapai tujuan. Elemen penting untuk mencapai
kolaborasi yang efektif meliputi kerjasama, asertifitas, tanggung jawab,
komunikasi, otonomi dan koordinasi seperti skema di bawah ini.

4
Communi
cations Responsi
bility
Autonom
y

cooperation
Common Efective
purpose collaborat
ion

Assertiveness
Coordinati
on
Mutuality

 Elemen kunci efektifitas kolaborasi


Kerjasama adalah menghargai pendapat orang lain dan bersedia untuk
memeriksa beberapa alternatif pendapat dan perubahan kepercayaan. Asertifitas
penting ketika individu dalam tim mendukung pendapat mereka dengan
keyakinan. Tindakan asertif menjamin bahwa pendapatnya benar-benar didengar
dan konsensus untuk dicapai. Tanggung jawab, mendukung suatu keputusan yang
diperoleh dari hasil konsensus dan harus terlibat dalam pelaksanaannya.
Komunikasi artinya bahwa setiap anggota bertanggung jawab untuk membagi
informasi penting mengenai perawatan pasien dan issu yang relevan untuk
membuat keputusan klinis. Otonomi mencakup kemandirian anggota tim dalam
batas kompetensinya. Kordinasi adalah efisiensi organisasi yang dibutuhkan dalam
perawatan pasien, mengurangi duplikasi dan menjamin orang yang berkualifikasi
dalam menyelesaikan permasalahan.
Kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum, konstribusi praktisi
profesional, kolegalitas, komunikasi dan praktek yang difokuskan kepada pasien.

5
Kolegalitas menekankan pada saling menghargai, dan pendekatan profesional
untuk masalah-masalah dalam team dari pada menyalahkan seseorang atau atau
menghindari tangung jawab. Hensen menyarankan konsep dengan arti yang
sama : mutualitas dimana dia mengartikan sebagai suatu hubungan yang
memfasilitasi suatu proses dinamis antara orang-orang ditandai oleh keinginan
maju untuk mencapai tujuan dan kepuasan setiap anggota. Kepercayaan adalah
konsep umum untuk semua elemen kolaborasi. Tanpa rasa pecaya, kerjasama
tidak akan ada, asertif menjadi ancaman, menghindar dari tanggung jawab,
terganggunya komunikasi . Otonomi akan ditekan dan koordinasi tidak akan
terjadi.

Dasar-dasar kompetensi koaborasi :


 Komunikasi
 Respek dan kepercayaan
 Memberikan dan menerima feed back
 Pengambilan keputusan
 Manajemen konflik

Komunikasi sangat dibutuhkan daam berkolaborasi karena kolaborasi


membutuhkan pemecahan masalah yang lebih kompleks, dibutuhkan komunikasi
efektif yang dapat dimengerti oleh semua anggota tim. Pada dasar kompetensi
yang lain, kualitas respek dapat dilihat lebih kearah honor dan harga diri,
sedangkan kepercayaan dapat dilihat pada mutu proses dan hasil. Respek dan
kepercayaan dapat disampaikan secara verbal maupu non verbal serta dapat dilihat
dan dirasakan dalam penerapannya sehari-hari.Feed back dipengaruhi oleh
persepsi seseorang, pola hubungan, harga diri, kepercayaan diri, kepercayaan,
emosi, lingkunganserta waktu, feed back juga dapat bersifat negatif maupun
positif. Dalam melakukan kolaborasi juga akan melakukan manajemen konflik,
konflik peran umumnya akan muncul dalam proses. Untuk menurunkan konflik
maka masing-masing anggota harus memahami peran dan fungsinya, melakukan

6
klarifikasi persepsi dan harapan, mengidentifikasi kompetensi, mengidentifikasi
tumpang tindih peran serta melakukan negosiasi peran dan tanggung jawabnya.
Elemen kunci kolaborasi dalam kerja sama team multidisipliner dapat
digunakan untuk mencapai tujuan kolaborasi team :
 Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan menggabungkan
keahlian unik profesional.
 Produktivitas maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya
 Peningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas
 Meningkatnya kohesifitas antar profesional
 Kejelasan peran dalam berinteraksi antar profesional,
 Menumbuhkan komunikasi, kolegalitas, dan menghargai dan memahami
orang lain.
Terwujudnya suatu kolaborasi tergantung pada beberapa kreiteria yaitu :
(1) adanya rasa saling percaya dan menghormati, (2) saling memahami dan
menerima keilmuan masing-masing, (3) memiliki citra diri positif, (4) memiliki
kematangan profesional yang setara (yang timbul dari pendidikan dan
pengalaman), (5) mengakui sebagai mitra kerja bukan bawahan, dan (6) keinginan
untuk bernegosiasi (Hanson & Spross, 1996).
Inti dari suatu hubungan kolaborasi adalah adanya perasaan saling
tergantung (interdependensi) untuk kerja sama dan bekerja sama. Bekerja bersama
dalam suatu kegiatan dapat memfasilitasi kolaborasi yang baik. Kerjasama
mencerminkan proses koordinasi pekerjaan agar tujuan auat target yang telah
ditentukan dapat dicapai. Selain itu, menggunakan catatan klien terintegrasi dapat
merupakan suatu alat untuk berkomunikasi anatar profesi secara formal tentang
asuhan klien.

Kolaborasi dapat berjalan dengan baik jika :


a) Semua profesi mempunyai visi dan misi yang sama
b) Masing-masing profesi mengetahui batas-batas dari pekerjaannya
c) Anggota profesi dapat bertukar informasi dengan baik

7
d) Masing-masing profesi mengakui keahlian dari profesi lain yang tergabung
dalam tim.

Model Praktek Kolaborasi :


a) Interaksi Perawat-Dokter, dalam persetujuan pratek
b) Kolaborasi Perawat – Dokter, dalam memberikan pelayanan
c) Tim Interdisiplin atau komite
Pemahaman mengenai prinsip kolaborasi dapat menjadi kurang berdasar
jika hanya dipandang dari hasilnya saja. Pembahasan bagaimana proses kolaborasi
itu terjadi justru menjadi point penting yang harus disikapi. Bagaimana masing-
masing profesi memandang arti kolaborasi harus dipahami oleh kedua belah pihak
sehingga dapat diperoleh persepsi yang sama.
Kolaborasi dan model interdisiplin merupakan fondasi dalam memberikan
asuhan keperawatan yang bermutu tinggi dan hemat biaya. Melalui pemanfaatan
keahlian berbagai anggota tim untuk berkolaborasi, hasil akhir asuhan kesehatan
dapat dioptimalkan Hickey, Ouimette dan Venegoni, 1996)
Seorang dokter saat menghadapi pasien pada umumnya berfikir, ” apa
diagnosa pasien ini dan perawatan apa yang dibutuhkannya” pola pemikiran
seperti ini sudah terbentuk sejak awal proses pendidikannya. Sulit dijelaskan
secara tepat bagaimana pembentukan pola berfikir seperti itu apalagi kurikulum
kedokteran terus berkembang. Mereka juga diperkenalkan dengan lingkungan
klinis dibina dalam masalah etika, pencatatan riwayat medis, pemeriksaan fisik
serta hubungan dokter dan pasien. mahasiswa kedokteran pra-klinis sering terlibat
langsung dalam aspek psikososial perawatan pasien melalui kegiatan tertentu
seperti gabungan bimbingan – pasien. Selama periode tersebut hampir tidak ada
kontak formal dengan para perawat, pekerja sosial atau profesional kesehatan lain.
Sebagai praktisi memang mereka berbagi lingkungan kerja dengan para perawat
tetapi mereka tidak dididik untuk menanggapinya sebagai rekanan/sejawat/kolega.
(Siegler dan Whitney, 2000)

