Disusun Oleh :
PSIK A 2016
Kelompok 5
1. Zhimhadha (11161040000005)
2. Dhanny Pratiwi (11161040000006)
3. Ernidya Damayanti (11161040000009)
4. Risa Lusiana (11161040000016)
5. Cholisa Erlani Obey (11161040000027)
6. Tutty Alawiyah (11161040000034)
7. Sofia Dwi Mardianti (11161040000080)
8. Dawda kairaba kijera (11161040000089)
1
KATA PENGANTAR
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk
menyempurnakan makalah selanjutnya. Dan kami berharap semoga makalah yang sederhana ini
dapat bermanfaat bagi semuanya terutama para pembaca.
Wassalamuallaikum. Wr. Wb
Penyusun
2
DAFTAR ISI
BAB IV PEMBAHASAN
A. Implementasi dalam Asuhan Keperawatan ......................................
BAB V PENUTUP
3.1 Kesimpulan .....................................................................................
3.2 Saran ...............................................................................................
3
BAB I
PENDAHULUAN
Gambar 1.1 Seorang wanita yang menggunakan lintah untuk mengobati penyakitnya, ukiran
kayu ini dibuat oleh William Van den Bossche, yang dipublikasi di Historia Medica di
Brussel tahun 1638.
4
Gambar 2.1 kiri Gambar 2.1 kanan
Titik-titik pengekuaran darah Reproduksi alat veneseksi dan
Hans von Gersdarff (ahli bedah), kauterisasi pada jaman Eropa abad
Field book of wound medicine pertengahan, penemuan arkeolog pada
masyarakat biarawan di Saint Eutizio,
Italia. Legenda: A. Besi Kauter, 35
cm; B. Pisau dan mangkuk, 28 cm; C.
Sendok medis, 14 cm; D. Pisau
dengan mata pisau tipis untuk
mengeluarkan anak panah, 20 cm.
Terapi lintah termasuk teknik pengeluaran darah yang ditulis pertama kali dalam
bahasa Sansekerta kuno, India (Mushi, dkk. 2008) dalam mitologi Hindu, Ghavantari, Tabib
yang menyebarkan rahasia pengobatan tradisional India pada dunia, digambarkan dengan
salah satu tangan memegang nektar dan satu tangan lagi memegang lintah. Penjelasan lebih
luas lagi dalam tulisan Tabib Sushruta (100-600 SM). Pada masa itu lintah membantu
mengeluarkan kelebihan darah tanpa rasa sakit.
Sekitar 500 tahun lalu alhi pengobatan Mesir percaya bahwa lintah dapat
menyembuhkan demam, hingga perut kembung, dengan membiarkan lintah tersebut
menghisap darah pasien. Dokumentasi lain ditemukan terlukis di dinding makam dinasti
Faraoh Mesir kuno, ketika dimulainya peradaban (1567-1308 SM).
5
1. Terapi lintah pada masa Eropa kuno
Terapi lintah pada masa Yunani kuno banyak dipengaruhi oleh India.
Misalnya dalam puisi berjudul alexpharmacia, gubahan nicandros dari Colophon (200-
130 SM). Bangsa Roma juga Mengenal terapi ini, bahkan memberi nama hirudo,
walaupun secara etiomologi, lintah berbeda dengan Hirudo dalam bahasa Latin. Pada
tahun 1758, jenis lintah yang digunakan untuk pengobatan diberi nama hirudo
medicinalis oleh Linnaeus. Sehingga dalam metodologi pengobatan non-invasif, istilah
yang digunakan untuk terapi lintah yaitu hirudotheraphy. Selama berabad-abad lintah
sudah menjadi alat umum bagi dokter yang meyakini bahwa penyakit adalah hasil dari
ketidak seimbangan, maka tubuh dengan kondisi tidak seimbang dapat distabilkan
dengan melepaskan darah.
Gambar 3.1
Carl Linnaeus (1708-1778)
“Bapak Taksonomi”
Yang memberi nama
Hirudo Medicinalis
Plinius menggunakan lintah untuk mengobati nyeri rematik, gout, dan semua tipe
demam. Plinius menyebutnya sanguisuga, sanguis berarti "darah", sugo bermakna
"saya hisap".
Themisson dari Laodicea (123-43 SM), murid Aesculipius (Asciapiades) dari Siria,
pada permulaan era Nasrani menganggap ruh setan adalah penyebab terjadinya penyakit
dan pengeluaran darah dibutuhkan agar dapat pulih kembali (Major, 1954).
