Anda di halaman 1dari 17

KIMIA MEDISINAL

HUBUNGAN STRUKTUR-AKTIVITAS OBAT ANALGETIKA

OLEH:
Anggy Anggraeni Wahyudhie (0808505002)
I Gusti Agung Suastika (0808505008)
I Gede Dwija Bawa Temaja (0808505031)

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2011
ANALGETIKA

Analgestika adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf pusat secara
selektif, digunakan untuk mengurangi rasa sakit tanpa mempengaruhi kesadaran.
Analgetika bekerja dengan meningkatkan nilai ambang persepsi rasa sakit.
Berdasarkan mekanisme kerja pada tingkat molekul, analgetika dibagi menjadi dua
golongan yaitu analgetika narkotika dan analgetika non narkotik (Siswandono dan
Soekardjo, 2008).
I. Analgetika Narkotik
I.1Pengertian
Analgetika narkotik adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf pusat
secara selektif, digunakan untuk mengurangi rasa sakit, yang moderat ataupun
berat, seperti rasa sakit yang disebabkan oleh penyakit kanker, serangan jantung
akut, sesudah operasi dan kolik usus atau ginjal (Siswandono dan Soekardjo, 2008)
I.2Mekanisme kerja
Efek analgesik dihasilkan oleh adanya pengikatan obat dengan sisi reseptor khas
pada sel dalam otak dan spinal cord. Rangsangan reseptor juga menimbulkan efek
euforia dan rasa mengantuk (Siswandono dan Soekardjo, 2008).
Menurut Beckett dan Casy, reseptor turunan morfin mempunyai tiga sisi yang
sangat penting untuk timbulnya aktivitas analgesik yaitu:
1. Struktur bidang datar, yang mengikat cincin aromatic obat melalui ikatan
van der Waals
2. Tempat anionik, yang mampu berinteraksi dengan muatan positif obat
3. Lubang dengan orientasi yang sesuai untuk menampung bagian –CH2-CH2-
dari proyeksi cincin piperidin yang terletak di depan bidang yang
mengandung cincin aromatic dan pusat dasar
I.3Penggolongan
A. Turunan Morfin
Hubungan struktur dan aktivitas morfin dijelaskan sebagai berikut:
Fenolik OH
Metilasi gugus fenolik OH dari morfin akan mengakibatkan penurunan aktivitas
analgesik secara drastis. Gugus fenolik bebas adalah sangat krusial untuk aktivitas
analgesik (Patrick, 1995)
6-Alkohol

(Patrick, 1995)
Penutupan atau penghilangan gugus alkohol tidak akan menimbulkan
penurunan efek analgesik dan pada kenyataannya malah sering menghasilkan efek
yang berlawanan. Peningkatan aktivitas lebih disebabkan oleh sifat
farmakodinamik dibandingkan dengan afinitasnya dengan reseptor analgesik.
Dengan kata lain, lebih ditentukan oleh berapa banyak obat yang mencapai
reseptor, bukan seberapa terikat dengan reseptor (Patrick, 1995)
Analog morfin menunjukkan kemampuan untuk mencapai reseptor lebih
efisien dibandingkan dengan morfin itu sendiri. Hal ini disebabkan karena reseptor
analgesik terletak di otak dan untuk mencapai otak, obat harus melewati sawar
darah otak. Dalam rangka untuk mencapai otak, maka terlebih dahulu harus
melewati barier ini. Mengingat barier tersebut adalah lemak maka senyawa yang
bersifat polar akan kesulitan menembus membran. Morfin memiliki tiga gugus
polar (fenol, alkohol dan, amin) sedangkan analognya telah kehilangan gugus polar
alkohol atau ditutupi dengan gugus alkil atau asil. Dengan demikian maka analog
morfin akan lebih mudah masuk ke otak dan terakumulasi pada sisi reseptor dalam
jumlah yang lebih besar sehingga aktivitas analgesiknya juga lebih besar (Patrick,
1995)
Ikatan Rangkap pada C7 dan C8

(Patrick, 1995)
Beberapa analog termasuk dihidromorfin menunjukkan bahwa ikatan rangkap
tidak penting untuk aktivitas analgesik (Patrick, 1995)
Gugus N-Metil

