Anda di halaman 1dari 14

[ISU KEFARMASIAN]

MANUVER UKAI (UJI KOMPETENSI APOTEKER INDONESIA)


DALAM MEMPERSIAPKAN APOTEKER INDONESIA YANG
BERKUALITAS DAN KOMPETITIF

ESSAY LATIHAN KEPEMIMPINAN TINGKAT NASIONAL ISMAFARSI


(Indonesian Pharmaceutical Leadership Forum)

Oleh :
DIANA MUSTIKA RATU
11141020000028

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
JANUARI/2016
I. Pendahuluan
Kata “Uji Kompetensi” merupakan kata yang mudah untuk
disimpulkan maknanya bahkan sejak pendidikan dasar pun kata tersebut
telah sering diperdengarkan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kompetensi adalah kemampuan menguasai sesuatu yang abstrak atau
batiniah. Oleh karena itu, setiap kata atau kegiatan yang didahului oleh
kata Uji kompetensi tersirat makna bahwa kegiatan tersebut berisi
serangkaian cara untuk mengetahui penguasaan kemampuan dari objek
yang dijelaskannya. Pengertian tersebut sejalan dengan yang dijelaskan
dalam UU Nomor 36 tahun 2014 pasal 1 ayat 6 yang menyebutkan bahwa
“Uji kompetensi adalah proses pengukuran pengetahuan, keterampilan,
dan perilaku peserta didik pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan
pendidikan tinggi bidang kesehatan”. Tak terkecuali Uji Kompetensi
Apoteker Indonesia yang tujuan utamanya adalah untuk mengukur,
mengetahui, dan menilai sejauh mana penguasaan dan kemampuan
seorang apoteker mengenai segala bidang ilmu yang harus dikuasainya
sebagai tenaga profesional di Indonesia.
Uji Kompetensi Apoteker Indonesia disingkat UKAI merupakan
objek utama yang dibahas dalam topik isu kefarmasian ini memang seolah
akan menjadi penjawab tantangan zaman yang menuntut adanya
pemerataan kompetensi seluruh tenaga profesional apoteker Indonesia di
era Masyarakat Ekonomi ASEAN dengan segala kemudahan dan
kemajuan teknologinya seperti saat ini. Namun, pada praktiknya
dilapangan terjadi berbagai macam kendala yang menunjukan bahwa
UKAI memulai langkah yang salah dalam mengawali manuvernya sebagai
tolok ukur kualitas apoteker. Oleh karena itu, tak heran jika banyak sekali
hal yang perlu dikritisi dari penyelenggaraan UKAI ini terutama jika
dihubungkan dengan ketidakmerataan kurikulum farmasi disetiap
perguruan tinggi farmasi di Indonesia dan kendala-kendala penting lainnya
yang berhubungan erat dengan kondisi nyata mahasiswa farmasi Indonesia
secara keseluruhan.
II. Identifikasi Masalah
2.1.Kurang tepatnya langkah awal UKAI dalam melakukan manuver
peningkatan kualitas apoteker Indonesia
2.2. Ketidakmerataan kurikilum kefarmasian di setiap perguruan tinggi
farmasi Indonesia dan ketidakmerataan akses informasi menjadi faktor
kendala pelaksanaan UKAI
III. Analisis Sintesis
3.1. UKAI Sebagai Instrumen Perwujudan Standar Kompetensi
Apoteker Indonesia yang Menjadi Tolok Ukur Kapabilitas dan
Kualitas Apoteker dalam Upaya Peningkatan Pelayanan
Kesehatan di Indonesia
Sebagai salah satu tenaga profesional kesehatan, Apoteker
memiliki tanggung jawab yang sama dengan tenaga kesehatan lain
yaitu memberikan pelayanan sebaik-baiknya agar terwujudnya
peningkatan kesehatan masyarakat Indonesia. Setiap tenaga
profesional kesehatan memiliki peranannya masing-masing dalam
upaya meningkatkan mutu pelayanannya kepada masyarakat, tak
terkecuali profesi apoteker. Untuk itu, sangat perlu adanya standar
kompetensi yang dibuat untuk menjawab segala tuntutan dan tantangan
zaman agar terciptanya pemerataan dan peningkatan kualitas tenaga
profesional apoteker.
Dinamika zaman yang berubah sangat cepat menuntut Apoteker
Indonesia untuk memiliki kualitas keterampilan dan pengetahuan yang
terstandarisasi secara global atau sesuai tuntutan masyarakat dunia,
agar tidak tumbang dalam menghadapi arus globalisasi sehingga
standar kompetensi apoteker ini dapat menjadi baku mutu kompetensi
apoteker Indonesia yang dapat pula digunakan untuk menyaring
apoteker di penjuru dunia manapun jika apoteker dihadapkan pada
persaingan secara internasional terutama di era Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) seperti saat ini.
Oleh karena itu, untuk menjawab segala kebutuhan tuntutan zaman
dan tuntutan PP 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian serta
peraturan perundang-undangan No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan pasal 21 ayat 3 yang berbunyi “Uji kompetensi ditujukan
untuk mencapai standar kompetensi lulusan yang memenuhi standar
kompetensi kerja” yang dijelaskan lebih lanjut pada ayat 4 yang
berbunyi “Standar kompetensi sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat 3 disusun oleh organisasi profesi dan konsil masing-masing
tenaga kesehatan dan ditetapkan oleh Menteri”, Ikatan Apoteker
Indonesia yang merupakan organisasi profesi seperti yang dimaksud
dalam pasal 21 ayat 4 tersebut pada tanggal 9 Oktober 2010 dalam
forum resmi Rapat Kerja Nasional Ikatan Apoteker Indonesia
(RAKERNAS IAI) di Makassar Sulawesi Selatan telah menetapkan
dan mengesahkan draft Standar Kompetensi Apoteker Indonesia
melalui Surat Keputusan Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia
No.058/SK/PP.IAI/IV/2011 yang menghasilkan 9 Standar Kompetensi
Apoteker Indonesia 1, yaitu:
1. Mampu melakukan praktik kefarmasian secara profesional dan
etik
2. Mampu menyelesaikan masalah terkait dengan penggunaan
sediaan farmasi
3. Mampu melakukan dispensing sediaan farmasi dan alat
kesehatan
4. Mampu memformulasi dan memproduksi sediaan farmasi dan
alat kesehatan sesuai dengan standar yang berlaku
5. Mempunyai keterampilan dalam pemberian informasi sediaan
farmasi dan alat kesehatan
6. Mampu berkontribusi dalam upaya preventif dan promotif
kesehatan masyarakat

