Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH PENJELASAN DEFINISI OPERASIONAL PROGRAM KIA

DI

OLEH KELOMPOK III:

 RANTAULI SIBARANI

 NOVITA SARI DEWI

 RAHMATUL HASANA HUTAGALUN

 FILA SARI HONDE

PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN

FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

MEDAN

2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah
ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Medan, Oktober 2019

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) merupakan salah satu prioritas utama
pembangunan kesehatan di Indonesia. Program ini bertanggung jawab terhadap pelayanan
kesehatan bagi ibu hamil, ibu bersalin dan bayi neonatal. Salah satu tujuan program ini
adalah menurunkan kematian dan kejadian sakit pada ibu dan anak melalui peningkatan
mutu pelayanan dan menjaga kesinambungan pelayanan kesehatan ibu dan prenatal di
tingkat pelayanan dasar dan pelayanan rujukan primer (Sistriani, 2017).
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah
satu indikator status Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang dapat menggambarkan kualitas
dan aksesibilitas fasilitas pelayanan kesehatan (Kemenkes, 2017). Japan International
Cooperation Agency (JICA) menyusun Buku Kesehatan Ibu dan Anak pada tahun 1947,
dan terbukti efektif menurunkan AKI dan AKB karena dapat mendeteksi kehamilan
resiko tinggi sejak awal (Wijhati, 2017).
Penyebab terjadinya AKI yaitu: terjadinya perdarahan, preeklamsi/eklamsi,
infeksi, atau penyakit yang diderita ibu sebelum atau selama kehamilan yang dapat
memperburuk kondisi kehamilan. penyebab lainnya yaitu berhubungan dengan status
kesehatan reproduksi ibu, akses terhadap pelayanan kesehatan, perilaku penggunaan
fasilitas kesehatan, dan juga faktor demografi dan sosiokultural (Iqbal, Shaheen, dan
Begum, 2017).

Upaya-upaya Pemerintah untuk menurunkan AKI dan AKB yaitu dengan


mencanangkan Making Pregnancy Safer (MPS), yang terimplementasi dalam program
Jampersal untuk menjamin semua persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan oleh tenaga
terlatih, penyediaan Pelayanan Obstetrik Neonatal Emergensi Dasar (PONED) dan
Pelayanan Obstetrik Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK), serta pemerintah
membuat kebijakan bagi tenaga kesehatan untuk menggunakan buku KIA sebagai alat
komunikasi dan media penyuluhan bagi ibu, keluarga dan masyarakat mengenai
pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk rujukan dan standar pelayanan KIA dalam
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia 284/MENKES/SK/III/2004 (Republik
Indonesia, 2017).
Buku KIA digunakan sebagai buku catatan tentang kesehatan ibu dan anak yang
merupakan gabungan beberapa kartu kesehatan agar pelayanan kesehatan dapat diberikan
sesuai dengan standar, komprehensif dan berkesinambungan (Rahayu et al., 2017).
Penggunaan Buku KIA merupakan salah satu strategi pemberdayaan masyarakat untuk
memelihara kesehatan dan mendapatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak yang
berkualitas. Buku KIA berisi informasi dan materi penyuluhan tentang gizi dan kesehatan
ibu dan anak, kartu ibu hamil, KMS balita dan catatan pelayanan kesehatan ibu dan anak
(Sistriani, 2017).
Fenomena yang terjadi di masyarakat berdasarkan penelitian sebelumnya oleh
(Farida, 2017) yang dilakukan di Puskesmas Kabupaten Karawang menyatakan bahwa ibu
mengangap bahwa Buku KIA hanya buku Bidan yang harus dibawa sewaktu pemeriksaan
karena bidan akan mencatat hasil pemeriksaan didalam buku tersebut. Akan tetapi, pada
kenyataanya mereka tidak paham bahwa buku KIA adalah

buku pegangan ibu dengan berbagai informasi kesehatan kehamilan yang dapat
diterapkan oleh ibu maupun keluarga. Ibu hamil dengan pemanfaatan yang kurang pada
buku KIA menjadikan ibu memiliki pemahaman yang kurang terhadap cara mendeteksi
dini adanya komplikasi pada kehamilan.
Pemanfaatan buku KIA oleh ibu dapat dinilai dengan ibu yang selalu membawa
buku saat melakukan kunjungan ke fasilitas kesehatan, membaca, memahami pesan, dan
menerapkan pesan-pesan yang terdapat dalam buku KIA. Terkai dengan data buku KIA,
di Indonesia data tersebut hanya sebatas cakupan kepemilikan buku KIA dan cakupan
penggunaan buku KIA yang digunakan untuk menilai pemanfaatan buku KIA oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota, Puskesmas dan penanggung jawab kesehatan lainnya
dan belum terdapat evaluasi untuk menilai pemanfaatan buku KIA oleh ibu maupun
keluarga (Kemenkes, 2018)

B. Rumusan Masalah
Apakah definisi operasional dalam progam KIA.
C. Tujuan
Agar mahasiswa dan penulis makalah ini bisa mengetahui penjelasan definisi
operasional program KIA

D. Manfaat

Sebagai tambahan pengetahuan, pemikiran atau memperkaya konsep ataupun teori


pada bidang kesehatan ibu dan anak terkait pemanfaatan buku KIA,
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Program Kesehatan Ibu dan Anak


A. Pengertian Program KIA

Upaya kesehatan ibu dan anak adalah upaya di bidang kesehatan yang
menyangkut pelayanan dan pemeliharaan ibu hamil, ibu bersalin, ibu menyusui,
bayi dan anak balita serta anak prasekolah. Pemberdayaan masyarakat bidang
KIA masyarakat dalam upaya mengatasi situasi gawat darurat dari aspek non
klinik terkait kehamilan dan persalinan. Sistem kesiagaan merupakan sistem
tolong-menolong, yang dibentuk dari, oleh dan untuk masyarakat, dalam hal
penggunaan alat tranportasi atau komunikasi (telepon genggam, telepon rumah),
pendanaan, pendonor darah, pencacatan pemantauan dan informasi KB. Dalam
pengertian ini tercakup pula pendidikan kesehatan kepada masyarakat, pemuka
masyarakat serta menambah keterampilan para dukun bayi serta pembinaan
kesehatan di taman kanak-kanak.

