Anda di halaman 1dari 20

PENGERTIAN DASAR MANAJEMEN PAJAK

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah
Manajemen Perpajakan

Oleh
Fransiska Marselina Dwi S.
Himatul Mubaiyah
Nadian Kusuma Dewi

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2016
PENGERTIAN DASAR MANAJEMEN PAJAK

1. Pengertian Manajemen Pajak dan Perencanaan Pajak

Perpajakan sama hal nya dengan ilmu pengetahuan yang lain memiliki
perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan tersebut nantinya akan
memunculkan beberapa spesialisasi. Pada bagian ini akan dibahas mengenai Tax
Planning dan Tax Management.
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa tax planning akan membawa
lebih banyak keuntungan daripada memfokuskan diri pada spesialisasi pajak yang
lain seperti tax management. Dengan tax planning yang unggul perusahaan akan
mendapatkan tax savings jutaan rupiah, keuntungan akan jutaan rupiah ini dapat
dimanfaatkan untuk berbagai macam expenditure yang lain yang akan
meningkatkan produktivitas perusahaan.
Pendapat lain menyatakan bahwa Tax Management lebih penting karena
dengan melakukan suatu management yang terkontrol atas tata laksana kewajiban
perpajakan maka akan menghindarkan risiko ketidakpatuhan perpajakan dan
dengan demikian akan meminimalisasi risiko hutang pajak yang tidak terduga.
Dalam setiap ilmu, semua spesialisasi adalah penting, dan masing-masing
mempunyai keunggulan sendiri-sendiri. Untuk lebih jelasnya berikut perbedaan
masing-masing.

1.1 Manajemen Pajak (Tax Management)

1.1.1 Pengertian Manajemen Pajak

Secara umum manajemen pajak didefinisikan sebagai suatu usaha


menyeluruh yang dilakukan menerus oleh wajib pajak agar semua hal yang
berkaitan dengan urusan perpajakan dapat dikelola dengan baik, ekonomis, efektif
dan efisien, sehingga dapat memberikan kontribusi maksimum bagi kelangsungan
usaha wajib pajak tanpa mengorbankan kepentingan penerimaan Negara.
Adapun tujuan akhir yang ingin dicapai dari manajemen pajak adalah
optimalisasi dan/atau meminimalkan beban pajak yang dapat dicapai tidak hanya
dengan melakukan suatu perencanaan yang matang, melainkan juga harus melewati
tahap pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating), dan pengawasan
(controlling) yang baik dan terkendali.
Jadi pada dasarnya Manajemen Pajak memiliki beberapa fungsi, yaitu:
1. Fungsi Perencanaan pajak (Fungsi Planning)
2. Fungsi Pengorganisasian pajak (Fungsi Organizing)
3. Fungsi Pelaksanaan pajak (Fungsi Actuating)
4. Fungsi Pengawasan pajak (Fungsi Controlling)

1.1.2 Motivasi Manajemen Pajak

Tujuan utama dari dilakukannya manajemen pajak adalah untuk


melaksanakan kewajiban perpajakan dengan benar dan meminimalisasi beban
pajak untuk maksimalisasi Net Profit After Tax. Manajemen pajak tidak
dimaksudkan untuk mengelak dari kewajiban perpajakan melalui cara-cara yang
melanggar aturan perpajakan, salah satunya karena banyak ketentuan perpajakan
yang multitafsir.
Gunadi, mengutip Simon James dan Christoper Nobes menyebutkan bahwa
motivasi dilakukannya tax management, diantaranya adalah: (i) tingginya tariff
pajak; (ii) kekuranggamblangan ketentuan, baik rumusan eksplisit ketentuan
maupun semangat, maksud dan tujuan implisitnya; (iii) terlalu kecilnya sanksi; (iv)
kekurangwajaran atau kekurangmerataan; dan (v) distorsi dalam system
perpajakan.
Motivasi lain dilakukannya manajemen pajak, menurut Simon James dan
Christoper Nobes, adalah kekurangwajaran dan ketidakmerataan. Faktor ini
biasanya dikaitkan dengan prinsip manfaat/benefit dari pembayaran pajak dalam
kaitannya dengan azas keadilan dan kemerataan. Konsepsi dari prinsip
manfaat/benefit yang diterima dati pelayanan public oleh pemerintah. Sehingga
mereka yang mendapatkan manfaat/benefit lebih besar seharusnya membayar pajak
lebih besar. Konsekuensinya, apabila mereka merasa bahwa kualitas pelayanan dan
public goods yang disediakan pemerintah kurang memadai atau tidak setimpal
dengan pajak yang mereka bayarkan, wajib pajak kemudian cenderung untuk
melakukan tindak manajemen pajak.
1.1.3 Syarat Manajemen Pajak yang Baik