8
Dilain pihak seorang perawat akan berfikir; apa masalah pasien ini?
Bagaimana pasien menanganinya?, bantuan apa yang dibutuhkannya? Dan apa
yang dapat diberikan kepada pasien?. Perawat dididik untuk mampu menilai status
kesehatan pasien, merencanakan intervensi, melaksanakan rencana, mengevaluasi
hasil dan menilai kembali sesuai kebutuhan. Para pendidik menyebutnya sebagai
proses keperawatan. Inilah yang dijadikan dasar argumentasi bahwa profesi
keperawatan didasari oleh disiplin ilmu yang membantu individu sakit atau sehat
dalam menjalankan kegiatan yang mendukung kesehatan atau pemulihan sehingga
pasien bisa mandiri.
Sejak awal perawat dididik mengenal perannya dan berinteraksi dengan
pasien. Praktek keperawatan menggabungkan teori dan penelitian perawatan
dalam praktek rumah sakat dan praktek pelayanan kesehatan masyarakat. Para
pelajar bekerja diunit perawatan pasien bersama staf perawatan untuk belajar
merawat, menjalankan prosedur dan menginternalisasi peran.
Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan sharing
pengetahuan yang direncanakan yang disengaja, dan menjadi tanggung jawab
bersama untuk merawat pasien. Kadangkala itu terjadi dalam hubungan yang lama
antara tenaga profesional kesehatan. (Lindeke dan Sieckert, 2005).
Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau perawat
klinik bekerja dengan dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam
lingkup praktek profesional keperawatan, dengan pengawasan dan supervisi
sebagai pemberi petunjuk pengembangan kerjasama atau mekanisme yang
ditentukan oleh peraturan suatu negara dimana pelayanan diberikan. Perawat dan
dokter merencanakan dan mempraktekan bersama sebagai kolega, bekerja saling
ketergantungan dalam batas-batas lingkup praktek dengan berbagi nilai-nilai dan
pengetahuan serta respek terhadap orang lain yang berkontribusi terhadap
perawatan individu, keluarga dan masyarakat.
Berkaitan dengan issue kolaborasi dan soal menjalin kerja sama kemitraan
dengan dokter, perawat perlu mengantisipasi konsekuensi perubahan dari
vokasional menjadi profesional. Status yuridis seiring perubahan perawat dari

9
perpanjangan tangan dokter menjadi mitra dokter sangat kompleks. Tanggung
jawab hukum juga akan terpisah untuk masing-masing kesalahan atau kelalaian.
Yaitu, malpraktik medis, dan malpraktik keperawatan. Perlu ada kejelasan dari
pemerintah maupun para pihak terkait mengenai tanggung jawab hukum dari
perawat, dokter maupun rumah sakit. Organisasi profesi perawat juga harus
berbenah dan memperluas struktur organisasi agar dapat mengantisipasi
perubahan.
(www. kompas.com.)
Pertemuan profesional dokter-perawat dalam situasi nyata lebih banyak
terjadi dalam lingkungan rumah sakit. Pihak manajemen rumah sakit dapat
menjadi fasilitator demi terjalinnyanya hubungan kolaborasi seperti dengan
menerapkan sistem atau kebijakan yang mengatur interaksi diantara berbagai
profesi kesehatan. Pencatatan terpadu data kesehatan pasien, ronde bersama, dan
pengembangan tingkat pendidikan perawat dapat juga dijadikan strategi untuk
mencapai tujuan tersebut.
Ronde bersama yang dimaksud adalah kegiatan visite bersama antara
dokter-perawat dan mahasiswa perawat maupun mahasiswa kedokteran, dengan
tujuan mengevaluasi pelayanan kesehatan yang telah dilakukan kepada pasien.
Dokter dan perawat saling bertukar informasi untuk mengatasi permasalahan
pasien secara efektif. Kegiatan ini juga merupakan sebagai satu upaya untuk
menanamkan sejak dini pentingnya kolaborasi bagi kemajuan proses
penyembuhan pasien. Kegiatan ronde bersama dapat ditindaklanjuti dengan
pertemuan berkala untuk membahas kasus-kasus tertentu sehingga terjadi trasnfer
pengetahuan diantara anggota tim.
Komunikasi dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif, hal
tersebut perlu ditunjang oleh sarana komunikasi yang dapat menyatukan data
kesehatan pasien secara komfrenhensif sehingga menjadi sumber informasi bagi
semua anggota team dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu perlu
dikembangkan catatan status kesehatan pasien yang memungkinkan komunikasi
dokter dan perawat terjadi secara efektif.

10
Pendidikan perawat perlu terus ditingkatkan untuk meminimalkan
kesenjangan profesional dengan dokter melalui pendidikan berkelanjutan.
Peningkatan pengetahuan dan keterampilan dapat dilakukan melalui pendidikan
formal sampai kejenjang spesialis atau minimal melalui pelatihan-pelatihan yang
dapat meningkatkan keahlian perawat.

 Perawat sebagai Kolaborator


Sebagai seorang kolaborator, perawat melakukan kolaborasi dengan klien,
pper group serta tenaga kesehatan lain. Kolaborasi yang dilakukan dalam praktek
di lapangan sangat penting untuk memperbaiki. Agar perawat dapat berperan
secara optimal dalam hubungan kolaborasi tersebut, perawat perlu menyadari
akuntabilitasnya dalam pemberian asuhan keperawatan dan meningkatkan
otonominya dalam praktik keperawatan. Faktor pendidikan merupakan unsur
utama yang mempengaruhi kemampuan seorang profesional untuk mengerti
hakikat kolaborasi yang berkaitan dengan perannya masing-masing, kontribusi
spesifik setisp profesi, dan pentingnya kerja sama. Setiap anggota tim harus
menyadari sistem pemberian asuhan kesehatan yang berpusat pada kebutuhan
kesehatan klien, bukan pada kelompok pemberi asuhan kesehatan. Kesadaran ini
sangat dipengaruhi oleh pemahaman setiap anggota terhadap nilai-nilai
profesional.
Menurut Baggs dan Schmitt, 1988, ada atribut kritis dalam melakukan
kolaborasi, yaitu melakukan sharing perencanaan, pengambilan keputusan,
pemecahan masalah, membuat tujuan dan tanggung jawab, melakukan kerja sama
dan koordinasi dengan komunikasi terbuka.

C. Prosedur Perawatan pada Tindakan Kolaboratif


1) Test Alergi (Skin Test)
Skin test merupakan salah satu dari dua macam pengujian
reaksi alergi yangdianggap valid dan sudah diterapkan selama bertahun-
tahun. Skin test adalah suatu pengujian yang dilakukan pada kulit

11
untuk mengidentifikasi substansi alergi (alergen) yang menjadi pemicu
timbulnya reaksi alergi.
Skin test biasanya dilakukan pada pasien yang akan diberikan
pengobatan dan dicurigai memiliki alergi terhadap bahan dan obat tertentu,
misalnya pada penderita rhinitis alergika, asthma, alergi makanan dan lain
sebagainya.
Alasan mengapa skin test merupakan pengujian yang sering
dan harusdilakukan terhadap pasien di rumah sakit maupun klinik adalah
bahwa setiap individu memiliki sensitivitas yang berbeda-beda terhadap
berbagai macam bahan maupun obat.Selain itu, skin test relatif mudah
dilakukan, nyaman bagi pasien, tidak mahal, dan hasil pemeriksaan bisa
didapatkan hanya dalam waktu 15-20 menit. Pengujian dimulai dengan
menggores atau menusuk kulit dengan jarum steril khusus, dan
depositkan sejumlah kecil ekstrak alergen ke dalam kulit. Tunggu 15-20
menit, kemudian evaluasi reaksi kulit. Jika pada kulit muncul bentol
kemerahan, seperti gigitan nyamuk, artinya hasil pengujian positif dan
pasien alergi terhadap bahan yang diujikan. Jika kulit tidak menimbulkan
reaksi, artinya rencana pengobatan aman untuk dilanjutkan. Pengujian ini
tidak menimbulkan rasa sakit dan tidak menyebabkan perdarahan pada
pasien karena jarum hanya masuk ke permukaan kulit saja. Skintest juga
dapat dilakukan dengan cara menginjeksikan alergen ke bawah kulit, atau
dengan menempelkan alergen pada kulit dalam periode waktu spesifik (48
jam).
a. Pengertian Skin Test
Memberikan obat melalui suntikan intracutan/ intradermal adalah suatu
tindakan membantu proses penyembuhan melalui suntikan ke dalam jaringan
kulit atau intra dermis.