B. Tujuan Program KIA

Tujuan program kesehatan ibu dan anak adalah tercapainya kemampuan


hidup sehat melalui peningkatan derajat kesehatan yang optimal, bagi ibu dan
keluarganya untuk menuju Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS)
serta meningkatnya derajat kesehatan anak untuk menjamin proses tumbuh
kembang optimal yang merupakan landasan bagi peningkatan kualitas manusia
seutuhnya.
Tujuan khusus dari program ini adalah :

a. Meningkatnya kemampuan ibu (pengetahuan, sikap dan perilaku), dalam


mengatasi kesehatan diri dan keluarganya dengan menggunakan teknologi
tepat guna dalam upaya pembinaan kesehatan keluarga dan masyarakat
sekitarnya.
b. Meningkatnya upaya pembinaan kesehatan balita dan anak prasekolah secara
mandiri di dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
c. Meningkatnya jangkauan pelayanan kesehatan bayi, anak balita, ibu hamil,
ibu bersalin, ibu nifas dan ibu meneteki.
d. Meningkatnyan mutu pelayanan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas,
ibu meneteki, bayi dan anak balita.

Meningkatnya kemampuan dan peran serta masyarakat, keluarga dan seluruh


anggotanya untuk mengatasi masalah kesehatan ibu, balita, anak prasekolah,
terutama melalui peningkatan peran ibu dan keluarganya

C. Pengertian Mutu Pelayanan Kesehatan

Mutu pelayanan kesehatan merupakan gabungan dari dua dimensi yaitu :


quality (mutu) dan health service pelayanan kesehatan. Menurut Tjiptono (2000),
mutu merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa,
manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.
Sedangkan menurut Depkes RI menyebutkan bahwa mutu adalah kesempurnaan
atau tingkat kesempurnaan yang diidamkan atau yang ditetapkan (standar).
Dengan demikian untuk mengukur mutu pelayanan kesehatan bisa dilakukan
dengan membandingkan penampilan pelayanan kesehatan dengan standar
pelayanan yang ditetapkan.
D. Dimensi Mutu Layanan Kesehatan
Dimensi mutu layanan kesehatan antara lain :
1. Dimensi kompetensi teknis
Dimensi kompetensi teknis menyangkut keterampilan, kemampuan, dan
penampilan atau kinerja pemberi layanan kesehatan. Dimensi kompetensi
teknis ini berhubungan dengan bagaimana pemberi layanan kesehatan
mengikuti standar layanan kesehatan yang telah disepakati, yang meliputi
kepatuhan, ketepatan, kebenaran dan konsistensi.

2. Dimensi keterjangkauan atau akses terhadap layanan kesehatan


Dimensi keterjangkauan atau akses artinya layanan kesehatan itu harus
dapat dicapai oleh masyarakat, tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial,
ekonomi, organisasi dan bahasa.

3. Dimensi efektivitas layanan kesehatan


Layanan kesehatan harus efektif, artinya harus mampu mengobati atau
mengurangi keluhan yang ada, mencegah terjadinya penyakit serta
berkembangnya dan/atau meluasnya penyakit yang ada. Efektivitas layanan
kesehatan bergantung pada bagaimana standar layanan kesehatan itu
digunakan dengan tepat, konsisten, dan sesuai dengan situasi setempat.
Dimensi efektivitas sangat berkaitan dengan dimensi kompetensi teknis
terutama dalam pemilihan alternatif dalam menghadapi risiko dan
keterampilan dalam mengikuti prosedur yang terdapat dalam standar layanan
kesehatan.

4. Dimensi efisiensi layanan kesehatan


Sumber daya kesehatan sangat terbatas. Oleh sebab itu, dimensi efisiensi
sangat penting dalam layanan kesehatan. Layanan kesehatan yang efisien
dapat melayani lebih banyak pasien dan atau masyarakat. Dengan melakukan
analisis efisien dan efektivitas, kita dapat memilih intervensi yang paling
efisien.
5. Dimensi kesinambungan layanan kesehatan
Dimensi kesinambungan layanan kesehatan artinya pasien harus dapat
dilayani sesuai kebutuhan, termasuk rujukan jika diperlukan tanpa
mengulangi prosedur diagnosis dan terapi tidak perlu. Pasien harus selalu
mempunyai akses ke layanan kesehatan yang dibutuhkannya. Karena
riwayat penyakit pasien terdokumentasi dengan lengkap dan akurat, layanan
kesehatan rujukan yang diperlukan pasien dapat terlaksana tepat waktu dan
tepat tempat.

6. Dimensi keamanan
Dimensi keamanan maksudnya layanan kesehatan itu harus aman, baik
bagi pasien, bagi pemberi layanan kesehatan maupun bagi masyarakat
sekitarnya. Layanan kesehatan yang bermutu harus aman dari risiko cedera,
infeksi, efek samping, atau bahaya lain yang ditimbulkan oleh layanan
kesehatan itu sendiri.

7. Dimensi kenyamanan
Dimensi kenyamanan tidak berhubungan langsung dengan efektivitas
layanan kesehatan, tetapi mempengaruhi kepuasan pasien/konsumen
sehingga mendorong pasien untuk datang berobat kembali ke tempat
tersebut. Kenyamanan juga terkait dengan penampilan fisik layanan
kesehatan, pemberi layanan, peralatan medis dan nonmedis.

8. Dimensi informasi
Layanan kesehatan yang bermutu harus mampu memberikan informasi
yang jelas tentang apa, siapa, kapan, dimana dan bagaimana layanan
kesehatan itu akan dan/atau telah dilaksanakan. Dimensi informasi ini sangat
penting pada tingkat puskesmas dan rumah sakit.
9. Dimensi ketepatan waktu
Agar berhasil, layanan kesehatan itu harus dilaksanakan dalam waktu
dan cara yang tepat, oleh pemberi pelayanan yang tepat, dan menggunakan
peralatan dan obat yang tepat, serta biaya yang tepat pula.

