Anda di halaman 1dari 26

4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Post Op. Craniotomy


2.1.1 Defenisi
Menurut Brown CV (2004), Craniotomy adalah operasi untuk membuka
tengkorak (tempurung kepala) dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki
kerusakan otak.
Menurut Hamilton M (2007), Craniotomy adalah operasi pengangkatan sebagian
tengkorak.
Menurut Chesnut RM (2006), Craniotomy adalah prosedur untuk menghapus luka
di otak melalui lubang di tengkorak (kranium).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian dari
Craniotomy adalah operasi membuka tengkorak (tempurung kepala) untuk
mengetahui dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh adanya luka yang ada
di otak.
2.1.2 Indikasi
Indikasi tindakan kraniotomi atau pembedahan intrakranial adalah sebagai
berikut:
1. Pengangkatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker.
2. Mengurangi tekanan intrakranial.
3. Mengevakuasi bekuan darah .
4. Mengontrol bekuan darah.
5. Pembenahan organ-organ intrakranial,
6. Tumor otak.
7. Perdarahan (hemorrage).
8. Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysms).
9. Peradangan dalam otak.
10. Trauma pada tengkorak (Cicilia UzuMaki BanGeuD di 20.53, 2011)

4
5

2.1.3 Etiologi
Etiologi dilakukannya Kraniotomi karena :
1. Adanya benturan kepala yang diam terhadap benda yang sedang bergerak.
Misalnya pukulan-pukulan benda tumpul, kena lemparan benda tumpul.
2. Kepala membentur benda atau objek yang secara relative tidak bergerak.
Misalnya membentur tanah atau mobil.
3. Kombinasi keduanya. (Aca.Erlind Dolphin di 18.57, 2011)
2.1.4 Manifestasi Klinis
Menurut Brunner dan Suddarth (2000:65) gejala-gejala yang ditimbulkan pada
klien dengan craniotomy antara lain :
1. Penurunan kesadaran, nyeri kepala hebat, dan pusing
2. Bila hematoma semakin meluas akan timbul gejala deserebrasi dan gangguan
tanda vital dan fungsi pernafasan.
3. Terjadinya peningkatan TIK setelah pembedahan ditandai dengan muntah
proyektil, pusing dan peningkatan tanda-tanda vital.
2.1.5 Patofisiologi
Ketika terjadi trauma kepala maka akan menyebabkan perlukaan dikulit kepala,
serta akan menyebabkan hematoma pada kulit kepala akibat benturan yang akan
menyebabkan cedera pada otak. Ketika terjadi trauma kepala disitu juga akan terjadi
patahan/fraktur tulang kepala. Diantaranya fraktur linear, fraktur communited, fraktur
depressed, dan fraktur basis yang akan menyebabkan tekanan intra kranial meningkat.
Ketika terjadi trauma kepala akan menyebabkan kerusakan pula pada jaringan otak
dan akan menyebabkan hematom, edema, dan konkusio. Hal tersebut akan
mnyebabkan meningkatnya tekanan intra kranial. Dari semua itu maka akan
ditemukan kelainan respon fisiologis otak yang berakibat pada cedera otak sekunder
dan peningkatan kerusakan sel otak.
Peningkatan TIK dapat pula dilakukan proses pembedahan untuk mencegah
peningkatan TIK dapat dilakukan dengan 3 cara yang pertama kraniotomi,
kraniektomi, kranioplasti. Dari proses pembedahan itu akan menyebabkan perlukaan
pada kulit kepala yang merupakan tempat masuknya mikroorganisme yang dapat
6

menyebabkan resiko tinggi infeksi. Dapat pula menyebabkan nyeri karena dari proses
pembedahan itu menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan yang merangsang
reseptor nyeri, biasanya pasien dengan kraniotomi akan mengalami intoleransi
aktivitas karena kelemahan fisik akibat nyeri. Dari proses inflamasi juga akan
didapatkan respon yang memungkinkan terjadinya edema otak yang akan
menyebabkan gangguan perfusi jaringan. Dari proses pembedahan dapat pula
menyebabkan resti kekurangan cairan dan nutrisi akibat efek dari anastesi selama
proses pembedahan. Prosedur anastesi dan pengguanaan ETT pada proses
pembedahan akan menimbulkan iritasi pada saluran pernapasan yang akan
memungkinkan terjadinya resiko jalan napas tidak efektif. (Muttaqin, 2007: 152 dan
Dongoes, 2000 : 271, Brunner & Suddarth. 2000)
7

2.1.6 Komplikasi
1. Edema cerebral
2. Syok Hipovolemik
3. Hydrocephalus
4. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral
5. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.Tromboplebitis
post operasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah operasi. Bahaya besar
tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah vena
dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati, dan otak. Pencegahan
tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatifdini.
6. Infeksi
Infeksi luka sering muncul pada 36 – 46 jam setelah operasi. Organisme yang
paling sering menimbulkan infeksi adalah stapylococus auereus, organism garam
positif stapylococus mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka
yang paling penting adalah perawatan luka dengan memperhatikan aseptic dan
antiseptic.
7. Kerusakan integritas kulit sehubungan dengan dehisiensi luka atau eviserasi.
Dehisiensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka adalah
keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab dehisensi atau
eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu pembedahan.
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan post craniotomy
meliputi hal-hal dibawah ini :
1. Pemeriksaan tengkorak dengan sinar X, CT scan atau MRI dapat dengan cermat
mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan
dilakukan pada 24 - 72 jam setelah injuri (Corwin, 2000: 177)
2. Angiografi Serebral. Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan
jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
8

