BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
4
5
2.1.3 Etiologi
Etiologi dilakukannya Kraniotomi karena :
1. Adanya benturan kepala yang diam terhadap benda yang sedang bergerak.
Misalnya pukulan-pukulan benda tumpul, kena lemparan benda tumpul.
2. Kepala membentur benda atau objek yang secara relative tidak bergerak.
Misalnya membentur tanah atau mobil.
3. Kombinasi keduanya. (Aca.Erlind Dolphin di 18.57, 2011)
2.1.4 Manifestasi Klinis
Menurut Brunner dan Suddarth (2000:65) gejala-gejala yang ditimbulkan pada
klien dengan craniotomy antara lain :
1. Penurunan kesadaran, nyeri kepala hebat, dan pusing
2. Bila hematoma semakin meluas akan timbul gejala deserebrasi dan gangguan
tanda vital dan fungsi pernafasan.
3. Terjadinya peningkatan TIK setelah pembedahan ditandai dengan muntah
proyektil, pusing dan peningkatan tanda-tanda vital.
2.1.5 Patofisiologi
Ketika terjadi trauma kepala maka akan menyebabkan perlukaan dikulit kepala,
serta akan menyebabkan hematoma pada kulit kepala akibat benturan yang akan
menyebabkan cedera pada otak. Ketika terjadi trauma kepala disitu juga akan terjadi
patahan/fraktur tulang kepala. Diantaranya fraktur linear, fraktur communited, fraktur
depressed, dan fraktur basis yang akan menyebabkan tekanan intra kranial meningkat.
Ketika terjadi trauma kepala akan menyebabkan kerusakan pula pada jaringan otak
dan akan menyebabkan hematom, edema, dan konkusio. Hal tersebut akan
mnyebabkan meningkatnya tekanan intra kranial. Dari semua itu maka akan
ditemukan kelainan respon fisiologis otak yang berakibat pada cedera otak sekunder
dan peningkatan kerusakan sel otak.
Peningkatan TIK dapat pula dilakukan proses pembedahan untuk mencegah
peningkatan TIK dapat dilakukan dengan 3 cara yang pertama kraniotomi,
kraniektomi, kranioplasti. Dari proses pembedahan itu akan menyebabkan perlukaan
pada kulit kepala yang merupakan tempat masuknya mikroorganisme yang dapat
6
menyebabkan resiko tinggi infeksi. Dapat pula menyebabkan nyeri karena dari proses
pembedahan itu menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan yang merangsang
reseptor nyeri, biasanya pasien dengan kraniotomi akan mengalami intoleransi
aktivitas karena kelemahan fisik akibat nyeri. Dari proses inflamasi juga akan
didapatkan respon yang memungkinkan terjadinya edema otak yang akan
menyebabkan gangguan perfusi jaringan. Dari proses pembedahan dapat pula
menyebabkan resti kekurangan cairan dan nutrisi akibat efek dari anastesi selama
proses pembedahan. Prosedur anastesi dan pengguanaan ETT pada proses
pembedahan akan menimbulkan iritasi pada saluran pernapasan yang akan
memungkinkan terjadinya resiko jalan napas tidak efektif. (Muttaqin, 2007: 152 dan
Dongoes, 2000 : 271, Brunner & Suddarth. 2000)
7
2.1.6 Komplikasi
1. Edema cerebral
2. Syok Hipovolemik
3. Hydrocephalus
4. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral
5. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.Tromboplebitis
post operasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah operasi. Bahaya besar
tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah vena
dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati, dan otak. Pencegahan
tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatifdini.
6. Infeksi
Infeksi luka sering muncul pada 36 – 46 jam setelah operasi. Organisme yang
paling sering menimbulkan infeksi adalah stapylococus auereus, organism garam
positif stapylococus mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka
yang paling penting adalah perawatan luka dengan memperhatikan aseptic dan
antiseptic.
7. Kerusakan integritas kulit sehubungan dengan dehisiensi luka atau eviserasi.
Dehisiensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka adalah
keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab dehisensi atau
eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu pembedahan.
