Anda di halaman 1dari 5

I.

Pembahasan

Pendapat Ulama dalam Penerapan Qiyas Sebagai Sumber


Hukum

Qiyas adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada


nashnya dalam Qur’an dan hadist dengan cara membandingkan
dengan suatu yang di tetapkan hukum berdasarkan nash. Qiyas
merupakan proses ijtihad yang sistematis untuk ketetapan hukum

Para pakar ushul fiqh mengemukakan beberapa kritikan atas


kelemahan Qiyas dalam menghasilkan suatu hukum dari kasus yang
sedang dihadapi. Ada beberapa kritikan terhadap Qiyas antara lain:

1. Man’u Al-hukm fi al-Ashal. Maksudnya seorang mujhahid


mengemukakan kritik bahwa ia tidak menerima adanya hukum
pada ashal. Misalnya, pakar syafiiyah mengkiaskan hukum
wajib mencuci bejana yang dijilan babi sebanyak tujuh kali
pada hukum memcuci bejana yang dijilat anjing.
2. Man’u wujud al-Wasfi fi al-Ashal. Maksunya, seorang mujtahid
tidak mengakui keberadaan sifat pada ashal tempat
mengkiaskan misalnya pakar ushul syafiiyah dan sebagian
pakar malikiyyah mengatakan bahwa tata urutan (tertib) dalam
mencuci anggota wudhu’ adalah wajib dan wudhu’ batal kerana
adanya hadas. Mereka mengkiaskan wajibnya tertib dalam
berwudu’ kepada tertib amalan yang dilakukan dalam shalat,
karena keduanya sama-sama ibadah. Pakar Hanafiyah dan
sebagian pakar Malikiyyah mengemukakan kritikan bahwa sifat
hadas dalam al-ashal, yaitu shalat, tidak ada, kerana hadas itu
sendiri, menurut mereka tidak membatalkan shalat. Yang
menbatalkan oleh hadas adalah taharah, sekalipun dengan
batalnya taharah yang membatalkan shalat.
3. Man’u kaun al-Waffi Illatan. Maksudnya pengkritit tidak
menrima sifat yang dianngap sebagai illat. Misalnya, pakar
Hanafiyah mengatakan wanita budak yang dimerdekaan orang
merdeka mempunyai hak pilihan sebagaimana berlaku bagi
nudak laiki-laki.1
4. Mu’aradah fi al-Ashal. Misalnya, pakar ushul syafiiyah
menkiaskan apel pada gandum dalam hal memberlakukan riba
fadl, kaerena keduanya mempunyai illat yang sama yaitu jenis
makanan. Akan tetapi, pakar ushul malikkiyah mengatakan
bahwa “jenis makanan” bukanlah illat, karena yang menjadi
illat pada gandum itu menurut mereka adalah makanan pokok
dan apel bukan sebagai makanan pokok.
5. Mu’aradah wujud al-wasfi fi Al-furu. Maksudnya pengkritik
menyatakan penolakannya terhadap kefalidan suatu sifat yang
dijadikan pada ashal. Misalnya, pakar malikkiyah mengatakan
memberi upah kepada orang lain untuk mengjikan seseorang
yang sudah wafat adalah boleh, dengan alasan bahwa haji
adalah suatu pekerjaan yang bisa dikerjakan orang lain sama
halnya dengan tukang jahit yang menerima upah jahitan baju.
6. Mu’aradah fi al-far’u min maya’tadi nakid al-hukm.
Maksudnya pengkritik mengemukakan bahwa terhadap
pertentangan dalam furu’ yang mengatakan bahwa kepada

1
Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul fiqh, Metodologi Hukum Islam, Jakarta: Raja Grapindo, 2000,
Hlm.54
pembatalan hukum ashal. Misalnya, pakar syafiiyah
mengatakan bahwa seseorang yang bertentang apabila
mempunyai harta, wajib membayar zakat dengan mengkiaskan
kepada orang yang tidak mampu. Illatnya, menurut mereka
adalah sama-sama memiliki harta. Akan tetapi, pakar
hanafiyyah dan Malikiyyah mengemukan kritikan mereka
dengan mengatakan bahwa terhadap pertentangan pada furu’
yaitu adanya hutang.2

Analisa penulis:

Dari penjelasan diatas terdapat beberapa perbedaan pendapat


ulama tentang qiyas dan ada 6 pendapat diantaranya Man’u Al-hukm
fi al-Ashal. Man’u wujud al-Wasfi fi al-Ashal. Man’u kaun al-Waffi
Illatan. Mu’aradah fi al-Ashal. Mu’aradah wujud al-wasfi fi Al-furu.
Mu’aradah fi al-far’u min maya’tadi nakid al-hukm.

2
Satria Effendi, M,Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: kencana, 2005), hlm:39
II. Kesimpulan

Qiyas adalah mempersamakan suatu hukum atau peristiwa yang


tidak ada nashnya dengan suatu peristiwa yang sudah ada nashnya
lantaran ada persamaan illat hukumnya kedua peristiwa. Ada Para
pakar ushul fiqh mengemukakan beberapa kritikan atas kelemahan
Qiyas dalam menghasilkan suatu hukum dari kasus yang sedang
dihadapi. Man’u Al-hukm fi al-Ashal. Man’u wujud al-Wasfi fi al-
Ashal. Man’u kaun al-Waffi Illatan. Mu’aradah fi al-Ashal.
Mu’aradah wujud al-wasfi fi Al-furu. Mu’aradah fi al-far’u min
maya’tadi nakid al-hukm.

III. Daftar pustaka

1. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul fiqh, metodologi Hukum islam,


Jakarta: Raja Graprindo, 2000, Hlm.54
2. Satria Efendi, M, Zein, Usul fiqh, (jakarta: kencana, 2005),
Hlm:39
Pendapat Ulama dalam Penerapan Qiyas Sebagai

Sumber Hukum

Disusun oleh:

Nama: Yusi afdhariah

Absen/Nim: 30/180105012

Kelompok : 08

Dosen pembimbing :

Dr. Nasaiy Azis,M.A.

Fakultas Syariah dan Hukum

Hukum Tata Negara

Semester genap

Tahun ajaran 2018/2019

Anda mungkin juga menyukai