1
RAKERNAS IAI. 2010. Penetapan dan Pengesahan Standar Kompetensi Apoteker dalam Forum RAKERNAS IAI.
Makassar, Sulawesi Selatan
7. Mampu mengelola sediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai
dengan standar yang berlaku
8. Mempunyai keterampilan organisasi dan mampu membangun
hubungan interprofesional dalam melakukan praktik
kefarmasian
9. Mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang berhubungan dengan kefarmasian

Sehubungan dengan telah ditetapkannya Standar Kompetensi


Apoteker Indonesia dengan segala pertimbangan dan urgensinya,
maka tentulah harus ada serangkaian kegiatan pengujian untuk
mengetahui apakah lulusan – lulusan apoteker di seluruh perguruan
tinggi farmasi di Indonesia sudah memenuhi standar kompetensi yang
telah ditetapkan. Untuk membuktikan bahwa seorang apoteker telah
memenuhi kriteria kompetensi standar yang menyatakan bahwa
dirinya sudah layak dalam melakukan pekerjaan kefarmasian lebih
lanjut, maka sertifikat kompetensi mutlak perlu dimiliki oleh seorang
apoteker.

Untuk memperoleh sertifikat kompetensi, seorang apoteker


harus mengikuti suatu tahapan yang disebut Sertifikasi Kompetensi
Apoteker Indonesia yang dilakukan oleh organisasi profesi IAI untuk
menyatakan bahwa seorang apoteker dinilai telah memenuhi syarat
yang ditetapkan dalam Standar Kompetensi Apoteker Indonesia.
Instrument satu-satunya dalam penatalaksanaan sertifikasi kompetensi
ini adalah Uji Kompetensi Apoteker Indonesia (UKAI) yang pada
dasarnya hanya dilakukan satu kali. Setelah dinyatakan lulus dan
mendapatkan sertifikat pengakuan kompetensi melalui UKAI ini,
seorang apoteker berhak mengajukan surat permohonan kepada
Komite Farmasi Nasional (KFN) untuk memperoleh Surat Tanda
Registrasi Apoteker (STRA) yang selanjutnya seorang apoteker dinilai
telah layak dalam melakukan praktek kefarmasian khususnya dalam
pelayanan kesehatan masyarakat 2.