Tax Management yang baik harus memenuhi 3 persyaratan utama yaitu: (i)
tidak melanggar/bertentangan dengan ketentuan/peraturan yang berlaku; (ii) secara
bisnis masuk akal (reasonable), karena tax management merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari corporate global strategy; dan (iii) didukung oleh bukti-bukti
yang memadai, baik segi pencatatan akuntansi-keuangannya, maupun segi hokum
perjanjian/perikatannya.

1.1.4 Contoh Manajemen Pajak

Suatu perusahaan melakukan penjualan dengan orientasi ekspor. Sedangkan


bahan baku banyak dibeli di dalam negeri. Dengan demikian maka PPN masukan
yang diperoleh lebih besar daripada PPN keluaran, akibatnya harus dilakukan
restitusi, mungkin tiap tahun atau tiap bulan harus dilakukan proses tersebut. Divisi
perpajakan harus melakukan suatu proses tax management berupa memanage
restitusi pajak yang berjalan. Misalnya: memantain suatu rekonsiliasi pajak antara
Penjualan menurut PPh badan dan menurut SPM PPN, merapikan faktur pajak
masukan, serta bank account ataupun voucher pembayaran yang diperlukan. Kita
bisa bayangkan jika hal ini tidak termanage dengan baik, restitusi akan membawa
denda dan hutang pajak yang materiil tentunya.

1.2 Perencanaan Pajak (Tax Planning)

1.2.1 Pengertian Perencanaan Pajak

Perencanaan Pajak (Tax Planning) merupakan langkah awal yang menjadi


bagian kritikal dari keseluruhan manajemen pajak yang lebih besar. Perencanna
yang baik juga mensyaratkan adanya pengendalian terhadap pemenuhan semua
kewajiban perpajakan (tax compliance/tax administration) agar risiko perpajakan
karena adanya kesalahan pengurusan (mis-organzing) dapat dihindari, sehingga
penghematan pajak (tax saving) dapat tercapai.
Perencanaan Pajak (Tax Planning) merupakan tahap awal untuk melakukan
analisis secara sistematis berbagai alternative perlakuan perpajakan dengan tujuan
untuk mencapai pemenuhan kewajiban perpajakan yang optimum. Setelah Tax
Planning dilakukan, maka tahapan berikutnya adalah melaksanakan fungsi
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian perpajakan.
Secara konseptual perencanaan pajak meliputi baik pengurangan pajak
secara permanen maupun kemungkinan penangguhannya. Penghematan pajak
dapat diperoleh dari perencanaan pajak dengan melibatkan beberapa konsep seperti
pemanfaatan pengecualian pajak, pengurangan tariff pajak menyeluruh,
maksimalisasi pengurangan penghasilan, percepatan pengeluaran, penundaan objek
pajak, strukturisasi transaksi kena pajak menjadi tidak kena pajak, dan sebagainya.

1.2.2 Tahapan Perencanaan Pajak

Tahapan-tahapan yang harus dilaksanakana dalam Perencanaan Pajak (Tax


Planning) antara lain adalah sebagai berikut:
a. Menganalisis informasi yang ada
b. Membuat satu atau lebih model kemungkinan jumlah pajak
c. Mengevaluasi pelaksanaan perencanaan pajak
d. Mencari kelemahan dan memperbaiki kembali rencana pajak
e. Menutakhirkan rencana pajak.

