Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik didalam maupun
diluar pengadilan, yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang. Jasa
hukum yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum,
menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum
lain untuk kepentingan hukum klien.
Didalam makalah ini akan dikaji bagaimana wujud tanggung jawab profesi
kehakiman, karena masalah ini menurut penulis berfaedah untuk dikaji dalam sebuah
bentuk makalah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Wujud Tanggung Jawab Profesi Advokat ?
2. Bagaimanakah Nilai Moral Profesi Penegak Hukum ?
3. Bagaimanakah yang dikatakan dengan Kriteria Kepribadian Moral yang kuat ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Wujud Tanggung Jawab Profesi Advokat


Selanjutnya, sikap bertanggungjawab dalam profesi hukum dapat juga dilihat melalui
kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh para Advokat sebagaimana diuraikan oleh
Oemar Seno Adji berikut ini: bahwa Kode Etik Advokat Indonesia mengandung
kewajiban-kewajiban yang oleh para Advokat dibebankannya kepada dirinya sendiri. Ada
enam kewajiban, yaitu:
1. Kepribadian Advokat: yang antara lain menyatakan pribadi yang takwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan dalam tugasnya menjunjung tinggi hukum berdasarkan Pancasila
dan UUD-45 serta sumpah jabatan (Kode Etik Advokat Indonesia: Pasal 1 ayat 1. 1),
tidak boleh bersikap diskriminatif (ayat 1.2), dst.
2. Hubungan dengan Klien: tuntutan kewajiban antara lain menyebutkan bahwa Advokat
dalam mengurus perkara mendahulukan kepentingan Klien daripada kepentingan
pribadinya (Pasal 2 ayat 2.1), tidak dibenarkan dengan sengaja membebani Klien
dengan biaya-biaya yang tidak perlu (ayat 2.8), dst.
3. Hubungan dengan teman Sejawat: Advokat antara lain berkewajiban untuk tidak
menarik seorang Klien dari teman Sejawat (Pasal 3 ayat 3.4).
4. Cara bertindak dan menangani perkara: ada kewajiban yang antara lain menyebutkan
bahwa Advokat tidak diperkenankan menambah catatan-catatan pada berkas di dalam/
di luar sidang meskipun hanya bersifat “ad informandung” (Pasal 4, ayat 4.6) dan
tidak dibenarkan menghubungi saksi-saksi pihak lawan untuk mendengar mereka
dalam perkara yang bersangkutan (ayat 4.4), dsb.
5. Ketentuan-ketentuan lain: seperti misalnya tidak boleh menawarkan jasanya, baik
secara langsung maupun tidak langsung (Pasal 5, ayat 5.2);
6. Pelaksanaan Kode Etik Advokat: diawasi dan dievaluasi oleh Dewan Kehormatan
IKADIN.1
Hampir setiap Advokat adalah sekaligus pengacara. Sebagai Advokat, ia adalah
penasihat dalam perkara-perkara perdata dan penasihat hukum pada umumnya; sedang
sebagai pengacara ia mewakili pihak yang berpekara di dalam sidang pengadilan dalam

1
E. Sumaryono. Etika Profesi Hukum (Norma-Norma Bagi Penegak Hukum), (Yogyakarta: Kanisius,
Cet. VII, 2012), Hal. 155

2
wilayah di mana ia bertugas atau berkedudukan. Demikianlah dinyatakan dalam buku
“Advocaat en Procureur” yang diterbitkan oleh Algemene Raad van de Nederlandse Orde
van Advocaten, sebagaimana dikutip oleh Marthalena Pohan (M. Pohan, 1965, hlm. 73).
Jadi, pada prinsipnya, titik berat tugas seorang advokat dalam praktik penegakan hukum
adalah memberikan pelayanan pada klien terutama bukan semata-mata pada bidang
hukum, melainkan dalam bidang pemberian nasihat-nasihat hukum ataupun nasihat-nasihat
lainnya.2
Gagasan tentang pemberian nasihat ini muncul karena di dalam masyarakat tidak
banyak justisiable yang memiliki pengetahuan yang memadai tentang hukum, sehingga
dalam berperkara para yustisiable itu kemudian meminta bantuan pada para Advokat.
Secara garis besarnya, ada beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh para advokat
dalam tugasnya, dan secara umum dapat disimpulkan mempunyai ciri karakteristik sebagai
berikut:
1. Pemberian bantuan tidak termasuk persetujuan tentang pemberian kuasa antara
advokat dengan kliennya, selama campur tangan Advokat tidak dibatasi sampai
dengan melakukan tindakan-tindakan hukum.
2. Seandainya terjadi sebuah persetujuan pemberian kuasa, persetujuan ini tidak
menyatakan hubungan apa-apa (yang bersifat khusus) diantara Advokat dengan klien.
Persetujuan tersebut sifatnya “sui generis”, yaitu persetujuan yang tidak termasuk
dalam salah satu pengertian mengenai kontak sebagaimana disebutkan dan diatur
dalam Undang-Undang (Misal: Pasal 1339 BW). Jadi, perseujuan ‘sui generis’ itu
didasarkan atas kemauan dari kedua belah pihak.
3. Kewajiban memberi bantuan itu, menurut ketentuan yang berlaku memang melekat
pada tugas pokok seorang advokat (Vide: Kode Etik Advokat, Bab I, Pasal 1 ayat 1.2).
intisari dari kewajiban ini adalah “pelayanan” dan “pengabdian” (Ministerieplicht).
Advokat yang ditunjuk wajib memberikan pelayanan; jika menolak, ia dapat dianggap
telah melanggar sumpah jabatan, bahkan dianggap telah melanggar peraturan
kehormatan (Vide:Advocatenwet, Pasal 13, ayat 4).3
4. Meskipun dalam Kode Etik Advokat juga disebutkan bahwa seorang Advokat
dimungkinkan untuk menentukan besarnya uang jasa pelayanan, namun ia tetap tidak
dibenarkan menolak permohonan bantuan dari seorang justitiable yang kurang mampu