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan post craniotomy
meliputi hal-hal dibawah ini :
1. Pemeriksaan tengkorak dengan sinar X, CT scan atau MRI dapat dengan cermat
mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan
dilakukan pada 24 - 72 jam setelah injuri (Corwin, 2000: 177)
2. Angiografi Serebral. Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan
jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
8
3) Data Biologis
Data ini dapat diperoleh dari anamnesa baik dari klien atau dari keluarga yaitu
menyangkut pola kebiasaan, meliputi:
a) Pola Nutrisi
Dikaji tentang frekuensi makan, jenis diit, porsi makan, riwayat alergi terhadap
suatu jenis makanan tertentu. Pada klien post craniotomy biasanya terjadi
penurunan nafsu makan akibat mual dan muntah (Brunner dan Suddarth, 2008).
Dikaji tentang jumlah dan jenis minuman setiap hari. Minuman yang harus
dihindari pasien post craniotomy akibat cedera kepala yaitu minuman beralkohol
dan yang mengandung kafein karena dapat meningkatkan derajat dehidrasi dan
dapat menimbulkan rasa pusing pada kepala.
b) Pola Eliminasi
Dikaji frekuensi BAB, warna, bau, konsistensi feses dan keluhan klien yang
berkaitan dengan BAB. Pada klien post craniotomy pola defekasi biasanya terjadi
konstipasi akibat penurunan peristaltik usus (Muttaqin, 2008 : 160). Setelah
pembedahan klien mungkin mengalami inkontinensia urine, ketidakmampuan
mengkomunikasikan kebutuhan dan ketidakmampuan mempergunakan sistem
perkemihan karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang-kadang
kontrol spingter urinarius hilang atau berkurang (Muttaqin, 2008 : 160).
c) Pola Istirahat dan Tidur
Dikaji mengenai kebutuhan istirahat dan tidur, waktu tidur, lamanya tidur setiap
hari, apakah ada kesulitan dalam tidur. Pada klien post craniotomy sering terjadi
pusing dan sakit kepala dan hal ini mungkin akan mengganggu istirahat tidur
klien.
d) Pola Personal Hygiene
Dikaji mengenai frekuensi dan kebiasaan mandi, keramas, gosok gigi dan
menggunting kuku. Pada klien post craniotomy kemungkinan dalam perawatan
dirinya tersebut memerlukan bantuan baik sebagian maupun total.
e) Pola Aktivitas sehari-hari
12
f) Dalam aktivitas sehari-hari dikaji pada pola aktivitas sebelum sakit dan setelah
sakit.
g) Pola Mobilisasi Fisik
Dikaji dalam kegiatan yang meliputi pekerjaan, olah raga, kegiatan diwaktu
luang dan apakah keluhan yang dirasakan mengganggu aktivitas klien tersebut
(Brunner dan Suddarth, 2001).
4) Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis.
Pemeriksaan fisik sebaikanya dilakukan secara persistem dengan fokus pada
pemeriksaan fisik pada pemeriksaan sistem persyarafan yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan klien. Teknik yang digunakan ada 4, yaitu
inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi.
Pada klien dengan post craniotomy akan ditemukan kelainan pada beberapa
sistem tubuh, diantaranya :
a) Sistem pernafasan
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi dari perubahan
jaringan serebral. Pada keadaan hasil dari pemeriksaan fisik sistem ini akan
didapatkan hasil :
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan alat bantu napas dan peningkatan frekuensi pernapasan. Ekspansi
dada : dinilai penuh atau tidak penuh dan kesimetrisannya. Pada observasi
ekspansi dada juga perlu dinilai : retraksi dari otot-otot interkostal, substernal,
pernapasan abdomen dan respirasi paradoks (retraksi abdomen pada saat
inspirasi). Pola napas paradoksal dapat terjadi jika otot-otot interkostal tidak
mampu menggerakkan dinding dada.
Pada palpasi frenitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain.
Pada perkusi adanya suara redup sampai pekak.
13
Pada auskultasi, bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor, ronkhi
pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang
menurun sehingga didapatkan pada klien dengan penurunan tingkat kesadaran.
