Anda di halaman 1dari 11

Definisi Pragmatisme

Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa yang
membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang
bermanfaat secara praktis. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja
membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua
bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkàn membawa akibat yang
praktis yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah "manfaat bagi
hidup praktis".

Di Amerika Serikat pragmatisme mendapat tempat sendiri dengan melekatnya nama


William James sebagai tokohnya, di samping John Dewey. Di Inggris pragmatisme
berhubungan erat dengan nama F.C. Schiller. Selain itu dikenal juga nama-nama
lainnya, seperti Charles S. Pierce (1839-1914) dan George Herbert Mead (1863-1931).
Pragmatisme dalam perkembangannya mengalami perbedaan kesimpulan walaupun
berangkat dari gagasan asal yang sama. Kendati demikian, ada tiga patokan yang
disetujui aliran pragmatisme yaitu, (1) menolak segala intelektualisme, dan (2)
absolutisme, serta (3) meremehkan logika formal. Dalam tulisan ini kita akan
berkenalan dengan dua tokoh saja yaitu William James dan John Dewey.

Lahirnya Pragmatisme

Pragmatisme adalah aliran filsafat modern yang lahir di Amerika akhir abad 19 hingga
awal abad 20. Filsafat ini cenderung lebih banyak mengabaikan hal-hal yang bersifat
metafisik tradisional dan lebih banyak terarah pada hal-hal yang pragmatis kehidupan.
Pragmatisme lahir di tengah-tengah situasi sosial Amerika yang dilanda berbagai
problem terkiat dengan kuat dan masifnya urbanisasi dan industrialisasi. Berakhirnya
Perang Dunia I dengan korban sekitar 8,4 juta jiwa secara tidak langsung telah
melahirkan dampak psikologis yang begitu meluas dan memicu terjadi berbagai
perubahan-perubahan bangsa, khususnya para filsuf di dalam menyadari hidup dan
kehidupan yang ada. Eropa abad pertengahan kehilangan utopia hidupnya mulai dari
moralitas serta spiritual. Atas nama nasionalisme dan demi mengejar keuntungan-
keuntungan serta kebanggaan semu, dunia yang selama ini beradab telah
membuktikan diri hadir menjadi dunia yang sepenuhnya irasional, horor, dan buta
terhadap gagasan-gagasan nilai yang dibangunnya.

Dalam kondisi seperti itulah, pragmatisme kemudian lahir di Amerika. Aliran ini
melahirkan beberapa nama yang cukup berpengaruh mulai Charles S. Pierces (1839-
1914), William James (1842-1910), John Dewey, dan seseorang pemikir yang juga
cukup menonjol bernama George Herbert Mead"(1863-1931).

Para pragmatis selalu menolak jika filsafat mereka dikatakan berlandaskan suatu
pemikiran metafisik sebagaimana metafisika tradisional yang selalu memandang bahwa
dalam hidup ini terdapat sesuatu yang bersifat absolut dan berada di luar jangkauan
pengalaman-pengalaman empiris. Dari itu, bagi mereka, seandainya pun realitas
adikodrati memang ada, mereka berasumsi bahwa manusia tidak akan mampu
mengetahui hal itu.

Epistemologi dan Aksiologi Pragmatisme

Epistemologi pragmatism sepenuhnya berbasis pendekatan empiris: apa yang bisa


dirasakan itulah yang benar. Artinya, akal, jiwa, dan materi adalah sesuatu hal yang tida
dapat dipisahkan. Sebab, hanya dengan mengalamilah pengetahuan itu dapat dicerap.
Pengalaman menjadi parameter ketika sesuatu dapat diterima kebenarannya. Oleh
karena itu, para pragmatis tidak nyaris pernah mendasarkan satu hal kebenaran.
Menurut mereka, pengalaman yang mereka alami akan berubah jika realitas yang
mereka alami pun berubah.