(Patrick, 1995)
Atom nitrogen dari morfin akan terionisasi ketika berikatan dengan reseptor.
Penggantian gugus N-metil dengan proton mengurangi aktivitas analgesik tetapi
tidak menghilangkannnya. Gugus NH lebih polar dibandingkan dengan gugus N-
metil tersier sehingga menyulitkannya dalam menembus sawar darah otak
akibatnya akan menurunkan aktivitas analgesik. Hal ini menunjukkan bahwa
substitusi N-metil tidak terlalu signifikan untuk aktivitas analgesik. Sedangkan
penghilangan atom N akan menyebabkan hilangnya aktivitas (Patrick, 1995)
Cincin Aromatik
Cincin aromatik memegang peranan penting dimana jika senyawa tidak
memiliki cincin aromatik tidak akan menghasilkan aktivitas analgesik. Cincin A
dan nitrogen merupakan dua struktur yang umum ditemukan dalam aktivitas
analgesik opioid. Cincin A dan nitrogen dasar adalah komponen penting dalam
efek untuk µ agonis, akan tetapi jika hanya kedua komponen ini saja, tidak akan
cukup juga untuk menghasilkan aktivitas, sehingga penambahan gugus farmakofor
diperlukan. Substitusi pada cincin aromatik juga akan mengurangi aktivitas
analgesik (Patrick, 1995).
Jembatan Eter
Pemecahan jembatan eter antara C4 dan C5 akan munurunkan aktivitas
(Siswandono dan Soekardjo, 2008).
Stereokimia
Morfin adalah molekul asimetrik yang mengandung beberapa pusat kiral dan
secara alami sebagai enansiomer tunggal. Ketika morfin pertama kali disintesis,
dibuat sebagai sebuah rasemat dari campuran enansiomer alami dan bagian mirror-
nya. Ini selanjutnya dipisahkan dan “Unnatural” morfin dites aktivitas
analgesiknya dimana hasilnya tidak menunjukkan aktivitas (Patrick, 1995)
Hal ini disebabkan karena interaksi dengan reseptornya dimana telah
diidentifikasi bahwa setidaknya ada tiga interaksi penting melibatkan fenol, cincin
aromatik dan amida pada morfin. Reseptor mempunyai gugus ikatan komplemen
yang ditempatkan sedemikian rupa sehingga mampu berinteraksi dengan ketiga
gugus tadi. Sedangkan pada “Unnatural” morfin hanya dapt terjadi satu interaksi
resptor dalam sekali waktu (Patrick, 1995)

Epimerization pusat kiral tunggal seperti posisi 14 tidak juga menguntungkan,


karena perubahan stereokimia di bahkan satu pusat kiral dapat mengakibatkan
perubahan bentuk yang drastis, sehingga mustahil bagi molekul untuk berikatan
dengan reseptor analgesik (Patrick, 1995).
Penghilangan Cincin E
Penghilangan cincin E akan mengakibatkan kehilangan seluruh aktivitas, hal ini
menunjukkan pentingnya nitrogen untuk aktivitas analgesik (Patrick, 1995).

Penghilangan Cincin D
Penghilangan jembatan oksigen memberikan serangkaian senyawa yang disebut
morphinan yang memiliki aktivitas analgesik yang bermanfaat. Ini menunjukkan
bahwa jembatan oksigen tidak terlalu penting (Patrick, 1995).

Pembukaan Cincin C dan D


Pembukaan kedua cincin ini akan menghasilkan gugus senyawa yang dinamakan
benzomorphan yang mempertahankan aktivitas analgesik. Hal ini menandakan
bahwa cincin C dan D tidak penting untuk aktivitas analgesik (Patrick, 1995).
Penghilangan Cincin B, C, dan D
Penghilangan cincin B,C, dan D akan menghasilkan senyawa 4-phenylpiperidine
yang memiliki aktivitas analgesik. Hal ini menunjukkan bahwa cincn B,C dan D
tidak penting untuk aktivitas analgesik (Patrick, 1995)

Penghilangan Cincin B,C,D, dan E.


