Kasus I
kasus penyimpangan pada bank syariah di Malaysia dimana secara asidental internal auditor
bank syariah di Malaysia menemukan bahwa bank syariah yang merupakan cabang dari bank
konvensional telah melakukan pembiayaan kepada sebuah rumah sakit namun tenyata terjadi
tansaksi non syariah compliance pada rumah sakit tersebut. Transaksi tersebut
sudah berlangsung selama 4 (empat) tahun dan selama itu pula rumah sakit tersebut
membayar margin tiap bulannya kepada bank Syariah.
Penyelesaian :
Dari kasus tersebut berdasarkan pada prinsip akuntansi Syariah yang full disclosure dan
transparasi terhadap akuntabilitas Syariah maka bank Syariah dalam laporan keuangannya
harus mengungkapkan semua transaksi tersebut terkait dengan pendapatan non halal selama
empat tahun dengan membuat catatan tambahan atas laporan keuangan tersebuttentang dana
penghasilan yang telah digunakan dan dibagikan kepada nasabah dalam bentuk non halal
sebagai bentuk laporan pertanggung jawaban kepada masyarakat dan sesuai dengan standard
AAOIFI dan PSAK di Indonesia dan untuk sisa margin non halal dari rumah sakit tersebut
dikembalikan dalam bentuk sedekah dan memperbaiki akad rumah sakit menjadi syariah
compliance.
Secara umum semua produk perbankan Syariah terkait dengan isu transparansi akan
pendapatan non
halal baik itu akad murabahah sebagai produk yang paling banyak ditawarkan. Potensi
penyimpangan di bank Syariah akan selalu terjadi. Oleh karena itu, komitmen dan kualitas
sumber daya manusia yan memahami Syariah baik dari aspek syariah compliance dan best
practice-Islamic bank harus ditingkatkan dan harus benar-benar merujuk kepada prinsip-
prinsip dan nilai-nilai ekonomi dan bisnis Islam yang telah diterapkan oleh Rasulullah serta
meningkatkan pengawasan internal bank Syariah serta Dewan Syariah Nasional (DSN) harus
memperketat dalam mengeluarkan dan menyetujui fatwa terhadap produk perbankan Syariah
sehingga terhindar dari dugaan mengakomodasi kepentingan tertentu.
Kasus II
Disebut fiktif lantaran MAKI menilai pengajuan pembiayaan dari debitur tidak digunakan
sesuai proposal ketika uang cair. Bahkan, ada indikasi pembiayaan yang cair digunakan untuk
kepentingan pribadi.
Pembiayaan fiktif tersebut, antara lain mengalir ke PT A senilai Rp21,22 miliar, PT GAI
Rp6,92 miliar, PT QP Rp3,49 miliar, PT EEI Rp9,52 miliar, PT DSM Rp7,64 miliar, PT BBL
Rp34,53 miliar, dan PT MRP Rp17,42 miliar.
Lebih lanjut ia menjelaskan, potensi kerugian negara dikarenakan 99 persen saham BSM
dikempit oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Bank Mandiri. Apabila BSM merugi,
maka pemegang sahamnya harus menyuntikkan modal tambahan sebagai pencadangan. Hal
itu sesuai aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Sehingga, penyuntikan modal dari BUMN terhadap anak usahanya dapat dikategorikan
sebagai kerugian negara," imbuh dia.
Atas dugaan tersebut, MAKI memasukkan laporan ke Kejaksaan Agung pada 12 Februari
2018. Dalam laporannya, MAKI menyertakan laporan hasil pemeriksaan atas pengelolaan
pembiayaan BSM tahun buku 2013-2014 di DKI Jakarta, Kalimantan Utara, Sumatra Utara,
dan Aceh.
Menanggapi dugaan pembiayaan fiktif, Direktur Wholesale Banking BSM Kusman Yandi
menyebut kecil kemungkinan terjadi pembiayaan fiktif di perbankan syariah.
Alasannya, pembiayaan berprinsip syariah memiliki karakteristik dengan tiga skema, yakni
jual-beli (murabahah dan istisna), bagi hasil (musyarakah, mudharabah), dan berbasis sewa
(ijarah).
"Karena setiap pembiayaan yang diberikan harus mempunyai obyek atau underlying yang
jelas," katanya.
Misalnya, ia mencontohkan, untuk skema murabahah, harus ada obyek yang diperjual-
belikan. Sementara, skema bagi hasil, harus ada usaha yang menghasilkan revenue yang bisa
dibagi. Begitu juga dengan skema pembiayaan ijarah, harus ada obyek barang yang
disewakan.
Selain itu, ada pemberian kewenangan yang berjenjang, sistem supervisi dan monitoring
pembiayaan yang ketat. Sehingga, sistem yang ada akan menseleksi dengan ketat setiap
proposal permohonan pembiayaan yang masuk.
"Dan, jika nanti terjadi pembiayaan bermasalah, kami juga menyiapkan biaya pencadangan
sesuai ketentuan, sehingga masih bisa di-cover," pungkasnya.
ANALISIS :
Disebut fiktif lantaran MAKI menilai pengajuan pembiayaan dari debitur tidak
digunakan sesuai proposal ketika uang cair. Bahkan, ada indikasi pembiayaan yang
cair digunakan untuk kepentingan pribadi.
Potensi kerugian negara dikarenakan 99 persen saham BSM dikempit oleh Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) Bank Mandiri. Apabila BSM merugi, maka pemegang
sahamnya harus menyuntikkan modal tambahan sebagai pencadangan. Hal itu sesuai
aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).