3. EEG Berkala. Electroencephalogram (EEG) adalah suatu test untuk mendeteksi


kelainan aktivitas elektrik otak (Campellone, 2006).
4. Foto rotgen, mendeteksi perdarahan struktur tulang (fraktur) perubahan struktur
garis (perarahan/edema), fragmen tulang.
5. PET (Possitron Emission Tomography), mendeteksi perubahan aktivitas
metabolisme otak
6. Kadar elektrolit, untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan
tekanan intra kranial
7. Skrining toksikologi untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran
8. Analisis Gas Darah (AGD) adalah salah satu tes diagnostik untuk menentukan
status respirasi. Status respirasi dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini
adalah status oksigenasi dan status asam basa. (Manjoer, 2008).
2.1.8 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan pada post craniotomy adalah
1) Mengurangi komplikasi akibat pembedahan
2) Mempercepat penyembuhan
3) Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi.
4) Mempertahankan konsep diri pasien
5) Mempersiapkan klien pulang
Tindakan keperawatan post operasi craniotomy:
1) Monitor kesadaran, tanda – tanda vital, CVP, intake dan out put
2) Observasi dan catat sifat drain (warna, jumlah) drainage.
3) Dalam mengatur dan menggerakkan posisi pasien harus hati – hati
4) jangan sampai drain tercabut.
5) Perawatan luka operasi secara steril
6) Makanan, pada klien pasca pembedahan biasanya tidak diperkenankan menelan
makanan sesudah pembedahan, makanan yang dianjurkan pada pasien post
operasi adalah makanan tinggi protein dan vitamin C. Protein sangat diperlukan
pada proses penyembuhan luka, sedangkan vitamin C yang mengandung
9

antioksidan membantu meningkatkan daya tahan tubuh untuk pencegahan infeksi.


Pembatasan diit yang dilakukan adalah NPO (nothing peroral). Biasanya makanan
baru diberikan jika perut tidak kembung, peristaltik usus normal, flatus positif,
bowel movement positif.
7) Mobilisasi
Klien diposisikan untuk berbaring ditempat tidur agar keadaanya stabil. Biasanya
posisi awal adalah terlentang, tapi juga harus tetap dilakukan perubahan posisi
agar tidak terjadi dekubitus.
8) Pemenuhan kebutuhan eliminasi
Control volunteer fungsi perkemihan kembali setelah 6 – 8 jam post anesthesia
inhalasi, IV, spinal anesthesia, infus IV, manipulasi operasi untuk mengetahui ada
tidaknya retensio urine.
2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
1) Identitas Klien
Dikaji tentang identitas klien yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama,
suku bangsa, pendidikan terakhir, status perkawinan, alamat, diagnosa medis,
nomor medrek, tanggal masuk Rumah Sakit dan tanggal pengkajian. Juga
identitas penanggung jawab klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin,
agama, pendidikan terakhir dan hubungan dengan klien.
2) Riwayat Kesehatan
a) Alasan Masuk
Merupakan alasan yang mendasari klien dibawa ke Rumah Sakit atau
kronologis yang menggambarkan perilaku klien dalam mencari pertolongan.
b) Keluhan Utama
Merupakan keluhan yang dirasakan klien saat dilakukan pengkajian, nyeri
biasanya menjadi keluhan yang paling utama terutama pada pasien post op
kraniotommy (Muttaqin, 2008 : 154).
10

c) Riwayat Kesehatan Sekarang


Merupakan pengembangan dari keluhan utama yang dirasakan klien melalui
metode PQRST dalam bentuk narasi:
P: (Provokatif/Pariatif) : Hal yang memperberat atau memperingan, nyeri yang
dirasakan biasanya bertambah bila klien berjalan, bersin, batuk atau napas
dalam.
Klien dengan post craniotomy biasanya merasakan nyeri semakin berat saat
digerakan, dan nyeri dirasakan berkurang saat didiamkan.
Q: (Quality/Quantity) : Kualitas dari suatu keluhan atau penyakit yang dirasakan.
Biasanya nyeri yang dirasakan klien seperti ditusuk-tusuk.
R: (Region/Redition) : adalah daerah atau tempat dimana keluhan dirasakan,
apakah keluhan itu menyebar atau mempengaruhi ke area lain.
Biasanya lokasi nyeri dirasakan sekitar kepala yang telah dilakukan
pembedahan.
S: (Saverity/Scale) : adalah keganasan atau intensitas (skala) dari keluhan tersebut.
Skala nyeri antara 0-5.
Nyeri yang dirasakan tergantung dari individu biasanya diukur menggunakan
skala nyeri 0-5
T: (Time) : adalah waktu dimana keluhan dirasakan pada klien yang mengeluh
nyeri tanyakan apakah nyeri berlangsung terus menerus atau tidak.
Biasanya klien merasakan nyeri terus-menerus.
d) Riwayat Kesehatan Masa lalu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi, riwayat
cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia,
penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif
dan konsumsi alkohol berlebihan (Muttaqin, 2008 : 154).
e) Riwayat Kesehatan keluarga
Dikaji apakah anggota generasi terdahulu ada yang menderita hipertensi dan
diabetes melitus, penyakit menular seperti tuberkulosis dan penyakit yang
sama seperti klien.
11

3) Data Biologis
Data ini dapat diperoleh dari anamnesa baik dari klien atau dari keluarga yaitu
menyangkut pola kebiasaan, meliputi:
a) Pola Nutrisi
Dikaji tentang frekuensi makan, jenis diit, porsi makan, riwayat alergi terhadap
suatu jenis makanan tertentu. Pada klien post craniotomy biasanya terjadi
penurunan nafsu makan akibat mual dan muntah (Brunner dan Suddarth, 2008).
Dikaji tentang jumlah dan jenis minuman setiap hari. Minuman yang harus
dihindari pasien post craniotomy akibat cedera kepala yaitu minuman beralkohol
dan yang mengandung kafein karena dapat meningkatkan derajat dehidrasi dan
dapat menimbulkan rasa pusing pada kepala.
b) Pola Eliminasi
Dikaji frekuensi BAB, warna, bau, konsistensi feses dan keluhan klien yang
berkaitan dengan BAB. Pada klien post craniotomy pola defekasi biasanya terjadi
konstipasi akibat penurunan peristaltik usus (Muttaqin, 2008 : 160). Setelah
pembedahan klien mungkin mengalami inkontinensia urine, ketidakmampuan
mengkomunikasikan kebutuhan dan ketidakmampuan mempergunakan sistem
perkemihan karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang-kadang
kontrol spingter urinarius hilang atau berkurang (Muttaqin, 2008 : 160).
c) Pola Istirahat dan Tidur
Dikaji mengenai kebutuhan istirahat dan tidur, waktu tidur, lamanya tidur setiap
hari, apakah ada kesulitan dalam tidur. Pada klien post craniotomy sering terjadi
pusing dan sakit kepala dan hal ini mungkin akan mengganggu istirahat tidur
klien.
d) Pola Personal Hygiene
Dikaji mengenai frekuensi dan kebiasaan mandi, keramas, gosok gigi dan
menggunting kuku. Pada klien post craniotomy kemungkinan dalam perawatan
dirinya tersebut memerlukan bantuan baik sebagian maupun total.
e) Pola Aktivitas sehari-hari
12