10. Dimensi hubungan antarmanusia


Hubungan antarmanusia merupakan interaksi antara pemberi layanan
kesehatan (provider) dengan pasien atau konsumen, antarsesama pemberi
layanan kesehatan, hubungan antara atasan-bawahan, dinas kesehatan, rumah
sakit, puskesmas, pemerintah daerah, LSM, masyarakat dan lain-lain.
Hubungan antarmanusia yang baik akan menimbulkan kepercayaan atau
kredibilitas dengan cara saling menghargai, menjaga rahasia, saling
menghormati, responsif, memberi perhatian, dan lain-lain.

Menurut Parasuraman et al (1990) terdapat 5 dimensi (ukuran) kualitas


jasa/pelayanan, yaitu :
1. Tangiable (berwujud); meliputi penampilan fisik dari fasilitas, peralatan,
karyawan dan alat-alat komunikasi.
2. Reliability (keandalan); yaitu kemampuan untuk melaksanakan jasa yang
telah dijanjikan secara konsisten dan dapat diandalkan (akurat).
3. Responsiveness (cepat tanggap); yaitu kemauan untuk membantu pelanggan
(konsumen) dan menyediakan jasa/pelayanan yang cepat dan tepat.
4. Assurance (kepastian); mencakup pengetahuan dan keramahtamahan para
karyawan dan kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan
keyakinan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas
dari bahaya, risiko atau keragu-raguan.

5. Empaty (empati); meliputi pemahaman pemberian perhatian secara


individual kepada pelanggan, kemudahan dalam melakukan komunikasi yang
baik, dan memahami kebutuhan pelanggan.
E. Kebutuhan Pelanggan Layanan Kesehatan
Kebutuhan pelanggan layanan kesehatan yaitu :
1. Kebutuhan terhadap akses layanan kesehatan, artinya kemudahan
memperoleh layanan kesehatan yang dibutuhkan.
2. Kebutuhan terhadap layanan yang tepat waktu, artinya tingkat ketersediaan
layanan kesehatan pada saat dibutuhkan.
3. Kebutuhan terhadap layanan kesehatan yang efisien dan efektif artinya biaya
layanan kesehatan terjangkau.
4. Kebutuhan layanan kesehatan yang tepat dan layak artinya layanan kesehatan
diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien.

F. DETEKSI DINI FAKTOR RISIKO DAN KOMPLIKASI KEBIDANAN


1. Faktor resiko bumil
• Primigravida < 20 tahun atau > 35 tahun
• Anak lebih dari 4
• Jarak persalinan terakhir dg kehamilan < 2 thn
• Lila < 23,5 cm dan penambahan BB < 9 kg
• Anemia < 11 g/dl
• TB <145 cm atau kelainan bentuk panggul dan tulang belakang
• Riwayat hipertensi sblm kehamilan ini
• Sedang/pernah menderita penyakit kronis
• Riwayat kehamilan buruk
• Riwayat persalinan dengan komplikasi
• Riwayat nifas dengan komplikasi
• Riwayat keluarga menderita DM, Hipertensi, dan riwayat cacat
bawaan
• Kelainan jumlah janin
• Kelainan besar janin
• Kelainan letak dan posisi janin

2. Komplikasi kebidanan :
• Ketuban pecah dini
• Perdarahan pervaginam
1. Antepartum : Ab, PP, Sol Plas
2. Intrapartum : robekan jalan lahir
3. Postpartum : atonia, retplas, plas inkarserata, kelainan
pembekuan darah, subinvolusi.
• HDK dengan atau tanpa oedem
• Ancaman persalinan prematur
• Infeksi berat dlm kehamilan : DB, Tipoid, Sepsis
• Persalinan macet, tak maju
• Infeksi masa nifas

G. Pelayanan dan Indikator Program KIA


Pelayanan Program KIA

Adapun pelayanan Program KIA meliputi :


1. Pelayanan antenatal :
Adalah pelayanan kesehatan yang diberikan kepada ibu selama masa kehamilannya
sesuai dengan standar pelayanan antenatal.
Standar pelayanan antenatal terdiri dari :
1. Timbang BB dan ukur TB
2. Ukur Tekanan Darah
3. Nilai Status Gizi (ukur LILA)
4. Ukur TFU
5. Tentukan presentasi janin dan DJJ
6. Skrinning status TT, berikan bila diperlukan
7. Pemberian tablet Fe 90 tablet selama kehamilan
8. Test Laboratorium rutin dan khusus
9. Tatalaksana kasus
10. Temu Wicara (konseling) termasuk P4K dan KB pasca salin
11. Semua ibu hamil harus disarankan periksa HIV
Frekuensi pelayanan antenatal adalah minimal 4 kali selama kehamilan dengan
ketentuan:
1. Minimal 1 kali pada triwulan pertama
2. Minimal 1 kali pada triwulan kedua
3. Minimal 2 kali pada triwulan ketiga

Standar diatas untuk menjamin perlindungan kepada ibu hamil dengan deteksi dini
faktor resiko, pencegahan dan penanganan komplikasi.

a. Deteksi dini ibu hamil berisiko :