Namun, sertifikat kompetensi ini hanya berlaku 5 tahun yang


selanjutnya harus diperbaharui kembali melalui mekanisme
resertifikasi dengan mengumpulkan 150 SKP dalam kurun waktu 5
tahun. Menurut definisi umum dalam SK Pengurus Pusat IAI Nomor :
PO. 003/ PP.IAI/1418/VII/2014 tentang Peraturan Organisasi tentang
Pedoman Pendidikan Berkelanjutan Apoteker Indonesia, Satuan
Kredit Partisipasi (SKP) adalah ukuran partisipasi atas kegiatan
praktik profesi, kegiatan pengabdian, kegiatan pembelajaran
berkelanjutan, kegiatan pengembangan ilmu dan kegiatan publikasi
ilmiah yang dilakukan oleh Apoteker selama kurun waktu berlakunya
Sertifikat Kompetensi. SKP ini dapat diperoleh apoteker salah satunya
dari acara-acara seminar atau symposium yang menawarkan sertifikat
ber-SKP dari IAI, tetapi kenyataanya dilapangan tak jarang apoteker
rela membayar berapapun hanya untuk mendapatkan sertifikat SKP
tanpa mengikuti rangkaian pelatihan yang ada didalamnya dengan
alasan kesibukan dan jarak yang jauh, hal ini memang sangat
disayangkan.

3.2. Kurangnya Sosialisasi dan Transparansi Biaya UKAI


Menimbulkan Polemik bagi Banyak Pihak yang Berhak Mengerti
UKAI diawali dari program Health Professional Education Quality
(HPEQ) yang merupakan proyek di lingkungan Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi (Dikti) yang pendanaannya sebagian dibiayai
melalui pinjaman (loan) dari Bank Dunia sesuai dengan Loan

2
Ikatan Apoteker Indonesia. 2014. SK Pengurus Pusat IAI Nomor : PO. 003/ PP.IAI/1418/VII/2014 tentang PERATURAN
ORGANISASI TENTANG PEDOMAN PENDIDIKAN BERKELANJUTAN APOTEKER INDONESIA. Jakarta.
Agreement(IBRD) No. 77370–ID 3. Namun, minimnya sosialisasi
UKAI dari pihak panitia penyelenggara menimbulkan polemic
dikalangan akademisi farmasi Indonesia yang menjadikan UKAI
seolah – olah dipaksakan pelaksanaannya terutama masalah
transparansi pembiayaanya yang masih dipertanyakan.
Dikutip dari laman Kompasiana.com [11/15], UKAI diadakan
untuk menunjang apoteker profesional dan berkompeten, sehingga
standar yang diberlakukan dalam uji setara dengan uji internasional.
Tapi bagaimana dengan universitas yang memang pada dasarnya
tidak menggunakan standar yang telah diberlakukan? Bagaimana
dengan nasib para apoteker tersebut? Nah itulah yang menjadi
kontroversi. Hal tersebut menyebabkan kesenjangan diantara para
apoteker. Sehingga menimbulkan pendapat bahwa UKAI diadakan
semata-mata hanya untuk ajang persaingan apoteker. Salah satu
bentuk protes media ini memang menunjukkan bahwa sosialisai UKAI
belum maksimal.
Bukan hanya protes dari media massa yang sedikitnya mewakili
keluhan dan pertanyaan seluruh akademisi farmasi di Indonesia,
kelompok mahasiswa apoteker yang menamai dirinya Aliansi
Mahasiswa Apoteker Universitas Hassanudin pun turut bersuara
dengan diluncurkannya petisi penolakan biaya UKAI yang termaktub
pada Surat Edaran Panitia Uji Kompetensi Apoteker Indonesia No.
SRT-001/PAN-UKAI/VII/2015 yang dinilai sewenang-wenang dan
tidak memiliki aturan hukum yang jelas yang harus diluncurkan oleh
Menteri yang berwenang sesuai dengan yang diamanahkan dalam UU
No. 36 tahun 2014 2014 tentang Tenaga Kesehatan, pasal 21 ayat 7,
disebutkan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pelaksanaan uji kompetensi diatur dengan Peraturan Menteri yang