2. Pengertian Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) dan Penyelundupan


Pajak (Tax Evasion)
Pada umumnya penghindaran pajak dan penyelundupan pajak mempunyai
tujuan yang sama, yaitu mengurangi beban pajak, akan tetapi cara penyelundupan
pajak dalam mengurangi beban pajaknya termasuk perbuatan ilegal atau perbuatan
melanggar hukum. Pengertian penyelundupan pajak dan penghindaran pajak
menurut Harry Graham Balter yang dikutip dalam Zain (2005) adalah
“Penyelundupan pajak mengandung arti sebagai usaha yang dilakukan oleh wajib
pajak untuk mengurangi atau sama sekali menghapus utang pajak yang tidak
berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, sedangkan
penghindaran pajak merupakan usaha yang sama, yang tidak melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan”
Menurut Ernest R. Mortenson dalam Zain (2005), penyelundupan pajak
adalah usaha yang tidak dapat dibenarkan berkenaan dengan kegiatan wajib pajak
untuk lari atau menghindarkan diri dari pengenaan pajak, sedangkan penghindaran
pajak berkenaan dengan pengaturan sesuatu peristiwa sedemikian rupa untuk
meminimalkan atau menghilangkan beban pajak dengan memperhatikan ada atau
tidaknya akibat-akibat pajak yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, penghindaran
pajak tidak merupakan pelanggaran atas perundang-undangan perpajakan atau
secara etik tidak dianggap salah dalam rangka usaha wajib pajak untuk mengurangi,
menghindari, meminimalkan, atau meringankan beban pajak dengan cara-cara yang
dimungkinkan oleh undang-undang pajak.
Pendapat lain menyangkut penghindaran pajak juga disampaikan oleh Drs.
Chairil Anwar Pohan, Msi, M. B. A dalam Ayuningtyas (2013) adalah sebagai
berikut:
“adalah upaya penghindaran pajak yang dilakukan secara legal dan aman
bagi wajib pajak tanpa bertentangan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku
dimana metode dan teknik yang digunakan cenderung memanfaatkan kelemahan-
kelemahan (grey area) yang terdapat di dalam undang-undang dan peraturan
perpajakan itu sendiri untuk memperkecil jumlah pajak yang terhutang”
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa penyelundupan pajak adalah
upaya wajib pajak untuk meminimumkan beban pajak terutang yang dilakukan
dengan cara melanggar undang-undang perpajakan, terutama terjadi dengan
penghilangan atau kurang melaporkan objek pajak yang didukung dengan rekayasa
legal, akuntansi dan administratif lainnya. Sedangkan penghindaran pajak adalah
upaya yang dilakukan untuk meminimumkan beban pajaknya dengan cara
memanfaatkan celah-celah (loops) pada peraturan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku sehingga dapat dikatakan penghindaran pajak tidak melanggar
konteks hukum perpajakan yang berlaku.
Penghindaran pajak dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
a. Menahan diri, yaitu wajib pajak tidak melakukan sesuatu yang bisa dikenai
pajak
b. Pindah lokasi, adalah memindahan lokasi usaha atau domisili yang tarif
pajaknya tinggi ke lokasi yang tariff pajaknya rendah
c. Penghindaran pajak secara yuridis, yaitu melakukan perbuatan sedemikian
rupa sehingga perbuatan-perbatan yang dilakukan tersebut tidak terkena pajak.
Biasanya perbuatan tersebut memanfaatkan kekosongan atau ketidakjelasan
dari undang-undang yang dimaksud.
Penyelundupan pajak merupakan suatu tindakan untuk meminimalkan
beban pajak dengan cara melawan ketentuan pajak (ilegal) yang dapat dihukum
dengan sanksi pidana. Merupakan usaha aktif wajib pajak dalam hal mengurangi,
menghapus, manipulasi illegal terhadap utang pajak atau meloloskan diri untuk
tidak membayar pajak sebagaimana yang telah terutang menurut aturan perundang-
undangan.
Contoh penyelundupan pajak adalah memperkecil laporan jumlah (under
declare revenue) atau bahkan melaporkan kerugian (manipulate the losses)
sehingga penghasilan kena pajak berkurang dan otomatis jumlah pajak terutang
lebih kecil atau bahkan tidak membayar pajak sama sekali. Sedangkan pada
kenyataannya jumlah pendapatan yang diterima lebih besar dan tidak mengalami
kerugian
Terkait dengan aspek legalitas tax management untuk kasus Indonesia,
rambu-rambu yang dapat digunakan untuk menentukan apakah tax management itu
legal (tax avoidance) atau tidak (tax evasion) adalah ketentuan pidana pasal 38, 39,
41, 41A, 41B, dan 43 Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 sebagaimana diubah
terakhir oleh Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 mengenai Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan.