Penghilangan cincin B,C,D dan E akan menghasilkan senyawa analgesik yaitu
methadone (Patrick, 1995).
Hubungan struktur-aktivitas lain
a. Eterifikasi dan esterifikasi gugus hidroksil fenol akan menurunkan aktivitas
analgesik, meningkatkan aktivitas antibatuk dan meningkatkan efek kejang.
b. Eterifikasi, esterifikasi, oksidasi atau pergantian gugus hidroksil alkohol
dengan halogen atau hidrogen dapat meningkatkan aktivitas analgesik,
meningkatkan efek stimulan, tetapi juga meningkatkan toksisitas.
c. Perubahan gugus hidroksil alkohol dari posisi 6 ke posisi 8 menurunkan
aktivitas analgesik secara drastis.
d. Pengubahan konfigurasi hidroksil pada C6 dapat meningkatkan efek
analgesik.
e. Hidrogenasi ikatan rangkap C7-C8 dapat menghasilkan efek yang sama atau
lebih tinggi dibanding morfin.
f. Pembukaan cincin piperidin menyebabkan penurunan aktivitas.
g. Demetilasi pada C17 dan perpanjangan rantai alifatik yang terikat pada atom
N dapat menurunkan aktivitas. Adanya gugus alil pada atom N menyebabkan
senyawa bersifat antagonis kompetitif Ukuran dari substituen N akan
mempengaruhi potensi dan sifat agonis atau antagonis. Secara umum,
substitusi N-metil akan menghasilkan senyawa dengan sifat agonis yang baik.
Peningkatan ukuran substituen N dengan 3 atau 5 karbon akan menghasilkan
senyawa yang antagonis dengan beberapa atau semua reseptor opioid
(Siswandono dan Soekardjo, 2008; Foye et al, 1995)

B. Turunan Meperidin
Meskipun strukturnya tidak berhubungan dengan struktur morfin tetapi masih
menunjukkan kemiripan karena mempunyai pusat atom C kuartener, rantai
etilen, gugus N-tersier dan cincin aromatik sehingga dapat berinteraksi dengan
reseptor analgesik.
C. Turunan Metadon
Turunan metadon bersifat optis aktif dan biasanya digunakan dalam bentuk
garam HCl. Meskipun tidak mempunyai cincin piperidin, seperti pada turunan
morfin atau meperidin, tetapi turunan metadondapat membentuk cincin bila
dalam lartan atau cairan tubuh. Hal ini disebabkan karena ada daya tarik –
menarik dipol-dipol antara basa N dengan gugus karboksil.

Contoh:
• Metadon, mempunyai aktivitas analgesik 2 kali morfin dan 10 kali
meperidin. Levanon adalah isomer levo metadon, tidak menimbulkan
euforia seperti morfin dan dianjurkan sebagai obat pengganti morfin untuk
pengobatan kecanduan.
• Propoksifen, yang aktif sebagai analgesik adalah bentuk isomer α
(+). Bentuk isomer α (-) dan β-diastereoisomer aktivitas analgesiknya
rendah. α (-) Propoksifen mempunyai efek antibatuk yang cukup besar.
Aktivitas analgesik α (+) propoksifen kira-kira sama dengan kodein,
dengan efek samping lebih rendah. α (+) propoksifen digunakan untuk
menekan efek gejala withdrawal morfin dan sebagai analgesik nyeri gigi.
Berbeda dengan efek analgesik narkotik yang lain, α (+) propoksifen tidak
mempunyai efek antidiare, antibatuk dan antipiretik.