3
Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia. 2015. Surat Jawaban atas Petisi Penolakan Biaya UKAI. Jakarta.
Diakses dari
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan”,
dalam hal ini yang berwenang adalah Kemeterian Riset, Teknologi,
dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia5.
Selain itu, dalam petisi tersebut aliansi mahasiswa apoteker
UNHAS juga menuntut IAI, KFN, dan APTFI agar menunda
pelaksanaan UKAI hingga diberikannya tanggapan positif mengenai
permasalahan kelengkapan hukum dan tidak menetapkan sesuatu
dengan sewenang-wenang diluar ketetapan peraturan perundang-
undangan.
Menanggapi hal itu, dikeluarkanlah surat Jawaban atas Petisi
Penolakan Biaya UKAI tertanggal 26 Agustus 2015 dari pihak IAI
sebagai tanggapan atas petisi penolakan biaya UKAI. Didalam poin L
dijabarkan bahwa, Mengenai aspek legal tentu kami setuju pada
saatnya harus ada upaya legislasi yang mengatur tentang
penyelenggaraan Uji Kompetensi Apoteker Indonesia, yang
merupakan penjabaran lebih lanjut dari UU No.36/2014 tentang
Tenaga Kesehatan, karena penyelenggaraan UKAI saat ini merupakan
kesepakatan yang mewakili masyarakat profesi apoteker yaitu APTFI,
IAI dan KFN. Dari penuturan ini memang pihak IAI membenarkan
bahwa belum ada aturan hukum yang melegalkan tentang aturan
rincian pembiayaan UKAI yang dinilai tidak logis dan terlalu
membebani mahasiswa apoteker secara finansial.
Kemudian masalah minimnya sosialisasi yang membuat banyak
pihak terkaget-kaget atas munculnya kebijakan UKAI yang terkesan
mendadak, dalam surat Jawaban atas Petisi Penolakan Biaya UKAI
pun turut dijelaskan bahwa sosialisasi UKAI dan alokasi biayanya
dirasa sudah cukup dengan telah diselenggarakannya try out pertama,
kedua, dan ketiga pada tahun 2013, 2014, 2015 secara berturut-turut
yang diikuti oleh seluruh Program Studi Profesi Apoteker (PSPA).
Namun, mungkin pihak penyelenggara kurang mempertimbangkan
bahwa yang akan mengikuti dan berhak mengetahui mekanisme dan
tujuan dari UKAI bukan hanya program studi profesi apoteker saja,
tetapi juga akademisi kefarmasian lainnya yang berniat melanjutkan
pendidikan profesi apoteker. Bagaimanapun juga persiapan untuk
menjadi apoteker yang dapat memenuhi standar kompetensi apoteker
tidak bisa hanya mengandalkan kemampuan yang didapat ketika
menjalani studi profesi apoteker saja, tetapi juga dari pembentukkan
karakter pendidikan dari jenjang sebelumnya seperti jenjang S1.