6
Gambar 4.1 Bejana Lintah terbuat dari kaca
atau keramik
Sumber: Louis E. Kelner, Beckemeyer, dan
Erdward Kwong
Lintah untuk pengobatan disimpan dalam bejana khusus berisi air yang berlubang di
atasnya. Awalnya bejana ini terbuat dari kaca, lalu dibuat juga dari keramik yang
didesain sangat indah untuk dijadikan koleksi (Gambar 4.1). Pada Saat menerima
panggilan ke rumah pasien, dokter sering membawa bejana kecil yang terbuat dari gelas
atau timah yang dapat berisi selusin lintah atau lebih.
Pada masa itu terapi lintah dilakukan untuk mengobati penyakit pada bagian tubuh
yang tidak dapat dibekam, seperti tumor di kanan dubur (hemorrhoid),
jatuh/tenggelamnya dubur (prolapses rectum) dan radang vagina (inflamed vulva).
Untuk pengobatan pada organ berlubang, sebaiknya lintah diperhatikan agar tidak
merayap ke dalam lubang, karena dapat berakibat fatal.
Terapi lintah juga ditemukan dalam Kitabul Umda Fi Jarahat yang ditulis oleh Ibnu
Maseehi (1233-1286 M).Kitab ini membahas karakteristik lintah yang dapat digunakan
7
untuk pengobatan, yaitu lintah yang berwarna seperti dedak, merah agak kehitaman,
seperti hati, kuning, atau bertubuh kurus mirip ekor tikus.
Pada akhir abad Galenisme, dokter menggunakan lintah terutama untuk mengurangi
cairan merugikan langsung dari bagian tubuh yang terkena penyakit. Mereka percaya
terapi ini akan menaikkan "pembakaran internal" cairan tubuh yang berasal dari
penyakit secara alami. Selain itu, terapi lintah juga dijadikan sebagai pengganti
penyayatan vena (veneseksi). Abraham Zacuto (1575- 1642), pendukung utama Galen,
mengembangkan kisaran indikasi dan dasar empiris selama beberapa tahun berikutnya.
Terapi lintah menjadi populer pada abad ke-18-19 M, dan mencapai puncaknya
tahun 1830 di Prancis, ketika dipraktekkan oleh F.J.V.Broussais, dokter yang terkenal
paling haus darah dalam sejarah, juga kepala rumah sakit Val de Gråce di Paris dan ahli
bedah di Grande Armée Napoleon, (Castiglioni, 1948). Pelopor pengobatan psikologi
ini percaya bahwa semua penyakit dapat ditelusuri menuju ke penyebab utamanya yaitu
peradangan. Karena itu kelebihan akumulasi darah dan pengurangan rasa nyeri
membutuhkan banyak terapi lintah dan rasa lapar.
8
Karena lintah mengeluarkan darah dari pembuluh kapiler tempat terjadinya
peradangan, maka dianggap sebagai penyembuh universal, khususnya untuk penyakit
perut.
Broussais menggabungkan teori lama dengan konsep baru perangsangan (eksitasi)
dan teori depresi dari Brown (1735-1788), yang percaya bahwa penyebab semua
penyakit adalah kelebihan (sthenia) atau kekurangan (asthenia) stimulasi dan
perangsangan. Pengeluaran darah penting jika energi vital atau substansi darah
berlebihan dan dapat diatasi dengan pengaturan makanan (diet).
Kelebihan darah akan menyebabkan demam, radang, penyumbatan, kejang, dan rasa
nyeri yang mengurangi stimulasi (asthenia) secara tidak langsung dan menghambat
aliran darah pada penyakit ayan (apoplexy), asma, dan kejiwaan. Sebenarnya setiap
penyakit dapat dianggap indikasi, tergantung paradigma medis yang diterapkan.
C. Isu Terkini
Mengutip dari CNN Indonesia, terapi lintah yang memiliki banyak manfaat dibidang
kesehatan perlu diwasapadai bahwa terapi lintah memiliki efek samping. Mengutip situs
RnCeus, berikut beberapa masalah kesehatan yang mungkin timbul akibat terapi lintah.
1. Infeksi
Sebanyak 2,4-20% tindakan terapi lintah berujung pada infeksi. Aeromonas
hydrophila adalah bakteri yang terkait dengan infeksi. Beberapa infeksi berupa
septikimia (keracunan darah), selulitis (infeksi pada kulit), dan meningitis diyakini
bahwa infeksi terjadi saat lintah secara tidak sengaja memuntahkan isi usus ke dalam
luka. Umumnya, hal ini terjadi akibat kebiasaan terapis saat menempelkan lintah ke kulit
pasien dengan tangan. Saat jari terlalu kuat memegang lintah, tak menutup kemungkinan
hewan vertebrata itu akan memuntahkan isi ususnya.