Realitas bukanlah sesuatu yang abstrak. Sebaliknya, ia hanya sebuah pengalaman


transaksional yang secara konstan akan terus-menerus berubah. Di titik inilah seorang
William James kemudian berujar betapa manusia selalu hidup dalam dunia dengan
turup yang terbuka. Pandangan James ini sama dengan Dewey tentang konsep
kebenaran. Bagi Dewey, kebenaran tidak lebih hanya opini yang ditakdirkan sebagai
sesuatu yang dipandang benar sehingga semua orang pun kemudian berupaya
menyelidikinya untuk kemudian meyakini atau menolak otoritasnya.
Corak paling kuat dari pragmatisme adalah kuatnya pemikiran tentang konsep
kegunaan. Makna kegunaan dalam pragmatisme lebih ditetapkan pada kebenaran
sains, bukan pada hal-hal bersifat metafisik. Maka, dalam pragmatisme, pengetahuan
tidak selalu mesti diidentikkan dengan kepercayaan, tetapi kerap menjadi dua hal yang
sama sekali terpisah. Kebenaran yang mungkin dianggap perlu dipercayai (to believe)
bagi para pragmatis selalu menjadi sesuatu hal bersifat personal atau pribadi dan itu
tidak perlu dikabarkan pada publik. Sedangkan, hal-hal yang dianggap perlu diketahui
haruslah selalu dikabarkan atau didemonstrasikan pada pengamat yang qualified dan
tak berpihak. Kepercayaan memang ada dalam pengetahuan meski banyak pula
kepercayaan tidak akan ditemukan siapa pun di banyak pengetahuan.

Pandangan-pandangan itu semuannya terangkai oleh konsep kegunaan dan fungsi


pragmatis. Oleh karena itu, para pragmatis kerap mengungkapkan betapa apa yang kita
mesti ketahui keraplah buka sesuatu yang mesti kita percayai. Dalam sisi yang lain,
sebab konse kegunaan, apa yang kita percayai tidak selalu menjadi sesuatu hal yang
mesti kita ketahui. Sebab, konsep kegunaan dan fungsi kebenaran dalam pragmatisme
selalu hadir menjadi relatif dan kasuistik. Sebuah kebenaran yang dipandang benar-
benar valid dan berguna, di waktu yang lain bias menjadi sesuatu hal yang sama sekali
mesti dilupakan.

Sementara, pandangan aksiologi pragmatisme tentu saja memiliki sisi keterkaitan erat
dengan corak epistemologi mereka yang cenderung berbasis empiris serta
menegaskan bahwa manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas kebenaran dan
pengetahuan serta nilai-nilai yang diakibatkannya. Keberadaan konsep kegunaan dan
fungsi bagi pragmatisme tidak membuat bahwa ilai-nilai etika menjadi relatif dan batal.
Sebaliknya, dipandang bahwa tidak ada konsep etika yang mengikat manusia secara
universal.

Sementara, dalam pengamatan lebih jauh, prinsip dasar etika pragmatisme selalu
didasarkan pada fungsi dan kegunaan yang dalam hal ini didasarkan pada fungsi dasar
bagi sosial. Hal ini kerap membuat satu penilaian bahwa etika pragmatisme dipandang
memiliki kesamaan dengan konsep "etika tradisional Eropa" meski dalam pragmatism
pembedaan baik buruk dalam makna individu dan kolektif sosial agaknya memiliki
pemisahan secara sangat tersadari. Ini sangat berbeda dengan etika tradisional Eropa
yang nyaris tidak memiliki pemilahan ruang etis antara ruang-ruang privat dan ruang
publik karena semua hal semua hal telah tereksternalisasikan ke dalam ruang publik
secara sepenuhnya.

