Anda di halaman 1dari 9

KEPERAWATAN JIWA 2

LEMBAR TUGAS MANDIRI KE 2


ASUHAN KEPRAWATAN PADA NARAPIDANA REMAJA
YANG MENGALAMI
HARGA DIRI RENDAH SITUASIONAL

DENNY RIANDHIKA

NPM 1806269890

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS INDONESIA

2019
Kasus Pemicu

Adi (mahasiswa FIK UI) sedang melaksanakan kunjungan ke LAPAS Anak Tangerang dan
berinteraksi dengan seorang remaja laki-laki (B) berusia 16 tahun yang sedang menjalani masa
hukuman di LAPAS tersebut. Klien dihukum karena melakukan pencurian. Adi memperoleh data
bahwa klien mengatakan ia malu dihukum dan merasa orang lain pasti menjauhinya jika nanti ia
keluar dari LAPAS. Klien jarang tersenyum dan menjawab pertanyaan Adi seperlunya saja.

1. PENDAHULUAN
Masa remaja merupakan bagian dari perkembangan seorang individu yang sangat
penting. Disebut juga sebagai periode peralihan dari masa kanak-kanak menuju kearah dewasa
(Santrock, 2007). Batas usia remaja berkisar dari rentang usia 12—22 tahun (Yusuf, 2002).
Perubahan-perubahan yang dialami masa remaja akan memberikan dampak langsung pada
individu yang bersangkutan dan akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya (Hilman &
Indrawati, 2017)
Dewasa ini, di Indonesia banyak ditemukan remaja yang mengalami masalah sosial
yang ditunjukkan dalam bentuk perbuatan kriminal. Kartono (2002) dalam Hilman &
Indrawati, 2017 menjelaskan kenakalan remaja atau dikenal dengan istilah juvenile
delinquency merupakan gejala patologis sosial pada remaja yang disebabkan oleh satu bentuk
pengabaian sosial. Akibatnya remaja kemudian mengembangkan bentuk perilaku yang
menyimpang. Faktor-faktor yang menjadi penyebab remaja melakukan tindak kriminal adalah
faktor lingkungan seperti teman sebaya dan keluarga (Savitri & Utami, 2012 dalam Hilman &
Indrawati, 2017).
Berdasarkan fakta dan data yang dihimpun oleh Pusat Data Anak Berhadapan Dengan
Hukum Komnas, secara keseluruhan ada sekitar 2.879 anak melakukan tindak kekerasan dan
harus berhadapan dengan hukum. Mulai dari rentang usia 6—12 tahun sebanyak 268 anak
sekitar 9%, serta anak berusia 13-18 tahun sebanyak 829 anak sekitar 91% (Profil Anak,KPAI,
2015). Sesuai dengan laporan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (dalam Profil Anak, KPAI,
2015) jumlah anak pelaku tindak pidana di seluruh Indonesia pada tahun 2014 mencapai
sebanyak 3.752 anak. Dari jumlah tersebut, sebanyak 790 anak (21,06%) masih berstatus
sebagai tahanan dan sebanyak 2.962 anak (78,94%) lainnya telah berstatus narapidana atau
anak didik. Data diatas juga menunjukkan bahwa anak laki-laki pelaku tindak pidana
jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan anak perempuan. Anak atau remaja yang terlibat
permasalahan dengan hukum kemudian harus menjalani proses peradilan anak atau dalam
istilah asing disebut juvenile justice (Hilman & Indrawati, 2017).
Pengalaman menjadi narapidana remaja tentu akan memberi pengaruh terhadap
perkembangan diri dan sosial remaja kedepannya. Remaja dihadapkan pada kenyataan bahwa
mereka tinggal dalam penjara sebagai narapidana. Remaja yang menjalani pembinaan dan
berada di Lapas akan mengalami banyak perubahan hidup, salah satunya hilangnya kebebasan
dan hak-hak yang semakin terbatas. Pengalaman yang menyenangkan maupun kurang
menyenangkan yang terjadi di Lapas akan menimbulkan perasaan positif atau perasaan negatif
terhadap diri remaja (Asnita, 2015 dalam Hilman & Indrawati, 2017). Melihat fenomena
kenakalan remaja yang terus meningkat di Indonesia dengan persentase jumlah remaja laki-
laki lebih banyak sebagai pelaku tindak pidana. Banyak ditemukan remaja yang pada akhirnya
dijatuhkan vonis hukuman pidana penjara, menyebabkan tingginya jumlah remaja yang
memiliki status sebagai narapidana di Indonesia (Hilman & Indrawati, 2017).
Remaja yang menjadi narapidana bisa saja merasakan perasaan malu atas kondisinya.
Perasaan malu tersebut bisa saja menyebabkan remaja tidak mau bersosialisasi dalam Lapas.
Remaja yang menarik diri, tidak bersosialisasi tentunya akan menimbulkan masalah baru
dalam diri remaja tersebut.