Injeksi ini dilakukan dengan menyuntikkan obat dibawah permukaan
kulit antebrachii bagian dalam.

Digunakan untuk skin test atau tes tuberculin

12

Intradermal memiliki sirkulasi darah yang minimal dan obat obat akan
diabsorbsi secara perlahan (sangat lambat).

Bermanfaat untuk skin tes karena beberapa klien akan mengalami
reaksi anafilaktik jika obat masuk kedalam tubuh secara cepat

Menggunakan jarum ukuran kecil (1/4-1/2 inci) atau jarum khusus tes
tuberculin
Sudut penyuntikan 5-15o

Tempat penyuntikan: permukaan kulit yang terang, sedikit rambut,
tidak ada lesi dan oedem

Jumlah cairan yang disuntikkan 0,01-0,1 cc
Contoh: 1 gram ampicillin diencerkan 5 cc aquades. Ambil larutan tersebut
0,1 cc kemudian diencerkan himgga 1 cc. Masukkan obat secara
intradermal/intracutan 0,01-0,1 cc
b. Tujuan Melakukan Skin Test
 Pasien mendapatkan pengobatan sesuai program pengobatan dokter.
 Memperlancar proses pengobatan dan menghindari kesalahan dalam
pemberian obat.
 Membantu menentukan diagnosa terhadap penyakit tertentu (misalnya
tuberculin tes).
 Menghindarkan pasien dari efek alergi obat ( dengan skin test).
c. Prinsip Melakukan Skin Test
1) Sebelum memberikan obat perawat harus mengetahui diagnosa medis
pasien, indikasi pemberian obat, dan efek samping obat, dengan prinsip
10 benar yaitu benar pasien, benar obat, benar dosis, benar waktu
pemberian, benar cara pemberian, benar pemberian keterangan tentang
obat pasien, benar tentang riwayat pemakaian obat oleh pasien, benar
tentang riwayat alergi obat pada pasien, benar tentang reaksi pemberian
beberapa obat yang berlainan bila diberikan bersama-sama, dan benar
dokumentasi pemakaian obat.
2) Untuk mantoux tes (pemberian PPD) diberikan 0,1 cc dibaca setelah 2-3
kali 24 jam dari saat penyuntikan obat.

13
3) Setelah dilakukan penyuntikan tidak dilakukan desinfektan.
4) Perawat harus memastikan bahwa pasien mendapatkan obatnya, bila ada
penolakan pada suatu jenis obat, maka perawat dapat mengkaji
penyebab penolakan, dan dapat mengkolaborasikannya dengan dokter
yang menangani pasien, bila pasien atau keluarga tetap menolak
pengobatan setelah pemberian inform consent, maka pasien maupun
keluarga yang bertanggungjawab menandatangani surat penolakan
untuk pembuktian penolakan therapi.
5) Injeksi intrakutan yang dilakukan untuk melakukan tes pada jenis
antibiotik, dilakukan dengan cara melarutkan antibiotik sesuai
ketentuannya, lalu mengambil 0,1 cc dalam spuit dan menambahkan
aquabidest 0,9cc dalam spuit, yang disuntikkan pada pasien hanya 0,1cc.
6) Injeksi yang dilakukan untuk melakukan test mantoux, PPD diambil 0,1
cc dalam spuit, untuk langsung disuntikan pada pasien.
d. Prosedur Melakukan Skin Test
1. Persiapan
a. Menjelaskan tujuan dan prosedur pemberian obat
b. Memberikan posisi yang nyaman pada pasien
c. Alat dan bahan
1) Obat-obatan yang sesuai program pengobatan dokter
2) Daftar obat pasien
3) Spuit 1 cc atau 0,5 cc disposible.
4) Jarum sesuai kebutuhan, gergaji ampul bila perlu.
5) Perlak dan alas
6) Kapas alkohol atau kapas yang sudah dibasahi NaCl 0,9%
dalam tempatnya.
7) Handschoen.
8) Nierbeken
2. Pelaksanaan
1) Mencuci tangan
2) Berdiri di sebelah kanan/kiri pasien sesuai kebutuhan.

14
3) Cek daftar obat pasien untuk memberikan obat
4) Membawa obat dan daftar obat ke hadapan pasien sambil
mencocokkan nama pada tempat tidur dengan nama pada daftar
obat.
5) Meenginjeksi pasien sesuai dengan nama pada daftar obat
6) Jaga privasi pasien
7) Injeksi intrakutan dilakukan dengan cara spuit diisi oleh obat sesuai
dosisnya.
8) Menentukan lokasi injeksi yaitu 1/3 atas lengan bawah bagian
dalam.
9) Membersihkan lokasi tusukan dengan kapas normal saline atau
kapas alcohol bila diperlukan, kulit diregangkan tunggu sampai
kering.
10) Lubang jarum menghadap keatas dan membuat sudut antara 5-
150 dari permukaan kulit
11) Memasukan obat perlahan-lahan sampai berbentuk gelembung
kecil, dosis yang diberikan 0,1 cc atau sesuai jenis obat.
12) Setelah penyuntikan area penyuntikan tidak boleh didesinfeksi.
13) Bila injeksi intrakutan dilakukan untuk test antibiotik, lakukan
penandaan pada area penyutikan dengan melingkari area
penyuntikan dengan diameter kira kira 1inchi atau diameter 2,5 cm.
Penilaian reaksi dilakukan 15 menit setelah penyuntikan. Nilai
positif jika terdapat tanda tanda rubor, dolor, kalor melebihi daerah
yang sudah ditandai, artinya pasien alergi dengan antibiotik
tersebut.
14) Bila injeksi ditujukan untuk mantoux test tuberkulin test, dapat
dinilai hasilnya dalam 2 sampai 3 kali 24 jam, positif bila terdapat
rubor dolor kalor melebihi diameter 1 cm pada area penyuntikan.
15) Beri penjelasan pada pasien atau keluarga untuk tentang penilaian
pada daerah penyuntikan dan anjurkan untuk tidak menggaruk,
memasage atau memberi apapun pada daerah penyutikan.
Menyimpan obat obat sisa dan daftar obat pasien ketempatnya
16) Mengobservasi keadaan umum pasien
17) melepaskan handschoen, mencuci tangan.
18) Membuat pendokumentasian mencakup:

15
 Tindakan dan respon pasien
 Nama jelas perawat yang melakukan tindakan, waktu
penyuntikan dan waktu penilaian, dan lokasi penyuntikan.

D. CARA PEMBERIAN OBAT


Pemberian obat kepada pasien dapat dilakukan melalui beberapa cara di
antaranya: oral, parenteral, rektal, vaginal, kulit, mata, telinga dan hidung, dengan
menggunakan prinsip lima tepat yakni tepat nama pasien, tepat nama obat, tepat
dosis obat, tepat cara pemberian dan tepat waktu pemberian.
a. Pemberian Obat Oral
Merupakan cara pemberian obat melalui mulut dengan tujuan mencegah,
mengobati, mengurangi rasa sakit sesuai dengan efek terapi dari jenis obat.
Alat dan Bahan:
1. Daftar buku obat/ catatan, jadual pemberian obat.
2. Obat dan tempatnya.
3. Air minum dalam tempatnya.
Prosedur Kerja:
1. Cuci tangan.
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
3. Baca obat, dengan berprinsip tepat obat, tepat pasien, tepat dosis, tepat
waktu dan tepat tempat.
Bantu untuk meminumkannya dengan cara:
 Apabila memberikan obat berbentuk tablet atau kapsul dari botol,
maka tuangkan jumlah yang dibutuhkan ke dalam tutup botol dan
pindahkan ke tempat obat. Jangan sentuh obat dengan tangan.
Untuk obat berupa kapsul jangan dilepaskan pembungkusnya.
 Kaji kesulitan menelan, bila ada jadikan tablet dalam bentuk bubuk
dan campur dengan minuman.
 Kaji denyut nadi dan tekanan darah sebelum pemberian obat yang
membutuhkan pengkajian.
4. Catat perubahan, reaksi terhadap pemberian, dan evaluasi respon
terhadap obat dengan mencatat hasil pemberian obat.