Faktor risiko pada ibu hamil diantaranya adalah :
1. Primigravida kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
2. Anak lebih dari empat
3. Jarak persalinan terakhir dan kehamilan sekarang kurang 2 tahun atau lebih
dari 10 tahun
4. Tinggi badan kurang dari 145 cm
5. Berat badan kurang dari 38 kg atau lingkar lengan atas kurang dari 23,5 cm
6. Riwayat keluarga menderita kencing manis, hipertensi dan riwayat cacat
kongenital
7. Kelainan bentuk tubuh, misalnya kelainan tulang belakang atau panggul Risiko
tinggi kehamilan merupakan keadaan penyimpangan dan normal yang

secara langsung menyebabkan kesakitan dan kematian ibu


maupun bayi. Risiko tinggi pada kehamilan meliputi :
1. Hb kurang dari 8 gram %
2. Tekanan darah tinggi yaitu sistole lebih dari 140
mmHg dan diastole lebih dari 90 mmHg
3. Oedema yang nyata
4. Eklamsia
5. Perdarahan pervaginaan
6. Ketuban pecah dini
7. Letak lintang pada usia kehamilan lebih dari 32 minggu
8. Letak sungsang pada primigravida
9. Infeksi berat atau sepsis
10. Persalinan premature
11. Kehamilan ganda
12. Janin yang besar
13. Penyakit kronis pada ibu antara lain jantung, paru,
ginjal
14. Riwayat obstetri buruk, riwayat bedah sesar dan
komplikasi kehamilan

trimester 1 minimal 1 kali, trimester II minimal 1 kali dan trimester III minimal
2 kali. Standar 5T yang dimaksud adalah :
1. Pemeriksaaan atau pengukuran tinggi dan berat badan
2. Pemeriksaaan atau pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan atau pengukuran tinggi fundus
4. Pemberian imunisasi TT
5. Pemberian tablet besi

2. Pertolongan Persalinan
Persalinan adalah proses dimana janin, plasenta dan selaput ketuban keluar dari uterus
ibu (Depkes, 2017). Sedangkan menurut Sumarah (2017), persalinan adalah proses membuka
dan menipisnya serviks, dan janin turun ke jalan lahir.Dari kedua pengertian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi melalui jalan lahir yang
diikuti dengan pengeluaran plasenta dan selaput ketuban secara utuh.
Persalinan normal adalah persalinan yang :
1. Terjadi pada kehamilan aterm (bukan prematur atau postmatur)
2. Mempunyai onset yang spontan (tidak diinduksi)
3. Selesai setelah 4 jam dan sebelum 24 jam sejak saat awitannya (bukan partus
presipitatus atau partus lama)
4. Mempunyai janin (tunggal) dengan presentasi verteks (puncak kepala) dan
oksiput pada bagian anterior pelvis
5. Terlaksana tanpa bantuan artificial (seperti forceps)
6. Tidak mencakup komplikasi (seperti perdarahan hebat)
7. Mencakup pelahiran plasenta yang normal (Helen Farrer, 2001. hal.: 118)

Sebab-Sebab terjadinya persalinan


Penyebab terjadinya persalinan belum diketahui benar. Beberapa teori yang dikemukakan
antara lain (Manuaba, I. B. G, 2017):
1. Teori kadar progesteron. Progesteron yang berfungsi untuk mempertahankan
kehamilan, yang semakin menurun dengan makin tuanya kehamilan, sehingga
otot rahim mudah dirangsang oleh oksitosin.
2. Teori oksitosin. Menjelang persalinan hormon oksitosin makin meningkat
sehingga merangsang terjadinya persalinan.
3. Teori regangan otot rahim. Meregangnya otot rahim dalam batas tertentu
menimbulkan kontraksi persalinan dengan sendirinya.
4. Teori prostaglandin. Prostaglandin banyak dihasilkan oleh lapisan dalam
rahim diduga dapat menyebabkan kontraksi rahim. Pemberian prostaglandin
dari luar dapat merangsang kontraksi otot rahim dan terjadi persalinan.

Pertolongan persalinan Meliputi:


 Pencegahan infeksi
 Metode persalinan sesuai standar
 Merujuk kasus yang tidak bisa ditangani
 Melaksanakan IMD
 Memberikan Injeksi Vit.K1 dan salep mata pada BBL
Jenis tenaga yang memberikan pertolongan persalinan kepada masyarakat :
b. Tenaga profesional : dokter spesialis kebidanan, dokter umum, bidan,
pembantu bidan dan perawat.

c. Dukun bayi :
Terlatih : ialah dukun bayi yang telah mendapatkan latihan tenaga
kesehatan yang dinyatakan lulus.
Tidak terlatih : ialah dukun bayi yang belum pernah dilatih oleh tenaga
kesehatan atau dukun bayi yang sedang dilatih dan belum dinyatakan
lulus.

3. Pelayanan Kesehatan Ibu Nifas


Masa nifas adalah masa sesudah persalinan dan kelahiran bayi, plasenta, serta
selaput yang diperlukan untuk memulihkan kembali organ kandungan seperti sebelum
hamil dengan waktu kurang lebih 6 minggu (Saleha, 2017).

Pelayanan kesehatan ibu nifas meliputi:


1.Pencegahan infeksi
2.Metode persalinan sesuai standar
3.Merujuk kasus yang tidak bisa ditangani
4.Melaksanakan IMD
5.Memberikan Injeksi Vit.K1 dan salep mata pada BBL
6.Pemeriksaan tensi, nadi, respirasi dan suhu
7.Pemeriksaan involusi uterus
8.Pemeriksaan lokhia dan pengeluaran per vaginam lainnya
9.Pemeriksaan payudara dan anjuran ASI Eksklusif 6 bulan
10. Pemberian kapsul Vit.A 2 kali
11. Pelayanan KB pasca salin
4. Pelayanan Kesehatan Neonatus
Masa neonatal adalah masa sejak lahir sampai dengan 4 minggu (28 hari) sesudah
kelahiran. Neonatus adalah bayi berumur 0 (baru lahir) sampai dengan usia 28 hari.
Neonatus dini adalah bayi berusia 0-7 hari. Neonatus lanjut adalah bayi berusia 8-28
hari. (Wafi Nur Muslihatun, 2017).