2. Anemia
Terapi lintah mungkin akan mengurangi jumlah pasokan darah dalam tubuh. Kulit
yang tebal membutuhkan dua ratus atau lebih lintah selama sekitar 10 hari. Lintah
9
berukuran besar dapat mengekstraksi darah sebanyak 15 mililiter. Akibatnya, 50%
pasien akan memerlukan transfusi darah untuk menggantikan sel darah merah.
3. Reaksi alergi
Reaksi alergi umumnya berupa rasa gatal ringan di area target. Lintah yang biasa
digunakan sebagai obat umumnya lebih sedikit menimbulkan reaksi dari pada lintah
jenis lain. Namun, reaksi alergi tetap mungkin terjadi.
Reaksi bisa berupa bercak merah dan gatal pada bagian kulit di area target.
Seseorang juga akan mengalami pusing dan kesulitan bernapas. Meski jarang terjadi,
namun reaksi alergi parah harus mendapatkan perhatian sesegera mungkin.
Dibalik banyaknya manfaat terapi lintah untuk kesehatan, tetap harus diwaspadai
adalah efek samping terapi lintah ini. Karena efek samping yang muncul pada setiap
orang berbeda beda.
D. Tujuan Penulisan
10
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Jenis Lintah
Ada sekitar 600 jenis lintah telah teridentifikasi, namun hanya sekitar 15 jenis yang
dapat digunakan untuk pengobatan. Lintah di sini adalah “lintah medis” yang selama
berabad-abad telah digunakan oleh terapis, terutama di Eropa dan Amerika. Dahulu
diasumsikan hanya ada satu jenis lintah medis dengan warna berbeda, yaitu hirudo
medicinalis medicinalis dan hirudo medicinalis officinalis. Namun, berdasarkan penelitian
ilmiah, perbedaan pola permukaan tubuh lintah ternyata mengindikasikan ada dua jenis
lintah medis yang berbeda, yaitu hirudo medicinalis Linnaeus, 1758, dan hirudo verbana
Carena, 1829, yang saat ini dapat diuji dengan analisis DNA.
Kedua jenis lintah selama ini tidak pernah dibedakan, karena keduanya digunakan
secara bersamaan dan tidak ada perbedaan pada aktivitas dan komposisi air liurnya. Namun,
karena suplai hirudo medicinalis menjadi langka akibat eksploitasi intensif pada abad ke-19,
hirudo verbana kemudian menjadi satu-satunya jenis lintah yang digunakan selama berabad-
abad di seluruh dunia. Karena kedua jenis ini dulu diasumsikan sebagai satu jenis dengan
variasi warna, maka banyak penulis menyebut keduanya sebagai hirudo medicinalis, tanpa
membedakan di antara keduanya.
11
B. Prosedur Penggunaan Terapi Lintah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa prosedur adalah
tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktifitas atau metode langkah demi langkah
secara pasti dalam memecahkan suatu masalah. Terapi lintah merupakan jenis pengobatan
tradisional yang banyak manfaatnya, tetapi juga dapat membahayakan dan menjadi suatu
masalah jika prosedur yang dilakukan tidak sesuai dengan yang seharusnya. Bahaya yang
ditimbulkan dari lintah bisa disebabkan kurangnya kerja sama antara terapi atau pengguna
terapi lintah dengan hewan lintah yang merupakan makhluk hidup sebagai obat. Umumnya
lintah yang digunakan untuk obat perlu diperlakukan dengan baik dan sewajarnya sebagai
makhluk hidup.
Tahapan dari suatu prosedur terapi lintah yang perlu diketahui dan diperhatikan oleh
masyarakat khususnya pengguna terapi lintah. Menurut Hayes (2014: h.15) antara lain
sebagai berikut:
1. Bahan dan peralatan
2. Persiapan terapi lintah
3. Memulai terapi lintah
4. Perawatan setelah lintah dilepaskan
5. Kontra indikasi
6. Perawatan lintah obat
Adapun penjelasan lebih mengenai prosedur penggunaan terapi lintah antara lain
sebagai berikut:
1. Bahan dan peralatan
12
a. Lintah yang segar, belum pernah dipakai dan bersih (dikirim sekurang-kurangnya 24
jam sebelumnya).
b. Bejana kecil dengan penutup untuk lintah yang telah digunakan; sebaiknya sebagian
disi air.
c. Handuk dan kapas tahan air.
d. Alas dari kain, gulungan pembalut dengan daya serap cairan tinggi.
e. Plester yang melekat .
f. Air panas dan dingin.
g. Gunting, pisau cukur sekali pakai.
h. Sarung tangan bedah.
i. Pipa dari kaca, mangkuk kecil, atau alat penyemprot sekali pakai jika dibutuhkan.
j. Alat pengukur tekanan darah.
k. Obat-obatan alergi, alat injeksi, pisau bedah/lancet, atau jarum.