Pasal 38

Setiap orang yang karena kealpaannya:


a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap,
atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan
setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A,
didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1
(satu) tahun.

Pasal 39

(1) Setiap orang yang dengan sengaja:


a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
d. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar
atau tidak lengkap;
e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya;
g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak
memperlihatkan atau
tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan
atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan
yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi online
di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau
i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling
banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
(2) Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi
2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang
perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani
pidana penjara yang dijatuhkan.
(3) Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak
benar atau tidak lengkap, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dalam
rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau
pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan
dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi
yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan
paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau
kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.

Pasal 41

(1) Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta
rupiah).
(2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang
yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.

Pasal 41A

Setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tetapi dengan sengaja tidak memberi
keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

Pasal 41B

Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).

Pasal 43
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga
bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh
melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan Pasal 41B berlaku juga
bagi yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan

Penghindaran Pajak yang Diperbolehkan dan Penghindaran Pajak yang


Tidak Diperbolehkan

Rohtagi menyebutkan bahwa di banyak Negara, penghindaran pajak


dibedakan menjadi dua yaitu penghindaran pajak yang diperbolehkan (acceptable
tax avoidance/tax planning/tax mitigation) dan penghindaran pajak yang tidak
diperbolehkan (unacceptable tax avoidance). Artinya penghindaran pajak dapat
dianggap illegal apabila transaksi yang dilakukan semata-mata untuk tujuan
penghindaran pajak atau tidak mempunyai tujuan bisnis yang baik (bonafide
business purpose).
Antara satu Negara dengan Negara lainnya dapat saja mempunyai
pandangan yang berbeda tentang skema apa saja yang dapat dikategorikan sebagai
penghindaran pajak yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Suatu transaksi
akan disebut sebagai penghindaran pajak yang tidak diperbolehkan apabila
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Tidak memiliki tujuan usaha yang baik
b. Semata-mata untuk menghindari pajak
c. Tidak sesuai dengan spirit intension of parliament
d. Adanya transaksi yang direkayasa agar menimbulkan biaya-biaya atau
kerugian.
Suatu transaksi akan disebut sebagai penghindaran pajak yang
diperbolehkan apabila mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Memiliki tujuan usaha yang baik
b. Bukan semata-mata untuk menghindari pajak
c. Sesuai dengan spirit intension of parliament
d. Tidak melakukan transaksi yang direkayasa.