PELAYANAN KESEHATAN NEONATUS (Kunjungan neonatus)


1. KN1 dilakukan pada 6-48 jam setelah lahir
2. KN2 dilakukan pada 3-7 hari setelah lahir
3. KN3 dilakukan pada 8-28 hari setelah lahir

Pelayanan yang diberikan:


 Pemeriksaan dan Perawatan BBL
a) Perawatan tali pusat
b) Melaksanakan ASI Eksklusif
c) Memastikan bayi telah diberikan Inj. Vit.K1
d) Memastikan bayi telah diberikan Salep Mata Antibiotik
e) Pemberian Imunisasi Hepatitis B 0

 Pemeriksaan menggunakan MTBM


a) Pemeriksaan tanda bahaya seperti kemungkinan infeksi bakteri,
ikterus, BB rendah, dan masalah pemberian ASI
b) Pemberian Imunisasi HB 0 bila blm diberikan
c) Konseling ibu dan keluarga untuk memberikan ASI Eksklusif,
pencegahan hipotermi, dan melaksanakan perawatan BBL di rumah
dengan Buku KIA
d) Penanganan dan rujukan kasus bila perlu
NEONATUS KOMPLIKASI (GAWAT DARURAT NEONATAL)
1. Prematuritas dan BBLR (< 2500 gr)
2. Asfiksia
3. Infeksi Bakteri
4. Kejang
5. Ikterus
6. Diare
7. Hipotermia
8. Tetanus Neonaturum
9. Masalah pemberian ASI
10. Trauma lahir, sindrom gangg pernafasan, kel kong, dll

5. PELAYANAN KESEHATAN BAYI (Kunjungan Bayi)


Pelaksanaan pelayanan kesehatan bayi :
1. Kunjungan bayi 1 x pada umur 29 hari-2 bln
2. Kunjungan bayi 1 x pada umur 3-5 bln
3. Kunjungan bayi 1 x pada umur 6-8 bln
4. Kunjungan bayi 1 x pada umur 9-11bln

Pemberian imunisasi
Imunisasi adalah proses untuk membuat seseorang imun atau kebal terhadap
suatu penyakit. Proses ini dilakukan dengan pemberian vaksin yang merangsang sistem
kekebalan tubuh agar kebal terhadap penyakit tersebut.

Bayi yang baru lahir memang sudah memiliki antibodi alami yang disebut kekebalan
pasif. Antibodi tersebut didapatkan dari ibunya saat bayi masih di dalam kandungan. Akan tetapi,
kekebalan ini hanya dapat bertahan beberapa minggu atau bulan saja. Setelah itu, bayi akan
menjadi rentan terhadap berbagai jenis penyakit.

Imunisasi bertujuan untuk membangun kekebalan tubuh seseorang terhadap suatu


penyakit, dengan membentuk antibodi dalam kadar tertentu. Agar antibodi tersebut terbentuk,
seseorang harus diberikan vaksin sesuai jadwal yang telah ditentukan. Jadwal imunisasi
tergantung jenis penyakit yang hendak dicegah. Sejumlah vaksin cukup diberikan satu kali, tetapi
ada juga yang harus diberikan beberapa kali, dan diulang pada usia tertentu. Vaksin dapat
diberikan dengan cara disuntik atau tetes mulut.

Imunisasi Rutin Lengkap di Indonesia

Kini, konsep imunisasi di Indonesia diubah dari imunisasi dasar lengkap menjadi
imunisasi rutin lengkap. Imunisasi rutin lengkap terdiri dari imunisasi dasar dan imunisasi
lanjutan, dengan rincian sebagai berikut:

Imunisasi dasar

 Usia 0 bulan: 1 dosis hepatitis B


 Usia 1 bulan: 1 dosis BCG dan polio
 Usia 2 bulan: 1 dosis DPT, hepatitis B, HiB, dan polio
 Usia 3 bulan: 1 dosis DPT, hepatitis B, HiB, dan polio
 Usia 4 bulan: 1 dosis DPT, hepatitis B, HiB, dan polio
 Usia 9 bulan: 1 dosis campak/MR

Imunisasi lanjutan

 Usia 18-24 bulan: 1 dosis DPT, hepatitis B, HiB, dan campak/MR


 Kelas 1 SD/sederajat: 1 dosis campak dan DT
 Kelas 2 dan 5 SD/sederajat: 1 dosis Td

Mengenai cakupan imunisasi, data Kementerian Kesehatan menyebutkan, sekitar 91%


bayi di Indonesia pada tahun 2017 telah mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Angka ini masih
sedikit di bawah target renstra (rencana strategis) tahun 2017, yaitu sebesar 92 persen. Sembilan
belas dari 34 provinsi di Indonesia juga belum mencapai target renstra. Papua dan Kalimantan
Utara menempati tempat terendah dengan capaian kurang dari 70%.

Berdasarkan data tersebut, diketahui juga bahwa hampir 9% atau lebih dari 400.000 bayi
di Indonesia tidak mendapatkan imunisasi dasar secara lengkap.
Sedangkan untuk cakupan imunisasi lanjutan, persentase anak usia 12-24 bulan yang
telah mendapatkan imunisasi DPT-HB-HiB tahun 2017 mencapai sekitar 63 persen. Angka ini
telah melampaui target renstra 2017 sebesar 45 persen. Sedangkan persentase anak yang
mendapatkan imunisasi campak/MR tahun 2017, sebesar 62 persen. Jumlah ini masih jauh dari
target renstra 2017 sebesar 92 persen.

Perlu diketahui bahwa imunisasi memang tidak memberikan perlindungan 100 persen
pada anak. Anak yang telah diimunisasi masih mungkin terserang suatu penyakit, namun
kemungkinannya jauh lebih kecil, yaitu hanya sekitar 5-15 persen. Hal ini bukan berarti
imunisasi tersebut gagal, tetapi karena memang perlindungan imunisasi sekitar 80-95 persen.

Efek Samping Imunisasi

Pemberian vaksin dapat disertai efek samping atau kejadian ikutan pasca imunisasi
(KIPI), antara lain demam ringan sampai tinggi, nyeri dan bengkak pada area bekas suntikan,
dan agak rewel. Namun demikian, reaksi tersebut akan hilang dalam 3-4 hari.

Bila anak mengalami KIPI seperti di atas, Anda dapat memberi kompres air hangat, dan
obat penurun panas tiap 4 jam. Cukup pakaikan anak baju yang tipis, tanpa diselimuti. Di
samping itu, berikan ASI lebih sering, disertai nutrisi tambahan dari buah dan susu. Bila
kondisinya tidak membaik, segera periksakan anak ke dokter.