16
5. Cuci tangan.

 Pemberian Obat Per oral


Pemberian obat per oral merupakan cara yang paling banyak dipakai
karena merupakan cara yang paling mudah, murah, aman, dan nyaman bagi
pasien. Berbagai bentuk obat dapat diberikan secara oral baik dalam bentuk tablet,
sirup, kapsul atau puyer. Untuk membantu absorbsi, maka pemberian obat per oral
dapat disertai dengan pemberian setengah gelas air atau cairan yang lain (Gbr. 40-
2). Kelemahan dari pemberian obat per oral adalah pada aksinya yang lambat
sehingga cara ini tidak dapat dipakai pada keadaan gawat. Obat yang diberikan per
oral biasanya membutuhkan waktu 30 sampai dengan 45 menit sebelum diabsorbs
dan efek puncaknya dicapai selama 1 jam. Rasa dan bau obat yang tidak enak
sering menganggu pasien. Cara per oral tidak dapat dipakai pada pasien yang
mengalami mual- mual, muntah, semi koma, pasien yang akan menjalani
pengisapan cairan lambung serta pada pasien yang mempunyai gangguan menelan.
Beberapa jenis obat dapat mengakibatkan iritasi lambung dan
menyebabkan muntah (missal garam besi dan salisilat). Untuk mencegah hal ini,
obat dipersiapkan dalam bentuk kapsul yang diharapkan tetap utuh dalam suasana
asam di lambung, tetapi menjadi hancur pada suasana netral atau basa di usus.
Dalam memberikan obat jenis ini, bungkus kapsul tidak boleh dibuka, obat tidak
boleh dikunyah dan pasien diberi tahu untuk tidak minum antacid atau susu
sekurang- kurangnya satu jam setelah minum obat.
Apabila obat dikemas dalam bentuk sirup, maka pemberian harus
dilakukan dengan cara yang paling nyaman khususnya untuk obat yang pahit atau
rasanya tidak enak. Pasien dapat diberi minuman sirup pasien (es) sebelum minum
sirup tersebut. Sesudah minum sirup pasien dapat diberi minum, pencuci mulut
atau kembang gula.

 Persiapan obat per oral dan cara lainnya merupakan hal yang penting.

17
a. Kartu pesanan obat harus diperiksa secara hati- hati tentang pesanan obatnya.
Sebelum mengambil/ mengeluarkan obat, perawat harus mencocokkan kartu
pesanan obat dengan label pada botol kemasan obat. Setiap label harus dibaca
tiga kali untuk menyakinkan obat yang diberi (1) Pada saat botol obat diambil
dari almari, (2) Pada saat mencocokkan dengan kartu pesanan obat, (3) Pada
saat dikembalikan.
b. Obat dalam bentuk cair dituangkan menjauhi sisi label, sejajar dengan mata
pada permukaan yang datar. Sebelum mengembalikan obat ke dalam almari
atau lemari es, perawat harus mengusap bibir botol sehingga obat tidak
lengket atau merusak label.
c. Tablet dan kapsul dikeluarkan dari botolnya pada tutupnya kemudian pada
mangkok yang dialasi kertas untuk diberikan pada pasien. Kapsul dan tablet
tidak boleh dipegang. (Diadaptasikan dari :Pagliaro, 1986, Pharmacologic
Aspects of Nursing, The CV Mosby co, St Louis).
 Cara kerja pemberian obat per oral
Peralatan :
1. Baki berisi obat- obatan atau kereta sorong obat- obat (tergantung sarana yang
ada)
2. Kartu rencana pengobatan
3. Cangkir disposable untuk tempat obat
4. Martil dan lumping penggerus (bila diperlukan).
Tahap kerja :
1. Siapan peralatan dan cuci tangan
2. Kaji kemammpuan pasien untuk dapat minum obat per oral (kemapuan
menelan, mual dan muntah, akan dilakuakn penghisapan caiaran lambung,
atau tidak boleh makan/ minum).
3. Periksa kembali order pengobatan (nama pasien,nama dan dosis obat, waktu
dan cara pemberian). Bila ada keragu- raguan laporkan ke perawat jaga atau
dokter.

18
4. Ambil obat sesuai yang diperlukan (Baca order pengobatan dan ambil obat di
almari, rak atau lemari es sesuai yang di perlukan).
5. Siapkan obat- obatan yang akan diberikan (gunakan teknik asptik, jangan
menyentuh obat dan cocokkan dengan order pengobatan) (lihat Gbr. 4-1).
6. Berikan obat pada waktu dan cara yang benar yaitu dengan cara :
 Yakin bahwa tidak pada pasien yang salah
 Atur posisi pasien duduk bila mungkin
 Berikan cairan/ aiar yang cukup untuk membantu menelan, bila sulit
menelan anjurkan pasien meletakkan obat di lidah bagian belakang,
kemudian pasien dianjurkan minum.
 Bila obat mempunyai rasa tidak enak, beri pasien berapa butir es batu untuk
diisap sebelumnya, atau berikan obat dengan menggunakan lumatan apael
atau pisang.
 Tetap bersama pasien sampai obat ditelan.
7. Catat tindakkan yang telah dilakukan meliputi nama dan dosis obat yang
diberikan, setiap keluhan dan hasil pengkajian pada pasien. Bila obat tidak
dapat masuk, catat secara jelas dan tulis tanda tangan anda dengan jelas.
8. Kemudian semua peralatan yang dipakai dengan tepat dan benar kemudian
cuci tangan.
9. Lakukan evaluasi mengenai efek obat pada pasien kurang lebih 30 menit
sewaktu pemberian.
b. Pemberian Secara Sublingual
Obat dapat diberikan pada pasien secara sublingual yaitu dengan cara
meletakkan obat di bawah lidah. Meskipun cara ini jarang dilakukan, namun
perawat harus mampu melakukannya. Dengan cara ini, aksi kerja obat lebih cepat
yaitu setelah hancur di bawah lidah maka obat segera mengalami absorbsi ke
dalam pembuluh darah. Cara ini juga mudah dilakukan dan pasien tidak
mengalami kesakitan. Pasien diberitahu untuk tidak menelan obat karena bila
ditelan, obat menjadi tidak aktif oleh adanya proses kimiawi dengan cairan
lambung. Untuk mencegah obat tidak di telan, maka pasien diberitahu untuk

19
membiarkan obat tetap di bawah lidah sampai obat menjadi hancur dan terserap.
Obat yang sering diberikan dengan cara ini adalah nitrogliserin yaitu obat
vasodilator yang mempunyai efek vasodilatasi pembuluh darah. Obat ini banyak
diberikan pada pada pasien yang mengalami nyeri dada akibat angina pectoris.
Dengan cara sublingual, obat bereaksi dalam satu menit dan pasien dapat
merasakan efeknya dalam waktu tiga menit (Rodman dan Smith, 1979).

c. Pemberian Obat Secara Topikal


Pemberian obat secara topikal adalah pemberian obat secara lokal dengan
cara mengoleskan obat pada permukaan kulit atau membran area mata, hidung,
lubang telinga, vagina dan rectum. Obat yang biasa digunakan untuk pemberian
obat topikal pada kulit adalah obat yang berbentuk krim, lotion, atau salep. Hal ini
dilakukan dengan tujuan melakukan perawatan kulit atau luka, atau menurunkan
gejala gangguan kulit yang terjadi (contoh : lotion).
Pemberian obat topikal pada kulit terbatas hanya pada obat-obat tertentu
karena tidak banyak obat yang dapat menembus kulit yang utuh. Keberhasilan
pengobatan topical pada kulit tergantung pada: umur, pemilihan agen topikal yang
tepat, lokasi dan luas tubuh yang terkena atau yang sakit, stadium penyakit,
konsentrasi bahan aktif dalam vehikulum, metode aplikasi, penentuan lama
pemakaian obat, penetrasi obat topical pada kulit.