f) Dalam aktivitas sehari-hari dikaji pada pola aktivitas sebelum sakit dan setelah
sakit.
g) Pola Mobilisasi Fisik
Dikaji dalam kegiatan yang meliputi pekerjaan, olah raga, kegiatan diwaktu
luang dan apakah keluhan yang dirasakan mengganggu aktivitas klien tersebut
(Brunner dan Suddarth, 2001).
4) Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis.
Pemeriksaan fisik sebaikanya dilakukan secara persistem dengan fokus pada
pemeriksaan fisik pada pemeriksaan sistem persyarafan yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan klien. Teknik yang digunakan ada 4, yaitu
inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi.
Pada klien dengan post craniotomy akan ditemukan kelainan pada beberapa
sistem tubuh, diantaranya :
a) Sistem pernafasan
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi dari perubahan
jaringan serebral. Pada keadaan hasil dari pemeriksaan fisik sistem ini akan
didapatkan hasil :
 Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan alat bantu napas dan peningkatan frekuensi pernapasan. Ekspansi
dada : dinilai penuh atau tidak penuh dan kesimetrisannya. Pada observasi
ekspansi dada juga perlu dinilai : retraksi dari otot-otot interkostal, substernal,
pernapasan abdomen dan respirasi paradoks (retraksi abdomen pada saat
inspirasi). Pola napas paradoksal dapat terjadi jika otot-otot interkostal tidak
mampu menggerakkan dinding dada.
 Pada palpasi frenitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain.
 Pada perkusi adanya suara redup sampai pekak.
13

 Pada auskultasi, bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor, ronkhi
pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang
menurun sehingga didapatkan pada klien dengan penurunan tingkat kesadaran.
 Pada klien dengan post craniotomy dan sudah terjadi disfungsi pusat pernapasan,
klien biasanya terpasang ETT dengan ventilator dan biasanya klien dirawat di
ruang perawatan intensif sampai kondisi klien menjadi stabil. Pengkajian klien
dengan pemasangan ventilator secara komprehensif merupakan jalur keperawatan
kritis. Pada klien dengan tingkat kesadaran compos mentis, pengkajian pada
inspeksi pernapasan tidak ada kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil premitus
seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.
b) Sistem Kardiovaskuler
Pengkajian ini pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) Hasil pemeriksaan kardiovaskular klien post craniotomy akibat
cedera kepala pada beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau
berubah, nadi bradikardi, takikardia dan aritmia. Frekuensi nadi cepat dan lemah
berhubungan dengan homeostatis tubuh dalam upaya menyeimbangkan
kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardia merupakan tanda dari perubahan
perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat menunjukkan adanya perubahan
perfusi jaringan atau tanda-tanda awal dari syok.
c) Sistem Persyarafan
Post craniotomy akibat cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis
terutama akibat pengaruh peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan
adanya perdarahan baik bersifat hematom intraserebral, subdural dan epidural.
Pengkajian sistem persyarafan merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya. Pengkajian tingkat kesadaran klien
dan respon terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi
sistem persyarapan. Pengkajian fungsi serebral. Pengkajian ini meliputi
statusmental, fungsi intelektual (biasanya pada beberapa keadaan klien cedera
kepala didapatkan penurunan dalam memori jangka panjang dan pendek), lobus
frontal (biasanya pada klien dengan cedera kepala kerusakan fungsi kognitif dan
14

efek psikologis terjadi jika trauma kepala yang mengakibatkan adanya kerusakan
pada lobus frontal, kapasitas, memori atau kerusakan fungsi intelektual yang
lebih tinggi), hemisfer (pada klien dengan cedera kepala biasanya mempunyai
kerentanan terhadap sisi kolateral sehinga kemungkinan terjatuh ke sisi
berlawanan tersebut).
Pengkajian saraf kranial yang meliputi : Saraf I (pada keadaan post craniotomy
klien akan mengalami kelainan pada fungsi penciuman unilateral atau bilateral),
Saraf II (hematom palpebra pada klien cedera kepala akan menurunkan lapang
pandang dan menggangu fungsi saraf optikus), Saraf III, IV dan VI (terjadinya
gangguan mengangkat kelopak mata terutama pada klien dengan trauma yang
merusak rongga orbita), Saraf V (pada beberapa keadaan cedera kepala
menyebabkan paralisis saraf trigeminus, didapatkan penurunan kemampuan
koordinasi gerak mengunyah), Saraf VII (persepsi pengecapan mengalami
perubahan, Saraf VIII (perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala
ringan biasanya tidak didapatkan apabila trauma yang terjadi tidak melibatkan
saraf vestibulokoklearis), Saraf IX dan X (kemampuan menelan kurang baik dan
kesulitan membuka mulut, Saraf XI (bila tidak melibatkan trauma pada leher,
mobilitas klien cukup baik serta tidak ada artrofi otot), saraf XII (indera
pengecapan mengalami perubahan).
Pengkajian sistem motorik, pada saat inspeksi umum didapatkan hemiplegia
karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah
satu sisi tubuh adalah tanda lain dari tonus otot, kekuatan otot dan keseimbangan
dan koordinasi.
Pengkajian refleks dilakukan pemeriksaan refleks profunda, pengetukan pada
tendon, ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respon normal.
Permeriksaan refleks patologis pada fase akut refleks sisi yang lumpuh akan
menghilang.
Pengkajian sistem sensorik kehilangan karena cedera kepala dapat berupa
kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat dengan kemampuan untuk
15

merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh serta kesulitan dalam stimulus visual,
taktil dan auditorius.
d) Sistem Perkemihan
Setelah post craniotomy klien mungkin mengalami inkontinesia urine, dapat
terlihat dari produksi urine pada urine bag atau bllader, ketidakseimbangan
mengkomunikasi kebutuhan dan ketidak mampuan untuk menggunaan sistem
perkemihan karena kerusakan kontrol motorik dan postural.
e) Sistem Pencernaan
Klien dengan post craniotomy didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan,
nafsu makan menurun, mual dan muntah pada fase akut. Pola defekasi biasanya
terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
f) Sistem muskuloskeletal
Akibat dari post craniotomy dapat mempengaruhi gerakan tubuh. Hemisfer atau
hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari kerusakan pada area motorik otak.
Selain itu, pasien dapat mempunyai control vaolunter terhadap gerakan dalam
menghadapi kesulitan perawatan diri dan kehidupan sehari – hari yang
berhubungan dengan postur, spastisitas atau kontraktur
g) Sistem Integumen
Adanya perubahan warna kulit, pucat dan sianosis pada klien menggunakan
ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia. Warna kemerahan pada kulit
dapat menunjukkan adanya demam dan infeksi. Integritas kulit untuk menilai
adanya lesi dan dekubitus..
(Muttaqin, 2008 : 155-161).
5) Data Psikologis
Data psikologis yang perlu dikaji adalah status emosional, konsep diri,
mekanisme koping klien dan harapan serta pemahaman klien tentang kondisi
kesehatan sekarang.
Menurut Kelliat (2005 : 77), yang perlu dikaji pada aspek psikologis yaitu konsep
diri. Konsep diri didefinisikan sebagai semua pikiran, keyakinan dan kepercayaan
16

yang membuat orang mengetahui tentang dirinya dan mempengaruhi hubungannya


dengan orang lain. Konsep diri terdiri dari :
a) Citra Tubuh (Body Image)
Kumpulan dari sikap individu yang disadari dan tidak disadari terhadap tubuhnya.
Termasuk persepsi masa lalu dan sekarang serta perasaan tentang ukuran, fungsi,
penampilan dan potensi. Biasanya klien dengan post craniotomy merasa ada yang
berubah pada kepalanya.
b) Ideal Diri
Persepsi individu tentang bagaimana dia seharusnya berperilaku berdasarkan
standar, aspirasi, tujuan, atau nilai personal tertentu. Biasanya klien dengan post
craniotomy berharap cepat sembuh dan fungsi sarafnya kembali seperti semula.
c) Harga Diri
Penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan menganalisa
seberapa baik prilaku seseorang sesuai ideal diri. Biasanya klien dengan post
craniotomy mengalami penurunan harga diri.
d) Identitas
Serangkaian pola perilaku yang dihadapkan oleh lingkungan sosial berhubungan
dengan fungsi individu diberbagai kelompok sosial. Biasanya klien dengan post
craniotomy merasa terganggu dengan keadaannya karena fungsinya tidak bisa
berjalan dengan baik.
e) Peran
Pengorganisasian perinsip dari kepribadian yang bertanggung jawab terhadap
kesatuan, kesinambungan, konsistensi, dan keunikan individu. Biasanya klien dengan
post craniotomy klien merasa terganggu dalam melaksanaan tugas dan peran tersebut
karena penyakitnya sekarang.
f) Data sosial dan budaya
Perlu diamati penampilan klien secara umum, bagaimana hubungan interpersonal
klien dan keluarga, sesama klien yag dirawat dalam satu ruangan serta tim kesehatan.
Kaji kemampuan berkomunikasi dan peran klien dalam keluarga, gaya hidup, faktor
sosial serta support sistem yang ada pada klien dengan post craniotomy.
17

g) Data Spiritual
Ada beberapa hal yang perlu dikaji untuk mendapatkan data spiritual, yaitu nilai-
nilai atau norma-norma kegiatan keagamaan dan moral, serta menyangkut masalah
keyakinan dan penerimaan diri terhadap penyakit dan keyakinan akan kesembuhan
penyakitnya.
h) Data Penunjang
Meliputi farmakoterapi dan prosedur diagnostik medik seperti pemeriksaan darah,
urine, radiologi dan cystos copy.
i) Data Pengobatan
 Obat-obat Analgetik (obat anti nyeri)
 Obat-obat Antibiotik (anti mikrobal)
 Obat antiemetik (anti mual)
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul pada post craniotomy akibat cedera kepala
diantaranya :
1. Ketidaefektipan pola pernapasan berhubungan dengan depresi pada pusat
pernapasan di otak, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak
maksimal karena akumulasi udara/cairan dan perubahan perbandingan O2 dengan
CO2 serta kegagalan vensilator, kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat
pernafasan otak), kerusakan persepsi atau kognitif, obstruksi trakeobronkial.
2. Resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang berhubungan dengan
out put cairan berlebih via inhalasi sekunder akibat penggunaan alat bantu nafas
(respirator).
3 Resiko tinggi peningkatan Tekanan Intra Kranial berhubungan dengan desak
ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat
intra serebral hematom, subdural hematom maupun epidural hematom.
4 Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot
sekunder, cedera, inkontinuitas jaringan
18

5 Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penghentian aliran darah


(hemoragi, hematoma), edema serebral (respon lokal atau umum pada cedera,
perubahan metabolik, , penurunan TD sitemik/ hipoksia.
6 Keterbatasan gerak berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif,
penurunan kekuatan/ kelemahan fisik, tirah baring/ imobilisasi, nyeri.
7 Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan, kulit rusak,
prosedur invasif, status cairan tubuh, kekurangan nutrisi, respons inflamasi
tertekan.
8 Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan
tingkat kesadaran), kelemahan otot yg diperlukan untuk mengunyah, menelan,
status hipermetabolik
9 Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengenal
informasi, kurang mengingat/ keterbatasan kognitif. (Muttaqin, 2008 :162 dan
Doengoes M, 2000 : 271)
2.2.3 Intervensi Keperawatan
1. Ketidaefektipan pola pernapasan berhubungan dengan depresi pada pusat
pernapasan di otak, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak
maksimal karena akumulasi udara/cairan dan perubahan perbandingan O2 dengan
CO2 serta kegagalan vensilator.
Tujuan : adanya peningkatan pola nafas kembali efektif dengan kriteria :
 Frekuensi pernapasan efektif
 Mengalami perbaikan pertukaran gas dan paru
 Adaptif mengatasi faktor penyebab
Intervensi Rasional
a. Berikan posisi yang nyaman a. Meningkatkan inspirasi maksimal,
biasanya dengan peninggian meningkatkan ekspansi paru dan
kepala pada tempat tidur ventilasi pada sisi yang tidak sakit
b. Observasi fungsi pernapasan, b. Distress pernapasan dan perubahan
catat frekuensi pernapasan, pada tanda vital dapat terjadi sebagai
dispnea atau perubahan tanda- akibat stres fisiologis dan nyeri atau
tanda vital dapat menunjukkan terjadinya syok
19