Pada klien dengan post craniotomy dan sudah terjadi disfungsi pusat pernapasan,
klien biasanya terpasang ETT dengan ventilator dan biasanya klien dirawat di
ruang perawatan intensif sampai kondisi klien menjadi stabil. Pengkajian klien
dengan pemasangan ventilator secara komprehensif merupakan jalur keperawatan
kritis. Pada klien dengan tingkat kesadaran compos mentis, pengkajian pada
inspeksi pernapasan tidak ada kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil premitus
seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.
b) Sistem Kardiovaskuler
Pengkajian ini pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) Hasil pemeriksaan kardiovaskular klien post craniotomy akibat
cedera kepala pada beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau
berubah, nadi bradikardi, takikardia dan aritmia. Frekuensi nadi cepat dan lemah
berhubungan dengan homeostatis tubuh dalam upaya menyeimbangkan
kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardia merupakan tanda dari perubahan
perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat menunjukkan adanya perubahan
perfusi jaringan atau tanda-tanda awal dari syok.
c) Sistem Persyarafan
Post craniotomy akibat cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis
terutama akibat pengaruh peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan
adanya perdarahan baik bersifat hematom intraserebral, subdural dan epidural.
Pengkajian sistem persyarafan merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya. Pengkajian tingkat kesadaran klien
dan respon terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi
sistem persyarapan. Pengkajian fungsi serebral. Pengkajian ini meliputi
statusmental, fungsi intelektual (biasanya pada beberapa keadaan klien cedera
kepala didapatkan penurunan dalam memori jangka panjang dan pendek), lobus
frontal (biasanya pada klien dengan cedera kepala kerusakan fungsi kognitif dan
14
efek psikologis terjadi jika trauma kepala yang mengakibatkan adanya kerusakan
pada lobus frontal, kapasitas, memori atau kerusakan fungsi intelektual yang
lebih tinggi), hemisfer (pada klien dengan cedera kepala biasanya mempunyai
kerentanan terhadap sisi kolateral sehinga kemungkinan terjatuh ke sisi
berlawanan tersebut).
Pengkajian saraf kranial yang meliputi : Saraf I (pada keadaan post craniotomy
klien akan mengalami kelainan pada fungsi penciuman unilateral atau bilateral),
Saraf II (hematom palpebra pada klien cedera kepala akan menurunkan lapang
pandang dan menggangu fungsi saraf optikus), Saraf III, IV dan VI (terjadinya
gangguan mengangkat kelopak mata terutama pada klien dengan trauma yang
merusak rongga orbita), Saraf V (pada beberapa keadaan cedera kepala
menyebabkan paralisis saraf trigeminus, didapatkan penurunan kemampuan
koordinasi gerak mengunyah), Saraf VII (persepsi pengecapan mengalami
perubahan, Saraf VIII (perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala
ringan biasanya tidak didapatkan apabila trauma yang terjadi tidak melibatkan
saraf vestibulokoklearis), Saraf IX dan X (kemampuan menelan kurang baik dan
kesulitan membuka mulut, Saraf XI (bila tidak melibatkan trauma pada leher,
mobilitas klien cukup baik serta tidak ada artrofi otot), saraf XII (indera
pengecapan mengalami perubahan).
Pengkajian sistem motorik, pada saat inspeksi umum didapatkan hemiplegia
karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah
satu sisi tubuh adalah tanda lain dari tonus otot, kekuatan otot dan keseimbangan
dan koordinasi.
Pengkajian refleks dilakukan pemeriksaan refleks profunda, pengetukan pada
tendon, ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respon normal.
Permeriksaan refleks patologis pada fase akut refleks sisi yang lumpuh akan
menghilang.