II. Analgetika non narkotik


II.1 Pendahuluan
Analgetika non narkotik digunakan untuk mengurangi rasa sakit yang ringan
sampai moderat sehingga sering disebut analgetika ringan, juga menurunkan suhu
badan pada keadaan panas badan yang tinggi dan sebagai antiradang untuk
pengobatan rematik. Analgetika non narkotik bekerja pada perifer dan sentral
sistem saraf pusat. Berdasarkan struktur kimianya analgetika non narkotik dibagi
menjadi dua kelompok yaitu analgetik-antipiretik dan obat antiradang bukan steroid
(Non Steroid antiinflamatory Drugs = NSAID) (Siswandono dan Soekardjo, 2008).
II.2Mekanisme Kerja
a. Analgesik
Analgetika non narkotik menimbulkan efek analgesik dengan cara
menghambat secara langsung dan selektif enzim-enzim pada system saraf
pusat yang mengkatalis biosintesis prostaglandin, seperti siklooksigenase,
sehingga mencegah sensitisasi reseptor rasa sakit oleh mediator-mediator rasa
sakit, seperti baradikinin, histamin, serotonin, prostasiklin, prostaglandin, ion-
ion hidrogen dan kalium, yang dapat merangsang rasa sakit secara mekanis
atau kimiawi (Siswandono dan Soekardjo, 2008).
b. Antipiretik
Analgetika non narkotik menimbulkan kerja antipiretik dengan meningkatkan
eliminasi panas, pada penderita dengan suhu badan tinggi, dengan cara
menimbulkan dilatasi buluh darah perifer dan mobilisasi air sehingga terjadi
pengenceran darah dan pengeluaran keringat (Siswandono dan Soekardjo,
2008).
c. Antiradang
Analgetika non narkotik menimbulkan efek antiradang dengan menghambat
biosintesis dan pengeluaran prostaglandin dengan cara memblok secara
terpulihkan enzim siklooksigenase sehingga menurunkan gejala keradangan.
Mekanisme lain adalah menghambat enzim-enzim yang terlibat pada
biosintesis mukopolisakarida dan glikoprotein, meningkatkan pergantian
jaringa kolagen dengan memperbaiki jaringan penghubung dan mencegah
pengeluaran enzim-enzim lisosom melalui stabilisasi membran yang terkena
radang (Siswandono dan Soekardjo, 2008).
II.3Penggolongan
A. Analgetik-Antipiretika
Berdasarkan struktur kimianya obat analgetik-antipiretika dibagi menjadi dua
kelompok yaitu turunan anilin adan para-aminifenol, dan turunan 5-pirazolon.
Turunan Anilin dan para-Aminofenol
Hubungan struktur-aktivitas
1) Anilin mempunyai efek antipiretik cukup tinggi tetapi toksisitasnya juga
besar karena menimbulkan methemoglobin, suatu bentuk hemoglobin yang
tidak dapat berfungsi sebagai pembawa oksigen.
2) Substitusi pada gugus amino mengurangi sifat kebasaan dan dapat
menurunkan aktivitas dan toksisitasnya. Asetilasi gugus amino (asetanilid)
dapat menurunkan toksisitasnya, pada dosis terapi relatif aman tetapi pada dosis
yang lebih besar menyebabkan pembentukan methemoglobin dan
mempengaruhi jantung. Homolog yang lebih tinggi dari asetanilid mempunyai
kelarutan dalam air sangat rendah sehingga efek analgesik dan antipiretiknya
juga rendah.
3) Turunan aromatik dari asetanilid, seperti benzenanilid, sukar larut dalam air,
tidak dapat dibawa oleh cairan tubuh ke reseptor sehingga tidak menimbulkan
efek analgesik, sedang salisilanilid sendiri walaupun tidak mempunyai efek
analgesik tetapi dapat digunakan sebagai antijamur.
4) Para-aminifenol adalah produk metabolic dari anilin, toksisitasnya lebih
rendah disbanding anilin dan turunan orto dan meta, tetapi masih terlalu toksik
untuk langsung digunakan sebagai oat sehingga perlu dilakukan modifikasi
struktur untuk mengurangi toksisitasnya.
5) Asetilasi gugus amino dari para-aminofenol (asetaminofen) akan
menurunkan toksisitasnya, pada dosis terapi relatif aman tetapi pada dosis yang
lebih besar dan pada pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan
methemoglobin dan kerusakan hati.
6) Eterifikasi gugus hidroksi dari para-aminofenol dengan gugus metil
(anisidin) dan etil (fenetidin) meningkatkan aktivitas analgesik tetapi karena
mengandung gugus amino bebas maka pembentukan methemoglobin akan
meningkat.
7) Pemasukan gugus yang bersifat polar, seperti gugus karboksilat dan
sulfonat, ke inti benzene akan menghilangkan aktivitas analgesik.
8) Etil eter dari asetaminofen (fenasentin) mempunyai aktivitas analgesik
cukup tinggi, tetapi pada penggunaan jangka panjang menyebabkan
methemoglobin, kerusakan ginjal dan bersifat karsinogenik sehingga obat ini
dilarang di Indonesia.
9) Ester salisil dari asetaminofen (fenetsal) dapat mengurangi toksisitas dan
meningkatkan aktivitas analgesik.
(Siswandono dan Soekardjo, 2008)
B. Obat Antiradang Bukan Steroid
a. Turunan asam salisilat
Hubungan struktur-aktivitas turunan asam salisilat
1) Senyawa yang aktif sebagai antiradang adalah anion salisilat. Gugus
karboksilat penting untuk aktivitas dan letak gugus hidroksil harus
berdekatan dengannya.
2) Turunan halogen, seperti asam 5-klorsalisilat, dapat meningkatkan
aktivitas tetapi menimbulkan toksisitas lebih besar.
3) Adanya gugus amino pada posisi 4 akan menghilangkan aktivitas.
4) Pemasukan gugus metil pada posisi 3 menyebabkan metabolisme
atau hidrolisis gugus asetil menjadi lebih lambat sehingga masa kerja obat
menjadi lebih panjang.
5) Adanya gugus aril yang bersifat hidrofob pada posisi 5 dapat
meningkatkan aktivitas.
6) Adanya gugus difluorofenil pada posisi meta dari gugus karboksilat
(diflunisal) dapat meningkatkan aktivitas analgesik, memperpanjang masa
kerja obat dan menghilangkan efek samping, seperti iritasi saluran cerna
dan peningkatan waktu pembekuan darah.
7) Efek iritasi dari aspirin dihubungkan dengan gugus karboksilat.
Esterifikasi gugus karboksil akan menurunkan efek iritasi tersebut.
Karbetil salisilat adalah ester karbonat dari etil salisilat, ester ini tidak
menimbulkan iritasi lambung dan tidak berasa.