3.3.Ketidaksamaan Penerapan Standar Kurikulum Calon Tenaga


Profesional Farmasi di Seluruh Perguruan Tinggi Farmasi
Indonesia menjadi Faktor Kesenjangan dan Ketimpangan
Kualitas Profesi Farmasi/Apoteker Indonesia untuk Menghadapi
UKAI
Dikutip dari laman Tribun News.com [2/2015] Prof. Dr. Gemini
Alam, M.Si. Selaku ketua PD IAI Sulsel yang ditemui di ruang Rapat
Fakultas Farmasi UNHAS dalam acara workshop UKAI, beliau
menegaskan bahwa “Uji kompetensi apoteker sebagai tolak ukur
standar kelulusan secara nasional. Selama ini, belum ada standar
soal yang diujikan secara nasional. Masing-masing perguruan tinggi
melakukan ujiannya masing-masing sesuai kurikulum yang disepakati
dari APTFI. Imbasnya, kualitas lulusan apoteker akan beragam di
setiap institusi Farmasi”. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa
kurikulum pengajaran mahasiswa farmasi di setiap perguruan tinggi
farmasi di Indonesia memang tidak sama sehingga menghasilkan
kualitas lulusan yang berbeda – beda pula. Sehingga adanya standar
baku yang menuntut pemerataan kompetensi yang harus dimiliki oleh
seluruh apoteker akan menjadi hal yang cukup menakutkan dan
melelahkan bagi apoteker yang berkulaih di perguruan tinggi dengan
target pencapaian yang tak terlalu tinggi.
Selain itu, menurut penuturan Drs. Nurul Falah Eddy Pariang,
Apt, ketua IAI 2015 yang ditemui saat audiensi ISMAFARSI kepada
IAI menuturkan bahwa kelemahan kurikulum farmasi di Indonesia
adalah masih minimnya praktik klinis. Padahal praktik klinis ini
menjadi kontributor utama peningkatan derajat kesehatan4. Oleh
karena itu, demi terwujudnya lulusan apoteker yang terstandarisasi
secara merata dan demi peningkatan kualitas soft skill dan hard skill
apoteker dirancanglah Uji Kompetensi Apoteker Indonesia (UKAI)
yang merupakan program dari Health Professional Education Quality
(HPEQ) untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan melalui
peningkatan kualitas tenaga kesehatan. Hasil akhir dari project HPEQ
ini adalah terbentuknya Lembaga Akreditasi Mandiri Perguruan
Tinggi Kesehatan (LAM PTKes) dan dan Lembaga Pengembangan
Uji Kompetensi Tenaga Kesehatan (LPUK Nakes).
LAM PTKes, yaitu lembaga yang akan melakukan akreditasi
program studi kesehatan yang dibuat karena instrument akreditasi
untuk perguruan tingi kesehatan berbeda dengan perguruan tinggi lain.
Sedangkan LPUK Nakes, yaitu lembaga yang melakukan
pengembangan uji kompetensi dengan tujuan lulusan perguruan tinggi
kesehatan menjadi lebih berkualitas sesuai dengan standar yang
ditetapkan oleh masyarakat profesi kesehatan masing-masing 4.
Oleh karena itu, tak heran jika IAI langsung bergabung dengan
LPUK Nakes ini sebagai upaya agar mendapatkan pelayanan oleh
LPUK terkait dengan pentingnya tata cara penyelenggaraan Uji
Kompetensi Apoteker Indonesia (UKAI) yang bertujuan agar
perbedaan kualitas lulusan apoteker diantara Program Studi Profesi
Apoteker (PSPA) menjadi lebih standar secara nasional, sehingga
diharapkan apotekernya lebih berkualitas yang dampaknya pelayanan
kefarmasian oleh apoteker kepada masyarakat menjadi lebih baik,

4
Pengurus ISMAFARSI Pusat. 2015. Press release Audiensi ISMAFARSI ke IAI. Diakses dari ismafarsi.org pada 25
Januari 2016
apoteker dihargai sebagai profesi kesehatan yang manfaatnya
dirasakan secara signifikan oleh masyarakat 4.
3.4.Tidak Adanya Kanal Informasi Terpusat Tentang UKAI dan
Tidak Adanya Organisasi Khusus yang Menaungi Mahasiswa
Profesi Apoteker untuk Mengadvokasikan Segala Aspirasinya
Mengenai UKAI
Suatu tujuan yang baik tetap akan dinilai kurang baik jika cara
memberitahukannya kurang tepat bahkan akan dianggap menjadi hal
yang tak berguna dan menimbulkan masalah jika suatu informasi
tersebut menyangkut kepentingan banyak orang. Oleh karena itu,
sangatlah penting adanya kanal informasi terpusat yang dapat
dipercaya dan dapat diakses dengan mudah oleh setiap kalangan
terkait dengan penggencaran sosialisasi UKAI ini.
Selain itu, organisasi pemersatu juga merupakan hal yang
penting keberadaannya untuk mengadvokasikan segala bentuk
kesetujuan maupun ketidaksetujuan mahasiswa apoteker atas suatu
kebijakan. Menurut penuturan Sekretaris Jenderal ISMAFARSI,
Ridho Muhammad Sakti dalam artikel press release tentang UKAI
menyatakan bahwa ISMAFARSI merupakan organisasi yang
menaungi mahasiswa S1 farmasi bukan mahasiswa profesi apoteker5.
Namun, karena banyaknya pertanyaan tentang UKAI yang ditujukan
kepada sekretaris jenderal ISMAFARSI ini, maka ISMAFARSI
berusaha membantu mengadvokasikan segala keluh kesah mahasiswa
apoteker tentang UKAI kepada pihak yang berkompeten untuk
menjawabnya yaitu IAI.
Dari adanya polemik UKAI ini dapat terlihat bahwa penting
adanya suatu organisasi advokasi mahasiswa dan kanal informasi
terpusat yang resmi dan dapat dipercaya agar suatu kebijakan penting