Pengkajian sistem sensorik kehilangan karena cedera kepala dapat berupa
kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat dengan kemampuan untuk
15
merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh serta kesulitan dalam stimulus visual,
taktil dan auditorius.
d) Sistem Perkemihan
Setelah post craniotomy klien mungkin mengalami inkontinesia urine, dapat
terlihat dari produksi urine pada urine bag atau bllader, ketidakseimbangan
mengkomunikasi kebutuhan dan ketidak mampuan untuk menggunaan sistem
perkemihan karena kerusakan kontrol motorik dan postural.
e) Sistem Pencernaan
Klien dengan post craniotomy didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan,
nafsu makan menurun, mual dan muntah pada fase akut. Pola defekasi biasanya
terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
f) Sistem muskuloskeletal
Akibat dari post craniotomy dapat mempengaruhi gerakan tubuh. Hemisfer atau
hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari kerusakan pada area motorik otak.
Selain itu, pasien dapat mempunyai control vaolunter terhadap gerakan dalam
menghadapi kesulitan perawatan diri dan kehidupan sehari – hari yang
berhubungan dengan postur, spastisitas atau kontraktur
g) Sistem Integumen
Adanya perubahan warna kulit, pucat dan sianosis pada klien menggunakan
ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia. Warna kemerahan pada kulit
dapat menunjukkan adanya demam dan infeksi. Integritas kulit untuk menilai
adanya lesi dan dekubitus..
(Muttaqin, 2008 : 155-161).
5) Data Psikologis
Data psikologis yang perlu dikaji adalah status emosional, konsep diri,
mekanisme koping klien dan harapan serta pemahaman klien tentang kondisi
kesehatan sekarang.
Menurut Kelliat (2005 : 77), yang perlu dikaji pada aspek psikologis yaitu konsep
diri. Konsep diri didefinisikan sebagai semua pikiran, keyakinan dan kepercayaan
16
g) Data Spiritual
Ada beberapa hal yang perlu dikaji untuk mendapatkan data spiritual, yaitu nilai-
nilai atau norma-norma kegiatan keagamaan dan moral, serta menyangkut masalah
keyakinan dan penerimaan diri terhadap penyakit dan keyakinan akan kesembuhan
penyakitnya.
h) Data Penunjang
Meliputi farmakoterapi dan prosedur diagnostik medik seperti pemeriksaan darah,
urine, radiologi dan cystos copy.
i) Data Pengobatan
Obat-obat Analgetik (obat anti nyeri)
Obat-obat Antibiotik (anti mikrobal)
Obat antiemetik (anti mual)
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul pada post craniotomy akibat cedera kepala
diantaranya :
1. Ketidaefektipan pola pernapasan berhubungan dengan depresi pada pusat
pernapasan di otak, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak
maksimal karena akumulasi udara/cairan dan perubahan perbandingan O2 dengan
CO2 serta kegagalan vensilator, kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat
pernafasan otak), kerusakan persepsi atau kognitif, obstruksi trakeobronkial.
2. Resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang berhubungan dengan
out put cairan berlebih via inhalasi sekunder akibat penggunaan alat bantu nafas
(respirator).
3 Resiko tinggi peningkatan Tekanan Intra Kranial berhubungan dengan desak
ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat
intra serebral hematom, subdural hematom maupun epidural hematom.
4 Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot
sekunder, cedera, inkontinuitas jaringan
18
4. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder
Tujuan : Nyeri berkurang sampai dengan hilang, dengan kriteria :
Klien tidak gelisah
Skala nyeri 0 ( 0-5)
Intervensi Rasional
a. Jelaskan dan bantu klien a. Pendekatan dengan menggunakan
dengan tindakan pereda nyeri relaksasi dan nonfarmakologi telah
nonfarmakologi dan noninvasif menunjukkan kefektifan dalam
b. Lakukan manajemen nyeri mengurangi nyeri
keperawatan b. Posisi fisiologis dapat meningkatkan
c. Berikan kesempatan waktu asupan O2, istirahat akan
istirahat bila terasa nyeri dan menurunkan kebutuhan O2,
berikan posisi nyaman lingkungan yang tenang akan
d. Tingkatkan pengetahuan menurunkan stimulasi nyeri,