3. Kebijakan Anti Tax Avoidance


Pajak adalah beban bagi perusahaan, sehingga wajar jika tidak satupun
perusahaan(wajib pajak) yang dengan senang hati dan suka rela membayar pajak.
Karena pajak adalah iuran yang sifatnya memaksa, maka negara juga tidak
membutuhkan “kerelaan wajib pajak.” Yang dibutuhkan negara adalah ketaatan
wajib pajak. Suka maupun tidak suka, rela maupun tidak rela, yang penting bagi
negara adalah perusahaan tersebut telah membayar pajak sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Lain halnya dengan sumbangan, infak maupun zakat, kesadaran dan
kerelaan pembayar diperlukan dalam hal ini.
Penghindaran pajak merupakan suatu praktik yang secara umum disepakati
sebagai suatu tindakan yang tidak dapat diterima dan harus dicegah serta dilawan.
Akan tetapi, kenyataan bahwa penghindaran pajak dilakukan dengan
memanfaatkan celah dalam peraturan perpajakan sehingga secara literal tidak
melanggar hukum yang membuat isu tersebut menjadi isu diskusi yang tak kunjung
usai.
Dalam upaya menghadapi praktik-praktik penghindaran pajak khususnya
yang dilakukan oleh perusahaan multinasional, pada umumnya suatu negara
menerbitkan ketentuan pencegahan penghindaran pajak yang bersifat khusus
(Specific Anti Avoidance Rule/SAAR) yang diatur dalam undang-undang
domestiknya, seperti: controlled foreign company, arm’s length rule, advance
pricing agreement, dan debt to equity ratio.
Secara umum dikenal dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk
memerangi praktik penghindaran pajak menurut Arnold (2008). Yang pertama
adalah pendekatan tanpa menggunakan ketentuan khusus dalam peraturan melalui
judicial general anti avoidance doctrine yang dikembangkan terutama oleh putusan
pengadilan. Yang kedua melalui statutory general anti avoidance rule yang
dicantumkan dalam peraturan perpajakan.
Dalam menafsirkan peraturan terutama sehubungan dengan penghindaran
pajak, dikenal dua pendekatan yang berlawanan. Pertama adalah pendekatan literal,
yang peraturan ditafsirkan berdasarkan apa yang secara eksplisit tercantum dalam
naskah peraturan. Kedua adalah pendekatan purposive, yang dalam menafsirkan
peraturan juga mempertimbangkan latar belakang dari dibuatnya peraturan tersebut.
Di Indonesia, pendekatan pertama sulit diterapkan karena penafsiran perundangan
di Indonesia masing cenderung secara literal, sehingga untuk melawan terjadinya
penghindaran pajak diperlukan sebuah dasar hukum yang secara eksplisit tertulis
dalam Undang-Undang Perpajakan.
Dalam praktik di beberapa negara, SAAR efektif dalam upaya menangkal
praktik-praktik penghindaran pajak dan memberikan kepastian hukum bagi wajib
pajak. Selain ketentuan yang bersifat khusus tersebut, di banyak negara juga
diterbitkan ketentuan pencegahan penghindaran pajak yang bersifat umum
(General Anti Avoidance Rule/GAAR). Tujuan dibuatnya ketentuan pencegahan
penghindaran pajak yang bersifat umum ini adalah untuk mengantisipasi praktik
penghindaran pajak yang belum diatur dalam ketentuan yang bersifat khusus atau
untuk melawan tindakan tax avoidance yang pada saat dibuatnya peraturan belum
dikenal. Hal tersebut dilakukan dengan alasan bahwa terdapat kecenderungan
praktik penghindaran pajak dari tahun ke tahun semakin canggih dan sulit untuk
dideteksi serta ditangkal hanya dengan mengandalkan SAAR. Dalam hal ini tax
planning yang dilakukan oleh wajib pajak tidak lagi bersifat defensive tax planning,
melainkan sudah semakin offensive yang sering dikenal dengan istilah aggresive
tax planning. Lebih jauh Cooper mengatakan bahwa GAAR harus memuat
pembedaan antara transaksi yang tergolong acceptable tax avoidance dan yang
tergolong unacceptable tax avoidance karena tidak semua penghindaran pajak
bersifat offensive.
Saat ini, untuk meminimalisir praktik penghindaran pajak dalam Undang-
Undang perpajakan sudah dikenal peraturan SAAR dalam Pasal 18 Undang-
Undang Pajak Penghasilan, akan tetapi sering semakin kompleksnya skema-skema
penghindaran pajak yang digunakan, ketentuan dalam Pasal 18 tersebut tentu tidak
mungkin dapat mencakup seluruh jenis transaksi penghindaran pajak. Oleh karena
itu, mencegah dan melawan praktik penghindaran pajak, pembuat kebijakan perlu
mempertimbangkan untuk menyusun dan memperkenalkan suatu Statutory
General Anti Avoidance Rule di Undang-Undang perpajakan di Indonesia, dengan
mengambil pelajaran dari negara lain yang telah menerapkan ketentuan tersebut
dalam peraturan mereka.
Dalam pasal 18 ayat Undang-Undang Pajak Penghasilan yang isinya:
(1) Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya
perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan
penghitungan pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh
Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar
negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling
rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki
penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah
saham yang disetor.
(3) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya
penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan
kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan
istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak
yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau
metode lainnya.
(3a) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib
Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk
menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu
periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi
setelah periode tertentu tersebut berakhir.
(3b) Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan
melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (special
purpose company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya
melakukan pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan
mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan
terdapat ketidakwajaran penetapan harga.
(3c) Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau
special purpose company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara
yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country) yang mempunyai
hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan
di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai
penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.