Selain reaksi di atas, sejumlah vaksin juga dapat menimbulkan reaksi alergi parah hingga
kejang. Namun demikian, efek samping tersebut tergolong jarang. Penting diingat bahwa
manfaat imunisasi pada anak lebih besar dari efek samping yang mungkin muncul.

Penting untuk memberitahu dokter bila anak pernah mengalami reaksi alergi setelah
pemberian vaksin. Hal ini guna mencegah timbulnya reaksi berbahaya, yang bisa disebabkan
oleh pemberian vaksin berulang.

Jenis Imunisasi di Indonesia

Berikut ini adalah vaksin yang direkomendasikan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
dalam program imunisasi:
 Hepatitis B
 Polio
 BCG
 DPT
 Hib
 Campak
 MMR
 PCV
 Rotavirus
 Influenza
 Tifus
 Hepatitis A
 Varisela
 HPV
 Japanese encephalitis
 Dengue

1. Hepatitis B

Vaksin ini diberikan untuk mencegah infeksi hati serius, yang disebabkan oleh virus
hepatitis B. Vaksin hepatitis B diberikan dalam waktu 12 jam setelah bayi lahir, dengan
didahului suntik vitamin K, minimal 30 menit sebelumnya. Lalu, vaksin kembali diberikan pada
usia 2, 3, dan 4 bulan.

Vaksin hepatitis B dapat menimbulkan efek samping, seperti demam serta lemas. Pada
kasus yang jarang terjadi, efek samping bisa berupa gatal-gatal, kulit kemerahan, dan
pembengkakan pada wajah.

2. Polio

Polio merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus. Pada kasus yang parah,
polio dapat menimbulkan keluhan sesak napas, kelumpuhan, hingga kematian.
Imunisasi polio pertama kali diberikan saat anak baru dilahirkan hingga usia 1 bulan.
Kemudian, vaksin kembali diberikan tiap bulan, yaitu saat anak berusia 2, 3, dan 4 bulan. Untuk
penguatan, vaksin bisa kembali diberikan saat anak mencapai usia 18 bulan.

Vaksin polio bisa menimbulkan demam hingga lebih dari 39 derajat Celsius. Efek
samping lain yang dapat terjadi meliputi reaksi alergi seperti gatal-gatal, kulit kemerahan, sulit
bernapas atau menelan, serta bengkak pada wajah.

3. BCG

Vaksin BCG diberikan untuk mencegah perkembangan tuberkulosis (TB), penyakit


infeksi serius yang umumnya menyerang paru-paru. Perlu diketahui bahwa vaksin BCG tidak
dapat melindungi orang dari infeksi TB. Akan tetapi, BCG bisa mencegah infeksi TB
berkembang ke kondisi penyakit TB yang serius seperti meningitis TB.

Vaksin BCG hanya diberikan satu kali, yaitu saat bayi baru dilahirkan, hingga usia 2
bulan. Bila sampai usia 3 bulan atau lebih vaksin belum diberikan, dokter akan melakukan uji
tuberculin atau tes Mantoux terlebih dahulu, untuk melihat apakah bayi telah terinfeksi TB atau
belum.

Vaksin BCG akan menimbulkan bisul pada bekas suntikan dan muncul pada 2- 6 minggu
setelah suntik BCG. Bisul bernanah tersebut akan pecah, dan meninggalkan jaringan parut.
Sedangkan efek samping lain, seperti anafilaksis, sangat jarang terjadi.

4. DPT

Vaksin DPT merupakan jenis vaksin gabungan untuk mencegah penyakit difteri, pertusis,
dan tetanus. Difteri merupakan kondisi serius yang dapat menyebabkan sesak napas, paru-paru
basah, gangguan jantung, bahkan kematian.

Tidak jauh berbeda dengan difteri, pertusis atau batuk rejan adalah penyakit batuk parah
yang dapat memicu gangguan pernapasan, paru-paru basah (pneumonia), bronkitis, kerusakan
otak, hingga kematian. Sedangkan tetanus adalah penyakit berbahaya yang dapat menyebabkan
kejang, kaku otot, hingga kematian.
Pemberian vaksin DPT harus dilakukan empat kali, yaitu saat anak berusia 2, 3, dan 4
bulan. Vaksin dapat kembali diberikan pada usia 18 bulan dan 5 tahun sebagai penguatan.
Kemudian, pemberian vaksin lanjutan dapat diberikan pada usia 10-12 tahun, dan 18 tahun.

Efek samping yang muncul setelah imunisasi DPT cukup beragam, di antaranya adalah
radang, nyeri, tubuh kaku, serta infeksi.

5. Hib

Vaksin Hib diberikan untuk mencegah infeksi bakteri Haemophilus influenza tipe B.
Infeksi bakteri tersebut dapat memicu kondisi berbahaya, seperti meningitis (radang selaput
otak), pneumonia (paru-paru basah), septic arthritis (radang sendi), serta perikarditis (radang
pada lapisan pelindung jantung).

Imunisasi Hib diberikan 4 kali, yaitu saat anak berusia 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan, dan
dalam rentang usia 15-18 bulan.

Sebagaimana vaksin lain, vaksin Hib juga dapat menimbulkan efek samping, antara lain
demam di atas 39 derajat Celsius, diare, dan nafsu makan berkurang.

6. Campak

Campak adalah infeksi virus pada anak yang ditandai dengan beberapa gejala, seperti
demam, pilek, batuk kering, ruam, serta radang pada mata. Imunisasi campak diberikan saat anak
berusia 9 bulan. Sebagai penguatan, vaksin dapat kembali diberikan pada usia 18 bulan. Tetapi
bila anak sudah mendapatkan vaksin MMR, pemberian vaksin campak kedua tidak perlu
diberikan.