tentang sebab-sebab nyeri dan distraksi dapat menurunkan stimulus
menghubungkan berapa lama internal, manajemen sentuhan pada
nyeri akan berlangsung saat nyeri berupa sentuhan dukungan
e. Observasi tingkat nyeri dan psikologis dapat membantu
respon motorik klien setelah menurunkan nyeri
pemberian obat analgetik c. Istirahat akan merelaksasi semua
f. Kolaborasi dengan dokter jaringan sehingga akan
pemberian nalgetik meningkatkan kenyamanan
d. Pengetahuan yang akan dirasakan
membantu mengurangi nyerinya dan
dapat membantu mengembangkan
kepatuhan klien terhadap rencana
terapeutik
e. Pengkajian yang optimal akan
memberikan perawat data yang
objektif untuk mencegah
kemungkinan komplikasi dan
melakukan intervensi yang tepat
f. Analgetik memblok lintasan nyeri
sehingga nyeri akan berkurang
Mempertahankan tanda – tanda vital dalam batas normal dan tidak adanya
tanda – tanda peningkatan TIK
Menunjukan tidak ada kekambuhan defisit
INTERVENSI RASIONAL
a. Tentukan faktor – faktor yang a. Mempengaruhi penetapan intervensi
berhubungan dengan keadaan kerusakan atau kemunduran tanda
atau penyebab khusus selama atau gejala neourologis atau
koma / penurunan perfusi kegagalan memperbaiki setelah pase
serebral dan potensial terjainya awal memerlukan tindaka
peningkatan TIK pembedahan dan atau pasien harus
b. Pantau atau catat status dipindahkan ke ruangan perawatan
neurologis seserig mungkin dan kritis (ICU) untuk melakukan
bandingkan dengan keadaan pemantauan terhadap peningkatan
normalnya atau standar TIK
c. Kaji perubahan TTV, seperti: b. Mengetahui kecenderungan tingkat
Catat adanya hipertensi kesadaran dan potensial peningkatan
atau hipotensi, bandingkan TIK dan mengetahui lokasi, luas dan
tekanan darah yang terbaca kemajuan atau resolusi kerusakan
pada kedua lengan SSP. Dapat menunjukan TIA yang
Catat frekuensi dan irama merupakan tanda trombosis CVS baru
jantung, auskultasi adnya c. Variasi mungkin terjadi oleh karena
mur – mur tekanan / trauma serebral dan daerah
Catat irama dan pola vosomotor otak
pernapasan, seperti adanya Hipertensi atau hipotensi postural
periode apne setelah dapat menjadi faktor pencetus,
pernapasan hiperventilasi, hipotensi dapat terjadi karena
pernapasan cheyne-stokes terjadi syok (kolaps sirkulaso
d. Evaluasi pupil, catat ukuran, vaskuler)
bentuk kesamaan dan reaksi Peubahan terutama danya
terhadap cahaya bradikardi dapat terjadi sebagai
e. Catat perubahan dalam akibat adanya kerusakan otak.
penglihatan, seperti adanya Ketidak teraturan pernapasan dapat
kebutaan, gangguan lapang memberikan gambaran lokasi
pandang dan kedalaman kerusakan serebral / peningkatan
persepsi TIK
f. Kaji fungsi – fungsi yang lebih d. Reksi pupil diatur oleh saraf kranial
tinggi, seperti bicara jika pasien okulomotori dan berguna dalam
sadar menentukan apakah batang otak
masih baik, ukuran kesamaan dan
pupil ditentukan oleh keseimbangan
antara Persarafan simpatis dan
parasimpatis yang mempersyarafinya
e. gangguan penglihatan yang spesifik
24
7. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan, kulit rusak,
prosedur invasif, status cairan tubuh, kekurangan nutrisi, respons inflamasi
tertekan.
Hasil Yang diharapkan
Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen, atau
eritema demam.
Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen atau
eritema dan demam.
INTERVENSI RASIONAL
a. Kaji dan pantau luka operasia. Mendeteksi secara dini gejala- gejala
setiap hari imflamasi yang mungkin timbul
b. Lakukan perawatan lukasekunder akibat adanya luka
dengan tehnik steril b. Tehnik perawatan luka steril dapat
c. Pantau dan batasi kunjungan mengurangi kontaminasi kuman
pada klien c. Mengurangi resiko kontak infeksi
d. Bantu perawatan diri klien dan dari orang lain
keterbatasan aktifitas sesuai
d. Menunjukan kemampuan secara
toleransi. Bantu program umum, kemampuan otot, dan
latihan. merangsang pengembalian sistem
e. Kolaborasi. Berikan antibiotikaumum
sesuai indikasi e. Satu atau beberapa agens diberikan
tergantung pada sifat dari phatogen da
infeksi yang terjadi.
8. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan
tingkat kesadaran), kelemahan otot yg diperlukan untuk mengunyah, menelan,
status hipermetabolik
Hasil yang diharapkan atau kriteria evaluasi pasien akan :
Mendemonstrasikan metode makan tepat untuk situasi individual dengan
aspirasi tercegah.
Mempertahankan berat badan yang diinginkan.
INTERVENSI RASIONAL
a. Tinjau ulang a. Intervensi nutrisi/pilihan rute makan
patologi/kemampuan pasien ditentukan oleh faktor-faktor ini.
menelan secara individual, catat b. Resiko terjainya aspirasi dapat
27
Pertahankan masukan dan
keluaran dengan akurat,
catat jumlah kalori yang
masuk.
d. Anjurkan untuk berpartisipasi
dalam program latihan atau
kegiatan.
9. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengenal
informasi, kurang mengingat/ keterbatasan kognitif.
Hasil yang diharapkan :
Berpartisipasi dalam proses belajar
Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi atau prognosis dan aturan
terapeutik
Mulai perubahan gaya hidup yang diperlukan
INTERVENSI RASIONAL
a. Evaluasi tipe atau derajat dari a. Defisit mempengaruhi pilihan metode
gangguan persepsi sensori pengajaran dan isi atau kompleksitas
b. Ajarkan tentang kondisi instruksi
penyebab dan tindakan yang b. Pengertian dapat menguatkan
dilakukan kebutuhan untuk mentaati regimen
c. Jelaskan tanda dan gejala pengobatan.
komplikasi dan tekanan c. Tanda dan gejala ini dapat
kebutuhan untuk melaporkan menunjukan peningkatan TIK atau
segera : terjadinya letargi atau hipoksia jaringan serebal
peningkatan kelemahan, letargi d. Membantu dalam membangun
dispagia, afasia, masalah harapan yang realitis dan
penglihatan, kusut fikir dan menungkatkan pemahaman terhadap
kejang. keadaan dan kebutuhan saat ini.
d. Diskusi keadaan patologis yang e. Berbagai tingkat bantuan mungkin
khusus dan kekuatan pada diperlukan/perlu direncanakan
individu berdasarkan pada kebutuhan secara
e. Diskusikan rencana untuk individual
memenuhi kebutuhan perawatan f. Beberapa pasien terutama dengan
diri CSV kanan mungkin mengalami
f. Rekomendasi pasien untuk gangguan dalam pengambilan
meminta bantuan dalam proses keputusan yang memanjang dan
pemecahan masalah dan perilaku inpulsif, kehilangan
memvalidasi keputusan sesuai kemampuan untuk mengungkapkan
kebutuhan. keputusan yang dibuatnya
g. Bahas dengan keluarga tentang g. Penyakit yang serius dari anggota
kemungkinan stressor yang keluarga dapat menyebabkan
29
2.2.4 Implementasi
Implementasi adalah fase ketika perawat menerapkan/ melaksanakan rencana
tindakan yang telah ditentukan dengan tujuan kebutuhan pasien terpenuhi secara
optimal (Nursalam, 2011).
2.2.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara
melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau
tidak.
Dalam melakukan evaluasi perawat seharusnya memiliki pengetahuan dan
kemampuan dalam memahami respon terhadap intervensi keperawatan, kemampuan
menggambarkan kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam
menghubungkan tindakan keperawatan pada kriteria hasil.
Pada tahap evaluasi ini terdiri dari dua kegiatan yaitu kegiatan yang dilakukan
dengan mengevaluasi selama proses perawatan berlangsung atau menilai dari respon
klien disebut evaluasi proses, dan kegiatan melakukan evaluasi dengan target tujuan
yang diharapkan disebut sebagai evaluasi hasil (Hidayat, A.A.A, 2011).