(Siswandono dan Soekardjo, 2008)


b. Turunan Asam N-Arilantranilat
Asam antranilat adalah analog nitrogen dari asam salisilat.
Hubungan struktur aktivitas:
1) Turunan asam N-antranilat mempunyai aktivitas yang lebih tinggi
bila pada cincin benzene yang terikat atom N mempunyai substituen-
substituen pada posisi 2,3, dan 6
2) Yang aktif adalah turunan senyawa 2,3-disubstitusi. Hal ini
menunjukkan bahwa senyawa mempunyai aktivitas yang lebih besar
apabila gugus-gugus pada N-aril berada di luar koplanaritas asam
antranilat. Struktur tidak planar tersebut sesuai dengan tempat reseptor
hipotetik antiradang. Contoh: adanya substituen orto-metil pada asam
mefenamat dan orto-klor pada asam meklofenamat akan meningkatkan
aktivitas analgesic
3) Penggantian atom N pada asam antranilat dengan gugus-gugus
isosterik seperti O,S, dan CH2 dapat menurunkan aktivitas.
(Siswandono dan Soekardjo, 2008)
III. Contoh Analisis Hubungan Kuantitatif Struktur-Aktivitas Senyawa
Analgetika
Wang et al (2005) pada sebuah jurnal yang berjudul ” QSAR Study of 4-
Phenylpiperidine Derivatives As µ Opioid Agonists By Neural Network
Method” menganalisis mengenai hubungan kuantitatif struktur-aktivitas
pada derivat 4-phenylpiperidine yang hasilnya bisa dilihat pada tabel
dibawah.
• Dari 43 senyawa dapat dibagi menjadi 2 cluster berdasarkan
substitusi R2 dan aktivitasnya meningkat ketika penggantian
substitusi R2 dari gugus eter menjadi gugus asiloksi.
• Ikatan hidrogen yang ada antara reseptor dan karbonil oksigen, akan
memberikan kontribusi untuk berbagai aktivitas dari senyawa.
• N terprotonasi harus berinteraksi dengan residu anionik, ikatan
hidrogen terbentuk antara karbonil oksigen dan residu pada reseptor
pada lokasi yang spesifik. Selain itu, pada substitusi N-, penambahan
gugus fenil dengan rantai alkil yang fleksibel akan menimbulkan
suatu ikatan hidrofobik dengan rongga lipofilik.

DAFTAR PUSTAKA

Foye, W. O., T. L. Lemke, and D. A. Williams. 1995. Principles of Medicinal


Chemistry: Fourth Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Patrick, Graham. 1995. An Introductin To Medicinal Chemistry. New York: Oxford
University Press.

Siswandono dan B. Soekardjo. 2008. Kimia Medisinal. Surabaya: Airlangga


University Press.

Wang, Xing-hai., Yun Tang , Qiong Xie, Zhui-bai Qiu. 2005. QSAR Study of 4-
Phenylpiperidine Derivatives As μ Opioid Agonists By Neural Network
Method. European Journal of Medicinal Chemistry 41 (2006) 226–232

Anda mungkin juga menyukai