sehubungan dengan hipoksia


c. Jelaskan kepada klien tentang c. Pengetahuan apa yang diharapkan
etiologi adanya sesak atau dapat mengurangi ansietas dan
kolaps paru-paru mengembangkan kepatuhan klien
d. Pertahankan perilaku tenang terhadap rencana terapeutik
bantu klien untuk kontrol diri d. Membantu klien mengalami efek
dengan menggunakan fisiologi hipoksia yang dapat
pernapasan lebih lambat dan dimanifestasikan sebagai ansietas
dalam e. Ventilator yang memiliki alarm yang
e. Periksalah alarm pada ventilator bisa dilihat dan didengar misalnya
sebelum difungsikan. Jangan alarm kadar oksigen, tinggi
mematikan alarm rendahnya tekanan oksigen
f. Letakkan kantung resusitasi di f. Kantung resusitasi sangat berguna
samping tempat tidur dan untuk mempertahankan fungsi
manual ventilasi untuk sewaktu- pernapasan jika terjadi gangguan
waktu dapat digunakan pada alat ventilator secara mendadak.
g. Bantulah klien mengontrol g. Melatih klien untuk mengatur napas
pernasapan jika ventilator tiba- seperti napas dalam, napas pelan,
tiba berhenti napas perut, pengaturan posisi dan
h. auskultasi suara nafas, tekhnik relaksasi napas dapat
perhatikan daerah hipoventilasi membantu memaksimalkan fungsi
dan adanya suara-suara dari sistem resopiratori
tambahan yang tidak normal h. Untuk mengidentifikasi adanya
(krekels, ronchi, mengi) masalah paru seperti atelektasis,
kongesti, ata obstruksi jalan napas
yang membahayakan oksigenasi
seebral atau menandakan terjadinya
infeksi paru (umumnya merupakan
komplikasi dari cedera kepal ).

2. Resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang berhubungan dengan


out put cairan berlebih via inhalasi sekunder akibat penggunaan alat bantu nafas
(respirator).
Tujuan : tidak ada tanda-tanda edema perifer paru dengan kriteria :
 TTV dalam batas normal TD : 120/80 mmHg, nadi : 60-20 x/menit, R : 16-20
x/menit, suhu : 36-370C
Intervensi Rasional
a. Pertahankan secara ketat a. Untuk mencegah dan
asupan dan keluaran mengidentifikasi secara dini terjadi
b. Timbang berat badan setiap kelebihan cairan
hari b. Peningkatan berat badan merupakan
20

c. Kaji dan observasi suara napas, indikasi berkembangnya atau


fokal fremitus, hasil torak foto bertambahnya edema sebagai
d. Monitor tanda-tanda vital manifesstasi dari kelebihan cairan
e. Catatlah perubahan turgor kulit,
c. Adanya ronkhi basah, fokal fremitus
kondisi mukosa mulut dan menandakan adanya edema paru-paru
karakter sputum d. Kekurangan cairan dapat
f. Hitunglah jumlah cairan yang menunjukkan gejala peningkatan nadi
masuk dan keluar dan tekanan darah menurun
g. Kolaborasi : berikan cairan pere. Penurunan kardiak out put
infus jika diindikasikan, berpengaruh pada perfusi fungsi otak.
monitor kadar elektrolit jika Kekurangan cairan selalu di
diindikasikan identifikasikan dengan turgor kulit
berkurang, mukosa kulit kering dan
sekret yang kental
f. Memberikan informasi tentang
keadaan cairan tubuh secara umum
untuk mempertahankan tetap
seimbang
g. Mempertahankan volume sirkulasi
dan tekanan osmotik, Elektrolit,
khususnya potasium dan sodium
dapat berkurang jika klien
mendapatkan diuretik
3. Resiko tinggi peningkatan Tekanan Intra Kranial berhubungan dengan desak
ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat
intra serebral hematom, subdural hematom maupun epidural hematom.
Tujuan : tidak terjadi peningkatan Tekanan Intra Kranial pada klien dengan
kriteria :
 Klien tidak gelisah
 Klien tidak mengeluh nyeri kepala
 Klien tidak merasakan mual dan muntah
 Terjadi peningkatan GCS (mencapai 8)
 TTV klien dalam batas normal yaitu TD : 120/80 mmHg, nadi : 60-20
x/menit, R : 16-20 x/menit, suhu : 36-370C.
Intervensi Rasional
a. Kaji faktor penyebab dari a. Deteksi dini untuk memprioritaskan
keadaan penurunan perfusi intervensi, mengkaji status neurologi
jaringan dan kemungkinan atau tanda-tanda kegagalan untuk
21