2
Ibid, Hal. 156
3
Ibid, Hal. 156-157

3
atau bahkan tidak mampu dalam bidang keuangan (Vide: Bab II, Pasal 2, ayat 2.7 dan
2.9); dan juga tidak dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya,
sehingga hal ini merugikan klien (Lih. ayat 2.12).
5. Bila ternyata seorang Advokat telah melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan
kerugian pihak klien, maka menurut Pasal 58 dan 96 RV (=Wetboek van Burgelijk
Rechtsvordering) ia dapat dikenal sanksi membayar ganti kerugian yang telah diderita
oleh klien.4
Pasal 58 Rv. antara lain memuat:
“Para Advokat dan pengacara yang dalam pelayanannya melampaui batas wewenang
mereka dapat ditunjuk untuk membayar seluruh atau sebagian biaya, bahkan dapat dijatuhi
hukuman ganti rugi apabila ada alasan-alasan untuk itu”.
Pasal 96 Rv. antara lain memuat suatu peraturan yang tujuannya sama untuk kesalahan
yang disamakan dengan pengacara. Biaya dari akte-akte proses perkara yang batal atau
berkelebihan, akan memberatkan pengacara yang telah memungkinkan akte-akte itu
menjadi begini atau begitu” (M.Pohan,1985,hlm.83).
Disamping hal-hal tersebut di atas, seorang Advokat tidak pernah diperkenankan
mengucapkan tuduhan-tuduhan yang menyakitkan hati pihak lawan dan yang melebihi apa
yang diperlukan untuk memenuhi tugasnya. Kebebasan berbicara seorang Advokat
sesungguhnya tidak lebih besar daripada kebebasan berbicara rakyat biasa pada umumnya.
Para Advokat diharapkan sedapat mungkin menjauhkan diri dari kecenderungan untuk
melukiskan secara gelap (diepgrijs) kelakuan dan tujuan dari pihak lawan, serta dari
penghinaan sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 1372 BW dan ucapan yang bertentangan
dengan kepentingan tugas umum darmabaktinya: penegakan keadilan terhadap
kepentingan justitiable atau Klien.5

B. Nilai Moral Profesi Penegak Hukum


Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai moral
dari pengembannya. Nilai moral itu merupakan kekuatan yang mengarahkan dan
mendasari perbuatan luhur. Setiap profesional hukum dituntut agar memiliki nilai moral
yang kuat. Franz Magnis Suseno (1975) mengemukakan lima kriteria nilai moral yang kuat
yang mendasari kepribadian profesional hukum.