Filsafat Pragmatisme William James

Di dalam bukunya The Meaning of Truth, Arti Kebenaran, James mengemukakan


bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang
berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal. Sebab pengaJaman kita
berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman
itu senantiasa berubah, karena di dalam praktiknya apa yang kita anggap benar dapat
dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tidak ada kebenaran yang
mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran (artinya, dalam bentuk jamak) yaitu apa
yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali dapat diubah oleh
pengalaman berikutnya. Nilai pengalaman dalam pragmatisme tergantung pada
akibatnya, kepada kerjanya artinya tergantung keberhasilan dari perbuatan yang
disiapkan oleh pertimbangan itu. Pertimbangan itu benar jikalau bermanfaat bagi
pelakunya, jika memperkaya hidup serta kemungkinan-kemungkinan hidup.

Di dalam bukunya, Varietes of Religious Experience atau keanekaragaman pengalaman


keagamaan, James mengemukakan bahwa gejala-gejala keagamaan itu berasal dari
kebutuhan- kebutuhan perorangan yang tidak disadari, yang mengungkap- kan diri di
dalam kesadaran dengan cara yang berlainan. Barangkali di dalam bawah sadar kita,
kita menjumpai suatu realitas kosmis yang lebih tinggi tetapi ini hanya sebuah
kemungkinan saja. Sebab tiada sesuatu yang dapat meneguhkan hal itu secara mutlak.
Bagi orang perorangan, kepercayaan terhadap suatu realitas kosmis yang lebih tinggi
merupakan nilai subjektif yang relatif, sepanjang kepercayaan itu memberikan
kepercayaan penghiburan ruhani, penguatan keberanian hidup, perasaan damai,
keamanan dan kasih kepada sesama dan lain lain. Nilai agama memang tidak melebihi
hal-hal subjektif. Oleh karena itu, segala macam pengalaman keagamaan mempunyai
nilai yang sama, jikalau akibatnya sama-sama memberi kepuasan kepada kebutuhan
keagamaan.
Filsafat Pragmatisme John Dewey

Sekalipun Dewey bekerja terlepas dari William James, namun menghasilkan pemikiran
yang menampakkan persamaan dengan gagasan James. Dawey lahir di Baltimore dan
kemudian menjadi guru besar dalam bidang filsafat dan kemudian juga di bidang
pendidikan di Chicago (1894-1904) dan akhirnya di Universitas Columbia (1904-1929).

Dewey adalah seorang yang pragmatis. Menurutnya, filsafat bertujuan untuk


memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau mengatur kehidupan
manusia serta aktivitasnya untuk memenuhi kebutuhan manusiawi. Walaupun Dewey
seorang pragmatis, namun ia lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah
instrumentalisme. Experience (pengalaman) adalah salah satu kunci dalam filsafat
instrumentalisme. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta
mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis. Dengan demikian, filsafat akan dapat
menyusun sistem norma-norma dan nilai-nilai.

Instrumentalisme ialah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat
dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam
bentuknya yang bermacam-macam itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana
pikiran-pikiran itu berfungsi dalam penemuan- penemuan yang berdasarkan
pengalaman yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan.

Dalam rangka pandangan ini, maka yang benar ialah apa yang pada akhirnya disetujui
oleh semua orang yang menyelidiki-nya. Kebenaran ditegaskan dalam istilah-istilah
penyelidikan. Kebenaran sama sekali bukan yang sekali ditentukan kemudian tidak
boleh diganggu gugat, sebab dalam praktiknya kebenaran itu memiliki nilai fungsional
tetap. Segala pernyataan yang kita anggap benar pada dasarnya dapat berubah.

Menurut Dewey, kita ini hidup dalam dunia yang belum selesai penciptaannya. Sikap
Dewey dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek dari yang
kita namakan instrumentalisme. Pertama, kata "temporalisme" yang berarti bahwa ada
gerak dan kemajuan nyata dalam waktu. Kedua, kata futurisme, mendorong kita untuk
melihat hari esok dan tidak pada hari kemarin. Ketiga, milionarisme, berarti bahwa
dunia dapat dibuat lebih baik dengan tenaga kita. Pandangan ini dianut oleh William
James.