penyebab peningkatan TIK menentukan perawatan kegawatan atau


b. Memonitor tanda-tanda vital tindakan pembedahan
setiap 4 jam b. Suatu keadaan normal bila sirkulasi
c. Evaluasi pupil, amati serebral terpelihara dengan baik atau
ukuran, ketajaman dan reaksi fluktuasi ditandai dengan tekanan darah
terhadap cahaya sistemik, penurunan dari autoregulator
d. Monitor temperatur dan kebanyakan merupakan tanda penurunan
pengaturan suhu lingkungan difusi lokal vaskularisasi darah serebral.
e. Pertahankan kepala dengan c. Reaksi pupil dan pergerakan kembali
posisi netral, usahakan dari bola mata merupakan tanda dari
dengan sedikit bantal gangguan saraf jika batang otak
f. Berikan perode istirahat terkoyak.
antara tindakan perawatan d. Panas merupakan refleks dari
dan batasi lamanya prosedur hipotalamus
g. Kurangi rangsangan ekstra e. Perubahan kepala pada satu sisi dapat
dan berikan rasa nyaman menimbulkan penekanan pada vena
seperti masase punggung, jugularis dan menghambat aliran darah
lingkungan yang tenang otak (menghambat drainase pada vena
h. Palpasi pada pembesaran serebral) untuk meningkatkan tekanan
atau pelebaran bladar, intrakranial.
pertahankan drainase urine f. Tindakan yang terus menerus dapat
secara paten jika digunakan meningkatkan TIK oleh efek rangsangan
dan juga monitor terdapatnya kumulatif
konstipasi g. Memberikan suasana yang tenang dapat
i. Berikan penjelasan kepada mengurangi respon psikologis dan
klien dan keluarga tentang memberikan istirahat untuk
sebab akibat tekanan intra mempertahankan TIK yang rendah
kranial meningkat h. Dapat meningkatkan respon otomatik
j. Observasi tingkat kesadaran yang potensial menaikkan TIK
dengan GCS i. Meningkatkan kerja sama dalam
k. Kolaborasi : meningkatkan perawatan klien dan
Pemberian O2 sesuai mengurangi cemas
indikasi Berikan analgesik j. Penurunan kesadaran dapat
narkotik contohnya kodein menunjukkan peningkatan TIK dan
Berikan antipiretik berguna menentukan lokasi dan
contohnya asetaminofen perkembangan penyakit
k. Mengurangi hipoksemia yang dapat
meningkatkan vasodilatasi serebral dan
volume darah serta meningkatkan TIK
Mungkin diindikasi untuk mengurangi
nyeri
mengurangi atau menurunkan suhu
tubuh.
22

4. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder
Tujuan : Nyeri berkurang sampai dengan hilang, dengan kriteria :
 Klien tidak gelisah
 Skala nyeri 0 ( 0-5)
Intervensi Rasional
a. Jelaskan dan bantu klien a. Pendekatan dengan menggunakan
dengan tindakan pereda nyeri relaksasi dan nonfarmakologi telah
nonfarmakologi dan noninvasif menunjukkan kefektifan dalam
b. Lakukan manajemen nyeri mengurangi nyeri
keperawatan b. Posisi fisiologis dapat meningkatkan
c. Berikan kesempatan waktu asupan O2, istirahat akan
istirahat bila terasa nyeri dan menurunkan kebutuhan O2,
berikan posisi nyaman lingkungan yang tenang akan
d. Tingkatkan pengetahuan menurunkan stimulasi nyeri,
tentang sebab-sebab nyeri dan distraksi dapat menurunkan stimulus
menghubungkan berapa lama internal, manajemen sentuhan pada
nyeri akan berlangsung saat nyeri berupa sentuhan dukungan
e. Observasi tingkat nyeri dan psikologis dapat membantu
respon motorik klien setelah menurunkan nyeri
pemberian obat analgetik c. Istirahat akan merelaksasi semua
f. Kolaborasi dengan dokter jaringan sehingga akan
pemberian nalgetik meningkatkan kenyamanan
d. Pengetahuan yang akan dirasakan
membantu mengurangi nyerinya dan
dapat membantu mengembangkan
kepatuhan klien terhadap rencana
terapeutik
e. Pengkajian yang optimal akan
memberikan perawat data yang
objektif untuk mencegah
kemungkinan komplikasi dan
melakukan intervensi yang tepat
f. Analgetik memblok lintasan nyeri
sehingga nyeri akan berkurang

5. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penghentian aliran darah


(hemoragi, hematoma), edema serebral (respon lokal atau umum pada cedera,
perubahan metabolik, , penurunan TD sitemik/ hipoksia.
Hasil yang diharapkan atau kriteria hasil evaluasi klien akan:
 Mempertahankan tingkat kesadaran, fungsi kognitif dan motorik atau sensorik
23

 Mempertahankan tanda – tanda vital dalam batas normal dan tidak adanya
tanda – tanda peningkatan TIK
 Menunjukan tidak ada kekambuhan defisit
INTERVENSI RASIONAL
a. Tentukan faktor – faktor yang a. Mempengaruhi penetapan intervensi
berhubungan dengan keadaan kerusakan atau kemunduran tanda
atau penyebab khusus selama atau gejala neourologis atau
koma / penurunan perfusi kegagalan memperbaiki setelah pase
serebral dan potensial terjainya awal memerlukan tindaka
peningkatan TIK pembedahan dan atau pasien harus
b. Pantau atau catat status dipindahkan ke ruangan perawatan
neurologis seserig mungkin dan kritis (ICU) untuk melakukan
bandingkan dengan keadaan pemantauan terhadap peningkatan
normalnya atau standar TIK
c. Kaji perubahan TTV, seperti: b. Mengetahui kecenderungan tingkat
 Catat adanya hipertensi kesadaran dan potensial peningkatan
atau hipotensi, bandingkan TIK dan mengetahui lokasi, luas dan
tekanan darah yang terbaca kemajuan atau resolusi kerusakan
pada kedua lengan SSP. Dapat menunjukan TIA yang
 Catat frekuensi dan irama merupakan tanda trombosis CVS baru
jantung, auskultasi adnya c. Variasi mungkin terjadi oleh karena
mur – mur tekanan / trauma serebral dan daerah
 Catat irama dan pola vosomotor otak
pernapasan, seperti adanya  Hipertensi atau hipotensi postural
periode apne setelah dapat menjadi faktor pencetus,
pernapasan hiperventilasi, hipotensi dapat terjadi karena
pernapasan cheyne-stokes terjadi syok (kolaps sirkulaso
d. Evaluasi pupil, catat ukuran, vaskuler)
bentuk kesamaan dan reaksi  Peubahan terutama danya
terhadap cahaya bradikardi dapat terjadi sebagai
e. Catat perubahan dalam akibat adanya kerusakan otak.
penglihatan, seperti adanya  Ketidak teraturan pernapasan dapat
kebutaan, gangguan lapang memberikan gambaran lokasi
pandang dan kedalaman kerusakan serebral / peningkatan
persepsi TIK
f. Kaji fungsi – fungsi yang lebih d. Reksi pupil diatur oleh saraf kranial
tinggi, seperti bicara jika pasien okulomotori dan berguna dalam
sadar menentukan apakah batang otak
masih baik, ukuran kesamaan dan
pupil ditentukan oleh keseimbangan
antara Persarafan simpatis dan
parasimpatis yang mempersyarafinya
e. gangguan penglihatan yang spesifik
24

mencerminkan daerah otak mana yang


terkena, mengindikasikan keamanan
yang harus mendapat perhatian dan
mempengaruhi intervensi yang akan
dilakukan
f. Perubahan dalam isi komunitif dan
bicara merupakn indikator dari lokasi
atau derajat gangguan serebral dan
mungkin menindukasikan penurunan
atau peningkatan TIK