7. MMR

Vaksin MMR merupakan vaksin kombinasi untuk mencegah campak, gondongan, dan
rubella (campak Jerman). Tiga kondisi tersebut merupakan infeksi serius yang dapat
menyebabkan komplikasi berbahaya, seperti meningitis, pembengkakan otak, hingga hilang
pendengaran (tuli).
Vaksin MMR diberikan saat anak berusia 15 bulan, kemudian diberikan lagi pada usia 5
tahun sebagai penguatan. Imunisasi MMR dilakukan dalam jarak minimal 6 bulan dengan
imunisasi campak. Namun bila pada usia 12 bulan anak belum juga mendapatkan vaksin
campak, maka dapat diberikan vaksin MMR.

Vaksin MMR dapat menyebabkan demam lebih dari 39 derajat Celsius. Efek samping
lain yang dapat muncul adalah reaksi alergi seperti gatal, gangguan dalam bernapas atau
menelan, serta bengkak pada wajah.

Banyak beredar isu negatif seputar imunisasi, salah satunya adalah isu vaksin MMR yang
dapat menyebabkan autisme. Isu tersebut sama sekali tidak benar. Hingga kini tidak ditemukan
kaitan yang kuat antara imunisasi MMR dengan autisme.

8. PCV

Vaksin PCV (pneumokokus) diberikan untuk mencegah pneumonia, meningitis, dan


septikemia, yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumoniae. Pemberian vaksin harus
dilakukan secara berangkai, yaitu saat anak berusia 2, 4, dan 6 bulan. Selanjutnya pemberian
vaksin kembali dilakukan saat anak berusia 12-15 bulan.

Efek samping yang mungkin timbul dari imunisasi PCV, antara lain adalah
pembengkakan dan kemerahan pada bagian yang disuntik, yang disertai demam ringan.

9. Rotavirus

Imunisasi ini diberikan untuk mencegah diare akibat infeksi rotavirus. Vaksin rotavirus
diberikan 3 kali, yaitu saat bayi berusia 2, 4, dan 6 bulan. Sama seperti vaksin lain, vaksin
rotavirus juga menimbulkan efek samping. Pada umumnya, efek samping yang muncul tergolong
ringan, seperti diare ringan, dan anak menjadi rewel.

10. Influenza

Vaksin influenza diberikan untuk mencegah flu. Vaksinasi ini bisa diberikan pada anak
berusia 6 bulan dengan frekuensi pengulangan 1 kali tiap tahun, hingga usia 18 tahun.
Efek samping imunisasi influenza, antara lain demam, batuk, sakit tenggorokan, nyeri
otot, dan sakit kepala. Pada kasus yang jarang, efek samping yang dapat muncul meliputi sesak
napas, sakit pada telinga, dada terasa sesak, atau mengi.

11. Tifus

Vaksin ini diberikan untuk mencegah penyakit tifus, yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi. Pemberian vaksin tifus dapat dilakukan saat anak berusia 2 tahun, dengan
frekuensi pengulangan tiap 3 tahun, hingga usia 18 tahun.

Meskipun jarang, vaksin tifus dapat menimbulkan sejumlah efek samping, seperti diare,
demam, mual dan muntah, serta kram perut.

12. Hepatitis A

Sesuai namanya, imunisasi ini bertujuan untuk mencegah hepatitis A, yaitu penyakit
peradangan hati yang disebabkan oleh infeksi virus. Vaksin hepatitis A harus diberikan 2 kali,
pada rentang usia 2-18 tahun. Suntikan pertama dan kedua harus berjarak 6 bulan atau 1 tahun.

Vaksin hepatitis A dapat menimbulkan efek samping seperti demam dan lemas. Efek
samping lain yang tergolong jarang meliputi gatal-gatal, batuk, sakit kepala, dan hidung
tersumbat.

13. Varisela

Vaksin ini diberikan untuk mencegah penyakit cacar air, yang disebabkan oleh virus
Varicella zoster. Imunisasi varisela dilakukan pada anak usia 1-18 tahun. Bila vaksin diberikan
pada anak usia 13 tahun ke atas, vaksin diberikan dalam 2 dosis, dengan jarak waktu minimal 4
minggu.1 dari 5 anak yang diberikan vaksin varisela mengalami nyeri dan kemerahan pada area
yang disuntik. Vaksin varisela juga dapat menimbulkan ruam kulit, tetapi efek samping ini hanya
terjadi pada 1 dari 10 anak.
14. HPV

Vaksin HPV diberikan kepada remaja perempuan untuk mencegah kanker serviks, yang
umumnya disebabkan oleh virus Human papillomavirus. Vaksin HPV diberikan 2 atau 3 kali,
mulai usia 10 hingga 18 tahun.

Umumnya, vaksin HPV menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, serta nyeri dan
kemerahan pada area bekas suntikan. Akan tetapi, efek samping tersebut akan hilang dalam
beberapa hari. Pada kasus yang jarang, penerima vaksin HPV dapat mengalami demam, mual,
dan gatal atau memar di area bekas suntikan.

15. Japanese encephalitis

Japanese encephalitis (JE) adalah infeksi virus pada otak, yang menyebar melalui gigitan
nyamuk. Pada umumnya, JE hanya menimbulkan gejala ringan seperti flu. Tetapi pada sebagian
orang, JE dapat menyebabkan demam tinggi, kejang, hingga kelumpuhan.

Vaksin JE diberikan mulai usia 1 tahun, terutama bila tinggal atau bepergian ke derah
endemis JE. Vaksin dapat kembali diberikan 1-2 tahun berikutnya untuk perlindungan jangka
panjang.

16. Dengue

Imunisasi dengue dilakukan untuk mengurangi risiko demam berdarah, yang disebarkan
oleh nyamuk Aedes aegypti. Vaksin dengue diberikan 3 kali dengan interval 6 bulan, pada usia 9
hingga 16 tahun.