 Klasifikasi Obat Topikal


Berdasarkan bentuk
1. Lotion
Lotion ini mirip dengan shake lotion tapi lebih tebal dan cenderung lebih
emollient di alam dibandingkan dengan shake lotion. Lotion biasanya terdiri
dari minyak dicampur dengan air, dan tidak memiliki kandungan alkohol.
Bisanya lotion akan cepat mengering jika mengandung alkohol yang tinggi.
2. Shake lotion

20
Shake lotion merupakan campuran yang memisah menjadi dua atau tiga
bagian apabila didiamkan dalam jangka waktu tertentu. Minyak sering
dicampur dengan larutan berbasis air.Perlu dikocok terlebih dahulu sebelum
digunakan.
3. Cream/ Krim
Cream adalah campuran yang lebih tebal dari lotion dan akan
mempertahankan bentuknya apabila dikeluarkan wadahnya. Cream biasanya
digunakan untuk melembabkan kulit. Cream memiliki risiko yang signifikan
karena dapat menyebabkan sensitifitas imunologi yang tinggi. Cream
memiliki tingkat penerimaan yang tinggi oleh pasien. Cream memiliki variasi
dalam bahan, komposisi, pH, dan toleransi antara merek generik.
4. Salep
Salep adalah sebuah homogen kental, semi-padat, tebal, berminyak dengan
viskositas tinggi, untuk aplikasi eksternal pada kulit atau selaput lendir.Salep
digunakan sebagai pelembaban atau perlindungan, terapi, atau profilaksis
sesuai dengan tingkat oklusi yang diinginkan.Salep digunakan pada kulit dan
selaput lendir yang terdapat pada mata (salep mata), vagina, anus dan
hidung.Salep biasanya sangat pelembab, dan baik untuk kulit kering selain itu
juga memiliki risiko rendah sensitisasi akibat beberapa bahan minyak atau
lemak.(Jean Smith, Joyce Young dan patricia carr, 2005 : 684)
a. Pada Kulit
Obat yang biasa digunakan untuk pemberian obat topikal pada kulit
adalah obat yang berbentuk krim, lotion, sprei atau salep. Hal ini dilakukan
dengan tujuan melakukan perawatan kulit atau luka, atau menurunkan gejala
gangguan kulit yang terjadi (contoh : lotion). Krim, dapat mengandung zat anti
fungal (jamur), kortikosteorid, atau antibiotic yang dioleskan pada kulit dengan
menggunakan kapas lidi steril.
Krim dengan antibiotic sering digunakan pada luka bakar atau ulkus dekubitus.
Krim adalah produk berbasis air dengan efek mendinginkan dan emolien.
Mereka mengandung bahan pengawet untuk mencegah pertumbuhan bakteri

21
dan jamur, tetapi bahan pengawet tertentu dapat menyebabkan sensitisasi dan
dermatitis kontak alergi.Krim kurang berminyak dibandingkan salep dan secara
kosmetik lebih baik ditoleransi.
Sedangkan salep, dapat digunakan untuk melindungi kulit dari iritasi
atau laserasi kulit akibat kelembaban kulit pada kasus inkontenansia urin atau
fekal. Salep tidak mengandung air, mereka adalah produk berbasis minyak
yang dapat membentuk lapisan penutup diatas permukaan kulit yang membantu
kulit untuk mempertahankan air. Salep nenghidrasi kulit yang kering dan
bersisik serta meningkatkan penyerapan zat aktif, dan karena itu berguna dalam
kondisi kulit kering kronis. Salep tidak mengandung bahan pengawet.
Losion adalah suspensi berair yang dapat digunakan pada permukaan
tubuh yang luas dan pada daerah berbulu.Losion memiliki efek mengeringkan
dan mendinginkan.
Obat transdermal adalah obat yang dirancang untuk larut kedalam kulit untuk
mendapatkan efek sistemik.Tersedia dalam bentuk lembaran.Lembaran obat
tersebut dibuat dengan membran khusus yang membuat zat obat menyerap
perlahan kedalam kulit. Lembaran ini juga dapat sekaligus mengontrol
frekuensi penggunaan obat selama 24 ± 72 jam
Tujuan pemberian pada kulit, yaitu :
 Untuk mempertahankan hidrasi
 Melindungi permukaan kulit
 Mengurangi iritasi kulit
 Mengatasi infeksi

Tindakan
Alat & Bahan :
a. Obat dalam tempatnya (seperti losion, krim, aerosal, sprei)
b. Pinset anatomis
c. Kain kasa
d. Balutan
e. Pengalas

22
f. Air sabun, air hangat
g. Sarung tangan

Prosedur Kerja :
1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
3. Pasang pengalas dibawah daerah yang akan dilakukan tindakan
4. Gunakan sarung tangan
5. Bersihkan daerah yang akan diberi obat dengan air hangat (apabila terdapat
kulit mengeras) dan gunakan pinset anatomis
6. Berikan obat sesuai dengan indikasi dan cara pemakaian seperti mengoleskan
atau mengompres
7. Jika diperlukan, tutup dengan kain kasa atau balutan pada daerah diobati
8. Cuci tangan

b. Pada Mata
Pemberian obat pada mata dilakukan dengan cara meneteskan obat mata atau
mengoleskan salep mata. Persiapan pemeriksaan struktur internal mata dilakukan
dengan cara mendilatasi pupil, untuk mengukur refraksi lensa dengan cara
melemahkan otot lensa, kemudian dapat juga digunakan untuk menghilangkan
iritasi mata
Obat mata biasanya berbentuk cairan dan ointment/ obat salep mata yang
dikemas dalam tabung kecil.Karena sifat selaput lendir dan jaringan mata yang
lunak dan responsif terhadap obat, maka obat mata biasanya diramu dengan
kakuatan yang rendah misalnya 2 %.

Tindakan
Alat &Bahan :

23
a. Obat dalam tempatnya dengan penetes steril atau beruupa salep
b. Pipet
c. Pinset anatomi dalam tempatnya
d. Korentang dalam tempatnya
e. Plester
f. Kain kasa
g. Kertas tisu
h. Balutan
i. Sarung tangan
j. Air hangat atau kapas pelembab

Prosedur Kerja :
1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
3. Atur posisi pasien dengan kepala menengadah, dengan posisi perawat di
samping kanan
4. Gunakan sarung tangan
5. Bersihkan daerah kelopak dan bulu mata dengan kapas lembab dari sudut
mata kearah hidung. Apabila sangat kotor basuh dengan air hangat
6. Buka mata dengan menekan perlahan-lahan bagian bawah dengan ibu jari,
jari telunjuk di ataas tulang orbita
7. Teteskan obat mata diatas sakus konjungtiva . Setelah tetesan selesai sesuai
dengan dosis, anjurkan pasien untuk menutup mata secara perlahan
8. Apabila obat mata jenis salep, pegang aplikator salep diatas pinggir
kelopak mata kemudian pijat tube sehingga obat keluar dan berikan obat
pada kelopak mata bawah. Setelah selesai anjurkan pesian untuk melihat
kebawah, secara bergantian dan berikan obat pada kelopak mata bagian
atas dan biarkan pasien untuk memejamkan mata dan menggerakan
kelopak mata
9. Tutup mata dengan kasa bila perlu

24
10. Cuci tangan
11. Catat obat, jumlah, waktu dan tempat pemberian

c. Pada Telinga
Pemberian obat pada telinga dilakukan dengan cara memberikan tetes telinga
atau salep. Obat tetes telinga ini pada umumnya diberikan pada gangguan infeksi
telinga, khususnya pada telinga tengah (otitis eksternal) dan dapat berupa obat
antibiotik.