6. Keterbatasan gerak berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif,


penurunan kekuatan/ kelemahan fisik, tirah baring/ imobilisasi, nyeri.
Hasil yang diharapkan atau kriteria evaluasi klien akan:
 Mempertahankan posisi optimal dari fungsi yang dibuktikan oleh tidak
adanya kontraktur, foot drop
 Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang
terkena atau kompensasi
INTERVENSI RASIONAL
a. Kaji kemampuan skala a. Mengidentifikasikan kekuatan atau
fungsional atau luasnya kelemahan dan dapat memberikan
kerusakan awalan dengan cara informasi mengenai pemulihan.
yang teratur. Bantu dalam pemilihan terhadap
b. Ubah posisi minimal setiap 2 intervensi, sebab teknik berbeda
jam (terlentang, miring), dan digunakan untuk paralis spastid
sebagainya dan jika dengan flaksid
memungkinkan bisa lebih b. Menurunkan resiko terjadinya trauma
sering jika di letakan dalam atau iskenik jaringan. Daerah yang
posisi bagian yang terganggu terkena mengalami perburukan atau
c. Letakan pada posisi telungkup sirkulasi yang lebih jelek dan
satu kali atau dua kali jika menurunkan sensasi dan lebih besar
pasien mentoleransinya menimbulkan kerusakan kulit atau
d. Ajarkan klien untuk melakukan dekubitus
latihan rentang gerak aktif pada c. Membantu mempertahankan ekstensi
ekstrenitas yang tidak sakit pinggul fungsional, tetapi
pada sedikitnya empat kali kemungkinan akan meningkatkan
ehari, bila mungkin ansietas terutama kemampuan pasien
e. Lakukan latihan rentang gerak untuk bernapas
pasif pada ekstrenitas yang d. Rentang gerak aktif meningkatakan
sakit tiga sampai empat kali masa tonus dan kekuatan otot, serta
25

sehari, lakukan latihan dengan memperbaiki fungsi jantung dan


perlahan untuk memberikan pernapasan
waktu agar otot rileks dan e. Otot volunter akan kehilangan tonus
sanggah ekstrenitas di atas dan dan kekuatan bila tak digunakan,
di bawah sendi untuk kontraktur pada otot fleksor dan
mencegah regangan pada sendi aduktor dapat terjadi karena otot ini
dan jaringan, berhenti pada saat lebih kuat dari ekstensor dan
terjadi nyeri abduktor.
f. Sokong ekstremitas dalam f. Mencegah kontraktur dan dapat
posisi fungssionalnya, gunakan mengganggu kepulihannya untuk
papan kaki (foot board) selama menyanggah kepala, di lain pihak
periode paralisis flaksid. paralisis spatikdapat mengarah pada
Pertahankan posisi kepala deviasi kepala kesah satu sisi
netral g. Selama paralisis flaksid, penggunaan
g. Gunakan penyanggah lengan pasnganggah dapat menurunkan
ketika pasien berada pada resiko terjadimya subluksasio lengan
posisi tegak sesuai indikasi sidrom bahu – lengan
h. Tempatkan bantal dibawah h. Mencegah aduksi bahu dan fleksi siku
aksila untuk melakukan i. Alas / dasar yang keras menurunkan
abduksi pada tangan stimulasi fleksi jari – jari,
i. Tempatkan hand roll keras mempertahankan jari – jari dan ibu
pada telapak tangan dengan jari jari pada posisi normal
– jari dan ibu jari saling j. Mempertahankan posisi fungsional
berhadapan k. Menilai kemampuan klien untuk
j. Posisikan lutut dan panggul melakukan perawatan diri dan
dalam posisi ekstensi mengurangi ketergantungan
k. Kaji kemampuan klien dalam l. Membantu pemenuhan kebutuhan
memenuhi kebutuhan personal hygiene dengan tetap
perawatan diri dengan bantuan memandirikan klien
total sedang, sebagian atau m. Memudahkan dalam memberikan
mandiri kebutuhan perawatan diri klien.
l. Bantu klien untuk memenuhi
kebutuhan perawatan diri
sesuai dengan tingkat
kemampuan klien, keramas,
mandi dan menggosok gigi.
m. Libatkan keluarga dalam
pemenuhan kebutuhan
perawatan diri klien dan
anjurkan keluarga untuk
membantu klien dalam
pemenuhan perawatan diri
26

7. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan, kulit rusak,
prosedur invasif, status cairan tubuh, kekurangan nutrisi, respons inflamasi
tertekan.
Hasil Yang diharapkan
 Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen, atau
eritema demam.
 Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen atau
eritema dan demam.

INTERVENSI RASIONAL
a. Kaji dan pantau luka operasia. Mendeteksi secara dini gejala- gejala
setiap hari imflamasi yang mungkin timbul
b. Lakukan perawatan lukasekunder akibat adanya luka
dengan tehnik steril b. Tehnik perawatan luka steril dapat
c. Pantau dan batasi kunjungan mengurangi kontaminasi kuman
pada klien c. Mengurangi resiko kontak infeksi
d. Bantu perawatan diri klien dan dari orang lain
keterbatasan aktifitas sesuai
d. Menunjukan kemampuan secara
toleransi. Bantu program umum, kemampuan otot, dan
latihan. merangsang pengembalian sistem
e. Kolaborasi. Berikan antibiotikaumum
sesuai indikasi e. Satu atau beberapa agens diberikan
tergantung pada sifat dari phatogen da
infeksi yang terjadi.
8. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan
tingkat kesadaran), kelemahan otot yg diperlukan untuk mengunyah, menelan,
status hipermetabolik
Hasil yang diharapkan atau kriteria evaluasi pasien akan :
 Mendemonstrasikan metode makan tepat untuk situasi individual dengan
aspirasi tercegah.
 Mempertahankan berat badan yang diinginkan.
INTERVENSI RASIONAL
a. Tinjau ulang a. Intervensi nutrisi/pilihan rute makan
patologi/kemampuan pasien ditentukan oleh faktor-faktor ini.
menelan secara individual, catat b. Resiko terjainya aspirasi dapat
27