4
Ibid, Hal. 157
5
Ibid

4
1. Kejujuran
Kejujuran adalah dasar utama. Tanpa kejujuran maka profesional hukum mengingkari
misi profesinya, sehingga akan menjadi munafik, licik dan penuh tipu daya. Sikap yang
terdapat dalam kejujuran yaitu :
i. Sikap terbuka, berkenaan dengan pelayanan klien, kerelaan/keikhlasan melayani atau
secara cuma-cuma.6
ii. Sikap wajar. Ini berkenaan dengan perbuatan yang tidak berlebihan, tidak otoriter,
tidak sok kuasa, tidak kasar, tidak menindas, tidak memeras.
2. Otentik
Otentik artinya menghayati dan menunjukan diri sesuai dengan keasliannya,
kepribadian yang sebenarnya. Otentiknya pribadi profesional hukum antara lain :
a. Tidak menyalahgunakan wewenang;
b. Tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat (malkukan perbuatan tercela;
c. Mendahulukan kepentingan klien;
d. Berani berinsiatif dan berbuat sendiri dengan bijaksana, tidak semata-mata menunggu
atasan;
e. Tidak mengisolasi diri dari pergaulan sosial.
3. Bertanggung Jawab
Dalam menjalankan tugasnya, profesioal hukum wajib bertanggung jawab, artinya :
a. Kesediaan melakukan dengan sebaik mungkin tugas apa saja yang termasuk lingkup
profesinya ;
b. Bertindak secara proporsional, tanpa membedakan perkara bayaran dan perkara cuma-
cuma (prodeo);
c. Kesediaan memberikan laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kewajibannya.
4. Kemandirian Moral
Kemandirian moral artinya tidak mudah terpengaruh atau tidak mudah mengikuti
pandangan moral yang terjadi di sekitarnya, melainkan memebetuk penilaian dan
mempunyai pendirian sendiri. mandiri secara moral berarti tidak dapat dibeli oleh pendapat
mayoritas, tidak terpengaruhi oleh pertimbangan untung rugi (pamrih), penyesuaian diri
dengan nilai kesusilaan dan agama.

6
http://pipi-megawati.blogspot.co.id/2011/09/etika-profesi-hukum.html // penulis pipi megawati, SH.,
MH.

5
5. Keberanian Moral
Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati nurani yang menyatakan
kesediaan untuk menanggung resiko konflik. Keberanian tersebut antara lain :
a. Menolak segala bentuk korupsi, kolusi suap, pungli;
b. Menolak segala bentuk cara penyelesaian melalui jalan belakang yang tidak sah.7

C. Kriteria Kepribadian Moral Yang Kuat


Setiap Hakim dituntut untuk melaksanakan tugasnya secara profesional, yakni
kemampuan dan ketrampilan Hakim untuk melaksanakan efesiensi dan efektifitas putusan.
Baik dari segi penerapan hukumnya, maupun kemampuan mempertimbangkan putusan
berdasarkan nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, serta
kemampuan memprediksi reaksi dan dampak sosial atas putusan yang telah
dijatuhkannya.8
Dalam penyelenggaran kekuasaan kehakiman, hakim perlu memperhatikan enam
prinsip kehakiman agar kepribadian moralnya menjadi kuat :
1. Independensi (Independence principle)
Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan
hakim, baik secara personal maupun institusi, dari berbagai pengaruh dari luar diri hakim
berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi secara halus, dengan tekanan, paksaan,
kekerasan, atau balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah
atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan, dengan ancaman
penderitaan atau kerugian tertentu, atau dengan imbalan atau janji imbalan berupa
keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, ataupun bentuk-bentuk lainnya.
2. Ketidakberpihakan (Impartiality principle)
Ketidakberpihakan mencakup sikap netral, menjaga jarak yang sama dengan semua
pihak yang terkait dengan perkara, dan tidak mengutamakan salah satu pihak manapun,
dengan disertai penghayatan mendalam mengenai keseimbangan antar kepentingan yang
terkait dengan perkara.
3. Integritas (Integrity principle)

7
http://pipi-megawati.blogspot.co.id/2011/09/etika-profesi-hukum.html // penulis pipi megawati, SH.,
MH.
8
Jamaluddin, dkk. Tanggung Jawab Profesi Hakim Sebagai Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman di
Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Unibersitas Syiah Kuala, Volume 1, No. 1, Agustus 2012, ISSN:
2302-0180 pp.16-46, Hal. 36

6
Integritas hakim merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan
keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam
menjalankan tugas jabatannya. Hakim tidak dibenarkan menerima pemberian dari pihak-
pihak yang sedang berperkara, sebab hal itu bisa mempengaruhi perkara yang sedang
ditanganinya.
4. Kepantasan dan Kesopanan (Propriety principle)
Kepantasan tercermin dalam penampilan dan perilaku pribadi yang berhubungan
dengan kemampuan menempatkan diri dengan tepat, baik mengenai tempat, waktu, tata
busana, tata suara, atau kegiatan tertentu. Sedangkan kesopanan terwujud dalam perilaku
hormat dan tidak merendahkan orang lain dalam pergaulan, baik dalam tutur kata lisan,
tulisan, atau bahasa tubuh, dalam bertindak, bekerja, dan bertingkah laku ataupun bergaul.
5. Kesetaraan (Equality principle)
Prinsip kesetaraan ini secara esensial melekat dalam sikap setiap hakim untuk
memperlakukan setiap pihak dalm persidangan atau pihak-pihak lain terkait dengan
perkara. Prinsip ini memastikan kesetaraan perlakuan terhadap semua orang dihadapan
pengadilan sangatlah penting guna pelaksanaan peradilan sebagaimana mestinya.
6. Kecakapan dan Keseksamaan (Competence and Diligence principle)
Kecakapan tercermin dalam kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari
pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman dalam menjalankan tugas. Sementara itu,
keseksamaan merupakan sikap pribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-
hatian, ketelitian, ketekunan, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas profesional
hakim.9