Tindakan
Alat &Bahan :
a. Obat dalam tempatnya
b. Penetes
c. Spekulum telinga
d. Pinset anatomi dalam tempatnya
e. Korentang dalam tempatnya
f. Plester
g. Kain kasa
h. Kertas tisu
i. Balutan

Prosedur Kerja :
1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
3. Atur posisi pasien dengan kepala miring kekanan atau kekiri sesuai dengan
daerah yang akan diobati, usahakan agar lubang telinga pasien diatas
4. Luruskan lubang telinga dengan menarik daun telinga ke atas atau ke
belakang (pada orang dewasa), kebawah pada anak-anak

25
5. Apabila obat berupa tetes maka teteskan obat pada dinding saluran untuk
mencegah terhalang oleh gelembung udara dengan jumlah tetesan sesuai
dosis
6. Apabila obat berupa salep maka ambil kapas lidih dan oleskan salep
kemudian masukan atau oleskan pada liang telinga
7. Pertahankan posisi kepala kurang lebih selama 2-3 menit
8. Tutup telingan dengan pembalut dan plester jika diperlukan
b. Cuci tangan
c. Catat jumlah, tanggal dan dosis pemberian

d. Pada Hidung
Pemberian obat pada hidung dilakukan dengan cara memberikan tetes
hidung yang dapat dilakukan pada seseorang dengan keradangan hidung (rhinitis)
atau nasofaring
Efek samping sistemik hampir tidak ada, kecuali pada bayi/anak dan usia
lanjut yang lebih peka terhadap efek sistemik. Namun ada efek samping lain
akibat vasokonstriksi lokal secara cepat yaitu, jika pemberian obat tetes hidung
ini dihentikan, dapat terjadi sumbatan hidung yang lebih berat. Sumbatan
sekunder in dapat menyebabkan kerusakan jaringan setempat dan mengganggu
bulu hidung.
Bentuk-bentuknya :
a. Tetes hidung (nasal drops).ditujukan untuk bayi, anak-anak dan dewasa.
contohnya Breathy, Alfrin, Iliadin, Otrivin.
b. Semprot hidung (nasal spray).ditujukan untuk orang dewasa. contohnya
Afrin, Iliadin, Otrivin.
c. Semprot hidung dengan dosis terukur (metered-dose nasal spray),
ditujukan untuk anak-anak usia tidak kurang dari 4 tahun dan dewasa.
contohnya Beconase, Flixonase, Nasacort AQ, Nasonex, Rhinocort Aqua.

Tindakan

26
Alat &Bahan :
a. Obat dalam tempatnya
b. Pipet
c. Spekulum hidung
d. Pinset anatomi dalam tempatnya
e. Korentang dalam tempatnya
f. Plester
g. Kain kasa
h. Kertas tisu
i. Balutan

Prosedur Kerja :
1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
3. Atur posisi pasien dengan cara :
- Duduk dikursi dengan kepala mengadah ke belakang
- Berbaring dengan kepala ekstensi pada tepi tempat tidur
- Berbaring dengan bantal dibawah bahu dan kepala tengadah ke
belakang
4. Berikan tetesan obat pada tiap lubang hidung (sesuai dengan dosis)
5. Pertahankan posisi kepala tetap tengadah ke belakang selama 5 menit
6. Cuci tangan
7. Catat, cara, tanggal dan dosis pemberian obat

 Indikasi pengobatan secara topical


a. Pada pasien dengan mata merah akibat iritasi ringan
b. Pada pasien radang atau alergi mata.
c. Infeksi saluran napas,
d. Otitis media (radang rongga gendang telinga),
e. infeksi kulit.

27
 Kontra indikasi pengobatan secara topikal :
a. Pada penderita glaukoma atau penyakit mata lainnya yang hebat, bayi dan
anak. Kecuali dalam pegawasan dan nasehat dokter.
b. Hipersensitivitas.
c. Diare, gangguan fungsi hati & ginjal.
d. Pada pasien ulkus
e. Individu yang atopi (hipersensitifitas atau alergi berdasarkan
kecenderungan yang ditemurunkan).

 Keuntungan pengobatan secara topical :


Untuk efek lokal, mencegah first-pass effect serta meminimalkan efek
samping sistemik. Untuk efek sistemik, menyerupai cara pemberian obat
melalui intravena (zero-order)

 Kerugian pengobatan secara topical :


a. Secara kosmetik kurang menarik
b. Absorbsinya tidak menentu

c. Cara Pemberian Obat Parenteral


1) Suntikan Intrakutan
 Pengertian :
Yang dimaksud dengan suntikan intrakutan adalah memasukkan obat
kedalam jaringan kulit.

 Tujuan :
- Mendapatkan reaksi setempat.
- Mendapatkan / menambahkan kekebalan misalnya, suntikan B.C.G.

28
 Tempat penyuntikan :
- Di lengan bawah : bagian lengan bawah sepertiga dari lekukan siku
( dua per tiga dari pergelangan tangan ) pada kulit yang sehat, jauh dari
pembulu darah ( untuk Mauntox ).
- Di lengan atas : 3 jari di bawah sendi bahu di tengah – tengah daerah
muskulus deltoideus, untuk B.C.G.

 Persiapan alat-alat
Alat yang harus digunakan untuk melaksanakan intrakutan adalah
sebagai berikut :
a) baki berisi :
- Bak semprit yang didalamnya terdapat semprit seteril 1cc +
jarum no. 18 atau no. 20 berisi cairan suntikan dan kapas
alkohol,
- Bengkok kosong,
- Daftar / buku suntikan.
b) sampiran.
 Cara bekerja :
Cara melaksanakan pekerjaan ini adalah sebagai berikut :
1) Memberitahu dan menjelaskan pada pasien
2) Membawa alat-alat ke dekat pasien
3) Memasang sampiran bila perlu dan mengatur posisi pasien
4) Mencuci tangan
5) Membebaskan daerah yang akan disuntik dari pakaian
6) Menghapus hamakan kulit pasien dengan kapas alkohol,
membuang kapas bekas kedalam bengkok, tunggu sampai kulit
kering

29
7) Menegangkan kulit pasien dengan tangan kiri, kemudian jarum
disuntikkan perlahan – lahan dengan lobang jarum mengarah
keatas
8) Jarum dari permukaan kulit membentuk sudut 15°-20°
9) Menyemprotkan cairan sampai terjadi gelembung berwarna putih
pada kulit, lalu jarum ditarik dengan cepat, tidak dihapus hamakan
dengan kapas alkohol dan tidak boleh dilakukan pengurutan
( masase )
10) Merapikan pasien
11) Membawa alat-alat ke meja suntikan untuk di bersihkan
12) Mencuci tangan

Perhatian :
Pada pemberian vaksin B.C.G dan cacar kulit dibersihkan dengan kapas
yang telah di rebus ( tidak boleh dengan alkohol)

2) Suntikan Subkutan
 Pengertian :
Yang dimaksud suntikan sub kutan adalah menyuntikkan obat di bawah
kulit.
 Tempat penyuntikaan :
- Pada lengan atas sebelah luar ⅓ bagian dari bahu ;
- Pada paha sebelah luar,⅓ bagian dari sendi panggul ;
- Pada daerah perut sekitar pusat ( umbilicus ),skapula,
ventrogluteal dan dorsogluteal
 Persiapan alat-alat :