5
Sakti, Ridho Muhammad. 2015. UKAI : Untuk Kemerdekaan Apoteker Indonesia. Press release ISMAFARSI. Diakses
dari ismafarsi.org pada 25 Januari 2016.
seperti UKAI ini dapat tersosialisaikan secara menyeluruh dan
tentunya meminimalisir kesalahpahaman.
IV. Simpulan
Manuver UKAI yang diharapkan menjadi penjawab tantangan
zaman untuk mewujudkan tenaga profesional farmasi (apoteker) yang
terstandarisasi, berkualitas, dan berdaya saing memang bukan hal yang
salah untuk diterapkan. Namun, langkah awal dalam pelaksanaannya perlu
diimbangi dengan sosialisasi, usaha penyesuaian, transparansi, dan
landasan hukum yang jelas agar meminimalisir terjadinya kesalah
pahaman dan kemunculan permasalahan yang baru.
DAFTAR PUSTAKA

Aliansi Mahasiswa Poteker Universitas Hassanudin. 2015. Surat


Penolakan atas pemberlakuan biaya UKAI. Makassar. Diakses dari
https://www.change.org/p/ikatan-apoteker-indonesia-iai-komite-
farmasi-nasional-kfn-asosiasi-perguruan-tinggi-farmasi-indonesia-
aptfi-surat-penolakan-atas-pemberlakuan-biaya-uji-kompetensi-
apoteker-indonesia-ukai-97fc78d5-c5a3-420a-ac2d-
8d7cd1e13649?recruiter=360656612&utm_source=share_petition&u
tm_medium=line pada 24 Januari 2016.
Ikatan Apoteker Indonesia. 2014. SK Pengurus Pusat IAI Nomor : PO.
003/ PP.IAI/1418/VII/2014 tentang PERATURAN ORGANISASI
TENTANG PEDOMAN PENDIDIKAN BERKELANJUTAN
APOTEKER INDONESIA. Jakarta.
Kompasiana. 2015. UKAI, Polemik yang Mencengangkan. Surat Kabar
Online. Diakses dari http://www.kompasiana.com/ingkiriwan/ukai-
polemik-yang-mencengangkan_56578b92dd22bd4e1931c0f6 pada
25 Januari 2016.
Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia. 2015. Surat Jawaban atas Petisi
Penolakan Biaya UKAI. Jakarta. Diakses dari
Pengurus ISMAFARSI Pusat. 2015. Press release Audiensi ISMAFARSI
ke IAI. Diakses dari ismafarsi.org pada 25 Januari 2016

RAKERNAS IAI. 2010. Penetapan dan Pengesahan Standar Kompetensi


Apoteker dalam Forum RAKERNAS IAI. Makassar, Sulawesi Selatan
Sakti, Ridho Muhammad. 2015. UKAI : Untuk Kemerdekaan Apoteker
Indonesia. Press release ISMAFARSI. Diakses dari ismafarsi.org
pada 25 Januari 2016.
Tribunnews. 2015. Workshop Uji Kompetensi Apoteker Indonesia Surat
kabar online. Diakses dari
http://makassar.tribunnews.com/2015/02/15/workshop-uji-
kompetensi-apoteker-indonesia pada 25 Januari 2015
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 Tentang
Tenaga Kesehatan. Diakses dari
https://www.kemenkopmk.go.id/sites/default/files/produkhukum/UU
.pdf pada 24 Januari 2016

Anda mungkin juga menyukai