13
c. Jika lintah enggan menggigit, beri tetesan kecil darah, yang diambil dari tempat yang
akan diterapi dengan tusukan jarum. Bisa juga dengan meneteskan kuning telur.
d. Tempelkan beberapa lintah yang akan diperlukan.
e. Tutup lintah dengan kapas basah.
f. Gunakan kain kasa disekitar area terapi untuk membantu mencegah lintah berpindah
dari tempat yang akan diterapi.
g. Pantau terus lintah untuk memastikan lintah tidak berpindah tempat.
h. Jika lintah sudah terisi dengan cukup darah, biasanya lintah jatuh sendiri. Jika tidak,
gunakan garam atau bubuk kunyit di kepalanya.
i. Tutup luka bekas gigitan
14
membutuhkan banyak waktu, terapi lintah menjadi permanen dilakukan pada banyak
rumah sakit selama beberapa tahun.
Setelah ada obat kimia sintetis, heparin, terapi lintah kehilangan tempat
berpijak dalam pencegahan penyakit penggumpalan darah dan tidak digunakan lagi.
Untuk mengatasi penggumpalan darah pada vena bagian dalam, efek sistemik
pelarutan fibrin pada terapi lintah tidaklah cukup. Pada pengobatan modern,
penggunaan terapi lintah untuk penyakit tersebut tidak dapat dijustifikasi, karena
obat-obatan anti pengentalan darah yang dikonsumsi pasien sebelumnya adalah
kontraindikasi untuk terapi lintah.
15
(paravertebral). Terapi lintah sering dapat meringankan penderitaan nyeri tulang
belakang dengan segera, sehingga meningkatkan kondisi tubuh untuk melakukan
terapi fisik atau latihan pasif dan aktif (kinesiterapi69). Pada pasien rawat inap
sebaiknya tidak melakukan terapi fisik basah atau terapi panas (termoterapi70) lokal
untuk beberapa hari setelah terapi lintah. Jika lintah diletakkan pada tulang belakang
(vertebral), terapis sebaiknya menjelaskan secara hati-hati teknik terapi pada pasien
yang merasa tidak aman karena tidak dapat melihat lintah.
6. Kontra Indikasi
Ada baiknya jika masyarakat mengetahui terlebih dahulu kontra indikasi pada terapi
lintah. Menurut Hayes (2014: h.17) antar lain sebagai berikut:
16
Pada pasien berikut ini, terapi pengobatan lintah tidak bisa diterapkan.
a. Penderita hemophilia dan kelainan darah lainnya.
b. Penderita anemia.
c. Orang yang alergi terhadap hirudin.
d. Pasien dengan kondisi badan yang lemah.
e. Wanita hamil.
f. Penderita radang usus.
g. Hipertensi tinggi.
h. Pasien yang menggunakan obat pengencer darah.
i. Pasien dalam kondisi sehabis makan ataupun dalam kondisi sangat lapar tidak boleh
melakukan terapi lintah.
7. Efek samping
Efek samping atau resiko pasca terapi lintah paerlu diketahui oleh masyarakat.
Menurut Susanty (2017), antar lain sebagai berikut:
a. Pada seseorang yang alergi terhadap zat hirudin akan mengalami pembengkakan 1-3
hari.
b. Sakit ketika digigit dan disedot lintah pada sebagian orang yang memiliki kulit
sensitive seperti digigit nyamuk 1-5 menit pertama, karena mengandung zat anestesi
dan akan mulai bekerja 1-2 menit setelahnya, linu dan panas setelahnya.
c. Gatal pasca gigitan 1 hari bila sudah terbentuk jaringan/ fibrin, maka dapat diolesi
dengan madu.
d. Bekas gigitan akan membentuk segitiga atau huruf Y, memerah lalu berwarna ungu
dan biasanya hilang 1-2 hari, dan untuk kulit sensitive biasanya lebih lama
menghilang.
e. Pendarahan aliran darah bercampur air lintah yang mengencerkan darah akan terjadi
kurang lebih 6 jam, dan paling lama 48 jam.
17
c. Lintah tidak boleh terkena sinar matahari langsung.
d. Air tempat lintah disimpan harus steril dan bebas klorin.
e. Air pengganti harus memiliki suhu yang sama seperti sebelumnya.
f. Untuk mencegah kontaminasi silang, lintah yang sudah digunakan tidak boleh
disatukan dengan lintah yang belum digunakan.