30
Sama dengan memberikan suntikan intrakutan, tetapi mengunakan
semprit 1 cc dan jarum suntikan nomor. 12 – 18

 Cara bekerja :
1) Cara melaksanakan pekarjaan ini adalah sebagai berikut :
2) Memberitahu dan menjelaskan pada pasien
3) Membawa alat-alat ke dekat pasien
4) Memasang sampiran bila perlu
5) Mengatur posisi pasien serta membebaskan daerah yang akan
disuntik dari pakaian
6) Mencuci tangan
7) Menghapus hamakan kulit pasien dengan kapas alkohol dan
membuang kapas bekas kedalam bengkok, tunggu sampai kulit
kering
8) Menegangkan / mengangkat kulit pasien dengan jari telunjuk dan
ibu jari, kemudian menusukkan jarum perlahan – lahan dengan
lobang jarum mengarah keatas
9) Jarum dari permukaan kulit membentuk sudut 45°
10) Menarik pengisap sedikit / aspirasi untuk memeriksa apakah ada
darah atau tidak ; bila tidak ada daerah semprokan cairan perlahan
lahan sampai habis
11) Meletakkan kapas alkohol yang baru diatas jarum, kemudian
menarik semprit dan jarum dengan cepat sambil menegang
pangkal jarum, lalu melakukan masase pada bekas suntikan
12) Merapikan pasien
13) Membawa alat-alat ke meja suntikan untuk di bersihkan
14) Mencuci tangan

3) Suntikan Intramuskuler
 Pengertian :

31
Yang dimaksud suntikan intra muskuler adalah menyuntikkan obat ke
dalam jaringan otot.

 Tempat penyuntikan
- Otot bokong ( musculus gluteus maximus ) kanan / kiri; yang tepat
adalah pada bagian ⅓ bagian dari spina iliaca anterior superior ke
tulang ekor ( os coxygeus )
- Dorsogluteal
- Ventrogluteal
- Otot paha bagian luar ( musculus quadricep femoris ) ;
- Otot pangkal lengan ( musculus deltoideus).

 Persiapan alat-alat :
Sama dengan pada pemberian suntikan secara intrakutan, tetapi
disediakan :
- Semprit 1 – 10 cc
- Jarum no. 1 – 2

 Cara bekerja :
Cara melaksanakan pekarjaan ini adalah sebagai berikut :
1) Memberitahu dan menjelaskan pada pasien
2) Membawa alat-alat ke dekat pasien
3) Memasang sampiran bila perlu.
4) Mengatur posisi pasien
5) Mencuci tangan
6) Membebaskan daerah yang akana disuntik dari pakaian
7) Menghapushamakan kulit pasien dengan kapas alkohol,
membuang kapas bekas kedalam bengkok dan tunggu sampai kulit
kering

32
8) Menegangkan kulit dengan tangan kiri pada daerah bokong, atau
mengangkat otot pada musculus quardricep femoris / muskulus
deltoideus, kemudian menusukkan jarum kedalam otot tegak lurus
dengan permukaan kulit sedalam ¾ panjang jarum. Menarik
pengisap sedikit untuk memeriksa apakah ada darah atau tidak,
bila tidak ada daerah menyemprotkan cairan obat perlahan – lahan
9) Setelah obat masuk seluruhnya, kulit daerah penusukan jarum di
tekan dengan kapas alkohol, jarum ditarik keluar dengan cepat,
kemudian tempat penyuntikan dimasase
10) Merapikan pasien
11) Membawa alat-alat ke meja suntikan untuk di bersihkan
12) Mencuci tangan

Perhatian :
- Tempat penyuntikan pada bokong harus tepat ; bila salah akan
mengenai saraf ischiadicus
- Bila pasien beberapa kali harus disuntik, maka diusahakan agar
penyuntikan pada tempat yang berlainan
- Bila cairan obat mengandung minyak, jarum pengisap cairan harus
diganti dengan kering
- Daerah bekas suntikan dimasase lebih lama

4) Suntikan Intravena.
 Pengertian :
Yang dimaksud dengan suntikan intravena adalah menyuntikan cairan obat
ke vena

 Tujuan :
Tujuan suntikan intravena adalah :
mempercepat reaksi, karena obat langsung masuk ke peredaran darah

33
 Tempat penyuntikan :
Pada vena yang dangkal dan dekat dengan tulang, misalnya :
- Pada lengan ( vena mediana cubiti / vena cephalica ) ;
- Pada tungkai ( vena saphenous ) ;
- Pada leher (vena jugularis), khusus pada anak.
- Pada kepala(vena frontalis atau vena temporalis) pada bayi
.
 Persiapan alat-alat :
Sama dengan pemberian suntikan intramuskuler ditambah dengan :
- karet pembendung ( torniket )
- pengalas ( perlak kecil + alasnya );

 Cara bekerja :
Cara melaksanakan pekarjaan ini adalah sebagai berikut :
1) Memberitahu dan menjelaskan pada pasien
2) Membawa alat-alat ke dekat pasien
3) Memasang sampiran bila perlu. Mengatur posisi pasien
4) Mencuci tangan
5) Membebaskan daerah yang akana disuntik dari pakaian
6) Memasang pengalas di bawah daerah / tempat yang akan disuntik
7) Mengikat bagian di atas daerah yang akan di suntik dengan karet
pembendung agar vena mudah diraba / dilihat. Untuk di bagian
lengan pasien dianjurkan untuk mengepalkan tangan
8) Menghapushamakan kulit pasien dengan kapas alkohol, membuang
kapas bekas kedalam bengkok dan tunggu sampai kulit kering
9) Menegangkan kulit pasien dengan tangan kiri, lalu menusukkan
jarum kedalam vena dengan lobang jarum mengarah keatas sejajar
dengan vena

34
10) Menarik pengisap sedikit untuk memeriksa apakah jarum sudah
masuk ke dalam vena, yang ditandai dengan masuknya darah ke
dalam semprit
11) Menganjurkan pasien membuka kepalannya sambil membuka karet
pembendung, kemudian secara perlahan – lahan memasukkan
cairan ke dalam vena sampai habis
12) Meletakkan kapas alkohol di atas jarum, kemudian menarik semprit
+ jarum dengan cepat sambil memegang pangkal jarum. Bekas
tusukan ditekan dengan kapas alkohol sampai darah tidak keluar
lagi
13) Merapikan pasien
14) Membawa alat-alat ke meja suntikan untuk di bersihkan
15) Mencuci tangan

Perhatian :
- Jangan mencoba menusukkan jarum, bila vena kurang jelas terlihat /
teraba
- Bila terjadi infiltrat, jarum dan smprit langsung dicabut dan untuk di
pindahkan ke vena yang lain
- Usahakan jangan sampai terjadi emboli udara

Perhatikan pada semua cara penyuntikan :


- Perhatikan reaksi pasien pada saat dan sesudah pemberian suntikan
- Pemberian obat suntikan harus dicatat di dalam buku catatan :
- Jam dan tanggal pemberian suntikan,
- dosis dan macam obat yang diberikan,
- nama perawat yang melakukan perasat,
- nama dokter yang memberi intruksi
- Jangan menggunakan semprit yang bocor, retak pengisapnya longar
serta jarum yang ujungnya tumpu, bengkok dan tersumbat

35
- Pada pasien hepatitis harus digunakan semprit dan jarum tersendiri. Bila
memungkinkan gunakan semprit dan jarum yang disposibel
- Bila obat didalam flakon pakailah 2 jarum; 1 jarum besar ditusukan ke
dalam flakon untuk cairan suntikan kedalam semprit dan satu jarum
untuk menyuntik pasien