2. PEMBAHASAN
2.1.Diagnosa Keperawatan
Dari kesus pemicu, berdasarkan data yang ditemukan, diagnosa keperawatan yang
muncul pada B adalah:
a. Gangguan konsep diri: harga diri rendah situasional berhubungan dengan gangguan peran
sosial; perubahan peran sosial (berdasarkan NANDA-I 2018—2020; SDKI 2017; CMHN
Basic Course 2019) yang ditandai dengan:
 Data subjektif:
− B mengatakan merasa malu dihukum (gejala dan tanda mayor subjektif dalam
SDKI 2017)
− B mengatakan9`9 orang lain pasti menjauhinya jika nanti ia keluar dari LAPAS
(pandangan hidup pesimis dalam CMHN Basic Course 2019)
 Data objektif:
Pasif, klien jarang tersenyum dan menjawab pertanyaan Adi seperlunya saja pasif
(gejala dan tanda minor objektif dalam SDKI 2017)
 Kondisi terkait (dalam SDKI 2017):
Pengalaman tidak menyenangkan (menjadi narapidana)

b. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional (berdasarkan NANDA-I 2018—2020;


SDKI 2017) yang ditandai dengan:
 Data subjektif:
B mengatakan orang lain pasti menjauhinya jika nanti ia keluar dari LAPAS (gejala
dan tanda mayor subjektif dalam SDKI 2017)

2.2.Intervensi Keperawatan
a. Gangguan konsep diri: harga diri rendah situasional berhubungan dengan gangguan peran
sosial; perubahan peran sosial
1) Tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan:
a) Pasien dapat meningkatkan harga dirinya
b) Pasien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
c) Pasien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan
d) Pasien dapat menetapkan/ memilih kegiatan yang sesuai kemampuan
e) Pasien dapat melatih kegiatan yang sudah dipilih, sesuai kemampuan
f) Pasien dapat menyusun jadwal untuk melakukan kegiatan yang sudah dilatih
2) Kriteria hasil
a) Klien mengungkapkan aspek-aspek positif tentang diri
b) Klien tidak memanipulasi orang lain dalam upaya untuk meningkatkan perasaan
harga diri
c) Klien mempertimbangkan hak orang lain dalam interaksi antarpribadi
3) Intervensi
a) Berdasarkan SIKI 2017: promosi harga diri
 Pada klien:
 Observasi:
− Monitor verbalisasi yang merendahkan diri sendiri
− Monitor tingkat harga diri sesuai kebutuhan
 Terapeutik:
− Diskusikan pengalaman yang meningkatkan harga diri
− Diskusikan penetapan tujuan realistis untuk mencapai harga diri yang
lebih tinggi
− Berikan umpan balik positif atas peningkatan mencapai tujuan
− Fasilitasi lingkungan dan aktivitas yang meningkatkan harga diri
 Edukasi:
− Anjurkan mengidentifikasi kekuatan yang dimiliki
− Latih kemampuan positif diri
 Pada keluarga:
Jelaskan kepada keluarga pentingnya dukungan dalam perkembangan konsep
diri postif pasien
b) Berdasarkan NIC 2016: peningkatan harga diri
 Pada klien:
− Monitor frekuensi verbalisasi negatif terhadap diri
− Dukung pasien untuk bisa mengidentifikasi kekuatan
− Dukung melakukan kontak mata pada saat berkomunikasi
− Jangan mengkritisi pasien secara negatif
− Bantu untuk mengatur tujuan yang realistik dalam rangka mencapai harga
diri yang lebih tinggi
− Berikan hadiah atau pujian terkait dengan kemajuan pasien dalam mencapai
tujuan
− Bantu pasien untuk mengidentifikasi respon positif dari orang lain
− Fasilitasi lingkungan dan aktivitas-aktivitas yang akan meningkatkan harga
diri
 Pada keluarga:
− Instruksikan kepada orangtua mengenai pentingnya dukungan mereka
dalam mengembangkan konsep diri postif anak-anak
− Instruksikan kepada orangtua untuk mengetahui pencapaian anak
c) Berdasarkan CMHN 2019
− Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki pasien,
dengan cara:
− Mendiskusikan sejumlah kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
pasien seperti kegiatan pasien di rumah, dalam keluarga dan lingkungan
keluarga serta lingkungan terdekat pasien
− Memberi pujian yang realistik/ nyata dan hindarkan setiap kali bertemu
dengan pasien penilaian yang negatif
− Membantu pasien menilai kemampuan yang dapat digunakan, dengan cara:
− Mendiskusikan dengan pasien kemampuan yang masih dapat dilakukan saat
ini berdasarkan kemampuan yang telah diidentifikasi
− Membantu pasien menyebutkan dan memberi penguatan terhadap
kemampuan diri yang diungkapkan pasien
− Memperlihatkan respons yang kondusif dan menjadi pendengar yang aktif
− Membantu pasien memilih/ menetapkan kemampuan yang akan dilatih, dengan
cara:
− Mendiskusikan kemampuan yang masih dapat dilakukan dan memilih
kemampuan yang akan dilatih
− Memberikan dukungan dalam memilih kemampuan yang paling mudah
dilakukan
− Membantu pasien memilih kemampuan sesuai dengan kondisi pasien saat
ini
− Melatih kemampuan yang dipilih pasien, dengan cara:
− Memotivasi pasien untuk melatih kemampuan yang dipilih
− Mendiskusikan cara melaksanakan kemampuan yang dipilih
− Memberi contoh cara melaksanakan kemampuan yang dipilih
− Membantu pasien melakukan sendiri kemampuan yang dipilih
− Memberikan dukungan dan pujian pada setiap kegiatan yang dapat
dilakukan pasien
− Membantu menyusun jadwal pelaksanaan kemampuan yang dilatih, dengan
cara:
− Memberi kesempatan pada pada pasien untuk mencoba kegiatan yang telah
dilatih secara mandiri
− Membantu pasien memasukkan kemampuan yang telah dilatih dalam
jadwal kegiatan sehari-hari pasien

b. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional


1) Tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan rasa cemas klien berkurang/hilang
2) Kriteria hasil
a) Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas
b) Mengidentifikasi dan mengungkapkan serta menunujukan teknik untuk mengontrol
cemas
c) Postur tubuh, ekspresi wajah dan tingkat aktifitas menunjukan berkurangnya
kecemasan
3) Intervensi
a) Berdasarkan SIKI 2017: reduksi ansietas
 Observasi:
− Indentifikasi saat tingkat ansietas berubah (kondisi, waktu, stressor)
− Monitor tanda-tanda ansietas
 Terapeutik:
− Temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika memungkinkan
− Dengarkan dengan penuh perhatian
− Diskusikan perencanaan realostis tentang peristiwa yang akan datang
 Edukasi:
− Anjurkan untuk mengungkapkan perasaan dan persepsi
− Latih teknik relaksasi
 Kolaborasi:
Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu
b) Berdasarkan NIC 2016: pengurangan kecemasan
− Berada di sisi klien untuk meningkatkan rasa aman dan mengurangi kecemasan
− Dengarkan klien
− Identifikasi pada saat terjadi perubahan tingakt kecemasan
− Kaji tanda verbal dan nonverbal kecemasan
− Dukung mekanisme koping yang sesuai
− Instruksikan klien untuk menggunakan teknik relaksasi
− Bantu klien untuk mengartikulasikan deskripsi realistis mengenai kejadian yang
akan datang
− Atur penggunaan obat-obatan untuk mengurangi kecemasan secara tepat

3. PENUTUP
Dalam menetapkan diagnosa keperawatan gangguan konsep diri: harga diri rendah situasional
perawat harus bisa memperhatikan tanda gejala yang ada pada klien. Tanda dan gejala
tersebuat seperti ungkapan malu, sikap pasif, ungkapan negatif pada diri. Intervensi yang
dilakuan berfokus pada aspek/ kemampuan postif yang masih ada pada klien. Perawat harus
melatih klien aspek/ kemampuan positif yang masih dapat dilakukan sesuai kondisi terkini.
Meningkatnya harga diri klien diharapakan tidak akan membuat harga diri renda situasional
berububah menjadi harga diri rendah kronik, bahkan sampai terjadi isolasi sosial.
DAFTAR PUSTAKA

______(2019). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas CMHN (Basic Course). Editor Budi
Anna Keliat, dkk. Editor penyelaras Monica Ester dan Devi Yulianti. Jakarta: EGC

Bulechek, G.M., dkk. (2016). Nursing Interventions Classification (NIC) Edisi Keenam Edisi
Bahasa Indonesia editor bahas Indonesia Intan Sari Nurjanah dan Roxsana Devi Tumanggor.
Indonesia: CV Mocomedia

Hilman, D. P., & Indrawati, E. S. (2017). Pengalaman Menjadi Narapidana Remaja Di Lapas
Klas I Semarang. Empati, 6(3), 189–203.

NANDA-I. (2018). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2018-2020 Edisi 11 editor T
Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta: EGC.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik Edisi 1 Cetakan III (Revisi). Jakarta: Dewan Pengurus PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2017). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan
Tindakan Keperawatan Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI

Townsend, M.C. (2015). Psychiatric Nursing: Assessment, Care Plans, and Medications (9th ed.).
Philadelphia: F.A. Davis.

Anda mungkin juga menyukai