(3d) Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia dapat
ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau
sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tersebut ke
dalam bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada
perusahaan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
tersebut.
(3e) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3b), ayat (3c), dan
ayat (3d) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
(4) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat
(3d), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain;
hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua
puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di
antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;

b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib
Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak
langsung; atau
c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.

Penjelasan Pasal 18

Ayat (1)

Undang-Undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk memberi


keputusan tentang besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan yang
dapat dibenarkan untuk keperluan penghitungan pajak. Dalam dunia usaha terdapat
tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara
utang dan modal (debt to equity ratio). Apabila perbandingan antara utang dan
modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, pada umumnya perusahaan
tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan
Penghasilan Kena Pajak, Undang-Undang ini menentukan adanya modal
terselubung. Istilah modal di sini menunjuk kepada istilah atau pengertian ekuitas
menurut standar akuntansi, sedangkan yang dimaksud dengan “kewajaran atau
kelaziman usaha” adalah adat kebiasaan atau praktik menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan yang sehat dalam dunia usaha.

Ayat (2)

Dengan makin berkembangnya ekonomi dan perdagangan internasional sejalan


dengan era globalisasi dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanamkan
modalnya di luar negeri. Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak,
terhadap penanaman modal di luar negeri selain pada badan usaha yang menjual
sahamnya di bursa efek, Menteri Keuangan berwenang untuk menentukan saat
diperolehnya dividen. Contoh: PT A dan PT B masing-masing memiliki saham
sebesar 40% dan 20% pada X Ltd. yang bertempat kedudukan di negara Q. Saham
X Ltd. tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek. Dalam tahun 2009 X Ltd.
memperoleh laba setelah Pajak sejumlah Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam hal demikian, Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya
dividen dan dasar penghitungannya.

Ayat (3)
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya
penghindaran pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila
terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan
kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya.
Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan
kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di
antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam
menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut digunakan metode
perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price
method), metode harga penjualan kembali (resale price method), metode biaya-plus
(cost-plus method), atau metode lainnya seperti metode pembagian laba (profit split
method) dan metode laba bersih transaksional (transactional net margin method).
Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung, dengan
menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai utang maka Direktur Jenderal Pajak
berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan
tersebut dapat dilakukan, misalnya melalui indikasi mengenai perbandingan antara
modal dan utang yang lazim terjadi di antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh
hubungan istimewa atau berdasar data atau indikasi lainnya. Dengan demikian,
bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai
penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi
pemegang saham yang menerima atau memperoleh bunga tersebut dianggap
sebagai dividen yang dikenai pajak.