5) Cara Pemberian Obat Suppositoria


Pemberian obat suppositoria adalah cara memberikan obat dengan
memasukkan obat melalui anus atau rektum dalam bentuk suppositoria. Organ-
organ yang dapat diberi obat suppositoria adalah rectum dan
vagina.Suppositoria ini mudah meleleh, melunak, atau melarut pada suhu
tubuh. Umumnya berbentuk menyerupai peluru atau torpedo dengan bobot
sekitar 2 gram dan panjang sekitar 1 – 1,5 inci.
Suppositoria biasanya diberikan kepada pasien-pasien khusus yang tidak
bisa mengonsumsi obat secara oral lewat mulut. Hal ini bisa terjadi misalnya
pada pasien yang sedang tidak sadarkan diri, pasien yang jika menerima sediaan
oral akan muntah, pasien bayi, dan pasien lanjut usia, yang juga sedang dalam
keadaan tidak memungkinkan untuk menggunakan sediaan parenteral (obat
suntik).
Selain itu, suppositoria juga didesain untuk beberapa zat aktif yang dapat
mengiritasi lambung serta zat aktif yang dapat terurai oleh kondisi saluran
cerna, jika digunakan secara oral. Misalnya, zat aktif yang akan rusak dalam
suasana asam lambung, rusak oleh pengaruh enzim pencernaan, atau akan
hilang efek terapinya karena mengalami first pass effect.
Penggunaan suppositoria tidak hanya ditujukan untuk efek lokal seperti
pengobatan ambeien, anestesi lokal, antiseptik, antibiotik, dan antijamur, tetapi
juga bisa ditujukan untuk efek sistemik sebagai analgesik, anti muntah, anti
asma, dan sebagainya.

 Tujuan Pemberian Obat

36
o Untuk memperoleh efek obat lokal maupun sistemik.
o Untuk melunakkan feses sehingga mudah untuk dikeluarkan.

 Indikasi dan kontra indikasi


o Indikasi
Mengobati gejala-gejala rematoid, spondistis ankiloksa, gout akut dan
osteoritis.
o Kontra Indikasi
- Hipersensitif terhadap ketoprofen, esetosal dan ains lain.
- Pasien yang menderita ulkus pentrikum atau peradangan aktif
(inflamasi akut) pada saluran cerna.
- Bionkospasme berat atau pasien dengan riwayat asma bronchial
atau alergi.
- Gagal fungsi ginjal dan hati yang berat.
- Supositoria sebaiknya tidak di gunakan pada penderita piotitis atau
hemoroid.
- Pembedahan rektal.

 Jenis Obat Supositoria


Pemberian obat yang memiliki efek lokal seperti obat dulcolac suppositoria
yang berfungsi secara local untuk meringankan defekasi. Dan efek sistemik
seperti pada obat aminofilin suppositoria dengan berfungsi mendilatasi
bronkus. Pemberian obat suppositoria ini diberikan tepat pada dinding rectal
yang melewati sfinkter ani interna.
Jika dikombinasikan dengan preparat obat oral, maka pada umumnya
dosis perhari adalah 1 supositoria yang dimasukan ke dalam rectum. Jika tidak
dikombinasikan, dosis lazim adalah 1 dosis 2 kali sehari.
Contoh obat supositoria :
a) Kaltrofen supositoria

37
b) Profeid supositoria
c) Ketoprofen supositoria
d) Dulcolax supositoria
e) Profiretrik supositoria
f) Stesolid supositoria
g) Boraginol supositoria
h) Tromos supositoria
i) Propis supositoria
j) Dumin supositoria

 Bentuk dan berat supositoria


a) Supositoria untuk rektum
Bentuknya seperti peluru, torpedo/jari- jari tergantung pada bobot jenis
dan bahan obat dan basis yang di gunakan.
b) Supositoria dari lemak coklat
Berat supositoria untuk dewasa kira-kira 2gr dan biasanya lonjong
seperti torpedo, sedangkan untuk anak-anak 1gr dan ukrannya lebih
kecil
c) Supositoria uretal (BOUGI)
Bentuknya seperti pensil, dan meruncing pada salah satu ujungnya.
Untuk laki-laki beratnya ±4gr dan wanita 2gr.

 Keuntungan dan Kerugian


a) Keuntungan
- Bisa mengobati secara bertahap
- Kalau missal obat meinimbulkan kejang, atau panas reaksinya
lebih cepat, dapat memberikan efek local dan sistemik.
- Contoh memberikan efek local dulcolax untuk meningkatkan
defeksasi.

38
b) Kerugian
- Sakit tidak nyaman daya fiksasi lebih lama dari pada IV.
- Kalau pemasangan obat tidak benar, obat akan keluar lagi.
- Tidak boleh diberikan pada pasien yang mengalami pembedahan
rekrtal.

 Prosedur Pemberian Obat Suppositoria


1. Persiapan Alat
 Obat sesuai yang diperlukan (krim, jelly, foam, supositoria)
 Aplikator untuk krim vagina
 Pelumas untuk supositoria
 Sarung tangan sekali pakai
 Pembalut
 Handuk bersih
 Gorden / sampiran

2. Persiapan Pasien dan Lingkungan


 Menjelaskan kepada pasien tujuan tindakan yang akan dilakukan.
 Memebritahukan prosedur tindakan yang akan dilakukan.
 Menutup jendela, korden, dan memasang sampiran atau sketsel bila
perlu.
 Menganjurkan orang yang tidak berkepentingan untuk keluar
ruangan.

3. Pelaksanaan
a) Periksa kembali order pengobatan mengenai jenis pengobatan
waktu, jumlah dan dosis obat.
b) Siapkan klien
- Identifikasi klien dengan tepat dan tanyakan namanya

39
- Berikan penjelasan pada klien dan jaga privasi klien
- Atur posisi klien dalam posisi sim dengan tungkai bagian atas
fleksi ke depan
- Tutup dengan selimut mandi, panjangkan area parineal saja
c) Kenakan sarung tangan
d) Buka supositoria dari kemasannya dan beri pelumas pada ujung
bulatan dengan jeli, beri pelumas sarung tangan pada jari telunjuk
dan tangan dominan anda.
e) Minta klien untuk menarik nafas dalam melalui mulut dan untuk
merelaksasikan sfingterani. Mendorong supositoria melalui spinter
yang kontriksi menyebabkan timbulnya nyeri
f) Regangkan bokong klien dengan tangan dominan, dengan jari
telunjuk yang tersarungi, masukan supusitoria ke dalam anus
melalui sfingterani dan mengenai dinding rektal 10 cm pada orang
dewasa dan 5 cm pada bayi dan anak-anak. Anak supositoria harus
di tetapkan pada mukosa rectum supaya pada kliennya di serap dan
memberikan efek terapeutik
g) Tarik jari anda dan bersihkan areal anal klien dcngan tisu.
h) Anjurkan klien untuk tetap berbaring terlentang atau miring selama
5 menit untuk mencegah keluarnya suppositoria
i) Jika suppositoria mengandung laktosit atau pelunak fases, letakan
tombol pemanggil dalam jangkauan klien agar klien dapat mencari
bantuan untuk mengambil pispot atau ke kamar mandi
j) Buang sarung tangan pada tempatnya dengan benar
k) Cuci tangan
l) Kaji respon klien

40
DAFTAR REFERENSI
Sitorus, Ratna, DR, S.Kp, M.App.Sc. 2006. Model Praktik Keperawatan Profesional
di Rumah Sakit : Penataan Struktur dan Proses (Sistem) Pemberian Asuhan
Keperawatan di Ruang Rawat. Jakarta. EGC.

Ghofar, Abdul, S. Kep.,Ns,M.pd. 2012. Pedoman Lengkap Keterampilan Perawatan


Klinik. Yogyakarta. Mitra Buku.

Kozier, Erb, Berman, Snyder. 2011. Buka Ajar Fundamental Keperawatan :


Konsep, Proses, dan Praktik. Edisi 7. Jakarta: EGC

Canadian Medical Association. 2007. Putting patient first: patient-centered


collaborative care, a discussion paper.

Family Health Teams. 2005. Guide to Collaborative Team Practice. Canada: Ontario.

41

Anda mungkin juga menyukai