Pendidikan Bagi Pragmatisme

Tekanan utama pragmatisme dalam pendidikan selalu dilandaskan bahwa subjek didik
bukanlah objek, melainkan subjek yang memiliki pengalaman. Setiap subjek didik tidak
lain adalah individu yang mengalami sehingga mereka berkembang, serta memiliki
inisiatif dalam mengatasi problem-problem hidup yang mereka miliki.

Dalam pelaksanaannya, pendidikan pragmatisme mengarahkan agar subjek didik saat


belajar di sekolah tak berbeda ketika ia berada di luar sekolah. Oleh karenanya,
kehidupan di sekolah selalu disadari sebagai bagian dari pengalaman hidup, bukan
bagian dari persiapan untuk menjalani hidup. Di sini pengalaman belajar di sekolah
tidak berbeda dengan pengalaman saat ia belajar di luar sekolah. Pelajar menghadapi
problem yang menyebabkan lahirnya tindakan penuh dari pemikiran yang reflektif. Di
sini kecerdasan disadari akan melahirkan pertumbuhan dan pertumbuhan akan
membawa mereka di dalam beradaptasi dengan dunia yang berubah. Ide gagasan
yang berkembang menjadi sarana keberhasilan.

Selain hal di atas, pendidikan pragmatisme kerap dianggap sebagai pendidikan yang
mencanangkan nilai-nilai demokrasi dalam ruang pembelajaran sekolah. Karena
pendidikan bukan ruang yang terpisah dari sosial, setiap orang dalam suatu masyarakat
juga diberi kesempatan untuk terlibat dalam setiap pengambilan keputusan pendidikan
yang ada. Keputusan-keputusan tersebut kemudian mengalami evaluasi berdasarkan
situasi-situasi sosial yang ada.

Guru, di sini sama sekali berbeda dengan para guru dalam pendidikan tradisional yang
otoritatif dan mesti menekankan kepatuhan pada siswa. Dalam pendidikan
pragmatisme, guru menjadi pendamping subjek didik yang dipandang jauh lebih
memiliki pengalaman dalam menghadapi berbagai problem. la menjadi pengarah atau
pemandu aktivitas-akitivitas subjek didik di luar hal-hal yang dibutuhkan mereka,
dengan pertimbangan-pertimbangan dan pengalaman yang lebih luas Para guru juga
tidak melakukan aktivitas-aktivitas kelas pada apa yang ia merasa ia dibutuhkan.
Oleh karena itu, pengajaran pragmatisme kerap sangat berbeda dengan pengajaran
tradisional yang selalu mesti di ruangan, memiliki kesan begitu formal dan kaku.
Pengajaran-pengajaran itu justru sering dilakukan di luar, di alam terbuka, dan berbagai
tempat yang memang disukai siswa didik. Metode pengajaran pragmatis sekali lagi
selalu menekankan pengalaman sebagai sesuatu yang utama. Oleh karena itu, upaya
pengajaran dilakukan selalu menjadi sesuatu yang dekat dengan hidup. Seseorang
yang hendak belajar tentang pertanian, misalnya, dalam pendidikan pragmatisme akan
dibawa langsung di area tempat kegiatan-kegiatan pertanian dilakukan. Dalam
keterlibatan langsung itu, guru akan menjadi pendamping atau pemandu yang sesekali
akan menjelaskan dan memberi nasihat bagi para subjek didik. Metode ini populer
dengan nama metode eksperimental.

Sementara, untuk soal kurikulum, menurut Dewey dan kalangan pragmatis lainnya,
tidak boleh dibagi dalam bidang materi yang membatasi dan tidak alamiah. Di sini
kurikulum dibangun atas dasar unit-unit alamiah, tidak menimbulkan persoalan, serta
melahirkan pengalaman yang menekan subjek didik. Materi-materi kurikulum
pendidikan pragmatism meliputi beberapa materi yang juga digunakan dalam
pendidikan tradisional. Mulai dari seni, sejarah, hitung, dan membaca.