Ayat (3a)

Kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan


antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk
yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa
(related parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi
terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multi nasional.
Persetujuan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat
mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan, dan jumlah
royalti dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain
memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak
perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib
Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral,
yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak
atau bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan
negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.

Ayat (3b)

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penghindaran pajak oleh Wajib Pajak
yang melakukan pembelian saham/penyertaan pada suatu perusahaan Wajib Pajak
dalam negeri melalui perusahaan luar negeri yang didirikan khusus untuk tujuan
tersebut (special purpose company).

Ayat (3c)

Contoh: X Ltd. yang didirikan dan berkedudukan di negara A, sebuah negara yang
memberikan perlindungan pajak (tax haven country), memiliki 95% (sembilan
puluh lima persen) saham PT X yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia. X Ltd. ini adalah suatu perusahaan antara (conduit company) yang
didirikan dan dimiliki sepenuhnya oleh Y Co., sebuah perusahaan di negara B,
dengan tujuan sebagai perusahaan antara dalam kepemilikannya atas mayoritas
saham PT X. Apabila Y Co. menjual seluruh kepemilikannya atas saham X Ltd.
kepada PT Z yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri, secara legal formal
transaksi di atas merupakan pengalihan saham perusahaan luar negeri oleh Wajib
Pajak luar negeri. Namun, pada hakikatnya transaksi ini merupakan pengalihan
kepemilikan (saham) perseroan Wajib Pajak dalam negeri oleh Wajib Pajak luar
negeri sehingga atas penghasilan dari pengalihan ini terutang Pajak Penghasilan.

Ayat (3d)

Cukup jelas.

Ayat (3e)

Cukup jelas.

Ayat (4)
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau
keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan:

a. kepemilikan atau penyertaan modal; atau

b. adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.

Selain karena hal-hal tersebut, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang
pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau perkawinan.

Huruf a

Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang


berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara
langsung ataupun tidak langsung. Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh
persen) saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung.
Selanjutnya, apabila PT B mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT C, PT A
sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada
PT C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian, antara PT A, PT
B, dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki
25% (dua puluh lima persen) saham PT D, antara PT B, PT C, dan PT D dianggap
terdapat hubungan istimewa. Hubungan kepemilikan seperti di atas dapat juga
terjadi antara orang pribadi dan badan.

Huruf b

Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan
melalui manajemen atau penggunaan teknologi walaupun tidak terdapat hubungan
kepemilikan. Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan
berada di bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan di antara
beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat” adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan “hubungan keluarga sedarah
dalam garis keturunan ke samping satu derajat” adalah saudara. Yang dimaksud
dengan “keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat” adalah mertua
dan anak tiri, sedangkan “hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke
samping satu derajat” adalah ipar.

Perlu diingat bahwa dalam menyusun sebuah Statutory General Anti


Avoidance Rule perlu dipertimbangkan keseimbangan antara penegakan hukum
dengan kepastian hukum bagi Wajib pajak. Ketentuan Statutory General Anti
Avoidance Rule memberikan diskresi yang sangat luas bagi otoritas perpajakan
untuk melakukan penelitian yang mendalam atas sebuah skema transaksi dan
melakukan koreksi apabila skema tersebut disimpulkan sebagai sebuah transaksi
penghindaran pajak.
DAFTAR PUSTAKA
Ayuningtyas, Noorina. 2013. Pengaruh Faktor Pendidikan, Faktor Pengalaman
Kerja dan Pelatihan Terhadap Pengetahuan Aparatur Pajak Tentang Tax
Avoidance (Studi Kasus atas Aparatur Pajak pada KPP Pratama Batu),
Online, http://digilibfeb.ub.ac.id/mlg_serial/e-jurnal/0910233104_pass.pdf),
diakses pada 12 Maret 2016.
Zain, Mohammad. 2005. Manajemen Perpajakan. Jakarta: Salemba Empat.
Modul Chartered Accountant Manajemen Perpajakan. 2015.
www.ortax.org

Anda mungkin juga menyukai