9
Ma’ruf Amin. Peran dan Tanggungjawab Hakim Dalam Mewujudkan Keadilan Bagi Masyarakat,
Hal. 5-7

7
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
 Oemar Seno Adji berpendapat bahwa Kode Etik Advokat Indonesia mengandung
kewajiban-kewajiban yang oleh para Advokat dibebankannya kepada dirinya sendiri. Ada
enam kewajiban, yaitu:
1. Kepribadian Advokat: yang antara lain menyatakan pribadi yang takwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan dalam tugasnya menjunjung tinggi hukum berdasarkan Pancasila
dan UUD-45 serta sumpah jabatan (Kode Etik Advokat Indonesia: Pasal 1 ayat 1. 1),
tidak boleh bersikap diskriminatif (ayat 1.2), dst.
2. Hubungan dengan Klien: tuntutan kewajiban antara lain menyebutkan bahwa Advokat
dalam mengurus perkara mendahulukan kepentingan Klien daripada kepentingan
pribadinya (Pasal 2 ayat 2.1), tidak dibenarkan dengan sengaja membebani Klien
dengan biaya-biaya yang tidak perlu (ayat 2.8), dst.
3. Hubungan dengan teman Sejawat: Advokat antara lain berkewajiban untuk tidak
menarik seorang Klien dari teman Sejawat (Pasal 3 ayat 3.4).
4. Cara bertindak dan menangani perkara: ada kewajiban yang antara lain menyebutkan
bahwa Advokat tidak diperkenankan menambah catatan-catatan pada berkas di dalam/
di luar sidang meskipun hanya bersifat “ad informandung” (Pasal 4, ayat 4.6) dan
tidak dibenarkan menghubungi saksi-saksi pihak lawan untuk mendengar mereka
dalam perkara yang bersangkutan (ayat 4.4), dsb.
5. Ketentuan-ketentuan lain: seperti misalnya tidak boleh menawarkan jasanya, baik
secara langsung maupun tidak langsung (Pasal 5, ayat 5.2);
6. Pelaksanaan Kode Etik Advokat: diawasi dan dievaluasi oleh Dewan Kehormatan
IKADIN.
 Frans Margins Suseno (1975) mengemukakan lima kriteria nilai moral yang kuat yang
mendasari keperibadian profesional hukum.
a. Kejujuran
b. Otentik
c. Bertanggung jawab
d. Kemandirian moral
e. Keberanian moral

8
 Dalam penyelenggaran kekuasaan kehakiman, hakim perlu memperhatikan enam prinsip
kehakiman agar kepribadian moralnya menjadi kuat :
a. Independensi (Independence principle)
b. Ketidakberpihakan (Impartiality principle)
c. Integritas (Integrity principle)
d. Kepantasan dan Kesopanan (Propriety principle)
e. Kesetaraan (Equality principle)
f. Kecakapan dan Keseksamaan (Competence and Diligence principle)

B. Saran
Sebagai penutup dalam pembahasan makalah ini, kami sadar bahwasannya masih
terdapat kekurangan baik dalam segi pembahasan maupun sistematika pembuatannya.
Maka dari itu penulis mengharapkan akan adanya sebuah saran dari pembaca yang mana
dengan saran tersebut Insya Allah akan kami jadikan motivasi yang membangun dalam
penyempurnaan makalah selanjutnya.

9
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Amin, Ma’ruf. Peran dan Tanggungjawab Hakim Dalam Mewujudkan Keadilan Bagi
Masyarakat

Sumaryono, E. Etika Profesi Hukum (Norma-Norma Bagi Penegak Hukum), Yogyakarta:


Kanisius, Cet. VII, 2012

B. Jurnal
Jamaluddin, dkk. Tanggung Jawab Profesi Hakim Sebagai Penyelenggara Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Unibersitas Syiah Kuala,
Volume 1, No. 1, Agustus 2012, ISSN: 2302-0180 pp.16-46, Hal. 36

C. Internet
http://pipi-megawati.blogspot.co.id/2011/09/etika-profesi-hukum.html // penulis pipi
megawati, SH., MH.

10

Anda mungkin juga menyukai