18
Studi menunjukkan, terapi lintah dapat bermanfaat mencegah hal ini. Karena terapi
lintah mampu memperbaiki sirkulasi darah sehingga aliran darah dapat mencapai lokasi
jaringan, tanpa menimbulkan risiko sumbatan. Peneliti dalam studi terkini
mengungkapkan bahwa empat lintah pada tiap sesi terapi dapat menekan risiko
amputasi.
19
BAB III
KAJIAN PUSTAKA
A. Jurnal 1
21
perilaku dalam
pengobatan
tradisional
dengan media
lintah,serta
pelayanan
terhadap
perilaku dalam
pengobatan
tradisional
dengan media
lintah
B. Jurnal 2
Terapi Lintah sebagai Tata Laksana Non-Operatif Penyelamatan Flap Pasca Pemindahan
Flap Bebas
22
2019 diturunkan kekurangan studi kasus) penelitian,
bertahap. yang namun masih
seharusnya terdapat
dipertimbangk infeksi
an baik dengan Aeromonas
keadaan klinis hydrophilia
dan hasil
pemantauan
pasca operasi.
Itu bisa
digunakan
dalam
perencanaan
rekonstruktif
dalam operasi
plastik di
Indonesia
kasus
neoplasma dan
trauma. Hari
terpanjang
penerapan
terapi lintah
adalah 10 hari;
meskipun
begitu
dapat
dihentikan
setelah 3 hari.
Dalam istilah
ini, klinis
penilaian
diperlukan
dalam
mengenali re-
23
vaskularisasi
tutup yang
tidak perlu
terapi lintah
lebih lanjut.
Berdasarkan
penelitian ini,
kami
merekomendas
ikan
penggunaanny
a
terapi lintah 2-
4 kali dalam
sehari sampai
vena
kemacetan bisa
diobati.
Spektrum yang
luas
antibiotik
profilaksis
harus
digunakan
selama
terapi yang
merupakan
generasi ketiga
sefalosporin,
aminoglikosida
atau kuinolon.
Lintah
seharusnya
diletakkan di
bagian yang
24
paling
mengancam
kemacetan dan
waspada
menunggu
selama terapi
diperlukan
mengingat
psikologis
pasien
aspek dan
menghindari
lintah yang
salah tempat.
Para ahli
mencoba
mengembangk
an zat buatan
yang dapat
digunakan
dalam
menyelamatka
n flap seperti
apa yang ada
di air liur
lintah.
Sehingga ahli
bedah atau
dokter tidak
harus
menggunakan
lintah sebagai
terapi karena
kelemahannya
seperti
25
mengancam
aspek
psikologis,
tidak dapat
dikontrol
secara khusus
untuk
menyelamatka
n bagian
manapun dari
flap, perlu
persiapan yang
tidak biasa
dalam
pengobatan,
tidak efisien
dalam hal
aplikasi.
Penelitian
lebih lanjut
diperlukan
untuk
memberikan
bukti kuat dan
penjelasan
dalam
menggunakan
metode ini
dalam aplikasi
klinis.
26
C. Jurnal 3
28
BAB IV
PEMBAHASAN
2. Resiko infeksi
a. Kulit pasien tempat lintah menyedot harus diperiksa untuk memastikan tidak terjadi
infeksi local atau komplikasi lain (karena bakteri Aeromonas hydrophilia ada dalam usus
lintah).
b. Melakukan teknik aseptic dan antiseptic dalam melakukan tindakan pada pasien.
c. Melakukan penggantian kassa sesering mungkin.
d. Mengukur tanda vital tiap 4-6 jam.
e. Mengobservasi adanya tanda-tanda infeksi.
f. Libatkan peran serta keluarga dalam memberikan bantuan pada klien.
g. Satu lintah harus khusus disediakan untuk satu pasien.
h. Mencegah kontaminasi silang, lintah yang sudah digunakan tidak boleh disatukan
dengan lintah yang belum digunakan.
3. Nyeri
a. Mengkaji nyeri secara komprehensif.
b. Melakukan monitor terhadap skala nyeri.
c. Meningkatkan istirahat.
d. Mengajarkan teknik non farmakologi seperti teknik nafas dalam.
29
e. Melakukan kompres basah dan sejuk atau terapi rendaman.
f. Mengobservasi reaksi non verbal dari ketidak nyamanan.
g. Mengontrol faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien.
h. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat analgetik.
30
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Terapi lintah merupakan salah satu jenis pengobatan komplementer yang biasa dilakukan
oleh terapis, medis, maupun paramedik untuk pengobatan suatu gangguan penyakit.
32