Kebijakan-kebijakan sekolah selalu menjadi kebijakan liberalism dalam artian mereka


tidak pernah khawatir dengan perubahan-perubahan sosial. Bagi mereka, perubahan
adalah kenyataan yang hidup tidak mungkin dibendung. Maka, pendidikan mesti
mengajarkan pada generasi di dalam mengelola perubahan dengan cara yang sehat.
Sekolah di sini tidak perlu mengharuskan subjek didik dengan beban-beban yang tidak
produktif, seperti menghafal serta memberikan keharusan-keharusan tertentu yang
membuat mereka kehilangan sisi aktifnya sebagai subjek. Dalam banyak hal,
pendidikan justru lebih banyak mengajarkan cara belajar sehingga mereka mampu
menyesuaikan dengan perubahan-perubahan hidup yang terus-menerus menimpa
dunia mereka. Di sini kurikulum pendidikan pragmatis lebih banyak didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan proses ketimbang muatan materi.
Kritik terhadap Pendekatan Ideologis

Sebagi kritik terhadap pendekatan ideologis, pragmatisme mempertahankan relevansi


sebuah ideologi bagi pemecahan, misalnya fungsi pendidikan. Pragmatisme mengkritik
segala macam teori tentang cita-cita, filsafat, rumusan-rumusan abstrak yang sama
sekali tidak memiliki konsekuansi praktis. Bagi kaum pragmatis, yang penting bukan
keindahan suatu konsepsi melainkan hubungan nyata pada pendekatan masalah yang
dihadapi masyarakat.

Ketika menghadapi tantangan-tantangan modernisasi dan polarisasi ideologi dunia,


terutama didorong oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, dunia
pendidikan tidak terlepas dari tantangan yang menuntut jawaban segera. Secara garis
besar tantangan-tantangan tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut :

Terdapat kecenderungan perubahan sistem nilai untuk meninggalkan sistem nilai yang
sudah ada (agama). Standar-standar kehidupan dilaksanakan oleh kekuatan-kekuatan
yang berpijak pada materialisme dan sekularisme. Dan inilah titik sentral masalah
modernisasi yang menjadi akar timbulnya masalah-masalah di semua aspek kehidupan
manusia, baik aspek sosial, ekonomi, budaya maupun politik.

Adanya dimensi besar dari kehidupan masyarakat modern yang berupa pemusatan
pengetahuan teoritis. Ini berarti bertambahnya ketergantungan manusia pada ilmu
pengetahuan dan informasi sebagai sumber strategis pembaharuan. Tidak
terpenuhinya kebutuhan ini akan menimbulkan depersonalisasi dan keterasingan dalam
dunia modern

Pragmatisme menganggap bahwa suatu teori dapat dikatakan benar apabila teori itu

bekerja. Ini berarti pragmatisme dapat digolongkan ke dalam pembahasan tentang


makna kebenaran atau theory of thurth. Hal ini dapat kita lihat dalam buku William
James yang berjudul The Meaning of Thurth. Menurut James kebenaran adalah
sesuatu yang terjadi pada ide. Menurutnya kebenaran adalah sesuatu yang tidak statis
dan tidak mutlak.
Dengan demikian kebenaran adalah sesuatu yang bersifat relatif. Hal ini dapat
dijelaskan melalui sebuah contoh. Misalnya ketika kita menemukan sebuah teori maka
kebenaran teori masih bersifat relatif sebelum kita membuktikan sendiri kebenaran dari
teori itu.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Praja, Juhaya S.

Knight, John F. 2001. Family Medical Care Volume 4. Bandung: Indonesia Publishing House.

Anda mungkin juga menyukai