Anda di halaman 1dari 5

TEKNIK REAKTOR

TUGAS 2
Dosen pembimbing : Endang Sri Rahayu

Disusun oleh :
Kelompok 4
Anggota :
Awayni Husna 171424006
Hanif 171424013
Rawiyah Khairunida’ S 171424029
Risyda Fuadah 171424030

Kelas 3A
D4 Teknik Kimia Produksi Bersih

JURUSAN TEKNIK KIMIA


POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
TAHUN 2019
STEAM CRACKING NAPHTHA

Bahan Baku
Steam cracking adalah proses dalam industri petrokimia dimana hidrokarbon jenuh
dipecah menjadi senyawa yang lebih sederhana, seringnya menjadi hidrokarbon tidak jenuh.
Proses ini digunakan untuk memproduksi olefin (alkena sederhana) yang sangat bernilai seperti
etilena, propilena dari bahan mentah bernilai rendah, yang biasanya berasal dari bahan bakar
fosil, mulai dari bahan baku gas, seperti etana dan propana hingga cairan, bahan baku yang
lebih berat, seperti naphtha, LPG, dan etena. Naphtha adalah yang paling banyak digunakan
sebagai bahan baku, karena ketersediaannya yang banyak, biayanya yang rendah dan
potensinya untuk menghasilkan hasil olefin yang tinggi.[1]

Produk
Etilena adalah produk utama dari unit Steam Cracking Naphtha. Dengan kapasitas
produksi dari seluruh dunia mencapai sekitar 1,48 juta ton/tahun pada 2014 [2]. Adapun
produk sampingnya berupa Propylene yang bisa digunakan untuk memproduksi
polypropylene, propylene oxide, cumene and isopropano.

Proses
Steam Cracking Naphtha untuk memproduksi olefins dilakukan melalui reaksi
perekahan hidrokarbon termal, reaksi ini dapat terjadi dengan adanya uap dalam koil pada
furnace. Proses ini terjadi pada suhu tinggi mulai dari 700 ℃ di aliran masuk koil hingga 900
℃ di aliran keluaran. Reaksi perekahan ini terjadi melalui mekanisme radikal bebas. Adapun
untuk proses Steam Cracking Naphtha, menghasilkan yield etilen antara 25-35% dan propilen
antara 14−18% [1].
Berikut Flowsheet yang sudah disederhanakan dari proses steam cracking
Cracking furnace pada rangkaian proses ini berperan sebagai reaktor dan merupakan
“jantung” dari proses ini atau dengan kata lain merupakan unit paling penting pada plant ini.
Cracking Furnace terdiri dari 2 bagian utama yaitu furnace section dan radiant section
sebagaimana dapat dilihat pada gambar di bawah ini

Gambar 1 : Diagram cracking furnace pada plant pengolahan olefin yang tipikal .
Umpan hidrokarbon memasuki cracking furnace pada convection section. di mana
umpan tersebut dipanaskan terlebih dahulu dengan pertukaran panas terhadap fuel gases.
Kemudian dicampur dengan uap pengencer, hingga rasio Steam: Oil
(Kg.steam/Kg.hidrokarbon) pada kisaran 0,40−0,55 untuk naphtha. Hal ini dapat mengurangi
tekanan parsial hidrokarbon, yang mengarah pada penurunan laju pembentukan kokas
(sehingga menghindari penurunan koefisien perpindahan panas dan menghindari peningkatan
pressure drops), karena dapat meningkatkan run-time dari furnace. Campuran yang dihasilkan
selanjutnya dipanaskan hingga suhu 500−680 ℃, yang mendukung reaksi perengkahan. [1] [3]
Campuran umpan dan uap, dalam fasa gas, memasuki radiant section yang berperan
sebagai PFR/tubular reactor. Kemudian umpan hidrokarbon diarahkan pada reaksi perekahan
dengan periode 0,1 - 0,5 detik. Pada bagian ini suhu furnace diatur antara 600-860 ℃, suhu
ini dipertahankan oleh perpindahan panas dari pembakaran di firebox yang suhunya mencapai
1000-1200 ℃. Pada proses ini mekanisme perpindahan panas yang dimanfaatkan utamanya
adalah perpindahan panas secara radiasi. Kemudian, endotermisitas reaksi cracking dapat
menyebabkan diperlukannya fluks panas yang tinggi (75 − 85 kW/ m2coil).
Aliran yang keluar dari furnace berada pada fasa gas dan mengandung olefins ringan.
Aliran keluaran furnace ini diturunkan suhunya dari suhu 800-860℃ menjadi 550-650℃
untuk mencegah proses cracking lebih lanjut dari produk unit cracking furnace. Penurunan
suhu ini menggunakan transfer-line exchanger (TLE).
Kemudian dilakukan pendinginan lagi menggunakan oil quench sehingga suhu aliran
utama turun menjadi 230 ℃.
Kemudian aliran utama diproses pada unit gasoline fractionator (primary fractionator)
untuk memisahkan hidrokarbon berat (pyrolysis fuel oil) dari aliran utama.
Setelah keluar dari primary fractionator, aliran utama didinginkan dengan water quench
tower hingga mendekati suhu ruangan.
Tahap selanjutnya aliran utama dikompresi. Untuk mengompresi aliran utama (cracked
gas), digunakan serangkaian 4 hingga 6 tahap kompresi dengan pendingin antar-tahap, yang
memungkinkan cracked gas mencapai tekanan hingga 35 bar, sambil mempertahankan suhu di
bawah 100 ℃.
Kondensat, serta air dan komponen yang lebih berat lainnya dihilangkan selama proses
pendinginan ini, bersama dengan H2S dan CO2, dengan cara dikontakkan oleh larutan alkali
(penghilangan gas asam).
Gas yang dihasilkan pada aliran keluaran unit kompresi perlu dikeringkan agar kadar
air berkurang (hingga <1 ppm), sehingga aliran utama siap dilanjutkan ke peralatan fraksionasi.
Pada akhirnya, hasil dari cracking dan gas yang sudah dimurnikan didingankan dan
dipisahkan ke dalam aliran produknya (etilena, propilena, minyak mentah C4 dan pirolisis
bensin dan minyak gas), melalui serangkaian kolom destilasi.
Untuk meningkatkan hasil olefin ringan, dilakukan reaksi hidrogenasi, di mana
asetilena, metilasetilena dan propadiena dikonversi menjadi etilena dan propilena dalam
lapisan hidrogenasi katalitik.

DAFTAR PUSTAKA

Marcos, João MM. 2016. Modelling of Naphtha Cracking for Olefins Production. Instituto
Superior Técnico, Lisboa, Portugal.
[1] H. Zimmermann and R. Walzl, "Ethylene", in Ullmann's Encyclopedia of Industrial
Chemistry, Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, 2012.
[2] ICIS Chemical Business, vol. 287, nos. 4,9,10,11,15, 2016.
[3] “Petrochemical industry ethylene plant”,
http://www.usa.siemens.com/processanalytics, [Online; Diakses: 10 September 2019].
P. Eisele and R. Killpack, “Propene,” in Ullmann’s Encyclopedia of Industrial Chemistry,
Wiley-VCHVerlag GmbH & Co. KGaA, 2000.

Anda mungkin juga menyukai