Pelayanan Kunjungan Bayi meliputi :


1. Pemberian imunisasi dasar lengkap sblm usia 1 tahun dan tercatat
dalam Buku KIA dan Kohort
2. SDIDTK Minimal 4 kali dan tercatat dalam Buku KIA dan Kohort
3. Pemberian Vit A 100.000 IU (6-11 bln) dan tercatat dalam Buku
KIA dan Kohort
4. Konseling ASI Eksklusif, MP ASI, tanda2 sakit dan perwtan bayi di
rumah Buku KIA

KOHORT BAYI

Masa Neonatal

Kunjungan Neonatal

Saat Lahir s/d 5 jam

6-48 jam 3-7 hari 8-28 hari

1 2 3 4

Keterangan
1. Diisi klasifikasi / diagnosis jika lahir dg komplikasi (Asfiksia, Trauma lahir,
infeksi, Kongenital, hipotermi, dll)
Diisi jenis pelayanan yang diberikan (IMD, VitK1,SM)
Diisi † jika meninggal tulis pnyebab kematian.
2-4 Diisi tanggal dan bulan saat bayi diperiksa
Diisi S jika sehat, diisi klasifikasi / diagnosis penyakit jika sakit
Diisi † jika meninggal tulis pnyebab kematian
KOHORT BAYI

Keterangan:
 Diisi BB dan umur dalam bulan
 Diisi N jika naik ssi garis pertumbuhan
 Diisi T Jika tdk naik, tetap, naik tp dibwh garis pertumbuhan
 Diisi O jika tdk ditimbang bln lalu
 Diisi B jika br pertama kali ditimbang
 Diisi E 1/2/3/4/5/6 jika ASI Eksklusif
 Diisi Ks, TDs jika KPSP dan TDD hasil sesuai
 Diisi Km, TDm jika KPSP dan TDD hasil meragukan
 Diisi Kp, TDp jika KPSP dan TDD hasil penyimpangan
Keterangan Kohort Bayi

 Bintang hitam ( * ) di kolom umur untuk SDIDTK 1-3 kali


 Bintang merah ( * ) di kolom umur untuk SDIDTK 4 kali
 Bintang Biru ( * ) di kolom Imunisasi bila sudah mendapatkan imunisasi dasar
lengkap

Pelayanan Kesehatan Anak Balita


1. Pemantauan pertumbuhan minimal 8 kali setahun dan tercatat dalam Buku KIA
dan kohort
2. SDIDTK minimal 2 kali setahun dan tercatat dalam buku KIA dan Kohort
3. Pemberian Vit A 200.000 IU 2 x setahun tercatat dalam buku KIA dan Kohort
4. Kepemilikan dan pemanfaatan Buku KIA setiap balita
5. Pelayanan anak sakit dengan algoritma MTBS
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Upaya kesehatan Ibu dan Anak adalah upaya di bidang kesehatan yang
menyangkut pelayanan dan pemeliharaan ibu hamil, ibu bersalin, ibu menyusui, bayi dan
anak balita serta anak prasekolah.
2. Prinsip pengelolaan Program KIA adalah memantapkan dan peningkatan jangkauan
serta mutu pelayanan KIA secara efektif dan efisien. Tujuan program Kesehatan Ibu dan
anak (KIA) adalah tercapainya kemampuan hidup sehat melalui peningkatan derajat
kesehatan yang optimal, bagi ibu dan keluarganya untuk menuju Norma Keluarga Kecil
Bahagia Sejahtera (NKKBS) serta meningkatnya derajat kesehatan anak untuk menjamin
proses tumbuh kembang optimal yang merupakan landasan bagi peningkatan kualitas
manusia seutuhnya.
3. Ada beberapa kegiatan dalam program kesehatan ibu dan anak, diantaranya,pemeliharaan
kesehatan ibu hamil dan menyusui serta bayi, anak balita, dan anak prasekolah, deteksi
dini faktor resiko ibu hamil, pemantauan tumbuh kembang balita, dan sebagainya
4. Sistem kesiagaan di bidang kesehatan ibu dan anak, terdiri atas 5, yaitu : sistem
pencatatan-pemantauan, sistem transportasi-komunikasi, sistem pendanaan, sistem
pendonor darah, sistem informasi KB
5. Manajemen kegiatan KIA dilaksanakan melalui Pemantauan Wilayah setempat-KIA
(PWS-KIA)
6. Peran dan tugas tenaga kesehatan masyarakat, antara lain mengumpulkan, mengolah data
dan informasi, menginventarisasi permasalahan, serta melaksanakan pemecahan
permasalahan yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan masyarakat, merencanakan,
melaksanakan, mengendalikan, mengevaluasi, dan melaporkan kegiatan Puskesmas,
menyiapkan bahan kebijakan, bimbingan dan pembinaan, serta petunjuk teknis sesuai
bidang tugasnya, melaksanakan upaya kesehatan masyarakat, melaksanakan upaya
kesehatan perorangan, dan lain-lain.
B. Saran
Semoga dengan tersusunnya makalah KIA ini, memberikan manfaat bagi kita semua, dan
dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mubarak, Wahit Iqbal. 2012. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Konsep dan Aplikasi dalam
Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.
2. http://kebidananfk2010.blogspot.co.id/2012/04/kumpulan-makalah-ikm-post-mid.html
3. http://el-syadii.blogspot.co.id/2014/02/gambaran-kondisi-kesehatan-ibu-dan-anak.html
4. DepKes RI, 1992. Asuhan Kesehatan Anak dalam Konteks keluarga.
5. Saifudin Abdul Bahri. Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal neonatal.
Jakarta: YBP_SP. 2002.
6. JHPIEGO. Panduan pengajar asuhan kebidanan fisiologi bagi dosen diploma III
kebidanan. Buku 5 asuhan bayi baru lahir. Jakarta: Pusdiknakes 2003.
7. Depkes RI. 2007. Buku Acuan & Panduan Asuhan Persalinan Normal & Inisiasi
Menyusu
8. A.Aziz Alimul, Hidayat. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan.
Jakarta : Salemba Medika. 2008.
9. UU No.44 thn 2008 Pasal 1 angka 4.
10. Depkes RI 2009.
11. http://nchirewrahayu.blogspot.co.id/2015/11/definisi-bbl-neonatus-bayi-batita.html

Anda mungkin juga menyukai