luasnya paralisis parsial, dikurangi bila staf perawat


gangguan lidah, kemampuan diingatkan.
untuk melindungi jalan napas, c. Menetralkan hiperkstensi, membantu
timbang berat badan secara mencegah aspirasi dan meningkat
teratur sesuai kebutuhan kemampuan
b. Tetapkan metode visual untuk  Menggunakan gravitasi untuk
mengkomunikasikan staf memudahkan proses menelan dan
perawatan bahwa klien menurunkan resiko terjadinya
mengalami dispagia aspirasi.
c. Tingkatkan upaya untuk dapat  Membantu dan melatih kembali
melakukan proses menelan yang sensori dan meningkatkan
efektif, seperti : masukan.
 Bantu pasien dengan  Memperbaiki stimulasi sensori
mengontrol kepala (rasa kecap yang dapat
 Letakan pasien pada posisi mencetuskan usaha untuk
duduk atau tegak selama menelan dan meningkatkan
dan setelah makan. masukan.
 Stimulasi bibir untuk  Dapat meningkatkan gerakan dan
menutup dan membuat kontrol lidah dan menghambat
mulut secara manual, jatuhnya lidah.
dengan menekan ringan  Pasien dapat berkonsentrasi pada
diatas bibir atau dibawah mekanisme makan tanpa adanya
dagu jika dibutuhkan distraksi.
 Letakan makanan pada  Makanan lunak atau cairan kental
daerah mulut yang tidak lebih mudah untuk
terganggu mengendalikan di dalam mulut.
 Sentuh bagaian pipi bagian  Menguatkan otot pasial dan otot
dalam dengan spatel lidah / menelan dan menurunkan resiko
tempatkan es untuk terjadinya tersedak.
mengetahui adanya  Menstimulasi upaya makan dan
kelemahan lidah. meningkatkan menelan atau
 Berikan makan dengan masukan.
perlahan pada lingkungan  Jika usaha menelan tidak
yang tenang. memadai untuk memenuhi
 Mulai untuk memberikan kebutuhan cairan dan makanan
makanan peroral setengah harus dicairkan metode alternatif
cair, makanan lunak ketika untuk makan.
pasien dapat menelan air. d. Dapat meningkatkan pelepasan
 Anjurkan pasien endorfin dalam otak yang
menggunakan sedotan meningkatkan perasan senang dan
untuk meminum cairan meningkatkan nafsu makan.
 Anjurkan orang terdekat
untuk membawa makanan
kesukaan pasien.
28


Pertahankan masukan dan
keluaran dengan akurat,
catat jumlah kalori yang
masuk.
d. Anjurkan untuk berpartisipasi
dalam program latihan atau
kegiatan.
9. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengenal
informasi, kurang mengingat/ keterbatasan kognitif.
Hasil yang diharapkan :
 Berpartisipasi dalam proses belajar
 Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi atau prognosis dan aturan
terapeutik
 Mulai perubahan gaya hidup yang diperlukan
INTERVENSI RASIONAL
a. Evaluasi tipe atau derajat dari a. Defisit mempengaruhi pilihan metode
gangguan persepsi sensori pengajaran dan isi atau kompleksitas
b. Ajarkan tentang kondisi instruksi
penyebab dan tindakan yang b. Pengertian dapat menguatkan
dilakukan kebutuhan untuk mentaati regimen
c. Jelaskan tanda dan gejala pengobatan.
komplikasi dan tekanan c. Tanda dan gejala ini dapat
kebutuhan untuk melaporkan menunjukan peningkatan TIK atau
segera : terjadinya letargi atau hipoksia jaringan serebal
peningkatan kelemahan, letargi d. Membantu dalam membangun
dispagia, afasia, masalah harapan yang realitis dan
penglihatan, kusut fikir dan menungkatkan pemahaman terhadap
kejang. keadaan dan kebutuhan saat ini.
d. Diskusi keadaan patologis yang e. Berbagai tingkat bantuan mungkin
khusus dan kekuatan pada diperlukan/perlu direncanakan
individu berdasarkan pada kebutuhan secara
e. Diskusikan rencana untuk individual
memenuhi kebutuhan perawatan f. Beberapa pasien terutama dengan
diri CSV kanan mungkin mengalami
f. Rekomendasi pasien untuk gangguan dalam pengambilan
meminta bantuan dalam proses keputusan yang memanjang dan
pemecahan masalah dan perilaku inpulsif, kehilangan
memvalidasi keputusan sesuai kemampuan untuk mengungkapkan
kebutuhan. keputusan yang dibuatnya
g. Bahas dengan keluarga tentang g. Penyakit yang serius dari anggota
kemungkinan stressor yang keluarga dapat menyebabkan
29

berkenaan dengan CVA dan gangguan fungsi keluarga


tindakannya.

 Perubahan tanggung jawab


peran
 Keuangan
 Ketergantungan 8.
 Tanggung Jawab pemberi
perawatan

2.2.4 Implementasi
Implementasi adalah fase ketika perawat menerapkan/ melaksanakan rencana
tindakan yang telah ditentukan dengan tujuan kebutuhan pasien terpenuhi secara
optimal (Nursalam, 2011).
2.2.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara
melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau
tidak.
Dalam melakukan evaluasi perawat seharusnya memiliki pengetahuan dan
kemampuan dalam memahami respon terhadap intervensi keperawatan, kemampuan
menggambarkan kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam
menghubungkan tindakan keperawatan pada kriteria hasil.
Pada tahap evaluasi ini terdiri dari dua kegiatan yaitu kegiatan yang dilakukan
dengan mengevaluasi selama proses perawatan berlangsung atau menilai dari respon
klien disebut evaluasi proses, dan kegiatan melakukan evaluasi dengan target tujuan
yang diharapkan disebut sebagai evaluasi hasil (Hidayat, A.A.A, 2011).

Anda mungkin juga menyukai